You are on page 1of 84

GEOLOGI DAN STUDI POTENSI LIKUIFAKSI

DAERAH SRIHARDONO DAN SEKITARNYA


KECAMATAN PUNDONG KABUPATEN BANTUL
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI

Oleh:
JARAYANIH
111.040.144

JURUSAN TEKNIK GEOLOGI


FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN
YOGYAKARTA
2011

JL. SWK (Lingkar Utara) 104 Condongcatur, Yogyakarta 55283 Indonesia


Telp. (62-274) 566733, (62-274) 566802. Fax. (62-274) 486403

GEOLOGI DAN STUDI POTENSI LIKUIFAKSI


DAERAH SRIHARDONO DAN SEKITARNYA
KECAMATAN PUNDONG KABUPATEN BANTUL
PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA
SKRIPSI
Oleh:
JARAYANIH
111.040.144

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat


Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi

Yogyakarta, 26 Agustus 2011


Menyetujui,
Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. Emanuel Baskoro, MT.


NIP.19631225.199203.1.001

Ir. Bambang Triwibowo, MT.


NIP.19550605.198903.1.001
Mengetahui,
Ketua Jurusan

Ir. H. Sugeng Raharjo, MT.


NIP.19581208.199203.1.001

Halaman Persembahan
1. ALLAH SWT yang telah memberikan kekuatan dan melimpahkan rahmat
serta hidayah-Nya.
2. Junjunganku Rasulullah Muhammad SAW yang menjadi inspirasi bagi
umatnya menuju kebenaran.
3. Papa dan mama tersayang yang telah memberikan dukungan, semangat,
materi dan doa.
4. Seluruh keluarga besar Patama Suanta Gumay yang tercinta.
5. Ir. H. Sugeng Raharjo, MT selaku Ketua Jurusan Teknik Geologi.
6. Ir. Emanuel Baskoro, MT dan Ir. Bambang Triwibowo, MT selaku
pembimbing Skripsi yang memberikan arahan dan bimbingan.
7. Ir. H. Purwanto, MT dan Herry Riswandi, ST.MT selaku pembahas Skripsi
yang memberikan masukan dan motivasi.
8. Rekan - rekan geologi yang telah membantu : Fahmi, Ridho, Bennaser,
William, Zumhan, Stefano, Sindy, Handayani, Widyaningsih, Kartika, Intar
dan Rezza Kurniawan.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam menyelesaikan seluruh rangkaian kegiatan ini baik secara
langsung maupun tidak langsung.

SARI
Secara administrasi lokasi penelitian terletak di daerah Srihardono
Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelah utara daerah penelitian berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan di sebelah
timur berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Daerah penelitian termasuk
dalam Peta Rupa Bumi Digital BAKOSURTANAL. Secara Koordinat UTM
(Universal Transverse Mercator), daerah penelitian terletak pada 427000mE
432000mE (West-East) dan 9118000mN9124000mN (South-North).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kondisi geologi
terhadap penyebaran potensi likuifaksi.
Daerah penelitian dibagi menjadi empat bentuk asal, yaitu struktural,
denudasional, karst dan fluvial. Bentuk asal struktural terdiri dari satuan bentuk lahan
perbukitan homoklin, bentuk asal denudasional terdiri dari satuan bentuk lahan bukit
sisa, bentuk asal karst terdiri dari satuan bentuk lahan perbukitan karst, dan bentuk
asal fluvial terdiri dari tiga satuan bentuk lahan, yaitu dataran aluvial, tubuh sungai
dan gosong sungai. Pola aliran di daerah telitian berdasarkan interpretasi dari peta
topografi termasuk ke dalam pola aliran subdendritik.
Stratigrafi daerah penelitian dimulai dari tua ke muda tersusun atas satuan
breksi Nglanggran, satuan batugamping Wonosari dan satuan endapan Fluvio
Vulkanik Merapi.
Endapan Kuarter menyusun sekitar 60% dari seluruh daerah penelitian.
Endapan ini sifat fisiknya masih urai atau berupa material lepas. Endapan Kuarter
tersebut termasuk ke dalam lingkungan pengendapan fluviatil. Posisi permukaan
airtanah tergolong dangkal, sehingga endapan kuarter tersebut jenuh air. Kegempaan
dapat bersumber dari aktivitas sesar Opak yang terletak tepat di tengah daerah
penelitian yang berarah barat dayatimur laut.
Dari hasil analisa Grain Size dan Granulometri pada sampel endapan tanah,
didapatkan kisaran gradasi butir seragam hingga gradasi buruk, kisaran sortasi
sedang hingga sortasi buruk, kisaran skewness (tingkat kecondongan penyebaran
besar butir) halus sampai kasar, kisaran kurtosis (derajat kemancungan kurva)
platikurtik hingga leptikurtik dengan jenis endapan berupa pasir halus sampai pasir
sedang.
Daerah penelitian dibagi menjadi tiga wilayah potensi likuifaksi, yaitu
wilayah potensi likuifaksi rendah, sedang dan tinggi. Pembagian wilayah potensi
likuifaksi ini didasarkan pada litologi (besar butir, pemilahan butir dan
permeabilitas), lingkungan pengendapan dan posisi kedalaman muka airtanah.

KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbillalamin penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang
telah memberikan petunjuk dan limpahan rahmat serta hidayah-Nya sehingga masih
diberi kesempatan, kecerahan berfikir dan daya juang untuk menyelesaikan laporan
Skripsi ini.
Skripsi dengan judul Geologi dan Studi Potensi Likuifaksi Daerah
Srihardono dan Sekitarnya Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta disusun sebagai syarat dalam meraih gelar Sarjana
Teknik pada Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknologi Mineral Universitas
Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
Penulis telah berusaha menyusun laporan Skripsi ini dengan sebaik-baiknya,
namun penulis menyadari laporan Skripsi ini tidak luput dari kekhilafan dan apa
yang tertulis di dalamnya masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu penulis mengharapkan adanya saran dan kritik yang bersifat
membangun dari para pembaca agar tercapainya kesempurnaan dalam penulisan
ilmiah berikutnya. Semoga Skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca.

Yogyakarta, 26 Agustus 2011


Penulis,

Jarayanih

DAFTAR ISI

Halaman Judul ......................................................................................................

Halaman Pengesahan ...........................................................................................

ii

Halaman Persembahan ........................................................................................ iii


Sari ......................................................................................................................... iv
Kata Pengantar .....................................................................................................

Daftar Isi ................................................................................................................ vi


Daftar Foto ............................................................................................................. ix
Daftar Gambar ......................................................................................................

Daftar Tabel .......................................................................................................... xii

BAB I.

PENDAHULUAN ..

I.1.

Latar Belakang Penelitian ....................................................................

I.2.

Rumusan Masalah ................................................................................

I.3.

Maksud dan Tujuan ..............................................................................

I.4.

Lokasi dan Kesampaian .......................................................................

I.5.

Hasil Penelitian ....................................................................................

I.6.

Manfaat Penelitian ...............................................................................

BAB II.

METODOLOGI PENELITIAN ...

II.1.

Metode Penelitian ................................................................................

II.2.

Tahapan Penelitian ...............................................................................

II.2.1.

Tahap Persiapan .....................................................................

II.2.1.1. Studi Pustaka .........................................................

II.2.1.2. Penyusunan Proposal .............................................

II.2.1.3. Observasi Lapangan ..............................................

II.2.1.4. Persiapan Alat .......................................................

II.2.2.

Tahap Pengumpulan data ...................................................... 10


II.2.2.1. Data Primer ........................................................... 10
II.2.2.2. Data Sekunder ....................................................... 11

II.2.3.

Tahap Analisis Data .............................................................. 11


II.2.3.1. Pengamatan Laboratorium .................................... 11
II.2.3.2. Pengujian Laboratorium ........................................ 12

II.2.4.

BAB III.

Tahap Pembuatan Peta .......................................................... 17

KAJIAN PUSTAKA . 19

III.1. Dasar Teori ........................................................................................... 19


III.1.1. Gempa Bumi .......................................................................... 19
III.1.2. Tanah ..................................................................................... 21
III.1.3. Hidrogeologi .......................................................................... 21
III.1.3.1. Kondisi Aliran Sungai ........................................... 21
III.1.3.2. Muka Airtanah ....................................................... 22
III.1.3.3. Aliran Muka Airtanah ........................................... 23
III.1.4.

Likuifaksi ............................................................................... 23
III.1.4.1. Pengertian.............................................................. 24
III.1.4.2. Faktor-faktor penyebab Likuifaksi........................ 24
III.1.4.3. Dampak Dari Terjadinya Likuifaksi...................... 24
III.1.4.4. Langkah-langkah untuk mengurangi likuifaksi..... 26

BAB IV.

TATANAN GEOLOGI ...................................................................... 27

IV.1. Geologi Regional .................................................................................. 27


IV.1.1. Fisiografi Regional ................................................................ 27
IV.1.2. Stratigrafi Regional ................................................................ 28
IV.1.3. Struktur Regional ................................................................... 32
IV.2. Geologi Daerah Penelitian ................................................................... 33
IV.2.1. Geomorfologi Daerah Penelitian ........................................... 33
IV.2.1.1. Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Homoklin (S21) 33
IV.2.1.2. Satuan Bentuk Lahan Bukit Sisa (D3) ... 34
IV.2.1.3. Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Karst (K2) 34
IV.2.1.4. Satuan Bentuk Lahan Dataran Aluvial (F1) .. 35
IV.2.1.5. Satuan Bentuk Lahan Tubuh Sungai (F2) . 36
IV.2.1.6. Satuan Bentuk Lahan Gosong Sungai (F13) . 36

IV.2.2. Pola Pengaliran Daerah Penelitian ......................................... 37


IV.2.3. Stratigrafi Daerah Penelitian .................................................. 38
IV.2.3.1. Satuan Breksi Nglanggran ..................................... 38
IV.2.3.2. Satuan Batugamping Wonosari ............................. 40
IV.2.3.3. Satuan Endapan Fluvio Vulkanik Merapi ............. 42
IV.2.4. Struktur Geologi Daerah Penelitian ....................................... 43

BAB V.

PEMBAHASAN ................................................................................. 45

V.1.

Geologi dan Studi Potensi Likuifaksi .................................................. 45


V.1.1.

Litologi .................................................................................. 45

V.1.2.

Hidrogeologi .......................................................................... 47
V.1.2.1. Muka Air Tanah .................................................... 47

V.1.3.
V.2.

V.3.

Kegempaan ............................................................................ 50

Analisa Data ......................................................................................... 53


V.2.1.

Analisis Grain Size ................................................................ 53

V.2.2.

Analisis Granulometri ............................................................ 53

Penyebaran Potensi Likuifaksi ............................................................. 67


V.3.1.

Wilayah Potensi Likuifaksi Tinggi ........................................ 68

V.3.2.

Wilayah Potensi Likuifaksi Sedang ....................................... 69

V.3.3.

Wilayah Potensi Likuifaksi Rendah ...................................... 69

BAB III. KESIMPULAN................................................................................... 70

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 72


LAMPIRAN

DAFTAR FOTO

Foto 1.1.

Akses jalan menuju Lokasi Penelitian.

Foto 4.1.

Bentuk Lahan Perbukitan Homoklin..

33

Foto 4.2.

Bentuk Lahan Bukit Sisa.

34

Foto 4.3.

Bentuk Lahan Perbukitan Karst.

35

Foto 4.4.

Bentuk Lahan Dataran Aluvial .

35

Foto 4.5.

Bentuk Lahan Tubuh Sungai ............

36

Foto 4.6.

Bentuk Lahan Gosong Sungai ..

36

Foto 4.7.

Singkapan breksi Nglanggran

38

Foto 4.8.

Kenampakan mikroskopis Pyroxene Andesite, kiri (nikol silang) dan


kanan (nikol sejajar)..

39

Foto 4.9.

Singkapan batugamping Wonosari

40

Foto 4.10.

Kenampakan mikroskopis Packstone, kiri (nikol silang) dan kanan


(nikol sejajar) ....

Foto 4.11.

41

Singkapan endapan Fluvio Vulkanik Merapi pada LP. 44 dengan


azimuth N190E di desa Srihardono .

42

Foto 4.12.

Kenampakan kekar 43

Foto 5.1.

Sumur bor dangkal yang terletak di sekitar rumah warga ...................

51

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1.

Peta lokasi kejadian likuifaksi di daerah Jogjakarta Klaten


pada saat gempa Yogyakarta

Gambar 1.2.

Peta Administratif Kabupaten Bantul (Tanpa Skala) .

Gambar 2.1.

Metode Spliting (Quatering)

15

Gambar 2.2.

Bagan Alir Penelitian

18

Gambar 3.1.

Jenis-jenis Sungai. 22

Gambar 3.2.

Bangunan yang ambles. 25

Gambar 3.3

Tangki yang muncul ke permukaan tanah karena tekanan ke


atas akibat likuifaksi 25

Gambar 4.1.

Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura


(modifikasi dari Van Bemmelen, 1949) ..

28

Gambar 4.2.

Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa penulis ..

29

Gambar 4.3.

Pola Struktur Geologi Pulau Jawa (menurut Martojoyo) ............ 32

Gambar 4.4.

Pola Pengaliran Dasar (A.D. Howard, 1967)

Gambar 4.5.

Pola Pengaliran Subdendritik (A.D. Howard, 1967) ... 37

Gambar 4.6.

Stratigrafi Daerah Penelitian ...

Gambar 4.7.

Analisa Diagram Roset 44

Gambar 5.1.

Rumus Mencari Ketinggian Airtanah

48

Gambar 5.2.

Peta muka airtanah daerah Srihardono dan sekitarnya ....

50

Gambar 5.3.

Peta Posisi Sumber Gempa di Pulau Jawa ..

51

Gambar 5.4.

Penampang posisi sumber pusat gempa bumi (sumber: USGS) .

52

Gambar 5.5.

Kurva frekuensi yang memperlihatkan jenis sortasi (Folk,

54

37

43

1961)
Gambar 5.6.

Bentuk Kurva dengan Berbagai Kurtosis (Folk, 1961) ... 54

Gambar 5.7.

Hubungan antara Mode, Mean, Median, dan Skewness (Folk,


1961) 54

Gambar 5.8.

Histogram Sampel 1

55

Gambar 5.9.

Histogram Sampel 2

56

Gambar 5.10. Histogram Sampel 3

57

Gambar 5.11. Histogram Sampel 4

58

Gambar 5.12. Histogram Sampel 5

59

Gambar 5.13. Histogram Sampel 6

60

Gambar 5.14. Histogram Sampel 7

61

Gambar 5.15. Diagram distribusi besar butir yang diplot ke dalam diagram
Tsucida (1971) . 66
Gambar 5.16. Peta potensi likuifaksi daerah Srihardono dan sekitarnya ... 68

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1.

Data kedudukan kekar ... 44

Tabel 5.1.

Kedalaman Muka Airtanah Daerah Penelitian 49

Tabel 5.2.

Hasil Analisis Grain Size (metode standar ASTM D 421/63) 53

Tabel 5.3.

Sampel Analisis Granulometri 1

55

Tabel 5.4.

Sampel Analisis Granulometri 2

56

Tabel 5.5.

Sampel Analisis Granulometri 3

57

Tabel 5.6.

Sampel Analisis Granulometri 4

58

Tabel 5.7.

Sampel Analisis Granulometri 5

59

Tabel 5.8.

Sampel Analisis Granulometri 6

60

Tabel 5.9.

Sampel Analisis Granulometri 7

61

Tabel 5.10. Metode-metode pengukuran ukuran butir material (Folk, 1974) 62


Tabel 5.11. Derajat sortasi berdasarkan nilai standar deviasi (Folk, 1974) 62
Tabel 5.12. Skala ukuran butir berdasarkan diameter Phi (Udden-Wenworth,
1922) ..... 63
Tabel 5.13. Hasil Analisa Granulometri (Folk, 1961) .. 64

BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Penelitian


Kegempaan di Indonesia antara tahun 2004-2006 menjadi penting untuk
dicatat, sebagai peristiwa sejarah di abad modern ini dan telah di rasakan masyarakat
luas sebagai bencana alam. Gempa besar yang di antaranya diikuti gelombang besar
tsunami memakan korban ribuan jiwa dari Banda Aceh, Padang, Pangandaran,
Cilacap, hingga selatan Yogyakarta. Perlu diketahui pula, kerugian material yang
entah berapa nilainya serta korban jiwa. Fenomena di atas hanyalah beberapa
peristiwa, di antara sejumlah peristiwa gempa lain yang terjadi di tanah air kita
sebagai tatanan tektonik dari pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia.
Salah satu dampak yang disebabkan oleh gempa bumi adalah fenomena
hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat getaran gempa yang disebut dengan
likuifaksi. Fenomena likuifaksi terjadi ketika lapisan pasir berubah menjadi seperti
cairan sehingga tak mampu menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya.

Gambar 1.1. Peta lokasi kejadian likuifaksi di daerah Jogjakarta Klaten pada saat gempa
Yogyakarta (Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI)

Sebagai contoh, saat gempa bumi yang memicu terjadinya likuifaksi dan
menimbulkan korban jiwa, seperti Niigata (Jepang) 1964, Alaska (USA) 1964, Flores
1992, Maumere 1 Desember 1992, Kobe 1995, Biak 1996, Taiwan 1999, Bengkulu
2000, India 2001, Turki 2002, Aceh dan Nias 26 Desember 2004, Yogyakarta 27 Mei
2006. Mengingat dampak dari fenomena ini, maka perlu dilakukan penelitian yang
lebih terperinci menyangkut potensi likuifaksi di wilayah ini.

I.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah yang diangkat penulis meliputi permasalahan geologi
secara umum dan permasalahan likuifaksi secara khusus.
1. Permasalahan geologi, meliputi jenis dan penyebaran batuan dengan
komposisi mineral-mineralnya.
2. Permasalahan likuifaksi, meliputi:

Faktor-faktor yang dapat meningkatkan potensi terjadinya likuifaksi pada


suatu endapan yaitu jenis endapan, sortasi, ukuran butir endapan serta
posisi letak muka airtanah.

Persebaran potensi likuifaksi.

I.3. Maksud dan Tujuan


Maksud dari penelitian ini adalah sebagai tugas akhir dalam memenuhi
persyaratan akademik guna memperoleh gelar Sarjana Teknik Geologi (S1) Jurusan
Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral, Universitas Pembangunan Nasional
Veteran Yogyakarta.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan kondisi geologi
terhadap penyebaran potensi likuifaksi yang dapat diketahui dari litologi (besar butir,
pemilahan butir dan kesarangan butir), lingkungan pengendapan, posisi kedalaman
muka airtanah dan kegempaan dengan berpedoman pada kaidah ilmu geologi yang
telah diperoleh selama kuliah.

I.4. Lokasi dan Kesampaian


Secara administrasi, lokasi penelitian terletak di daerah Srihardono
Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebelah utara daerah penelitian berbatasan dengan Kabupaten Bantul dan di sebelah
barat berbatasan dengan Kabupaten Gunung Kidul. Daerah penelitian termasuk
dalam Peta Rupa Bumi Digital BAKOSURTANAL. Secara Koordinat UTM
(Universal Transverse Mercator), daerah penelitian terletak pada 427000mE
432000mE (West-East) dan 9118000mN 9124000mN (South-North).
Pencapaian lokasi telitian dapat ditempuh dengan sarana transportasi darat
dengan menggunakan kendaraan roda empat atau roda dua selama kurang lebih 90
menit dan jarak tempuh kurang lebih 30 km. Kondisi jalan aspal baik, namun di
beberapa tempat harus ditempuh dengan berjalan kaki.

Gambar 1.2 Peta Administratif Kabupaten Bantul (Tanpa Skala)


: Lokasi Penelitian

Foto 1.1. Akses jalan menuju Lokasi Penelitian, yang berada di desa Seloharjo

I.5. Hasil Penelitian


Hasil penelitian yang didapatkan :
1. Memberikan informasi geologi dan penyebaran potensi likuifaksi di daerah
penelitian.
2. Peta geologi dan peta potensi likuifaksi.

I.6. Manfaat Penelitian


1. Bagi Keilmuan
Mengetahui potensi likuifaksi berdasarkan analisa data dan kaitanya dengan
kondisi di daerah penelitian.
2. Bagi Institusi dan Pemerintah
Penelitian

ini

diharapkan

dapat

menjadi

bahan

rekomendasi

atau

pertimbangan bagi pemerintah dan instansi terkait.


3. Bagi Masyarakat
Sebagai sumber informasi potensi bahaya likuifaksi yang berada di daerah
sekitar baik yang menguntungkan maupun yang mendatangkan bahaya.

BAB II
METODOLOGI PENELITIAN

II.1. Metode Penelitian


Metodologi mencakup metode, prosedur, dan peralatan yang digunakan
dalam penelitian. Metode penelitian menguraikan tentang cara yang ditempuh dalam
penyelesaian penelitian, meliputi pengamatan lapangan, pengumpulan data geologi,
pengambilan contoh batuan dan endapan tanah, pengambilan foto singkapan batuan
dan endapan tanah, analisis data serta cara penafsiran dan penyimpulan hasil
penelitian. Prosedur diuraikan tahapan atau urutan pelaksanaan penelitian secara
rinci. Peralatan yang digunakan merupakan alat-alat pengumpulan data baik
lapangan maupun laboratorium.
Data geologi diambil dengan melaksanakan pengukuran kedudukan lapisan
batuan menggunakan kompas geologi, deskripsi lapangan batuan pada buku catatan
lapangan, pencatatan koordinat secara universal transverse mercator (UTM) serta
ketinggiannya (elevasi) dengan global positioning system (GPS) dan pengambilan
foto, kemudian dilanjutkan dengan analisis batuan secara megaskopis maupun
petrografis, analisis sruktur geologi dan analisis-analisis yang berkaitan dengan studi
likuifaksi yang diperoleh di sekitar area penelitian.
Terhadap data di atas kemudian dilakukan analisis, sehingga dapat
ditentukan kondisi geologi, kondisi hidrogeologi dan kaitan antara geologi terhadap
studi likuifaksi daerah penelitian.

II.2. Tahapan Penelitian


Pelaksanaan dan pencapaian tujuan penelitian lapangan dibagi menjadi empat
tahapan-tahapan penelitian, yaitu :
a. Tahap persiapan
b. Tahap pengumpulan data
c. Tahap analisa data
d. Tahap pembuatan peta

II.2.1. Tahap Persiapan


Penelitian memerlukan sarana fasilitas pendukung yang digunakan untuk
memperlancar penelitian. Fasilitas dan sarana pendukung tersebut antara lain :

Kelengkapan administrasi

Pemilihan judul dan diskusi dengan dosen-dosen pembimbing

Menyusun kerangka kerja dan menafsirkan geologi suatu daerah dengan


memanfaatkan peta yang sudah ada berdasarkan penafsiran peta topografi dan
penentuan jenis dan sumber data.

Merencanakan lintasan kerja untuk mengumpulkan data dengan melakukan


pengamatan yang mencakup seluruh batuan dari yang tertua hingga yang
termuda, serta melewati struktur geologi dan fenomena geomorfologi yang
diperkirakan ada di sekitar daerah penelitian.

Mempertimbangkan kondisi aspek litologi, aspek kegempaan, dan posisi


permukaan airtanah dangkal untuk memperkirakan daerah telitian dapat
berpotensi bahaya likuifaksi karenanya perlu dilakukan penelitian yang lebih
terperinci menyangkut kejadian bahaya likuifaksi di wilayah ini.

II.2.1.1. Studi Pustaka


Studi pustaka dari peneliti terdahulu merupakan hal yang penting dalam tahap
awal penelitian untuk mengumpulkan data-data. Melalui kajian pustaka dan laporanlaporan hasil peneliti terdahulu dapat digunakan sebagai referensi atau acuan
pembuatan laporan skripsi sehingga penulis mengetahui gambaran umum kondisi
geologi daerah penelitian.
Akses internet dilakukan untuk mendapatkan atau melengkapi data yang tidak
didapatkan dari akses perpustakaan serta penyiapan peta untuk lokasi yang sesuai,
persiapan peralatan, koordinasi, kajian pustaka atau studi hasil penelitian terdahulu,
survei pendahuluan, dan penyusunan rencana kerja secara detail.
Walaupun banyak cara atau metode dalam melakukan evaluasi potensi
likuifaksi di suatu daerah seperti yang sudah diperkenalkan oleh Seed dan Idris
(1971) serta Seed drr. (1983), dalam penelitian ini evaluasi dibatasi terhadap
kerentanan likuifaksi (liquefaction susceptibility).
Likuifaksi adalah hilangnya kekuatan tanah akibat kenaikan tegangan airpori
dan turunnya tekanan efektif dari lapisan tanah yang timbul akibat dari beban siklis
dinamis. Pada lapisan tanah, beban siklis dinamis terjadi akibat rambatan gelombang
gempa bumi tektonik. Seed et al (1975), rnenyatakan bahwa likuifaksi adalah proses
perubahan kondisi tanah pasir yang jenuh air menjadi cair akibat meningkatnya
tekanan airpori yang harganya menjadi sama dengan tekanan total oleh sebab
terjadinya beban dinamik, sehingga tegangan efektif tanah menjadi nol.
Ada beberapa faktor yang penting untuk mengkaji proses kejadian bencana
alam likuifaksi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah sejarah kejadian likuifaksi,
lingkungan pengendapan, litologi (besar butir, pemilahan butir, kesarangan butir,
bentuk butir, densitas), posisi kedalaman airtanah dangkal, kegempaan (jarak titik
pusat gempa bumi (magnitudo) (Lumban Batu, 2004).

Selanjutnya, untuk menganalisis potensi likuifaksi dilakukan prosedur


berikut:

Menganalisis jenis lapisan sedimen dan lingkungan pengendapannya. Hal ini


dilakukan dalam identifikasi deskripsi lapisan sedimen menyangkut sifat fisik
(warna, kandungan fosil, kandungan lempung, kandungan mineral, besar
butir, bentuk butir, struktur, kekompakan, dan sifat fisik lainnya).
Berdasarkan hasil pemerian tersebut kemudian dilakukan pengelompokan
sesuai dengan lingkungan pengendapannya.

Menentukan kedalaman permukaan airtanah dangkal. Kedalaman permukaan


airtanah dangkal dapat diperoleh dari pengukuran sumur penduduk.

Melakukan pengamatan khusus terhadap lapisan pasir jenuh air yang


mencakup pemilahan butir, besar butir, dan kandungan lempungnya, serta
jenis batuan di daerah telitian.

Melakukan analisis kisaran besar butir endapan pasir. Likuifaksi biasanya


terjadi pada endapan pasir dengan kisaran butir tertentu.

Mengidentifikasi lajur sumber gempa bumi dan menggambarkan sebaran titik


pusat gempa.

Memetakan tingkat potensi likuifaksi.

II.2.1.2. Penyusunan Proposal


Tahap penyusunan proposal penelitian ini dilakukan penulis sebelum
melakukan penelitian di Daerah Srihardono, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul,
Daerah Istimewa Yogyakarta. Maksud dari penyusunan proposal tersebut adalah
memberitahu topik penelitian yang akan dibahas sesuai atau tidak dengan
permasalahan yang ada dan telah disetujui oleh dosen pembimbing dan telah
terdaftar pada STU Kolokium, Jurusan Teknik Geologi, Fakultas Teknologi Mineral,
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.

II.2.1.3. Observasi Lapangan


Observasi lapangan bertujuan untuk mengetahui dan mengamati kondisi dan
lokasi sebenarnya, menentukan persiapan yang akan dilakukan dalam pengambilan
data di lapangan yang akan dijadikan bahan acuan dalam melaksanakan penelitian
dan penulisan laporan. Seperti penentuan titik pengamatan dan jalur lintasan pada
peta dasar dengan skala 1:25.000, penentuan lokasi sumur, dan mencari data di
daerah telitian. Tahap ini dilaksanakan pada saat kegiatan pemetaan geologi.

II.2.1.4. Persiapan Alat


Dalam melakukan penelitian memerlukan sarana fasilitas pendukung yang
digunakan untuk memperlancar penelitian. Alat dan bahan penelitian yang digunakan
adalah:
1. Sarana pengamatan:
Kompas geologi, palu geologi, kaca pembesar (loupe), meteran atau tali ukur,
komparator butir, larutan HCl 0,1 N, dan kantong sampel.
2. Sarana perekam:
Peta topografi skala 1:25.000, buku catatan lapangan, GPS

(Global

Positioning Sistem) Garmin 60 CSX, dan kamera.


3. Alat tulis: pensil 2B, pensil warna, rapidograph, busur derajat, spidol OHP,
clipboard, kertas HVS, kertas milimeter, kertas kalkir, dan penggaris.
4. Komputer dengan Software yaitu MS Office, Arcview 3.3, dan Corel Draw
X4.

II.2.2. Tahap Pengumpulan Data


Pada tahapan penelitian ini dilakukan pencarian dan pengumpulan data.
II.2.2.1. Data Primer
Data primer adalah merupakan langkah kerja untuk mengumpulkan data
lapangan pada lokasi penelitian, yaitu data permukaan yang diperoleh dari hasil
observasi lapangan dan pengukuran langsung di lapangan guna menunjang serta
melengkapi data geologi. Semua data yang dijumpai di lapangan direkam dengan
tulisan dalam buku catatan lapangan, baik data yang dilihat secara langsung berupa
kenampakan struktur sedimen ataupun data yang diperoleh dengan pengukuran.

a. Pengukuran data lapangan

Kedudukan lapisan batuan (jurus dan kemiringan)

Struktur geologi (data kekar)

Kedalaman muka airtanah

b. Pengambilan sampel :

Pengambilan sampel batuan antara lain untuk melengkapi deskripsi fisik


batuan dengan analisis petrografi dan analisis paleontologi.

Pengambilan sampel tanah antara lain untuk keperluan analisis grain size dan
analisis granulometri.

c. Pengambilan foto singkapan, batuan, dan kondisi geomorfologi.

d. Pemetaan permukaan :

Pemetaan geologi, dilakukan untuk mendapatkan data geologi menyangkut


kondisi geologi berupa interpretasi geomorfologi, litologi, perbedaan satuan
batuan, urutan stratigrafi maupun struktur geologi di daerah penelitian.

Pemetaan muka airtanah, dilakukan dengan mengambil data secara random


dari sumur dangkal/gali penduduk mewakili seluruh wilayah penelitian,
meliputi kedalaman sumur, ketinggian bibir sumur, pengukuran elevasi

topografi, kemudian melalui perhitungan dari data-data tersebut diperoleh


elevasi muka airtanah yang digunakan untuk pembuatan peta arah aliran
airtanah di daerah penelitian.

II.2.2.2. Data Sekunder


Data sekunder adalah data pendukung yang diperoleh dari beberapa instansi
yang terkait dengan topik penelitian. Data sekunder yang diperoleh adalah:
a. Peta Topografi daerah penelitian sebagai peta dasar dengan skala 1: 25.000
b. Peta Geologi Regional daerah telitian dan sekitarnya
c. Peta Posisi Sumber Gempa Bumi di Pulau Jawa oleh Satyana.A.H, 2005,
2007, Untung.M. 1978, dll.

II.2.3. Tahap Analisa Data


Analisis data merupakan hasil dari tahapan berupa data pengamatan dan
pengujian laboratorium.

II.2.3.1. Pengamatan Laboratorium


Tahap pengolahan data ini merupakan tahapan setelah pengambilan data
observasi lapangan dilakukan, dimana tahap pengolahan data ini terdiri atas:

Pengamatan Petrografi
Analisa

sayatan

tipis

batuan

dengan

mikroskop

polarisator

untuk

mendapatkan data berupa komposisi dan ciri fisik batuan secara mikroskopis,
sehingga dapat diperoleh penamaannya sesuai dengan klasifikasi Fischer, 1954. Data
sampel batuan dilakukan analisa laboratorium seperti analisa petrografi menurut
Williams, 1954 untuk jenis batuan volkanik analisa petrografi ini dilakukan guna
mengetahui nama batuan secara mikroskopis. Tujuan dari hasil analisis sayatan tipis
ini adalah untuk dasar pembuatan satuan batuan peta geologi.

Pengamatan Paleontologi
Pengamatan ini bertujuan untuk menentukan umur relatif batuan dan

menentukan lingkungan pengendapan dari formasi yang ada pada daerah telitian dari
kehadiran fosil Foraminifera Plankton dan Foraminifera Bentos berdasarkan kisaran
umur relatif menurut W.H. Blow, 1969 dan kisaran zona bathymetri menurut
Phleger, 1951. Jika fosil tidak ditemukan, penentuan umur relatif mengikuti peneliti
terdahulu.

II.2.3.2. Pengujian Laboratorium

Analisis Grain Size


Test ini dilakukan untuk mengetahui gradasi dari material dan dilaksanakan

baik dengan menggunakan analisa saringan. Test ini merupakan penentuan


kuantitatif dari distribusi ukuran butir 0,075 mm (tertahan saringan No. 200) yang
didapatkan dari penyaringan. Cara-cara pelaksanaan dilakukan dengan mengikuti
standar ASTM D 421/63.
Peralatan yang digunakan :
1. Neraca dengan ketelitian 0,01 gram.
2. Satu set saringan dengan No. 4, 6, 8, 12, 16, 20, 40, 80, 100, 200, PAN.
3. Oven pemanas/heater.
4. Alat pemisah contoh.
5. Mesin pengguncang saringan.
6. Talam-talam.
7. Kuas, sikat kuningan, sendok.

Prosedur pelaksanaan :
1. Benda uji dikeringkan dalam oven/heater.
2. Saringan benda uji lewat ukuran saringan dengan ukuran saringan paling
besar ditempatkan paling atas. Saringan diguncang dengan mesin
pengguncang selama 15 menit.
3. Benda uji yang tertahan pada masing-masing saringan ditimbang.

Perhitungan :

Berat di atas = (berat mess + isi) berat mess

Jumlah berat di atas = penjumlahan berat di atas tiap-tiap mess secara


kumulatif

Persen di atas = berat di atas tiap-tiap mess : berat di atas 100 %

Persen melalui = 100% - persen di atas

Melakukan pengujian laboratorium terutama ditujukan untuk mendapatkan


kisaran bentuk dan ukuran butir endapan pasir. Likuifaksi biasanya terjadi pada
endapan pasir dengan kisaran butir tertentu. Metode yang dilakukan untuk analisis
besar butir adalah analisis ayakan kering (dry sieved analyzis).

Analisis Granulometri
Maksud dari analisis granulometri adalah memisahkan fraksi butiran pasir

pada ukuran (diameter) tertentu.


Adapun tujuan dari analisis ini adalah:
1. Menentukan harga-harga quartil, median, diameter, koefisien sortasi, skewness
dan kurtosis.
2. Menafsirkan lingkungan pengendapan.

Dalam analisis digunakan alat sebagai berikut:


1. Sampel spliter
2. Mesin pengayak
3. Ayakan menurut skala wentworth
4. Tabung gelas/kantong sampel
5. Timbangan
6. Buku catatan
7. Kertas grafik
8. Kalkulator

Cara kerja di laboratorium terdiri dari beberapa tahap, yaitu:

Sampel splitting
Untuk mendapatkan contoh pasir yang representatif dapat mewakili seluruh

fraksi butiran untuk dianalisis maka dilakukan sampel splitting, yaitu: sampel yang
diperoleh dari lapangan dituangkan secara hati-hati ke dalam sampel splitter secara
uniform. Splitting ini dilakukan terus-menerus sampai berat contoh untuk analisis
sekitar 50 gr atau 100 gr (dalam percobaan ini digunakan 100 gr). Cara
menggunakan splitting dengan metode quatering, yaitu cara splitting dengan
menggunakan karton/kayu yang disilangkan saling tegak lurus dengan corong.

Gambar 2.1. Metode Spliting (Quatering)

Contoh pasir dituangkan dengan hati-hati dan uniform melalui corong yang
diletakkan di atas persilangan karton, maka contoh pasir tadi akan terbagi menjadi
empat bagian sesuai dengan kwadran dari persilangan karton tersebut sama banyak.
Contoh pasir dari kw I dicampur dengan kw III atau kw II dicampur dengan kw IV.
Salah satu percampuran ini digunakan sebagai analisis.

Hasil dari splitting ini

kemudian ditimbang sesuai dengan berat yang diinginkan.

Pengayakan
Sebelum pengayakan dilakukan, semua jaringan yang akan digunakan harus

dibersihkan terlebih dahulu dari kotoran atau butir-butir yang menempel dalam
kawat saringan. Cara membersihkannya dengan menyikat memakai kuas atau
menelungkupkan saringan tersebut kemudian diketuk berkali-kali secara merata.
Saringan ditumpuk secara berurut mulai dari bawah yang terkecil skala meshnya
dengan bottom pan sebagai alasnya, kemudian ayakan yang telah disusun tersebut
dipasang pada mesin pengaya, contoh dituangkan pada ayakan yang teratas lalu
ditutup. Mesin pengayak kemudian dijalankan.

Penyusunan fraksi dan penimbangan

Pengambilan fraksi butir dilakukan mulai dari saringan terkasar sampai yang
tertampung pada bottom pan. Pengambilan fraksi dilakukan dengan menuangkan
butir-butir yang tertampung disaringan dengan menelungkupkan saringan itu di atas
lembaran kertas putih, kemudian mengetuknya secara seragam dan menyikat
saringan dengan kuas. Selanjutnya fraksi butir yang diperoleh ditimbang dan
disimpan dalam tabung gelas/ kantong plastik.

Pencatatan dan pembuatan grafik


Hasil dari penimbangan fraksi butir dicatat pada catatan dengan kolom yang

berisi, antara lain:


1. Nomor urut
2. Nomor mesh ayakan
3. Diameter ayakan
4. Ukuran butir yang tertampung
5. Berat masing-masing fraksi
6. Prosentase berat masing-masing fraksi terhadap seluruhnya
7. Frekuensi

kumulatif,

yaitu

frekuensi

yang

diperoleh

dengan

cara

menambahkan secara terus-menerus dari frekuensi yang kasar sampai yang


halus.
8. Dari hasil-hasil tersebut di atas dibuat grafik histogram dengan kertas
milimeter dan grafik kumulatif dengan kertas semi log.

II.2.4. Tahap Pembuatan Peta


Tahap ini disusun berdasarkan data primer maupun sekunder, hasil
pengamatan dan penelitian di lapangan serta analisis di laboratorium yang disajikan
dalam bentuk peta guna memperjelas laporan penelitian. Peta peta yang dibuat
berdasarkan data yang ada adalah :
1. Peta Geologi
2. Peta Potensi Likuifaksi

STUDI PUSTAKA
PROPOSAL
OBSERVASI LAPANGAN
PERSIAPAN ALAT
PENGUMPULAN DATA
DAdaDATADATA

1.
2.
3.
4.

DATA PRIMER
Data Geologi
Data Muka Airtanah
Sampel Batuan
Sampel Tanah

1.
2.
3.

DATA SEKUNDER
Peta Geologi Regional
Peta Topografi 1 : 25.000
Peta Posisi Sumber
Gempa Bumi

ANALISA DATA

PENGAMATAN LABORATORIUM
1. Petrografi
2. Paleontologi

PENGUJIAN LABORATORIUM
1. Analisis Grain Size
2. Analisis Granulometri

PEMBUATAN PETA
1.
2.

Peta Geologi
Peta Potensi Likuifaksi

PEMBAHASAN
1.
2.

Kondisi Geologi Daerah Penelitian


Penentuan Wilayah Tingkat Potensi Likuifaksi

KESIMPULAN

Gambar 2.2. Bagan Alir Penelitian

BAB III
KAJIAN PUSTAKA

III.1. Dasar Teori


III.1.1. Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran yang dirasakan dipermukaan bumi yang
disebabkan oleh gelombang-gelombang seismik dari sumber gempa di dalam lapisan
kulit bumi. Pusat atau sumber gempa bumi yang letaknya di dalam bumi disebut
hiposentrum. Daerah di permukaan bumi ataupun di dasar laut yang merupakan
tempat pusat getaran bumi merambat disebut episentrum.
Gempa bumi berdasarkan bentuk episentrumnya terdiri dari gempa linier jika
episentrum berbentuk garis contohnya gempa tektonik karena patahan dan gempa
sentral jika episentrumnya berbentuk titik contohnya gempa vulkanik dan gempa
runtuhan.
Gempa bumi berdasarkan kedalaman hiposentrum terdiri dari gempa bumi
dalam, menengah dan dangkal. Gempa bumi dalam adalah gempa bumi yang
hiposentrumnya berada lebih dari 300 km di bawah permukaan bumi. Gempa bumi
dalam pada umumnya tidak terlalu berbahaya. Tempat yang pernah mengalami
adalah dibawah laut Jawa,laut Sulawesi,dan laut Flores. Gempa bumi menengah
adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada antara 60 km sampai 300 km di
bawah permukaan bumi.gempa bumi menengah pada umumnya menimbulkan
kerusakan ringan dan getarannya lebih terasa. Tempat yang pernah terkena antara
lain : sepanjang pulau Sumatera bagian barat, pulau Jawa bagian selatan, sepanjang
teluk Tomini, laut Maluku, dan kepulauan Nusa Tenggara. Gempa bumi dangkal
adalah gempa bumi yang hiposentrumnya berada kurang dari 60 km dari permukaan
bumi. Gempa bumi ini biasanya menimbulkan kerusakan yang besar. Tempat yang
pernah terkena antara lain : pulau Bali, pulau Flores, Yogyakarta, dan Jawa Tengah.

Gempa bumi berdasarkan kekuatan gelombang atau getaran gempanya terdiri


atas gelombang primer, gelombang sekunder dan gelombang panjang. Gelombang
primer (gelombang lungitudinal) adalah gelombang/getaran yang merambat di tubuh
bumi dengan kecepatan antara 7-14 km/detik. getaran ini berasal dari hiposentrum.
Gelombang sekunder (gelombang transversal) adalah gelombang atau getaran yang
merambat, seperti gelombang primer dengan kecepatan yang sudah berkurang, yakni
4-7 km/detik. Gelombang sekunder tidak dapat merambat melalui lapisan cair.
Gelombang panjang adalah gelombang yang merambat melalui permukaan bumi
dengan kecepatan 3-4 km/detik. Gelombang ini berasal dari episentrum dan
gelombang inilah yang banyak menimbulkan kerusakan di permukaan bumi.
Gempa bumi menurut faktor penyebabnya terdiri atas gempa bumi vulkanik
(gunung api) dan gempa bumi tektonik. Gempa bumi vulkanik terjadi akibat adanya
aktivitas magma, yang biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila
keaktifannya semakin tinggi maka akan menyebabkan timbulnya ledakan yang juga
akan menimbulkan terjadinya gempabumi. Gempa bumi tersebut hanya terasa di
sekitar gunung api tersebut. Gempa bumi tektonik adalah gempa bumi yang di
sebabkan oleh dislokasi atau perpindahan akibat pergesaran lapisan bumi yang tibatiba terjadi pada struktur bumi, yakni adanya tarikan atau tekanan. Pergeseran lapisan
bumi ada 2 macam yaitu vertikal dan horizontal. Gempa bumi ini disebabkan oleh
adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran lempeng tektonik secara mendadak yang
mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil hingga yang sangat besar. Gempabumi
ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di bumi, getaran gempa bumi
yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi. Teori dari tectonic plate
(lempeng tektonik) menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan,
sebagian besar area dari lapisan kerak itu akan hanyut dan mengapung di lapisan
seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan sehingga berpecah-pecah dan
bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa
tektonik. Tatanan tektonik dari pertemuan tiga lempeng besar yaitu lempeng Eurasia,
lempeng Pasifik dan lempeng Indo-Australia, ketiga lempeng tersebut menjepit
wilayah Indonesia dan bergerak menekan ke dalam sebagai konsekuensi Indonesia
berada di lingkaran cincin api (ring of fire).

III.1.2. Tanah
Pada mulanya bumi berupa bola magma cair yang sangat panas. Karena
pendinginan, permukaannya membeku, maka terjadi batuan beku oleh proses fisika
(panas/dingin), membeku/mencairnya), batu hancur menjadi butir-butir tanah
(sifatnya tetap seperti batu aslinya : kerikil, pasir, lanau). Oleh proses kimia (migrasi,
hidrasi, oksidasi) batu lapuk, sehingga terjadi tanah dengan sifat berubah dari batuan
aslinya.
Oleh proses alam, proses perubahan dapat bermacam-macam dan berulang.
Batu menjadi tanah karena pelapukan dan penghancuran. Tanah dapat menjadi batu
lagi karena pemadatan, sedimentasi, mencair kembali. Batu bisa menjadi batuan jenis
lain karena panas, tekanan, dan larutan.

III.1.3. Hidrogeologi
Hidrogeologi adalah suatu studi tentang air yang mempelajari distribusi
maupun pergerakan airtanah pada suatu media batuan. Dengan kata lain hidrogeologi
adalah studi tentang interaksi antara material - material geologi beserta proses
prosesnya dengan air khususnya airtanah (Fetter, 1994).

III.1.3.1. Kondisi Aliran Sungai


Air hujan yang jatuh lebih banyak meresap kebawah permukaan berfungsi
sebagai airtanah, dan sebagian mengalir dipermukaan misalnya di sungai sebagai air
permukaan.
Posisi muka airtanah terhadap permukaan bisa menyebabkan terjadinya
penambahan oleh air permukaan terhadap airtanah yang disebut influent atau
sebaliknya bila airtanah mengisi air permukaan disebut effluent. Sungai influent atau
losing stream, jika aliran air permukaan sebagai pemberi pada airtanah, sedangkan
sungai effluent atau gaining stream, jika airtanah sebagai pemberi pada aliran air
permukaan sungai, hal ini karena disebabkan karena permukaan airtanah lebih tinggi
daripada permukaan sungai sehingga airtanah mengisi air sungai, Suharyadi (1984) :

Gambar 3.1. Jenis jenis Sungai Berdasarkan Muka Airtanah


(Suharyadi,1984)

III.1.3.2. Muka Airtanah


Kedudukan muka airtanah yang diketahui kedalamannya dari permukaan
tanah pada suatu tempat, akan mempunyai ketinggian tertentu dari muka air laut. Jika
ketinggian muka airtanah dari muka air laut ini dijumpai pada tempat lain, maka
akan didapatkan kontur muka airtanah dengan harga equipotensial tertentu, sehingga
suatu kontur airtanah mempunyai harga equipotensial yang berbeda dengan kontur
lain. Arah aliran airtanah dianggap tegak lurus dengan kontur airtanah.
Pada akhirnya, kombinasi dari keduanya, yaitu kontur airtanah dan arah
aliran airtanah akan menghasilkan suatu jaring - jaring dari aliran airtanah. Kegunaan
dari jaring-jaring aliran airtanah adalah untuk mengetahui arah aliran airtanah.

Kondisi tanah yang berpotensi terjadinya likuifaksi adalah tanah yang


memiliki permukaan air tanah dekat dengan permukaan tanah. Lapisan tanah yang
tak jenuh air diatas permukaan air tanah tidak akan terlikuifaksi.
Hal ini menunjukkan bahwa lapisan tanah yang berada di permukaan tanah
yang tidak mungkin terendam air, maka tidak mungkin terjadi likuifaksi. Untuk
lahan-lahan seperti itu secara umum tidak perlu untuk dievaluasi potensi likuifaksi.

III.1.3.3. Aliran Muka Airtanah


Aliran airtanah sangat bergantung oleh gaya gravitasi, karena kecenderungan
arah aliran airtanah akan bergerak dari tempat yang tinggi ke dataran yang lebih
rendah. Aliran airtanah ini dianggap tegak lurus terhadap garis ketinggian muka
airtanah.
Airtanah bergerak dalam bentuk aliran kesetimbangan. Aliran airtanah dapat
dibagi menjadi dua aliran, yaitu laminer dan aliran turbulen.
Aliran laminer merupakan aliran yang partikel partikel airnya bergerak
sejajar dengan kecepatan yang relatif lambat. Sedangkan lairan turbulen merupakan
aliran yang partikel partikel airnya bergerak secara berputar dan memiliki
kecepatan yang besar. Akan tetapi aliran airtanah bergerak secara leminer.

III.1.4. Likuifaksi
Keberadaan gunung api selama erupsi telah menebarkan letusannya pada
tubuh hingga disekitar kaki lereng, bilamana terjadi hujan maka diikuti proses
pengangkutan, material tersebut kemudian meluncur, menyebar dan mengendap ke
daerah yang lebih rendah sebagai lahar dan fluvio-vulkanik. Wilayah Yogyakarta
tersusun oleh sebaran fluvio-vulkanik dan endapan alluvial sungai. Material vulkanik
merapi yang tersebar di wilayah ini pada umumnya masih relatif muda dan bersifat
mudah lepas butirannya, maka dari itu mudah untuk bergerak terlebih di saat jenuh
air kemudian terpicu goncangan gempa sehingga terjadi likuifaksi.

III.1.4.1. Pengertian

Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat


getaran gempa. Lapisan pasir berubah menjadi seperti cairan sehingga tak
mampu menopang bebab bangunan di dalam atau di atasnya.

Suatu proses hilangnya kekuatan geser tanah akibat kenaikan tegangan air
pori tanah yang timbul akibat beban siklis (cyclic mobility).

Hal ini dapat terjadi pada suatu deposit tanah yang tidak kohesif
(cohesionless) dan jenuh air (saturated) menerima beban siklik dengan
kondisi pembebanan undrained.

III.1.4.2. Faktor-faktor Penyebab Likuifaksi

Lapisan tanah berukuran butir pasir atau lanau.

Keseragaman butir dan susunan gradasi butir.

Bentuk butir membundar.

Tidak memiliki ikatan antar butir (cohesionless).

Massa butiran jenuh air.

Lapisan bersifat lepas (tidak padat).

III.1.4.3. Dampak Dari Terjadinya Likuifaksi


Likuifaksi hanya terjadi pada tanah jenuh air, sehingga kedalaman muka air
tanah akan mempengaruhi potensi terhadap likuifaksi. Potensi terhadap likuifaksi
akan menurun dengan bertambah dalamnya muka airtanah. Fenomena likuifaksi
terjadi seiring terjadinya gempa bumi. Secara visual peristiwa likuifaksi ini ditandai
munculnya lumpur pasir di permukaan tanah berupa semburan pasir (sand boil),
rembesan air melalui rekahan tanah, atau bisa juga dalam bentuk tenggelamnya
struktur bangunan di atas permukaan, penurunan muka tanah dan perpindahan
lateral. Evaluasi potensi likuifaksi pada suatu lapisan tanah dapat ditentukan dari
kombinasi sifat-sifat tanah (gradasi butiran dan ukuran butir), lingkungan geologi
(proses pembentukan lapisan tanah, sejarah kegempaan, kedalaman muka air tanah).

Likuifaksi telah banyak menjadi penyebab dari hancurnya bangunan struktur


di beberapa kejadian gempa bumi. Berdasarkan simulasi yang dilakukan di Jepang,
goncangan akibat gempa, membuat bangunan diatasnya ambles (Gambar 3.1),
sedangkan benda di dalam tanah seperti tangki minyak muncul ke permukaan
(Gambar 3.2). Seperti yang terjadi di Kota Cilacap, yang berdekatan dengan pantai,
yaitu tangki Pertamina dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang muncul ke
permukaan tanah pasca kejadian gempa.

Gambar.3.2. Bangunan yang ambles karena hilangnya daya dukung tanah akibat
likuifaksi

Gambar.3.3. Tangki yang muncul ke permukaan tanah karena tekanan ke atas akibat
likuifaksi
Selain hal di atas, beberapa fenomena likuifaksi yang pernah ditemui di
Indonesia di kawasan pascagempa, diantaranya berupa semburan pasir yang
menyumbat sumur artesis/gali seperti di Bantul, dan perpindahan lateral pada
permukaan datar yang berupa retakan seperti di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta.
Ada pula longsoran lereng tanah, kegagalan pondasi jembatan (loss of bearing
capacity), dan bangunan ambles (ground settlement).

III.1.4.4. Langkah-langkah untuk mengurangi potensi likuifaksi


Pemadatan
Salah satu penyebab terjadinya likuifaksi adalah banyaknya rongga atau pori
tanah yang dapat diisi oleh air, sehingga air yang mengisi rongga tersebut akan
mendesak butiran tanah pada saat mengalami getaran.
Apabila tanah semakin padat maka rongga atau pori pada tanah semakin
berkurang maka semakin berkurang pula jumlah air yang dapat menyebabkan
likuifaksi tersebut.

Drainase
Pada lahan yang tidak memiliki saluran drainase yang memadai, air akan

terus tergenang atau minimal sekali terus berada dalam pori-pori tanah. Air yang
berada dalam pori-pori tanah ini sangat berbahaya dalam meningkatkan potensi
likuifaksi pada tanah ketika terjadinya gempa.
Oleh karena itu pada lahan yang akan dibangun sangat penting diberikan
saluran drainase yang memadai untuk mengalirkan air agar tidak tergenang atau terus
berada dalam pori tanah.
Mengurangi beban bangunan
Mengurangi beban bangunan dapat dilakukan dengan cara mengganti bahan
bangunan yang berat menjadi bahan yang ringan. Saat ini sudah banyak diproduksi
bahan bangunan ringan. Bata ringan, baja ringan, sampai dengan genteng ringan
sangat baik digunakan untuk pencegahan likuifaksi.

BAB IV
TATANAN GEOLOGI

IV.1. Geologi Regional


IV.1.1. Fisiografi Regional
Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian selatan-timur terbagi menjadi 3
yaitu Zona Gunung Api Tengah, Zona Pegunungan Selatan dan Zona Solo. Zona
Gunung Api Tengah (Kuarter) yang meliputi kawasan Gunungapi Merapi,
Yogyakarta dan Jawa Tengah dan Zona Pegunungan Selatan. Zona Gunung Api
Tengah ditempati oleh kerucut G. Merapi ( 2.968 m). Zona Solo meruapakan Kaki
selatan-timur gunungapi Merapi tersebut merupakan dataran Yogyakarta-Surakarta
( 100 m sampai 150 m) yang tersusun oleh endapan aluvium asal Gunung Merapi.
Di sebelah barat Zona Pegunungan Selatan, dataran Yogyakarta menerus hingga
pantai selatan Pulau Jawa, yang melebar dari Pantai Parangtritis hingga Kali Progo.
Aliran sungai utama di bagian barat adalah Kali Progo dan Kali Opak, sedangkan di
sebelah timur ialah Kali Dengkeng yang merupakan anak sungai Bengawan Solo
(Van Bemmelen, 1949).
Secara garis besar, jalur Pegunungan Selatan dibagi lagi menjadi bagian yang
lebih kecil. Bagian paling selatan yang merupakan perbukitan gamping dengan
bentang alam yang lebih luas daripada Gunung Sewu yang terletak di utaranya,
rangkaian Pegunungan Baturagung, Panggung masif, rangkaian Plopoh dan
rangkaian Kambengan. Diantara kedua bagian besar tersebut terdapat cekungan antar
gunung yaitu Cekungan Wonosari dan Cekungan Baturetno yang dikeringkan
masing-masing oleh Sungai Oyo dan Sungai Solo.

Gambar 4.1. Sketsa peta fisiografi sebagian Pulau Jawa dan Madura (modifikasi
dari Van Bemmelen, 1949)
IV.1.2. Stratigrafi Regional
Stratigrafi Pegunungan Selatan Jawa Tengah pada awalnya diteliti oleh Bothe
(1929,1934), kemudian dikembangkan oleh Sunu Sumosusastro (1956), Baumann.P.
(1974), Sumarsono dan Tutty Ismoyowati (1976) yang secara umum mereka meneliti
stratigrafi dan paleontologi daerah pegunungan Jiwo dan Pegunungan Selatan. Tahun
1977, Wartono Rahardjo dkk, memetakan daerah Klaten dan Jogjakarta termasuk
Pegunungan Selatan dan membagi daerah tersebut berdasarkan Sandi Stratigrafi
Indonesia dengan menggantikan istilah beds menjadi formasi. Pada tahun 1983
dikembangkan studi lebih detil mengenai lingkungan pengendapan sikuen sedimen
Pegunungan Selatan. Penanggalan radiometri batuan bekunya dilakukan oleh R.
Soeria Atmadja dkk. (1991, 1994) dalam kaitan menyusun jejak busur magmatik di
Jawa. Tahun 1992, Suyoto melakukan pendekatan sikuen stratigrafi dalam mengupas
fasies batugamping Pegunungan Selatan Jawa Tengah. Tahun 1994. Budianto Toha
dkk melakukan hal yang sama untuk stratigrafi Pegunungan Selatan secara
keseluruhan.

Gambar 4.2. Tatanan Stratigrafi Pegunungan Selatan dari beberapa penulis.


Secara stratigrafi, urutan satuan batuan dari tua ke muda menurut penamaan
lithostratigrafi menurut Surono, dkk (1992) adalah :
1.

Formasi Wungkal-Gamping
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Wungkal dan G. Gamping, keduanya di

Perbukitan Jiwo. Satuan batuan Tersier tertua di daerah Pegunungan Selatan ini di
bagian bawah terdiri dari perselingan antara batupasir dan batulanau serta lensa
batugamping. Pada bagian atas, satuan batuan ini berupa napal pasiran dan lensa
batugamping.

2.

Formasi Kebo-Butak
Lokasi tipe formasi ini terletak di G. Kebo dan G. Butak yang terletak di

lereng dan kaki utara gawir Baturagung. Litologi penyusun formasi ini di bagian
bawah berupa batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan
aglomerat. Bagian atasnya berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan

sisipan tipis tuf asam. Setempat di bagian tengahnya dijumpai retas lempeng andesitbasal dan di bagian atasnya dijumpai breksi andesit.
3.

Formasi Semilir
Satuan batuan ini diendapkan secara selaras diatas Formasi Butak, tersingkap

baik di Gunung Semilir dekat Peg. Baturagung dan Desa Semilir di utara Gunung
Blencong. Terdiri dari batuapsir tuffan, tuffa lapili, batupasir, tufa, breksi polimik,
batulempung, batulanau dan serpih. Perlapisan beulang-ulang dan perselang-selingan
sangat khas pada formasi ini. Formasi ini diendapkan dengan mekanisme arus
turbidit di lingkungan laut dalam. Berumur Miosen Awal. Di dalam Formasi Semilir
terdapat lenda-lensa breksi andesit dari Formasi Nglanggran. Dari data stratigrafi
hubungan keduanya beda fasies bersilang jari, terutama pada bagian atas Formasi
Semilir dan bagian bawah Formasi Nglanggran.

4.

Formasi Nglanggran
Tersingkap baik di dusun Nglanggran dan Gunung Blencong. Terdiri dari

breksi volkanik dan batupasir tufaan (kasar sedang). Didalam breksi tersebut sering
dijumpai fragmen-fragmen batugamping, tetapi yang paling dominan adalah fragmen
andesit. Terdapat pula sisipan berupa lava andesit dan tuf. Formasi ini diendapkan
dengan sistem sedimen gravity flow di lingkungan laut dalam. Formasi ini berumur
Miosen Awal Miosen Tengah bagian bawah.

5.

Formasi Sambipitu
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan raya

Yogyakarta-Patuk-Wonosari kilometer 27,8. Secara lateral, penyebaran formasi ini


sejajar di sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan Subzona Baturagung,
namun menyempit dan kemudian menghilang di sebelah timur. Ketebalan Formasi
Sambipitu ini mencapai 230 meter. Batuan penyusun formasi ini di bagian bawah
terdiri dari batupasir kasar, kemudian ke atas berangsur menjadi batupasir halus yang
berselang-seling dengan serpih, batulanau dan batulempung. Pada bagian bawah
kelompok batuan ini tidak mengandung bahan karbonat. Namun di bagian atasnya,

terutama batupasir, mengandung bahan karbonat. Formasi Sambipitu mempunyai


kedudukan menjemari dan selaras di atas Formasi Nglanggran.
6.

Formasi Oyo
Lokasi tipe formasi ini berada di K. Oyo. Batuan penyusunnya pada bagian

bawah terdiri dari tuf dan napal tufan. Sedangkan ke atas secara berangsur dikuasai
oleh batugamping berlapis dengan sisipan batulempung karbonatan. Batugamping
berlapis tersebut umumnya kalkarenit, namun kadang-kadang dijumpai kalsirudit
yang mengandung fragmen andesit membulat.

7.

Formasi Wonosari
Formasi ini oleh Surono dkk., (1992) dijadikan satu dengan Formasi Punung

yang terletak di Pegunungan Selatan bagian timur karena di lapangan keduanya sulit
untuk dipisahkan, sehingga namanya Formasi Wonosari-Punung. Formasi ini
tersingkap baik di daerah Wonosari dan sekitarnya, membentuk bentang alam
Subzona Wonosari dan topografi karts Subzona Gunung Sewu. Ketebalan formasi ini
diduga lebih dari 800 meter. Kedudukan stratigrafinya di bagian bawah menjemari
dengan Formasi Oyo, sedangkan di bagian atas menjemari dengan Formasi Kepek.
Formasi ini didominasi oleh batuan karbonat yang terdiri dari batugamping klastik
(berlapis) dan batugamping terumbu. Sedangkan sebagai sisipan adalah napal.
Sisipan tuf hanya terdapat di bagian timur.

8.

Formasi Kepek
Lokasi tipe dari formasi ini terletak di Desa Kepek, sekitar 11 kilometer di

sebelah barat Wonosari. Formasi Kepek tersebar di hulu K. Rambatan sebelah barat
Wonosari yang membentuk sinklin. Batuan penyusunnya adalah napal dan
batugamping berlapis. Tebal satuan ini lebih kurang 200 meter.

9.

Endapan Fluvio Vulkanik Merapi


Endapan permukaan ini sebagai hasil dari rombakan batuan yang lebih tua

yang terbentuk pada Kala Plistosen hingga masa kini. Terdiri dari bahan lepas
sampai padu lemah, berbutir lempung hingga kerakal. Surono dkk. (1992) membagi
endapan ini menjadi Formasi Baturetno (Qb), Aluvium Tua (Qt) dan Aluvium (Qa).
Sumber bahan rombakan berasal dari batuan Pra-Tersier Perbukitan Jiwo, batuan
Tersier Pegunungan Selatan dan batuan G. Merapi.

IV.1.3. Struktur Regional


Zona Pegunungan Selatan merupakan cekungan yang memanjang dengan
arah relatif Barat Timur mulai dari Parangtritis bagian Barat ujung Blambangan
Banyuwangi Jawa Timur. Perkembangan tektoniknya tidak lepas dari interaksi
konvergen antara lempeng Hindia Australia dengan lempeng mikro Sunda.
Pada bagian Utara daerah Pegunungan Selatan berbatasan langsung dengan
jalur gunungapi yang berumur Kuarter. Batas antara jalur Pegunungan Selatan
dangan jalur gunungapi (Zona Solo) merupakan batas sesar turun menangga (Step
fault) yang terbentuk pada Plistosen (Van Bemmelen, 1949).
Geologi Regional Jawa oleh Martojoyo mempunyai 3 arah utama yaitu Pola
Meratus yang berarah Baratdaya-Timurlaut, Pola Jawa-Sakala yang berarah BaratTimur dan Pola Sunda yang berarah Baratlaut-Tenggara. (Gambar 4.3)

Gambar 4.3. Pola Struktur Geologi Pulau Jawa menurut Martojoyo

IV.2. Geologi Daerah Penelitian


IV.2.1. Geomorfologi Daerah Penelitian
Melalui pendekatan mengenai pengenalan berbagai unsur morfologi yang ada
di lapangan dan disesuaikan dengan apa yang ada pada peta topografi/rupa bumi,
serta berpedoman pada peneliti sebelumnya, yakni menurut Van Zuidam (1983)
penulis membagi daerah penelitian menjadi empat satuan bentuk asal, yaitu: bentuk
asal struktural yang terdiri dari bentuk lahan perbukitan homoklin (S21), bentuk asal
denudasional yang terdiri dari bentuk lahan bukit sisa (D3), bentuk asal karst yang
terdiri dari bentuk lahan perbukitan karst (K2), dan bentuk asal fluvial yang terdiri
dari bentuk lahan dataran aluvial (F1), tubuh sungai (F2), dan gosong sungai (F13).

IV.2.1.1. Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Homoklin (S21)


Bentuk lahan ini menempati 15% dari luas daerah penelitian, terletak
dibagian Tenggara, meliputi wilayah Selatan hingga Tenggara. Termasuk desa
Selopamioro, Seloharjo dan sekitarnya. Berdasarkan klasifikasi kemiringan lereng
merupakan topografi perbukitan yang relatif bergelombang dari lereng landai curam. Morfologinya merupakan perbukitan, pola pengaliran yang berkembang pada
bentuk lahan ini adalah jenis ubahan dari dendritik yaitu subdendritik. Ketinggian
25250 mdpl. Satuan ini dikontrol oleh proses erosi dengan litologi breksi vulkanik
dan batupasir tufaan.
S21

Foto 4.1. Bentuk Lahan perbukitan Homoklin di desa


Selopamioro dengan arah N145E

IV.2.1.2. Satuan Bentuk Lahan Bukit Sisa (D3)


Bentuk lahan ini menempati 4% dari luas daerah penelitian, terletak dibagian
Timur dari daerah penelitian. Berada di sebelah timur desa Sriharjo. Berdasarkan
klasifikasi kemiringan lereng merupakan topografi bukit dengan lereng miring.
Morfologinya berupa lereng dengan ketinggian 61 mdpl. Bentuk lahan ini dikontrol
oleh proses pelapukan dan erosi. Satuan ini dikontrol oleh litologi breksi.
D3

Foto 4.2. Bentuk Lahan Bukit Sisa di desa Sriharjo N135E

IV.2.1.3. Satuan Bentuk Lahan Perbukitan Karst (K2)


Bentuk lahan ini menempati 10% dari daerah penelitian, dengan kemiringan
lereng relatif bergelombang dari agak curam - curam. Morfologinya berupa
perbukitan dengan ketinggian antara 250 400 mdpl. Bentuk lahan ini merupakan
hasil dari proses erosi dan pelarutan. Pola pengaliran yang berkembang adalah
multibasinal

K2

Foto 4.3. Bentuk Lahan Perbukitan Karst di desa Seloharjo N 145E


IV.2.1.4. Satuan Bentuk Lahan Dataran Aluvial (F1)
Bentuk lahan ini menempati 60% dari daerah penelitian dengan morfologi
relatif datar hingga landai. Bentuk lahan ini merupakan hasil dari proses erosi oleh
air. Cepatnya erosi dipengaruhi oleh faktor setempat yaitu : kuantitas atau volume air
yang mengalir di permukaan, jenis material (tanah/batuan), topografi atau
kemiringan lereng, kuantitas vegetasi penutup (covered vegetation) dan peranan
manusia (artefak).

F1

Foto 4.4. Bentuk Lahan Dataran Aluvial di desa Selopamioro N155E

IV.2.1.5. Satuan Bentuk Lahan Tubuh Sungai (F2)


Bentuk lahan ini menempati 10% dari daerah penelitian dengan morfologi
relatif datar hingga landai. Bentuk lahan ini merupakan hasil dari proses erosi oleh
air dan dipengaruhi oleh sedimentasi yang diangkut secara efektif oleh air secara
alamiah dengan membentuk pola tertentu.

F2

Foto 4.5. Bentuk Lahan Tubuh Sungai di desa Srihardono N140E

IV.2.1.6. Satuan Bentuk Lahan Gosong Sungai (F13)


Bentuk lahan ini menempati 1% dari daerah penelitian dengan morfologi
relatif datar hingga landai. Bentuk lahan ini merupakan hasil bentukan akibat
pengendapan material sedimen yang di bawa oleh sungai dan terletak di tengahtengah sungai.

F13

Foto 4.6. Bentuk Lahan Gosong Sungai di desa Kebonangun N155E

IV.2.2. Pola Pengaliran Daerah Penelitian


Pola pengaliran adalah kumpulan jalur-jalur pengaliran hingga bagian
terkecilnya pada batuan yang mengalami pelapukan atau tidak ditempati oleh sungai
secara permanen (A.D.Howard 1967).

Gambar 4.4. Pola Pengaliran Dasar (A.D. Howard, 1967)


Pola aliran di daerah penelitian berdasarkan interpretasi dari peta topografi,
dapat dimasukan kedalam pola aliran subdendritik (A.D.Howard 1967).

Gambar 4.5. Pola pengaliran subdendritik (A.D. Howard, 1967)

Pola aliran subdendritik merupakan perkembangan dari pola aliran


dendritik yang membentuk percabangan menyerupai ranting pohon. Pola aliran ini
berkembang karena pengaruh topografi yang sudah miring.

IV.2.3. Stratigrafi Daerah Penelitian


Pengamatan stratigrafi dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai
susunan litologi. Pengelompokan suatu satuan batuan didasarkan atas dominasi
penyebaran suatu batuan dengan kesamaan ciri fisik batuan yang ditemui yaitu
ukuran butir dan warna, dan komposisi, yang terdiri dari 3 satuan batuan dari tua ke
muda :

IV.2.3.1. Satuan Breksi Nglanggran


Satuan breksi tersusun dari breksi gunungapi, aglomerat, tuf, dan batupasir
kasar. Penyebaran satuan batuan ini terletak di bagian Timur - Tenggara daerah
penelitian. Ciri khusus dari satuan batuan ini adalah batuan penyusun utama berupa
breksi dengan material penyusun berupa material vulkanik, tidak menunjukkan
perlapisan yang baik dengan ketebalan cukup besar. Berdasarkan hasil penelitian
Sudarminto (1982) dan Saleh (1977), diketahui bahwa umur satuan batuan ini adalah
Miosen Awal Miosen Tengah bagian bawah.
Deskripsi lapangan : warna segar : kuning, lapuk : kehitaman, masif, ukuran
butir : pasir kasar - bongkah (boulder), derajat pemilahan : terpilah buruk, derajat
pembundaran : subrounded - subangular, kemas : terbuka dan komposisi mineral :
fragmen : andesit, matrik : hornblende, biotit; semen : silika, nama batuan : breksi.

Foto 4.7. Singkapan breksi Nglanggran pada LP. 16 di desa Selopamioro dengan azimuth
foto profil N004E dan foto singkapan N045E

Sayatan batuan beku volkanik, warna abu-abu kehijauan, tekstur vitrophyre


(fenokris tertanam dalam masa dasar gelas, sedikit fine grain plagioklas, dan mineral
opak), bentuk subhedral-anhedral, komposisi mineral terdiri dari :

Plagioklas : (55%), warna putih-abu-abu, relief sedang, kembaran karlsbadAlbit sebagai fenokris (25%) berukuran 0,3-1,5 mm, bentuk subhedralanhedral, An 43 (jenis andesin), sebagai massa dasar (30%) berukuran 0,050,1mm, An43 (jenis andesin), tersebar merata dalam sayatan, di beberapa
bagian memperlihatkan penjajaran mineral.

Piroksen : (20%), hijau muda pucat, abu-abu pucat, relief sedang,


pleokroisme lemah-tidak ada, bentuk subhedral - anhedral, ukuran 0,05-1,3
mm. Hadir sebagai klinopiroksen (Augite) Sebagian besar mineral telah
mengalami ubahan menjadi chlorit. Hadir merata dalam batuan.

Mineral opak : (5%), hitam, isotrop relief tinggi, ukuran pada fenokris 0,050,1mm. hadir sebagai inklusi pada piroksen.

Gelas (20%) : tidak bewarna, pengamatan dengan cross nikol bewarna


gelap, dengan menggunakan keping gips berwarna ungu muda berkabut.
Sebagian besar gelas telah mengalami ubahan menjadi mineral lempung.
Dari hasil analisa sayatan didapat nama fragmen adalah Pyroxene Andesite

(klasifikasi Williams, 1982).

Foto 4.8. Kenampakan mikroskopis Pyroxene Andesite,


kiri (nikol silang) dan kanan (nikol sejajar)

IV.2.3.2. Satuan Batugamping Wonosari


Satuan batugamping Wonosari ini didominasi oleh batuan karbonat yang
terdiri dari batugamping berlapis dan batugamping terumbu. Dengan penyebaran di
wilayah bagian selatan dari daerah penelitian. Ciri khusus dari satuan batuan ini
adalah litologi penyusun berupa batugamping dengan kandungan fosil foraminifera
besar dan kecil yang melimpah, diantaranya Lepidocyclina sp. dan Miogypsina sp.
Berdasarkan kehadiran fosil tersebut, ditentukan umur formasi ini adalah Miosen
Tengah hingga Pliosen. Lingkungan pengendapannya adalah laut dangkal (zona
neritik) yang mendangkal ke arah selatan (Surono dkk, 1992). Satuan batugamping
Wonosari diendapkan secara tidak selaras diatas satuan breksi Nglanggran.
Deskripsi lapangan : warna segar : putih kekuningan, lapuk : putih kehitaman,
masif, ukuran butir : arenite (1/16 2 mm), komposisi : A : koral, M : cangkangcangkang, S : karbonat, batugamping terumbu.

Foto 4.9. Singkapan batugamping Wonosari pada LP 9 di


desa Selopamioro dengan azimuth foto singkapan N325E
dan foto profil N338E

Hasil analisa sayatan tipis berupa batugamping klastik, warna krem, grain
supported, komposisi didominasi oleh butiran fosil dengan sedikit detritus mineral
opak, butiran berukuran 0,1 0,5mm. Dengan komponen penyusun, yaitu:

Fosil : (64%), tidak berwarna (sudah terekristalisasi) kecoklatan, relief


sedang, bentuk sebagian besar pecah (skeletal), bias rangkap ekstrim, berupa
foram planktonik (genus Globorotalia dan Globigerina) foram besar (genus
Nummulites dan Lepidocyclina) dan pecahan ganggang / koral, berukuran
0,11,5mm, hadir merata dalam sayatan.

Mineral opak : (1%) : hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,01-0,1mm,


bentuk membulat-membulat tanggung. Berupa mineral oksida (mangan).

Sparit (20%) : tidak berwarna, relief sedang, berukuran 0,020,3mm, bias


rangkap ekstrim, hadir merata dalam sayatan.

Mikrit (15%) : tidak berwarna, relief bervariasi, berukuran kurang dari


0,02mm, warna interferensi sangat tinggi ekstrim, hadir merata dalam
sayatan.

Nama : Packstone (klasifikasi Dunham, 1962) dan Biosparite (Klasifikasi


R.L. Folk, 1962).
Berdasarkan analisa paleontologi didapatkan fosil Globorotalia mayeri (N9-

N13) dan Globigerina venezuelana (N3-N19), menurut J.A Postuma maka kisaran
umur N9-N13. Menurut W. Mohler/Chusman didapatkan fosil Nummulites italic
(Tab d) Eosen Atas Oligosen Atas dan Lepidocyclina italic (Td f) Oligosen
Atas Miosen Tengah.

Foto 4.10. Kenampakan mikroskopis Packstone,


kiri (nikol silang) dan kanan (nikol sejajar)

IV.2.3.3. Satuan Endapan Fluvio Vulkanik Merapi


Satuan endapan fluvio vulkanik Merapi memiliki hubungan tidak selaras
dengan satuan batuan yang terletak pada perbukitan. Ciri khusus dari satuan ini
adalah penyusun utama berupa material lepas berukuran lempung sampai kerakal
dengan material yang merupakan hasil dari aktivitas vulkanik. Sebagian besar area
satuan ini merupakan area persawahan dan pemukiman penduduk. Satuan endapan
fluvio vulkanik Merapi diendapkan dengan kontak bidang erosional di atas satuan
batugamping Wonosari.

Foto 4.11. Singkapan endapan Fluvio Vulkanik Merapi pada LP. 44 dengan
azimuth N190E di desa Srihardono

Susunan stratigrafi daerah penelitian dapat dilihat pada gambar berikut :

Gambar. 4.6. Stratigrafi Daerah Penelitian

IV.2.4. Struktur Geologi Daerah Penelitian


Secara umum pada daerah penelitian dijumpai adanya struktur geologi berupa
kekar. Struktur-struktur ini teramati dari observasi di lapangan yang memperlihatkan
adanya kekar-kekar pada batuan. Struktur kekar dijumpai setempat setempat pada
daerah telitian dikarenakan kondisi singkapan yang telah mengalami pelapukan
secara intensif akibat kekar kekar tersebut, sehingga kenampakan bidang kekar
yang jelas untuk dapat dilakukan pengukuran juga hanya dapat dilakukan pada
beberapa lokasi pengamatan (lihat Foto 4.11)

Kekar

Foto 4.12. Kenampakan kekar pada Lokasi Pengamatan 18 di desa Selopamioro


dengan arah N165E

Pengukuran bidang kekar dilakukan terhadap 8 struktur kekar dan


menghasilkan data kedudukan kekar (Tabel 4.1).

Tabel 4.1. Data kedudukan kekar

N 265 E /84

N 227 E/82

N 270 E /82

N 220 E/72

N 202 E /74

N 268 E/80

N 150 E /75

N 261 E/82

Dalam penentuan arah tegasan dari arah umum bidang kekar yang
dijumpai, digunakan metoda statistik. Pengeplotan data kedudukan dilakukan ke
dalam diagram roset (gambar 4.7). Dari hasil analisa kekar menggunakan
diagram roset, diketahui arah umum dari kekar-kekar tersebut adalah 265 E.
Arah umum ini didapatkan dengan cara menarik garis tengah dari arah kekar
dengan frekuensi maksimum. Tegasan utama atau 1 yang membentuk kekarkekar tersebut berarah N 235 E, yang didapatkan dengan cara membuat sudut
sebesar 30 berlawanan arah jarum jam dari arah umum. 2 mengarah ke pusat
diagram sehingga tidak dapat tergambar pada diagram. 3 berarah N 145 E, yang
didapatkan dengan cara membuat sudut sebesar 90 berlawanan arah jarum jam
dari tegasan utama atau 1.

Gambar. 4.7. Analisa Diagram Roset

BAB V
PEMBAHASAN

V.1. Geologi dan Potensi Likuifaksi


Likuifaksi merupakan fenomena hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat
getaran gempa. Lapisan pasir berubah menjadi seperti cairan sehingga tak mampu
menopang beban bangunan di dalam atau di atasnya. Syarat-syarat terjadinya
likuifaksi pada suatu wilayah adalah lapisan tanah berupa pasir atau lanau, lapisan
tanah jenuh air dan bersifat lepas (tidak padat). Ketika pasir lepas jenuh mengalami
getaran gempa maka tekanan air pori akan meningkat. Kenaikan ini akan mengurangi
tegangan efektif tanah dan apabila terus berlanjut, maka tegangan efektif akan
menjadi nol sehingga tanah kehilangan kekuatannya, kondisi ini disebut likuifaksi.
Kerugian yang diakibatkan likuifaksi sangat besar, oleh karena itu perlu dibuat suatu
peta potensi likuifaksi pada daerah tertentu terutama yang terletak di daerah berpasir
yang rawan gempa dan memiliki arti strategis tertentu. Penentuan zona potensi
likuifaksi sangat bermanfaat karena membantu para perancang bangunan-bangunan
sipil dalam menentukan lokasi proyeknya.

V.1.1. Litologi
Sifat fisik endapan tanah dapat dikelompokkan menjadi non kohesif dan
kohesif. Endapan tanah non kohesif contohnya pasir yang mempunyai harga c = 0
sedangkan endapan tanah kohesif contohnya lempung. Kohesi dari lempung
diperkirakan disebabkan oleh sifat sifat dari air yang diserap pada permukaan
lempung.
Tanah yang mengalami tekanan mengakibatkan angka pori berkurang dan
merubah sifat-sifat mekanik tanah yang lain, seperti menambah tahanan geser. Berat
tanah yang terendam air disebut berat tanah efektif dan tegangan yang terjadi akibat
berat tanah efektif di dalam tanah disebut tegangan efektif.

Tegangan efektif merupakan tegangan yang mempengaruhi kuat geser dan


perubahan volume atau penurunan tanah. Penurunan muka airtanah akan
menyebabkan kenaikan tegangan efektif pada tanah, dan apabila besarnya tegangan
efektif melampaui tegangan yang diterima tanah sebelumnya, maka tanah akan
mengalami konsolidasi dan kompaksi yang mengakibatkan amblesan tanah pada
daerah konsolidasi normal. Jika tanah dalam keadaan jenuh sempurna, air yang
mengisi ruang pori dapat juga menahan tegangan normal, akibatnya akan terjadi
kenaikan tekanan air pori.
Lapisan tanah yang peka terhadap kejadian likuifaksi umumnya dibentuk
dalam lingkungan geologi Kuarter. Secara spesifik umumnya berhubungan pada
endapan sedimen Kuarter, seperti endapan tanah yang terdapat di dalam aliran
sungai, danau ataupun samudera. Material lapisan tanah yang terbentuk dipengaruhi
oleh proses pergerakan sehingga mengalami pemisahan dan membentuk distribusi
ukuran butir seragam dalam kondisi lepas yang memungkinkan untuk terjadinya
likuifaksi.
Apabila terjadi goncangan maka endapan yang memiliki sifat butiran saling
lepas akan terurai lebih cepat dibandingkan dengan endapan yang memiliki ikatan
antar butirannya. Sehingga potensi terjadinya likuifaksi lebih besar pada endapan
yang berbutir lepas.
Likuifaksi pada umumnya terjadi pada kondisi geologi yang batuannya masih
muda (Kuarter) dengan sifat fisik batuan yang umumnya masih bersifat urai (loose),
belum mengalami kompaksi (unconsolidated) dan jenuh air (water saturated). Pada
daerah penelitian endapan Kuarter tersebut tersusun atas endapan Fluvio Vulkanik.
Endapan ini merupakan endapan yang berpotensi terhadap likuifaksi. Hal tersebut
dikarenakan endapan disusun oleh endapan yang terdiri atas material lepas yang
berukuran lempung hingga kerakal. Hasil analisa data menunjukkan jenis endapan
tersebut tergolong pasir halus - pasir sedang yang didominasi keseragaman butir agak
baik (moderately well sorted).

V.1.2. Hidrogeologi
Daerah penelitian dan sekitarnya dilalui oleh sungai besar yaitu kali Opak dan
kali Oyo yang yang mengalir ke arah selatan. Sebaran muka air tanah di daerah
penelitian dari sumur penduduk dengan kedalaman yang bervariasi, umumnya terdiri
dari material lepas berupa pasir halus hingga pasir kasar sebagai lapisan permeable
dan lempung hingga lanau sebagai lapisan semipermeable. Endapan di daerah ini
dengan distribusi muka airtanah yang dangkal dapat berpotensi terhadap likuifaksi.

V.1.2.1. Muka Airtanah


Berdasarkan data pengukuran kedalaman permukaan airtanah dari sejumlah
24 titik sumur gali, kemudian dibuat peta ketinggian muka air tanah (Gambar 5.2).
Data pengukuran kedalaman permukaan air tanah dangkal dan koordinatnya pada
setiap titik sumur disajikan dalam Tabel 5.1. Dapat diketahui bahwa kedalaman
muka air tanah berkisar antara 3,7 7,9 m dan. Kedudukan permukaan air tanah
dangkal yang terdalam terdapat di lokasi titik sumur 6 disekitar desa Srihardono
bagian tengah daerah penelitian dan yang terdangkal terdapat di lokasi titik sumur 4
di daerah Panjangrejo bagian selatan daerah penelitian. Endapan di daerah ini
bersifat jenuh air dikarenakan posisi kedalaman muka airtanahnya yang dangkal.

Foto 5.1. Sumur bor dangkal (Sumur 4) yang terletak di daerah Gunungpuyuh desa Panjang Rejo
kecamatan Pundong ( A : memperlihatkan posisi sumur dari atas dan B : memperlihatkan posisi sumur
dari samping) dengan arah N250E.

Contoh perhitungan menentukan kedalaman muka airtanah :


1. Lokasi Titik Sumur 6
Kedalaman MAT : b - a
: 4,7 m 1 m = 3,7 m
2. Lokasi Titik Sumur 4
Kedalaman MAT : b - a
: 8,4 m 0,5 m = 7,9 m

Nilai dari ketinggian muka airtanah daerah penelitian akan dibuat peta
sehingga nantinya dapat diketahui arah aliran airtanahnya. Ketinggian muka airtanah
dari 24 sumur dangkal penduduk yang ada pada daerah penelitian berkisar antara 7,1
20,9 meter diatas permukaan laut.

Gambar 5.1. Rumus Mencari Ketinggian Airtanah

Contoh Perhitungan :
1. Lokasi Titik Sumur 4
Ketinggian MAT = Elevasi Kedalaman MAT
= 15 m 7,9 m = 7,1 m
2. Lokasi Titik Sumur 7
Ketinggian MAT = Elevasi Kedalaman MAT
= 25 m 4,1 m = 20,9 m

Tabel 5.1. Kedalaman Muka Airtanah Daerah Penelitian


1
No
LP

2
Lokasi

3
4
Posisi Koordinat
UTM
X (mE)
Y(mN)
428678 9119743

5
Elevasi
(mdpl)

6
b
(m)

7
a
(m)

8
d
(m)

9
h
(mdpl)

14

5.2

4.2

9.8

Seloharjo

Srihardono

428250

9119862

15

0.5

4.5

10.5

Panjangrejo

427728

9118442

14

5.3

0.5

4.8

9.2

4
5
6

Panjangrejo
Panjangrejo
Panjangrejo

427889
429557
429350

9118502
9121382
9122500

15
20
21

8.4
7.2
4.7

0.5
0.5
1

7.9
6.7
3.7

7.1
13.3
17.3

Canden

428325

9123657

25

5.1

4.1

20.9

8
9
10
11
12
13
14

Canden
Canden
Kebonangun
Imogiri
Sriharjo
Sriharjo
Sriharjo

427950
427350
430322
430835
431262
431790
431362

9123375
9123720
9123285
9124357
9121620
9120925
9120172

24
25
24
25
22
21
23

6.2
5.4
7.3
6.7
5.9
6.4
6.3

1.5
1
1
1
0.5
0.5
1

4.7
4.4
6.3
5.7
5.4
5.9
5.3

19.3
20.6
17.7
19.3
16.6
15.1
17.7

15

Srihardono

427802

9121045

19

4.9

0.5

4.4

14.6

16

Seloharjo

428067

9119315

15

5.5

0.6

4.9

10.1

17

Seloharjo

427975

9119600

16

6.6

0.6

10

18

Srihardono

429827

9120720

20

8.5

0.7

7.8

12.2

19
20
21

Srihardono
Srihardono
Srihardono

429732
429455
429727

9121917
9123065
9123650

22
25
26

7.2
6.6
7.1

0.8
0.7
0.6

6.4
5.9
6.5

15.6
19.1
19.5

22

Srihardono

428185

9122457

21

6.5

0.6

5.9

15.1

23

Srihardono

428220

9121637

20

6.8

0.7

6.1

13.9

24

Srihardono

429437

9120530

17

6.5

0.7

5.8

11.2

keterangan :
kolom 1 : nomor lokasi pengamatan sumur
kolom 2 : nama lokasi pengamatan sumur
kolom 3 : posisi koordinat UTM X
kolom 4 : posisi koordinat UTM Y
kolom 5 : elevasi (GPS)/ketinggian topografi

kolom 6 : pengukuran kedalaman sumur di lapangan


kolom 7 : tinggi bibir sumur
kolom 8 : kedalaman muka air tanah ( d = b - a )
kolom 9 : tinggi muka air tanah ( h = z - d )
kolom 10 : litologi

10
Litologi
batupasir
tidak
teramati
tidak
teramati
batupasir
batupasir
batupasir
tidak
teramati
batupasir
batupasir
batupasir
batupasir
batupasir
batupasir
batupasir
tidak
teramati
batupasir
tidak
teramati
tidak
teramati
batupasir
batupasir
batupasir
tidak
teramati
batupasir
tidak
teramati

Gambar 5.2. Peta muka airtanah daerah Srihardono dan sekitarnya

V.1.3. Kegempaan
Faktor lain yang penting untuk dikaji adalah aspek kegempaan. Aspek
kegempaan daerah Kotamadya Yogyakarta ini cukup berpotensi untuk digoncang
gempa, walaupun lajur subduksi yang dianggap merupakan lajur sumber gempa yang
dapat memicu likuifaksi terletak jauh di selatan. Terbukti pada tanggal 27 Juli pukul
05:58 terjadi gempa yang cukup besar (M 6,5 skala Richter), pusat gempa di daratan
tepatnya di ujung selatan koridor sesar Opak kedalaman 60 km.
Sumber gempa bumi sebagai pemicu terjadinya perambatan gelombang
permukaan dapat mengakibatkan terjadinya likuifaksi. Wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta dipengaruhi gempa yang bersumber dari laut, akibat sistem aktivitas
zona subduksi dari tumbukan antara lempeng Samudera Indo-Australia dan lempeng
Benua Eurasia. Sedangkan gempa yang bersumber dari darat, akibat pergerakan
sistem sesar aktif/sesar opak yang terletak di sebelah selatan daerah Kotamadya
Yogyakarta (Supartoyo, 2006).

Tektonik pada bagian selatan Jawa sangat dipengaruhi oleh subduksi yang
berada di selatan Jawa. Daerah penelitian berkembang patahan/sesar aktif Opak yang
berarah hampir timur laut barat daya, sehingga dapat disimpulkan bahwa daerah
penelitian merupakan daerah yang berpotensi mengalami likuifaksi.
Pusat gempa yang terjadi bulan Mei-Juli tahun 2007 posisi di dasar laut
(marine) dan daratan (continent), sebagai contoh, pada tanggal 27 Mei 2006 kejadian
gempa bumi di Yogyakarta sumbernya terletak di daratan tepatnya di Kali Opak
(Gambar 5.3). Berdasarkan analisis momen tensor yang dibuat oleh USGS, fokal
mekanisme gempa dapat dilihat pada gambar penampang posisi gempa (gambar 5.4).

Gambar 5.3. Peta Posisi Sumber Gempa Bumi di Pulau Jawa

Getaran adalah syarat utama untuk terjadinya likuifaksi. Sumber getaran yang
paling umum terjadi adalah getaran yang berasal dari gempa bumi. Karakter dari
gerakan gempa bumi, seperti percepatan dan jangka waktu penggetaran sangat
menentukan regangan geser yang akan mendorong butiran-butiran endapan tanah.
Dorongan terhadap menyebabkan berkurangnya ikatan antar butiran tanah tersebut
yang pada akhirnya menjadi penyebab terjadinya likuifaksi. Peristiwa likuifaksi di
kecamatan Pundong kabupaten Bantul terjadi pada lapisan berukuran pasir halus
hingga pasir sedang yang dipengaruhi struktur geologi pada dataran Bantul-Klaten
berupa patahan/sesar mendatar yang dikenal sebagai sesar Opak yang berarah timur
laut - barat daya kurang lebih N235E/80, dimana blok timur relatif bergeser ke
utara dan blok barat ke selatan.

Gambar 5.4. Penampang posisi sumber pusat gempa bumi (sumber : United States Geological
Survey)

V.2. Analisa Data


Penentuan tingkat potensi likuifaksi dilakukan menggunakan data-data yang
diuji di laboratorium, yaitu :
V.2.1. Analisis Grain Size
Tabel 5.2. Hasil Analisis Grain Size (metode standar ASTM D 421/63)

No
1
2
3
4
5

Nomor Contoh
Gt1
Gt2
Gt3
Gt4
Gt5

Ukuran Butir (mm)


0,074 - 0,84
0,149 - 4,76
0,074 - 0,84
<0.074 - 2
<0.074 - 2

Gradasi
Seragam
Seragam
Seragam
Buruk
Buruk

Hasil analisis Grain Size menunjukkan umumnya sampel memiliki ukuran


butir yang beragam dengan dominasi gradasi yang seragam. Sampel-sampel dengan
nomor contoh Gt1, Gt2 dan Gt3 menunjukkan gradasi seragam yang dapat
dikelompokkan ke dalam penentuan tingkat yang berpotensi terhadap likuifaksi.

V.2.2. Analisis Granulometri


Maksud dari analisis granulometri adalah memisahkan fraksi butiran pasir
pada ukuran (diameter) tertentu.
Adapun tujuan dari analisis ini adalah:
1. Mengetahui nilai rata-rata ukuran butir (mean), nilai tengah ukuran butir
(median), penyebaran ukuran butir yang paling maksimal (modus), tingkat
kecondongan penyebaran ukuran butir (skewness), tingkat keseragaman
ukuran butir (sortasi), dan derajat kemancungan kurva (kurtosis).
2. Menafsirkan lingkungan pengendapan.

Gambar 5.5. Kurva frekuensi yang memperlihatkan jenis sortasi (Folk, 1961)

Gambar 5.6. Bentuk Kurva dengan Berbagai Kurtosis (Folk, 1961)

Gambar 5.7. Hubungan antara Mode, Mean, Median, dan Skewness (Folk, 1961)

Tabel 5.3. Sampel Analisis Granulometri 1

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

0.584
1.2067
5.779
16.1427
20.5721
32.2023
23.5132
100

Persen
Kumulatif
(%)
0.584
1.7907
7.5697
23.7124
44.2845
76.4868
100

Persen
Berat (%)
0.584
1.2067
5.779
16.1427
20.5721
32.2023
23.5132

Histogram S-1

40
Berat (%)

Berat (gr)

20

0
-1.25 -0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75 >3,75

Gambar 5.8. Histogram Sampel 1

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 3,8

Pemilahan (Sorting)

: Buruk (poorly sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke halus (fine skewed)

Kurtosis

: Platikurtik

Persen
Melalui
99.416
98.2093
92.4303
76.2876
55.7155
23.5132
0

Tabel 5.4. Sampel Analisis Granulometri 2

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

Persen
Berat (%)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

0.2546
0.9772
2.4493
4.3831
0.6719
50.6674
40.5965
100

0.2546
0.9772
2.4493
4.3831
0.6719
50.6674
40.5965

Persen
Melalui
99.7454
98.7682
96.3189
91.9358
91.2639
40.5965
0

Histogram S-2

60
Berat (%)

Persen
Kumulatif
(%)
0.2546
1.2318
3.6811
8.0642
8.7361
59.4035
100

40
20
0
-1.25

-0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75

>3,75

Gambar 5.9. Histogram Sampel 2

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 4

Pemilahan (Sorting)

: Agak baik (moderately well sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke halus (fine skewed)

Kurtosis

: Platikurtik

Tabel 5.5. Sampel Analisis Granulometri 3

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

Persen
Berat (%)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

2.4008
13.507
55.7143
25.5046
0.0314
2.4847
0.3572
100

2.4008
13.507
55.7143
25.5046
0.0314
2.4847
0.3572

Persen
Melalui
97.5992
84.0922
28.3779
2.8733
2.8419
0.3572
0

Histogram S-3

60
Berat (%)

Persen
Kumulatif
(%)
2.4008
15.9078
71.6221
97.1267
97.1581
99.6428
100

40

20
0

-1.25 -0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75 >3,75

Gambar 5.10. Histogram Sampel 3

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 0,8

Pemilahan (Sorting)

: Agak baik (moderately well sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke kasar (coarse skewed)

Kurtosis

: Leptikurtik

Tabel.5.6. Sampel Analisis Granulometri 4

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

1.0148
1.4251
4.944
50.2451
38.454
3.428
0.489
100

Persen
Kumulatif
(%)
1.0148
2.4399
7.3839
57.629
96.083
99.511
100

Persen
Melalui
98.9852
97.5601
92.6161
42.371
3.917
0.489
0

Histogram-4

60
Berat (%)

Persen
Berat
(%)
1.0148
1.4251
4.944
50.2451
38.454
3.428
0.489

40

20
0
-1.25

-0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75

>3,75

Gambar 5.11. Histogram Sampel 4

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 1,95

Pemilahan (Sorting)

: Agak baik (moderately well sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke kasar (coarse skewed)

Kurtosis

: Leptikurtik

Tabel.5.7. Sampel Analisis Granulometri 5

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

0.617
5.7921
48.9207
40.1796
0.0566
3.211
1.223
100

Persen
Kumulatif
(%)
0.617
6.4091
55.3298
95.5094
95.566
98.777
100

Persen
Melalui
99.383
93.5909
44.6702
4.4906
4.434
1.223
0

Histogram-5

60
Berat (%)

Persen
Berat
(%)
0.617
5.7921
48.9207
40.1796
0.0566
3.211
1.223

40
20
0
-1.25

-0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75

>3,75

Gambar 5.12. Histogram Sampel 5

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 0,94

Pemilahan (Sorting)

: Agak baik (moderately well sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke kasar (coarse skewed)

Kurtosis

: Leptikurtik

Tabel.5.8. Sampel Analisis Granulometri 6

Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

5.04
9.69
13.45
32.04
18.33
14.6
6.85
100

Persen
Kumulatif
(%)
5.04
14.73
28.18
60.22
78.55
93.15
100

Persen
Melalui
94.96
85.27
71.82
39.78
21.45
6.85
0

Histogram-6

40

Berat (%)

Persen
Berat
(%)
5.04
9.69
13.45
32.04
18.33
14.6
6.85

20

0
-1.25

-0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75

>3,75

Gambar 5.13. Histogram Sampel 6

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 1,8

Pemilahan (Sorting)

: Buruk (poorly sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke halus (fine skewed)

Kurtosis

: Platikurtik

Tabel.5.9. Sampel Analisis Granulometri 7


Mesh
8
16
30
50
100
200
PAN

Diameter
(mm)

Diameter
(phi)

Berat
(gr)

Persen
Berat (%)

2.39
1.19
0.59
0.297
0.149
0.074
<0,074
JUMLAH

-1.25
-0.25
0.75
1.75
2.75
3.75
>3,75

2.75
9.175
12.415
29.99
19.205
13.605
12.86
100

2.75
9.175
12.415
29.99
19.205
13.605
12.86

Histogram-7

40
Berat (%)

Persen
Kumulatif
(%)
2.75
11.925
24.34
54.33
73.535
87.14
100

20

0
-1.25

-0.25

0.75 1.75 2.75


Diameter (phi)

3.75

>3,75

Gambar 5.14. Histogram Sampel 7

Hasil perhitungan statistik (Folk, 1961)


Ukuran butir rata-rata (Mean)

: 1,85

Pemilahan (Sorting)

: Buruk (poorly sorted)

Kecondongan (Skewness)

: Condong ke halus (fine skewed)

Kurtosis

: Platikurtik

Persen
Melalui
97.25
88.075
75.66
45.67
26.465
12.86
0

Tabel 5.10. Metode-metode pengukuran ukuran butir material (Folk, 1974)

Jenis sampel

Endapan yang belum


terkonsolidasi dan
batuan sedimen yang
terpilah

Batuan sedimen yang


kompak

Ukuran
sampel

Metode analisa

Bongkah
Berangkal
Kerakal

Pengukuran manual dari


setiap butiran

Kerikil
Pasir
Lanau
Lempung

pengayakan, analisa tabungpengendapan, analisa


citra/gambar
Analisis pipet,
keseimbangan sedimentasi,
sedigrafi, laser
difraktometri, analisa
ukuran menggunakan
elektro-resisten

Bongkah
Berangkal
Kerakal

Pengukuran manual dari


tiap-tiap fragmen

Kerikil
Pasir
Lanau
Lempung

Pengukuran sayatan tipis,


analisis citra/gambar
Mikroskop elektron

Tabel 5.11. Derajat sortasi berdasarkan nilai standar deviasi (Folk, 1974)

Standar deviasi
(Phi)
< 0.35
0.35 sampai 0.50
0.50 sampai 0.70
0.70 sampai 1.00
1.00 sampai 2.00
2.00 sampai 4.00
> 4.00

Sortasi
Sangat baik
Baik
Agak Baik
Sedang
Buruk
Sangat Buruk
Paling Buruk

Tabel 5.12. Skala ukuran butir berdasarkan diameter Phi (Udden-Wenworth, 1922)

Tabel 5.13. Hasil Analisis Granulometri (Folk, 1961)


1

Sampel

Mean

Gs1

3,8

Gs2

Gs3

0,80

Gs4

1,95

Gs5

0,90

Gs6

1,80

Gs7

1,85

No

5
6
Perhitungan Statistik
Standar
Skewness
Kurtosis
Deviasi
fine
1,28
Platikurtik
skewed
fine
0,65
Leptikurtik
skewed
coarse
0,68
Leptikurtik
skewed
coarse
0,69
Leptikurtik
skewed
coarse
0,59
Leptikurtik
skewed
fine
1,52
Platikurtik
skewed
fine
1,55
Platikurtik
skewed

7
Sortasi
Buruk
Agak
baik
Agak
baik
Agak
baik
Agak
baik
Buruk
Buruk

Endapan

Lokasi

Pasir
halus
Pasir
halus
Pasir
sedang
Pasir
halus
Pasir
sedang
Pasir
halus
Pasir
halus

Kec.
Imogiri
Kec.
Jetis
Kec.
Jetis
Kec.
Pundong
Kec.
Pundong
Kec.
Pundong
Kec.
Pundong

Keterangan:
Kolom 1 : nomor

Kolom 6 : perhitungan statistik nilai kurtosis

Kolom 2 : sampel

Kolom 7 : perhitungan statistik nilai sortasi

Kolom 3 : perhitungan statistik nilai mean

Kolom 8 : jenis endapan

Kolom 4 : perhitungan statistik nilai standar deviasi

Kolom 9 : lokasi pengambilan sampel

Kolom 5 : perhitungan statistik nilai skewness

Sampel endapan tanah yang dianalisis berukuran pasir halus sampai pasir
kasar dan berwarna abu-abu sampai abu-abu kehitaman. Pengujian laboratorium
analisis granulometri menunjukan bahwa sampel-sampel tersebut dapat digolongkan
masing-masing sesuai dengan tingkat potensinya. Nilai-nilai mean, standar deviasi,
skewness, kurtosis dan sortasi dapat diperoleh dari perhitungan statistik. Hasil dari
nilai kurtosis menggambarkan hubungannya terhadap nilai sortasi, apabila nilai
sortasinya baik maka akan dapat mendukung terjadinya potensi likuifaksi.
Sampel Gs2 dan Gs4 dapat digolongkan sebagai potensi likuifaksi tingkat
tinggi, dikarenakan hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai mean termasuk ke
dalam endapan yang berukuran pasir halus, nilai standar deviasi menunjukkan sortasi
yang agak baik dan tingkat skewness yang penyebarannya relatif condong ke halus.

Sampel Gs3 dan Gs5 dapat digolongkan sebagai potensi likuifaksi tingkat
sedang, dikarenakan hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai mean termasuk ke
dalam endapan yang berukuran pasir sedang dan tingkat skewness yang
penyebarannya condong ke kasar.
Sampel Gs1, Gs6 dan Gs7 dapat digolongkan sebagai potensi likuifaksi
tingkat rendah, dikarenakan hasil perhitungan statistik menunjukkan nilai mean
termasuk ke dalam endapan yang berukuran pasir halus tetapi nilai standar deviasi
yang menunjukkan sortasi yang buruk sehingga tingkat kurtosis adalah platikurtik.
Ditinjau dari aspek lingkungan pengendapan, daerah penelitian berpotensi
terhadap likuifaksi. Tinsley drr. (1995), menyebutkan bahwa endapan yang terbentuk
di lingkungan tertentu seperti lingkungan sungai dan danau, serta daerah reklamasi
merupakan daerah yang mempunyai potensi likuifaksi tinggi. Hal ini karena
komposisi batuan umumnya terdiri dari endapan fluvial, alluvium atau endapan
colluvial yang masih urai dan jenuh air. Dari hasil analisa granulometri sampel tanah,
dapat diketahui bahwa lingkungan pengendapannya adalah fluvial.
Selanjutnya untuk mengetahui kaitan antara besar butir dengan potensi
terjadinya likuifaksi, gambar-gambar distribusi ukuran butir dari masing-masing
sampel yang dianalisis dimasukkan ke dalam diagram Tsucida (1971) (gambar 5.15).
Dalam gambar tersebut terlihat bahwa sampel pasir merupakan pasir yang berpotensi
untuk mengalami likuifaksi.

Gambar 5.15. Diagram distribusi ukuran butir yang diplot ke dalam diagram Tsucida (1971)

Hasil pengujian terhadap beberapa contoh endapan tanah/pasir diplotkan ke


dalam diagram Tsucida maka distribusi butiran seperti ditunjukkan pada Gambar
5.15, dimana material tanah cenderung mengandung material pasir yang berada pada
potensi batas very easily liquefy atau easily liquefy yang diartikan bahwa
endapan tanah/pasir tersebut berpotensi likuifaksi, hal ini mengindikasikan tanah di
kecamatan Pundong kabupaten Bantul tergolong mudah mengalami likuifaksi. Tanah
yang berpotensi tinggi terhadap likuifaksi adalah tanah yang berada di dalam zona aa sedangkan zona b-b kemungkinan berpotensi likuifaksi.

V.3. Penyebaran Potensi Likuifaksi


Pembagian wilayah potensi likuifaksi didasarkan pada sifat fisik endapan
hasil analisis data dan posisi kedalaman muka air tanah. Wilayah dibagi menjadi 3
tingkat potensi yaitu tinggi, sedang dan rendah.
Ditinjau dari aspek geologi daerah penelitian terindikasi potensi terhadap
likuifaksi. Hal ini didasarkan pada batuan penyusun terdiri atas hampir 80 %
merupakan endapan kuarter muda yang disusun oleh endapan yang sifatnya masih
urai, belum mengalami konsolidasi dan jenuh air. Endapan Kuarter tersebut terdiri
atas endapan alur sungai yang disusun oleh material lepas berukuran pasir halus.
Selain itu posisi permukaan air tanah dangkal karena daerah penelitian merupakan
dataran endapan fluvio-vulkanik. Berdasarkan pengukuran kedalaman permukaan air
tanah diperoleh kisaran mulai dari 3,7 m 7,9 m yang termasuk dangkal.
Ditinjau dari aspek kegempaan daerah penelitian cukup berpotensi untuk
digoncang gempa karena lajur subduksi yang dianggap lajur sumber gempa yang
dapat memicu likuifaksi terletak di selatan daerah penelitian. Data kegempaan yang
dihimpun sejak tahun 1970 hingga sekarang (NEIC, USGS) menunjukkan adanya
variasi karakteristik kegempaan di daerah penelitian, baik menyangkut kedalaman,
jarak titik pusat gempa ataupun kekuatan gempa (magnitudo). Berdasarkan data
kegempaan tersebut, dapat diketahui bahwa lajur sumber gempa di daerah
Kotamadya Yogyakarta bersumber dari dua lajur sumber gempa, yaitu lajur sumber
gempa subduksi dan lajur sumber gempa sesar aktif. Di daerah Kotamadya
Yogyakarta gempa yang dihasilkan oleh aktivitas subduksi adalah gempa dalam (451
km- 600km) dengan kekuatan gempa berkisar dari 6,1 7,0 mb. Dengan data
tersebut potensi likuifaksi yang dipicu oleh gempa sebagai aktivitas subduksi tidak
berbahaya. Gempa yang bersumber dari sesar aktif umumnya kedalaman gempa hasil
aktivitas sesar tersebut adalah dangkal. Berdasarkan data statistic kejadian gempa di
lembah Wabash da Illinois, Amerika Serikat diketahui bahwa pengaruh jarak gempa
terhadap proses terjadinya likuifaksi tidak menjadi hal pokok. Obemeier (1993)

menyatakan bahwa proses likuifaksi di lembah Wabash masih dapat diamati


walaupun jarak titik pusat gempa ke daerah Wabash terletak sekitar 500km.

Gambar 5.16. Peta potensi likuifaksi daerah Srihardono dan sekitarnya

V.3.1. Wilayah Potensi Likuifaksi Tinggi


Wilayah potensi likuifaksi tingkat tinggi tersebar di sepanjang sungai besar
daerah penelitian. Wilayah ini merupakan lingkungan endapan fluvial atau endapan
alur sungai dengan kondisi muka airtanah dangkal (kedalaman ; 3,7 7,9 meter)
yang meliputi sungai Kali Opak dan Kali Oyo. Keterdapatan struktur geologi berupa
patahan/sesar mendatar yaitu sesar Opak juga mempengaruhi potensi likuifaksi
dalam wilayah ini. Selain itu kisaran gradasi ukuran butir di wilayah ini relatif lebih
seragam. Berdasarkan analisis laboratorium diketahui bahwa kisaran ukuran butir
rata-rata (mean) ; 1,95 4 mm (pasir halus), dengan pemilahan butir agak baik
(moderately well sorted) ; 0,65 0,69 dan tingkat skewness yang penyebarannya
relatif condong ke halus.

V.3.2. Wilayah Potensi Likuifaksi Sedang


Wilayah potensi likuifaksi tingkat sedang tersebar di bagian tengah daerah
penelitian meliputi desa Srihardono dan desa Sriharjo. Wilayah ini merupakan
lingkungan endapan fluvio vulkanik dengan kondisi muka airtanah dangkal
(kedalaman ; 5,4 6,7 meter). Data lain yang mengindikasikan daerah ini berpotensi
mengalami likuifaksi dengan tingkat potensi sedang adalah ukuran butirnya dan
sortasinya. Berdasarkan hasil pola sebaran ukuran butir menunjukkan nilai rata-rata
(mean) : 0,8 0,9 mm tergolong endapan yang berukuran pasir sedang dan
pemilahan buruk (poorly sorted) ; 0,59-0,68 dan tingkat skewness yang
penyebarannya condong ke kasar.

V.3.3. Wilayah Potensi Likuifaksi Rendah


Wilayah potensi likuifaksi tingkat rendah merupakan wilayah potensi terluas
pada daerah penelitian. Wilayah potensi likuifaksi rendah meliputi desa Canden, desa
Kebonangun dan sebagian di sekitar kecamatan Pundong. Wilayah ini merupakan
lingkungan endapan fluvio vulkanik dengan kondisi muka air tanah dalam (4,1 6,5
meter) dan didapatkan sortasi yang buruk sehingga tingkat kurtosis adalah
platikurtik. Endapan pada wilayah ini pada umumnya terdiri atas perselingan
lempung, lanau, dan lapisan pasir tipis. Endapan lempung dan lanau tidak
dikategorikan ke dalam endapan yang berpotensi terhadap likuifaksi dikarenakan
sifatnya yang mampu menyimpan air namun tidak dapat melepaskannya
(permeabilitas buruk). Seed drr. (1983) menyatakan bahwa sedimen lempung tidak
akan mengalami likuifaksi apabila diguncang oleh gempa bumi. Tetapi kehadiran
lapisan pasir yang berupa lapisan tipis sebagai sisipan pada endapan yang berbutir
lebih halus merupakan lapisan yang berpotensi terhadap likuifaksi sehingga secara
garis besar wilayah ini dapat digolongkan sebagai wilayah potensi likuifaksi rendah.

BAB VI
KESIMPULAN

1. Daerah penelitian terdiri dari tiga satuan batuan dengan urutan tua ke muda
yaitu satuan breksi Nglanggran, satuan batugamping Wonosari, dan satuan
endapan Fluvio Vulkanik Merapi. Hubungan stratigrafi batugamping
Wonosari diendapkan secara tidak selaras di atas satuan breksi Nglanggran
dan satuan endapan Fluvio Vulkanik Merapi yang terendapkan di atas satuan
batugamping Wonosari.
2. Daerah penelitian dibagi menjadi empat bentuk asal, yaitu struktural,
denudasional, karst dan fluvial. Bentuk asal struktural terdiri dari bentuk
lahan perbukitan homoklin, bentuk asal denudasional terdiri dari bentuk lahan
bukit sisa, bentuk asal karst terdiri dari bentuk lahan perbukitan karst, dan
bentuk asal fluvial terdiri dari tiga bentuk lahan, yaitu bentuk lahan dataran
aluvial, tubuh sungai dan gosong sungai. Pola aliran di daerah telitian
berdasarkan interpretasi dari peta topografi termasuk ke dalam pola aliran
subdendritik.
3. Daerah penelitian tersusun oleh endapan Kuarter yang sifat fisiknya masih
urai dan jenuh air. Endapan Kuarter tersebut termasuk ke dalam lingkungan
pengendapan endapan fluviatil sehingga berpotensi terhadap likuifaksi.
4. Posisi permukaan airtanah daerah penelitian tergolong dangkal, sehingga
endapan pasir tersebut tetap jenuh air maka endapan berpotensi mengalami
likuifaksi.
5. Kegempaan di daerah penelitian dapat bersumber dari sesar Opak yang
terletak tepat di tengah daerah penelitian yang berarah barat daya timur laut.
6. Dari hasil analisa Grain Size dan Granulometri pada sampel endapan tanah,
didapatkan kisaran gradasi seragam hingga gradasi buruk, kisaran sortasi
sedang hingga sortasi buruk, kisaran skewness halus sampai kasar, kemudian

kurtosis platikurtik hingga leptikurtik dengan jenis endapan berupa pasir


halus sampai pasir sedang.
7. Daerah penelitian dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah potensi
likuifaksi rendah, sedang, dan tinggi. Pembagian ini didasarkan pada litologi
(besar butir, pemilahan butir, kesarangan butir, dan bentuk butir), lingkungan
pengendapan, posisi kedalaman muka airtanah, dan kegempaan.
8. Potensi geologi yang bersifat positif adalah banyaknya terdapat material lepas
yang berukuran pasir hingga kerakal yang dapat digunakan sebagai bahan
bangunan. Sedangkan potensi yang bersifat negatif adalah terjadinya potensi
likuifaksi pada daerah telitian dan sekitarnya akibat gempa.

DAFTAR PUSTAKA

Barker, W.R. (1960). Accompanied by a Reproduction of Bradys Plates Shell


Development Company Houston, Texas Society of Economic Paleontologist
and Mineralogists Special Publication No.9 Tulsa, Oklahoma USA.
Boggs, S.Jr. (2009). Petrology of Sedimentary Rocks, Second Edition.
Cambridge University Press, Cambridge.
Bowles, Joseph E. (1986). Sifat-Sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika
Tanah), edisi 2. Erlangga, Jakarta.
Brady, H.B. (1873). Foraminifera Dredged. H.M.S Challenger Taxonomic
Notes On the Species Figured.
Folk, L.R. (1961). Petrology of Sedimentary Rocks. The University of Texas.
Hasmar, H.A.H. (2007). Evaluasi Potensial Likuifaksi (Keruntuhan Tanah)
Akibat Gempa Jogja 2006 pada Pantai Parangtritis Bantul Jogja. Jurnal
Pondasi, Vol.13 No.1.
Http://duniabaca.com/faktor-penyebab-terjadinya-gempa-bumi.html
Http://belajar-teknik-sipil.blogspot.com/2011/03/tegangan-efektif.html
Postuma, J.A., Royal Dutch/Shell Group. (1971). Manual Of Planktonic
Foraminifera. Elsevier Publishing Company Amsterdam, London.
Soebowo, E., Tohari, A., dan Sarah, D. (2009). Potensi Likuifaksi Akibat Gempa
Bumi Berdasarkan Data CPT dan N-SPT di Daerah Patalan Bantul
Yogyakarta. Jurnal Riset Geologi dan Pertambangan, Jilid 19 No. 2, 85-97.
Soebowo, E. Tohari, A. dan Sarah, D. (2007). Studi Potensi Likuifaksi Di
Daerah Zona Patahan Opak Patalan-Bantul Jogjakarta. Prosiding Seminar
Geoteknologi

Kontribusi

Ilmu

Kebumian

Dalam

Pembangunan

Berkelanjutan, Pusat Penelitian Geoteknologi-LIPI.


Suyoto. (1986). Klasifikasi Stratigrafi Pegunungan Selatan di Daerah Istimewa
Yogyakarta dan Jawa Tengah. Jurnal Ikatan Ahli Geologi Indonesia.

You might also like