You are on page 1of 13

Fitria (2009) yang menyatakan

bahwa dalam membantu pasien mengenal


halusinasi perawat mencoba menanyakan
kepada pasien tentang isi halusinasi (apa
yang didengar atau dilihatnya), kapan
waktu timbulnya halusinasi, frekuensi
terjadinya
halusinasi,
situasi
yang
menyebabkan halusinasi muncul dan
perasaan pasien saat halusinasi rnuncul.
Hal
ini
didukung
oleh
hasil
penelitian Anggriawan (2010) bahwa
dalam
membantu
pasien
mengenal
halusinasi
adalah
menanyakan
jenis
halusinasi,
kapan
terjadinya
dan
menanyakan perasaan yang timbul pada
saat halusinasi terjadi.
Fitria (2009) yang menyatakan
tindakan perawat dalam melatih pasien
mengontrol halusinasi adalah pasien
diajarkan cara menghardik halusinasi
dalam upaya mengendalikan diri terhadap
dengan cara menolak halusinasi yang
timbul. Pasien dilatih untuk mengatakan
tidak terhadap halusinasi yang muncul
atau tidak memperdulikan halusinasinya,
menganjurkan pasien berinteraksi dengan
orang lain, dan melakukan aktivitas
terjadwal.
Hal ini didukung oleh hasil penelitian
Anggriawan (2010) bahwa dalam
membantu pasien mengontrol halusinasi
dengan cara menghardik halusinasi,
bercakap-cakap dengan orang dan
melakukan aktivitas terjadwal

Fitria (2009) mengatakan bahwa


tindakan perawat dalam memilih pasien
menggunakan obat secara teratur sesuai
dengan program, berikut ini tindakan
keperawatan yang dilakukan perawat agar
pasien patuh menggunakan obat dalarn
mengontrol halusinasi: jelaskan akibat
putus obat, jelaskan efek samping dari
obat, cara mendapatkan obat, cara
menggunakan obat dengan prinsip 5
benar.
Hal ini sejalan dengan hasil
penelitian Anggriawan (2010) bahwa dalam
melatih pasien menggunakan obat secara
teratur yaitu dengan menjelaskan 5 benar
cara dalam memanfaatkan obat yaitu
benar obat, benar pasien, benar cara,
benar waktu dan benar dosis sehingga
meminimalkan kemungkinan terjadi hal
yang tidak diinginkan.

Seiring dengan teori menurut


Nasir (2009) dalam Nasir dan
Muhith
(2011),
strategi
pelaksanaan komunikasi berperan
penting
dalam
asuhan
keperawatan jiwa, dengan alasan
komunikasi mampu mendukung
stabilitas emosi pasien, karena
dengan komunikasi pasien mampu
berhumbungan dengan orang lain
dalam
memenuhi
kebutuhan
dasarnya
dan
pasien
juga
butuh
penguatan
untuk

Mulya dkk, Pengaruh Terapi Individu


Generalis

mempertahankan diri melalui komunikasi yang efektif. Menurut Purba


(2009) Terapi ini ini juga dapat membentuk kepercayaan pasien dengan
perawat, pasien menyadari bahwa yang dialamanyi tidak ada obyeknya
dan harus diatasi, dan pasien mampu mengontrol halusinasinya.
Menurut analisa peneliti terapi individu dengan pendekatan
strategi pelaksanaan komunikasi berpengaruh terhadap
perubahan
frekuensi
halusinasi pada pasien halusinasi, yang terlihat terjadinya
penurunan kejadian halusinasi pada pasien halusinasi di RSJ H.B Saanin
Padang.

Peneliti menyarankan bagi perawat RS Jiwa H.B Saanin


diharapkan menerapkan terapi individu generalis dengan
pendekatan strategi pelaksanaan komunikasi sesuai dengan
standar asuhan keperawatan (SAK) yang telah ditetapkan.
Selain itu, perlu diadakan sosialisasi SAK agar semua
perawat memiliki persamaan persepsi dalam memberikan
tindakan keperawatan terhadap pasien.

dise
kitarnya dan juga lingkungan (Stuart dan Sundeen, 1995). Gangguan ini
biasanya berdampak pada kemampuan kognitif dan psikomotor pasien.
Terkait
dengan tingginya prevalensi masalah kesehatan jiwa saat ini cukup tinggi
maka
sangat dibutuhkan pemberian standa
r asuhan keperawatan yang tepat dan benar
serta maksimal kepada masing
masing pasien gangguan persepsi: halusinasi
untuk menghadapi masalahnya dan meminimalkan resiko yang terjadi
(Purba,
Eka, Mahnum, Hardiyah, 2009).
Menurut Carpenito (1996) dikutip oleh
Keliat (2006), pemberian asuhan
keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan
kerjasama
antara perawat dengan klien, keluarga atau masyarakat untuk mencapai
tingkat
kesehatan yang optimal. Asuhan keperawatan juga menggunakan
pendekatan

proses keperawatan yang terdiri dari pengkajian menentukan masalah atau


diagnosa, menyusun rencana tindakan keperawatan, implementasi dan
evaluasi.
Untuk mengetahui lebih lanjut masalah yang terjadi pada pasien perlu
dikaji lebih
lanjut tentang gangguan pe
rsepsi sensori: halusinasi pada pasien. Seperti, perawat
perlu mengkaji waktu, frekuensi dan situasi munculnya halusinasi yang
dialami
oleh pasien. Hal ini dilakukan untuk menentukan intervensi khusus pada
waktu
terjadi ha lusinasi, menghi nd ari situa si yang
menyebabkan munculnya halusinasi.
Sehingga pasien tidak larut dengan halusinasinya. Dengan mengetahui
frekuensi
terjadinya halusinasi dapat direncanakan frekuensi tindakan untuk
mencegah
terjadinya halusinasi (Yosep, 2009). Hal ini menunjukan bahwa pengar
uh
pelaksanaan standar Asuhan Keperawatan halusinasi akan mempengaruhi
kemampuan kognitif dan psikomotorik pasien dalam mengontrol
halusinasinya.
Adapun yang menjadi gambaran umum terhadap kemampuan kognitif
pasien gangguan persepsi halusinasi adalah pasie
n mampu mengenali
halusinasinya, sedangkan pada kemampuan psikomotor pasien yaitu
pasien dapat
mengontrol halusinasinya dan pasien dapat mengikuti program pengobatan
secara
optimal

Pengaruh Terapi Aktivitas Individu : Menghardik Terhadap Kemampuan Mengontrol


Halusinasi Pendengaran. Penderita gangguan jiwa dari tahun ke tahun semakin mengalami
peningkatan. Halusinasi pendengaran merupakan bentuk perilaku yang sering ditemukan
dengan pasien gangguan jiwa. Terapi yang digunakan untuk mengontrol halusinasi
pendengaran salah satunya adalah terapi aktivitas individu menghardik.Metode penelitian
yang digunakan adalah pre eksperimental designs dengan pendekatan one group pre test post
test. Tehnik pengambilan sampel adalah total sampling, yaitu sebanyak 7 pasien di ruang

Nusa Indah dan Kakak Tua. Metode pengumpulan data menggunakan lembar observasi.
Tehnik analisa data paired t test. Penelitian ini menggunakan tabel distribusi frekuensi dan
deskriptif narasi didasarkan pada usia, jenis kelamin, lama dirawat dan pendidikan. Hasil
penelitian diketahui bahwa setelah pasien diberikan terapi aktivitas individu: menghardik
semua responden 100% mampu mengontrol halusinasi pendengaran. Dan Hal ini dibuktikan
dengan hasil analisis statistik adalah thit (2.542) t(5)(0,05) (2,447), artinya ada pengaruh
terapi aktivitas individu menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi
pendengaran. Kesimpulan penelitian ini adalah ada pengaruh terapi aktivitas individu
menghardik terhadap kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran. Dan diharapkan bagi
petugas kesehatan untuk melakukan terapi secara efektif. Nur Halimatus Sadiyah,
Anik Yuliati, Eddi Sudjarwo.
https://qjournal.id/jurnal/paper/0002300035/Pengaruh-Terapi-Aktivitas-IndividuMenghardik-Terhadap-Kemampuan-Mengontrol-Halusinasi-Pendengaran. 2013

Pengaruh Terapi Aktivitas Individu : Menghardik Terhadap Kemampuan Mengontrol


Halusinasi Pendengaran
A. Latar Belakang Masalah
Gangguan kesehatan jiwa merupakan masalah kesehatan masyarakat dan sosial di
Indonesia dan cenderung meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dapat mempengaruhi
perkembangan seseorang baik fisik, internal dan emosional untuk tercapainya kemampuan
menyesuaikan diri dengan diri sendiri, orang lain dan masyarakat (Sulistyowati, 2007).
Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan utama
di negara-negara maju, modern dan industri. Keempat masalah kesehatan utama tersebut
adalah penyakit degeneratif, kanker, gangguan jiwa dan kecelakaan. Gangguan jiwa tidak
dianggap sebagai gangguan yang menyebabkan kematian secara langsung, namun beratnya
gangguan tersebut dalam arti ketidakmampuan serta invaliditas baik secara individu maupun
kelompok akan menghambat pembangunan, karena mereka tidak produktif dan tidak efisien
(Hawari, 2009).
Masalah gangguan jiwa di seluruh dunia sudah menjadi masalah yang sangat serius.
WHO menyatakan tahun 2009, paling tidak ada satu dari empat orang di dunia yang
mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang didunia yang
mengalami gangguan jiwa. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami

gangguan jiwa, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap
tahunnya. Daerah Asia Tenggara, hampir 1/3 dari penduduk tahun 2011, pernah mengalami
gangguan neuropsikiatri dengan tanda-tanda halusinasi dan perilaku kekerasan, sedangkan di
Indonesia dari Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011, diperkirakan sebanyak
264 jiwa dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan jiwa (Depkes RI, 2011).
Suryani (2010) masyarakat Bali mengalami gangguan jiwa setiap tahunnya cenderung
bertambah rata-rata 100-150 orang, dengan rata-rata penderita gangguan jiwa sekitar 11.675
orang. Berdasarkan data Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Provinsi Bali selama tiga bulan terakhir,
dari bulan Oktober sampai dengan Desember 2012, rata-rata jumlah pasien di ruang rawat
inap sebanyak 266 orang, 92% (245 orang) diantaranya skizofrenia dan dari 245 orang
tersebut, sebanyak 86 orang (35%) dengan halusinasi, 52 orang (21%) dengan menarik diri,
sebanyak 38 orang (15%) dengan harga diri rendah dan masalah lainnya sebesar 29%.
Gangguan jiwa dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu gangguan jiwa ringan (neurosa)
dan gangguan jiwa berat (psikosis). Psikosis sebagai salah satu bentuk gangguan jiwa
merupakan

ketidakmampuan

untuk

berkomunikasi

atau

mengenali

realitas

yang

menimbulkan kesukaran dalam kemampuan seseorang untuk berperan sebagaimana mestinya


dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk psikosis yang sering dijumpai adalah skizofrenia,
dengan gejala yang sangat menonjol dan paling sering dijumpai berupa halusinasi (Kaplan
dan Sadock, 2003). Pasien skizofrenia diperkirakan lebih dari 90% mengalami halusinasi,
yaitu gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak
terjadi (Maramis, 2008). Pasien skizofrenia diperkirakan lebih 70% mengalami halusinasi
auditorik, 20% halusinasi visual, 10% halusinasi pengecapan, taktil dan penciuman
(Sulistyowati, 2007).
Halusinasi yang terjadi pada pasien skizofrenia disebabkan karena ketidakmampuan
pasien dalam menghadapi stressor dan kurangnya kemampuan dalam mengenal dan cara

mengontrol halusinasi. Adanya ancaman terhadap kebutuhan akan menyebabkan seseorang


akan berusaha menanggulangi ancaman tersebut dengan mengadakan adaptasi. Kemampuan
untuk

menghadapi

stressor

pada

pasien

gangguan

jiwa sangat

kurang

ketidakmampuan untuk mengadakan adaptasi, maka akan mengakibatkan

disertai

terjadinya

kekambuhan (Maramis, 2008).


Berdasarkan survey pendahuluan yang peneliti lakukan pada bulan Nopember 2012
sebagian besar pasien halusinasi mengalami gangguan dalam berhubungan dengan orang lain.
Menurut Keliat (2010) adanya gangguan dalam berhubungan dengan orang lain akan
mengakibatkan kurangnya kemampuan untuk mengungkapkan masalah yang mereka hadapi
kepada orang lain. Pasien bila ada masalah cenderung akan memendamnya sendiri dan
berusaha mencari solusi pemecahan dengan caranya sendiri, karena berperilaku menarik diri
mereka biasanya akan mulai dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan bagi dirinya,
apabila hal ini terus menerus berlangsung maka pasien akan mengalami gangguan dalam
mempersepsikan stimulus yang dialami.
Dampak yang dapat ditimbulkan oleh pasien yang mengalami halusinasi adalah
kehilangan kontrol dirinya sehingga bisa membahayakan diri sendiri, orang lain maupun
merusak lingkungan, pasien mengalami panik dan perilakunya dikendalikan oleh
halusinasinya. Pasien benar-benar kehilangan kemampuan penilaian realitas terhadap
lingkungan (Hawari, 2009). Dalam situasi ini pasien dapat melakukan bunuh diri (suicide),
membunuh orang lain (homicide), bahkan merusak lingkungan. Aktifitas fisik merefleksi isi
halusinasi seperti ; perilaku kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia. Tidak mampu
berespon terhadap perintah yang komplek dan tidak mampu berespon lebih dari satu orang
(Videbeck, 2008).
Penatalaksanaan pasien dengan perilaku halusinasi di RSJ Provinsi Bali selama ini
lebih menekankan pada medikasi antipsikotik berupa pemberian obat-obat psikofarmaka

dalam perbaikan klinis. Menurut Maramis (2008), medikasi antipsikotik adalah inti dari
pengobatan skizofrenia dengan gejala penyertanya. Penelitian Maramis (2008) menemukan
bahwa intervensi psikososial dapat memperkuat perbaikan klinis, seperti psikoterapi suportif
individual atau kelompok. Tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien dengan
halusinasi diantaranya dengan membantu pasien mengenali halusinasinya, melatih pasien
mengontrol halusinasinya, dengan cara: menghardik halusinasi, melatih bercakap-cakap
dengan orang lain, melatih pasien beraktivitas secara terjadwal, dan melatih pasien
menggunakan obat secara teratur (Keliat, 2010). Tindakan pengobatan (medis) yang dapat
dilakukan kepada pasien dengan halusinasi yaitu pengobatan psikofarmaka dan terapi kejang
listrik (Maramis, 2008). Salah satu terapi keperawatan jiwa yang dapat mendukung
psikoterapi suportif pada pasien gangguan jiwa adalah Terapi Aktivitas Kelompok (TAK).
TAK untuk mengatasi halusinasi adalah TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi.
TAK Stimulasi Persepsi Halusinasi adalah suatu bentuk terapi yang mengajarkan dan
mempraktikkan kepada individu atau pasien dengan perilaku halusinasi agar mampu
mengontrol halusinasinya. TAK stimulasi persepsi halusinasi, terdiri dari 5 sesi, yaitu sesi 1:
mengenal halusinasi, sesi 2: mengontrol halusinasi dengan menghardik, sesi 3: mengontrol
halusinasi dengan melakukan kegiatan, sesi 4: mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap,
dan sesi 5: mengontrol halusinasi dengan patuh minum obat (Keliat dan Akemat, 2005).
Penelitian yang dilakukan Puter (2012), dengan judul penelitian pengaruh terapi
aktivitas kelompok stimulasi persepsi ihalusinasi terhadap kemampuan pasien mengontrol
halusinasi di Ruang Nakula dan Sahadewa RSJ Provinsi Bali, didapatkan hasil penelitian
bahwa ada perbedaan kemampuan pasien mengontrol halusinasi setelah TAK stimulasi
persepsi halusinasi pada kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol (p=0,007).
Menghardik halusinasi adalah upaya mengendalikan diri terhadap halusinasi dengan
cara menolak halusinasi yang muncul. Pasien dilatih untuk mengatakan tidak terhadap

halusinasi yang muncul atau tidak memedulikan halusinasinya, sedangkan mengontrol


halusinasi dengan melakukan kegiatan, dengan membimbing pasien membuat jadwal yang
teratur. Dengan beraktivitas secara terjadwal, pasien tidak akan mengalami banyak waktu
luang yang sering kali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami halusinasi
bisa dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara beraktivitas secara teratur dari
bangun pagi sampai tidur malam, tujuh hari dalam seminggu (Keliat, 2010).

Dampak yang dapat ditimbulkan oleh


pasien yang mengalami h
alusinasi adalah
kehilangan kontrol dirinya. Dimana pasien
mengalami panik dan perilakunya dikendalikan
oleh halusinasinya. Dalam situasi ini pasien
dapat melakukan bunuh diri
(suicide)
,
membunuh orang lain
(homicide)
, bahkan
merusak lingkungan. Untuk memp
erkecil
dampak yang ditimbulkan, dibutuhkan
penanganan halusinasi yang tepat (Hawari
2009, dikutip dari Chaery 2009).

Pada Terapi aktivitas


kelompok stimulasi persepsi klien
diajarkan untuk mengenal halusinasi
sebagai sesuatu yang tidak nyata
dan mengajarkan cara memutus
halusinasi. Cara yang digunakan
yaitu: 1) mengenal halusinasi,
karena b
agi klien halusinasi
merupakan hal yang nyata dan
dapat dirasakan kehadirannya, tapi
dalam hal ini klien harus bisa
membedakan mana yang nyata dan
mana yang tidak nyata dengan cara

mengorientasikan klien pada realita


dengan cara mengetahui dan
mengungkapka
n: isi halusinasi,
waktu dan frekuensi terjadinya
halusinasi, perasaan saat terjadinya
halusinasi. Dengan mengenal
halusinasi maka kecemasan klien
dapat berkurang dan klien dapat
membedakan realita dan non realita;
2) memutus halusinasi dengan
menghardik.
Metode menghardik
halusinasi dapat mengajarkan
kepada klien untuk bisa mengatakan
tidak pada semua perintah
halusinasi sehingga klien lebih
berani untuk mengabaikan
halusinasi yang selama ini
mengontrol perilaku klien; 3)
memutus halusinasi dengan
melaku
kan kegiatan. Dengan
melakukan kegiatan diharapkan
klien tidak menyendiri, sehingga
halusinasi yang muncul dapat
diabaikan

Berdasarkan Tabel
5, analisis statistik deskriptif tersebut diatas, sebelum dilakukan
TAK stimulasi
persepsi halusinasi, diperoleh kemampuan mengontrol halusinasi klien
yang kurang adalah 2 orang, cukup sebanyak 31 orang dan baik sebanyak 1
orang,
sedangkan sesudah dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi, diperoleh
kemampuan mengontrol halusinasi kli
en yang kurang adalah 1 orang, cukup sebanyak
13 orang dan baik sebanyak 20 orang, perubahan kemampuan mengontrol
halusinasi
antara sebelum perlakuan dan setelah perlakuan dikarenakan pasien mampu
dalam
melakukan TAK stimulasi persepsi dengan baik dan mamp
u mengontrol halusinasi,

sehingga dapat dikatakan bahwa kemampuan mengontrol halusinasi sesudah


dilakukan
TAK stimulasi persepsi halusinasi lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan
mengontrol halusinasi sebelum dilakukan TAK stimulasi persepsi halusinasi

Masih banyaknya pelaksanaan komunikasi terapeutik yang kurang baik


kemungkinan karena tingginya volume kerja perawat di ruang rawat inap kelas
3 yang masih ada ketidakseimbangan antara jumlah pasien dan tindakan yang
harus diberikan dengan jumlah tenaga perawat yang belum banyak.
Pasien dengan halusinasi pada
awalnya menunjukkan sikap apatis,
menarik diri, mengisolasi diri dan tidak
m
au berkomunikasi (Keliat & Akemat,
2005).
aktivitas mengenal halusinasi, aktivitas mengusir/menghardik halusinasi,
aktivitas mengontrol halusinasi dengan melakukan kegiatan, aktivitas
mengontrol halusinasi dengan bercakap-cakap, aktivitas mengontrol halusinasi
dengan patuh minum obat. Dengan aktivitas yang telah dilakukan tersebut
sehingga klien mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang
diakibatkan oleh paparan stimulus kepadanya, serta klien dapat
mempersepsikan stimulus yang dipaparkan kepadanya dengan tepat, klien dapat
menyelesaikan masalah yang timbul dari stimulus yang dialami sehingga bila
klien mampu mengontrol maka frekuensi halusinasinya akan menurun
(Keliat,2005).

Peningkatan kemampuan klien dalam


mengontrol halusinasi yaitu sebagian klien
mampu mengidentifikasi pikiran negatif
yang muncul, klien sudah mampu
menggunakan tanggapan yang rasional,
klien mampu memodifikasi pikir
an yang
negatif menjadi posit
if

.
Peningkatan
kemampuan dalam mengontrol halusinasi
yang muncul kemampuan dalam
mengontrol halusinasi (menghardik,
bercakap
cakap, melakukan kegiatan dan
minum obat) dan mampu mengidentifikasi
pikiran dan perilaku otomatis yang negatif,
mampu menggunakan tan
ggapan yang
rasional terhadap pikiran yang negatif,
mampu memodifikasi perilaku negatif
menjadi positif dengan memberikan token
dan mampu menjelaskan pentingny
psikofarma sebesar 100%.
Pada pemberian
terapi perilaku kognitif memberikan
peningkatan kemampu
an klien dan respon
terhadap stressor pada aspek kognitif,
afektif, fisiologis dan sosial.
bahwa banyak klien yang merasa yakin
akan kesembuhan klien yaitu sebanyak 17
klien (85%).
Keyakinan dan gambaran
positif seseorang dapat menjadi dasar dari
harapan yang dapat mempertahankan
koping adaptif walaupun dalam kondisi
penuh stressor. Keyakinan harus dikuatkan
untuk membentuk keyakinan positif
(kognitif) dan dapat menguatkan afektif,
k
estabilan fisiologis tubuh, perilaku
konstruktif dan sosial yang baik.
Kondisi
ini klien dengan halusinasi perlu
mendapatkan terapi yang lebih
advance

yaitu terapi perilaku kognitif (Stuart,


2009).
Dapat disimpulkan bahwa sebagian
besar menunjukkan dukunga
n sosial dan
keyakinan yang positif akan berpengaruh
terhadap kondisi kesehatan klien.

You might also like