Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering
ditemukan pada bayi baru lahir. Hiperbilirubinemia ialah terjadinya peningkatan
kadar bilirubin dalam darah, baik oleh faktor fisiologik maupun non-fisiologik,
yang secara klinis ditandai dengan ikterus.1
Penyebab utama kematian neonatal pada minggu pertama kehidupan
menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 adalah gangguan
pernapasan (35,9%), prematuritas dan BBLR (32,4%), sepsis (12%), hipotermi
(6,3%), hiperbilirubinemia (5,6%), post matur (2,8%) dan kelainan kongenital.
Hiperbilirubinemia memiliki presentase yang kecil sebagai penyebab kematian
neonatal, namun mempunyai komplikasi yang dapat menyebabkan kematian.2
Sepsis neonatorum merupakan suatu sindrom klinis bakteremia yang
ditandai dengan gejala dan tanda sistemik terutama pada bulan pertama
kehidupan. Berdasarkan awitan gejala, sepsis neonatorum dibedakan menjadi dua,
yaitu sepsis awitan dini (SAD) timbul dalam 72 jam pertama kehidupan dan sepsis
awitan lanjut (SAL) timbul setelah umur 72 jam. 3 Insiden sepsis neonatorum di
negara berkembang masih tinggi, 1,8-18/1.000 kelahiran dibandingkan dengan
negara maju 1-5/1.000 kelahiran. Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo
Jakarta, insidens sepsis neonatorum masih tinggi mencapai 13,7% dengan angka
kematian 14%.4
Omfalitis didefinisikan sebagai infeksi umbilicus, khususnya di tali pusat,
pada bayi baru lahir. Omfalitis dapat menyebar ke vena porta dan menyebabkan
berbagai macam komplikasi akut yang memerlukan intervensi medis bedah.
Sekitar tiga per empat dari omfalitis berasal dari polimikrobial. Bakteri aerob
merupakan penyebab dari 85% kasus, yang didominasi oleh Staphylococcus
aureus, Streptococcus grup A, Escherichia coli, Klebsiella pneumonia dan
Proteus mirabilis. Omfalitis jarang terjadi di negara maju, dengan angka kejadian
0,2-0,7 %. Untuk kejadian di negara berkembang, terjadi antara 2-7 bayi dalam
setiap 100 kelahiran hidup. Kejadian ini bahkan lebih tinggi dimasyarakat dengan
aplikasi praktek dirumah yang tidak steril.5
Berikut ini akan dibahas sebuah kasus pada seorang bayi laki-laki yang
dirawat di bagian Neonatologi RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado dengan
diagnosa Hiperbilirubinemia + Sepsis + Omfalitis.
BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas Bayi
Nama Bayi
: By. W.A
Tanggal Lahir
: 18 April 2015
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Tempat Lahir
: Puskesmas Belang
Umur
: 4 hari
: Indonesia
Proses kelahiran
Agama
: Kr. Protestan
Dibantu oleh
: Bidan
Identitas Orangtua
Ayah
Ibu
Nama
: N. W
Nama
: R. A
Umur
: 21 tahun
Umur
: 17 tahun
Pendidikan
: SMA
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
: Swasta
Pekerjaan
Alamat
Anamnesis
Pasien laki-laki, usia 4 hari, dirujuk dari UPTD Puskesmas Belang dengan
diagnosa bayi premature 4 hari dengan asfiksia. Bayi laki-laki masuk ruang NICU
pada tanggal 22 April 2015. Faktor resiko sepsis yaitu ketuban pecah dini >12
jam, keputihan yang tidak diobati dan usia kehamilan <37 minggu.
Sejak pagi ibu penderita mengeluh bayi tampak kuning seluruh badan.
Pada saat dimandikan tampak kebiruan dimuka. Kebiruan baru pertama kali
dialami oleh penderita. Riwayat kebiruan saat menangis atau menetek tidak ada.
: aktif , refleks
Berat Badan
: 2000 gr
Panjang badan
: 43 cm
Tanda Vital
Kulit
Kepala
Mata
Hidung
Telinga
Mulut
Leher
Tenggorokan
Dada
Jantung
Paru-paru
Abdomen
Ekstremitas
Tulang belulang
: Deformitas (-)
Otot-otot
: Eutrofi
Genitalia
Anus
: Lubang (+)
Refleks-refleks
: RP -/-. RF +/+
Refleks Moro (+)
Refleks Grasping (+)
Refleks Rooting (+)
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi
Rencana pemeriksaan :
-
Kultur darah
Crossmatch
FOLLOW UP
23 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
Keadaan umum
Denyut jantung
: 138 x/m
Frekuensi napas
: 40 x/m
Suhu badan
: 37,0C
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
IVFD KAEN 4B = 175 ml/kgBB/hari = 385 ml/hari = 16-17 ml/jam
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg IV (2)
Injeksi Gentamicin 10 mg IV/36 jam
: 17,4
Ht
: 57,5
Leukosit
: 17.640
Natrium
Trombo
: 158.000
Kalium
: 141 mg/dL
: 4,15 mg/dL
Klorida
: 106,5 mg/dL
IT Ratio
Kalsium
: 8,68 mg/dL
: 0,32
24 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
: demam (-), sesak (-), muntah (-), kuning (+), intake (+)
Keadaan umum
Denyut jantung
: 132 x/m
Frekuensi napas
: 44 x/m
Suhu badan
: 36,5C
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
IVFD KAEN 4B ganti venvlon
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg via INT (3)
Injeksi Gentamicin 10 mg/36 jam via INT
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI/ PASI on demand
Fototerapi hari I
Observasi
Tunggu hasil kultur 27/04/15
25 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
: demam (-), sesak (-), muntah (-), kuning (+), intake (+)
Keadaan umum
Denyut jantung
: 152 x/m
Frekuensi napas
: 50 x/m
Suhu badan
: 36,9C
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg (4) via INT
Injeksi Gentamicin 10 mg IV/36 jam
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI/ PASI on demand
Fototerapi hari II
Observasi
Tunggu hasil kultur 27/04/15
26 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
: demam (-), sesak (-), muntah (-), kuning (+), intake (+)
Keadaan umum
Denyut jantung
: 140 x/m
Frekuensi napas
: 50 x/m
Suhu badan
: 36,7C
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg IV (5)
Injeksi Gentamicin 10 mg IV/36 jam
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI/ PASI on demand
Fototerapi hari III
Observasi
Tunggu hasil kultur 27/04/15
27 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
: demam (-), sesak (-), muntah (-), kuning (+), intake (+)
Keadaan umum
Denyut jantung
: 150 x/m
Frekuensi napas
: 52 x/m
Suhu badan
: 37,0C
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
10
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg IV (6)
Injeksi Gentamicin 10 mg IV/36 jam
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI ad libitum
Observasi
Rencana Pemeriksaan: Darah Lengkap, Diff Count, CRP, Protein Total, Albumin,
Bilirubin Total, Bilirubin Direct, Na, K, Cl, Ca
Hasil pemeriksaan Lab 27/04/15
Hb
: 15,6 g/dL
Ht
: 44,3 %
Leukosit
: 9500/uL
Natrium
Trombo
: 361.000/uL
Kalium
: 137 mg/dL
: 5,43 mg/dL
Klorida
: 102,9 mg/dL
IT Ratio
: 0,13
Kalsium
: 9,01 mg/dL
Albumin
: 3,15
Protein total
: 4,60 g/dL
Globulin
: 1,45
28 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
Keadaan umum
Denyut jantung
: 150 x/m
Frekuensi napas
: 42 x/m
Suhu badan
: 37,0C
11
Kepala
Thoraks
Abdomen
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
Injeksi Amoxicilin 2 x 100 mg IV (7)
Injeksi Gentamicin 10 mg IV/36 jam
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI ad libitum
Pro : rawat transisi
29 Februari 2015
Berat badan
: 2100 gr
Keluhan
Keadaan umum
Denyut jantung
: 140 x/m
Frekuensi napas
: 44 x/m
Suhu badan
: 36,6C
Kepala
Thoraks
12
Ekstremitas
Status Lokalis
Diagnosis
Terapi :
O2 0,5 l/m via nasal canule k/p
Cefixime 2 x 15 mg Pulv
Fuladic cream zalf 3x1 App
ASI ad libitum
Pro : Rawat jalan
13
BAB II
PEMBAHASAN
Ikterus jaundice terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah
sehingga kulit atau sklera bayi tampak kekuningan. Selama dalam kandungan,
tugas mengeluarkan bilirubin dari darah dilakukan oleh plasenta dan bukan oleh
hati. Setelah bayi lahir, tugas ini langsung diambil alih oleh hati, yang
memerlukan sampai beberapa minggu untuk penyesuaian. Selama selang waktu
tersebut, hati bekerja keras untuk mengeluarkan bilirubin dari darah. Walaupun
demikian, jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh
karena bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat
memberi warna kuning pada kulit, sklera, dan jaringan tubuh lainnya.1
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Pada neonatus, ikterus akan tampak apabila serum bilirubin >5 mg/dL.
Bilirubin diproduksi dalam sisterm retikuloendotelial sebagai produk akhir dari
katabolisme heme dan terbentuk melalui reaksi oksidasi reduksi. Karena sifat
hidrofobiknya, bilirubin tak terkonjugasi diangkut dalam plasma, terikat erat pada
albumin. Ketika mencapai hati, bilirubin diangkut kedalam hepatosit, terikat
dengan ligandin. Setelah diekskresikan kedalam usus melalui empedu, bilirubin
direduksi menjadi tetrapirol tak berwarna oleh mikroba diusus besar. Bilirubin tak
terkonjugasi ini dapat diserap kembali kedalam sirkulasi, sehingga meningkatkan
bilirubin plasma total. 1
Ikterus ini pada sebagian penderita dapat bersifat fisiologis dan pada
sebagian lagi dapat bersifat patologis yang dapat menimbulkan gangguan yang
menetap atau bahkan menyebabkan kematian. Seorang bayi dikatakan menderita
hiperbilirubinemia apabila kadar bilirubin total 12 mg/dL pada bayi cukup
bulan, sedangkan pada bayi kurang bulan bila kadarnya > 10 mg/dL.6
Hiperbilirubinemia yang bersifat patologis ditandai dengan ikterus yang terjadi
sebelum usia 24 jam, peningkatan bilirubin serum yang membutuhkan fototerapi,
peningkatan bilirubin serum >5 mg/dL/24 jam, kadar bilirubin terkonjugasi >2
mg/dL, bayi menunjukkan tanda sakit (muntah, letargi, kesulitan minum,
14
penurunan berat badan, apnea, takipnu, instabilitas suhu), dan ikterus yang
menetap > 2 minggu.7
Ikterus dapat dideteksi secara klinis dengan cara mengobservasi warna
kulit setelah dilakukan penekanan menggunakan jari. Pemeriksaan terbaik
dilakukan menggunakan cahaya matahari. Ikterus dimulai dari kepala dan meluas
secara sefalokaudal. Salah satu cara memeriksa derajat kuning pada neonates
secara mudah dan sederhana adalah dengan penilaian menurut Kramer. Caranya
dengan jari telunjuk ditekankan pada tempat-tempat yang tulangnya menonjol
seperti tulang hidung, dada, lutut dan lain-lain. Tempat yang ditekan akan tampak
pucat atau kuning. Penilaian kadar bilirubin pada masing-masing tempat tersebut
disesuaikan dengan tabel yang telah diperkirakan kadar bilirubinnya.7
Tabel 17
Derajat
ikterus
Daerah ikterus
Perkiraan kadar
bilirubin total
5,0 mg/dL
Leher Pusat
9,0 mg/dL
Pusat Paha
11,4 mg/dL
12,4 mg/dL
16,0 mg/dL
Prematuritas
15
Omfalitis
Tanda hipotiroid
Penyebab hiperbilirubinemia indirek pada neonatal antara lain yaitu
peningkatan
produksi
bilirubin
akibat
inkompatibilitas
golongan
darah,
minum,
perubahan
produksi
atau
aktivitas
Uridine
16
Terapi sinar merupakan yang paling sering digunakan sebagai tata laksana
hiperbilirubinemia. Adapun cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah
bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk diekskresikan melalui
empedu atau urin. Terapi sinar yang intensif dapat menurunkan kadar bilirubin
total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam. 8 Yang dimaksud dengan fototerapi intensif
adalah
radiasi
dalam
spektrum
biru-hijau
(panjang
gelombang
antara
430-490 nm), setidaknya 30 W/cm2 per nm (diukur pada kulit bayi secara
langsung di bawah pertengahan unit fototerapi) dan diarahkan ke permukaan kulit
bayi seluas-luasnya. Pengukuran harus dilakukan dengan radiometer spesifik dari
manufaktur unit fototerapi tersebut.9 Semakin lama terapi sinar atau fototerapi,
semakin cepat penurunan kadar bilirubin, namun perlu diperhatikan efek samping
yang dapat timbul berupa eritema, kerusakan oksidasi, dehidrasi, hipertermi, diare
dan kerusakan retina.8 Sampai saat ini belum ada standar pasti untuk
menghentikan terapi sinar, akan tetapi terapi sinar dapat dihentikan bila kadar
Bilirubin Serum Total (BST) sudah berada di bawah nilai acuan dari setiap
kategori.9,10 American Academy of Pediatrics menghentikan fototerapi jika kadar
bilirubin total pasca fototerapi di bawah 13 mg/dL sedangkan UKK Perinatologi
IDAI menghentikan pemberian fototerapi jika bilirubin total di bawah 15 mg/dL.8
Panduan untuk terapi sinar untuk bayi dengan usai gestasi 35 minggu
yang dianut di Departemen IKA FKUI/RSCM mengacu pada diagram yang
diajukan oleh American Academy of Pediatrics (AAP) tahun 2004 (diagram 1)
sedangkan tata laksana untuk neonatus kurang bulan dapat dilihat pada table 2.7,8
Diagram 1
17
Tabel 27
Berat
< 1000g
1000-1500g
1500-2000g
2000-2500g
18
Penderita pada kasus ini diterapi dengan fototerapi. Hal ini sesuai dengan panduan
terapi sinar untuk bayi prematur yang diajukan oleh American Academy of
Pediatric (AAP) tahun 2004 dimana untuk bayi dengan berat badan 2000-2500
gram dengan bilirubin total 13-15 mg/dL diindikasikan untuk fototerapi. Selain itu
teori diatas juga menyatakan pemberian fototerapi merupakan tatalaksana yang
efektif untuk kasus hiperbilirubinemia.
Omfalitis didefinisikan sebagai infeksi umbilicus, khususnya di tali pusat,
pada bayi baru lahir. Hal ini jarang dilaporkan diluar masa neonatus. Variasi pada
keadaan kongenital merupakan factor predisposisi terjadinya infeksi pada tali
pusat. Tali pusat biasanya lepas 1 minggu setelah lahir dan luka sembuh dalam 15
hari. Sebelum luka sembuh, hal tersebut merupakan jalan masuk untuk kuman dan
infeksi yang dapat menyebabkan sepsis. 5
Tali pusat merupakan penghubung antara janin dan ibu dalam rahim. Tali
pusat terdiri dari jaringan ikat dan pembuluh darah. Tali pusat ini diporong setelah
lahir dan meninggalkan puntung tali pusat. Biasanya puntung yang tersisa
merupakan daerah yang berpotensi menjadi tempat pertumbuhan bakteri pathogen
selama atau segera setelah lahir. Bakteri ini yang akan menarik leukosit
polimorfonuklear ke tali pusat. Hingga dapat terjadi suatu reaksi radang.5
Manifestasi klinis omfalitis dibedakan menjadi 2 yaitu lokal dan sistemik.
Manifestasi klinis pada gejala lokal yaitu eritema periumbilikal, edema, keluar
pus, dan berbau busuk. Sedangkan pada gejala sistemik yaitu berupa takikardi,
hipotensi, takipnea, distensi abdomen, letargi, hipotonus maupun hipertonus.
Adapun beberapa faktor resiko terjadinya omfalitis yaitu:5
1. Penanganan tali pusat yang tidak benar
2. Infeksi sekunder (ketuban pecah dini, ibu dengan infeksi, proses kelahiran
yang tidak steril, prematuritas)
3. Bayi berat badan lahir rendah
4. Higenitas kurang
Etiologi omfalitis dapat berasal dari polimikrobial. Bakteri aerob
merupakan penyebab dari 85% kasus, yang didominasi oleh Staphylococcus
19
20
ikterus
patologik,
terdapat
gangguan
kardiovaskuler,
gangguan
21
Beberapa peneliti berpendapat bahwa adanya satu tanda klinis yang sesuai
dengan infeksi disertai dengan nilai CRP > 10 mg/L sudah cukup untuk
mendiagnosa suatu sepsis neonatorum. Sementara untuk menentukan kriteria
standar pada sepsis, beberapa peneliti menggabungkan nilai CRP > 10 mg/L dan
rasio netrofil imatur terhadap netrofil total (IT Rasio) 0,25 sebagai kriteria untuk
pemberian antibiotika meskipun belum ditemukan gejala sepsis. Philip dan Mills
merekomendasikan bahwa semua bayi dengan nilai CRP > 10 mg/L yang disertai
1 gejala klinis atau 1 faktor resiko infeksi harus diberlakukan pedoman rawat
inap neonatus di NICU dan dimulai dengan terapi antibiotika.13
Sepsis merupakan kedaruratan medik sehingga memerlukan pengobatan
segera untuk menurunkan angka kematian. Karena masih tingginya angka
kematian sepsis neonatal, tatalaksana yang utama adalah upaya pencegahan
dengan pemakaian proteksi di setiap tindakan terhadap neonatus, termasuk
pemakaian sarung tangan, masker serta mencuci tangan sebelum dan sesudah
terkena darah atau cairan tubuh lainnya.16 Pengobatan umumnya menggunakan
antibiotika kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme
patogen penyebab. Antibiotika yang dipilih ialah golongan ampisilin, vankomisin
dan golongan aminoglikosida/sefalosporin, dengan lama pengobatan yang
dianjurkan selama 10-14 hari.12 Antibiotik yang diberikan seharusnya sesuai
dengan uji kepekaan kuman. Antibiotik awal yang dapat diberikan adalah
Ampisilin dan Gentamisin.15
Penderita pada kasus ini didiagnosa sepsis neonatorum karena terdapat
faktor resiko yaitu ketuban pecah dini > 12 jam, keputihan yang tidak diobati dan
usia gestasi <37 minggu. Selain itu dari gejala klinik didapatkan ikterus patologik,
bayi tampak sakit dan letargi. Sementara dari pemeriksaan penunjang didapatkan
adanya lekositosis, peningkatan IT Rasio 0,25 (0,32). Hasil ini sesuai untuk
mendiagnosa sepsis neonatorum pada penderita dan sekaligus menjadi kriteria
dalam pemberian antibiotik.
Mortalitas dan prognosis bayi dengan sepsis dan hiperbilirubinemia
bervariasi berdasarkan etiologi dan kondisi yang mendasari dan responnya
terhadap pengobatan. Pada hari terakhir perawatan, penderita tidak ada keluhan
22
lagi. Pada kasus ini prognosisnya dubia ad bonam dikarenakan pasien dalam
perjalanan penyakitnya masih sensitif terhadap pengobatan ditandai dengan
kondisi pasien sampai pulang mengalami perbaikan dan dapat dilakukan rawat
jalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Mathindas S, Wilar R, Wahani A. Hiperbilirubinemia pada neonatus. JBM.
2013;5:4-10.
2. Riyantini Y. Pengaruh pendidikan kesehatan terhadap pengetahuan, sikap
dan keterampilan ibu serta kejadian hiperbilirubinemia pada bayi baru
lahir di RSAB Harapan Kita Jakarta [tesis]. [Depok]:Universitas
Indonesia;2010.
3. Wilar R, Kumalasari E, Suryando DY, Gunawan S. Faktor resiko sepsis
awitan dini. Sari Pediatri. 2010;12(4):265-9.
4. Aminullah A. Sepsis pada bayi baru lahir. Dalam: Kosim MS, Yunanto A,
Dewi R, Sarosa GI, Usman A. Buku ajar neonatologi. Edisi ke-1.Jakarta:
Badan Penerbit IDAI;2008.h.170-85.
5. Gallaher P. Omphalitis. Departements of Pediatrics, Pathology and
Genetics. Yale University. 2006
6. Etika R, Harianto A, Indarso F, Damanik S. Hiperbilirubinemia pada
neonatus. 2010: 1-14.
7. Dewanto N.E, Dewi R. Hiperbilirubinemia. Dalam: Pudjiadi A dkk.
Pedoman Pelayanan Medis. Edisi 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. 2011. H.114-122
23
24