You are on page 1of 13

CHANCROID

I.

DEFINISI
Chancroid adalah penyakit infeksi pada alat kelamin yang akut, setempat,
yang disebabkan oleh Streptobacillus ducrey (Haemophilus ducreyi) dengan
gejala klinis yang khas berupa ulkus nekrotik yang nyeri pada tempat inokulasi,
dan sering disertai pernanahan kelenjar getah bening regional. Penyakit ini sering
juga disebut Ulkus Molle,Chancre Mou,Soft Chancre, atau Soft Sore.(1,2,3,4)

II.

ETIOLOGI
Chancroid termasuk golongan penyakit yang ditularkan melalui hubungan

seksual. Selain penularan melalui hubungan seksual, secara kebetulan juga dapat
mengenai jari dokter atau perawat.(1,2,3,4)
Basil H. ducreyi berbentuk batang pendek, ramping dengan ujung
membulat, tidak bergerak, dan tidak membentuk spora. Basil ini bersifat gramnegatif, anaerob fakultatif yang membutuhkan hemin (faktor X) untuk
pertumbuhan, mereduksi nitrat menjadi nitrit, dan mempunyai DNA berisi
guanosine plus-cytosine fraksi 0,38 mole. Basil ini seringkali berkelompok,
berderet membentuk rantai, terutama dapat dilihat pada biakan sehingga disebut
pula streptobacillus.(1,6)
Pada lesi terbuka di daerah genital, basil ini sukar ditemukan karena tertutup
oleh infeksi sekunder. Basil ini lebih mudah ditemukan pada bahan pemeriksaan
yang berasal dari luka dan yang berupa nanah yang diambil dengan cara aspirasi
abses kelenjar inguinal.(1,6)
III.

PATOGENESIS
Terdapat 3 faktor utama yang diduga berperan penting dalam patogenesis

infeksi H. ducreyi yakni adherensi pada permukaan epitelial, tingkat produksi


eksotoksin (contohnya cytolethal distending toxin), dan resistensi mekanisme
pertahanan tubuh host. Penjelasan lebih lanjut mengenai patogenesis belum dapat
diketahui. Adanya trauma atau abresi, penting untuk organisme melakukan
penetrasi epidermis. Jumlah inokulum untuk menimbulkan infeksi tidak diketahui.

Pada lesi, organisme terdapat dalam makrofag dan neutrofil atau bebas
berkelompok (mengumpul) dalam jaringan interstitial.(1,6)
IV.

DIAGNOSIS

A. Gambaran Klinis
H. ducreyi diperkirakan masuk ke dalam tubuh host melalui epitel yang
rusak dan menginfeksi epitel mukosa, epitel skuama berlapis, dan kelenjar limfe
regional. Masa inkubasi berkisar antara 1-14 hari, pada umumnya kurang dari 7
hari. Lesi kebanyakan multipel, jarang soliter, biasa ditemukan pada daerah
genital, dan jarang pada daerah ekstragenital. Kelainan kulit mula-mula berupa
papul, kemudian menjadi vesikopustul pada tempat inokulasi, cepat pecah
menjadi ulkus. Ulkus biasanya kecil, lunak pada perabaan, tidak terdapat indurasi,
berbentuk cawan, pinggir tidak rata, sering bergaung dan dikelilingi halo yang
eritematosa. Ulkus sering tertutup jaringan nekrotik, dasar ulkus berupa jaringan
granulasi yang mudah berdarah, dan pada perabaan terasa nyeri.(1,7,8)
Tempat predileksi pada laki-laki ialah permukaan mukosa preputium, sulkus
koronarius, frenulum penis, dan batang penis. Dapat juga timbul lesi di dalam
uretra, skrotum, perineum, atau anus. Pada wanita, sering ditemukan pada labia,
klitoris, fourchette, vestibuli, anus, dan serviks.(1,8)

Gambar 2. Gambaran Klinis Chancroid. Lesi berbatas tegas yang terdapat di


vulva pada wanita (kiri) dan sulkus koronarius pada pria (kanan).
Dikutip dari kepustakaan 6

Lesi ekstragenital terdapat pada lidah, jari tangan, bibir, payudara,


umbilikus, dan konjungtiva. Karena adanya inokulasi sendiri, dengan cepat dapat
timbul lesi yang multipel, dengan cara ini dapat timbul lesi di daerah pubis,
abdomen, dan paha. Gejala sistemik jarang timbul, kalau ada hanya demam
sedikit atau malaise ringan.(1,8)
Jenis-Jenis Bentuk Klinis1
1. Chancroid Folikularis
Timbul pada folikel rambut, pada permukaannya menyerupai folikulitis
yang disebabkan oleh kokus, tetapi cepat menjadi ulkus. Lesi seperti ini
dapat timbul pada vulva dan pada daerah berambut di sekitar genitalia dan
sangat superfisial.(1)
2. Dwarf Chancroid
Lesi sangat kecil dan menyerupai erosi pada herpes genitalis, tetapi
dasarnya tidak teratur dan tepi berdarah.(1)
3. Transient Chancroid (Chancre Mou Valant)
Lesi kecil, sembuh dalam beberapa hari, tetapi 2-3 minggu kemudian diikuti
timbulnya buboyang meradang pada daerah inguinal. Bubo adalah adenitis
daerah inguinal timbul pada setengah kasus chancroid. Sifatnya unilateral,
eritematosa, membesar, dan nyeri. Timbul beberapa hari sampai 2 minggu
setelah lesi primer. Lebih daripada setengah kasus adenitis sembuh tanpa
supurasi.Gambaran ini menyerupai limfogranuloma venereum.(1)
4. Papular Chancroid (Ulkus Mole Elevatum)
Dimulai dengan ulkus yang kemudian menimbul terutama pada tepinya.
Gambarannya menyerupai kondiloma lata pada sifilis stadium II.(1)
5. Giant Chancroid
Mula-mula timbul ulkus kecil, tetapi meluas dengan cepat dan menutupi
satu daerah. Sering mengikuti abses inguinal yang pecah, dan dapat meluas
ke daerah suprapubis bahkan daerah paha dengan cara autoinokulasi.(1)

6. Phagedenic Chancroid
Lesi kecil menjadi besar dan destruktif dengan jaringan nekrotik yang luas.
Genitalia eksterna dapat hancur, pada beberapa kasus disertai infeksi
organisme Vincent.(1)
3

7. Chancroid Serpiginosa
Lesi membesar karena perluasan atau autoinokulasi dari lesi pertama ke
daerah lipat paha atau ke paha. Ulkus jarang menyembuh, dapat menetap
berbulan-bulan atau bertahun-tahun.(1)
B. Pemeriksaan Mikrobiologis
Bahanbiasanya diperolehdengan menggunakan kapas, dimana
organismehanya dapat bertahanselama beberapa jamtanpadidinginkanpada suhu 4
C.GramstainH.ducreyidalamolesaneksudatmenunjukkangambaranschool-offishatau railroad trackbasilgram-negatif yang kecil (lihat Gambar3). Temuan
initidak spesifikkarena bakterilain mungkin memilikipengaturan yang sama, dan
tidak sensitifkarena bakteriyang bertanggung jawabhanya terlihat padasekitar
sepertigasampai setengahdari orang yang terinfeksi.(2)

Gambar 3. Apusan eksudat gram yang diambil dari ulkus genital


menunjukkan pola karakteristik H. Ducreyi.
Dikutip dari kepustakaan 2
Diagnosis akurat chancroid memerlukan isolasi H.ducreyi pada media kultur
khusus; kecil, non-berlendir semiopak atau koloni tembus muncul setelah 24-72

jam jika tumbuh pada suhu 33-35C dalam suasana 5-10% CO2. Metode
identifikasi lebih lanjut diperlukan, seperti tesporfirin, untuk membuktikan
kebutuhan hemin (faktorX) untuk pertumbuhan. Ada variasi dalam media (yang
tidak tersedia secara luas dari sumber komersial) dan kepekaan kultur adalah
antara 60% dan 80%, tergantung pada kualitas dan penanganan, kondisi kultur dan
pengalaman spesimen laboratorium.(2)
Jika kultur tidak mungkin atau meragukan, diagnosis berdasarkan gambaran
klinis dan mengesampingkan mikroorganisme lain yang menyebabkan penyakit
ulkus kelamin, seperti herpes atau sifilis kelamin, serta pada data epidemiologi
dan respon terhadap terapi.(2)
Prosedur diagnostik lainnya, seperti metode deteksi antigen, teknik biologis
molekul atau tes serologis, sedang dalam pengembangan dan belum dapat
direkomendasikan untuk diagnosis rutin. Tes PCR dengan tingkat sensitivitas 8398% memungkinkan diagnosis berbagai macam mikroorganisme penyebab
penyakit ulkus kelamin, seperti T.pallidum, H. Ducreyi dan HSV.(2)
V.

DIAGNOSIS BANDING
Lesi pada chancroid dapat didiagnosis banding dengan herpes genitalis,

sifilis stadium I, limfogranuloma venereum, dan granuloma inguinalis.(1)


A. Herpes Genitalis
Pada herpes genitalis, kelainan kulit berupa vesikel yang berkelompok dan
jika pecah menjadi erosi, bukan ulkus seperti pada chancroid. Terdapat gejala
prodromal, seperti demam, sakit kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal yang
sering muncul berupa nyeri, gatal, dan sekret vaginal atau urethra. Tanda-tanda
radang akut lebih mencolok pada chancroid.(1,9)

Gambar 4. Gambaran Klinis Herpes Genitalis primer pada pria (kiri) dan
wanita (kanan).
Dikutip dari kepustakaan 9
B. Sifilis Stadium I
Pada sifilis stadium I, kelainan kulit dimulai sebagai papul lentikular yang
permukaannya segera menjadi erosi, dan pada umumnya kemudian menjadi ulkus.
Ulkus tersebut biasanya bulat, soliter, indolen, dan terdapat indurasi. Dindingnya
tidak bergaung dan tidak menunjukkan tanda-tanda radang akut.(1,10)
Pada dasar ulkus tidak ditemukan eksudat dan hanya tampak jaringan
granulasi berwarna merah dan bersih. Di permukaannya hanya tampak serum. Jika
terjadi pembesaran kelenjar getah bening regional juga tidak disertai tanda-tanda
radang akut kecuali tumor, tanpa disertai periadenitis dan perlunakan.(1,10)

Gambar 5. Gambaran Klinis Sifilis Stadium I pada


penis.
Dikutip dari kepustakaan 7
C. Limfogranuloma Venerium
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Chlamydia trachomatis. Masa
tunas 1 4 minggu. Gambaran klinisnya dapat dibagi menjadi bentuk dini (afek
primer dan sindrom inguinal) dan bentuk lanjut (sindrom genital, anorektal, dan
uretral).
Umumnya penderita datang berobat pada waktu terjadi sindrom inguinal.
Lesi yang paling sering muncul adalah ulkus herpetiformis non-indurasi pada
lokasi infeksi setelah masa inkubasi 3-12 hari atau lebih. Seringkali terjadi
pembesaran kelenjar getah bening inguinal, perlunakannya tidak serentak. Titer
tes ikatan komplemen untuk LGV kurang dari 1/16 dan tes ulangan tidak
meninggi.(1,11)

Gambar 6. Gambaran Klinis LGV, tampak erosi


preputium, limfangitis dorsal penis, dan bubo inguinal
kanan.
Dikutip dari kepustakaan 11

D. Granuloma Inguinalis (Donovanosis)


Granuloma inguinalis disebabkan oleh adanya infeksi bakteri
Calymatobacterium granulomatis (Donovania granulomatis). Masa inkubasi
antara 1 12 minggu. Gambaran patognomonik adalah adanya sel mononuklear
besar yang terinfeksi, berisi banyak kista intrasitoplasmik yang diisi oleh badanbadan Donovan.
Lesi dapat dimulai pada daerah genitalia eksterna, paha, lipat paha, atau
perineum. Pada awalnya timbul papul atau vesikel yang tidak nyeri, kemudian
perlahan-lahan menjadi ulkus granulomatosa (tanda khas) berbentuk bulat, seperti
beludru, dan mudah berdarah. Pembengkakan di daerah inguinal dapat timbul
menyertai lesi genital, sebagai massa induratif atau abses yang akhirnya pecah
menimbulkan ulkus yang khas. Kelainan ini disebut pseudobubo karena bukan
kelenjar getah bening yang membesar melainkan sebuah granuloma subkutan.(1,12)
Ulkus dapat terasa nyeri, tetapi biasanya hanya terdapat gangguan
konstitusi ringan. Cairan lesi biasanya bersifat serosanguinosa. Pada wanita,
proses ulserasi dapat meluas sampai mengenai serviks uteri.(1)

Gambar 6. Lesi Donovanosis ulcerogranulomatosa


tipe subpreputial.
Dikutip dari kepustakaan 12
VI.

PENATALAKSANAAN
A. Sistemik
1. Sulfonamida
Sulfatiazol, sulfadiazin atau sulfadimidin, diberikan dengan dosis
pertama 2-4 gram dilanjutkan dengan 1 gram tiap 4 jam sampai
sembuh sempurna (kurang lebih 10-14 hari), tablet kotrimoksazol,
ialah kombinasi sulfametsazol ialah kombinasi fametaksol 400 mg
dengan trimetroprim, 80 mg diberikan dengan dosis 2x2 tablet selama
10 hari. Pada bubo yang mengalami supurasi dilakukan aspirasi
melalui kulit yang sehat. MEHEUS dkk. (1981) menyatakan bahwa
pemberian kotrimoksazol 2x4 tablet selama 2 hari, sangat efektif
untuk ulkus mole.(1)
2. Streptomisin
Obat ini juga efektif tanpa mengganggu diagnosis sifilis. Disuntikkan
tiap hari 1 gram selama 7-14 hari, dapat juga dikombinasikan perlu
kalau terdapat bubo, atau kalau lesi genitalia tidak sembuh hanya
dengan pembrian sulfonamida.(1)
3. Penisilin
Sedikit efektif, terutama diberikan kalau terdapat organisme vincent.(1)
4. Tetrasiklin dan Oksitetrasiklin
Efektif kalau diberikan dengan dosis 4 x 500 mg/selama 10-20 hari,
antibiotik golongan ini menutupi gejala-gejala sifilis stadium I. Di
beberapa negara H.ducrey sudah resisten terhadap antibiotik golongan
9

ini. STAMPS (1974) mengobati 32 penderita ulkus mole dengan 300


mg dosis tunggal dan hanya menemukan kegagalan pada 1 orang.(1)
5. Kanamisin
Disuntikkan i.m 2x500mg selama 6-14 hari. obat ini tidak mempunyai
efek terhadap T.pallidium.(1)

10

6. Kloramfenikol
Kloramfenikol efektif terhadap H.ducrey, tetapi karena mempunyai
efek toksik tidak digunakan lagi.(1)
7. Eritromisin
Diberikan 4x500mg sehari selama seminggu.(1)
8. Kuinolon
Ofloksasin : cukup dosis tunggal 400mg.(1)
B. Lokal
Jangan berikan antiseptik karena akan mengganggu pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap untuk kemungkinan diagnosis sifilis stadium I. Lesi dini yang
kecil dapat sembuh setelah diberi NaCl fisiologik.(1)
Pengobatan yang utama untuk chancroid adalah eritromisin diberikan
selama minimal 7hari. Resistensi terhadap sulfonamid, tetrasiklin dan trimetoprim
telah dilaporkan di beberapa negara.Ceftriaxone atau azithromycin alternatif yang
diberikan sebagai dosis tunggal.(4)

11

DAFTAR PUSTAKA

1.

Judanarso, Jubianto. Ulkus Mole. In: Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah and
Siti Aisah, eds. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th Ed. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI, 2010, p. 417- 421.

2.

Stary, Angelika.Sexually Transmitted Infections: Chancroid. In: Jean L


Bolognia, Joseph L Jorizzo dan Ronald P Rapini, eds. Dermatology. 2nd Ed.
USA : Elsevier, 2008, p. 1-6

3.

Anonim. Chancroid. PubMed. [Online] August 24, 2011. [Cited: July 24,
2012.] Available from:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0001659

4.

Hay, RJ dan Adriaans, BM. Bacterial Infections: Chancroid. In: Tony


Burns, et al, eds. Textbook of Dermatology. 8th Ed. Italy: BlackWell, 2008, p.
27.47-8.

5.

Mehta, Ninfa. Chanroid in Emergency Medicine. MedScape. [Online] July


11, 2011. [Cited: July24, 2012.] Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/781520-overview

6.

Lautenschlager, Stephan. Chancroid. In: Klauss Wolff, et al, eds.


Fitzspatrick's Dermatology in General Medicine. 7th Ed. USA: McGrawHill, 2008, p. 1983-6.

7.

Shimizu, Hiroshi, ed.Shimizu's Textbook of Dermatology. [Serial Online]


2007 [Cited: July 24, 2012]pp. 497-8. Available from:
http://derm-hokudai.jp/shimizu-dermatology/ch27/index.html

8.

Spinola, Stanley M. Chancroid and H. ducreyi. In: KK Holmes, et al, eds.


Sexually Transmitted Disease. 4th Ed. USA: McGraw Hill, 2008, pp. 689-96.

9.

Corey, Lawrence and Wald, Anna. Genital Herpes. In: KK Holmes, et al,
eds. Sexually Transmitted Disease. 4th Ed. USA: McGraw Hill, 2008, pp.
404-5.

10.

Sparling, PF, et al. Clinical Manifestation of Syphilis. In: KK Holmes, et


al, eds. Sexually Transmitted Disease. 4th Ed. USA: McGraw Hill, 2008, pp.
661-3.
12

11.

Stamm, WE. Lymphogranuloma Venereum. In: KK Holmes, et al, eds.


Sexually Transmitted Disease. 4th Ed. USA: McGraw Hill, 2008, pp. 595-8.

12.

O'Farrell, Nigel. Donovanosis. In: KK Holmes, et al, eds. Sexually


Transmitted Disease. 4th Ed. USA: McGraw Hill, 2008, pp. 701-4.

LAMPIRAN REFERENSI

13

You might also like