You are on page 1of 12

INDONESIA, ASEAN, DAN PEMBERANTASAN ILLEGAL FISHING

Oleh: Kanyadibya Cendana Prasetyo

ABSTRACT
Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing is a significant problem in
Southeast Asia costing an estimated US$2,500 million or eight percent of recorded landings
(FAO, 2007:23). It is one of the non-traditional security issues. It has been noted that the
uptake, by Southeast Asian States, of international and regional initiatives to combat IUU
fishing has been poor. Indonesia, as the largest archipelagic country in Southeast Asia, often
becomes victim of illegal fishing. Every year more than 80 billion rupiahs lost because of
illegal fishing. This loss is not only from the potential income of the fishermen, but also the
loss of fish stocks. The biggest culprits, however, are its neighbor and ASEAN member states.
Towards the creation of ASEAN Political-Security Community (APSC) 2015, ASEAN remains
relatively silent towards the issue. The ASEAN Maritime Forum also cannot do much rather
than engaging discussions on governmental level. Therefore, this paper tries to examine and
analyze the nature of illegal fishing in Southeast Asia, the effect towards Indonesia, the
cooperation between ASEAN member states, as well as bring solutions on national and
regional level.
Keywords: illegal fishing, ASEAN, APSC

PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan berpotensi menjadi salah satu negara
maritim terbesar di dunia. Wilayah perairan menjadi penting bagi Indonesia karena salah satu
perannya yang berfungsi sebagai penghubung antarpulau dan menjadi sumber penghasilan
bagi nelayan. Menurut situs www.indonesia.go.id, Indonesia memiliki 17.508 pulau dengan
garis pantai mencapai hingga 54.716 km dan luas wilayah mencapai 1,9 juta mil persegi dan
menjadi negara kepulauan terbesar di dunia. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara
yang memiliki garis pantai terluas di dunia setelah Kanada.
Wilayah perairan yang sangat luas tersebut tentu membutuhkan strategi pertahanan
dan keamanan laut yang tangguh untuk mengatasi segala bentuk ancaman. Namun fakta di
lapangan membuktikan bahwa pengembangan kapabilitas militer Indonesia hingga saat ini
lebih banyak difokuskan di daratan (land based). Total Alat Utama Sistem Pertahanan
(Alutsista) untuk Angkatan Darat sejumlah 27.115 unit, sementara untuk Angkatan Laut
hanya sebanyak 150 unit (Global Fire Power, 2012). Jumlah 150 unit peralatan yang dimiliki
TNI AL jelas tidak mencukupi untuk mengawasi dan menjaga keamanan wilayah Indonesia.
TNI Angkatan Laut juga memiliki 317 unit kapal patroli yang biasa disebut Kapal Angkatan
Laut (KAL) (Indomiliter, 2013). Dari segi kuantitas, Indonesia memiliki kapal perang
terbanyak di Asia Tenggara. Namun, kenyataannya tidak semuanya bisa beroperasi secara
bersamaan. Sedangkan untuk operasi di wilayah perbatasan TNI AL tidak bisa lepas drai
dukungan kapal Landing Ship Tank (LST) dan Landing Platform Dock (LPD). TNI AL
setidaknya punya 30 LST dan 5 LPD namun sebagian besar sudah berusia tua dan akan
dipensiunkan (Indomiliter 2013).
Sederhananya, negara ini memiliki kondisi geografis berupa kepulauan yang
membentang sepanjang 1,9 juta mil persegi, namun kapasitas dan kemampuan Angkatan Laut
masih sangat minim untuk melakukan patroli di setiap wilayah perairan Indonesia. Jumlah
dan kemampuan kapal yang digunakan patroli oleh TNI AL belum memadai untuk
mengcover wilayah perairan Indonesia yang begitu luas. Hal ini dapat menjadi celah yang
dimanfaatkan oleh nelayan asing untuk melakukan illegal fishing di Indonesia.
Undang-Undang Pertahanan Negara pasal 3 ayat 2 menyebutkan bahwa pertahanan
negara disusun dengan mempertimbangkan kondisi geografis Indonesia sebagai negara
kepulauan. Untuk itu penyusunan strategi pertahanan seyogyanya harus memperhatikan
kondisi Indonesia sebagai negara maritim serta eksistensi ribuan pulau-pulau Indonesia yang
membentang dari Sabang sampai Merauke.

Sementara itu, UU No 31/2004 tentang Perikanan telah mengamanatkan Pemerintah


Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam kerjasama regional dan internasional untuk
mengatasi illegal fishing (Jakarta Post, 23 Maret 2008). Hal ini menandakan bahwa
pemerintah Indonesia menyadari bahwa dengan kapabilitas TNI AL dan kondisi perairan
Indonesia saat ini, Indonesia membutuhkan bantuan dan kerjasama dengan berbagai pihak
untuk memberantas illegal fishing. Sebagai pemimpin regional ASEAN dan negara yang
wilayah lautnya berbatasan dengan 4 negara ASEAN, Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, dan Filipina, Indonesia sudah selayaknya bekerjasama di tingkat ASEAN.
Apalagi kerjasama keamanan untuk mencegah illegal fishing telah masuk ASEAN PoliticalSecurity Community (APSC) Blueprint. Sebagai bangsa Indonesia patutnya kita bertanya
bagaimana kita dapat memanfaatkan ASEAN, untuk kepentingan nasional kita, untuk
memberantas illegal fishing yang mempengaruhi Indonesia?

KERANGKA TEORITIS
Pembahasan mengenai illegal fishing sangat jarang dibahas dalam ranah kajian HI
tradisional. Namun, dalam perkembangannya kajian keamanan (security) dalam HI tidak
hanya membahas keamanan atau konflik antar negara. Para penstudi keamanan mulai
mengkaji keamanan non-tradisional seperti kejahatan transnasional, terorisme, illegal fishing,
trafficking, dan lain-lain. Keamanan negara tidak lagi dipandang sebagai aman dari ancaman
negara lain, namun juga aman dari segala bentuk gangguan dan ancaman yang dapat
membahayakan negara dan warga negaranya. Salah satu konsep keamanan yang membahas
keamanan secara komprehensif adalah konsep Comprehensive Security milik Barry Buzan.
Comprehensive Security adalah sebuah konsep keamanan yang mengkombinasikan
berbagai level dan dimensi keamanan menjadi satu kesatuan sistem yang padu (Rahman,
2009:18). Terdapat tiga level dan lima sektor yang perlu untuk dipertimbangkan dalam
perumusan kebijakan keamanan suatu negara. Menurut Barry Buzan tiga level yang
dimaksud adalah level individu, negara, dan sistem internasional; sementara lima sektor di
sini merujuk pada sektor militer, politik, sosial, ekonomi, dan lingkungan (Rahman, 2009:6).
Pembagian ke dalam tiga level merupakan pembagian secara vertikal merujuk pada
aktor (individu dan negara) dan sistem. Level sistem internasional berkaitan dengan faktor
sistemik yang mempengaruhi perilaku negara berikut konsekuensinya terhadap negara-negara
lain. Pada level negara berkaitan dengan permasalahan territorial dan kedaulatan negara.
Sementara di level individu permasalahan keamanan erat kaitannya dengan hal-hal yang
mempengaruhi eksistensi individu/manusia sebagai suatu makhluk hidup.

Sementara pembagian ke dalam lima sektor merupakan pembagian secara horizontal


merujuk pada aspek-aspek kehidupan yang patut untuk dipertimbangkan dalam mengkaji
masalah keamanan. Ancaman pada sektor militer didefinisikan sebagai ancaman yang
berpengaruh langsung pada komponen kedaulatan negara (Stone, 2009:5). Ancaman sektor
politik erat kaitannya pada eksistensi negara sebagai entitas politik, ancaman dapat berupa
persaingan antar ideologi atau serangan fisik terhadap negara itu sendiri (Stone, 2009:5).
Ancaman pada sektor politik dan militer tersebut merupakan sektor keamanan yang
dikategorikan sebagai sektor keamanan tradisional. Sementara itu ketiga sektor berikutnya
disebut sebagai sektor keamanan non-tradisional di mana ancaman juga bisa berupa hal-hal
yang sifatnya non-material/fisik. Keamanan sektor ekonomi merujuk pada permasalahan
pemenuhan kebutuhan ekonomi suatu entitas. Keamanan pada sektor lingkungan berkaitan
dengan aspek lingkungan alam di mana aktor itu tinggal, kerusakan pada lingkungan alam
dipersepsikan dapat berpotensi menimbulkan ancaman terhadap entitas yang hidup di
dalamnya. Sektor keamanan sosial berkaitan dengan permasalahan identitas dan budaya suatu
entitas. Sektor keamanan ini bersinggungan erat dengan sektor politik. Mempertimbangkan
kesemua level dan sektor itulah inti dari comprehensive security.
Dengan maksud tidak mengurangi kekomprehensifan pembahasan, di dalam tulisan
ini penulis menitikberatkan pada level sistem internasional dan negara. Hal ini dimaksudkan
untuk memberi batasan yang tegas sehingga pembahasan tidak meluas. Level sistem
internasional digunakan untuk menjelaskan perilaku dan sikap ASEAN sebagai organisasi
regional di kawasan Asia Tenggara. Level negara dipilih karena bagaimanapun juga negara
adalah aktor utama dalam kajian keamanan. Mengingat pada dasarnya negara adalah
penyedia keamanan yang pertama dan utama bagi individu (warganya) dari berbagai bentuk
ancaman. Indonesia adalah negara berdaulat sekaligus negara anggota ASEAN sehingga
dalam tulisan ini penulis akan menggunakan level analisa sistem internasional dan negara.

ILLEGAL FISHING DI INDONESIA


Minimnya kapabilitas militer Angkatan Laut menjadikan Indonesia rentan terhadap
ancaman dan gangguan keamanan di laut seperti illegal fishing. Sistem pertahanan dan
keamanan lautan Indonesia yang menjadi tugas dan tanggung jawab utama TNI AL hingga
saat ini belum mampu memberantas illegal fishing secara signifikan. Kejahatan di laut yang
dilakukan negara asing tidak hanya memperlemah kedaulatan negara Indonesia namun juga
merugikan nelayan. Sedikitnya, ada seribu kapal asing hilir mudik menangkap ikan secara
ilegal di Indonesia setiap tahunnya (Indomaritim, 2011). Apalagi, potensi kerugian negara

sebesar Rp80 triliun per tahun. Kerugian tersebut terdiri dari potensi ikan yang hilang
mencapai Rp 30 triliun dan potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak (PNBP)
sebesar Rp 50 triliun setiap tahun (Indomaritim, 2011).
Negara Indonesia sendiri memiliki sumber daya perikanan yang sangat besar. Volume
produksi perikanan tangkap di laut pada tahun 2010 sebesar 5.039.446 ton dengan nilai
produksi sebesar 59 triliun rupiah (Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2011). Tidak
hanya itu, 62% wilayah Indonesia berupa lautan dan separuh diantaranya merupakan Zona
Ekonomi Eksklusif (ZEE). Wilayah laut Indonesia yang berada diantara 2 benua dan 2
samudra telah lama menjadi jalur utama perdagangan dunia (Bandoro, 2005).
Di kawasan ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pulau terbanyak
dan wilayah lautan terluas. Indonesia menjadi pusat dari Kerjasama Maritim ASEAN yang
termasuk dalam ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint. Hal ini menjadikan
Indonesia memiliki peran vital menuju ASEAN Political-Security Community (APSC) 2015.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan superioritas wilayah laut Indonesia tidak berbanding
lurus dengan power dan kapabilitas Indonesia dalam menjaga lautnya. Berdasarkan data dari
Indomiliter (2013) Indonesia hanya memiiliki 317 unit kapal patroli, 30 kapal LST dan 5
LPD. Itupun tidak semuanya bisa beroperasi dan sebagian sudah berusia tua.
Kapal-kapal asing masih sering beroperasi di wilayah Indonesia tanpa ijin. Contohnya
pada tahun 2010 terjadi 108 kasus illegal fishing di wilayah perairan Natuna dengan total
kerugian mencapai Rp 30 triliun (DKP Kabupaten Natuna, 2011). Hal ini salah satunya
diakibatkan oleh minimnya regulasi dan kontrol terhadap kapal asing. Selain itu, perairan di
Laut Sulawesi, Selat Malaka, Laut Natuna, Laut Cina Selatan, dan Laut Arafuru sering
menjadi lokasi illegal fishing. Hal ini menunjukkan rentannya wilayah perbatasan Indonesia
terhadap ancaman keamanan di laut. Wilayah perbatasan yang berbatasan dengan Malaysia,
Singapura, Filipina, dan Australia kerap menjadi pintu masuk bagi kejahatan di lautan.
Pelaku kejahatan illegal fishing ini juga ternyata berasal dari anggota ASEAN, seperti
Malaysia, Thailand, Vietnam dan Filipina. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat
Kerjasama Maritim ASEAN dan esensi visi ASEAN Political-Security Community 2015 yang
digagas pada tahun 2009.

ILLEGAL FISHING DI ASEAN


Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) fishing masih menjadi masalah yang
signifikan di kawasan Asia Tenggara. Pada tahun 2007 FAO melaporkan kerugian akibat
illegal fishing mencapai 2,5 milyar dollar AS atau sekitar 8% dari total tangkapan ikan

(Baird, 2010). Kasus illegal fishing tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga negara
tetangga seperti Filipina dan Malaysia. Hal ini dikarenakan hampir semua negara anggota
ASEAN memiliki wilayah laut, kecuali Laos, dan wilayah lautan memiliki pengaruh penting
bagi perekonomian negara-negara ini.
Di wilayah Asia Tenggara pengakuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sepanjang 200
mil laut oleh berbagai negara malah membuat kebanyakan illegal fishing terjadi di ZEE
bukan di laut lepas. Hal ini karena perbatasan negara-negara seringkali berbatasan dengan
ZEE negara lain (APEC, 2008). Hal ini justru membuka kesempatan bagi terjadinya illegal
fishing. Secara historis, peluang terjadinya IUU fishing di Asia Tenggara cukup tinggi karena
struktur pemerintah yang lemah (FAO, 2007:23 dalam Baird, 2010). Sistem registrasi kapal
yang tidak efektif mengakibatkan kurangnya kontrol terhadap registrasi dan lisensi kapal. Hal
ini mengakibatkan ribuan kapal kecil mudah memasuki wilayah negara lain secara illegal.
Akibatnya adalah lingkungan yang kondusif untuk melakukan illegal fishing baik bagi
nelayan lokal maupun asing. Kurangnya peraturan nasional untuk menghukum nelayan yang
mencuri ikan di ZEE negara lain semakin membuat kontrol dan pengawasan kurang efektif.
ASEAN Political-Security Community (APSC) Blueprint telah menyebutkan
kerjasama untuk mengatasi kejahatan transnasional (transnational crimes) dalam kerangka
kerjasama dalam isu keamanan non-tradisional. Hal ini termaktub pada poin xiv Pasal B.4
tentang isu keamanan non tradisional sebagai berikut, Strengthen close cooperation
among ASEAN Member States, to combat IUU fishing in the region and where applicable,
through the implementation of the IPOA - IUU fishing. Hal ini menunjukkan isu illegal
fishing telah mendapat perhatian di tingkat ASEAN namun isu ini masih menjadi masalah
yang cukup serius di kawasan ASEAN.
Menghadapi arus kapal asing yang panen sumber daya laut yang ilegal, Indonesia
telah meningkatkan upaya untuk menyelesaikan masalah di tingkat daerah dan nasional.
Diantaranya ialah memperkuat kerjasama lintas sektor, meningkatkan partisipasi masyarakat
dan kapabilitas pertahanan dan keamanan di laut. Namun, upaya pemerintah di tingkat
nasional akan sia-sia jika tidak didukung upaya di tingkat regional, yakni di tingkat Asia
Tenggara. Sayangnya, tidak mudah untuk mendorong tindakan dalam ASEAN, meskipun
semua diskusi tentang illegal fishing telah dilakukan diantara anggota organisasi regional ini.
Menurut I Gede Ngurah Swajaya, Wakil Indonesia di ASEAN, memerangi illegal
fishing sebenarnya termasuk dalam program aksi di Komunitas Politik-Keamanan ASEAN
(APSC) Blueprint yang seharusnya dilaksanakan pada tahun 2015 (IPS Asia Pacific, 2012).
Namun, masalah ini adalah isu yang sensitif bagi sebagian negara anggota ASEAN. Selain

itu, negara-negara tersebut adalah rumah bagi banyak nelayan ilegal. Di Indonesia, banyak
kapal asing bahwa ikan ilegal datang terutama dari negara-negara Asia Tenggara seperti
Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Filipina.
Permasalahannya, ASEAN tidak datang dengan kesepakatan konkret tentang
bagaimana menangani masalah Illegal, Unreported, Unregulated (IUU) fishing, meskipun
masing-masing negara anggota telah berkomitmen untuk memerangi illegal fishing. Ada
upaya pertukaran pandangan dan membangun mekanisme ASEAN yang berfokus pada
pengelolaan sumber daya kelautan, khususnya perikanan, tetapi tidak banyak hasil yang nyata
(IPS Asia Pacific, 2012). Menurut Ngurah Swajaya jika program aksi Cetak Biru itu
diterapkan secara ketat, masing-masing negara harus memantau kegiatan nelayannya (IPS
Asia Pacific, 2012). Kita tidak hanya berhati-hati memantau aktivitas nelayan asing di
perairan lokal, namun juga mencegah nelayan sendiri mencuri ikan di perairan negara lain.

KERJASAMA MARITIM ASEAN DAN APSC 2015


Trend nyata yang berhubungan dengan keamanan maritim ialah dengan meningkatkan
pendekatan multilateral atau melibatkan berbagai negara dalam menangani masalah
keamanan di lautan. Indonesia telah terus-menerus mengupayakan untuk mendorong negaranegara ASEAN untuk memiliki rencana aksi terhadap illegal fishing. Namun, sejauh ini
tindakan ASEAN masih minim.
Dari 11 isu politik keamanan yang menjadi prioritas kerjasama ASEAN, empat isu
diantara mempunyai keterkaitan langsung dengan TNI Angkatan Laut dan illegal fishing.
Kedua isu tersebut the setting up of an ASEAN Fisheries Forum, the enhancement of
cooperation with civil society organizations in the fight against non-traditional security
problem. Apabila mengacu pada ASEAN Political Security Community Blue Print (20092015), sebagian dari empat isu tersebut tercakup dalam bidang A Rules-Based Community of
Shared Values and Norms, sebagian lainnya digolongkan dalam bidang A Cohesive, Peaceful
and Resilient Region With Shared Responsibility for Comprehensive Security. Kerjasama
maritim ASEAN sendiri merupakan salah satu sub bidang dalam A Rules-Based Community
of Shared Values and Norms.
Tentang isu the setting up of an ASEAN Fisheries Forum, keterkaitan TNI Angkatan
Laut adalah menangani tindak pencurian ikan di laut dan aktivitas perikanan lainnya yang
membahayakan kelestarian lingkungan laut. Masalah pencurian ikan merugikan negara bukan
saja dari aspek pendapatan, tetapi juga menyentuh pula aspek kelestarian lingkungan laut. Isu
kerjasama berikutnya yaitu the enhancement of cooperation with civil society organizations

in the fight against non-traditional security problem mempunyai keterkaitan pula dengan TNI
Angkatan Laut. Bidang kerjasama ini pada dasarnya menekankan pada penguatan kerjasama
dengan organisasi LSM untuk memerangi masalah keamanan non tradisional, salah satunya
illegal fishing.
Hal ini sesuai dengan konsep comprehensive security dimana illegal fishing tidak
hanya masalah ekonomi, melainkan juga berkaitan dengan politik, lingkungan, sosial, dan
militer. Keamanan militer dilihat dari TNI AL dimana TNI AL dituntut untuk selalu siap
siaga mencegah ancaman yang masuk ke wilayah NKRI. Sedangkan sektor keamanan politik
bisa dilihat dari komitmen negara-negara ASEAN untuk menjamin keamanan di wilayah
lautan Asia Tenggara. Keamanan di sektor lingkungan disini dapat diartikan sebagai aman
dari gangguan dan ancaman yang dapat membahayakan biota laut dan lingkungan hidup.
Keamanan di bidang sosial artinya rasa aman yang dirasakan masyarakat dan kerjasama
dengan TNI AL untuk mengamankan wilayah perairan mereka. Keamanan di bidang
ekonomi masyarakat memiliki sumber pendapatan yang tetap karena tidak tertanggu dengan
pencurian ikan. Jika pencurian ikan dapat ditekan, masyarakat lokal tentunya lebih mendapat
manfaat secara ekonomis karena tidak perlu bersaing dengan nelayan asing yang melakukan
illegal fishing.
Indonesia saat ini tengah melihat ASEAN Maritime Forum sebagai cara untuk
membawa kasus illegal fishing ke tingkat regional. Pada pertemuan ASEAN Maritime Forum
(AMF) ke-2 di Pattaya, Thailand yang diselenggarakan pada 17-19 Agustus 2011, para
Pemimpin ASEAN berusaha memperluas jangkauan AMF dan mengajak negara-negara di
kawasan Asia Timur. ASEAN juga mempertahankan sentralitas penuh ASEAN dalam
proposal dan inisiatif baru terkait dengan kerjasama maritim di kawasan dan sekitarnya
(Tabloid Diplomasi, Desember 2011).
Sehubungan dengan hal tersebut ASEAN berencana menjadikan AMF untuk mulai
mengembangkan pendekatan dan langkah-langkah kooperatif untuk kerjasama maritim lebih
lanjut. Untuk tujuan tersebut, para Pemimpin ASEAN berkomitmen untuk menciptakan
mindset kerjasama maritim yang efektif pada isu-isu terkait serta memberikan rekomendasi
dan solusi terhadap berbagai tantangan yang muncul saat ini. ASEAN Maritime Forum (AMF)
merupakan inisiatif untuk melakukan kerjasama dalam berbagi informasi antar negara
anggota ASEAN dan juga mengakui pentingnya promosi dan harmonisasi dalam kerjasama
perlindungan lingkungan maritim, termasuk kegiatan ilegal yang berkaitan dengan
lingkungan maritim. AMF mengupayakan peningkatan kerjasama yang berkelanjutan dalam
memerangi pembajakan dan perampokan bersenjata di laut, memberantas illegal logging,

penyelundupan barang dan manusia migran, perdagangan gelap obat-obatan dan semua
kejahatan maritim (Tabloid Diplomasi, Desember 2011). Hal ini merupakan sejumlah upaya
ASEAN untuk menyongsong ASEAN Political-Security Community 2015.
Upaya pemerintah Indonesia mendorong ASEAN dalam berbagai forum dan
kerjasama regional untuk memerangi illegal fishing sejalan dengan kepentingan Indonesia.
Upaya Indonesia ini antara lain melalui ASEAN Maritime Forum (AMF), kerjasama
bilateral, pusat Kerjasama Maritim ASEAN, meningkatkan kapabilitas TNI AL, dll
menunjukkan upaya pemerintah untuk membawa isu illegal fishing ke tingkat regional,
khususnya ASEAN. Indonesia kerap menjadi korban dari illegal fishing dan yang paling
menderita kerugian adalah nelayan lokal. Selain itu, negara menderita kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh penangkapan ikan ilegal (Walhi, Desember 2006). Illegal fishing
menyebabkan antara 1,5 dan 3 juta ton ikan diambil dari Indonesia setiap tahunnya (Forum
Keadilan No 20/03-09 September 2007). Oleh karena itu, kerjasama di tingkat ASEAN dan
rencana aksi sesuai ASEAN Political-Security Community Blueprint diharapkan mampu
memerangi illegal fishing dan menghentikan negara-negara ASEAN mencuri ikan di wilayah
Indonesia.

SOLUSI
Diperlukan mekanisme kerjasama yang konkret di tingkat ASEAN untuk menjaga
perairan negara-negara ASEAN dari berbagai kegiatan Illegal, Unreported, Unregulated
(IUU) fishing. Rencana aksi (action plan) yang sudah dibuat dan kerangka ASEAN PoliticalSecurity Community Blueprint perlu menjadi guidelines bagi semua pihak untuk memerangi
illegal fishing. Selain itu, perlu ada kerjasama lintas sektor dan lintas batas, terutama
melibatkan satuan kepolisian, Angkatan Laut, dan pemerintah lokal dan masyarakat nelayan.
Rencana aksi (action plan) yang sudah ada perlu diadopsi menjadi regulasi oleh negaranegara ASEAN di tingkat nasional. Regulasi ini nantinya menjadi peraturan hukum yang
bersifat mengikat sehingga setiap negara bertanggung jawab terhadap kasus illegal fishing.
Selain itu, diperlukan sistem pendukung untuk menutupi kelemahan sistem
pertahanan dan keamanan di wilayah lautan di kawasan ASEAN yang memiliki angka
kejahatan illegal fishing yang cukup tinggi. Dukungan tersebut akan sangat tepat bila berasal
dari masyarakat sendiri. Hal ini dikarenakan masyarakat, khususnya nelayan adalah pihak
yang paling merasakan dampak langsung dari pencurian ikan tersebut. Hal ini dapat berupa
patroli laut yang bekerjasama dengan masyarakat lokal. Selain itu, pemerintah Indonesia
harus lebih tegas menindak kasus illegal fishing yang dilakukan nelayan dari negara lain,

khususnya ASEAN. Kerjasama maritim ASEAN dan adanya ASEAN Political-Security


Community (APSC) bukan berarti kita melunak dalam memperlakukan pelaku kejahatan dari
ASEAN, namun justru harus membuat kita tegas dalam menindak setiap tindak kejahatan
maritim di wilayah ASEAN.

KESIMPULAN
Saat ini ASEAN tengah menyongsong ASEAN Political-Security Community yang
rencananya dicapai pada tahun 2015. ASEAN telah membuat cetak biru (blueprint) yang
berisi tujuan dan roadmap untuk mencapai ASEAN Political-Security Community. Salah satu
isi dalam ASEAN Political-Security Community Blueprint adalah kerjasama untuk mengatasi
kejahatan transnasional (transnational crimes) termasuk illegal fishing. Dalam tulisan ini
penulis telah mengungkapkan bagaimana kondisi illegal fishing di Indonesia dan kawasan
ASEAN pada umumnya. Kejahatan illegal fishing sendiri belum bisa diberantas secara efektif
oleh Indonesia karena berbagai kelemahan, baik dari kapabilitas TNI AL maupun dari
peraturan dan kontrol pemerintah terhadap kapal-kapal asing yang secara illegal memasuki
wilayah Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia berupaya membawa kasus illegal
fishing dibicarakan di lingkup ASEAN agar menjadi isu regional yang menjadi perhatian
bersama. Berbagai kerjasama dan forum telah digagas oleh ASEAN, namun keefektifan
kerjasama tersebut harus dijalankan dengan langkah konkret.
Penulis berpendapat bahwa untuk memerangi illegal fishing di wilayah Indonesia
terdapat 3 level dan 5 sektor yang perlu mendapat perhatian Indonesia sesuai konsep
comprehensive security. Ketiga level diatas ialah level sistem internasional, yang diwakili
oleh ASEAN dimana Indonesia telah berupaya mendorong ASEAN meningkatkan kerjasama
maritim. Level kedua adalah negara, yang mencakup upaya Indonesia di tingkat nasional.
Level ketiga adalah individu, yakni partisipasi masyarakat Indonesia. Sedangkan 5 sektor
yang dimaksud adalah sektor militer, politik, lingkungan, sosial dan ekonomi. Artinya, untuk
mencapai keamanan yang komprehensif, pemerintah harus memperhatikan kelima sektor
diatas dalam membuat regulasi atau kebijakan. Ada 2 solusi yang penulis tawarkan untuk
meningkatkan upaya pemberantasan illegal fishing. Pertama, mekanisme kerjasama yang
konkret di tingkat ASEAN untuk mengatasi berbagai kegiatan Illegal, Unreported,
Unregulated (IUU) fishing. Kedua, adanya sistem pendukung untuk menutupi kelemahan
sistem pertahanan dan keamanan yang berasal dari masyarakat lokal. Jika hal ini berjalan
dengan baik, comprehensive security dalam memberantas illegal fishing diharapkan tidak

hanya dijalankan oleh Indonesia, namun juga oleh seluruh negara anggota ASEAN. Sehingga
visi dan cita-cita ASEAN Political-Security Community 2015 akan tercapai.

DAFTAR PUSTAKA

Khalid, Nazery. 2008. Yang Berat Sama Dipikul: Kerjasama Keselamatan Maritim Di Asia
Tenggara. Diakses dari http://www.mima.gov.my/mima/wpcontent/uploads/Yang%20berat%20sama%20dipikul%20-%20Samudera%20-%20Mar08.pdf
pada 5 September 2013
Tabloid Diplomasi. Edisi Desember 2011. Kerjasama Maritim ASEAN. Diakses dari
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/162-desember-2011/1289-kerjasamamaritim-asean.html pada 5 September 2013
Baird, Rachel. 2010. Transnational Security Issues in the Asian Maritime Environment:
Fisheries and Piracy. Paper delivered to the Sino- Australian Joint Research Program,
Collaboration and Governance in the Asia Pacific, Brisbane. 22-23 July 2010.
IPS Asia Pacific. 2012. A Lot More Talk by ASEAN than Action. Diakses dari
http://www.aseannews.net/a-lot-more-talk-by-asean-than-action/ pada 5 September 2013
Jakarta Post. 23 Maret 2008. ASEAN 2009: Time to deal with illegal fishing. Diakses dari
http://www.thejakartapost.com/news/2008/03/23/asean-2009-time-deal-with-illegalfishing.html pada 4 September 2013.
Indomiliter. 2013. Gelar Kekuatan TNI di Pulau Terluar.
http://www.indomiliter.com/2013/01/03/gelar-kekuatan-tni-di-pulau-terluar/
Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). 2010. Statistik Perikanan Tangkap Indonesia.
Vol. 11, No. 1. Diakses dari
http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/29/statistik_pt_2010_pub.pdf/ pada tanggal 1
April 2013
Kementrian Perikanan dan Kelautan (KKP). 2011. Kelautan dan Perikanan dalam Angka.
Diakses dari http://statistik.kkp.go.id/index.php/arsip/file/37/kpda11_ok_r06_v02.pdf/ pada
tanggal 1 April 2013
Pangaonan, Y. 2012. Indonesia Menuju Negara Maritim. Diakses dari
http://indomaritimeinstitute.org/?p=501 pada tanggal 3 April 2013
Rahman, C. 2009. Concepts of Maritime Security. New Zealand: The Centre for Strategic
Studies Discussion Paper.
Global Fire Power. 2012. Indonesias military strength. Diakses dari
http://globalfirepower.com/country-military-strength-detail.asp?country_id=Indonesia

You might also like