You are on page 1of 32

Hak

Asasi
Manusia
Berbangsa dan Bernegara

dalam

Kehidupan

A. Hubungan Sistem Hukum dan Sistem Politik dari


Sudut Pandang HAM
Negara (menurut aliran hukum alam) ada, karena ada perjanjian
masyarakat untuk membentuk negara, karena itu negara
merupakan "wujud" lebih lanjut dari langkah "memperkuat"
masyarakat yang semula "hanya" merupakan kelompok/masyarakat
kecil yang berproses menjadi negara. Sedangkan negara menurut
aliran hukum positif adalah tertib hukum yang tumbuh seiring
dengan diciptakan hukum lewat peraturan perundang-undangan.
Bagaimana bentuk negara, sistem pemerintah lekat pada undangundangnya. Secara umum, negara merupakan organisasi
kekuasaan yang berwenang untuk mengatur dan memaksakan
kehendaknya sesuai dengan cita-cita yang sudah ditetapkan
sebelumnya. Karena itu, antara negara dengan sistem hukum tidak
dapat dipisahkan.
Ketika berbicara sistem hukum, berarti membahas hukum
positif suatu negara. Dengan demikian, selalu terkait dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sistem hukum
nasional adalah baik, ketika pasal-pasal dari berbagai
perundangan yang terkait saling mendukung (misalnya; antara
Undang-Undang
Kepolisian,
UndangUndang
Kejaksaan,
Undang-Undang Pengacara dan Undang-Undang Kehakiman) dan
tidak saling bertentangan. Sebaliknya, adanya pertentangan
antara pasal-pasal yang ada, mengindikasikan sistem hukum
tersebut lemah.
N~

terhadap kehidupan masyarakatnya. Ketika ada anggota masyarakat yang bertindak di


luat pola yang telah diakui, tidak jarang mengakibatkan terjadinya konflik.
Dart pendekatan sosiologi, pola hubungan tetap antarsesama warga masyarakat
menimbulkan interaksi sosial dan pada tataran terakhir membangun sistem sosial dalarn
negara. Dengan demikian, interaksi antar individulahkata Talcot Parsonsyang membentuk
sistem sosial. Manusia sebagai makhluk sosial/zoos politicon, sebagaimana digambarkan
Aristoteles, selain di dalamnya ada aturan yang membentuk hubungan antarsesamanya,
sekaligus juga ada langkah-langkah konkret dan jalan keluarnya jika terjadi perbedaan untuk
meredamnya. Hal ini penting, karena di dalam setiap masyarakat adanya perbedaan pendapat
merupakan kewajaran. Karenanya, makna zoos politicon, yaitu man is a social and political
being, kata Dean Pound, menjadi tepat. Karenanya, dalam masyarakat, selain mengandung
potensi untuk bersatu sebagai konsekuensi sifat dasar manusia hidup bersama dalam suatu
masyarakat, potensi konflik pun selalu ada. Konflikdari pandangan Poundterkait dengan
sifat ingin berbeda sekaligus ingin "berkuasa" mengatur masyarakat. Untuk itu, adanya
pengawasan, toleransi, dan juga rasa afeksi/saling menyayangi antarwarga menjadi penting.
Tanga adanya kehendak tersebut, kehidupan bersama berlangsung tidak mulus, bahkan malah
konflik yang dapat terjadi. Dengan demikian, hukum merupakan satu sistem yang memiliki
fungsi integratif dalam masyarakat. Begitu eratnya hubungan hukum dan sosiologi sehingga
dalam sosiologi dikenal istilah pemegang peran, peranan, pelaksanaan peran, hubungan
antarperan, objek peranan dalam hukum yang berubah menjadi subjek hukum, hak dan
kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan objek hukum (Soerjono Soekanto, 102:
1987). Hal ini menunjukkan eratnya hubungan antara hukum dan sosiologi dalam menata
dan menatap masa depan kehidupan manusia yang lebih balk.
sebagaimana disinggung di depan, hubungan hukum dan politik pun tak dapat
dipisahkan, lebih-lebih dalam hukum tata negara. Dalam kajian hukum tata
negara dikenal istilah negara (state), jabatan (institution), pendapat umum (public opinion),
dan pendidikan kewarganegaraan (citizenship training). jika dilihat dari pendekatan
politik, berubah menjadi sistem politik (political system), peran politik (political role),
struktur politik (political structure), sosialisasi politik (political socialization), dan budaya
politik (political culture). Oleh karena itu, batas and sistem politik menjadi banyak (tidak
tetap) dan juga dalam beberapa hal bertambah lugs (Rusadi Kantaprawira, 1983: 3).
Hal itu menjadi penting karena dunia politiksebagaimana banyak dikemukakan pakar
politik adalah "indah, arts, dan seni," tetapi dalam praktik politik, make possible what
seem impossible (membuat sesuatu yang mungkin menjadi tidak mungkin) mengakibatkan
banyak pemain politik terjebak dalam permainan politik kotor. Permainan kotor dalam
berpolitik menjauhkan cita-cita penegakan HAM itu sendiri sehingga harus dihindari, walau
negara tersebutmisalnyademokrasi. Kondisi tersebut merupakan "pengaburan" antara
ilmu politik dan politik. Logemann pernah menyatakan, ilmu politik beda dengan politik.
Politik merupakan pemilihan terhadap pihak-pihak untuk kepentingan tujuan sosial yang
dihargai dan pencapaian tujuan tersebut. Ilmu politik meneliti bagaimana cara mencapai
tujuan-tujuan sosial dan sarana yang dapat dipergunakan (Logemann, 1954: 29).

Negara terkait dengan kewajiban untuk menegakkan HAM,


menjadi pihak pertama yang wajib melindung ham rakyat, terutama
rakyat yang rentan dan lemah posisinya, baik fisik maupun kedudukan
dalam bidang ekonomi, sosial, budaya, dan politik, antara lain prang
miskin, perempuan, anak-anak, dan juga minoritas. Karena itu,
paradigma atau pola pikir yang dibangunsesuai dengan hakikat
demokrasi, dimana rakyat dan pemerintah selaku penanggung
jawab amanat rakyat menyatu dan tidak pernah beda pendapatdari
state centered ke people centered harus dipertahankan. Menjadi
sangat "memalukan" negara yang mengaku demokrasi, tetapi hak HAM
rakyat kecil tidak diperhatikan.
B. HAM dahun Sistem Politik Demokratis

Dalam sistem politik demokratis, watak hukum yang dihasilkan


bersifat responsif dan akomodatif Substansi hukum yang tertuang di
dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu
ukuran penegakan hukum. Dalam sistem tersebut terjalin
inunikasi serasi antara opini publik lewat wakil-wakilnya, jugs
media mass, agamawan, cendekiawan, dan LSM dengan
pemerintah. Dengan demikian, sistem hukumnya ditandai dengan
konsep impartiality, consistency openness, predictability, dan
stability. Semua warga negara memunyai kedudukan sama di depan
hukum (equal before the law). Ciri inilah yang disebut rule of law.
Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya
menekankan pada prosedur melupakan Substansi demokrasi.
Substansi demokrasi ialah mewujudkan kehendak rakyat yang
dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR. Antara
pemerintah (dalam arti luas) dengan rakyat tidak ada jarak.
Khusus mengenai tugas pokok kekuasaan kehakiman
penegakan hukum menuju keadilan adalah sebagai berikut.

dalam

1. Menerapkan dan nienegalkan hukum substantif yang menjadi


landasan negara hukum, dengan mengadakan pengujian hukum
yang senantiasa dikembangkan.
2. Menegakkan dan memelihara rasionalitas dari hukum, yakni
dengan menerapkan asas-asas regulatif dan aturan-aturannya.
3. Menerapkan asas perlakuan sama terhadap pencari keadilan.
4. Pengawasan terhadap kekuasaan dan pelaksanaannya yang
dilakukan unsur-unsur negara dan pemerintah (C. J. M. Schuyt,
1983: 143,144).
Penguasa/pemerintah di dalam menjalankan roda pemerintahannya
lewat keputusan dan kebijakan yang ditempuh, memiliki
kekuasaan
(power),
kewenangan
(authority),
kekuatan

politik bersama) melalui/menggunakan instrumen hukum, juga


dilaksanakan lewat lembaga politik yang sah menjadi patokan
serta ditaati oleh Para pejabat politik.
Dengan demikian, politik selalu terkait dengan tujuan dari
seluruh masyarakat (public goals) dan bukan tujuan pribadi (private
goals). Lagi pula, politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok,
termasuk partai politik dan kegiatan orang per orang (individu)
(Miriam Budiardjo, 1985: 8). Selain itu, praktik politik selain terkait
dengan kekuasaansebagaimana tersebut di atasjuga terkait
dengan kegiatan yang dapat memengaruhi kebijakan pihak yang
berwenang untuk akhirnya diharapkan dapat memengaruhi
kebijakan/keputusan pihak yang berwenang.
Pemegang kekuasaan dengan rambu-rambu yang sudah ada
dalam bentuk ketentuanketentuan hukum/peraturan perundangan
yang ada, dalam praktiknya sering terdapat penyalahgunaan
kekuasaan. penyalahgunaan tersebut, walau dapat terjadi di manamana, sangat besar pengaruhnya sehingga dapat merusak sistem
politik/tata negara/sosial dan sistem sosial lain yang ada dan
berkembang menjadi kejahatan politik dan kejahatan hukum,
karenanya perlu mendapat perhatian yang cukup.
Perhatian akan hebatnya kekuasaan tersebut, Lord Acton
menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah itu perlu dibatasi,
pembatasan tersebut ditekankan karena manusia menyandang
banyak kelemahan. Lord Acton menyatakan: "...power tends to
corrupt, but absolute power corrupts absolutely" (orang berkuasa
cenderung melakukan korupsi/menyalahgunakan kekuasaan, malah
orang
yang
memunyai
kekuasaan
tak
terbatas
pasti
menyalahgunakan semaunya). Masih terkait dengan kecenderungan
politik, pendapat Palmerston menyatakan, "Great Britain has no
permanent enemies or permanent friends, she has only permanent
interests" dapat direnungkan.
Dalam politikmenurut Margenthauberlaku istilah "zero sum
game" (the winner takes all) yang berarti pemenang adalah
pemenang, vinito. Kecenderungan tersebut kalau dibiarkan akan
merambat/memengaruhi
penguasa-penguasa
di
bawahnya,
kemudian akan bergulir semakin meluas dan menyeruak ke dalam
segala segi kehidupan masyarakat. Karena itu, dalam negara
demokratis, kekuatan politik yang berkuasa harus memunyai
wawasan negarawan dan tidak berpikiran sempit yang hanya
mementingkan golongan.

3visi, misi, dan platform yang jelas. Pemimpin dianggap sebagai primus interpares clan
dari padanya dituntut adanya keteladanan. "Kunci kesulitan-kesulitan dalam kestabilan
politik terletak pada sifat/tingkat partisipasi sebagian besar anggota masyarakat, termasuk
kaum terpelajar, pejabat militer, pemuka agama, clan tokoh-tokoh politik yang masih lemah
dan kadang kurang sehat (Alfian, 1976: 100)." Visi atau dambaan yang diinginkan di
masa depan (what ive do we want to be), oleh almarhum Cak Nur Bering diterjemahkan
sebagai "sasaran agung") sedangkan misi apa yang diharapkan sekarang demi masa depan
(what do we want to have) diartikan sebagai "tugas agung" (Majalah Managemen, Agustus
1998).
Karena itulah, dalam masyarakat yang paternalistic sebagaimana tergambar di depan,
peran para intelektual, budayawan, idealis, clan agamawan tetap diharapkan. Dengan
demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok-kelompok tersebut di
atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hukum dan stabilitas politik
lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan
politik hukum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah konkret dengan mengangkat taraf
hidup, kesejahteraan, clan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan
bawah yang tidak/kurang beruntung. Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk
kemiskinan kultural yang harus diperangi dan tidak menambah jumlah kemiskinan
struktural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.
Persoalan ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dalam arti lugs, pimpinan
eksekutif, legislatif, dan yudisial mampu clan mau menerjemahkan kehendak rakyat,
sehingga "jeritan" rakyat menjadi perhatian utama. Kemauan para pemimpin tersebut
mencerminkan asas demokrasi, di mana suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei)
dapat terlaksana. Kalaulah rakyat sudah mendapat perhatian wajar sebagaimana harapan di
depan, maka partisipasi masyarakat akan muncul/bangkit. Namur, pada beberapa negara
berkembang politik uang masih kuat, sehingga motto berubah menjadi "voxpopuli vox
drgentum" (suara rakyat, suara uang). "Sikap" (jangan jadi watak) seperti itu mencederai
hakekat demokrasi adalah kesejahteraan disini clan hari ini (hit et Hunt), demokrasi bukan
masalah ekstalogia (keselamatan akhir zaman). Dengan demikian, sistem hukum clan sistem
politik sangat berpengaruh terhadap penegakan HAM.
Masalah partisipasi masyarakat dalam politik, menurut Jeffery M. Paige, dibeclakan
menjadi 4 macam, yaitu sebagai berikut.
1. Partisipasi dengan pengetahuan/kesadaran masyarakat tinggi clan kepercayaan yang
tinggi pula terhadap sistem politik yang berlaku. Anggota masyarakat akan clan
memunyai tanggung jawab besar dalam mengembangkan kewajiban-kewajiban yang
ada, demi negara clan bangsa.
Z. Partisipasi politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada sistem politik renclah. Situasi ini dapat
mengakibatkan munculnya golongan sempalan (dissendent) yang dapat mengarah radikal.
3. Partisipasi politik dengan kesadaran politik renclah clan kepercayaan tinggi terhadap
sistem politik yang ada. Dalam situasi ini, masyarakat lebih pasif clan hanya menerima
sistem yang berlaku.

4. Partisipasi politik dalam masyarakat yang rendah kesadaran politiknya dan kepercayaannya.
Dalam masyarakat tersebut, anggota masyarakat dalam situasi tertekan dan takut atas
kesewenang-wenangan penguasa.
Menurut Alfian, partisipasi pertama yang ideal dan hanya mungkin dalam sistem yang
demokratis. Untuk mengarah kepada satu partisipasi model pertama, sekaligus memunyai
makna penegakan hukum, maka pendidikan politik yang benar dan terbuka harus dijalankan.
Keterbukaan, sekali lagi, akan menumbuhkan kepercayaan anggota masyarakat kepada
penguasa karena mereka merasa dipercaya dan tidak dianggap sebagai warga kelas dua.
Bidang politik yang selalu bergelimang dengan kekuasaan (power) sering terjadi
manipulasi politik. Dengan demikian, sering terjadi dalam sistem politik yang dalam
pelaksanaannya berbeda dengan ketentuan undang-undang yang ada, walau produk undangundang tersebut hasil keputusan politik tingkat tinggi. Manipulasi politik terjadi bilamana
ada usaha untuk mempergunakan peraturan untuk permainan politik, demi kepentingan
perseorangan atau golongan tertentu (Alfian, 1976: 97).
Hal ini akan menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah perlu
dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga
negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif, terbuka, dan dialogis, akan menciptakan/
memantapkan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada,
di mana pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, negara, dan kemanusiaan.
Sistem hukum dilihat dari perjuangan/dinamika politik selalu bersifat kompromistis.
Hukum merupakan produk politik, hasil "kompromi" dan akomodasi antarkepentingan/
kekuatan politik pada lembaga politik/DPR, seterusnya disalurkan lewat peraturan
perundang-undangan yang harus ditaati bersama.
Ketika hukum mulai efektif, maka para politisi, pejabat, dan seluruh warga harus tunduk
kepada peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, kompromi politik telah terjadi
dalam bentuk undang-undang dan tidak ada satu kelompok/perseorangan pun yang berada di
atas undang-undang, siapa pun dengan jabatan apa pun, harus tunduk kepada hukum.
Negara pun produk politik, semua kekuatan politik tunduk kepada kesepakatan yang ada,
artinya spirit hukum di atas politik (political legibus non leges politiis tande). Memang hukum
dengan politik, keberadaannya sering berhimpit dan menjadi sulit dipisah, sehingga benar kalau
dikatakan the law is simply politics by other names, kata David Kairys.
Menurut Yudi Latief (Media Indonesia, 9/1/2012), perkembangan demokrasi Indonesia
memperhatikan belokan menuju jalan kesesatan. Demokrasi padat modal lewat jalan pintas
gebyar pencitraan. Prestasi demokrasi kita berhenti sebatas kebanggaan semu sebagai negara
demokrasi terbesar ketiga di dunia, tetapi melupakan capaian sesungguhnya pada proses
pendalaman dan peluasan demokrasi. Demokrasi mengalami pendalaman jika terdapar
perbaikan kualitatif dalam institusi elektoral, kinerja pemerintahan, performa partai, dan
budaya politik yang memperkuat legistimasi politik serta menjadikan demokrasi only game
in town. Demokrasi mengalami perluasan jika membawa perbaikan kualitatif terhadap

keseiahteraan rakyat, yang meningkatkan kepuasan rakyat pada demokrasi. Menurut


Indeks Demokrasi Global 2011, yang dikeluarkan Economics Inteligence Unit,
peringkat demokrasi Indonesia berada di urutan 60 dari 167 negara yang diteliti, jauh dari
Timur Leste (42), Papua Nugini (59), Afrika Selatan (30), dan Thailand (57).
Indonesia masuk kategori flawed demokrasi (cacat demokrasi), antara lain dengan pemilu
yang
pemilu,
keterancaman
tidak
bersih,pemerintahanyangkorupdaningkarjanji-janjipeilLl,Bertaketerancaan
gti

luralisme. Cacat demokrasi itu. mengarahkan Indonesia mendekati ambang negara gagal.
Berdasarkan Failed State Index, yang dikeluarkan oleh The fundFor Peace
dan Foreign Policy Magazine, selama periode 2005-2010, Indonesia selalu berada
pada kategori negara peringatan` (warning). Posisi itu lebih dekat jaraknya dengan posisi
'waspada` negara gagal ketimbang dengan posisi 'bertahan'. Indonesia bahkan belum masuk
zona negara moderat. Yang lebih merisaukan, keberhasilan Indonesia untuk menurunkan
peringkat kegagalanya selama periode 2007-2009 dari urutan ke-55 (2007) menjadi 60
(2008) dan 62 (2009) mengalami kenaikan lagi pada tahun pertama periode kedua
pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pada 2010, peringkat Indonesia naik satu
peringkat menjadi urutan 61. Sangat mungkin, pada 2011, Indeks kegagalan Indonesia naik
dari tahun sebelumnya, yang berarti semakin mendekati negara gagal. Inilah masa ketika
demokrasi dipertaruhkan".
p

Indeks Demokrasi Global 2011


(Economics Inteligence Unit 2011)
Jumlah 167 Negara
Nama Negara

Peringkat

Timur Leste

42

Papua Nugini

59

Afrika Selatan

30

Thailand

57

Indonesia

60

Pada tahun 2012, lembaga nirlaba The Fund For Piece (FFP), selain mencatat kemajuan
demokrasi Indonesia dan pertumbuhan ekonomi, juga memiliki faktor-faktor penghambat yang
cukup banyak, di antaranya buruknya infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap
minoritas, juga pendidikan, ekologis kesehatan dan penyakit. Kondisi tersebut menempatkan
Indonesia pada peringkat ke-63 dari 178 negara (lebih buruk dari tahun 2011).
Perbandingan Posisi Indonesia
di Antara Negara Asean 2012

(Kompas, 21 Juni 2012)


Jumlah 177 Negara
Nama Negara

Peringkat

Singapura

157

Brunai

123

Malaysia

110

Vietnam

96

Thailand

83

Indonesia

63

Kondisi tersebut kalau tidak ditangani serius, mengarah dan "meluncur" menjadi negara
gagal. Menurut FFP, di bidang penduduk, kelompok minoritas dan pemegang perlindungan
HAM, Indonesia lemah, di sinilah kewajiban pemerintah mendongkrak kembali agar tidak
menjadi negara gagal. Negara yang paling stabil adalah Finlandia dan paling gagal adalah
Somalia. Menurut Prof. Acemoglu (MIT AS), kegagalan negara tidak terjadi tiba-tiba dalam
waktu semalam. Bibit-bibit kegagalan itu sebenarnya sudah tertanam jauh di dalam berbagai
institusi politik kenegaraan, terkait bagaimana sebuah negara dijalankan.
Indikator survei, terutama terkait dengan demokrasi kebablasan, toleransi, keadilan,
HAM, hak atas pendidikan dan kesehatan. Mengaitkan indikator survei dan hasil survei
FFP tersebut, sebenarnya merupakan tantangan yang harus dihadapi, "dilawan" dan dijawab,
terutama oleh pemerintah dalam mengaplikasikan politik hukum makro di dalam kebijakankebijakan publik yang ditempuh (inward looking) dalam mengambil kebijaksanaan selama
ini. Kalau menurut Poppy Ismalina (Sinar Harapan, 22/06/2012), isu negara gagal sengaja
dibuat kaum neoliberal internasional untuk menggantikan peran pemerintah Indonesia
pada negara dengan pasar bebas. Demikian juga Hatta Rajasa (Menko Perekonomian) di
Rio de Jeneiro (Kompas, 23/06/2012) mengatakan, Indonesia belum termasuk negara gagal,
apabila tuntutan sebagian besar bangsa Indonesia terns meningkat dan belum terpenuhi,
belum berarti Indonesia gagal.
Indikasi dan terapi sebagaimana dikemukakan di depan, sebenarnya masih dapat
ditambah lagi, misalnya pemerintah lemah dan tak efektif mengendalikan pemerintah di
daerah, pertambahan penduduk tak terkendali dan sebagainya. Kondisi tahun sekarang
tak boleh berlarut-larut dan berlanjut di tahun-tahun berikutnya, terutama pemberdayaan
ekonomi kerakyatan menjadi salah satu solusi utama.
Untuk "keluar" dari negara gagal, Prof. Daoed Yoesoef berpendapat, perlu ads
paradigms bare/arch barn dalam mengatasi ketimpangan ekonomi yang semakin melebar,
yaitu: pertama, mempembangunan adalah pembangunan nasional yang holistik, bukan
pembangunan ekonomi yang sektoral. Kits jangan lagi berpikir dalam term ekonomi
karena yang dipertaruhkan bukan lagi bidang ekonomi, melainkan eksistensi. Konsep
pembangunan tak perlu lagi didikte ajaran dan pecan dari "the economics of development"
tetapi harus didasarkan pada ide "the cultural realistic" dari dinamika social bawaan revolusi45 yang telah melahirkan Indonesia berupa sekaligus negara dan bangsa. Kedua, hargai suku
sebagai kelompok etnis dari orang-orang yang punya self-esteem, martabat, turut disertakan
dalam usaha kolektif terorganisir yang mengindonesiakan Indonesia, mengisyaratkan
memanusiakan semua setiap warga negara Indonesia dimanapun berada. Ketiga, dalam
memanfaatkan kekayaan cumber days slam (natural endowmen), hendaknya kita punya
"etika mass depan". Ini bukan etika yang dirumuskan sekarang guns ditetapkan di mass
mendatang, melainkan yang digariskan sekarang untuk ditetapkan sekarang, juga demi
eksistensi mass depan. Dengan kata lain, natural endowmen yang kita "kuasai" dewasa ini
bukanlah "warisan" nenek moyang, melainkan "pinjaman" dari anak cucu yang harus bisa
dikembalikan tepat pada waktunya kepada mereka dalam kondisi bernilai sama, kalaupun
tidak bisa berpotensi lebih besar sebagai bungs pinjaman. Keempat, pendidikan formal

perlu diberi prioritas pertama dan utama. Indonesia adalah satu-satunya bangsa di
dunia yang puluhan tahun sebelum merdeka, selagi masih dijajah asing, sudah
mengadakan sistem pendidikan nasionalnya sendiri guna menyiapkan orang yang berjiwa
merdeka dan siap berjuang kemerdekaan. Kelima, setiap langkah dan proyek pembangunan
dimanapun, merupakan penerapan Pancasila, artinya, is jelas menerapkan pesan Pancasila,
tanpa ribut mengucapkan sebagai lip-service politik semata. Politik bukan demi berpolitik,
melainkan demi pembangunan nasional agar tidak menjadi negara gagal (Kompas, 12 Juli
2012).

Posisi Individu dan Kelompok


A. Status/Posisi Individu dari Sudut Pandang HAM
HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) intinya menjamin hak
yang paling mendasar dari semua hak yang dimiliki manusia, yaitu
hak hidup sebagaimana termuat di dalam Pasal 5 dan 8 Duham,
demikian pendapat G. Robertson. Pasal 5 yang berbunyi: "Tak
seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan atau dihukum secara
keji, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat". Sedangkan
Pasal 8 berbunyi, "Setiap orang berhak atas penyelesaian yang
efektif oleh peradilan nasional untuk mendapatkan perlindungan
yang sama terhadap tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak
mendasar yang diberikan kepadanya oleh konstitusi atau oleh
hukum" (G. Robertson, 2000: 121).
Pasal 28A UUD 1945 "setiap orang berhak hidup serta berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya". Sedangkan dalam UU
No. 39/1999 tentang HAM Pasal 9 (1) mengatakan bahwa "Setiap
orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan
meningkatkan taraf kehidupannya". Dan pada pasal (2) dinyatakan
bahwa "Setiap orang berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia
dan sejahtera lahir dan batin". Undang-Undang No. 39 Tahun1999
Pasal 9 (1) "Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahanankan
hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya". (2) "Setiap orang
berhak hidup tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan
batin". Dengan demikian, Individu tidak "larut" dalam masyarakat
"lain" walaumisalnyabeda adat, agama, kercayaan, suku maupun
etniknya.

Walaupun demikian, hakikat penegakan HAM bukan semata-mata untuk kepentingan


manusia sendiri dalam arti sempit. Lebih penting dari itu adalah diakui dan dihormatinya
human dignitylmartabat kemanusiaan setiap manusia, tanpa membedakan strata sosial,
stat us sosial, status politik, etnik, agama, keyakinan politik, budaya, ras, golongan, dan
sejenisnya.
Dengan demikian, manusia merupakan satu pribadi otonom yang dalam satu
masyarakat tidak hilang jati diri dan kepribadiannya sebagai manusia, la memunyai hak
atas dirinya sendiri lepas dari orang lain. Namun demikian, manusia, sifat dasarnya adalah
makhluk bermasyarakat, di mana bare dapat hidup di tengah dan bersama-sama manusia
lain dan menuntut adanya kemauan Berta kemampuan untuk saling menghormati dan
menghargai dalam satu tatanan hidup yang sudah disepakati. Tanga memerhatikan sifat
tersebut, cita-cita bersama hidup bermasyarakat penuh kedamaian dapat terpenuhi.
Terlihat di sim, sejak awal manusia sebagai makhluk bermasyarakat pasti berhadapan
dengan orang lain dengan beragam pemikiran. Persoalannya kemudian, sejauh mana
pemikiran atau keputusan bersama kelompok masyarakat mampu menghormati hak orang
per orang, walau mungkin saling berbeda antaranggota masyarakat juga dengan garis
pemerintah. Di dalam fase ini, hak-hak individu, terkait dengan pemikiran yang saling
berbeda, tetap dijamm.
Untuk merealisasikan ids dan pemikiran tersebut, masing-masing warga masyarakat
hendaknya mengetahui dan lebih penting menyadari posisi dan fungsi yang sedang diemban
di dalam sistem kemasyarakatan dan negara. Dengan kuatnya kesadaran akan posisi dan
fungsi yang disandang tersebut, penghormatan HAM akan dapat berjalan dengan balk,
tentu Baja tak terlepas juga dengan sistem politik yang dianut.
Teori HAM yang pada awalnya atau dipersepsikan "berputar-putar" pada hak asasi dan
kewajiban asasi, sebenarnya dalam praktik tak dapat lepas dengan aspek tanggung jawab. Dengan
cara berpikir demikian, keseimbangan dalam hubungan antaranggota masyarakat dapat terwujud
dan masing-masing warga akan menikmati hak asasinya, bebas, dan tanpa beban.
Sebagaimana diketahui, semenjak pandangan Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau,
dan pandangan para pendukung individualisme/liberallsiiie lahir, hubungan individu dan negara
merupakan fokus utama. Thomas Jefferson meyakini akan kebenaran dan keberadaan hubungan
individu dan negara harus diatur, demikian pula dalam Revolusi Prancis, bagaimana menata
kembali hubungan individu dengan negara yang selama ini negara bertindak semaunya dan
kejam terhadap individu. Karena itu, hubungan negara (penguasa) dan individu merupakan
het eewig dilemma (pilihan yang sulit/persoalan abadi) yang selalu muncul.
Derajat keharmonisannya tergantung sejauh mana masing-masing pihak telah
menjalankan pecan dalam satu sistem yang telah disepakati bersama dan kesepakatan
bersama dalam bentuk aturan hukum. Dengan demikian, aturan hukum memegang
peranan penting, sebab the first duty of the law (dalam hal ini tentu artinya para pembentuk
hukum dan political decision makers) is to know what it want (Sunarijati Hartono, 1969:
130). Sistem dan aturan hukum yang akomodatif terhadap HAM adalah sistem hukum

sebagaimana diungkap di dalam bab terdahulu yang berwatak responsif dan akomodatif
terhadap kehendak rakyat.
Sistem hukum akomodatif hanya dapat terwujud dalam sistem politik demokratis, di
mana kehendak dan kemauan rakyatlah yang menentukan dan menjadi pedoman, kemudian
diformalkan dalam hukum. Ketentuan hukum itulah yang dipakai sebagai pedoman oleh
penguasa: "...pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, tak akan pernah menghilang
dari muka bumf..." (Abraham Lincoln, 1863).
HAM meliputi hak sipil/hak politik dan hak ekonomi sosial dan budaya yang tertuang dalam
Deklarasi Hak Asasi Manusia Sedunia tanggal. 10 Desember 1948, terkait dengan dihormatinya
hak berbeda pendapat yang tertuang di dalam Pasal 21 Ayat 3: "Kehendak rakyat harus menjadi
dasar dari otoritas pemerintah. Kehendak ini harus diekspresikan melalui pemilihan umum secara
periodik dan langsung (asli) yang dilakukan secara universal dengan hak yang sama dan dilakukar,
dengan pemilihan secara rahasia atau dengan prosedur pemilihan bebas yang sejenis".
Ketentuan tersebut diperkuat dalam Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Hak
Politik(ICCPR) International Covenant on Civil and Political Rights dan Perjanjian Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan. Kebudayaan(ICESCR) International Covenant on Economic,
Social and Cultural Rights yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan telah disetujui
Majelis Umum PBB tahun 1966.
Hak Sipil dan Hak politik (KIHSP/SIPOL), antara lain meliputi berikut ini.
Hak hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.
Larangan perbudakan.
Larangan penganiayaan.
Larangan penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang.
Hak atas pemeriksaan pengadilan yang jujur.
Hak atas kebebasan bergerak.
Hak atas harta benda.
Hak atas kebebasan berpikir, menyuarakan had nurani, dan beragama.
Hak atas kebebasan mengemukakan pendapat dan mencurahkan pikiran.
Hak atas kebebasan berkumpul dan berserikat.
Hak untuk turut serta dalam pemerintahan.
Hak suaka/hak kebangsaan.
Hak kebebasan dan keamanan pribadi.
Hak mendapat perlindungan dari masyarakat atas keluarga.
Hak memeroleh kewarganegaraan.
Menyebar propaganda perang dan kebencian dilarang.
Sedangkan hak sosial, ekonomi, dan kebudayaan, dari EKOSOB/KIHESB antara lain
meliputi berikut ini.

Hak atas pekerjaan.


Hak atas taraf hidup yang layak, termasuk makanan, pakaian, perumahan, dan
kesehatan.
Hak atas pendidikan.

Hak untuk turut serta dalam kehidupan kebudayaan masyarakat, ambit bagian dalam
kernaivan ilmu pengetahuan, dan hak atas perlindungan kepentingan moral dan materiil
yang timbul dari hasil karya cipta seseorang dalam bidang ilmu, kesusastraan, dan Beni.
Kedua perjanjian tersebut mulai efektif sejak tahun 1976, hakikatnya disusun
deffli ketenangan dan keamanan manusia (human security), ketika lebih dari 120 negara
meratifikasi perjanjian tentang hak sipil dan hak politik, juga sejumlah negara yang hampir
sama meratifikasi perjanjian tentang hak ekonomi, sosial, dan kebudayaan.
Diperlukan waktu sepuluh tahun (1966-1976) sebelum dua kovenan PBB beserta
optional protocol dinyatakan berlaku, dan sudah diratifikasi oleh 35 negara. Jadi, proses
mulai Deklarasi HAM (1998) memerlukan waktu dua puluh delapan tahun (1948-1976).
Kemudian pada tahun 1989, Optional Protocol II (bertujuan penghapusan hukuman mati)
diterima oleh Sidang Umum PBB (1989). Naskah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
dua kovenan serta dua optionalprotocoldianggap sebagai suatu kesatuan, dinamakan UndangUndang Internasional Hak Asasi Manusia (International Bill of Human Rights), karena itu
dapat disimpulkan bahwa individu (walau masuk dalam kelompok minoritas) tetap bebas
dapat menikmati hak asasinya di tengah-tengah kelompok mayoritas yang "mungkin" berbeda
suku, etnik, dan warga negara yang mayoritas.
International Bill of Human Rights (undang-undang internasional) yang meliputi
berikut ini.
1. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948).
2, Kovenan Internasional Hak Ekonomi Sosial dan Budaya (1966-1976).
3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1966-1976).
0. Optional Protocol I dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (mengenai
pengaduan perorangan) (1966-1976).
1. Optional Protocol II dari Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (bertujuan
menghapuskan hukuman mati) (1989).
Catatan:
No. 1 'tidak mengikat secara yuridis', sesuai dengan usul beberapa negara (waktu
itu Uni Soviet). Sekalipun tidak mengikat secara yuridis, namun deklarasi
mempunyai pengaruh moral, politik, dan edukatif yang tiada taranya. Sebagai
lambang komitmen moral dunia internasional pada perlindungan hak asasi manusia,
deklarasi menjadi acuan banyak negara dalam undang-undang dasarnya serta putusanputusan hakim. Indonesia telah meratifikasi yang No. 2 dan No. 3, sedangkan No. 4 dan No.
5 Indonesia belum meratifikasi.
Hak pada No. 4 dan No. 5 menekankan kebebasan individu, mencakup antara lain hak
menyatakan pendapat, hak untuk secara bebas mendirikan atau memasuki organisasi yang
dii
nginkan. Hak-hak ini sudah berakar kuat dalam tradisi dunia Barat, merupakan bagian
utama dari perjuangan untuk menegakkan perjuangan demokrasi.

Individu dilindungi dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa, karena negara


sedikit banyak dianggap ancaman bagi manusia. Untuk melaksanakan hak politik,
kewenangan pemerintah perlu dibatasi melalui perundang-undangan, sehingga
campur tangan dalam kehidupan warga masyarakat dibatasi.
Untuk memantau perkembangan pelaksanaan hak-hak politik, didirikan Panitia Hak

Asasi(Human Rights Comittee), yang berhak menerima serta menyelidiki

pengaduan dari suatu negara pihak terhadap negara pihak lain, jika terjadi pelanggaran
hak asasi yang tercantum dalam kovenan. Bahkan telah dibuka juga kesempatan bagi
perorangan untuk mengadukan suatu negara pihak termasuk negaranya sendiri melalui
optional protocol. Naskah protokol ini ternyata sulit diterima daripada dua
perjanjian PBB. Pada Mei 2003, barn 49 negara yang meratifikasi, sedangkan perjanjian
hak ekonomi dan perjanjian hak politik masing-masing diratifikasi oleh 146
negara dan 149 negara. Optional Protcol II diterima pada tahun 1989, yang
bertujuan menghapus hukuman coati.
Sekalipun ada perbedaan antara kovenan hak sipil dan politik dan kovenan hak ekonomi,
sosial, dan budaya, namun kedua kovenan PBB menekankan pentingnya semua bangsa
untuk menentukan nasib sendiri. Maka dari itu, kedua Kovenan PBB dimulai dengan pasal
yang sama bunyinya: semua bangsa berhak untuk menentukan nasib sendiri. Berdasarkan
hak tersebut mereka bebas menentukan status politik mereka dan bebas mengejar kemajuan
ekonomi, sosial dan budaya mereka (all peoples have the right ofseq-

determination. By virtue of that rights they freely determine


their political status and freely pursue their economic, social,
and cultural development) (Miriam Budiarjo, 225: 2009).

Lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 dan Udang-Undang Nomor 12 Tahun


2005, Indonesia telah meratifikasi kedua konvenan (perjanjian) tersebut. Hak asasi sebagaimana
dikemukakan di depan, perlu perlindungan, balk bersifat vertikal maupun horizontal.

Pengertian vertikal melindungi individu atau kelompok dari


campur tangan yang tidak adil dari pihak pemerintah, sedangkan
horizontal mengacu pada hubungan di antara sesama warga
negara (Peter R. Baehr, 1998: 12). Namun, di dalam praktik, berdasarkan data
perlindungan vertikal, perlu perhatian khusus, karena banyak terjadi pelanggaran HAM
dalam proses hukum. Di sini, pejabat/penguasa dengan posisi dan wewenang serta kekuasaan
lebih memunyai kewajiban utama menjaga HAM, bukan sebaliknya.

Dalam Undang-Undang Nomor 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 67 menegaskan
bahwa setiap warga negara di wilayah Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan
perundangan-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi
manusia yang telah diterima oleh Republik Indonesia.
B. Hubungan Hak Asasi Manusia dengan Kelompok Bangsa/Etnik/Ras/
Againa, dan Lain-Lain
Individu/perseorangan dengan hak asasinya dapat didekati lebih dahulu lewat hukum
internasional, karena individu selain diakui sebagai subjek hukum internasional juga subjek
hukum nasional, sehingga memiliki hak, kewajiban, dan tanggung jawab formal yang jelas.

Pada prinsipnya, setiap individu dapat menikmati "keakuannya" dalam masyarakat


plural, walaupun minoritas. Sehingga, dengan pemahaman pada prinsip tersebut maka
individu tidak "larut" dalam masyarakat yang beragam. Selanjutnya, tentang hak
asasi kelompok yang sudah mendapat pengakuan formal di dalam banyak konvensi
internasional, tidak menjadi masalah ketika perorangan di dalam kelompok tersebut
t etap diposisikan sebagai subjek hukum. Dengan demikian, keberadaan di kelompok
merupakan bagian dari hak asasi orang per orang. Persoalan muncul ketika di dalam
kelompok tersebut ada sejumlah warga masyarakat dengan kepercayaan, budaya, etnik,
dan ras berbeda dengan kelompok lain yang kebenaran menjadi mayoritas. Jika kelompokkelompok tersebut tetap menikmati kebhinekaannya, berarti kelompok tersebut pun
menikma ti HAM nya. Kelompok tersebut ada yang masih dalam tahap, terutama tribal
life (kehidupan berkelompok/nomaden/berpindah-pindah) ataupun ethnic life (hidup
dalam kehidupan dan tradisi suku). Keberadaan kelompok terakhir ini yang terkesan
berbeda dengan mayoritas yang dianggap "mengganggu" sehingga terjadi semacam isolasi
yang bertentangan dengan ide HAM.
Dalam negara nasional, kehidupan orang per orang dari berbagai etnik yang sudah
menjadi bagian warga negara memiliki hak-hak dan kewajiban yang sama pula. Untuk itu,
ada tiga hal yang perlu penjelasan lebih dahulu. Pertama, hares ada tafsir yang benar tentang
pengaturan (secara otomatis) setiap negara terhadap seluruh kelompok penduduk. Kedua,
mengadakan observasi yang berkaitan dengan keberadaan berbagai kelompok etnik dan
kelompok sosial dilihat dari aturan hukum yang ada. Ketiga, posisi yang tepat dari berbagai
kelompok di mana orang perseorangan tersebut masuk ke dalam berbagai kelompok.
Dalam negara federal ataupun negara yang memiliki multietnik merupakan kenyataan
yang sudah diterima. Kalau ternyata di dalam praktik terjadi konflik antaretnik, biasanya
akibat dari sikap salah sate atau beberapa etnik yang ingin memaksakan kehendaknya
(budayanya) dan ingin menang sendiri ataupun faktor-faktor lain (ekonomi misalnya) yang
berakar pada sejarah bangsanya. Selanjutnya, kalau dilihat dari ketentuan UNESCO sendiri
menjelaskan bahwa perseorangan (a people) sebagai: "... a group united by certain cultural or
quasi political institutions in the public and occasionally private dominan " Dengan demikian,
kelompok perseorangan yang memiliki sejarah, budaya, dan institusi politik yang berbeda
dengan kelompok mayoritas dapat digolongkan ke dalam kelompok minoritas.
Dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights dinyatakan: "Everyone is entitled
to all the rights and freedoms set forth in this declaration, without distinction of any kind, such
as race, color, sex, language, religion, political or other opinion, national or social origin, property,
birth or other status. Furthermore, no distinction shall be made on the basis of the political,
jurisdictional or international status of the country or territory to which aperson belongs,
whether it be independent, trust, nonselfgoverning or under any other limitation ofsovereignity.
"Artinya, setiap orang berhak atas segala hak dan kebebasan yang telah diatur dalam
deklarasi, tanpa perbedaan apa pun, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama,
politik, negara atau asal-usul, harta benda, kelahiran, dan status lainnya. Selanjutnya, tidak
boleh ada pembedaan yang dibuat berdasarkan politik, hukum, atau status internasional
negara atau daerah/teritori

IT

dari mana orang itu berasal, balk dari negara merdeka/idependen maupun negara yall,
belum merdeka atau di bawah negara lain.
Pada tingkat operasionalnya, sudah banyak instrumen internasional terkait dengan
diskriminasi ras, antara. lain UNDeclaration on theElimination ofAll Forms

ofAacialDisc7imination International Convention on the Elimination


ofAll Forms ofRacial Discrimination, Declaration on' Race and
Racial Prejudice, Convention on the Elimination ofAII Form of
Discrimination against Women. Konvensi terakhir tersebut sudah diratifikasi
dengan Undang-Undang No. 7 Tahut, 1984. Pasal 281 ayat 3 UUD 1945 berbunyi:
"Setiap orang berhak dan bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif alas dasar apa pun
dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu".
Latar belakang sosiologis diskriminasi ras, antara lain adanya kecenderungan manusia
untuk berkumpul bersama dengan manusia lain yang berciri-ciri sama dari segi fisik, budaya,
agama, nilai-nilai, norma, dan kebiasaan (we and they), konflik budaya
(culture conflict), stereo typing and prejudice, transfer of norms
dalam proses sosialisasi, kebencian karena sejarah kolonialisme (historical enmity),
kecenderungan kelompok tertentu untuk bersifat eksklusif dan tidak membaur: (social
distance), social jealousy (Harkrisnowo, 2001).
Diskriminasi, antara lain dilakukan kelompok yang memunyai kedudukan superior

(decision maker) dalam masyarakat; oleh kelompok mayoritas dalam masyarakat; oleh

penduduk asli terhadap penduduk pendatang, atau dapat pula dilakukan oleh penduduk
pendatang (kolonialis) terhadap penduduk ash (Harkrisnowo, 2001). Sedangkan, bentuk
diskriminasi di antaranya diskriminasi individu (tindakan pelaku yang berprasangka) dan
diskriminasi institusi (andakall institusional) yang merupakan dampak dari kebijaksanaan dan
praktik tertentu berbagai institusi dalam masyarakat (Edward Ransford, 1980, dalam
Harkrisnowo, 2001).
Politik akomodatif dengan mengikutsertakan semua kelompok yang ada di dalam
masyarakat dalam beragam aktivitasnya, pada umumnya akan mempermudah terciptanya
persamaan adanya hak rakyat/hak bersama.
Proses terjadinya right ofpeople, kata Etinne Richard Mbaya, in the sense
ofa right exercised outside any particular civil one state society, is
as far as its development concerned, several centuries behind the
doctrine ofhuman rights. On the other hand, certain priveleged
moments in history bear witness to the convergence between
the exercise of the right of people to selfdetermination and the
fight for individual rights (1992: 9). Artinya, dalam rangka penerapan hak
masyarakat tertentu suatu negara, sangat terkait dengan pembangunan asas-asas HAM
sebelumnya (beberapa abad yang lalu). Di lain pihak, beberapa peristiwa penting dalam
sejarah telah menyaksikan adanya penggabungan/pertemuan antara penerapan hak-hak
manusia untuk menentukan nasibnya sendiri demi hak-hak perorangan/individu.
Dari pendekatan tersebut, telah terbukti bahwa hak individu keberadaannya lebih
dahulu dikenal daripada hak asasi lainnya, walau hak individu tersebut pada hakikatnya

pada tingkat internasional (PBB). Karena itu, kata Whitaker, kelompok minoritas bukan
subordinat peoples. Dengan demikian, kelompok minoritas bukan merupakan kelompok
et nis kelas dua dan kelompok "bawah" yang diperintah oleh etnis lainnya. Di sini perlu
dicari kesepakatan bersama sehingga dapat diberikan leguirnasi atas keberadaannya.
Sebuah resolusi Majelis Umum PBB No. 1514-XV bulan December 1960 menegaskan: all

people have the right to ee determination. Resolusi tersebut merupakan penegasan atas
pengakuan individu (perseorangan) sebagai subjek hukum internasional. Namun, hak
perseorangan tersebut diharapkan tidak akan menggoyahkan integritas dan persatuan nasional.
Oleh karena itulah, hak perseorangan (hak individu) tetap diakui yang berarti hak asasi
individu (perseorangan) maupun hak etnik (kelompok) dalam batas-batas tertentu tetap
diakui.
Dengan demikian, terbukti adanya kelompok individu yang bergabung dalam satu
nation (nation state) masih terdapat sekelompok suku bangsa (etnik) yang secara hukum
diakui keberadaannya, sehingga menjadi subjek hukum yang harus dihormati sebagaimana
kelomp ok etnis yang telah larut dalam satu bangsa. Hal ini perlu diangkat sehubungan
dengan adanya kenyataan masih adanya kelompok yang tertekan/tertindas.
Menghadapi hal ini, ada beberapa langkah yang dapat ditempuh dan menurut Vernon
Van Dyke, ada 5 langkah strategic yang harus dilaksanakan.
1. Terlebih dahulu ditetapkam makna etnik, kemudian dikaitkan dengan paham liberal
yang menekankan kepada individu (lebih dahulti dalam negara). Dengan demikian,
persoalan etnik (minoritas yang merasa bukan bagian integral dari satu bangsa) yang
ada dalam satu negara dalam paham liberal, belum tercakup.
2. Tahap kedua berkaitan dengan hubungan minoritas tersebut dengan kelompok
lain. Dalam praktik, muncul pertanyaan bagaimana persepsi tersebut pada paham
individualisms/liberalisme. Untuk itu, paham liberalisme perlu memberi (tambahan)
penjelasan lebih lanjut.
3. Langkah ketiga mengadakan elaborasi (baca: pernetaarilmaping) dari tahap kedua,
tentang hak menentukan nasib sendiri sebagai hak kelompok yang lebih dari hak
individu, sehingga paham liberal tidak dapat melakukan penawaran tanpa landasan
yang kuat. Dalam beberapa kasus, hak kelompok dapat dikurangi dan menjadi hak
individu (dalam kerangka teori liberal). Dalam kasus lain, hal tersebut tetap ada pada
kelompok sebagai satu kesatuan subjek hukum.
0. Langkah keempat merupakan catatan lanjutan dari langkah ketiga, sehingga (adanya)
asumsi dari kemauan/keinginan para individu berkelompok masih dapat dipertanyakan,
sedangkan kemauan kelompok dalam bentuk nation merupakan kemauan bersama.
1. Tahap terakhir, mempertanyakan adanya perbedaan tersebut dapat menyebabkan
komunitas etnis dengan kelompok lain terpisah. persoalan tersebut merupakan beban
kelompok individu dan sekaligus merupakan beban pula dari kelompok nation.
Pengakuan hak individu yang bersumber pada paham liberal individual, terutama
dalam hubungan dengan negara, dalam praktik masih belum dapat memberi jawaban
yang memuaskan. Lebih-lebih hal ini akan semakin sulit dan menantang berkaitan dengan

hak minoritas, etnik, dan agama yang terdapat pada berbagai bagian dunia. Adaput,
konsep alternatif yang dapat melengkapi hak asasi manusia dari Barat masih diperlukan
dalam rangka mendapatkan solusi yang terbaik. Sementara itu, Van Dyke dan Whitaker
mengakui: "... no universal standard is available for application is

surely a possible refly to the problem, and difficulties in this


area may have to be resolved on a case by case basis... " (1979:
34). Artinya, "... tidak ada standar universal yang berlaku dalam penerapannya, di mana
ada satu kepastian yang memuaskan, dan berbagai kesulitan di bidang ini pada dasarnya
barns diselesaikan secara kasus demi kasus...."
p

erbedaan etnik, ras, politik, agama, maupun kepercayaan yang Bering mengundang
perbedaan perlakuan/diskriminasi, hakikatnya "lebur" menjadi satu, terlebih lagi jika
kelompok tersebut bertekad menyatakan diri sebagai bangsa (nation; natie).
Menurut Prof. Ernest Renan dalam bLikunya yang berjudul Qu'est qu Une
Nation? (Apakah Bangsa Itu?) terbit tahun 1882, "bangsa adalah soal
perasaan, soal kehendak (tekad) sernata-masa untuk tetap hidup bersama (le desir
de vivre ensemble) yang timbul diantara segolongan besar manusia yang
nasibnya sama dalam masa lampau, terutama dalam penderitaan bersama" (Prof.
Soenario, XVII, 1968). Bangsa bukan sernata-masa dasar persamaan kebudayaan. Dengan
demikian, sebagai satu bangsa (Indonesia) menjadi tidak relevan jika "memisah-misahkan"
perbedaan warna kulit, etnik, agama, dan politik. Pembedaan perlakuan bertentangan
dengan hokum dan hak asasi manusia itu sendiri. Hanya dasar negara yang dapat menjaga
pluralitas yang ada.
Sehubungan dengan hal ini, hakikatnya Piagam PBB sendiri sudah menegaskan dalam
Pasal 5 5: "... for peaceful and friendly relations among nations based
on respect for- the principle of equal rights and self

determinations ofpeople, the United Nations shall promote: ...


universal respect for, and observance of human rights and
fundamental freedoms for all without distinctions to race, sex,
languages, or religions". Artinya, "...demi kedamaian dan hubungan persahabatan
antar negara-negara yang berdasarkan atas rasa hormat akan prinsip persamaan hak dan
keyakinan yang kuat dari diri setiap manusia, maka PBB akan memperhatikan:" "... rasa
hormat secara menyeluruh kepada manusia dan perhatian akan hak-hak asasi manusia untuk
semua manusia tanpa pembedaan ras, jenis kelamin, bahasa, ataupun agama". Ketentuan
tersebut dikaitkan dengan konvensi tentang HAM, balk dalam konvenan/perjanjian tentang
hak-hak sipil, politik, dan kovenan tentang hak sosial, ekonomi, dan kultural, merupakan
landasan yang kuat. Dengan demikian, ketentuan PBB tersebut berhubungan dengan
kemerdekaan negara jajahan dan negara-negara yang masih dikuasai negara lain (occupied
territories), tetapi juga berkaitan dengan hak-hak minoritas. Penjelasan terakhir
tersebut dimuat di dalarn. Declaration on Rights of Peoples yang diadakan di
Aljazair.
Bagi negara-negara nasional, perlindungan etnis minoritas hendaknya diprogramkan secara

pendirian badan Komisi HAM PBB diharapkan dapat efektif pada jangka waktu menengah
berdasarkan perkembangan komite secara tertulis yang diteruskan dengan pengawasan dengan
perjanjian barn yang mengikat. Pada jangka waktu panjang, ketika Komisi Tinggi HAM PBB
yang efektif telah didirikan, dapat bertindak sebagai suatu lembaga pengaduan dunia untuk
berbagai kelompok maupun individual/perorangan.
Satu pemikiran lain tentang pembagian hak dikemukakan oleh Maurice Cranston
(1983), is membagi hak dalam dua kategori, yaitu sebagai berikut.
1. Rights tout court (hak yang berkaitan dengan pengadilan), dalam arti hak yang dimiliki,

tetapi tidak mesti dinikmati.


2. Positive rights, dalam arti hak yang sudah pasti dimiliki (dikuasai).
Kemudian, Maurice Cranston mengusulkan membagi menjadi dua hak, yaitu legal
rights dan moral rights.
1. Legal rights, terdiri atas hak-hak sebagai berikut.
a.
b.

0.

0.

c.

General positive legal rights, yaitu hak yang dinikmati setiap orang yang diberikan
oleh konstitusi/UUD dan ditegakkan oleh pengadilan.
Traditional legal rights, yaitu hak (asli) anggota masyarakat yang diubah atau
ditiadakan oleh sebuah rezim.
Nominal legal rights, yang dipampangkan oleh negara-negara demokrasi
dan dituangkan dalam UUD dalam bentuk bebas bergerak, bicara, berkumpul dalam
kenyataannya penguasa, menekankan para warga negara untuk melaksanakan
hakhak tersebut. Hak-hak tersebut hanya di atas kertas, sehingga tidak dapat (negara
demokrasi yang bersangkutan) dimasukkan ke dalam negara yang
memiliki/ menghormati hak yang dilindungi oleh (positive legal rights) hukum
positif.
Positive legal rights ofspecific classes ofpersons, yaitu hak khusus yang tidak
dimiliki setiap orang, hak tersebut bersifat eksklusif (dimiliki kalangan tertentu),
misalnya hak dokter, pengacara, hakim, jaksa, agamawan, politisi, negarawan, TNI,
dan lain-lain. Hak tersebut berkaitan dengan tugas-tugas khusus dari anggota
kelompok tersebut, sehingga sifatnya lebih istimewa (privileges).
The positive legal rights of a single person, yaitu hak yang diberikan atas dasar status/
jabatan orangnya dan hak-hak tersebut bersifat istimewa, antara lain presiders, raja,
perdana menteri, dan lain-lain.

Moral Rights, merupakan hak yang disusun terbalik, terdiri atas hak-hak sebagai
berikut.
a. The moral rights of one person only, merupakan seperangkat hak moral yang timbul
dari kenyataan (fakta yang ada) akibat posisi, tugas, profesi dari seseorang. Hak-hak
tersebut dapat bersifat yuridis maupun moral. Disadari bahwa hak moral tidak mesti
dihormati/dimengerti oleh orang lain, karena itu hak moral bersifat tertutup.
b. The moral rights ofspecific groups ofpeople, yaitu seperangkat hak yang dimiliki oleh
sekelompok warga masyarakat karena memiliki peran tertentu. Misalnya, hak orang

tua terhadap anak dan pengasuh bayi atas bayi aSUhannya. Hak moral tidak diberi
(disediakan) oleh hukum positif, tetapi dikembangkan dari prinsip-prinsip moral atau
dari hukum slam.
c. The moral rights of all people in all situation, di sinilah tempat hak asasi berada. Hak asasi
dimiliki semua orang tanpa kecuali. Hak asasi tak ada kaitannya dengan jabatan, kedudukan,
posisi, kekayaan orang per orang. Hak asasi dimiliki manusia karena is manusia.
Sehubungan dengan adanya tingkatan hak sebagaimana tergambar di atas, j uga beragamnya
status/peran maupun posisi seseorang dalam masyarakat, maka harus disadari bahwa status
tersebut bersifat sementara. Sebaliknya, yang selalu sama dalam hidup bermasyarakat dan
tak berubah adalah unsur manusianya yang memiliki persamaan dalam perasaan duka, lara,
dan bahagia.
Karena itu, dengan posisi yang dimiliki kelompok-kelompok tersebut, dilthat dari
pendekatan HAM tidak substansial, tetapi prosedural. Ketika paradigms tersebut rnenjadl
landasan penguasa dan kelompok masyarakat, kemudian meresap di kalangan anggota
masyarakat, maka nilai dan penghormatan atas HAM semakin terbuka. Kebersamaan sikap
akan membawa ketenangan dan ketenteraman sesama anggota masyarakat.
Makna pengakuan adanya kelompok-kelompok dalam masyarakat hakikamya merupakan
pengakuan adanya perbedaan. Hak untuk berbeda telah diatur di dalam Pasal 27 ICCPR
(International Convenant on Civil and Political Rights/Perjanjian International tentang Hak
Sipil dan Politik/Kovenan SIPOL) sebagai berikut.
"Bagi negara-negara di many kelompok minoritas etnik, agama, maupun bahasa eksis,
maka hak-hak minoritas untuk menikmati budaya, mengakui, dan mempraktikkan
agama mereka sendiri, atau menggunakan bahasa mereka sendiri dalam kehidupan
bersama dengan anggota lain dari kelompok bersangkutan, tidak boleh diingkari".
Demikian pula keberadaan masyarakat adat (indigenous people), Pasal 27 ICCPR lebih
tepat diterapkan untuk masyarakat adat (pribumi) daripada minoritas. Menurut catatan PBB,
terdapat 300 juts orang dari 5000 kelompok yang merupakan masyarakat adat yang didefinisikan
sebagai: "Pewaris penduduk adat atas wilayah-wilayah yang dijajah dan mempertahankan budaya
minoritas... Pasal tersebut jugs menghilangkan teori tentang terra nullius yang memungkinkan
orang-orang Eropa untuk mempertahankan masyarakat adat, seperti bagian dari flora dan fauna
tak dapat digunakan lagi" (Geoffrey Robertson, 2002: 182-183).
Keberadaan kelompok minoritas dan masyarakat adat terkait dengan Pasal 1 ICCPR
yang menyatakan: "Bahwa semua masyarakat (peoples) memiliki hak untuk menentukan
nasibnya sendiri". Walau dalam aplikasinya sulit, hal ini tidak saja terbentur pads makna
people, tetapi ada penafsiran semua penghuni setiap negara, di camping sistem politik yang
berlaku di negara ikut berpengaruh untuk mengakui keberadaan masyarakat adat/minoritas
dengan hak-hak asasinya.
Menurut analisis Koesparmono (2003), di Indonesia ada beberapa anggapan dasar
diskriminasi. Pertama, perilaku yang membedakan secara negatif maupun positif berdasarkan

ras, gender, agama, bahasa, umur, kondisi sosial ekonom i, mental, dan sebagainya.
Kedua, konsep ras tidak dikenal lagi, karena mobilitas manusia demikian lugs dan cepat,
lewat perkaw inan campuran sehingga tidak ditemukan homogenitas ras/etnik. Ketiga,
adanya kekhasan menyangkut agama, di mana negara yang menentukan apakah yang dianut
oleh kelornpok orang tertentu itu agama atau bukan.
Dari konstatasi ini, masalah diskriminasi di Indonesia masih ada. Instrumen
internasional PBB yang melindungi antidiskriminasi, antara. lainpertama: United
Nations on The Elimination of All Racial Discrimination yang telah
diratifikasi melalui UU No. 29/1999, dalam konsiderannya: "Considering that
any doctrine of racial differentiation or superiority is scientifically

false, morally condemnable, socially unjust and dangerous,


and that there is no justification for racial discrimination either
in theory or in practice" (dengan mempertimbangkan doktrin yang ada yang
terkait dengan pembedaan ras atau superioritas yang tidak tepat ditinjau dari akal sehat, secara
moral terkutuk, sedangkan dilihat dari segi sosial tidak adil dan berbahaya. Oleh karena itu,
tidak ada pengakLian/pembenaran akan diskriminasi ras, baik dalam teori maupun praktik)
yang dipertegas lagi di dalam Pasal 1 dan 7 Ayat 1.

Kedua, konform dengan ketentuan tersebut dalam UU No. 39/1999 tentang


Hak Asasi Manusia, yaitu Pasal 3 (1): setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat
dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikarumal akal dan hati nurani
untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan; (2)
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan perlakuan hukum yang
adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum; (3)
setiap orang berhak atas perlindungan hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia, tanpa
diskriminasi. "Ketiga, Declaration on the Eliminating of All Forms

of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or


Belief. Keempat, Declaration on the Rights of Persons
Belonging to the National or Ethnic, Religious and Linguistic
Minorities':

Dalam rangka harmonisasi hukum nasional dan hukum internasional, ha-kham pada
khususnya dalam UU No. 39/1999 Pasal 6 ayat (1): "Dalam rangka penegakan HAM,
perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi
oleh hukum, masyarakat, dan pemerintah. Ayat (2): identitas budaya masyarakat hukum
adat, termasuk hak atas tanah ulayat dilindungi, selaras dengan perkembangan zaman".
Diskriminasi yang masih ada/berkembang di dunia meliputi masalah-masalah:

aggressive nationalism, ethnocentrism, racism, anti-Semitis,


xenophobia, and intolerance, religious fanaticism, organized crime,
dan corruption. Upaya mengurangi/menghapus diskriminasi telah ditempuh lewat
pertemuan internasional. Dalam Second World Conference to Combat
Racism and Racial Discrimination di Jenewa tahun 1983, telah disetujui
untuk menghilangkan diskriminasi, tetapi fakta di negara-negara yang menentangnya, justru
diskriminasi masih marak. Juga, pada World Conference against Racism,
Racial Discrimination, Xenophobia and Related Intolerance di Durban,

hidup manusia, cita-cita manusia, dan impian mereka. Masalah diskriminasipada


tataran praktistelah menyusupi sanubari yang paling dalam dari manusia dalam
melakukan kehidupan sosialnya. Demikian pula pandangan rasia4 diskriminasi rasial,
xenophobia, dan segala bentuk ketidakpedulian merupakan pelanggaran hak asasi
manusia yang serius, di samping pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia
(Koesparmono, 2003).
Sedangkan hak ekonomi, sosial, dan kultural masuk dalam International Covenant o,,
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), disebut juga Kovenan Ekososbud. Dua kovenar,
tersebut pada tanggal 30 September 2005, telah diratifikasi oleh pemerintah dengan melakukar,
reservasi (persyaratan) terhadap Pasal 1 Konvenan Sipol dan Pasal 1 Konvenan Ekosob.
Penulis sependapat dengan pandangan tersebut, malah dapat dikatakan konflik antara
bangsa di belahan dunia banyak berakar dari masalah tersebut yang berdampak pada
keputusan politik yang saling konfrontatif. Karenanya, ketika masalah tersebutpada tataran
praktispara pemimpin dunia dari banyak negara enggan melaksanakan ketentuan yang
ada, atau setengah hati serta anggota masyarakat dibiarkan bersikap acuh, dapat dipastikan
kekacauan, keributan, sampai perang antarbangsa tidak menyurut, malah akan berlangsung
terns sepanjang masc.
Untuk itulah, kalau pendekatan dan hubungan antarmanusia lebih mengedepankan aspek
kebersamaan dan toleransi dengan langkah sosialisasi terus-menerus, dibarengi sikap politik
yang jelas dan tegas serta penegakan hukum yang mantap, maka akan sangat membantu
mempercepat proses dediskriminasi/penghapusan diskriminasi, sebagaimana diharapkan di
dalam berbagai konvensi internasional dan UU nasional. Kalau langkah tersebut dilaksanakan,
maka akan menjadi gerakan politik dan sosial secara simultan. Artinya, elit pada tingkat
suprastruktur dan massa pada tingkat infrastruktur berjalan bersama.
C. Hak Asasi, Kewajiban Asasi, dan Taiigguiig Jawab Asasi
Dari sudut pandang FLA-M, masyarakat yang relatif homogen misalnya (agama, suku,
etnik, keyakinan, politik, dan lain-lain) tetap 'welcomed' terhadap individu (minoritas)
yang mempunyai paham agama yang berbeda, dengan mayoritas tetap harmonis, saling
menghormati dan gotong-royong akan terwujud. Dari titik pangkal ini, sebenarnya hubungan
antara hak asasi, kewajiban asasi dan tanggung jawab asasi "bertemu" tak terelakan.
Sebelumnya telah sedikit disinggung hubungan antara hak asasi, kewajiban asasi dan
tanggung jawab asasi. Sebenarnya pada tahun 1997, International Council, sebagai organisasi
internasional, mencanangkan suatu naskah Universal Declaration of Human Responsibilities
sebagai pelengkap dari Universal Declaration of Human Rights PBB. Sudah waktunya hak
asasi diimbangi dengan tanggung jawab atau kewajiban asasi.
Di tengah kontroversi apakah hak asasi bersifat universal atau tidak, dan keterkaitan
antara hak dan kewajiban, yang menurut banyak pengamat merupakan perbedaan pokok
antara pandangan dunia Barat dan pandangan dunia non-Barat, tiba-tiba muncul suatu

dokumen yang menggemparkan, yaitu A Universal Declaration of Human Responbilities.


Naskah ini dirumuskan oleh suatu kelompok yang terdiri kira-kira 60 tokoh pemikir dan
mantan negarawan dari berbagai negara, balk dari dunia Barat maupun non-Barat, seperti
Helmut Schmidt dari Jerman, Malcom Fraser dari Australia, Jimmy Carter dari Amerika
Serikat, Lee Kuan Yew dari Singapura, Kiichi Miyazawa dari Jepang, Kenneth Kaunda
dari Zambia, dan Hasan Hanafi dari Universitas Kairo. Menanggapi dialog yang wring
konfrontatif dan sengit, kelompok ini menamakan dirinya Interaction Council. Mereka
mulai Maret 1987 membicarakan pentingnya dirumuskanya beberapa kewajiban yang dapat
menanggapi deklarasi HAM serta membantunya untuk menuju dunia yang lebih baik.

Dalam bagian sebelumnya mengenai hak asasi, telah diuraikan bahwa dalam pasal 29
dari Deklarasi Hak Asasi Manusia maupun dari beberapa pasal kovenan hak sipil politik
mengenai hak mengeluarkan pendapat, telah juga disebutkan bahwa di samping hak juga
ada kewajiban terhadap masyarakat, terutama untukmemenuhi undang-undang yang
mengatur mengeluarkan pendapat. Telah pula disebutkan bahwa di samping hak, juga ada
kewajiban terhadap masyarakat, terutama untuk memenuhi undang-undang yang mengatur
keamanan dan kesusilaan masyarakat. Akan tetapi, di samping itu ada beberapa piagam
dari negara-negara non-Barat yang lebih memperluas dan mempertajam konsep kewajiban
manusia itu. Deklarasi universal tanggung jawab manusia merupakan respons terhadap dua
aliran pikiran ini. Untuk mengerti latar belakang deklarasi tanggung jawab manusia ini,
ada baiknya kita membahas laporan panitia kecil yang dipimpin Helmut Schmidt yang
merangkum diskusi yang telah berlangsung lebih dari sepuluh tahun, mengenai pikiran
serta sifat yang mendasari Deklarasi Tanggung Jawab Manusia.
Laporan Helmut Schmidt dimulai dengan uraian bahwa di Barat ada tradisi menjunjung
tinggi konsep-konsep, seperti kebebasan dan individualisms, sedangkan di dunia Timur,
konsep mengenai tanggung jawab dan komunitas lebih dominan. Deklarasi PBB 1948
mencerminkan latar belakang filsafat dan latar belakang budaya negara-negara Barat yang
memenangkan Penang Dunia II. Dikatakan selanjutnya, konsep mengenai kewajiban
manusia berfungsi sebagai penyeimbang antara konsep kebebasan dan tanggung jawab. Hak
lebih terkait dengan kebebasan, dan kewajiban terkait dengan tanggung jawab. Sekalipun
ada perbedaan, kebebasan dan tanggung jawab bergantung satu sama lain.
Tanggung jawab sebagai sikap moral, berfungsi sebagai kendala alamiah serta sukarela
terhadap kebebasan yang dimiliki orang. Dalam setiap masyarakat tidak ada kebebasan
tanpa pembatasan. Maka dari itu, lebih banyak kebebasan yang kita nikmati, lebih banyak
pula tanggung jawab kita, baik terhadap orang lain maupun terhadap kita sendiri. Lebih
banyak bakat yang kita miliki, lebih besar tanggung jawab kita untuk mengembangkannya
seoptimal mungkin. Menyinggung pandangan masyarakat bahwa dalam Deklarasi HAM
(1948) sangat bersifat individualistic, maka laporan itu mengimbau agar hak kebebasan
tidak menuju sikap hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa mengindahkan hak atas
kebebasan orang lain. Dianjurkan agar orang yang mempunyai suatu hak berusaha secara
aktif agar orang lain juga menikmati hak itu. Ini hanya dapat terlaksana jika semua orang
melibatkan diri sepenuhnya dalam usaha ini. Dikatakan selanjutnya, kita harus melangkah

dari kebebasan untuk tidak peduli menuju kebebasan untuk melibatkan diri (we must most
away from the freedom of idifference towards the freedom of involvement).
Tanga keseimbangan yang wajar, kebebasan tanpa batas sama bahayanya dengan tanggung
jawab yang dipaksakan. Banyak ketidakadilan telah diakibatkan oleh kebebasan ekonomi yang
ekstrem dan keserakahan kapitalis. Pada saat yang sama, penindasan kejam terhadap kebebasat,
manusia yang sangat mendasar itu telah dilaksanakan "demi kepentingan masyarakat" atau
cita-cita komunis, dikatakan juga telah berhasil memperjuangkan kebebasan serta hak.
Sekarang sudah waktunya memupuk tanggung jawab serta kewajiban manusia. Globalisasi
menuntut bahwa kita harus hidup bersama secara harmonis dan mengembangkan potensi
masing-masing, dan untuk ini kita memerlukan pengaturan dan kuasa diri (selfrestrain). Erika
adalah standar minimum untuk kehidupan kolektif Dunia memerlukan basis etis yang andal.
Oleh karena hak dan kewajiban terkait satu sama lain secara ketat, bahwa menjadi kewajiban
semua orang untuk menghormatinya.
Deklarasi tanggung jawab manusia yang diumumkan 1 September 1997 tidak hanya
bermaksud mencari keseimbangan antara hak dan kewajiban, tetapi juga untuk mendamaikan
berbagai ideologi, kepercayaan serta pandangan politik yang di masa lampau dianggap antagonistik
(seperti pemikiran Barat versus non-Barat). Prinsip tercapainya demokrasi adalah tercapainya
kebebasan sebanyak mungkin, memungkinkan kebebasan itu semakin tumbuh, kebebasan tanpa
menerima tanggung jawab dapat memusnahkan kebebasan kewajiban itu sendiri.
Aspirasi manusia akan kema j uan dan perbaikan hanya dapat terlaksana melaui
tercapainya konsensus mengenai nilai-nilai dan tolak ukur. Hanya jika diterima secara
universal oleh semua orang dan berlaku untuk semua orang serta lembaga setiap waktu,
usaha ini akan berhasil. Bagaimana juga terlepas dari nilai-nilai khusus yang mungkin
dimiliki suatu masyarakat tertentu, hubungan antara manusia secara universal didasari
oleh adanya hak maupun kewajiban.
Laporan panitia kecil selanjutnya menekankan bahwa untuk mencari keseimbangan
antara hak dan kewajiban, ada suatu kaidah lama yang dapat dipakai sebagai pedoman; jangan
berbuat terhadap orang lain hal yang tidak kita ingin diperbuat terhadap kita (do not do to
others what we do not wish we be done to us). Akan tetapi, pepatah ini ada segi negatifnya, yang
bersikap pasif. Yang diperlukan ialah sikap yang lebih positif, aktif dan tegas, yaitu berbuatlah
terhadap orang lain seperti Anda ingin mereka perbuat terhadap Anda (do to as you would
have then do to you). "Kaidah emas" (golden rule) ini mencakup beberapa sikap yang menarik
untuk disimak karena agak berbeda dengan pemikiran mainstream mengenai kewajiban.

jika kita mempunyai hak atas hidup, maka kita mempunyai kewajiban menghormati
hidup itu.
jika kita mempunyai hak atas kebebasan, maka kita mempunyai kewajiban mengormati
kebebasan orang lain.
jika kita mempunyai hak atas keamanan, maka kita juga mempunyai kewajiban
menciptakan kondisi bagi semua orang untuk menikmati keamanan kemanusiaan
(human security) itu.

jika kita mempunyai hak berpartisipasi dalam proses politik di negara sendiri dan
M er f ,ilih pemimpin-pemimpin kita, maka kita mempunyai kewajiban berpartisipasi
dan berusaha agar pemimpin-pemimpin terbaik yang terpilih.
Jika kita mempunyai hak bekerja dalam keadaan yang adil dan menguntungkan untuk
memberi taraf hidup yang layak bagi kita serta keluarga, maka kita juga mempunyai
kewajiban untuk bekerja dengan penuh kemampuan kita.
Jika kita mempunyai kebebasan berpikir, mempunyai hati nuram, dan beragama, maka
kita juga mempunyai kewajiban menghormati pemikiran dan agama orang lain.
. Jika kita mempunyai hak memperoleh pendidikan, maka kita mempunyai kewajiban
untuk belajar penuh sesuai dengan kemampuan kita dan dimana mungkin, membagi
pengetahuan serta pengalaman kita kepada orang lain.
. jika kita mempunyai hak menikmati kekayaan alam, maka kita mempunyai kewajiban
menghormati, memelihara, dan memulihkan bumf serta sumber-sumber alamnya.
Naskah Deklarasi Tanggung Jawab Manusia sendiri pendek sekali, hanya mencakup
19 pasal, dalam preambule dikatakan bahwa terlalu mengutamakan hak secara
ekslusif, dapat menimbulkan konflik, perpecahan dan pertengkaran tanpa akhir, di
pihak lain mengabaikan tanggung jawab manusia dapat menjurus ke chaos. Berikut
ini beberapa pasal di antaranya.
Pasal I
Setiap orang mempunyai tanggung jawab untuk memperlakukan semua orang
secara manusiawi.
Pasal 9
Semua orang yang berkecukupan bertanggung jawab untuk berusaha secara serius
untuk mengatasi keadaan kurang pangan, kebodohan dan ketidaksamaan.
Pasal 11
Semua milik dan kekayaan harus dipakai secara bertanggung jawab dengan keadilan
dan untuk memajukan semua umat manusia. Kekuasaan ekonomi dan politik tidak
boleh dipakai sebagai alas dominasi, tetapi untuk mencapai keadilan ekonomi dan
mengatur masyarakat.
Pasal 13
Para politisi, pegawai pemerintah, pemimpin bisnis, ilmuan atau artis tidak dapat
terkecualian dari standar etis. Begitu juga dokter, sarjana hukum, dan orang
profesional yang mempunyai kewajiban khusus terhadap klien.
Pasal 14
Kebebasan yang dimiliki media massa untuk memberikan informasi kepada
masyarakat dan untuk mengkritik lembaga-lembaga masyarakat serta kegiatan
pemerintah yang sangat diperlukan dalam setiap masyarakat yang adil, harus
dilaksanakan dengan rasa tanggung jawab dan penuh dengan kebijaksanaan
(discretion). Kebebasan media massa kini membawa tanggung jawab khusus

untuk memberi laporan yang akurat dan benar. Laporan yang penuh sensasi yang
melecehkan manusia atau martabatnya harus selalu dihindari.
Pasal 15

Kebebasan agama harus dijamin, wakil-wakil dari berbagai agama mempunyai


tanggung jawab khusus untuk menghindari ucapan berprasangka dan kegiatan yang
diskriminatif terhadap orang yang berbeda agama. Mereka jangan menghasut atau
membenarkan kebencian, fanatisme, dan perang agama, tetapi harus memupuk
toleransi dan rasa Baling menghormati antara semua manusia.
Naskah ini yang beraspirasi membentuk masyarakat global yang berdasarkan etika,
sayangnya belum dibicarakan dalam sidang PBB. Sekalipun demikian, ada gunanya menyimak
pemikiran yang dikandungnya (Miriam Budiardjo, 227-232: 2009).

Dimensi Absolut dan


Relatif Hak Asasi Manusia
Kalau kembali kepada ide dasar HAM, di mana setiap manusia sejak lahir memiliki
hak utama yang melekat dan suci, yaitu hak hidup dari Tuhan dan hak-hak lainnya demi
pemenuhan kebutuhan lahir batinnya. Karenanya, istilah mulai dari natural rights, moral
rights, human rights sampai rights of people (rights of individual) tidak ada kekuatan apa pun
yang berhak dan mampu mencabutnya. Hanya dengan landasan hukum konstitusional yang
adil dan benar lewat proses legal, maka pencabutan dapat dibenarkan baik untuk sementara
maupun seterusnya. Keberhasilan memperjuangkan HAM sama dengan mewujudkan ideologi
hukum latent (abadi). Karenanya, akibat beragam perbedaan kepercayaan, keyakinan politik,
emik, golongan, dan agama dengan segala variasinya, maka perbedaan tersebut akan selalu
hidup dan ada dalam komunitas nasional dan internasional. Untuk mempertahankan hak
dasar tersebut, perlu perjuangan dan gerakan bersama (politik dan moral) umat manusia
melalui lembaga internasional, nasional, baik politik, sosial, ekonomi, keagamaan, budaya,
dan sejenisnya maupun perseorangan. Tanga adanya gerakan bersama, "perjalanan" dan usaha
memperjuangkan HAM masih banyak menghadapi tantangan/masalah.
Dengan demikian, menjadi tepat sekali kalau hak asasi manusia merupakan hak
rakyat/the rights ofpeople, sebagai judul buku yang diedit oleh James Crawford. Beragam
perbedaan antarmanusia tersebut disimpulkan oleh Ian Brownlie, seputar "... the issues of
self-determination, the treatment of minorities, and the status of indigenous populations are the
same, and the segregations of topics in an impediment to fruitful work. The rights and claims of
groups with their own cultural histories and identities are in principles the same they must
be" (1995: 16). Artinya, ... permasalahan dalam menentukan diri-sendiri, perlakuan terhadap
kelompok-kelompok minoritas, dan status populasi yang beraneka ragam Berta pemisahan/
pengasingan topik-topik tersebut menjadi halangan dalam mencapai hasil yang berarti.
Hak-hak dan klaim-klaim suatu kelompok dengan sejarah kebudayaan dan identitas mereka
sendiri pada dasarnya sudah seharusnya sama.
Umuk menghayati makna HAM secara sempurna dan benar, maka pendidikan politik
dan hukum bagi warga masyarakat menjadi mutlak. pendidikan politik yang tepat dan benar
d
engan mengedepankan nilai-nilai demokrasilah yang akan memperkuat nilai-nilai HAM

yang ada, sehingga rakyat benar-benar radar bahwa HAM adalah milik kita.
Sebaliknya, sistem d1ktator akan membawa malapetaka atas hak asasi manusia. Dalam
sistem tersebut, yang utama adalah keinginan penguasa/pejabat sehingga kehendak rakyat
sebagai pemilik hak asasi manusia menjadi terpinggirkan.
Sebagaimana diketahui, kesadaran politik merupakan awal dari bangkitnya kesadaran di
berbagat sektor/bidang kehidLIpan lainnya. Karena dari segi dan sistem politik yang ditetapkat,
dan dipilihlah yang menjadi somber semua aktivitas dan kegiatan kemasyarakatan, di mana
dapat berkembang atau malah mandek. Di dalam politik ada kekuatan dan kekuasaan yang
mengendalikan ke mana pejabat negara, aparat, dan pejabat dapat "melangkah".
p
olitik hukum yang menjadi landasan/dasar negara dibangun lebih lanjut dalart,
beragam peraturan perundangan yang mampu merefleksikan arch pengaturan beragam
masalah kemasyarakatan yang ada. Tentu saja, dari politik hukum yang dipilih segera
"diterjemahkan" di dalam seperangkat aturan hukum yang sesuai dengan dasar yang telah
ditetapkan sebelumnya. Dengan demikian, prinsip tact asas hares menjadi pegangan bagi
politisi/negarawan/birokrat/aparat dan dilaksanakan di tingkat di bawahnya.
Di ramping itu, dalam upaya penegakan hukum, keadilan, dan hak asasi manusia tidak
saja dipengaruhi faktor internal, tetapi juga dipengaruhi oleh bagaimana sistem hukum
dan politik yang berlaku, juga faktor eksternal yang mampu mendorong atau seballknya
menghambat penegakan HAM di Indonesia. Dengan demikian, perkembangan politik
internasional Berta hubungan internasional yang semakin terbuka menyebabkan hubungan
antara negara semakin gampang. Era globallsasi dan keterbukaan menuntut setiap negara
hares membuka dirt karena tidak ada sate negara pun yang mampu memenuhi kebutuhan
sendiri. Karenanya, negara akan mengalami kesulitan bila politik ketertutupan menjadi
garis politik luar negerinya. Di dalam upaya menegakkan hak asasi manusia, pengaruh
dari intervensi, desakan, maupun himbauan dari banyak negara maupun lembaga-lembaga
internasional sangat besar terhadap negara yang bersangkutan.
Sate pihak adanya negara-negara besar, terutama. Ainerika Serikat setiap tahun mengeluarkan
Country Report on Human Rights Practices 2003 dari banyak negara, demikian pula PBB.
Tujuannya tidak dapat lepas dari kepentingan politik, back terka-it dengan bantuan, kerja sama,
maupun agenda-agenda politik lainnya. Dalam laporan terakhir (25 Februari 2004), AS masih
menilai Indonesia termasuk negara yang nilal penegakan HAM-nya buruk (terutama kasus
Aceh). Pemerintah Indonesia sudah melakukan protes atas laporan tersebut.
Sayang, AS tidak melaporkan pelanggaran HAM di negaranya sendiri. Hal ini menjadikan
negara lain, misalnya Cina, memberi reaksi keras. Perang statement antaxa. AS dengan Cina
dapat dibaca antara lain sebagai berikut. Menurut laporan AS: 'during 2003, the report says,
Chinese authorities, carried out arrests of individuals discussing sensitive subjects on the internet,
health activities, labor protesters, defense lawyers, journalists, house church members, and other
seeking to take advantage of the space created by reforms" Sedangkan, statement Cina antara
lain: ... and just as usual, the United States once again omitted' its own long-standing malpractice
and problems of human rights in the reports. Therefore, we have to, as before, help the United
States

keep its human ri&s'record" Zbigniew Brzezink, mantan penasihat Presiders Carter

mengritik pemerintah AS dengan kalimat: "It is a serious matter when the world's number one
superpower undertakes a war claiming a causes belli that turns out to have been false" (Josef P.
Widyatmadja, Suara Pembaruan, 10 Maret 2004).
Namun, satu hal yang pasti bahwa hak asasi adalah masalah bersama umat manusia,
kernanusiaan, dan universal. Karena itu, banyaknya bahasan, komentar, sampai tekanan satu
negara maupun resolusi PBB, misalnya terhadap negara yang telah melakukan langkah represif
melakukan pelanggaran HAM, lebih-lebih kejahatan HAM berat, dapat dimengerti. Langkah
politik tersebut di satu pihak dipandang cukup objektif dan rasional, demi penghormatan dan
martabat manusia. Pada pihak lain, kadang ada kesan yang dipaksakan dan sangat subjektif
demi kepentingan politik sesaat. Sejauh mana objektivitas dapat diraih, adanya standar dan
kesepakatan internasional yang ada perlu mendapat perhatian bersama.
Dengan banyaknya perangkat hukum internasional di bidang HAM, ha-kham (human
rights law) menjadi cukup lengkap, meliputi ha-kham materiil dan ha-kham formal, nasional,
maupun internasional. Pelaksanaan ha-kham dalam rangka untuk mengadili kejahatan HAM
dalam praktik Bering mengalami hambatan. Keengganan negara untuk menyerahkan para
penjahat HAM pada pengadilan HAM tingkat nasional, lebih-lebih pada pengadilan HAM
tingkat internasional, masih banyak hambatan. Akibat kompleksitas masalah yang terkait
dengan hal ini, dalam tataran teori terdapat dua pandangan besar tentang sifat berlakunya
HAM. Di satu pihak muncul pandangan yang menyatakan HAM otomatis berlaku universal,
sebaliknya ada pandangan yang menyatakan HAM bersifat partikular. Dalam tataran teori,
wacana tentang hal ini menghasilkan pendapat-pendapat yang berbeda dengan alasan masingmasing. Berlakunya HAM mengikuti pandangan ini dipecah menjadi 4 (empat) kelompok,
yang masing-masing pandangan ada penganutnya, termasuk di Indonesia.

Pandangan Universal Absolut

1.
p

andangan ini melihat HAM sebagai nilai-nilai universal sebagaimana dirumuskan dalam
dokumen-dokumen HAM internasional, seperti the International Bill ofHuman Rights. Dalam
hal ini, profil sosial budaya yang melekat pada masing-masing bangsa tidak diperhitungkan.
Penganut pandangan ini adalah negara-negara maju, di mana bagi negara-negara berkembang,
mereka dinilai eksploitatif karena menerapkan HAM sebagai alas penekan dan sebagai instrumen
penilai (tool ofjudgement). Sebagai contoh, country report dari Kedubes Amerika Serikat di atas.
Demikian pula salah satu pernyataan yang tersurat dan tersirat dalam Summary of Bangkok
NGO Declaration (Bangkok: 1993), yang antara lain menyatakan: As human rights are of
universal concern and are universal in value, the advocacy of human rights cannot be considered to
&he an encroachment upon national sovereigni ty. Artinya, ketika hak-hak asasi manusia menjadi
perhatian dan berharga Berta bersifat universal, pembelaan hak-hak asasi manusia tidak dapat
d
ianggap sebagai pelanggaran atas kedaulatan nasional.
0.

Pandangan Universal Relatif

Pandangan ini melihat persoalan HAM sebagai masalah universal. Namun demikian,
rkecualian dan pembatasan yang didasarkan atas asas-asas hukum nasional tetap diakui

pe

ohm

keberadaannya. Sebagai contoh, ketentuan yang diatur dalam Pasal 29 ayat 2 Universal
Declaration of Human Rights (UDHR) yang menegaskan bahwa: In the

exercise ofhis rights and freedoms, everyone shall be subject


only to such limitations as are determined by law solely for the
purpose ofsecuring due recognition and respect for the rights
and freedom of others and of meeting the just requirements of
morality, public order and the general welfare in a democratic
society. Artinya, dalam penerapan hak-hak dan kebebasannya, setiap orang
dihadapkan pada suatu batasan-batasan tertentu yang ditentukan oleh hukum yang bertujuan
untuk melindungi penghargaan dan penghormatan terhadap hak-hak dan kebebasan orang
lain dan memenuhi syarat-syarat yang adil dari segi moral, norma masyarakat, dan
kesejahteraan umum dalam masyarakat demokratis.
Untuk menjabarkan makna dari Pasal 29 ayat 2 UDHR ini, PBB telah melakukan
pembahasan dalam The San Francisco Conference, Commission on
Human Rights dan Third Committee of the General Assembly. Semua
pembahasan tersebut memberikan peringatan dini bahwa negara-negara angora PBB dilarang
untuk menyalahgunakan batasan-batasan yang diberikan untuk tujuan-tujuan yang tidak tepat

(restrict the rights and powers of the state in order to ensure that
limitations or restrictions on the exercise se of rights are not used
for improper purposes),
3. Pandangan Partikularistis Absolut

Pandangan ini melihat HAM sebagai persoalan masing-masing bangsa, tanpa


memberikan alasan yang kuat, khususnya dalam melakukan penolakan terhadap berlakunya
dokumen-dokumen internasional. Pandangan ini Bering kali menimbulkan kesan
chauvinist, egois, defensif, dan pasif tentang HAM.
4. Pandangan Partikularistis Relatif
Dalam pandangan ini, HAM dilihat di samping sebagai masalah universal juga merupakan
masalah nasional masing-masing bangsa. Berlakunya dokumen-dokumen HAM internasional
harus diselaraskan, diserasikan, dan diseimbangkan, Berta memeroleh dukungan budaya bangsa.
Pandangan ini tidak hanya menjadikan kekhususan yang ada pada masing-masing bangsa
sebagai sasaran untuk bersikap defensif, tetapi di lain pihak juga aktif mencari perumusan
dan pembenaran (vindication) terhadap karakteristik HAM yang dianutnya.
Pandangan yang terakhir ini tampak menonjol dalam The Jakarta Message tahun
2005 (Butir 18), yang antara lain berbunyi sebagai berikut ini.

We reaffirm that basic human rights and findamental freedom


are of universal validity. We welcome thegrowing trend towards
democracy and commit ourselves to cooperate in the protection
of human rights. We believe that economic and social progress
facilitate the achievement of these objectives. No country
however, should use its power to dictate its concept of

sitions and actively participate in the preparatory work of the Second World Conference on Ijuman Rights injune 1993, in order to ensure that the conference addresses all aspects ofhuman
rights on the basic ofuniversality, indivisibility, impartiality, and nonselectivity. Artinya, kami
meyakinkan kembali bahwa hak-hak asai manusia dan kebebasan yang mendasar mempakan
sesuatu yang mendapat pengakuan secara universal. Kami menerima perkembangan bare
terhadap demokrasi dan komitmen untuk bekerja sama dalam melindungi hak asasi
manusia. Kami percaya kemajuan ekonomi dan sosial akan mendukung untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut. Walaupun demikian, suatu negara tidak boleh menggunakan
kekuatannya untuk mendikte konsep demokrasi dan hak-hak asasi manusianya atau
dengan mengenakan/menjatuhkan syarat-syarat kepada negara-negara lainnya. Dalam
mempromosikan/memperhatikan dan melindungi hak-hak dan kebebasan ini, kami
menekankan keterhubungan berbagai kategori yang memerlukan keseimbagan hubungan
antara hak-hak individu dan hak-hak masyarakat dan menegakkan kemampuan dan
tanggung jawab pemerintah nasional dalam penerapannya. Negara-negara Nonblok sudah
seharusnya mengatur penerapannya sendiri. Negara-negara Nonblok sudah seharusnya
mengatur posisi-posisi mereka dan berpartisipasi secara aktif dalam persiapan kerja pada
Konferensi Negara-Negara Kedua tentang HAM bulan juni 1993, untuk memastikan
bahwa konferensi tersebut mengarah pada seluruh aspek-aspek HAM yang berdasarkan
sifat yang universal/umum, tidak terpisahkan, tidak memihak, dan tidak memilah-milah.
po

Dalam kerangka ini pula, Deklarasi Kuala Lumpur (1993) tentang HAM yang dirumuskan
oleh Asean Interparliamenta?y Organization (AIPO), menegaskan bahwa:... the people of
ASEAN accept that human rights exist in a dynamic and evolving context and that each country
has inherent historical experiences, and changing economic, social, political and cultural realities
and value system which should be taken into account. Artinya, ... seluruh anggota masyarakat
ASEAN menerima bahwa HAM berada dalam konteks dinamis dan berubah-ubah, juga
setiap negara memiliki warisan pengalaman sejarah dan perubahan yang nyata, baik ekonomi,
sosial, politik, dan kultur/budaya juga norma-norma harus dipertimbangkan.
Tampaknya, perjuangan negara-negara Nonblok memeroleh pembenaran secara
internasional, karena di dalam The Vienna Declaration and Programme of Action yang
dihasilkan oleh Conference on Human Rights (June 1993), ditegaskan seperti berikut ini.
5. All human rights are universal, indivisible and interdependent and interrelated. The
international community must treat human rights globally in a fair and equal manner,
on the same footing, and with the same emphasize. While the significant of national and
regional particularities and various historical, cultural and religious background must
be borned in mind, it is the duty of states, regardless of their political, economic and
cultural systems, to promote and protect all human rights and fundamental freedoms.
Artinya, HAM adalah universal, tak terpisahkan, saling berketergantungan, dan
saling berhubungan. Masyarakat internasional sudah seharusnya memperlakukan
b HAM secara keseluruhan dengan adil dan merata, berkedudukan sama, dan dengan
penekanan yang sama. Sementara itu, pengertian-pengertian baik yang bersifat
nasional, regional, dan berbagai latar belakan sejarah, kebudayaan/keagamaan harus

ditanamkan dalam pikiran, sekaligus menjadi tugas negara, tanpa memandang cistern
pokitik, ekonomi, dan budayanya tetap memperhatikan dan melindungi HAM dan
kebebasan dasar manusia. pandangan partikularistis relatif cocok untuk dianut oleh
Indonesia (Muladi, 1994: 2-5).
Penulis juga sependapat dengan pandangan Muladi, atas dasar tiga pertimbangan
utama. Pertama, dikembalikan kepada awal keberadaan manusia sendiri sebagai makhluk
sempurna dan suci, dengan konsekuensi manusia memiliki hak asasi manusia yang juga
suci. Kedua, perbedaan sifat, kepercayaan, ras, etnik, agama maupun perbedaan pandangat,
politik sebagian besar umat manusia sebenarnya bersifat relatif, sedangkan kepekaan biologic
sesama manusia selalu sama; sakitnya manusia Indonesia sama dengan sakitnya manusia
jerman dan seterusnya. Ketiga, setiap manusia memiliki hati nurani yang tidak pernah dapat
dibohongi dan ditipu, tentu saj a yang utama Tuhan Yang Ma -ha Esa. Karena itu, perbedaanperbedaan tersebut merupakan keniscayaan. Hal tersebut merupakan konsekuensi logic dari
kebebasan-kebebasan itu sediri. Einstain pernah mengatakan "politik (baca: perbedaanperbedaan apa pun) adalah sesuatu yang sekarang. Sedangkan ilmu pengetahuan adalah
sesuatu yang abadi".

You might also like