Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat
bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit
nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60
persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja
tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak
mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada
anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa
kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk
menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis yang
disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau
psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan
penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu
penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi diagnosis dari Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
2. Untuk mengetahui Etiologi dan patofisiologi DKA
3. Untuk mengetahui Diagnosis klinis dan diagnosis banding DKA
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit
dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety
Commision, 2006).
2.2 ETIOLOGI DAN PATOFIOLOGI
2.2.1 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuhtumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison
sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly
antigenic 3- enta decyl cathecols, kulit bulir padi dan tumbuhan batang padi termasuk
alergen yang sering ditemukan . Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),
tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).
2.2.2 Patofoiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang
oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan
seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut
bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus
stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit.
Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah
bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat
hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten
diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan
Menembus lapisan
corneum
Hapten + HLA-DR
Membentuk
antigen
Beredar ke seluruh
tubuh
Dikenalkan ke
limfosit T melalui
CD4
Individu
tersensitisasi
Fase Sensitisasi
(I)
Pajanan ulang
Sel T memori
Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks
Respons klinis DKA
Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit
Faktor kemotaktik,
eiksanoid menarik
neutrofil, monosit ke
dermis
Molekul larut
(komplemen dan klinin)
ke epidermis dan
dermis
Dilatasi vaskuler
dan peningkatan
permeabilitas
vaskuler
pekerjaan
2.
keluarga
Riwayat penyakit
sebelumnya
spesifik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi
terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi
Tangan
Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya
Ketiak
Wajah
di pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai
Bibir
Kelopak mata
kacamata).
Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep
Telinga
mata.
Anting
Leher
Badan
warna pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet
yang
terbuat
dari
nikel,
tangkai
nilon,
kondom,
obat
topikal,
sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud
kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan
nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.
b Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir
Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat
bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan
plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada
telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada
telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa
mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada
telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik
d Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya.
Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena
alergen.
f Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,
dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada
gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet
pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik,
atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan
10
(DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk
menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai
untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan
yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan
atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat
iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka
uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air
garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit
dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang)
untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).
11
2. Dermatitis Atopi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering
disertai oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis
dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).
Awitan timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada masa bayi, anak,
dan dewasa. Pada bayi (3 bulan sampai 2 tahun), pipi, dahi, kulit kepala, pergelangan
tangan dan aspek ekstensor dari lengan dan kaki sering terlibat. Di bagian lampin siku
biasanya terhindar. Keterlibatan kulit kepala mungkin cukup parah untuk
menyebabkan alopesia. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian
menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ,
berkrustae, dan sering terjadi infeksi sekunder. Lesi DA pada anak berjalan kronis
akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku,
lipat lutut, leher, dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi
13
eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada
kulit DA akan tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi.
Perubahan
pigmen
kulit
bisa
terjadi
dengan
berlanjutnya
lesi,
menjadi
B. Kriteria minor
Xerosis, Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis, reaktivitas IgE
(IgE meningkat, hasil skin prick test positif), dermatitis pada tangan dan kaki, keilitis,
dermatitis pada kulit kepala, kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya
Staphylococcus aureus dan virus herpes simpleks), aksentuasi perifolikular
(khususnya pada ras yang berpigmen)
14
2.4 PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta
tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
Simptomatis
15
Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 34 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk
anak anak untuk menghilangkan rasa gatal
a. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin
atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7
hari
b. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,
2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada
e.
f.
g.
h.
16