You are on page 1of 16

BAB 1

PENDAHULUAN
1. 1 LATAR BELAKANG
Dermatitis adalah peradangan kulit (epidermis dan dermis) sebagai respon
terhadap pengaruh faktor eksogen dan atau faktor endogen, menimbulkan kelainan
klinis berupa efloresensi polimorfik (eritema, edema, papul, vesikel, skuama,
likenifikasi) dan keluhan gatal. Tanda polimorfik tidak selalu timbul bersamaan,
bahkan mungkin hanya beberapa (oligomorfik). Dermatitis cenderung residif dan
menjadi kronis (Sularsito, dkk, 2011).
Dermatitis kontak ialah dermatitis yang disebabkan oleh bahan atau substansi
yang menempel pada kulit. Dikenal dua macam jenis dermatitis kontak yaitu
dermatitis kontak iritan (DKI) dan dermatitis kontak alergik (DKA), keduanya dapat
bersifat akut maupun kronik. Dermatitis iritan merupakan reaksi peradangan kulit
nonimunologik, sehingga kerusakan kulit terjadi langsung tanpa didahului proses
sensitisasi. Sebaliknya, dermatitis kontak alergik terjadi pada seseorang yang telah
mengalami sensitisasi terhadap suatu alergen (Sularsito, dkk, 2011).
Dahulu diperkirakan bahwa kejadian DKI akibat kerja sebanyak 80% dan
DKA 20%, tetapi data baru dari Inggris dan Amerika Serikat menunjukkan bahwa
dermatitis kontak akibat alergi ternyata cukup tinggi yaitu berkisar antara 50 dan 60
persen. Sedangkan dari satu penelitian ditemukan frekuensi DKA bukan akibat kerja
tiga kali lebih sering dari pada DKA akibat kerja (Sularsito, dkk, 2011). Usia tidak
mempengaruhi timbulnya sensitisasi, tetapi umumnya DKA jarang ditemui pada
anak-anak. Prevalensi pada wanita dua kali lipat dibandingkan pada laki-laki. Bangsa
kaukasian lebih sering terkena DKA dari pada ras bangsa lain (Sumantri, dkk, 2005).
Pentingnya deteksi dan penanganan dini pada penyakit DKA bertujuan untuk
menghindari komplikasi kronisnya. Apabila terjadi bersamaan dengan dermatitis yang
disebabkan oleh faktor endogen (dermatitis atopik, dermatitis numularis, atau
psoriasis) atau terpajan oleh alergen yang tidak mungkin dihindari(misalnya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu atau yang terdapat pada lingkungan
penderita) dapat menyebabkan prognosis menjadi kurang baik. Oleh karena itu
penting untuk diketahui apa dan bagaiman DKA sehingga dapat menurunkan
morbiditas dan memperbaiki prognosis DKA.
1.2 TUJUAN
1. Untuk mengetahui definisi diagnosis dari Dermatitis Kontak Alergi (DKA)
2. Untuk mengetahui Etiologi dan patofisiologi DKA
3. Untuk mengetahui Diagnosis klinis dan diagnosis banding DKA
1

4. Untuk mengetahui penatalaksanaan DKA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Dermatitis kontak alergi adalah suatu dermatitis (peradangan kulit) yang
timbul setelah kontak dengan alergen melalui proses sensitisasi (Siregar, 2004).
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi
hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit
dan dapat mengaktivasi reaksi alergi (National Occupational Health and Safety
Commision, 2006).
2.2 ETIOLOGI DAN PATOFIOLOGI
2.2.1 Etiologi
Penyebab dermatitis kontak alergik adalah alergen, paling sering berupa bahan
kimia dengan berat molekul kurang dari 500-1000 Da, yang juga disebut bahan kimia
sederhana. Dermatitis yang timbul dipengaruhi oleh potensi sensitisasi alergen,
derajat pajanan, dan luasnya penetrasi di kulit (Djuanda, 2005).
Penyebab utama kontak alergen di Amerika Serikat yaitu dari tumbuhtumbuhan. Sembilan puluh persen dari populasi mengalami sensitisasi terhadap
tanaman dari genus Toxicodendron, misalnya poison ivy, poison oak dan poison
sumac. Toxicodendron mengandung urushiol yaitu suatu campuran dari highly
antigenic 3- enta decyl cathecols, kulit bulir padi dan tumbuhan batang padi termasuk
alergen yang sering ditemukan . Bahan lainnya adalah nikel sulfat (bahan-bahan
logam), potassium dichromat (semen, pembersih alat -alat rumah tangga),
formaldehid, etilendiamin (cat rambut, obat-obatan), mercaptobenzotiazol (karet),
tiuram (fungisida) dan parafenilendiamin (cat rambut, bahan kimia fotografi)
(Trihapsoro, 2003).
2.2.2 Patofoiologi
Dermatitis kontak alergi atau DKA disebabkan oleh pajanan secara berulang
oleh suatu alergen tertentu secara berulang, seperti zat kimia yang sangat reaktif dan
seringkali mempunyai struktur kimia yang sangat sederhana. Struktur kimia tersebut
bila terkena kulit dapat menembus lapisan epidermis yang lebih dalam menembus
stratum corneum dan membentuk kompleks sebagai hapten dengan protein kulit.
Konjugat yang terbentuk diperkenalkan oleh sel dendrit ke sel-sel kelenjar getah
bening yang mengalir dan limfosit-limfosit secara khusus dapat mengenali konjugat
hapten dan terbentuk bagian protein karier yang berdekatan. Kojugasi hapten-hapten
diulang pada kontak selanjutnya dan limfosit yang sudah disensitisasikan

memberikan respons, menyebabkan timbulnya sitotoksisitas langsung dan terjadinya


radang yang ditimbulkan oleh limfokin (Price, 2005).
Sebenarnya, DKA ini memiliki 2 fase yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi
yang akhirnya dapat menyebabkan DKA. Pada kedua fase ini akan melepaskan
mediator-mediator inflamasi seperti IL-2, TNF, leukotrien, IFN, dan sebagainya,
sebagai respon terhadap pajanan yang mengenai kulit tersebut. Pelepasan mediatormediator tersebut akan menimbulkan manifestasi klinis khas khas yang hampir sama
seperti dermatitis lainnya. DKA ini akan terlihat jelas setelah terpajan oleh alergen
selama beberapa waktu yang lama sekitar berbulan- bulan bahkan beberapa tahun
(Price, 2005).
Secara khas, DKA bermanifestasi klinis sebagai pruritus, kemerahan dan
penebalan kulit yang seringkali memperlihatkan adanya vesikel-vesikel yang relatif
rapuh. Edema pada daerah yang terserang mula-mula tampak nyata dan jika
mengenai wajah, genitalia atau ekstrimitas distal dapat menyerupai eksema. Edema
memisahkan sel-sel lapisan epidermis yang lebih dalam (spongiosus) dan dermis
yang berdekatan. Lebih sering mengenai bagian kulit yang tidak memiliki rambut
terutama kelopak mata (Price, 2005).

Skema Patogenesis DKA


Kontak Dengan
Alergen secara
Berulang
Alergen kecil dan
larut dalam lemak
disebut hapten

Menembus lapisan
corneum

Difagosit oleh sel


Langerhans
dengan pinositosis

IL-1, ICAM-1, LFA3,B-7, MHC I dan II


Sel langerhans
keluarkan sitokin
Sitokin akan
memproliferasi sel
T dan menjadi
lebih banyak dan
memiliki sel T
memori

Hapten + HLA-DR

Sitokin akan keluar


dari getah bening

Membentuk
antigen

Beredar ke seluruh
tubuh

Dikenalkan ke
limfosit T melalui
CD4

Individu
tersensitisasi
Fase Sensitisasi
(I)

Fase Elitisasi (II)


24-48 jam

Pajanan ulang

Sel T memori

Aktivasi sitokin
inflamasi lebih
kompleks
Respons klinis DKA
Proliferasi dan
ekspansi sel T di
kulit

Faktor kemotaktik,

PGE2 dan OGD2, dan


leukotrien B4 (LTB4) dan
IFN keratinosit
LFA -1, IL-1, TNF-

Eikosanoid (dari sel


mast dan keratinosit

eiksanoid menarik
neutrofil, monosit ke
dermis

Molekul larut
(komplemen dan klinin)
ke epidermis dan
dermis

Dilatasi vaskuler
dan peningkatan
permeabilitas
vaskuler

2.3 DIAGNOSIS DAN DIAGNOSIS BANDING


2.3.1 Diagnosis
1. Anamnesis
Diagnosis DKA didasarkan atas hasil anamnesis yang cermat dan pemeriksaan
klinis yang teliti. Penderita umumnya mengeluh gatal (Sularsito, 2010).
Pertanyaan mengenai kontaktan yang dicurigai didasarkan kelainan kulit
berupa hiperpigmentasi, likenifikasi, dengan papul dan erosi, maka perlu ditanyakan
apakah penderita memakai kancing celana atau kepala ikat pinggang yang terbuat dari
logam (nikel). Data yang berasal dari anamnesis juga meliputi riwayat pekerjaan,
hobi, obat topikal yang pernah digunakan, obat sistemik, kosmetika, bahan-bahan
yang diketahui menimbulkan alergi, penyakit kulit yang pernah dialami, riwayat
atopi, baik dari yang bersangkutan maupun keluarganya (Sularsito, 2010).
Penelusuran riwayat pada DKA didasarkan pada beberapa data seperti yang
tercantum dalam tabel 2.1 berikut.
Tabel 2.1 Penelusuran riwayat pada DKA (Sularsito,2010).
Demografi dan riwayat

Umur, jenis kelamin, ras, suku, agama, status

pekerjaan

pernikahan, pekerjaan, deskripsi dari pekerjaan,

2.

paparan berulang dari alergen yang didapat saat


kerja, tempat bekerja, pekerjaan sebelumnya.
Riwayat penyakit dalam

Faktor genetik, predisposisi

keluarga
Riwayat penyakit

Alergi obat, penyakit yang sedang diderita, obat-

sebelumnya

obat yang digunakan, tindakan bedah

Riwayat dermatitis yang

Onset, lokasi, pengobatan

spesifik
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik sangat penting, karena dengan melihat lokasi dan pola
kelainan kulit seringkali dapat diketahui kemungkinan penyebabnya. Berbagai lokasi
terjadinya DKA dapat dilihat pada tabel 2.2. Misalnya, di ketiak oleh deodoran; di
pergelangan tangan oleh jam tangan; di kedua kaki oleh sepatu/sandal. Pemeriksaan
hendaknya dilakukan di tempat yang cukup terang, pada seluruh kulit untuk melihat
kemungkinan kelainan kulit lain karena sebab-sebab endogen (Sularsito, 2010).
Tabel 2.2 Berbagai Lokasi Terjadinya DKA (Sularsito,2010).
Lokasi
Tangan

Kemungkinan Penyebab
Pekerjaan yang basah (Wet Work) misalnya

memasak makanan (getah sayuran, pestisida)


Lengan

dan mencuci pakaian menggunakan deterjen.


Jam tangan (nikel), sarung tangan karet, debu

Ketiak

semen, dan tanaman.


Deodoran, anti-perspiran, formaldehid yang ada

Wajah

di pakaian.
Bahan kosmetik, spons (karet), obat topikal,
alergen di udara (aero-alergen), nikel (tangkai

Bibir
Kelopak mata

kacamata).
Lipstik, pasta gigi, getah buah-buahan.
Maskara, eye shadow, obat tetes mata, salep

Telinga

mata.
Anting

Leher

kacamata, obat topikal, gagang telepon.


Kalung dari nikel, parfum, alergen di udara, zat

Badan

warna pakaian.
Tekstil, zat warna, kancing logam, karet

yang

terbuat

dari

nikel,

tangkai

(elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut


Genitalia

atau pewangi pakaian.


Antiseptik, obat topikal,

nilon,

kondom,

pembalut wanita, alergen yang berada di


Paha dan tungkai bawah

tangan, parfum, kontrasepsi.


Tekstil, kaus kaki nilon,

obat

topikal,

sepatu/sandal.
Pada pemeriksaan fisik dermatitis kontak alergi secara umum dapat diamati
beberapa ujud kelainan kulit antara lain edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Ujud
kelainan kulit dapat dilihat pada beberapa gambar berikut :
a Dermatitis kontak alergi pada di lengan tempat tali jam tangan karena alergi terhadap
nikel menyebabkan eritema. Lesi yang timbul pada lokasi kontak langsung dengan
nikel (lesi eksematosa dan terkadang popular). Lesi eksematosa berupa papul-papul,
vesikel-vesikel yang dijumpai pada lokasi kontak langsung.

b Dermatitis kontak alergi akut pada bibir yang terjadi karena lipstick. Pasien
hipersensitif terhadap eosin mengakibatkan eritema pada bibir

Telinga. Anting atau jepit telinga terbuat dari nikel, penyebab dermatitis kontak pada
telinga. Penyebab lain misalnya obat topikal, tangkai kaca mata, cat rambut, alat
bantu dengar, gagang telepon. Alat bantu dengar dapat mengandung akrilak, bahan
plastik, serta bahan kimia lainnya. Anting-anting yang menyebabkan dermatitis pada
telinga umumnya yang terbuat dari nikel dan jarang pada emas. Tindikan pada
telinga mungkin menjadi fase sensitisasi pada dermatitis karena nikel yang bisa
mengarah pada dermatitis kontak kronik. Dermatitis kontak alergi subakut pada
telinga dan sebagian leher. Akhirnya diketahui bahwa pasien alergi terhadap bahan
plastik

d Badan. Dermatitis kontak di badan dapat disebabkan oleh tekstil, zat warna kancing
logam, karet (elastis, busa), plastik, deterjen, bahan pelembut atau pewangi pakaian.
Dermatitis kontak pada perut karena pasien alergi pada karet dari celananya.
Terlihat adanya eritema yang berbatas tegas sesuai dengan daerah yang terkena
alergen.

e Genitalia. Penyebabnya data antiseptik, obattopikal, nilon, kondom, pembalut wanita


alergen yang berada di tangan, parfum, kontrasepsi, deterjen. Dermatitis kontak
yang terjadi pada daerah vulva karena alergi pada cream yang mengandung
neomisin, terlihat eritema

f Paha dan tungkai bawah. Dermatitis di tempat ini dapat disebabkan oleh tekstil,
dompet, kunci (nikel), kaos kaki nilon, obat topikal, semen, sepatu/sandal. Pada
gambar dermatitis kontakalergi yang terjadi karena Quaternium-15,bahan pengawet
pada pelembab.Kaki mengalami skuama, krusta

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Uji Tempel
Kelainan kulit DKA sering tidak menunjukkan gambaran morfologik yang
khas, dapat menyerupai dermatitis atopik, dermatitis numularis, dermatitis seboroik,
atau psoriasis. Diagnosis banding yang utama ialah dengan Dermatitis Kontak Iritan

10

(DKI). Dalam keadaan ini pemeriksaan uji tempel perlu dipertimbangkan untuk
menentukan, apakah dermatitis tersebut karena kontak alergi (Sularsito, 2010).
Tempat untuk melakukan uji tempel biasanya di punggung. Bahan yang secara
rutin dan dibiarkan menempel di kulit, misalnya kosmetik, pelembab, bila dipakai
untuk uji tempel, dapat langsung digunakan apa adanya. Bila menggunakan bahan
yang secara rutin dipakai dengan air untuk membilasnya, misalnya sampo, pasta
gigi, harus diencerkan terlebih dahulu. Bahan yang tidak larut dalam air diencerkan
atau dilarutkan dalam vaselin atau minyak mineral. Produk yang diketahui bersifat
iritan, misalnya deterjen, hanya boleh diuji bila diduga keras penyebab alergi.
Apabila pakaian, sepatu, atau sarung tangan yang dicurigai penyebab alergi, maka
uji tempel dilakukan dengan potongan kecil bahan tersebut yang direndam dalam air
garam yang tidak dibubuhi bahan pengawet, atau air, dan ditempelkan di kulit
dengan memakai Finn chamber, dibiarkan sekurang-kurangnya 48 jam. Perlu diingat
bahwa hasil positif dengan alergen bukan standar perlu kontrol (5 sampai 10 orang)
untuk menyingkirkan kemungkinan terkena iritasi (Sularsito, 2010).

Aplikasi Patch Test (Uji Tempel) pada pasien


Berbagai hal berikut ini perlu diperhatikan dalam pelaksanaan uji tempel (Sularsito,
2010):
1)Dermatitis harus sudah tenang (sembuh). Bila masih dalam keadaan akut atau berat
dapat terjadi reaksi angry back atau excited skin reaksi positif palsu, dapat juga
menyebabkan penyakit yang sedang dideritanya semakin memburuk.
2)Tes dilakukan sekurang-kurangnya satu minggu setelah pemakaian kortikosteroid
sistemik dihentikan (walaupun dikatakan bahwa uji tempel dapat dilakukan pada
pemakaian prednison kurang dari 20 mg/hari atau dosis ekuivalen kortikosteroid
lain), sebab dapat menghasilkan reaksi negatif palsu. Sedangkan antihistamin
sistemik tidak mempengaruhi hasil tes, kecuali diduga karena urtikaria kontak.
3)Uji tempel dibuka setelah dua hari, kemudian dibaca; pembacaan kedua dilakukan
pada hari ke-3 sampai ke-7 setelah aplikasi.

11

4)Penderita dilarang melakukan aktivitas yang menyebabkan uji tempel menjadi


longgar (tidak menempel dengan baik), karena memberikan hasil negatif palsu.
Penderita juga dilarang mandi sekurang-kurangnya dalam 48 jam, dan menjaga agar
punggung selalu kering setelah dibuka uji tempelnya sampai pembacaan terakhir
selesai.
5)Uji tempel dengan bahan standar jangan dilakukan terhadap penderita yang
mempunyai riwayat tipe urtikaria dadakan (immediate urticaria type), karena dapat
menimbulkan urtikaria generalisata bahkan reaksi anafilaksis. Pada penderita
semacam ini dilakukan tes dengan prosedur khusus.
Setelah dibiarkan menempel selama 48 jam, uji tempel dilepas. Pembacaan
pertama dilakukan 15-30 menit setelah dilepas, agar efek tekanan bahan yang diuji
telah menghilang atau minimal. Hasilnya dicatat seperti berikut (Sularsito, 2010):
1 = reaksi lemah (nonvesikular) : eritema, infiltrat, papul (+)
2 = reaksi kuat : edema atau vesikel (++)
3 = reaksi sangat kuat (ekstrim) : bula atau ulkus (+++)
4 = meragukan : hanya makula eritematosa
5 = iritasi : seperti terbakar, pustul, atau purpura (IR)
6 = reaksi negatif (-)
7 = excited skin
8 = tidak dites (NT=non tested)
2.3.2 Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Iritan
Penyebab munculnya DKI adalah bahan yang bersifat iritan, misalnya bahan
pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam alkali, serbuk kayu, bahan abrasif, enzim,
minyak, larutan garam konsentrat, plastik berat molekul rendah atau bahan kimia
higroskopik. Kelainan kulit yang muncul bergantung pada beberapa faktor, meliputi
faktor dari iritan itu sendiri, faktor lingkungan dan faktor individu penderita (Strait,
2001; Djuanda, 2003).
Reaksi ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang
tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kekuatan reaksi
tergantung dari kerentanan individunya dan pada konsentrasi serta ciri kimiawi
kontaktan, adanya oklusi dan lamanya serta frekuensi kontak (Fregret, 1998).
Satu kali kontak yang pendek dengan suatu bahan kimiawi kadang-kadang
sudah cukup untuk mencetuskan reaksi iritan. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh
zat alkali atau asam, ataupun oleh detergen. Uap dan debu alkali dapat menimbulkan
rekasi iritan pada wajah. Jika lemah maka reaksinya akan menghilang secara spontan
dalam waktu singkat. Luka bakar kimia merupakan reaksi iritan yang terutama terjadi
ketika bekerja dengan zat-zat kimia yang bersifat iritan dalam konsentrasi yang cukup
tinggi (Fregret, 1998).
12

Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan


menimbulkan fissura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan
kemerahan pada kulit, akan menghilang dalam beberapa hari setelah pengobatan
dengan suatu pelembab. Rasa gatal dapat pula menyertai keadaan ini, tetapi yang
lebih sering dikeluhkan pasien adalah rasa nyeri pada bagian yang mengalami fissura.
Meskipun efek kumulatif diperlukan untuk menimbulkan reaksi iritan, namun
hilnganya dapat terjadi spontan kalau penyebabnya ditiadakan (Fregret, 1998).
Gambar tangan yang teritasi sabun cuci piring, ditemukan eritema, squama,
dan batas tidak berbatas jelas.

2. Dermatitis Atopi
Dermatitis atopik adalah penyakit kulit kronis dan residitif yang sering
disertai oleh kelainan atopik lain, seperti rhinitis alergika dan asma, manifestasi klinis
dermatitis atopik bervariasi menurut usia (Bieber, 2008).
Awitan timbulnya DA berdasarkan usia dapat terjadi pada masa bayi, anak,
dan dewasa. Pada bayi (3 bulan sampai 2 tahun), pipi, dahi, kulit kepala, pergelangan
tangan dan aspek ekstensor dari lengan dan kaki sering terlibat. Di bagian lampin siku
biasanya terhindar. Keterlibatan kulit kepala mungkin cukup parah untuk
menyebabkan alopesia. Gejala pada bayi biasanya mulai pada wajah kemudian
menyebar terutama ke daerah ekstensor dan lesi biasanya basah, eksudativ,
berkrustae, dan sering terjadi infeksi sekunder. Lesi DA pada anak berjalan kronis
akan berlanjut sampai usia sekolah dan predileksi biasanya terdapat pada lipat siku,
lipat lutut, leher, dan pergelangan tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi

13

eksudativ dan kadang-kadang terjadi kelainan kuku. Pada umumnya kelainan pada
kulit DA akan tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi.
Perubahan

pigmen

kulit

bisa

terjadi

dengan

berlanjutnya

lesi,

menjadi

hiperpigmentasi atau kadang hipopigmentasi bahkan depigmentasi. Pada anak-anak


usia 2 - 12 tahun pada permukaan fleksor, leher, pergelangan tangan dan pergelangan
kaki adalah tempat yang sering terkena. Lesi pada remaja dan dewasa muda adalah
ruam pada daerah fleksor lengan (antecubital dan poplitea), kaki, wajah (terutama
daerah periorbital) dan leher. DA bentuk dewasa lesi mirip dengan lesi pada anakanak
usia lanjut (8-12 tahun) dengan didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatanlipatan dan tangan. Selain gejala utama yang telah diterangkan, juga ada gejala lain
yang tidak selalu terdapat, yang dikenal dengan kriteria minor seperti pada criteria
diagnosis dari Hanifin-Rajka. Kehadiran distribusi ekstensor pada anak yang lebih tua
dan orang dewasa menunjukkan prognosis buruk pada pengobatan utama. Ketiak,
keterlibatan selangkangan dan intergluteal jarang terjadi dan harus meningkatkan
kecurigaan dari beberapa faktor penyebab lainnya (Jamal, 2007; Kariosentono, 2007).
Kriteria-kriteria ini berdasarkan pengalaman klinis dan masih disebut sebagai
'gold standard' dalam penelitian dan pengajaran akademis (Harper et al, 2006).
A. Kriteria mayor:
Pruritus, Distribusi dan morfologi khas pada wajah dan ekstensor, Terjadi
selama masa bayi dan awal masa kanak-kanak, kronik dan kekambuhan kronis
dermatitis, Riwayat atopik keluarga (asma, rinokonjungtivitis alergi, dermatitis
atopik)

B. Kriteria minor
Xerosis, Ichthyosis/hiperlinearitas palmar/pilaris keratosis, reaktivitas IgE
(IgE meningkat, hasil skin prick test positif), dermatitis pada tangan dan kaki, keilitis,
dermatitis pada kulit kepala, kerentanan terhadap infeksi kutaneus (khususnya
Staphylococcus aureus dan virus herpes simpleks), aksentuasi perifolikular
(khususnya pada ras yang berpigmen)

14

2.4 PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
a. Memotong kuku kuku jari tangan dan jaga tetap bersih dan pendek serta
tidak menggaruk lesi karena akan menimbulkan infeksi (Morgan, dkk, 2009)
b. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
c. Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
bersentuhan dengan alergen (Sumantri, dkk, 2005)
d. Memberi edukasi kepada pasien untuk tidak mengenakan perhiasan, aksesoris,
pakaian atau sandal yang merupakan penyebab alergi
2. Medikamentosa
Simptomatis

15

Diberi antihistamin yaitu Chlorpheniramine Maleat (CTM) sebanyak 34 mg/dosis, sehari 2-3 kali untuk dewasa dan 0,09 mg/dosis, sehari 3 kali untuk
anak anak untuk menghilangkan rasa gatal
a. Sistemik
1) Kortikosteroid yaitu prednison sebanyak 5 mg, sehari 3 kali
2) Cetirizine tablet 1x10mg/hari
3) Bila terdapat infeksi sekunder diberikan antibiotika (amoksisilin
atau eritromisin) dengan dosis 3x500mg/hari, selama 5 hingga 7
hari
b. Topikal
1) Krim desoksimetason 0,25%, 2 kali sehari
3. Pencegahan
Pencegahan DKA dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut (Sumantri, dkk,
2005). :
a. Memberi edukasi mengenai kegiatan yang berisiko untuk terkena dermatitis
kontak alergi
b. Menghindari substansi allergen
c. Mengganti semua pakaian yang terkena allergen
d. Mencuci bagian yang terpapar secepat mungkin dengan sabun, jika tidak ada
e.
f.
g.
h.

sabun bilas dengan air


Menghindari air bekas cucian/bilasan kulit yang terpapar allergen
Bersihkan pakaian yang terkena alergen secara terpisah dengan pakaian lain
Bersihkan hewan peliharaan yang diketahui terpapar allergen
Gunakan perlengkapan/pakaian pelindung saat melakukan aktivitas yang
berisiko terhadap paparan alergen

16

You might also like