You are on page 1of 11

A.

Dasar patogenesis penyakit malaria


Patologi malaria terkait dengan fase infeksi darah (Gambar 1) (Ocana-Morgner
et.al, 2003). Infeksi plasmodium Falciparum memiliki laju multiplikasi yang lebih tinggi
yang juga secara konal mengekspresikan varian antigen pada permukaan eritrosit yang
terinfeksi (pf-EMP-1). Pf-EMP-1 berikatan dengan ligan pada permukaan sel-sel endotel
dan memediasi keberadaan eritrosit yang terinfeksi dalam vena postcapillary. Kedua
karakteristik ini memungkinkan parasit P. falciparum untuk menghindar dari sistem imun
host, yang menyebabkan terjadinya parasitemia yang tinggi dengan infeksi berulang yang
berkontribusi terhadap keadaaan kronis dari penyakit ini (Hvild, 2005). Pada malaria P.
vivax dan P. ovale, parasitemia yang tinggi jarang terjadi karena invasi terhadap eritrosit
terbatas pada retikulosit. Akan tetapi, P. vivax kadang-kadang dapat menyebabkan
penyakit yang berat termasuk anemia melalui hemolisis berat (Tjitra, 2005; RodriquezMorales, 2006; Nosten, 1999).

Gambar 1. Siklus hidup parasit malaria (Lamikanra, 2007)


Spektrum gejala klinis dan tingkat keparahan P. falciparum cukup luas. Pada
daerah endemic, banyak infeksi pada anak-anak dan orang dewasa yang semi-imun dan
imun muncul karena penyakit febrile yang tidak sempurna. Pada sebagian besar penyakit
berat, individu non-imun dapat memiliki sejumlah sindrom termasuk anemia, koma,
distress pernapasan, dan hipoglikemia, serta memiliki frekuensi bakterimia yang tinggi
(Marah, 1995; Berkley, 2005). Banyak anak yang menderita anemia ringan, sedang, dan
bahkan berat tanpa sindrom penyakit berat yang lain. Akan tetapi, anemia berat dapat
diikuti oleh sindrom penyakit berat yang lain (Marah, 1999). Sebagai contoh, anak yang
menderita anemia dapat juga memunculkan gejala malaise, kelelahan, dyspnoea, atau
distress pernapasan karena metabolic acidosis supervenes (Krishna, 1994; English,1997).
Distribusi umur pada sindrom penyakit berat ini cukup menarik, tapi sangat sedikit
dipahami. Anak yang lahir di daerah endemic malaria cukup besar terlindungi dari malaria
berat pada 6 bulan pertama kehidupan melalui transfer pasif immunoglobulin ibu dan
haemoglobin semasa janin. Penampakan penyakit berubah dari anemia berat pada anak usia
1 sampai 3 tahun di daerah transmisi tinggi menjadi malaria cerebral pada orang yang lebih
tua di daerah transmisi rendah (Snow, 1997). Seiring penurunan intensitas transmisi,
malaria berat lebih sering ditemukan pada kelompok usia yang lebih tua.
Anemia pada malaria P. falciparum memiliki ciri normocytic dan normochromic,
dengan secara khusus tidak adanya retikulosit, walaupun microcytosis dan hypocromia
dapat muncul disebabkan karena sifat talasemia alpha dan beta dengan frekuensi sangat
tinggi dan/atau defisiensi besi pada daerah endemic malaria (Newton, 1997; Yeats, 1999;

Abdalla, 2004; Roberts, 2005) perbedaan yang jelas pada patofisiologi anemia dalam
berbagai kondisi klinis, usia dan area geografis hanya sedikit dipahami dan tentunya
memerlukan lebih banyak penelitian lagi. Bentuk anemia yang kurang umum pada malaria
aalah blackwater fever yang ditandai dengan secara tibab-tiba munculnya kemoglobin
pada urin yang terkait dengan penggunaan kina yang tidak beraturan (Stephens, 1937).
Oleh karena itu, keadaan klinis anemia berat cukup bervariasi dan komplks:
infeksi akut kemungkinan menyebabkan anemia dan/atau malaria cerebral, distress
pernapasan, dan hipoglikemia; dan infeksi kronis, infeksi berulang dapat menyebabkan
anemia berat. Di samping itu, kemungkinan ada pula background Hb normal atau rendah.
Dengan demikian, pemahaman mengenai proses patofisiologi utamanya telah dikaitkan
dengan konteks klinis yang berbeda-beda (Lamikanra, 2007).
A.Patofisiologi Anemia pada Penyakit Malaria
Penyebab yang mendasari anemia malaria berat pada manusia dapat mencakup satu
atau lebih dari beberapa mekanisme berikut: (1) penghilangan dan / atau penghancuran sel
darah merah yang terinfeksi, (2) penghilangan Sel darah merah yang tidak terinfeksi, (3)
penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis. Setiap dari mekanisme ini telah terlibat
dalam anemia malaria pada manusia.
B.1. Hilangnya sel darah merah yang terinfeksi
Selama infeksi terjadi, ada kehilangan yang jelas dari eritrosit yang terinfeksi
untuk pematangan parasit serta pada saat pengenalan makrofag. Jalur fagositik untuk
manusia dan tikus dapat dilihat pada tabel 1 (Casals-Pascual et.al 2006).

Tabel 1. Kenampakan patologis P. Falciparum dan anemia malaria pada manusia dan
tikus (Lamikanra, 2007)
Cukup jelas bahwa mekanisme yang sama juga ada untuk hilangnya eritrosit
yang terinfeksi pada manusia dan tikus. Akan tetapi, hilangnya eritrosit terinfeksi pada
manusia dengan parasitemia kurang dari 1% nampaknya tidak memberikan dampak
yang signifikan pada derajat anemia. Oleh karena itu, penghilangan ini, dapat

membuktikan lebih terkaitnya untuk onset anemia pada individu yang menderita
infeski akut, khususnya anak-anak dimana parasitemia biasanya lebih besar dari 10%
(Lamikanra, 2007).
Penekanan erythropoietic dan dyserythropoiesis
Eritropoiesis normal terganggu selama infeksi malaria. Pengamatan yang
paling awal mengenai eritropoiesis yang berkurang pada manusia yang menderita
malaria akut dibuat lebih dari 60 tahun yang lalu di mana reticulocytopenia diamati
dalam infeksi malaria P vivax dan P falciparum yang diikuti oleh retikulositosis setelah
penghilangan parasit (Vryonis, 1939). Kemudian, ditunjukkan bahwa jumlah
reticulocyte yang rendah pada pasien dengan malaria di Thailand diikuti dengan
penekanan eritropoiesis (Casals-Pascual & Roberts, 2006).
Bagian sumsum tulang yang diambil dari anak-anak Gambia dengan anemia
akut mengungkapkan bahwa meskipun peningkatan cellularity tidak berbeda secara
signifikan untuk jumlah total erythroblasts yang diamati ketika dibandingkan dengan
pasien yang tidak terinfeksi, hal ini memberikan bukti untuk respon erythroid yang
ditekan. Anak-anak yang mengalami anemia kronis (parasitemia < 1%) memiliki kadar
erythroid hyperplasia dan dyserythropoiesis yang lebih tinggi (Abdalla SH, 1990).
Dyserythropoiesis atau secara morfologi dan / atau secara fungsional produksi sel
darah merah abnormal ditunjukkan oleh vacuolasi sitoplasma, stippling, fragmentasi,
jembatan intercytoplasmic, fragmentasi inti, dan multinuclearitas. Hal ini bertepatan
dengan berkurangnya retikulositosis yang mengindikasikan gangguan fungsional
produksi sel darah merah dari sumsum tulang (Abdalla SH, 1990) (Gambar 2). Dalam
penelitian yang lebih kecil dari 6 anak dengan penyakit kronis, sebuah peningkatan
proporsi erythroblasts polikromatik diamati di fase G2 pembelahan (Wickramasinghe,
1982). Pengobatan pasien dengan obat antimalaria meningkatkan jumlah retikulosit,
yang menunjukkan bahwa P. falciparum sebagai penyebab dyserythropoiesis dan
eritropoiesis tidak efektif.

Gambar 2. Pengaruh langsung dan tidak langsung parasit pada perkembangan


anemia malaria
Sebuah produk sampingan parasit dari pencernaan hemoglobin, hemozoin,
mungkin memiliki peran dalam terjadinya gangguan erythroid melalui pengaruh pada
fungsi monosit manusia. Hemozoin mengurangi aktivitas oksidatif yang berlebihan
pada manusia, mencegah up-regulasi penanda aktivasi, (Schwarzer, 1998) dan juga
merangsang sekresi endoperoxides yang aktif secara biologis dari monosit, seperti 15
(S)-hydroxyeicosatetraenoic (HETE) dan 4-hidroksi-nonenal (4-HNE) melalui
oksidasi lipid membran, (Schwarzer, 2003) yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
erythroid. (Giribaldi, 2004) Disfungsi Makrofag juga bisa mengganggu fungsi pulau

erythroblastic dimana makrofag mendukung diferensiasi terminal erythroblasts di


sumsum tulang. Hemozoin dan TNF-juga memiliki efek aditif pada eritropoiesis in
vitro, dan dalam studi klinis makrofag yang mengandung hemozoin dan hemozoin
plasma dikaitkan dengan anemia dan penekanan retikulosit. (Casals-Pascual, 2006)
Selain itu, bagian sumsum tulang dari anak-anak yang meninggal karena malaria berat
menunjukkan hubungan yang signifikan antara jumlah hemozoin (terletak di prekursor
erythroid dan makrofag) dan proporsi sel erythroid yang abnormal. Temuan ini
konsisten dengan efek penghambatan langsung hemozoin pada eritropoiesis dan
karena itu memerlukan penyelidikan lebih lanjut (Lamikanra, 2007)
Penekanan cytokine dalam erythropoiesis
Selama fase akut infeksi ada respon inflamasi yang kuat, yang menghasilkan
peningkatan TNF dan IFN (Yap, 1994). TNF menghambat semua tahapan
eritropoiesis (Dufour, 2003), dan IFN bekerja dengan TNF untuk menghambat
pertumbuhan dan diferensiasi erythroid dengan up-regulasi ekspresi TRAIL, TWEAK,
dan CD95L dalam perkembangan erythroblasts (Felli, 2005). Sedangkan penyakit
berat pada anak dikaitkan dengan peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan antiinflamasi, tingkat keparahan anemia nampaknya tergantung pada tingkat TNF yang
relatif terhadap regulatornya, anti-inflamasi sitokin IL-10 yang potensial. Beberapa
studi klinis telah menunjukkan bahwa rasio yang rendah dari plasma IL-10/ TNF
terkait dengan anemia malaria berat pada anak-anak (Othoro, 1999). Selanjutnya,
sejumlah polimorfisme dalam TNF-promotor manusia menunjukkan hubungan yang
lebih besar dengan anemia dibandingkan dengan malaria serebral (McGuire, 1999).
Oleh karena itu dikemukakan bahwa pada manusia IL-10 dapat melindungi terhadap
penekanan sumsum tulang dan aktivitas erythrophagocytic yang diinduksi oleh TNF
dan/atau mengurangi rangsangan proinflamasi lainnya.
Banyak sitokin pro inflamasi lain seperti, IL-12 IL-18, dan migrasi faktor
penghambat (MIF) juga telah terlibat dalam patogenesis anemia pada malaria. Pada
manusia, sekresi IL-12 dan IL-18 dari makrofag menginduksi produksi IFN dari
pembunuh alami (NK), sel B, dan sel T (Malaguamera, 2002), sementara MIF
diproduksi melalui sel T dan makrofag yang diaktifkan dan menghambat aktivitas antiinflamasi glukokortikoid (Clark & Cowden, 2003).
IL-12 berada dalam tingkat yang lebih tinggi pada keadaan non-lethal,
dibandingkan dengan keadaan lethal, sitokin ini dapat menjadi stimulator eritropoiesis

(Mohan, 1998). Sebaliknya, dengan peningkatan kadar yang ditemukan selama infeksi,
MIF telah terlihat menekan hematopoiesis (Martiney, 2000).
The Hubungan IL-12 dengan malaria falciparum berat masih kurang jelas.
Beberapa studi mengamati kenaikan moderat IL-12 dan IL-18 pada pasien dengan
anemia berat (Awandare, 2006), yang lain melaporkan penurunan IL-12 pada pasien
dengan malaria berat (Hb <75 g / L [7,5 g / dL]) dibandingkan dengan kontrol tidak
sempurna (Hb> 100 g / L [10 g / dL]), atau tidak ada peningkatan yang signifikan
pada pasien dengan penyakit berat dibandingkan dengan malaria tanpa komplikasi
(Lyke, 2004). Dalam 2 contoh terakhir di atas, anti-inflamasi sitokin seperti TGF atau
IL-10 juga berkurang pada pasien dengan penyakit parah. Sebaliknya, pasien dengan
penyakit akut dan peningkatan kadar IL-12 telah menandai peningkatan IL-10
(Malaguamera, 2002). Karena sebagian besar pasien dengan anemia dalam studi
terakhir memiliki rata-rata kadar Hb 90 g / L (9 g / dL) adalah mungkin bahwa,
peningkatan IL-12 berhubungan dengan penurunan tingkat keparahan anemia malaria
berat.
Pengamatan ini menunjukkan kompleksitas respon sitokin, dan juga menyoroti
pentingnya keseimbangan antara sitokin proinflamasi dan antiinflamasi, yang dapat
menjadi pelindung atau merugikan host. Memahami peran sitokin akan membutuhkan
lebih banyak data dari studi yang kuat untuk memungkinkan penggunaan analisis
multivariat yang lebih canggih yang memungkinkan untuk interaksi yang rumit antara
masing-masing faktor.
Sebuah produk parasit yang ditemukan dalam plasma selama terjadi infeksi
yang mungkin terlibat dalam efek sitokin proinflamasi pada anemia malaria berat
adalah jangkar glycophosphatidylinositol (GPI) dari protein merozoit, MSP-1, MSP-2,
dan MSP-4 (Miller, 1993). GPIs cenderung untuk memberikan kontribusi untuk
anemia malaria karena dapat menginduksi pelepasan TNF-dari makrofag manusia
(Schofield, 1993), yang dapat berkontribusi terhadap patologi dari anemia malaria
berat. Lebih khusus, baru-baru ini telah diperlihatkan bahwa respon proinflamasi dari
monosit manusia adalah melalui interaksi dengan GPIs TLR2, dan untuk TLR4 yang
lebih rendah (Krishnegowda, 2005).
Sebuah produk yang telah dibahas sebelumnya, hemozoin, juga dapat lebih
erat terkait dengan respon imun bawaan, dan dengan demikian terkait pula dengan
pelepasan proinflamasi sitokin. Pada manusia, pigmen sintetik menginduksi ekspresi

TNF, yang telah dikaitkan dengan kemampuan hemozoin untuk menginduksi


metaloproteinase MMP-9 (Prato, 2005).
Erythropoietin.
Penurunan Hb dan penurunan berikutnya dalam tekanan oksigen harus
merangsang peningkatan kadar eritropoietin (Epo) pada pasien dengan anemia malaria
yang berat. Bukti klinis untuk peningkatan kadar Epo yang tepat pada malaria agak
kontradiktif. Studi pada orang dewasa dari Thailand dan Sudan telah menunjukkan
bahwa konsentrasi Epo, meskipun dinaikkan, kurang tepat untuk derajat anemia (el
Hassan, 1997). Namun, beberapa penelitian malaria pada anak-anak Afrika yang
menderita anemia malaria telah menunjukkan peningkatan konsentrasi Epo dengan
tepat (Verhoef, 2002). Bahkan, tingkat Epo pada anemia malaria lebih dari 3 kali lipat
lebih tinggi bila dibandingkan dengan anak anemia tanpa malaria. (72) Ada
kemungkinan bahwa sintesis Epo yang tidak efektif atau tidak memadai berkontribusi
terhadap anemia malaria di beberapa tempat, kemungkinan berhubungan dengan usia,
asal etnis, atau presentasi pasien. Akan tetapi, pada anak-anak Afrika dengan malaria,
sintesis Epo memang meningkat lebih dari yang diharapkan dan itu lebih mungkin
bahwa berkurangnya respon terhadap Epo, bukan tingkat Epo rendah yang tidak
tepat, merupakan kontribusi yang lebih signifikan untuk patologi.

Glukosa-6-fosfat dehidrogenase

(G6PD) me- rupakan enzim pengkatalisis reaksi

pertama jalur pentosa fosfat dan memberikan efek reduksi pada semua sel dalam bentuk
NADPH (bentuk

tereduksi

nicotinamide adenine dinucleotide phosphate).

NADPH memungkinkan sel-sel bertahan dari stres oksidatif


oleh beberapa

dapat

bahan oksidan dan menyediakan glutathione dalam bentuk

Eritrosit tidak me-miliki mitokondria sehingga


satu-satunya

yang

sumber NADPH, sehingga

jalur

pentosa

pertahanan

Senyawa
dipicu
tereduksi.

fosfat merupakan

terhadap kerusakan oksidatif

tergantung pada G6PD


Defisiensi

G6PD

kromosom

diturunkan

sehingga

dapat

melalui kromosom X. Laki-laki hanya memiliki satu


memiliki ekspresi gen yang normal maupun defisiensi

G6PD. Perempuan yang memiliki 2 kopi gen G6PD pada setiap kromosom X dapat memiliki
ekspresi gen normal, heterozigot, maupun homozigot. Perempuan

heterozigot

dapat

memiliki mosaic genetik akibat inaktivasi kromosom X, dan dapat menderita defisiensi
G6PD

Sebagian besar penderita defis iensi G 6PD tidak bergejala dan tidak mengetahui
kondisinya. Penyakit ini muncul apabila eritrosit
mengalami
stres
oksidatif
dipicu obat, infeksi, maupun konsumsi kacang fava. Defi siensi G6PD biasanya
bermanifestasi sebagai anemia hemolitik akut yang di-induksi obat maupun
infeksi, favisme, ikterus neonatorum
maupun anemia hemolitik non-sferosis
kronis. Beberapa kondisi seperti diabetes, infark miokard, latihan fi sik berat telah
dilaporkan menginduksi hemolisis pada penderita defi siensi G6PD. Hemolisis
akut pada penderita defi siensi G6PD biasa nya ditandai dengan rasa lemah, nyeri
punggung, anemia
dan
ikterus. Terjadi peningkatan kadar bilirubin tidak
1-3
terkonjugasi, laktat dehidrogenase dan retikulositosis.
Anemia Hemolitik Terinduksi Obat Defisiensi G6PD ditemukan sebagai hasil investigasi
hemolisis

pada

penderita yang

minum

primakuin. Beberapa

obat dihubungkan

dengan hemolisis akut pada penderita defisiensi G6PD ( Tabel 1). Obat- obat
penyebab

langsung

spesifik

krisis hemolisis penderita defisiensi G6PD sulit di- tentukan dengan

tepat. Pertama, suatu obat yang dinyatakan aman untuk satu penderita defisiensi G6PD
belum tentu aman untuk penderita lain, mungkin karena perbedaan farmakokinetik tiap
individu.

Kedua,

obat yang memiliki efek oksidan sering diberikan pada pasien dengan

keadaan klinis (misalnya infeksi) yang dapat menyebabkan


mengkonsumsi
biasanya

lebih

sembuh

hemolisis. Ketiga,

dari satu jenis obat. Keempat, hemolisis pada defisiensi G6PD

sendiri, tidak

menyebabkan

anemia

dan

retikulo- sitosis yang

signifikan
Anemia Hemolitik Terinduksi Infeksi Infeksi
hemolisis tersering pada
dapat

penderita

merupakan

penyebab

defisiensi G6PD. Beberapa infeksi yang

mencetuskan- nya antara lain infeksi virus Hepatitis A

dan B,

Cytomegalovirus, pneumonia dan demam tifoid. Beratnya hemolisis dipengaruhi


oleh beberapa faktor antara lain pemberian obat, fungsi hati dan usia. Pada
hemolisis berat, transfusi darah segera memperbaiki luaran. Komplikasi serius
akibat infeksi virus hepatitis pada penderita defisiensi G6PD adalah gagal ginjal
akut; dapat disebabkan nekrosis tubular akut akibat iskemi ginjal maupun
obstruksi tubular

karena

memerlukan hemodialisis.

Favisme

pasien

1-3

hemoglobin cast.

Beberapa pasien mungkin

Konsumsi fava beans/kacang fava dapat menyebabkan hemolisis dan kondisi ini
disebut

favisme. Favisme ditemukan di negara-negara

Mediterania,

Timur

Tengah dan Afrika Utara, tidak ditemukan di Indonesia. Tidak semua penderita
defisiensi G6PD yang memakan kacang fava menderita favisme,
respons

dapat

terjadi

berbeda- beda dari individu yang sama tergantung kesehatan pasien

dan jumlah kacang fava yang

dikonsumsi. Divicine,

isouramil dan convicine

diperkirakan sebagai bahan toksik dari kacang fava yang meningkatkan aktivitas
hexose monophosphate shunt, sehingga menyebabkan hemolisis pada penderita
defisiensi G6PD.

Favisme

1-3

menyebabkan

anemia

hemolitik akut, biasanya 24 jam setelah kacang fava

dikonsumsi. Hemoglobinuria yang muncul lebih berat dibanding yang disebabkan oleh
induksi obat maupun infeksi meskipun kadar bilirubinnya lebih rendah. Hemolitik akibat
favisme dapat terjadi intravaskular maupun ekstravaskular dan dapat menyebabkan gagal
ginjal akut.

You might also like