You are on page 1of 14

BAB I

PENDAHULUAN
Di seluruh dunia, jumlah penderita Chronic Kidney Disease (CKD) terus
meningkat dan dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan yang dapat
berkembang menjadi epidemi pada dekade yang akan datang. Konsekuensi
kesehatan utama dari CKD bukan saja perjalanan penyakit menjadi gagal ginjal,
tapi juga peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler. Bukti-bukti yang ditemukan
menunjukkan bahwa konsekuensi ini dapat diperbaiki dengan terapi yang
dilakukan lebih awal.
Saat ini jumlah CKD sudah bertambah banyak dari tahun ke tahun.Jumlah
kejadian CKD didunia tahun 2009 menurut USRDS terutama diAmerika rata-rata
prevalensinya 10-13% atau sekitar 25 juta orang yangterkena PGK. Sedangkan di
Indonesia tahun 2009 prevalensinya 12,5%atau 18 juta orang dewasa yang terkena
PGK.
Penyakit ginjal kronis dapat menyebabkan timbulnya berbagaimanifestasi
yang komplek, diantaranya, penumpukan cairan, edema paru,edema perifer,
kelebihan toksik uremik bertanggung jawab terhadapperikarditis dan iritasi,
sepanjang

saluran

gastrointestinal

dari

mulutsampai

anus.

gangguan

keseimbangan biokimia (hiperkalemia,hiponatremi, asidosis metabolik), gangguan


keseimbangan kalsium danfosfat lama kelamaan mengakibatkan demineralisasi
tulang neuropatiperifer, pruritus, pernafasan dangkal, anoreksia, mual dan muntah,
kelemahan dan keletihan,

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI GINJAL
Ginjal merupakan sepasang organ urogenital yang terletak retroperitoneal dan
terlindung oleh otot-otot punggung disebelah posterior dan organ intraperitoneal
disebelah anterior. Ginjal berbentuk seperti kacang dengan sisi cekung menghadap
kemedial. Sisi ini terdapat suatu hilus tempat struktur pembuluh darah, sistem
limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan ginjal. Ginjal terbagi
dua bagian yaitu korteks dan medula. Didalam korteks terdapat berjuta-juta nefron
yang merupakan unit fungsional terkecil ginjal. Nefron merupakan unit fungsional
ginjal dan setiap ginjal mengandung sekitar 400.000 sampai 800.000 nefron.

Gambar 2.1. Anatomi Ginjal


Sebuah nefron terdiri dari glomerulus, tubulus kontertus proksimal, ansa
henle, tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus. Glomerulus merupakan
rangkaian kapiler yang dibentuk diantara struktur yang disebut kapsula bowman.
Arteriol afferent memasuki setiap glomerulus dan arteriol efferent meninggalkan
glomerulus. Kapsula bowman ini berhubungan dengan tubulus kontortus
proksimal, ansa henle, tubulus kontortus distal dan duktus kolektivus. Korteks
ginjal terginjal terutama terdiri dari glomerulus, tubulus kontortus proksimal dan
distal, sedangkan medulla ginjal berisi ansa henle dan duktus kolektivus.
Apparatus juxtaglomerular terdiri dari sel khusus dalam ansa henle ascending

yang bertanggung jawab dalam kadar natrium plasma dan aliran darah ginjal serta
sekresi renin.

Gambar 2.2. Struktur fungsional ginjal


Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang
langsung aorta abdominalis dan mengalirkan darah vena dari vena renalis menuju
vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah end arteries yang tidak memiliki
anastomosis dengan cabang-cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat
kerusakan pada salah satu arteri ini, berakibat timbulnya iskemi/nekrosis.
2.2 DEFINISI CKD
Sebelum tahun 2002, istilah insufisiensi renal kronis (chronic renal
insufficiency/CRI) dipakai untuk pasien dengan penurunan fungsi ginjal progresif,
yang didefinisikan sebagai laju filtrasi glomerular (glomerular filtration
rate/GFR) kurang dari 75 ml/mnt/1,73 m2 luas permukaan tubuh. Istilah baru,
yaitu CKD, diperkenalkan oleh NKF-K/DOQI, untuk pasien yang memiliki salah
satu kriteria sebagai berikut:
1. Kerusakan ginjal 3 bulan, dimana terdapat abnormalitas struktur atau fungsi
ginjal dengan atau tanpa penurunan GFR, yang dimanifestasikan oleh satu
atau beberapa gejala berikut: Abnormalitas komposisi darah atau urin,
Abnormalitas pemeriksaan pencitraan, Abnormalitas biopsi ginjal.

2. GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama 3 bulan dengan atau tanpa tanda


kerusakan ginjal lainnya yang telah disebutkan sebelumnya di atas.
2.3 ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Berbagai kelainan permanent dapat mengakibatkan kerusakan nefron yang
nantinya akan menyebabkan CKD. Penyebab tersering yang mengakibatkan gagal
ginjal kronis yaitu :
1.

Nefropati diabetikum

2.

Hipertensi nefrosklerosis

3.

Glomerulonefritis

4.

Nefritis intersisial

5.

Penyakit ginjal polikistik


Selain penyebab diatas, gagal ginjal kronik dapat pula diakibatkan
berdasarkan kelainan anatomi ginjal, yaitu berupa kelainan vaskularisasi,
glomerulus, atau akibat adanya batu saluran kemih dan pembesaran prostate yang
dapat mengakibatkan obstruksi saluran kemih.
2.3.3 Patofiologi CKD karena Diabetes Melitus
Apabila tubuh manusia mengalami defiensi insulin, maka kadar gula darah
menjadi sangat tinggi melebihi angka normal. Karena glukosa memiliki sifat
menarik cairan, maka penderita DM memiliki kecenderungan untuk banyak
kencing (poliuria). Tubuh kehilangan banyak cairan memlaui urin akan
mengalami dehidrasi. Kondisi ini menyebabkan rasa haus yang terus menerus
sehingga selalu ingin minum (polidipsi). Defisiensi insulin dapat terjadi melalui 3
jalan, yaitu: 1) rusalnya sel Beta-pankreas karena pengaruh luar (virus, zat kimia
tertentu,dll) atau dari dalam (penyakit autoimun); 2) Desensitasi (penurunan

sensitivitas) reseptor glukosa pada kelenjar pankreas; 3) Kerusakan reseptor


insulin (down regulation) di perifer.

Gambar 2.3 Patofisiologi CKD

2.4 GEJALA CKD


Pada tahap awal gagal ginjal kronik, tidak ditemukan gejala klinis karena
ginjal masih bisa beradaptasi dalam menjalankan fungsinya. Pada tahap lanjut, gagal
ginjal kronik dapat menyebabkan anemia dengan gejala lemas, letih, lesu dan sesak
napas. Terjadi penumpukan cairan tubuh yang lebih banyak lagi sehingga
menyebabkan pembengkakan seluruh bagian tubuh. Beberapa pasien memberikan
gajala yang disebabkan keadaan uremik (kadar urea dalam darah yang meningkat)
yakni mual, muntah dan perubahan status mental (ensefalopati), disertai
ketidakseimbangan elektrolit

2.5 DERAJAT CKD


Semua penderita dengan laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 ml/ menit/
1,73m2 selama 3 bulan, dicurigai memiliki kelainan dalam fungsi ginjalnya.
Derajat pada CKD yaitu :
1. Fungsi ginjal berkurang, ditandai dengan LFG lebih dari 90 ml/ menit
2. Gagal ginjal ringan, ditandai dengan LFG 60-89 ml / menit dan
manifestasi klinis berupa hipertensi dan hiperparatiroid sekunder

3. Gagal ginjal sedang, ditandai dengan LFG 30-59 ml/ menit dan
manifestasi seperti gagal ginjal ringan disertai anemia
4. Gagal ginjal berat, ditandai dengan LFG 15-29 ml/ menit dan manifestasi
klinis seperti gagal ginjal sedang disertai retensi air dan garam, mual,
muntah, nafsu makan menurun serta penurunan fungsi mental
5. Gagal ginjal terminal, ditandai dengan LFG kurang dari 15 ml/ menit dan
manifestasi gagal ginjal berat disertai oedem paru, asidosis metabolic,
hiperkalemia, koma, kejang dan dapat mengakibatkan kematian.

Perhitungan derajat LFG bisa menggunakan metode Cockcroft-Gault


Formula:
Pria : CrCl (ml/mnt) = ( 140 usia) X Berat badan (kg)
Kreatinin serum (mol / L) X 72
Wanita : sama dengan pria namun hasilnya di kali 0, 85

2.6 PENATALAKSANAAN
Berdasarkan patofisiologi yang berlangsung, maka pendekatan rasional dalam
penatalaksanaan penyakit harus difokuskan terutama terhadap:
1. Penyakit dasar
2. Hipertensi: terapi farmakologis yang dipakai untuk mengurangi hipertensi
glomerulus adalah dengan penggunaan antihipertensi yang bertujuan untuk
memperlambat

progesivitas

dari

kerusakan

ginjal

yaitu

dengan

memperbaiki hipertensi dan intraglomerular. Selain itu terapi ini juga

berfungsi untuk mengontrol proteinuria. Tekanan darah yang meningkat


akan meningkatkan proteinuria yang disebabkan transmisi ke glomerulus
pada tekanan asistemik yang meningkat. Saat ini diketahui luas, bahwa
proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal. Dengan kata
lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal
pada CKD. Beberapa obat antihipertensi, teruama penghambat enzim
konverting angiotensin (ACE inhibitor) dan angiotensin reseptor bloker
melalui berbagai studi terbukti dapat memperlambat proses perburukan
fungsi ginjal, hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya sebagai
antihipertensi dan antiproteinuria. Jika terjadi kontraindikasi atau terjadi
efek samping terhadap obat-obatan tersebut dapat diberikan calcium
chanel bloker, seperti verapamil dan diltiazem.
3.

Asidosis metabolic : manifestasi umumnya timbul bila LFG < 25 ml/


menit. Diet rendah protein 0,6 gr/kgBB/hari membantu mengurangi
asidosis. Bila bikarbonat serum menurun sampai < 15-17 mEq /L harus
diberikan substitusi alkali (tablet natrium bikarbonat)

4. Anemia : apabila Hb < 8 gr% terapi terbaik adalah dengan pemberian


eritropoetin, namun pemakaian obat ini terbatas karena harganya yang
mahal. Pemberian transfusi juga dapat memperbaiki keadaaan klinis secara
nyata.
5. Hiperkalemia : dapat menyebabkan kegawatan jantung dan kematian
mendadak akibat aritmia kordis yang fatal. Penatalaksanaannya meliputi
pembatasan asupan kalium dari makanan dan diberikan obat-obatan :
Kalium glukonas 10% 10 ml dalam waktu 10 menit, Na-bikarbonat 50-150
mEq intravena dalam waktu 15-30 menit, 6 unit insulin dan 50gr glukosa
dalam waktu 1 jam atau pemberian kayexalate 25-50 gr oral/ rectal
6. Hiperparatiroidisme sekunder : diet rendah fosfor, bila LFG < 30
ml/menit, diperlukan pemberian pengikat fosfor seperti CaCO3 atau

kalsium asetat yang diberikan saat makan. Pemberian vitamin D3


diperlukan untuk mengatasi penurunan produksi 1,25 (OH)2 vitamin D3 di
ginjal dengan mekanisme kerja meningkatkan absorbsi kalsium diusus.
Vitamin D3 juga menekan sekresi hormone paratiroid.
Apabila penatalaksanaan konservatif diatas tidak menunjukkan perbaikan,
maka terapi lanjut yang dapat dilakukan adalah :
1. Hemodialisis :
Berguna untuk membersihkan dan menyaring darah dari zat berbahaya dengan
mesin yang bersifat sementara. Hemodialisis dapat mengendalikan tekanan darah
dan menjaga keseimbangan zat kimia tubuh seperti kalium, natrium, kalsium dan
bikarbona. Hemodialisis biasanya dilakukan 3 kali seminggu selama 3-5 jam
setiap kalinya. Indikasi dilakukannya dialisis pada gagal ginjal kronis adalah bila
LFG sudah kurang dari 5 ml/ menit. Selain menilai dari LFG, dialisis juga
dilakukan bila terjadi hal berikut :
a. Keadaan umum buruk dan gejala klinis nyata
b. K serum > 6 mEq/ L dan Ureum darah >200 mg/dL
c. pH darah < 7,1
d. Anuria berkepanjangan
e. Fluid overload
Komplikasi

utama

pasien

dengan

hemodialisis

adalah

gangguan

kardiovaskular dan malnutrisi yang berpengaruh terhadap tingkat mortilitas.


2. Dialisis peritoneal :

Merupakan prosedur lain untuk membuang kelebihan air dan zat kimia dari
tubuh. Jenis dialysis ini menggunakan lapisan abdomen membrane peritoneal
untuk menyaring darah.
Dialisis peritoneal merupakan dialysis pilihan pada keadaan-keadaan sebagai
berikut :

Bila penggunaan antikolagulan merupakan kontraindikasi

Pasien dengan perubahan volume darah tiba-tiba yang tidak diinginkan


(hemodinamik tidak stabil)

Pasien dengan tekanan darah tidak stabil atau dalam keadaan pre-shock

Bayi, anak kecil, dan pada usia lanjut yang secara teknis sukar dilakukan
HD

Pasien yang memerlukan pengeluaran cairan tubuh yang sangat besar


karena overhidrasi berat

Bila kanulasi pembuluh darah tidak memungkinkan

3. Transplantasi Ginjal :
Pada penderita CKD terminal, terapi yang paling efektif adalah dengan
dilakukan transplantasi ginjal. Transplantasi dapat meningkatkan survival rate dan
quality of life lebih besar dibandingkan dengan terapi dialysis.
Resipien yang akan menjalani transplantasi, sebelumnya tetap menjalani
hemodialisis secara teratur. Resipien yang potensial untuk transplantasi ginjal,
yaitu :

Dewasa

Pasien yang kesulitan menjalani hemodialisis dan CAPD

Saluran kemih bawah harus normal, bila ada kelainan dikoreksi terlebih
dahulu

Dapat menjalani terapi immunosupresif dalam jangka waktu lama dan


kepatuhan berobat tinggi

2.6.1 Diit Nutrisi CKD


1. Karbohidrat
Asupan karbohidrat untuk pasien penyakit ginjal kronis harus cukup untuk
menghindari kejadian malnutrisi. Malnutrisi sendiri adalah salah satu komplikasi
potensial pada kasus penyakit ginjal kronis mengingat pembatasan protein dan
gangguan nafsu makan pada pasien. Menurut panduan National Kidney
Foundation/Kidney Dialysis Outcomes Quality Initiative (NKF K/DOQI, 2000),
anjuran asupan karbohidrat untuk pasien penyakit ginjal kronis adalah 35
kkal/kgBB/hari untuk pasien dewasa dan 30-35 kkal/kgBB/hari untuk pasien
kelompok usia lanjut. Sedangkan menurut panduan European Best Practice
Guidelines anjuran asupan karbohidrat untuk pasien seperti ini adalah 30-40 kkal/
kgBB/hari.
2. Protein
Protein 1,1 - 1,2 gr/kg BBI/hari, 50 % protein hewani dan 50 % protein
nabati. Protein merupakan salah satu komponen nutrisi yang menjadi fokus utama
dalam manajemen nutrisi pasien penyakit ginjal kronis. Pemberian protein kepada
pasien penyakit ginjal kronis memerlukan ketepatan; jika terlalu banyak melebihi
kebutuhan hariannya, dapat timbul antara lain komplikasi uremia, gejala-gejala
bendungan cairan (edema), dan perburukan penyakit ginjal pasien. Sebaliknya
jika diberikan terlalu sedikit, pasien cenderung akan mengalami malnutrisi energi
protein dan dehidrasi; yang juga dapat memperburuk perjalanan penyakit
ginjalnya.

Prinsip utamanya adalah bahwa pada pasien penyakit ginjal kronis tahap
predialisis, pembatasan asupan protein sangat penting untuk memperlambat
progresivitas penyakit ginjal. Sedangkan pada pasien yang sudah menjalani
dialisis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal, asupan protein justru harus
ditambah untuk mengimbangi jumlah protein yang hilang pada saat proses dialisis
dilakukan.
Memilih jenis protein yang boleh diberikan kepada pasien juga harus
mendapat perhatian khusus, karena pasien penyakit ginjal kronis perlu
mendapatkan asupan protein bernilai biologis tinggi, yang memiliki kandungan
asam amino esensial dan nonesensial lengkap.
3. Lemak
Anjuran asupan lemak pada pasien penyakit ginjal kronis disamakan dengan
orang sehat, yaitu meliputi 30% total asupan kalori harian, dengan rasio asam
lemak tak jenuh terhadap asam lemak jenuh tidak kurang dari 1:13. EBPG (2007)
menganjurkan agar asupan lemak diatur sedemikian sehingga kadar kolesterol
total pasien tidak kurang dari 150 mg/dL; karena kadar kolesterol yang terlalu
rendah berkaitan dengan prognosis penyakit ginjal kronis yang kurang baik.
4. Vitamin dan mineral
Pada penyakit ginjal kronis, beberapa vitamin mengalami perubahan
metabolisme sehubungan dengan perjalanan penyakit itu sendiri, dengan
berkurangnya asupan makanan, ataupun dengan dialisis yang dilakukan. Misalnya
kebutuhan vitamin B6 meningkat pada pasien ginjal dengan anemia yang
mendapat terapi erythropoietin, dan kebutuhan asam folat meningkat karena
kecenderungan pasien ginjal mengalami hiperhomosisteinemia. Sedangkan untuk
mineral perlu diperhatikan asupannya pada pasien penyakit ginjal kronis.
Kebutuhan kalsium 1000 mg/hari. Natrium, kalium, dan fosfor merupakan contoh
mineral yang perlu dibatasi. Kalium dibatasi terutama bila urin kurang dari 400 ml
atau kadar kalium darah lebih dari 5,5 mEq/L
Sedangkan zat besi, zinc, dan selenium merupakan contoh mineral yang
sering turun kadarnya pada pasien ginjal; sehingga perlu mendapat suplementasi
khusus.

5. Air
Asupan air untuk penderita penyakit ginjal kronis harus diperhatikan agar
tidak memberatkan kerja jantung maupun ginjal. Pada pasien dialisis, yang
umumnya sudah berada dalam stadium penyakit ginjal kronis sangat lanjut,
anjuran asupan air adalah tidak lebih dari 1500 mL per hari. Biasanya, asupan air
untuk pasien penyakit ginjal kronis tahap dialisis dihitung berdasarkan keluaran
urine per 24 jam terakhir, ditambah dengan 500 mL 750 ml. Cairan tidak hanya
diperhitungkan dari air yang diminum, tetapi juga dari makanan yang kandungan
airnya tinggi

DAFTAR PUSTAKA

1. Suyono, Slamet, Sarwono Waspadji, Laurentius Lesmana, Idrus Alwi.


Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi ketiga. Jakarta : Balai
Penerbit FKUI, 2003
2. Askandar T, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Airlangga
University Press:Surabaya
3. Purnomo, Basuki B. Dasar-dasar Urologi. Edisi kedua. Jakarta :
CV.Sagung Seto, 2007
4. Parmar MS. Chronic Renal Disease. BMJ 2002: 325:85-90
5. Skorecki K, Green J, Brenner BM, Chronic Renal Failure. Dalam :
Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL,
penyunting. Harrisons Principles of Internal Medicine. Edisi ke-15. New
York : McGraw Hill.2001.h.1551-1611
6. Sibernagl, Stefan, Lang Florian. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC,2007.h.30-33
7. National Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative
(K/DOQI). Clinical practice guidelines for chronic kidney disease:
evaluation, classifi cation, and stratification. Am J Kidney Dis 2002; 39 (2
suppl 1): S18-S266.
8. Fouque D, Vennegoor M, Wee PT, Wanner C, Basci A, Canaud B et al.
EBPG Guideline on Nutrition. Nephrol Dial Transplant 2007

You might also like