Professional Documents
Culture Documents
ULKUS DIABETES
Oleh :
RANGGA DUO RAMADAN
G 501 09 008
Pembimbing:
dr. RUSTAM AMIRUDDIN, Sp. PD
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD UNDATA - FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
1
protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut.
Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati
(PERKENI, 2011; Hadisaputro et al, 2007).
Jumlah penderita Diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy
bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern,
prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati
karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan
banyak dampak negatif yang ditimbulkan (Darmono, 2007).
Menurut survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah
penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah
tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di atasnya adalah
India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan jumlah
penderita Diabetes mellitus akan meningkat pada tahun 2030 yaitu India (79,4 juta), Cina
(42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3 juta). Jumlah penderita
Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia termasuk Indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan
diperkirakan tahun 2010 menjadi 279,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 300 juta orang
dan tahun 2030 menjadi 366 juta orang (Peter, 2014).
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi Diabetes
mellitus sebesar 1,5 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah
urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut
meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga Diabetes mellitus
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar
133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban
sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk
yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita sejumlah 12 juta di
daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (Perkeni, 2011).
Diabetes mellitus dibandingkan dengan penderita non Diabetes mellitus mempunyai
kecenderungan 2 X lebih mudah mengalami trombosis serebral, 25 X terjadi buta, 2 X
terjadi penyakit jantung koroner, 17 X terjadi gagal ginjal kronik, dan 50 X menderita
ulkus diabetika. Komplikasi menahun Diabetes mellitus di Indonesia terdiri atas
neuropati 60%, penyakit jantung koroner 20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati 10%,
dan nefropati 7,1% (Waspadji, 2009).
Penderita diabetes mellitus berisiko 29 X terjadi komplikasi ulkus diabetika. Ulkus
diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati. Ulkus diabetika
mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya
gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman
(Waspadji, 2009).
Ulkus diabetika kalau tidak segera mendapatkan pengobatan dan perawatan, maka
akan mudah terjadi infeksi yang segera meluas dan dalam keadaan lebih lanjut
memerlukan tindakan amputasi. Ulkus diabetika merupakan komplikasi menahun yang
paling ditakuti dan mengesalkan bagi penderita DM, baik ditinjau dari lamanya
perawatan, biaya tinggi yang diperlukan untuk pengobatan yang menghabiskan dana 3
kali lebih banyak dibandingkan tanpa ulkus (Frykberb, 2002).
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Amerika Serikat sebesar 15- 20%, risiko
amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non DM. Penderita
ulkus diabetika di Amerika Serikat memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan yang
diperkirakan antara Rp $10.000 - $12.000 per tahun untuk seorang penderita (Waspadji,
2009; Frykberb, 2002).
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%,
angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang
terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus. Penderita ulkus diabetika di Indonesia
memerlukan biaya yang tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5
juta per tahun untuk seorang penderita (Suyono, 2009).
Di RSCM data pada tahun 2003, masalah ulkus diabetika merupakan masalah serius,
sebagian besar penderia Diabetes mellitus dirawat karena mengalami ulkus diabetika.
Angka kematian dan angka amputasi masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 32,5%
dan 23,5%. Penderita DM paska amputasi sebanyak 14,3% akan meninggal dalam
setahun dan 37% akan meninggal dalam 3 tahun (Waspadji, 2009).
Sampai saat ini di Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan
tidak terkelola dengan maksimal karena sedikit sekali orang yang berminat menggeluti
kaki diabetik dan ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik masih sangat
mencolok. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan karena ada
beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki
fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama
perawatan ulkus diabetes sesegera mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan
3
tentang
penyakit
kaki
diabetik
serta
langkah
penanganannya.
b. Menambah pengalaman dalam membuat karya tulis yang baik dan benar.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Diabetes Mellitus
a. Defenisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Perkeni, 2011).
b. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi DM
Tipe 1
Tipe 2
insulin absolut
- Melalui proses imunologik
- Idiopatik
Bervariasi mulai dari dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek
Tipe lain
20,13, 17 dan 2.
Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A,
eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes
lipoatrofik.
Penyakit
eksokrin
pankreas:pankreatitis,
trauma/pankreatektomi,neoplasma,
fibrosis
kistik
feokromositoma, hipertiroidisme,aldosteronoma
Karena obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid,
aldosteronoma
Infeksi: rubella congenital, CMV,
Sebab imunologi yang jarang: sindrom Stiffman,
5
Down,
sindrom
klinefelter,
sindrom
Mellitus
Gestational
c. Diagnosis Diabetes mellitus
Menurut Perkeni (2011), diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1) Jika gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan) dan keluhan lain (lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita) ditemukan serta
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl.
2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan keluhan klasik DM
ditemukan.
3) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl
penyulit
teratur.
Melakukan pemantauan glukosa secara mandiri dan memanfaatkan data yang
ada.
Melakukan perawatan kaki secara berkala.
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan
tepat.
Mempunyai keterampilan dalam mengatasi masalah yang dihadapi dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga
milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
-
diabetes
dianjurkan
xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.
istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
-
ditambah 10-30%.
Kehamilan
Kehamilan trimester I dan II kebutuhan kalori ditambah 300 kalori, bila
2009).
Untuk menentukan intensitas latihan dapat digunakan Maximum Heart Rate
(MHR) yaitu 220 umur. Untuk melakukan latihan jasmani perlu diperhatikan
hal berikut:
- Pemanasan
Dilakukan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh untuk menghindari
-
10
Tahap ini dilakukan untuk mnecegah penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan jasmani atau
pusing akibat terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Pendinginan
dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit hingga denyut jantung mendekati
-
Gambar 2.2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar
glukosa darah (Green, 1997).
a) Obat hipoglikemik oral
Menurut Perkeni (2011), berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 5
golongan yaitu:
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
11
menurunkan HbA1c.
Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion: Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di
sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa,
sehingga
meningkatkan
ambilan
glukosa
di
perifer.
dosis optimal.
Harus diketahui bagaimana cara kerjanya, lama kerja dan efek samping
obat-obatan tersebut.
Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya
interaksi obat.
Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakan
menggunakan obat oral golongan lain. Bila gagal baru beralih pada
insulin.
- Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien (Waspadji, 2009).
Cara pemberian obat hipoglikemik oral antara lain:
- Sulfonilurea: 15-30 menit sebelum makan
- Repaglinid dan nateglinid sesaat sebelum makan
- Metformin: sebelum/pada saat/sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.
- Tiazolidindion: tidak begantung pada jadwal makan
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan sebelum makan
(Perkeni, 2011).
b) Suntikan
- Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
i. Penurunan berat badan yang cepat
14
ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.
Tabel 2.3 Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja (Perkeni, 2011)
15
16
berbagai sebab, dalam pemberian terapi insulin bagi pasien yang dirawat di
rumah sakit dikenal istilah insulin koreksi atau insulin suplemen. Insulin
koreksi adalah jumlah insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit akibat
kenaikan kebutuhan insulin yang disebabkan adanya suatu penyakit atau
stres. Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut:
insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;
insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan
insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari (Ketut
et al, 2007).
Insulin infus intravena
Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah
sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka
membutuhkan terapi insulin yang diberikan secara infus intravena,
misalnya pada pasien kritis/akut seperti hiperglikemia gawat darurat,
infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik, syok kardiogenik,
pasien transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas,
persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi,
dan pasien pada periode perioperatif. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah adanya strategi untuk mencapai dosis yang tepat sebelum
konversi dari terapi insulin infus intravena ke terapi insulin subkutan
(Ketut et al, 2007).
Tabel Protokol terapi Insulin Infus Intravena
17
Gambar Memulai terapi insulin injeksi harian multipel pada pasien diabetes mellitus
tipe I (Cheng et al, 2005).
Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, antara lain insulin terjadwal (scheduled atau
programmed insulin) dan insulin koreksi. Program pemberian insulin
terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin prandial.
Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin
(CSII), insulin kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari,
18
Pada
percobaan
binatang,
obat
ini
terbukti
20
c) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixedcombination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak
21
selalu
dipikirkan
kemungkinan
terjadinya
hipoglikemia.
23
bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis
DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun
(Waspadji, 2009).
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit
dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Semua
penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk
penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan
bidang/disiplin ilmu lain (Waspadji, 2009).
B. Ulkus Diabetik
a. Defenisi
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus berupa
luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan
setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena
adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan,
dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob (Frykberb, 2002).
b. Klasifikasi
Ada beberapa macam klasifikasi ulkus diabetik yaitu:
- Klasifikasi Wagner
25
26
secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,
dan hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki
27
lain)
- Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
- Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
- Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
2) Pemeriksaan fisik
- Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
- Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah
-
arteri tepi
Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti
warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi;
ada kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada
otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki
membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon;
arteri kaki, capillary refilingl time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
Pengukuran ankle-brankhial index: tekanan diukur di beberapa tempat di
ekstremitas menggunakan manset pneumatik dan flow sensor, biasanya
Doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan meningkat dari sentral ke
perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun. Karena itu, tekanan
sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding Brachium. Jika terjadi
penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih
minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan
sistolik di arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan indikator
sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak. Berikut adalah
interpretasi ABI:
28
Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)
menjadi monofasik.
Transcutaneous Oxymetri (tCPO2) : berhubungan dengan saturasi O2 kapiler
dan aliran darah ke jaringan. TcPO2 pada arteri yang mengalami oklusi
sangat rendah. Pengukuran ini sering digunakan untuk mengukur
29
31
iskemi pada kaki. Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi venavena pada kaki (Waspadji, 2009).
2) Kelainan vaskuler
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan
darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan
adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan
menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (Waspadji, 2009; William, 2003).
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit
karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya
arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai
darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka
waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang
menjadi ulkus diabetika (Waspadji, 2009)
Proses angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama
kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang
kemudian timbul ulkus diabetika (Waspadji, 2009).
Pada penderita DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika
intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan
yang mengakibatkan ulkus diabetika (William, 2003).
Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C
yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan
oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi
jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus diabetika (Waspadji, 2009).
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya
reaktivitas
trombosit
kronis,
biasanya
dijumpai
juga
bakteri
batang
gram
negatif
33
11) Perawatan kaki tidak teratur penggunaan alas kaki tidak tepat
Faktor-faktor resiko terjadninya ulkus diabetik lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut:
a) Umur 60 tahun
Umur 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetika karena pada usia
tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi penurunan
sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal. Penelitian di Amerika
Serikat dikutip oleh Rochmah W menunjukkan bahwa dari tahun 1996-1997 pada
lansia umur > 60 tahun, didapatkan hanya 12% saja pada usia tua dengan DM
yang kadar glukosa darah terkendali, 8% kadar kolesterol normal, hipertensi 40%,
dan 50% mengalami gangguan pada aterosklerosis, makroangiopati, yang
faktorfaktor tersebut akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah satunya
pembuluh darah besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus
diabetika (Waspadji, 2009).
b) Lama DM 10 tahun
Ulkus diabetika terutama terjadi pada penderita Diabetes mellitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali,
karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga
mengalami makroangiopati-mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan
neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya
robekan/luka pada kaki Penderita diabetik yang sering tidak dirasakan (Boulton,
2002).
Perjalanan Ulkus diabetika pada penderita DM dapat dilihat pada bagan dibawah
ini:
pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan
yang selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos subendotel
(Waspadji, 2009).
g) Kadar gula darah tidak terkontrol
Kadar glukosa darah tidak terkontrol ( GDP > 100 mg/dl dan GD2JPP > 144
mg/dl)
akan
mengakibatkan
komplikasi
kronik
jangka
panjang,
baik
fungsi
yang
sangat
penting
yaitu
darah. Penelitian kasus kontrol di Texas oleh David dihasilkan ada hubungan
antara ketidakpatuhan diet dengan ulkus diabetika dengan odds ratio sebesar 16
(95 % CI : 8,3 21,6) (David, 1998).
k) Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga
akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali
maka akan mencegah komplikasi kronik Diabetes mellitus (Waspadji, 2009).
l) Pengobatan tidak teratur
Pengobatan rutin pada penderita Diabetes mellitus tipe I, menurut hasil penelitian
di Amerika Serikat dikutip oleh Minadiarly didapatkan bahwa pengobatan
intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya komplikasi khronik,
seperti ulkus diabetika (Misnadiarly, 2006).
m) Perawatan kaki tidak teratur
Perawatan kaki diabetisi yang teratur akan mencegah atau mengurangi terjadinya
komplikasi kronik pada kaki (Perkeni, 2011).
n) Penggunaan alas kaki tidak tepat
Diabetisi tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa menggunakan alas
kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang mengakibatkan ulkus diabetika,
terutama apabila terjadi neuropati yang mengakibatkan sensasi rasa berkurang
atau hilang (William, 2003).
g. Penatalaksanaan ulkus diabetik
Manajemen ulkus diabetik dilakukan secara komprehensif melalui upaya; mengatasi
penyakit komorbid, menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading),
menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen,
revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi.
Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi
penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, gangguan
kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan
sebagainya harus dikendalikan.
Prinsip-prinsip perawatan ulkus kaki diabetes menurut Perkeni (2011) adalah
sebagai berikut;
38
39
diganti
Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga luka
dapat
diberikan
ampicillin/sulbactam,
beberapa
alternatif
ticarcillin/clavulanate,
antibiotika
piperacillin/
seperti:
tazobactam,
piperacillin/tazobactam
metronbidazole+ceftazidime,
vancomycin,
imipenem/cilastatin
atau
vancomycin
fluoroquinolone
+
+
43
yang tidak mengancam tungkai (grade 1 dan 2) dan infeksi yang mengancam
tungkai (grade 3 dan 4) (Frykberg et al, 2006).
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridemen dilakukan dengan tujuan
untuk: drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik, membersihkan jaringan yang
menghambat pertumbuhan jaringan, menilai luasnya lesi dan untuk mengambil
sampel kultur kuman. Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas
gangren, jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat
bagian kaki yang mengalami ulkus berulang (Baal, 2004).
Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien DM adalah fasciitis nekrotika dan
gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan tindakan bedah emergensi
berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan kondisi patologis
yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau menghilangkan penyebab
yang dapat mengancam jiwa sehingga rehabilitasi kemudian dapat dilakukan.
Indikasi amputasi pada kaki diabetika: (1) gangren terjadi akibat iskemia atau
nekrosis yang meluas, (2) infeksi yang tidak bisa dikendalikan, (3) ulkus resisten,
(4) osteomielitis, (5) amputasi jari kaki yang tidak berhasil, (6) bedah
revaskularisasi yang tidak berhasil, (7) trauma pada kaki, (8) Luka terbuka yang
terinfeksi pada ulkus diabetika akibat neuropati (ADA, 2003)..
h. Pencegahan ulkus diabetik
Menurut Waspadji (2009), pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut adalah:
1. Memperbaiki kelainan vaskuler.
2. Memperbaiki sirkulasi.
3. Pengelolaan pada masalah yang timbul ( infeksi, dll).
4. Edukasi perawatan kaki.
5. Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium
lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah maupun
menghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.
6. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
7. Menghentikan kebiasaan merokok.
8. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :
- Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.
- Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku
dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-
Tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan
retak-retak.
Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah
dan lecet.
- Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
9. Penggunaan alas kaki tepat, dengan cara:
- Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.
- Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk kaki dan nyaman
-
dipakai.
Sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu, kalau ada batu
dan lain-lain, karena dapat menyebabkan iritasi/gangguan dan luka terhadap
kulit.
Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan
45
BAB III
LAPORAN KASUS
A. Kasus.
a. Identitas pasien
Nama
Umur
Alamat
Pendidikan terakhir
Agama
Tanggal pemeriksaan
Ruangan
: Tn. Taslimah
: 51 tahun
: Labuan Jl. Trans Sulawesi
: SMP
: Islam
: 5-12-2013
: Seroja
b. Anamnesis
Keluhan utama: bengkak seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Bengkak mulai muncul dari kedua
kaki kemudian naik ke perut lalu kedua tangan dan wajah. Keluhan disertai dengan
luka di jempol kaki kanan, penglihatan kabur, kram di kedua kaki, lemas dan gatalgatal di kedua tangan. Luka di jempol jari kaki kanan sudah dirasakan sejak 2 bulan
yang lalu. Luka muncul saat pasien pasien sedang bekerja kemudian luka tidak
kunjung sembuh dan mulai membesar. Pasien mengeluh sering buang air kecil
terutama saat malam hari dan pasien selalu merasa haus. Sesak (-), nyeri pinggang (-).
Buang air besar frekuensi 2x/hari warna kuning konsistensi normal. Buang air kecil
warna jernih kekuningan. Konsumsi rokok (-), alkohol (-), NAPZA (-).
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes mellitus (+) sudah sejak lama. Pasien
jarang kontrol ke dokter dan jarang minum obat. Riwayat penggunaan insulin (+).
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Ayah dan saudara perempuan pasien menderita penyakit diabetes mellitus
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
SP: sakit sedang / kompos mentis / gizi lebih
BB: 55 kg
TB: 150 cm
IMT: 24,4 kg/m2
46
Vital Sign:
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 90 kali/menit, irama reguler, isi nadi pulsus magnus
Pernapasan: 20 kali/menit, pola pernapasan normal
Suhu axilla: 38 C
Pemeriksaan kepala
Kepala: bentuk normocephalus, deformitas (-), jejas (-), benjolan (-)
Rambut: warna hitam, distribusi normal
Wajah: tampak lemas, warna normal, edema (+), ruam (-), jejas (-)
Mata:
kesan normal.
Palpasi
Pembesaran getah bening (-), ekspansi dada simetris, taktil fremitus simetris kanan
= kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi
Bunyi sonor di semua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler di kedua lapang paru kecuali di SIC I dan II
Suara napas bronchovesikuler di SIC I dan II
Suara napas bronchial di manubrium sterni
47
48
Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan Ankle-Brachial Index (ABI):
Kanan = 90/110 = 0,81
Kiri = 90/100 = 0,90
d. Resume
50 tahun dengan edema anasarka (+) sejak 1 minggu lalu. Disertai ulkus diabetik
hallux dextra (+) sejak 2 bulan lalu, penglihatan kabur (+), pruritus (+), neuropati
perifer (+), polidipsia (+), poliuria (+), polifagia (-), lemas (+). Riwayat DM (+),
Riwayat keluarga (+).
IMT: 24,4 kg/m2
Vital Sign:
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 90 kali/menit, irama reguler, isi nadi pulsus magnus
Pernapasan: 20 kali/menit, pola pernapasan normal
Suhu axilla: 38 C
Pemeriksaan kepala: edema wajah (+), konjungtiva anemis (+)
Pemeriksaan paru: auskultasi ronkhi (+) basal pulmo kiri
Pemeriksaan jantung: cardiomegali
Pemeriksaan abdomen: asites (+)
Pemeriksaan ekstremitas: kelembaban menurun, edema (+), ulkus diabetes di hallux
dextra, diameter 7 cm, kedalaman 0,5 cm, kalus di plantar pedis sinistra, fungsi
sensorik hipestesi (+) kanan dan kiri
Pemeriksaan Ankle-Brachial Index: kanan = 90/110 = 0,81
e. Diagnosis kerja
1. Edema anasarka ec Cronic Heart Failure
2. Ulkus diabetik ec diabetes mellitus tipe II
f. Diagnosis banding
DD edema anasarka ec: Sindroma nefrotik
Sirosis Hepar
g. Penatalaksanaan
49
Non medikamentosa
1. Tirah baring
2. Edukasi meliputi pemahaman tentang penyakit DM, perlunya pengendalian dan
pemantauan DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis,
hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi dan lain-lain.
3. Perencanaan makan
Berat badan idaman = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg
= 90% x (150 -100) x 1 kg
= 45 kg
Indeks massa tubuh = 24,4 kg/m2
Jumlah kalori basal per hari:
Wanita = 25 kal x BB idaman
= 25 kal x 45 kg
= 1125 kalori
Penyesuaian
- Umur: rentang 40 59 tahun, kalori dikurangi 5% = -56,25 kalori
- Aktivitas fisik atau pekerjaan: aktivitas istirahat kalori ditambah 10% =
-
+112,5 kalori
Berat badan: BB lebih kalori dikurangi 5% = -56,25 kalori
Stress metabolik (infeksi): kalori ditambah 10% 30% = +112,5 337,5
kalori
Sehingga jumlah kalori total per hari adalah 1350 sampai 1575 kalori/hari.
Makanan sejumlah kalori tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%)
diantaranya.
4. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari, diet rendah garam, restriksi protein dengan
diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari dan restriksi cairan
-
Medikamentosa
1. Diuretik: Golongan loop diuretik: Furosemid injeksi 20 mg/8 jam
2. Injeksi Insulin
Insulin harian total (IHT)
= 0,5 unit x BB
= 0,5 unit x 55 kg
= 27,5 unit
Insulin prandial total (IPT)
= 60% x IHT
= 60% x 27,5 unit
= 16,5 unit
Dosis sarapan
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Dosis makan siang
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Dosis makan malam
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Insulin basal total (IBT)
= 40% x IHT
= 40% x 27,5 unit
= 11 unit
50
Sehingga dosis insulin analog rapid acting yaitu insulin aspart (novorapid)
adalah 3x 5,5 unit/hari. Dosis insulin long acting yaitu insulin detemir (levemir)
adalah 11 unit/hari.
3. Obat hipoglikemik oral: golongan metformin 500 mg 3x1 bersama/sesudah
makan
4. Antibiotik golongan sefalosporin (ceftriaxon inj 1 gram/8 jam) dan antibiotik
golongan lain (metronidazole infus 500 mg/8 jam)
5. Obat golongan kortikosteroid: Dexametasone 0,5 mg 3x1
h. Pemeriksaan penujang
1. Laboratorium
RBC
: 2,48 x 1012/L (3,5 6,0)
Hb
: 7,0 g/dl (11,5 - 16,5)
MCV
: 81,9 fl (75 100)
MCH
: 28,4 pg (25 35)
MCHC
: 34,7 g/dl (31 38)
WBC
: 26,9 x 109/L (3,5 10)
PLT
: 244 x 109/L (150 400)
Albumin : 2,28 g/dl (3,5 5,2)
Glukosa : 369 mg/dl (70 200)
Ureum
: 29 mg/dl (8 53)
Kreatinin : 0,8 mg/dl (0,6 1,2)
2. Radiologi
Foto Thorax PA: Pleuropneumonia paru kiri bawah parahiler ec KP belum
disingkirkan dan Cardiomegali dengan CHF
3. EKG
Irama sinus ritmik, frekuensi 90 x/menit, axis LAD (-60), P wave normal, PR
segment 0,16 s, durasi QRS 0,08 s, ST segmen normal, T wave inverted di aVR,
V1, V4, V5, V6, U wave tidak ada.
i. Follow up
Tanggal
6-12-2013
Follow up
S:
bengkak di seluruh tubuh, luka di ibu jari kaki, dan penglihatan kabur
O:
edema anasarka, ulkus diabetik
TD: 120/70 mmHg, N: 70 x/m, R: 19 x/m, S: 37,5 C
GDS: 369 mg/dl
A:
Edema anasarka + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
IVFD RL Life line
51
Novorapid 3 x 16 IU/SC
Ranitidin 1 amp/12 jam
Ketorolac 1 amp/8 jam
Ceftriaxon 1 gram/12 jam
Farsix 1amp/12 jam
Metronidazole 0,5 mg/12 jam
S:
Bengkak seluruh tubuh, luka di ibu jari kaki, gatal-gatal di kedua
tangan dan penglihatan kabur
O:
Edema anasarka, ulkus diabetik
TD: 110/70 mmHg, N: 75 x/m, R: 17 x/m, S: 37 C
GDS: 263 mg/dl
7-12-2013
A:
Edema anasarka + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Novorapid 3 x 16 IU/SC
Dexametason 5mg/12 jam
Interhistin 50 mg 3x1
Ceftriaxon 1 gram/12 jam
Farsix 1amp/12 jam
9-12-2013
A:
CHF + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Metformin 500 mg 1-1-0
Novorapid 3x6 IU/SC
Nocid 10 mg 3x2
S:
Tidak ada keluhan
O:
TD: 120/70, N: 75x/m R: 17 x/m S: 36,5 C
11-12-2013
B. Pembahasan
53
54
DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2003. Preventive care in people with diabetes. Diabetes
Care; 26:S78-S79.
Amstrong, D., Lavery, L., Wu, S., et al, 2005. Evaluation of removable and irremovable cast
walkers in the healing of diabetic foot wounds. Diabetes Care; 28:551-4.
Ansari, M., Shukla, V., 2005. Foot infections. Lower Extremity Wounds; 4(2):74-87.
Baal, J., 2004. Surgical treatment of the infected diabetic foot. Clin Infect Dis; 39 (Suppl 2):
S123-128.
Bode, B., Braihwaite, S., Steed, R., Davidson, C., 2004. Intravenous insulin infusion therapy:
indications methods, and transition to subcutaneous insulin therapy. ACE inpatient
diabetes and metabolic control concensus conference. Endocr Pract; 10 (Suppl 2): 7180.
Boulton AJ, 2002. The Diabetic Foot. Blackweel Publising.
Bustan, M, 1999. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.
Cheng, A., Zinman, B., Khan, C., et al. (Eds),2005.. Joslins Diabetes Mellitus. Fourth
Edition. Lipincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Mellitus. Dalam : Darmono, et al, editors,
2007. Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam
dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang. p.15-30.
Frykberb & Robert, G., 2002. Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic Foot
Ulcers, Des Moines University, Iowa.
Frykberg, R., Zgonis, T., Armstrong, D., et al. 2006. Diabetic foot disorders: a clinical
practice guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons. J Foot Ankle Surg;
39:S1-66.
Green, R., 1997. Pathology and Theurapeutic for Pharmacits : a Basic for Clinical
Pharmacy Practice. Chapman and Hill, London.
Hadisaputro, S., Setyawan, H., Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Diabetes
Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, et al, editors, 2007. Naskah Lengkap Diabetes
mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof
Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. p.133154.
Hirsch, I., 2005. Insulin Analog. N Engl J Med; 352: 174-183.
Ketut, S., Djoko, W., Asdie., John, A., Sidartawan, S., Asman, M., Karel, P., Alfien, S.,
Pradana, S., Soebagijo, A., Agus, S., Yunie, E., Made, R., 2007. Petunjuk Praktis Terapi
55
Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus. Persatuan Dokter Ahli Penyakit Dalam
Indonesia.
Kruse, I., Edelman, S., 2006. Evaluation and treatment of diabetic foot ulcers. Clin Diabetes;
24:91-3.
Kusuma, A., 2000. Hubungan antara terjadinya neuropati diabetika dengan lamanya
menderita DM di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran Surakarta.
Levin, M., 2001. Pathogenesis and General Management of Foot Lesions in the Diabetic
Patients. Dalam : Levin ME, editors. The Diabetic Food, Edisi 6, St Louis, The CV
Mosby Company.
Lipsky, B., Berendt, A., Deery, H., et al. 2004. Diagnosis and treatment of diabetic foot
infections. Clin Infect Dis; 39:885-910
Misnadiarly, 2006. Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer Obor,
Jakarta.
PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia.
Peter, J., 2014. Prevalence of Diabetes Worldwide. Accessed 7 January 2014. Availabe from
http://www.who.int/entists/diabetes/facts/en
Reynold, F., The Diabetic Food, ABC of Diabetic Accessed 9 Januari 2014. Available from
<http:/www. Japmoanline.org/search.dtl>.
Riyanto, B., 2007. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah
Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka
Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang. p.15-30.
Sapico, F. Food Ulcer in Patients with Diabetes Mellitus, Journal of American Podiatric
Medical Association, Vol 79, Issue 482-485, Accessed 12 Januari 2014. Available from
http://www.bmj.com/cgi/feedback.
Slater, R., Ramot, Y., Rapoport, M., 2001. Diabetic foot ulcers: principles of assessment and
treatment. IMAJ; 3:59 62.
Suharjo, J., 2007. Manajemen Ulkus Kaki Diabetik. Dexa Medica. No. 3, Vol. 20.
Suyono, S., 2009. Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Van den Berghe, G., Wouters, P., Weekers, F., et al. 2001. Intensive insulin therapy in
critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, .
Waspadji, S., 2009. Komplikasi kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan
Strategi pengelolaan. Dalam : Aru W, et al, editors, 2009. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
White, C., 2007. Intermittent claudication. New Engl J Med; 356:1241-50.
56
William, C., 2003. The Diabetic Foot, In ( Ellenberg, Rifkins, eds), Diabetes Mellitus, Sixth
Edision, USA.
57