You are on page 1of 57

REFERAT

ULKUS DIABETES

Oleh :
RANGGA DUO RAMADAN
G 501 09 008
Pembimbing:
dr. RUSTAM AMIRUDDIN, Sp. PD
DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD UNDATA - FAKULTAS KEDOKTERAN
DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS TADULAKO
PALU
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit menahun yang ditandai oleh kadar
glukosa darah melebihi normal dan gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
1

protein yang disebabkan oleh kekurangan hormon insulin secara relatif maupun absolut.
Bila hal ini dibiarkan tidak terkendali dapat terjadi komplikasi metabolik akut maupun
komplikasi vaskuler jangka panjang, baik mikroangiopati maupun makroangiopati
(PERKENI, 2011; Hadisaputro et al, 2007).
Jumlah penderita Diabetes mellitus di dunia dari tahun ke tahun mengalami
peningkatan, hal ini berkaitan dengan jumlah populasi yang meningkat, life expectancy
bertambah, urbanisasi yang merubah pola hidup tradisional ke pola hidup modern,
prevalensi obesitas meningkat dan kegiatan fisik kurang. Diabetes mellitus perlu diamati
karena sifat penyakit yang kronik progresif, jumlah penderita semakin meningkat dan
banyak dampak negatif yang ditimbulkan (Darmono, 2007).
Menurut survei yang di lakukan oleh organisasi kesehatan dunia (WHO), jumlah
penderita Diabetes mellitus di Indonesia pada tahun 2000 terdapat 8,4 juta orang, jumlah
tersebut menempati urutan ke-4 terbesar di dunia, sedangkan urutan di atasnya adalah
India (31,7 juta), Cina (20,8 juta), dan Amerika Serikat (17,7 juta). Diperkirakan jumlah
penderita Diabetes mellitus akan meningkat pada tahun 2030 yaitu India (79,4 juta), Cina
(42,3 juta), Amerika Serikat (30,3 juta) dan Indonesia (21,3 juta). Jumlah penderita
Diabetes Mellitus tahun 2000 di dunia termasuk Indonesia tercatat 175,4 juta orang, dan
diperkirakan tahun 2010 menjadi 279,3 juta orang, tahun 2020 menjadi 300 juta orang
dan tahun 2030 menjadi 366 juta orang (Peter, 2014).
Di Indonesia berdasarkan penelitian epidemiologis didapatkan prevalensi Diabetes
mellitus sebesar 1,5 2,3% pada penduduk yang usia lebih 15 tahun, bahkan di daerah
urban prevalensi DM sebesar 14,7% dan daerah rural sebesar 7,2%. Prevalensi tersebut
meningkat 2-3 kali dibandingkan dengan negara maju, sehingga Diabetes mellitus
merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik Indonesia tahun 2003 penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebesar
133 juta jiwa, maka pada tahun 2003 diperkirakan terdapat penderita DM di daerah urban
sejumlah 8,2 juta dan di daerah rural sejumlah 5,5 juta. Selanjutnya berdasarkan pola
pertambahan penduduk diperkirakan pada tahun 2030 akan terdapat 194 juta penduduk
yang berusia di atas 20 tahun maka diperkirakan terdapat penderita sejumlah 12 juta di
daerah urban dan 8,1 juta di daerah rural (Perkeni, 2011).
Diabetes mellitus dibandingkan dengan penderita non Diabetes mellitus mempunyai
kecenderungan 2 X lebih mudah mengalami trombosis serebral, 25 X terjadi buta, 2 X
terjadi penyakit jantung koroner, 17 X terjadi gagal ginjal kronik, dan 50 X menderita
ulkus diabetika. Komplikasi menahun Diabetes mellitus di Indonesia terdiri atas

neuropati 60%, penyakit jantung koroner 20,5%, ulkus diabetika 15%, retinopati 10%,
dan nefropati 7,1% (Waspadji, 2009).
Penderita diabetes mellitus berisiko 29 X terjadi komplikasi ulkus diabetika. Ulkus
diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit yang disebabkan adanya
makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan neuropati. Ulkus diabetika
mudah berkembang menjadi infeksi karena masuknya kuman atau bakteri dan adanya
gula darah yang tinggi menjadi tempat yang strategis untuk pertumbuhan kuman
(Waspadji, 2009).
Ulkus diabetika kalau tidak segera mendapatkan pengobatan dan perawatan, maka
akan mudah terjadi infeksi yang segera meluas dan dalam keadaan lebih lanjut
memerlukan tindakan amputasi. Ulkus diabetika merupakan komplikasi menahun yang
paling ditakuti dan mengesalkan bagi penderita DM, baik ditinjau dari lamanya
perawatan, biaya tinggi yang diperlukan untuk pengobatan yang menghabiskan dana 3
kali lebih banyak dibandingkan tanpa ulkus (Frykberb, 2002).
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Amerika Serikat sebesar 15- 20%, risiko
amputasi 15-46 kali lebih tinggi dibandingkan dengan penderita non DM. Penderita
ulkus diabetika di Amerika Serikat memerlukan biaya yang tinggi untuk perawatan yang
diperkirakan antara Rp $10.000 - $12.000 per tahun untuk seorang penderita (Waspadji,
2009; Frykberb, 2002).
Prevalensi penderita ulkus diabetika di Indonesia sekitar 15%, angka amputasi 30%,
angka mortalitas 32% dan ulkus diabetika merupakan sebab perawatan rumah sakit yang
terbanyak sebesar 80% untuk Diabetes mellitus. Penderita ulkus diabetika di Indonesia
memerlukan biaya yang tinggi sebesar 1,3 juta sampai Rp. 1,6 juta perbulan dan Rp. 43,5
juta per tahun untuk seorang penderita (Suyono, 2009).
Di RSCM data pada tahun 2003, masalah ulkus diabetika merupakan masalah serius,
sebagian besar penderia Diabetes mellitus dirawat karena mengalami ulkus diabetika.
Angka kematian dan angka amputasi masih cukup tinggi, masing-masing sebesar 32,5%
dan 23,5%. Penderita DM paska amputasi sebanyak 14,3% akan meninggal dalam
setahun dan 37% akan meninggal dalam 3 tahun (Waspadji, 2009).
Sampai saat ini di Indonesia kaki diabetik masih merupakan masalah yang rumit dan
tidak terkelola dengan maksimal karena sedikit sekali orang yang berminat menggeluti
kaki diabetik dan ketidaktahuan masyarakat mengenai kaki diabetik masih sangat
mencolok. Ulkus kaki pada pasien diabetes harus mendapatkan perawatan karena ada
beberapa alasan, misalnya unfuk mengurangi resiko infeksi dan amputasi, memperbaiki
fungsi dan kualitas hidup, dan mengurangi biaya pemeliharaan kesehatan. Tujuan utama
perawatan ulkus diabetes sesegera mungkin didapatkan kesembuhan dan pencegahan
3

kekambuhan setelah proses penyembuhan. Dari beberapa penelitian, menunjukkan


bahwa perkembangan ulkus diabetes dapat dicegah. Tulisan ini dimaksudkan untuk
memberikan pemahaman mengenai perkembangan penyakit, evaluasi dan perawatan
ulkus diabetes.
B. Tujuan
Memberikan informasi mengenai penyakit kaki diabetik dan langkah-langkah
penangannnya.
C. Manfaat
Manfaat yang diharapkan dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Institusi Kesehatan
Memberikan informasi tentang faktor-faktor risiko kejadian ulkus diabetika pada
penderita Diabetes mellitus sehingga rumah sakit/dinas kesehatan dapat mengambil
policy atau melaksanakan tindakan yang dapat menekan kejadian ulkus diabetika
pada penderita DM melalui program pencegahan kejadian ulkus diabetika.
2. Masyarakat
Sebagai bahan informasi dan pengetahuan masyarakat sehingga masyarakat dapat
lebih memahami penyakit kaki diabetik serta cara pencegahannya.
3. Ilmu pengetahuan
Sebagai bahan kepustakaan tentang faktor-faktor resiko terjadinya ulkus diabetika
penderita diabetes mellitus.
4. Bagi penulis
a. Mendapat pengetahuan

tentang

penyakit

kaki

diabetik

serta

langkah

penanganannya.
b. Menambah pengalaman dalam membuat karya tulis yang baik dan benar.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Diabetes Mellitus
a. Defenisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010, diabetes mellitus
merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia
yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya
(Perkeni, 2011).
b. Klasifikasi
Klasifikasi diabetes mellitus berdasarkan ADA (2012) dan Perkeni (2011) adalah
sebagai berikut:
Tabel 2.1. Klasifikasi etiologi DM
Tipe 1

Destruksi sel beta, umunya menjurus ke defisiensi

Tipe 2

insulin absolut
- Melalui proses imunologik
- Idiopatik
Bervariasi mulai dari dominan resistensi insulin disertai
defisiensi insulin relatif sampai yang dominan defek

Tipe lain

sekresi insulin disertai resistensi insulin


- Defek genetik fungsi sel beta: kromosom7, 12,
-

20,13, 17 dan 2.
Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A,
eprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes

lipoatrofik.
Penyakit

eksokrin

pankreas:pankreatitis,

trauma/pankreatektomi,neoplasma,

fibrosis

kistik

hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus


Endokrinopati: akromegali, sindrom chusing,

feokromositoma, hipertiroidisme,aldosteronoma
Karena obat atau zat kimia: vacor, pentamidin, asam
nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazoxid,

aldosteronoma
Infeksi: rubella congenital, CMV,
Sebab imunologi yang jarang: sindrom Stiffman,
5

antibodi antireseptor insulin


Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM:
sindrom

Down,

sindrom

klinefelter,

sindrom

Wolfram, ataksia Friedreich, chorea huntington,


sindrom laurence moon bield, porfiria, sindrom
prader willi.
Diabetes

Mellitus

Gestational
c. Diagnosis Diabetes mellitus
Menurut Perkeni (2011), diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara:
1) Jika gejala klasik DM (poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan) dan keluhan lain (lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan
disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita) ditemukan serta
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl.
2) Pemeriksaan glukosa plasma puasa 126 mg/dl dengan keluhan klasik DM
ditemukan.
3) Kadar gula plasma 2 jam pada TTGO 200 mg/dl

Gambar 2.1. Langkah-langkah diagnostik DM dan gangguan toleransi glukosa


(Perkeni, 2011).
d. Penatalaksanaan DM
Tujuan penatalaksanaan DM secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang diabetes meliputi menjadi dua yaitu:
6

1) Jangka pendek: hilangnya keluhan dan tanda diabetes melitus, mempertahankan


rasa nyaman dan tercapainya target pengendalian glukosa darah.
2) Jangka panjang: mencegah dan terhambatnya progresifitas

penyulit

mikroangiopati, makroangiopati dan neuropati.


Untuk penatalaksanaan diabetes melitus di Indonesia pendekatan yang digunakan
adalah berdasarkan dari pilar penatalaksanaan diabetes melitus. Adapun pilar
penatalaksanaan diabetes melitus adalah sebagai berikut:
1) Edukasi
Diabetes tipe 2 umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah
terbentuk dengan mapan. Pemberdayaan penyandang diabetes memerlukan
partisipasi aktif pasien, keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku. Untuk mencapai keberhasilan
perubahan perilaku dibutuhkan edukasi komprehensif dan upaya peningkatan
motivasi. Tujuan dari perubahan perilaku adalah agar penyandang diabetes
dapat menjalani pola hidup sehat. Perilaku yang diharapkan adalah:
- Mengikuti pola makan sehat
- Meningkatkan kegiatan jasmani
- Menggunakan obat diabetes dan obat pada keadaan khusus secara aman dan
-

teratur.
Melakukan pemantauan glukosa secara mandiri dan memanfaatkan data yang

ada.
Melakukan perawatan kaki secara berkala.
Memiliki kemampuan untuk mengenal dan menghadapi sakit akut dengan

tepat.
Mempunyai keterampilan dalam mengatasi masalah yang dihadapi dan mau
bergabung dengan kelompok penyandang diabetes serta mengajak keluarga

untuk mengerti pengelolaan penyandang diabetes.


- Mampu memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan yang ada.
2) Terapi gizi medis
Menurut Perkeni (2011), komposisi makanan yang dianjurkan terdiri dari:
Karbohidrat
- Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total asupan energi.
- Pembatasan karbohidrat total <130 g/hari tidak dianjurkan
- Makanan harus mengandung karbohidrat terutama yang berserat tinggi.
- Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penyandang diabetes dapat
-

makan sama dengan makanan keluarga yang lain


Sukrosa tidak boleh lebih dari 5% total asupan energi.
Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti gula, asal tidak
melebihi batas aman konsumsi harian (Accepted Daily Intake)

Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan karbohidrat dalam


sehari. Kalau diperlukan dapat diberikan makanan selingan buah atau

makanan lain sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.


Lemak
- Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan kalori. Tidak
-

diperkenankan melebihi 30% total asupan energi.


Lemak jenuh < 7 % kebutuhan kalori
Lemak tidak jenuh ganda < 10 %, selebihnya dari lemak tidak jenuh tunggal.
Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang banyak mengandung lemak
jenuh dan lemak trans antara lain: daging berlemak dan susu penuh (whole

milk).
- Anjuran konsumsi kolesterol < 200 mg/hari.
Protein
- Dibutuhkan sebesar 10 20% total asupan energi.
- Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang, cumi, dll), daging
tanpa lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,
-

tahu, dan tempe.


Pada pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan protein menjadi 0,8
g/Kg BB perhari atau 10% dari kebutuhan energi dan 65% hendaknya

bernilai biologik tinggi.


Natrium
- Anjuran asupan natrium untuk penyandang diabetes sama dengan anjuran
untuk masyarakat umum yaitu tidak lebih dari 3000 mg atau sama dengan 6-

7 gram (1 sendok teh) garam dapur.


Mereka yang hipertensi, pembatasan natrium sampai 2400 mg garam dapur.
Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin, soda, dan bahan

pengawet seperti natrium benzoat dan natrium nitrit.


Serat
- Seperti halnya masyarakat umum penyandang

diabetes

dianjurkan

mengonsumsi cukup serat dari kacang-kacangan, buah, dan sayuran serta


sumber karbohidrat yang tinggi serat, karena mengandung vitamin, mineral,
serat, dan bahan lain yang baik untuk kesehatan.
- Anjuran konsumsi serat adalah 25 g/hari.
Pemanis alternatif
- Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis berkalori dan pemanis tak
-

berkalori. Termasuk pemanis berkalori adalah gula alkohol dan fruktosa.


Gula alkohol antara lain isomalt, lactitol, maltitol, mannitol, sorbitol dan

xylitol.
Dalam penggunaannya, pemanis berkalori perlu diperhitungkan kandungan
kalorinya sebagai bagian dari kebutuhan kalori sehari.

Fruktosa tidak dianjurkan digunakan pada penyandang diabetes karena efek

samping pada lemak darah.


Pemanis tak berkalori yang masih dapat digunakan antara lain aspartam,

sakarin, acesulfame potassium, sukralose, dan neotame.


Pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman (Accepted
Daily Intake / ADI).

Perhitungan kebutuhan kalori


Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori/kgBB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor seperti: jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dan lain-lain. Perhitungan berat badan Ideal (BBI) dengan rumus Brocca
yang dimodifikasi adalah sebagai berikut:
- Berat badan ideal = 90% x (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
- Bagi pria dengan tinggi badan di bawah 160 cm dan wanita di bawah 150
cm, rumus dimodifikasi menjadi :
Berat badan ideal (BBI) = (TB dalam cm - 100) x 1 kg.
BB Normal : BB ideal 10 %
Kurus
: < BBI - 10 %
Gemuk
: > BBI + 10 %
Perhitungan berat badan ideal menurut Indeks Massa Tubuh (IMT) dapat
dihitung dengan rumus berikut:
IMT = BB(kg) / TB(m2)
Klasifikasi IMT:
BB Kurang < 18,5
BB Normal 18,5-22,9
BB Lebih 23,0
Dengan risiko 23,0-24,9
Obes I 25,0-29,9
Obes II > 30
Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara lain:
- Jenis kelamin
Kebutuhan kalori pada wanita lebih kecil daripada pria. Kebutuhan kalori
-

wanita sebesar 25 kal/kg BB dan untuk pria sebesar 30 kal/kg BB.


Umur
Untuk pasien usia di atas 40 tahun, kebutuhan kalori dikurangi 5% untuk
dekade antara 40 dan 59 tahun, dikurangi 10% untuk dekade antara 60 dan 69

tahun dan dikurangi 20%, di atas usia 70 tahun.


Aktivitas fisik dan pekerjaan
Kebutuhan kalori dapat ditambah sesuai dengan intensitas aktivitas fisik.
Penambahan sejumlah 10% dari kebutuhan basal diberikan pada kedaaan

istirahat, 20% pada pasien dengan aktivitas ringan, 30% dengan aktivitas
-

sedang, dan 50% dengan aktivitas sangat berat.


Stress metabolik
Misalnya karena infeksi, operasi, stoke dan lain-lain, kebutuhan kalori

ditambah 10-30%.
Kehamilan
Kehamilan trimester I dan II kebutuhan kalori ditambah 300 kalori, bila

kehamilan trimester III ditambah 500 kalori.


Berat badan
Bila kegemukan dikurangi sekitar 20-30% tergantung kepada tingkat
kegemukan. Bila kurus ditambah sekitar 20-30% sesuai dengan kebutuhan
untuk meningkatkan BB. Untuk tujuan penurunan berat badan jumlah kalori
yang diberikan paling sedikit 1000-1200 kkal perhari untuk wanita dan 1200-

1600 kkal perhari untuk pria.


Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut di atas dibagi
dalam 3 porsi besar untuk makan pagi (20%), siang (30%), dan sore (25%),
serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%) di antaranya. Untuk meningkatkan
kepatuhan pasien, sejauh mungkin perubahan dilakukan sesuai dengan
kebiasaan. Untuk penyandang diabetes yang mengidap penyakit lain, pola
pengaturan makan disesuaikan dengan penyakit penyertanya (Perkeni, 2011).
3) Latihan jasmani
Prinsip latihan jasmani bagi diabetes harus memenuhi beberapa hal berikut
yaitu:
- Frekuensi: jumlah olahraga perminggu sebaiknya dilakukan dengan teratur 3-

5 kali per minggu


Intensitas: ringan dan sedang (60-70% makximum heart rate)
Durasi: 30-60 menit
Jenis: latihan jasmani endurans (aerobik) untuk meningkatkan kemampuan
kardiorespirasi seperti jalan, jogging, berenang dan bersepeda (Waspadji,

2009).
Untuk menentukan intensitas latihan dapat digunakan Maximum Heart Rate
(MHR) yaitu 220 umur. Untuk melakukan latihan jasmani perlu diperhatikan
hal berikut:
- Pemanasan
Dilakukan untuk mempersiapkan berbagai sistem tubuh untuk menghindari
-

cedera akibat latihan. Pemanasan dilakukan selama 5-10 menit.


Latihan inti
Pada tahap ini diusahakan denyut nadi mencapai target heart heart (THR)
Pendinginan

10

Tahap ini dilakukan untuk mnecegah penimbunan asam laktat yang dapat
menimbulkan rasa nyeri pada otot setelah melakukan latihan jasmani atau
pusing akibat terkumpulnya darah pada otot yang aktif. Pendinginan
dilakukan selama kurang lebih 5-10 menit hingga denyut jantung mendekati
-

denyut nadi saat istirahat.


Peregangan
Tahap ini dilakukan untuk melemaskan dan melenturkan otot-otot yang

masih teregang dan menjadikan lebih elastis (Waspadji, 2009)


4) Intervensi farmakologis
Dalam melakukan pemilihan obat perlu diperhatikan titik kerja obat sesuai
dengan macam-macam penyebab terjadinya hiperglikemia yaitu:

Gambar 2.2. Sarana farmakologis dan titik kerja obat untuk pengendalian kadar
glukosa darah (Green, 1997).
a) Obat hipoglikemik oral
Menurut Perkeni (2011), berdasarkan cara kerjanya OHO dibagi menjadi 5
golongan yaitu:
- Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue)
Sulfonilurea: Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan
sekresi insulin oleh sel beta pankreas, dan merupakan pilihan utama
untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Namun masih
boleh diberikan kepada pasien dengan berat badan lebih. Untuk
menghindari hipoglikemia berkepanjangan pada berbagai keadaaan
seperti orang tua, gangguan faal ginjal dan hati, kurang nutrisi serta
penyakit kardiovaskular, tidak dianjurkan penggunaan sulfonilurea kerja
panjang.
Glinid: Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan
sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase
11

pertama. Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid


(derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin). Obat ini
diabsorpsi dengan cepat setelah pemberian secara oral dan diekskresi
secara cepat melalui hati. Obat ini dapat mengatasi hiperglikemia post
prandial dengan efek hipoglikemik minimal. Glinid tidak begitu kuat
-

menurunkan HbA1c.
Peningkat sensitivitas terhadap insulin
Tiazolidindion: Tiazolidindion (pioglitazon) berikatan pada Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-g), suatu reseptor inti di
sel otot dan sel lemak. Golongan ini mempunyai efek menurunkan
resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut
glukosa,

sehingga

meningkatkan

ambilan

glukosa

di

perifer.

Tiazolidindion dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung


kelas I-IV karena dapat memperberat edema/retensi cairan dan juga pada
gangguan faal hati. Pada pasien yang menggunakan tiazolidindion perlu
-

dilakukan pemantauan faal hati secara berkala.


Penghambat glukoneogenesis
Metformin: Obat ini mempunyai efek utama mengurangi produksi
glukosa hati (glukoneogenesis), di samping juga memperbaiki ambilan
glukosa perifer. Terutama dipakai pada penyandang diabetes gemuk.
Metformin dikontraindikasikan pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal (serum kreatinin >1,5 mg/dL) dan hati, serta pasien dengan
kecenderungan hipoksemia (misalnya penyakit serebro-vaskular, sepsis,
renjatan, gagal jantung). Metformin dapat memberikan efek samping
mual. Untuk mengurangi keluhan tersebut dapat diberikan pada saat atau
sesudah makan. Selain itu harus diperhatikan bahwa pemberian
metformin secara titrasi pada awal penggunaan akan memudahkan

dokter untuk memantau efek samping obat tersebut.


Penghambat absorbsi glukosa/Glukosidase alfa (Acarbose)
Obat ini bekerja dengan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus,
sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah
makan. Acarbose tidak menimbulkan efek samping hipoglikemia. Efek

samping yang paling sering ditemukan ialah kembung dan flatulens.


DPP-IV inhibitor
Glucagon-like peptide-1 (GLP-1) merupakan suatu hormon peptida yang
dihasilkan oleh sel L di mukosa usus. Peptida ini disekresi oleh sel
12

mukosa usus bila ada makanan yang masuk ke dalam saluran


pencernaan. GLP-1 merupakan perangsang kuat penglepasan insulin dan
sekaligus sebagai penghambat sekresi glukagon. Namun demikian,
secara cepat GLP-1 diubah oleh enzim dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4),
menjadi metabolit GLP-1-(9,36)-amide yang tidak aktif.
Sekresi GLP-1 menurun pada DM tipe 2, sehingga upaya yang ditujukan
untuk meningkatkan GLP-1 bentuk aktif merupakan hal rasional dalam
pengobatan DM tipe 2. Peningkatan konsentrasi GLP-1 dapat dicapai
dengan pemberian obat yang menghambat kinerja enzim DPP-4
(penghambat DPP-4), atau memberikan hormon asli atau analognya
(analog incretin=GLP-1 agonis). Berbagai obat yang masuk golongan
DPP-4 inhibitor, mampu menghambat kerja DPP-4 sehingga GLP-1
tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif dan mampu
merangsang penglepasan insulin serta menghambat penglepasan
glukagon.
Tabel 2.2 Obat hipoglikemik oral

Sumber: Perkeni, 2011)


Tabel2.3Keuntungan dan kerugian berbagai kombinasi obat oral hipoglikemia (Perkeni,2011)
13

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih obat hipoglikemik oral


adalah sebagai berikut:
- Terapi dimulai dengan dosis rendah yang kemudian dinaikkan secara
bertahap sesuai respons kadar glukosa darah dapat diberikan sampai
-

dosis optimal.
Harus diketahui bagaimana cara kerjanya, lama kerja dan efek samping

obat-obatan tersebut.
Bila memberikannya bersama obat lain, pikirkan kemungkinan adanya

interaksi obat.
Pada kegagalan sekunder terhadap obat hipoglikemik oral, usahakan
menggunakan obat oral golongan lain. Bila gagal baru beralih pada

insulin.
- Usahakan agar harga obat terjangkau oleh pasien (Waspadji, 2009).
Cara pemberian obat hipoglikemik oral antara lain:
- Sulfonilurea: 15-30 menit sebelum makan
- Repaglinid dan nateglinid sesaat sebelum makan
- Metformin: sebelum/pada saat/sesudah makan
- Penghambat glukosidase (Acarbose): bersama makan suapan pertama.
- Tiazolidindion: tidak begantung pada jadwal makan
- DPP-IV inhibitor dapat diberikan bersama makan dan sebelum makan
(Perkeni, 2011).
b) Suntikan
- Insulin
Insulin diperlukan pada keadaan:
i. Penurunan berat badan yang cepat
14

ii.
iii.
iv.
v.
vi.
vii.
viii.

Hiperglikemia berat yang disertai ketosis


Ketoasidosis diabetik
Hiperglikemia hiperosmolar non ketotik
Hiperglikemia dengan asidosis laktat
Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal
Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke)
Kehamilan dengan DM/diabetes melitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan


ix. Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat
x.
Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO (Perkeni, 2011)
Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 4 jenis yaitu:
i.
Insulin kerja cepat (rapid acting insulin)
ii.
Insulin kerja pendek (short acting insulin)
iii.
Insulin kerja menengah (intermediate acting insulin)
iv.
Insulin kerja panjang (long acting insulin)
v.
Insulin campuran tetap, kerja pendek dan menengah (premixed
insulin) (Perkeni, 2011).

Gambar Profil Farmakokinetik insulin manusia dan insulin analog berdasarkan


lama kerja relatif berbagai jenis insulin (Hirsch, 2005).

Tabel 2.3 Farmakokinetik insulin eksogen berdasar waktu kerja (Perkeni, 2011)
15

Cara pemberian insulin


Sekresi insulin dapat dibagi menjadi sekresi insulin basal (saat puasa atau
sebelum makan) dan insulin prandial (setelah makan). Insulin basal adalah
jumlah insulin eksogen per unit waktu yang diperlukan untuk mencegah
hiperglikemia puasa akibat glukoneogenesis serta mencegah ketogenesis
yang tidak terdeteksi. Insulin prandial adalah jumlah insulin yang
dibutuhkan untuk mengkonversi bahan makanan ke dalam bentuk energi
cadangan sehingga tidak terjadi hiperglikemia postprandial. Karena selama
perawatan tidak jarang ditemukan fluktuasi kadar glukosa darah akibat

16

berbagai sebab, dalam pemberian terapi insulin bagi pasien yang dirawat di
rumah sakit dikenal istilah insulin koreksi atau insulin suplemen. Insulin
koreksi adalah jumlah insulin yang diperlukan pasien di rumah sakit akibat
kenaikan kebutuhan insulin yang disebabkan adanya suatu penyakit atau
stres. Secara umum, kebutuhan insulin dapat diperkirakan sebagai berikut:
insulin basal adalah 50% kebutuhan total insulin per hari atau 0,02 U/kgBB;
insulin prandial adalah 50% dari kebutuhan total insulin per hari; dan
insulin koreksi sekitar 10-20% dari kebutuhan total insulin per hari (Ketut
et al, 2007).
Insulin infus intravena
Pada prinsipnya, pasien penyakit berat atau kritis yang dirawat di rumah
sakit memerlukan terapi insulin. Sebagian besar dari mereka
membutuhkan terapi insulin yang diberikan secara infus intravena,
misalnya pada pasien kritis/akut seperti hiperglikemia gawat darurat,
infark miokard akut, stroke, fraktur, infeksi sistemik, syok kardiogenik,
pasien transplantasi organ, edema anasarka, kelainan kulit yang luas,
persalinan, pasien yang mendapat terapi glukokortikoid dosis tinggi,
dan pasien pada periode perioperatif. Hal lain yang perlu diperhatikan
adalah adanya strategi untuk mencapai dosis yang tepat sebelum
konversi dari terapi insulin infus intravena ke terapi insulin subkutan
(Ketut et al, 2007).
Tabel Protokol terapi Insulin Infus Intravena

Sumber: (Van den Berghe, 2001).


Protokol peralihan infus intravena ke insulin subkutan

17

Sumber: Bode et al, 2004.


Insulin subkutan

Gambar Memulai terapi insulin injeksi harian multipel pada pasien diabetes mellitus
tipe I (Cheng et al, 2005).
Ada beberapa bentuk pemberian insulin subkutan pada pasien yang
dirawat di rumah sakit, antara lain insulin terjadwal (scheduled atau
programmed insulin) dan insulin koreksi. Program pemberian insulin
terjadwal terbagi atas kebutuhan insulin basal dan insulin prandial.
Insulin basal dapat diberikan dengan menggunakan pompa insulin
(CSII), insulin kerja intermediate (NPH atau premixed) 2-4 kali sehari,
18

atau insulin analog kerja panjang. Sementara itu, kebutuhan insulin


prandial dapat dipenuhi dengan insulin kerja cepat (insulin regular atau
rapid acting insulin analog). Insulin tersebut diberikan sebelum makan
atau setelah makan (hanya untuk penggunaan rapid acting insulin
analog) apabila jadwal dan jumlah asupan makanan tidak pasti (Ketut
et al, 2007).

Rekomendasi jenis dan dosis pemberian insulin subkutan pada pasien


DMT1 dan DMT2 yang mendapatkan makanan secara oral dapat
dilihat pada tabel berikut
Tabel Protokol Terapi insulin subkutan

Sumber: (Ketut et al, 2007).


-

Agonis GLP-1/incretin mimetic


Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan
baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai
perangsang penglepasan insulin yang tidak menimbulkan hipoglikemia
19

ataupun peningkatan berat badan yang biasanya terjadi pada pengobatan


dengan insulin ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin
menurunkan berat badan. Efek agonis GLP-1 yang lain adalah
menghambat penglepasan glukagon yang diketahui berperan pada proses
glukoneogenesis.

Pada

percobaan

binatang,

obat

ini

terbukti

memperbaiki cadangan sel beta pankreas. Efek samping yang timbul


pada pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah (Perkeni,
2011).

Tabel 2.4. Perbandingan Golongan OHO (Perkeni, 2011).

20

c) Terapi Kombinasi
Pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai dengan dosis rendah, untuk
kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai dengan respons kadar glukosa
darah. Bersamaan dengan pengaturan diet dan kegiatan jasmani, bila
diperlukan dapat dilakukan pemberian OHO tunggal atau kombinasi OHO
sejak dini. Terapi dengan OHO kombinasi (secara terpisah ataupun fixedcombination dalam bentuk tablet tunggal), harus dipilih dua macam obat
dari kelompok yang mempunyai mekanisme kerja berbeda. Bila sasaran
kadar glukosa darah belum tercapai, dapat pula diberikan kombinasi tiga
OHO dari kelompok yang berbeda atau kombinasi OHO dengan insulin.
Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis di mana insulin tidak
21

memungkinkan untuk dipakai, terapi dengan kombinasi tiga OHO dapat


menjadi pilihan (Perkeni, 2011).
Untuk kombinasi OHO dan insulin, yang banyak dipergunakan adalah
kombinasi OHO dan insulin basal (insulin kerja menengah atau insulin
kerja panjang) yang diberikan pada malam hari menjelang tidur. Dengan
pendekatan terapi tersebut pada umumnya dapat diperoleh kendali glukosa
darah yang baik dengan dosis insulin yang cukup kecil. Dosis awal insulin
kerja menengah adalah 6-10 unit yang diberikan sekitar jam 22.00,
kemudian dilakukan evaluasi dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa
darah puasa keesokan harinya. Bila dengan cara seperti di atas kadar
glukosa darah sepanjang hari masih tidak terkendali, maka OHO dihentikan
dan diberikan terapi kombinasi insulin (Perkeni, 2011).
e. Kriteria pengendalian Diabetes Melitus

Sumber: (Perkeni, 2011).


f. Komplikasi
1) Komplikasi akut
a) Ketoasidosis diabetik (KAD)
Merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan
kadar glukosa darah yang tinggi (300-600 mg/dL), disertai dengan adanya
tanda dan gejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma
meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadi (Perkeni, 2011).
22

peningkatan anion gap.


b) Hiperosmolar non ketotik (HNK)
Pada keadaan ini terjadi peningkatan glukosa darah sangat tinggi (6001200 mg/dL), tanpa tanda dan gejala asidosis, osmolaritas plasma sangat
meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau
sedikit meningkat (Perkeni, 2011).
c) Hipoglikemia
Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60
mg/dl. Bila terdapat penurunan kesadaran pada penyandang diabetes
harus

selalu

dipikirkan

kemungkinan

terjadinya

hipoglikemia.

Hipoglikemia paling sering disebabkan oleh penggunaan sulfonilurea dan


insulin. Hipoglikemia akibat sulfonilurea dapat berlangsung lama,
sehingga harus diawasi sampai seluruh obat diekskresi dan waktu kerja
obat telah habis. Terkadang diperlukan waktu yang cukup lama untuk
pengawasannya (24-72 jam atau lebih, terutama pada pasien dengan gagal
ginjal kronik atau yang mendapatkan terapi dengan OHO kerja panjang).
Hipoglikemia pada usia lanjut merupakan suatu hal yang harus dihindari,
mengingat dampaknya yang fatal atau terjadinya kemunduran mental
bermakna pada pasien. Perbaikan kesadaran pada DM usia lanjut sering
lebih lambat dan memerlukan pengawasan yang lebih lama (Perkeni,
2011).
Gejala hipoglikemia terdiri dari gejala adrenergik (berdebar-debar, banyak
keringat, gemetar, dan rasa lapar) dan gejala neuro-glikopenik (pusing,
gelisah, kesadaran menurun sampai koma). Hipoglikemia harus segera
mendapatkan pengelolaan yang memadai. Bagi pasien dengan kesadaran
yang masih baik, diberikan makanan yang mengandung karbohidrat atau
minuman yang mengandung gula berkalori atau glukosa 15-20 gram
melalui intra vena. Perlu dilakukan pemeriksaan ulang glukosa darah 15
menit setelah pemberian glukosa. Glukagon diberikan pada pasien dengan
hipoglikemia berat (Perkeni, 2011).
2) Komplikasi kronis
Berikut adalah patogenesis komplikasi kronis dari diabetes mellitus

23

Gambar Patogenesis komplikasi kronis Diabetes Mellitus (Green, 1997).


a) Makroangiopati
Tiga jenis komplikasi makrovaskular yang umum berkembang pada
penderita diabetes adalah penyakit jantung koroner (coronary heart
disease), penyakit pembuluh darah otak dan penyakit pembuluh darah
tepi/perifer (peripheral vascular disease = PVC). Pembuluh darah tepi:
penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya
terjadi dengan gejala tipikal claudicatio intermittent, meskipun sering
tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang
pertama muncul (Waspadji, 2009).
b) Mikroangiopati
Retinopati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko dan memberatnya retinopati. Terapi aspirin tidak
mencegah timbulnya retinopati
Nefropati diabetik: Kendali glukosa dan tekanan darah yang baik akan
mengurangi risiko nefropati. Pembatasan asupan protein dalam diet (0,8
g/kgBB) juga akan mengurangi risiko terjadinya nefropati (Waspadji,
2009).
c) Neuropati
Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer,
berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus
kaki dan amputasi. Gejala yang sering dirasakan kaki terasa terbakar dan
24

bergetar sendiri, dan lebih terasa sakit di malam hari. Setelah diagnosis
DM ditegakkan, pada setiap pasien perlu dilakukan skrining untuk
mendeteksi adanya polineuropati distal dengan pemeriksaan neurologi
sederhana, dengan monofilamen 10 gram sedikitnya setiap tahun
(Waspadji, 2009).
Apabila ditemukan adanya polineuropati distal, perawatan kaki yang
memadai akan menurunkan risiko amputasi. Untuk mengurangi rasa sakit
dapat diberikan duloxetine, antidepresan trisiklik, atau gabapentin. Semua
penyandang diabetes yang disertai neuropati perifer harus diberikan
edukasi perawatan kaki untuk mengurangi risiko ulkus kaki. Untuk
penatalaksanaan penyulit ini seringkali diperlukan kerja sama dengan
bidang/disiplin ilmu lain (Waspadji, 2009).
B. Ulkus Diabetik
a. Defenisi
Ulkus diabetika adalah salah satu bentuk komplikasi kronik Diabetes mellitus berupa
luka terbuka pada permukaan kulit yang dapat disertai adanya kematian jaringan
setempat. Ulkus diabetika merupakan luka terbuka pada permukaan kulit karena
adanya komplikasi makroangiopati sehingga terjadi vaskuler insusifiensi dan
neuropati, yang lebih lanjut terdapat luka pada penderita yang sering tidak dirasakan,
dan dapat berkembang menjadi infeksi disebabkan oleh bakteri aerob maupun
anaerob (Frykberb, 2002).
b. Klasifikasi
Ada beberapa macam klasifikasi ulkus diabetik yaitu:
- Klasifikasi Wagner

Sumber: (Waspadji, 2009)


-

Klasifikasi PEDIS International Consensus on the Diabetic Foot 2013

25

Sumber: (Waspadji, 2009)


-

Klasifikasi menurut University of Texas Classification System

Sumber: (Slater et al, 2001)


-

Klasifikasi klinis infeksi ulkus diabetik

26

Sumber: (Lipsky et al, 2004)


c. Tanda dan gejala
Tanda dan gejala dari ulkus diabetik menurut Waspadji (2009) yaitu
- Sering kesemutan
- Nyeri kaki saat istirahat
- Sensasi rasa berkurang
- Kerusakan jaringan (nekrosis)
- Penurunan denyut nadi arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea
- Kaki menjadi atrofi, dingin, dan kuku menebal
- Kulit kering
d. Diagnosis ulkus diabetik
Diagnosis kaki ulkus diabetik harus dilakukan secara teliti. Diagnosis ulkus diabetik
ditegakkan oleh riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan
pemeriksaan penunjang (Perkeni, 2011).
1) Riwayat kesehatan
- Gejala yang timbul
- Hasil pemeriksaan laboratorium terdahulu meliputi: glukosa darah, A1C, dan
-

hasil pemeriksaan khusus yang terkait DM


Pola makan, status nutrisi, dan riwayat perubahan berat badan
Riwayat tumbuh kembang pada pasien anak/dewasa muda
Pengobatan yang pernah diperoleh sebelumnya secara lengkap, termasuk
terapi gizi medis dan penyuluhan yang telah diperoleh tentang perawatan DM

secara mandiri, serta kepercayaan yang diikuti dalam bidang terapi kesehatan
Pengobatan yang sedang dijalani, termasuk obat yang digunakan,

perencanaan makan dan program latihan jasmani


Riwayat komplikasi akut (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar hiperglikemia,

dan hipoglikemia)
Riwayat infeksi sebelumnya, terutama infeksi kulit, gigi, dan traktus
urogenitalis serta kaki

27

Gejala dan riwayat pengobatan komplikasi kronik (komplikasi pada ginjal,

mata, saluran pencernaan, dll.)


Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap glukosa darah
Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner,
obesitas, dan riwayat penyakit keluarga (termasuk penyakit DM dan endokrin

lain)
- Riwayat penyakit dan pengobatan di luar DM
- Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status ekonomi
- Kehidupan seksual, penggunaan kontrasepsi, dan kehamilan.
2) Pemeriksaan fisik
- Pengukuran tinggi badan, berat badan,dan lingkar pinggang
- Pengukuran tekanan darah, termasuk pengukuran tekanan darah dalam posisi
berdiri untuk mencari kemungkinan adanya hipotensi ortostatik, serta ankle
brachial index (ABI), untuk mencari kemungkinan penyakit pembuluh darah
-

arteri tepi
Inspeksi meliputi kulit dan otot. Inspeksi pada kulit yaitu status kulit seperti
warna, turgor kulit, pecah-pecah; berkeringat; adanya infeksi dan ulserasi;
ada kalus atau bula; bentuk kuku; adanya rambut pada kaki. Inspeksi pada
otot seperti sikap dan postur dari tungkai kaki; deformitas pada kaki
membentuk claw toe atau charcot joint; keterbatasan gerak sendi; tendon;

cara berjalan; kekuatan kaki.


Pemeriksaan neurologis yang dapat menggunakan monofilamen ditambah
dengan tunningfork 128-Hz, pinprick sensation, refleks kaki untuk mengukur

getaran, tekanan dan sensasi.


Pemeriksaan aliran darah dengan menggunakan palpasi denyut nadi pada

arteri kaki, capillary refilingl time, perubahan warna, atropi kulit dan kuku
Pengukuran ankle-brankhial index: tekanan diukur di beberapa tempat di
ekstremitas menggunakan manset pneumatik dan flow sensor, biasanya
Doppler ultrasound sensor. Tekanan sistolik akan meningkat dari sentral ke
perifer dan sebaliknya tekanan diastolik akan turun. Karena itu, tekanan
sistolik pada pergelangan kaki lebih tinggi dibanding Brachium. Jika terjadi
penyumbatan, tekanan sistolik akan turun walaupun penyumbatan masih
minimal. Rasio antara tekanan sistolik di pergelangan kaki dengan tekanan
sistolik di arteri brachialis (ankle-branchial index) merupakan indikator
sensitif untuk menentukan adanya penyumbatan atau tidak. Berikut adalah
interpretasi ABI:

28

Pemeriksaan funduskopi
Pemeriksaan rongga mulut dan kelenjar tiroid
Pemeriksaan jantung
Pemeriksaan kulit (acantosis nigrican dan bekas tempat penyuntikan insulin)

dan pemeriksaan neurologis


- Tanda-tanda penyakit lain yang dapat menimbulkan DM tipe-lain
3) Pemeriksaan laboratorium dan penunjang lain
- Glukosa darah puasa dan 2 jam post prandial
- A1C
- Profil lipid pada keadaan puasa (kolesterol total, HDL, LDL, dan trigliserida)
- Kreatinin serum
- Albuminuria
- Keton, sedimen, dan protein dalam urin
- Elektrokardiogram
- Foto sinar-x dada
- Doppler flowmeter : dapat mengukur derajat stenosis secara kualitatif dan
semikuantitatif melalui analisis gelombang Doppler. Frekuensi sistolik dopler
distal dari arteri yang mengalami oklusi menjadi rendah dan gelombangnya
-

menjadi monofasik.
Transcutaneous Oxymetri (tCPO2) : berhubungan dengan saturasi O2 kapiler
dan aliran darah ke jaringan. TcPO2 pada arteri yang mengalami oklusi
sangat rendah. Pengukuran ini sering digunakan untuk mengukur

kesembuhan ulkus maupun luka amputasi.


Magnetic Resonance Angiography (MRA) : merupakan teknik yang baru,
menggunakan magnetic resonance, lebih sensitif dibanding angiografi
standar. Arteriografi dengan kontras adalah pemeriksaan yang invasif,
merupakan standar baku emas sebelum rekonstruksi arteri. Namun, pasienpasien diabetes memiliki resiko yang tinggi untuk terjadinya gagal ginjal akut

akibat kontras meskipun kadar kreatinin normal.


Berikut adalah ringkasan penilaian klinik dari ulkus diabetik dan deformitas kaki
diabetik

29

Sumber: (Suharjo, 2007).


e. Patogenesis ulkus diabetik
Terjadinya kaki diabetik diawali dengan adanya hiperglikemi yang menyebabkan
gangguan saraf dan gangguan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan perubahan
distribusi tekanan pada telapak kaki. Kerentanan terhadap infeksi meluas ke jaringan
sekitar. Faktor aliran darah yang kurang membuat ulkus sulit sembuh. Jika sudah
terjadi ulkus, infeksi akan mudah sekali terjadi dan meluas ke jaringan yang lebih
dalam sampai ke tulang. Di bawah ini adalah etiologi dari kaki diabetik (Waspadji,
2009; Sapico, 2007):
1) Neuropati perifer
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali akan terjadi
komplikasi kronik yaitu neuropati, menimbulkan perubahan jaringan syaraf
karena adanya penimbunan sorbitol dan fruktosa sehingga mengakibatkan akson
30

menghilang, penurunan kecepatan induksi, parastesia, menurunnya reflek otot,


atrofi otot, keringat berlebihan, kulit kering dan hilang rasa, apabila diabetisi
tidak hati-hati dapat terjadi trauma yang akan menjadi ulkus diabetika (Waspadji,
2009)
Ada tiga tipe neuropati yaitu neuropati sensorik, neuropati motorik dan neuropati
otonom. Kondisi pada neuropati sensorik yang terjadi adalah kerusakan saraf
sensoris pertama kali mengenai serabut akson yang paling panjang, yang
menyebabkan distribusi stocking dan gloves. Kerusakan pada serabut saraf tipe A
akan menyebabkan kelainan propiseptif, sensasi pada sentuhan ringan, tekanan,
vibrasi dan persarafan motorik pada otot. Secara klinis akan timbul gejala seperti
kejang dan kelemahan otot kaki. Serabut saraf tipe C berperan dalam analisis
sensari nyeri dan suhu. Kerusakan pada saraf ini akan menyebabkan kehilangan
sensasi protektif. Ambang nyeri akan meningkat dan menyebabkan trauma
berulang pada kaki. Neuropati perifer dapat dideteksi dengan hilagnya sensasi
terhadap 10 g nylon monofilament pada 2-3 tempat pada kaki. Selain dengan 10 g
nylon monofilament, dapat juga menggunakan biothesiometer dan Tunning Fork
untuk mengukur getaran (Waspadji, 2009).
Neuropati motorik terjadi karena demyelinisasi serabut saraf dan kerusakan motor
end plate. Serabut saraf motorik bagian distal yang paling sering terkena dan
menimbulkan atropi dan otot-otot intrinsik kaki. Atropi dari otot intraosseus
menyebabkan kolaps dari arcus kaki. Metatarsal-phalangeal joint kehilangan
stabilitas saat melangkah. Hal ini menyebabkan gangguan distribusi tekanan kaki
saat melangkah dan dapat menyebabkan kallus pada bagian-bagian kaki dengan
tekanan terbesar. Jaringan di bawah kallus akan mengalami iskemia dan nekrosis
yang selanjutnya akan menyebabkan ulkus. Neuropati motorik menyebabkan
kelainan anatomi kaki berupa claw toe, hammer toe, dan lesi pada nervus
peroneus lateral yang menyebabkan foot drop. Neuropati motorik ini dapat diukur
dengan menggunakan pressure Mat atau Platform untuk mengukur tekanan pada
plantar kaki (Waspadji, 2009).
Neuropati otonom menyebabkan keringat berkurang sehingga kaki menjadi
kering. Kaki yang kering sangat beresiko untuk pecah dan terbentuk fisura pada
kallus. Neuropati otonom juga menyebabkan gangguan pada saraf-saraf yang
mengontrol distribusi arteri-vena sehingga menimbulkan arteriolar-venular
shunting. Hal ini menyebabkan distribusi darah ke kaki menurun sehingga terjadi

31

iskemi pada kaki. Keadaan ini mudah dikenali dengan terlihatnya distensi venavena pada kaki (Waspadji, 2009).
2) Kelainan vaskuler
Iskemik merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh karena kekurangan
darah dalam jaringan, sehingga jaringan kekurangan oksigen. Hal ini disebabkan
adanya proses makroangiopati pada pembuluh darah sehingga sirkulasi jaringan
menurun yang ditandai oleh hilang atau berkurangnya denyut nadi pada arteri
dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal.
Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan sehingga timbul ulkus yang
biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai (Waspadji, 2009; William, 2003).
Aterosklerosis merupakan sebuah kondisi dimana arteri menebal dan menyempit
karena penumpukan lemak pada bagian dalam pembuluh darah. Menebalnya
arteri di kaki dapat mempengaruhi otot-otot kaki karena berkurangnya suplai
darah, sehingga mengakibatkan kesemutan, rasa tidak nyaman, dan dalam jangka
waktu lama dapat mengakibatkan kematian jaringan yang akan berkembang
menjadi ulkus diabetika (Waspadji, 2009)
Proses angiopati pada penderita Diabetes mellitus berupa penyempitan dan
penyumbatan pembuluh darah perifer, sering terjadi pada tungkai bawah terutama
kaki, akibat perfusi jaringan bagian distal dari tungkai menjadi berkurang
kemudian timbul ulkus diabetika (Waspadji, 2009).
Pada penderita DM yang tidak terkendali akan menyebabkan penebalan tunika
intima (hiperplasia membram basalis arteri) pada pembuluh darah besar dan
pembuluh kapiler bahkan dapat terjadi kebocoran albumin keluar kapiler
sehingga mengganggu distribusi darah ke jaringan dan timbul nekrosis jaringan
yang mengakibatkan ulkus diabetika (William, 2003).
Eritrosit pada penderita DM yang tidak terkendali akan meningkatkan HbA1C
yang menyebabkan deformabilitas eritrosit dan pelepasan oksigen di jaringan
oleh eritrosit terganggu, sehingga terjadi penyumbatan yang menggangu sirkulasi
jaringan dan kekurangan oksigen mengakibatkan kematian jaringan yang
selanjutnya timbul ulkus diabetika (Waspadji, 2009).
Peningkatan kadar fibrinogen dan bertambahnya

reaktivitas

trombosit

menyebabkan tingginya agregasi sel darah merah sehingga sirkulasi darah


menjadi lambat dan memudahkan terbentuknya trombosit pada dinding pembuluh
darah yang akan mengganggu sirkulasi darah (Waspadji, 2009).
Penderita Diabetes mellitus biasanya kadar kolesterol total, LDL, trigliserida
plasma tinggi. Buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan akan menyebabkan
32

hipoksia dan cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan yang akan


merangsang terjadinya aterosklerosis (Kusuma, 2000)
Perubahan/inflamasi pada dinding pembuluh darah, akan terjadi penumpukan
lemak pada lumen pembuluh darah, konsentrasi HDL (highdensity-lipoprotein)
sebagai pembersih plak biasanya rendah. Adanya faktor risiko lain yaitu
hipertensi akan meningkatkan kerentanan terhadap aterosklerosis9. Konsekuensi
adanya aterosklerosis yaitu sirkulasi jaringan menurun sehingga kaki menjadi
atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis jaringan
sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau tungkai
(Waspadji, 2009).
3) Infeksi
Pada penderita DM apabila kadar glukosa darah tidak terkendali menyebabkan
abnormalitas lekosit sehingga fungsi khemotoksis di lokasi radang terganggu,
demikian pula fungsi fagositosis dan bakterisid menurun sehingga bila ada infeksi
mikroorganisme sukar untuk dimusnahkan oleh sistem phlagositosis-bakterisid
intra selluler (Riyanto, 2007).
Pada penderita ulkus diabetika, 50 % akan mengalami infeksi akibat adanya
glukosa darah yang tinggi, yang merupakan media pertumbuhan bakteri yang
subur. Bakteri penyebab infeksi pada ulkus diabetika yaitu kuman aerobik
Staphylokokus atau Streptokokus serta kuman anaerob yaitu Clostridium
perfringens, Clostridium novy, dan Clostridium septikum. Infeksi akut pada
penderita yang belum mendapatkan antibiotik biasanya monomikrobial
sedangkan pasien dengan ulkus kronis, gangrene dan osteomyelitis bersifat
polimikrobial. Jika penderita sudah mendapat antibiotik sebelumnya atau pada
ulkus

kronis,

biasanya

dijumpai

juga

bakteri

batang

gram

negatif

(Enterobactericeae, enterococcus, dan pseudomonas aeruginosa) (Riyanto,


2007).

33

Gambar patogenesis Ulkus Diabetik (Boulton, 2002).


f. Faktor resiko ulkus diabetik
Faktor resiko ulkus diabetik pada penderita diabetes mellitus menurut Lipsky (2004)
terdiri atas:
a) Faktor resiko yang tidak dapat diubah
1) Umur 60 tahun
2) Lama DM 10 tahun
b) Faktor resiko yang dapat diubah
1) Neuropati (sensorik, motorik dan perifer)
2) Obesitas
3) Hipertensi
4) Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) tidak terkontrol
5) Kadar gula darah tidak terkontrol
6) Insufisiensi vaskuler karena adanya aterosklerosis yang disebabkan oleh
- Kolesterol total tidak terkontrol
- Kolesterol HDL tidak terkontrol
- Trigliserida tidak terkontrol
7) Kebiasaan merokok
8) Ketidakpatuhan diet DM
9) Kurangnya aktivitas fisik
10) Pengobatan tidak teratur
34

11) Perawatan kaki tidak teratur penggunaan alas kaki tidak tepat
Faktor-faktor resiko terjadninya ulkus diabetik lebih lanjut dijelaskan sebagai
berikut:
a) Umur 60 tahun
Umur 60 tahun berkaitan dengan terjadinya ulkus diabetika karena pada usia
tua, fungsi tubuh secara fisiologis menurun karena proses aging terjadi penurunan
sekresi atau resistensi insulin sehingga kemampuan fungsi tubuh terhadap
pengendalian glukosa darah yang tinggi kurang optimal. Penelitian di Amerika
Serikat dikutip oleh Rochmah W menunjukkan bahwa dari tahun 1996-1997 pada
lansia umur > 60 tahun, didapatkan hanya 12% saja pada usia tua dengan DM
yang kadar glukosa darah terkendali, 8% kadar kolesterol normal, hipertensi 40%,
dan 50% mengalami gangguan pada aterosklerosis, makroangiopati, yang
faktorfaktor tersebut akan mempengaruhi penurunan sirkulasi darah salah satunya
pembuluh darah besar atau sedang di tungkai yang lebih mudah terjadi ulkus
diabetika (Waspadji, 2009).
b) Lama DM 10 tahun
Ulkus diabetika terutama terjadi pada penderita Diabetes mellitus yang telah
menderita 10 tahun atau lebih, apabila kadar glukosa darah tidak terkendali,
karena akan muncul komplikasi yang berhubungan dengan vaskuler sehingga
mengalami makroangiopati-mikroangiopati yang akan terjadi vaskulopati dan
neuropati yang mengakibatkan menurunnya sirkulasi darah dan adanya
robekan/luka pada kaki Penderita diabetik yang sering tidak dirasakan (Boulton,
2002).
Perjalanan Ulkus diabetika pada penderita DM dapat dilihat pada bagan dibawah
ini:

Sumber: (Boulton, 2002).


35

c) Neuropati (sensorik, motorik dan perifer)


Kadar glukosa darah yang tinggi semakin lama akan terjadi gangguan
mikrosirkulasi, berkurangnya aliran darah dan hantaran oksigen pada serabut
saraf yang mengakibatkan degenerasi pada serabut syaraf yang lebih lanjut akan
terjadi neuropati. Syaraf yang rusak tidak dapat mengirimkan sinyal ke otak
dengan baik, sehingga penderita dapat kehilangan indra perasa selain itu juga
kelenjar keringat menjadi berkurang, kulit kering dan mudah robek (Waspadji,
2009).
Neuropati perifer berupa hilangnya sensasi rasa berisiko tinggi terjadi ulkus
diabetika. Keberadaan neuropati berkaitan dengan kejadian ulkus diabetika,
Penelitian terhadap populasi di Rochester, Minnesota, Amerika Serikat dikutip
oleh Levin menunjukkan bahwa 66% penderita Diabetes mengalami neuropati
dengan gangguan sensasi rasa/sensasi vibrasi pada kaki, 20% terjadi ulkus
diabetika (Levin, 2001).
d) Obesitas
Pada obesitas dengan IMT 23 kg/m2 (wanita) dan IMT 25 kg/m2 (pria) atau
BBR lebih dari 120 % akan lebih sering terjadi resistensi insulin. Apabila kadar
insulin melebihi 10 U/ml, keadaan ini menunjukkan hiperinsulinmia yang dapat
menyebabkan aterosklerosis yang berdampak pada vaskulopati, sehingga terjadi
gangguan sirkulasi darah sedang/besar pada tungkai yang menyebabkan tungkai
akan mudah terjadi ulkus/ganggren diabetika (Waspadji, 2009).
e) Hipertensi
Hipertensi (TD > 130/80 mm Hg) pada penderita Diabetes mellitus karena adanya
viskositas darah yang tinggi akan berakibat menurunnya aliran darah sehingga
terjadi defesiensi vaskuler, selain itu hipertensi yang tekanan darah lebih dari
130/80 mm Hg dapat merusak atau mengakibatkan lesi pada endotel. Kerusakan
pada endotel akan berpengaruh terhadap makroangiopati melalui proses adhesi
dan agregasi trombosit yang berakibat vaskuler defisiensi sehingga dapat terjadi
hipoksia pada jaringan yang akan mengakibatkan terjadinya ulkus 12. Penelitian
studi kasus kontrol oleh Robert di Iowa menghasilkan bahwa riwayat hipertensi
akan lebih besar 4 X terjadi ulkus diabetika dengan tanpa hipertensi pada DM
(Frykberb, 2002).
f) Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) tidak terkontrol
Glikosilasi Hemoglobin adalah terikatnya glukosa yang masuk dalam sirkulasi
sistemik dengan protein plasma termasuk hemoglobin dalam sel darah merah.
Apabila Glikosilasi Hemoglobin (HbA1c) 6,5 % akan menurunkan kemampuan
36

pengikatan oksigen oleh sel darah merah yang mengakibatkan hipoksia jaringan
yang selanjutnya terjadi proliferasi pada dinding sel otot polos subendotel
(Waspadji, 2009).
g) Kadar gula darah tidak terkontrol
Kadar glukosa darah tidak terkontrol ( GDP > 100 mg/dl dan GD2JPP > 144
mg/dl)

akan

mengakibatkan

komplikasi

kronik

jangka

panjang,

baik

makrovaskuler maupun mikrovaskuler salah satunya yaitu ulkus diabetika


(Waspadji, 2009).
h) Insufisiensi vaskuler karena adanya aterosklerosis yang disebabkan oleh
kolesterol total, HDL dan trigliserida tidak terkontrol
Kadar trigliserida 150 mg/dl , kolesterol total 200 mg/dl dan HDL 45 mg/dl
akan mengakibatkan buruknya sirkulasi ke sebagian besar jaringan dan
menyebabkan hipoksia serta cedera jaringan, merangsang reaksi peradangan dan
terjadinya aterosklerosis. Konsekuensi adanya aterosklerosis adalah penyempitan
lumen pembuluh darah yang akan menyebabkan gangguan sirkulasi jaringan
sehingga suplai darah ke pembuluh darah menurun ditandai dengan hilang atau
berkurangnya denyut nadi pada arteri dorsalis pedis, tibialis dan poplitea, kaki
menjadi atrofi, dingin dan kuku menebal. Kelainan selanjutnya terjadi nekrosis
jaringan sehingga timbul ulkus yang biasanya dimulai dari ujung kaki atau
tungkai (Reynold, 2007).
i) Kebiasaan merokok
Penelitian case control di California oleh Casanno dikutip oleh WHO pada
penderita Diabetes mellitus yang merokok 12 batang per hari mempunyai risiko
3 X untuk menjadi ulkus diabetika dibandingkan dengan penderita DM yang
tidak merokok. Kebiasaan merokok akibat dari nikotin yang terkandung di dalam
rokok akan dapat menyebabkan kerusakan endotel kemudian terjadi penempelan
dan agregasi trombosit yang selanjutnya terjadi kebocoran sehingga lipoprotein
lipase akan memperlambat clearance lemak darah dan mempermudah timbulnya
aterosklerosis. Aterosklerosis berakibat insufisiensi vaskuler sehingga aliran
darah ke arteri dorsalis pedis, poplitea, dan tibialis juga akan menurun (WHO,
2000).
j) Ketidakpatuhan diet DM
Kepatuhan Diet DM mempunyai

fungsi

yang

sangat

penting

yaitu

mempertahankan berat badan normal, menurunkan tekanan darah sistolik dan


diastolik, menurunkan kadar glukosa darah, memperbaiki profil lipid,
meningkatkan sensitivitas reseptor insulin dan memperbaiki sistem koagulasi
37

darah. Penelitian kasus kontrol di Texas oleh David dihasilkan ada hubungan
antara ketidakpatuhan diet dengan ulkus diabetika dengan odds ratio sebesar 16
(95 % CI : 8,3 21,6) (David, 1998).
k) Kurangnya aktivitas fisik
Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah,
menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga
akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali
maka akan mencegah komplikasi kronik Diabetes mellitus (Waspadji, 2009).
l) Pengobatan tidak teratur
Pengobatan rutin pada penderita Diabetes mellitus tipe I, menurut hasil penelitian
di Amerika Serikat dikutip oleh Minadiarly didapatkan bahwa pengobatan
intensif akan dapat mencegah dan menghambat timbulnya komplikasi khronik,
seperti ulkus diabetika (Misnadiarly, 2006).
m) Perawatan kaki tidak teratur
Perawatan kaki diabetisi yang teratur akan mencegah atau mengurangi terjadinya
komplikasi kronik pada kaki (Perkeni, 2011).
n) Penggunaan alas kaki tidak tepat
Diabetisi tidak boleh berjalan tanpa alas kaki karena tanpa menggunakan alas
kaki yang tepat memudahkan terjadi trauma yang mengakibatkan ulkus diabetika,
terutama apabila terjadi neuropati yang mengakibatkan sensasi rasa berkurang
atau hilang (William, 2003).
g. Penatalaksanaan ulkus diabetik
Manajemen ulkus diabetik dilakukan secara komprehensif melalui upaya; mengatasi
penyakit komorbid, menghilangkan/mengurangi tekanan beban (offloading),
menjaga luka agar selalu lembab (moist), penanganan infeksi, debridemen,
revaskularisasi dan tindakan bedah elektif, profilaktik, kuratif atau emergensi.
Penyakit DM melibatkan sistem multi organ yang akan mempengaruhi
penyembuhan luka. Hipertensi, hiperglikemia, hiperkolesterolemia, gangguan
kardiovaskular (stroke, penyakit jantung koroner), gangguan fungsi ginjal, dan
sebagainya harus dikendalikan.
Prinsip-prinsip perawatan ulkus kaki diabetes menurut Perkeni (2011) adalah
sebagai berikut;

38

Sumber: Perkeni, 2011.


1. Debridement
Tindakan debridemen merupakan salah satu terapi penting pada kasus ulkus
diabetika. Debridemen dapat didefinisikan sebagai upaya pembersihkan benda
asing dan jaringan nekrotik pada luka. Luka tidak akan sembuh apabila masih
didapatkan jaringan nekrotik, debris, calus, fistula/rongga yang memungkinkan
kuman berkembang. Setelah dilakukan debridemen luka harus diirigasi dengan
larutan garam fisiologis atau pembersih lain dan dilakukan dressing (kompres)
(Kruse et al, 2006).
Ada beberapa pilihan dalam tindakan debridemen, yaitu debridemen mekanik,
enzimatik, autolitik, biologik, debridemen bedah. Debridemen mekanik dilakukan
menggunakan irigasi luka cairan fisiolofis, ultrasonic laser, dan sebagainya,
dalam rangka untuk membersihkan jaringan nekrotik. Debridemen secara
enzimatik dilakukan dengan pemberian enzim eksogen secara topikal pada
permukaan lesi. Enzim tersebut akan menghancurkan residu residu protein.
Contohnya, kolagenasi akan melisikan kolagen dan elastin. Beberapa jenis
debridemen yang sering dipakai adalah papin, DNAse dan fibrinolisin (Kruse et
al, 2006).
Debridemen autolitik terjadi secara alami apabila seseorang terkena luka. Proses
ini melibatkan makrofag dan enzim proteolitik endogen yang secara alami akan
melisiskan jaringan nekrotik. Secara sintetis preparat hidrogel dan hydrocolloid
dapat menciptakan kondisi lingkungan yang optimal bagi fagosit tubuh dan
bertindak sebagai agent yang melisiskan jaringan nekrotik serta memacu proses
granulasi. Belatung (Lucilla serricata) yang disterilkan sering digunakan untuk

39

debridemen biologi. Belatung menghasilkan enzim yang dapat menghancurkan


jaringan nekrotik (Kruse et al, 2006).
Debridemen bedah merupakan jenis debridemen yang paling cepat dan efisien.
Tujuan debridemen bedah adalah untuk (1) mengevakuasi bakteri kontaminasi,
(2) mengangkat jaringan nekrotik sehingga dapat mempercepat penyembuhan, (3)
menghilangkan jaringan kalus, (4) mengurangi risiko infeksi lokal (Kruse et al,
2006).
2. Mengurangi beban tekanan (off loading)
Pada saat seseorang berjalan maka kaki mendapatkan beban yang besar. Pada
penderita DM yang mengalami neuropati permukaan plantar kaki mudah
mengalami luka atau luka menjadi sulit sembuh akibat tekanan beban tubuh
maupun iritasi kronis sepatu yang digunakan. Salah satu hal yang sangat penting
namun sampai kini tidak mendapatkan perhatian dalam perawatan kaki diabetik
adalah mengurangi atau menghilangkan beban pada kaki (off loading). Upaya off
loading berdasarkan penelitian terbukti dapat mempercepat kesembuhan ulkus.
Metode off loading yang sering digunakan adalah: mengurangi kecepatan saat
berjalan kaki, istirahat (bed rest), kursi roda, alas kaki, removable cast walker,
total contact cast, walker, sepatu boot ambulatory (Amnstrong et al, 2005).
Total contact cast merupakan metode off loading yang paling efektif
dibandingkan metode yang lain. Berdasarkan penelitian Amstrong TCC dapat
mengurangi tekanan pada luka secara signifikan dan memberikian kesembuhan
antara 73%-100%. TCC dirancang mengikuti bentuk kaki dan tungkai, dan
dirancang agar tekanan plantar kaki terdistribusi secara merata. Telapak kaki
bagian tengah diganjal dengan karet sehingga memberikan permukaan rata
dengan telapak kaki sisi depan dan belakang (tumit) (Amnstrong et al, 2005).
3. Perawatan luka
Perawatan luka modern menekankan metode moist wound healing atau menjaga
agar luka dalam keadaan lembab. Luka akan menjadi cepat sembuh apabila
eksudat dapat dikontrol, menjaga agar luka dalam keadaan lembab, luka tidak
lengket dengan bahan kompres, terhindar dari infeksi dan permeabel terhadap
gas. Tindakan dressing merupakan salah satu komponen penting dalam
mempercepat penyembuhan lesi. Prinsip dressing adalah bagaimana menciptakan
suasana dalam keadaan lembab sehingga dapat meminimalisasi trauma dan risiko
operasi. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam memilih
dressing yang akan digunakan, yaitu tipe ulkus, ada atau tidaknya eksudat, ada
tidaknya infeksi, kondisi kulit sekitar dan biaya. Ada beberapa jenis dressing yang
40

sering dipakai dalam perawatan luka, seperti: hydrocolloid, hydrogel, calcium


alginate, foam, kompres anti mikroba, dan sebagainya, seperti dapat dilihat pada
tabel (Frykberg et al, 2006).
Ovington memberikan pedoman dalam memilih dressing yang tepat dalam
menjaga keseimbangan kelembaban luka:
- Kompres harus mampu memberikan lingkungan luka yang lembab
- Gunakan penilaian klinis dalam memilih kompres untuk luka luka tertentu
-

yang akan diobati


Kompres yang digunakan mampu untuk menjaga tepi luka tetap kering selama

sambil tetap mempertahankan luka bersifat lembab


Kompres yang dipilih dapat mengendalikan eksudat dan tidak menyebabkan

maserasi pada luka


Kompres yang dipilih bersifat mudah digunakan dan yang bersifat tidak sering

diganti
Dalam menggunakan dressing, kompres dapat menjangkau rongga luka

sehingga dapat meminimalisasi invasi bakteri.


Semua kompres yang digunakan harus dipantau secara tepat.
Tabel perawatan luka menggunakan kompres atau terapi topikal

Sumber: (Frykberg et al, 2006).


4. Pengendalian infeksi
Pemberian antibitoka didasarkan pada hasil kultur kuman. Namun sebelum hasil
kultur dan sensitifitas kuman tersedia antibiotika harus segera diberikan secara
empiris pada kaki diabetik yang terinfeksi. Pada tabel 6 dapat dilihat antibiotika
yang disarankan pada kaki diabetik terinfeksi. Pada ulkus diabetika ringan/sedang
antibiotika yang diberikan di fokuskan pada patogen gram positif. Pada ulkus
terinfeksi yang berat (limb or life threatening infection) kuman lebih bersifat
polimikrobial (mencakup bakteri gram positif berbentuk coccus, gram negatif
41

berbentuk batang, dan bakteri anaerob) antibiotika harus bersifat broadspectrum,


diberikan secara injeksi. Pada infeksi berat yang bersifat limb threatening
infection

dapat

diberikan

ampicillin/sulbactam,

beberapa

alternatif

ticarcillin/clavulanate,

antibiotika

piperacillin/

seperti:

tazobactam,

Cefotaxime atau ceftazidime + clindamycin, fluoroquinolone + clindamycin.


Sementara pada infeksi berat yang bersifat life threatening infection dapat
diberikan beberapa alternatif antibiotika seperti berikut: ampicillin/sulbactam +
aztreonam,

piperacillin/tazobactam

metronbidazole+ceftazidime,

vancomycin,

imipenem/cilastatin

atau

vancomycin
fluoroquinolone

+
+

vancomycin + metronidazole. 18 Pada infeksi berat pemberian antibitoika


diberikan selama 2 minggu atau lebih (Lipsky et al, 2004).
Bila ulkus disertai osteomielitis penyembuhannya menjadi lebih lama dan sering
kambuh. Maka pengobatan osteomielitis di samping pemberian antibiotika juga
harus dilakukan reseksi bedah. Antibiotika diberikan secara empiris, melalui
parenteral selama 6 minggu dan kemudain dievaluasi kembali melalui foto
radiologi. Apabila jaringan nekrotik tulang telah direseksi sampai bersih
pemberian antibiotika dapat dipersingkat, biasanya memerlukan waktu 2 minggu.
Tabel antibiotik empiris yang disarankan pada ulkus kaki diabetik terinfeksi
(Lipsky et al, 2004).

Sumber: (Lipsky et al, 2004).


5. Revaskularisasi
Ulkus atau gangren kaki tidak akan sembuh atau bahkan kemudian hari akan
menyerang tempat lain apabila penyempitan pembuluh darah kaki tidak dilakukan
revaskularisasi. Tindakan debridemen, mengurangi beban, perawatan luka, tidak
akan memberikan hasil optimal apabila sumbatan di pembuluh darah tidak
42

dihilangkan. Tindakan endovaskular (angioplasti transluminal perkutaneus (ATP)


dan atherectomy) atau tindakan bedah vaskular dipilih berdasarkan jumlah dan
panjang arteri femoralis yang tersumbat. Bila oklusi terjadi di arteri femoralis satu
sisi dengan panjang atherosklerosis <15 cm tanpa melibatkan arteri politea, maka
tindakan yang dipilih adalah ATP. Namun lesi oklusi bersifat multipel dan
mengenai arteri poplitea/arteri tibialis maka tindakan yang direkomendasikan
adalah bedah vaskular (by pass). Berdasarkan penelitian revaskularisasi agresif
pada tungkai yang mengalami iskemia dapat menghindakan amputasi dalam
periode 3 tahun sebesar 98% (White, 2007).
6. Tindakan bedah
Jenis tindakan bedah pada kaki diabetika tergantung dari berat ringannya ulkus
DM. Tindakan bedah dapat berupa insisi dan drainage, debridemen, amputasi,
bedah revaskularisasi, bedah plastik atau bedah profilaktik. Intervensi bedah pada
kaki diabetika dapat digolongkan menjadi empat kelas I (elektif), kelas II
(profilaktif), kelas III (kuratif) dan kelas IV (emergensi). Tindakan elektif
ditujukan untuk menghilangkan nyeri akibat deformitas, seperti pada kelainan
spur tulang, hammertoes atau bunions. Tindakan bedah profilaktif diindikasikan
untuk mencegah terjadinya ulkus atau ulkus berulang pada pasien yang
mengalami neuropati. Prosedur rekonsktuksi yang dilakukan adalah melakukan
koreksi deformitas sendi, tulang atau tendon. Tindakan bedah kuratif
diindikasikan bila ulkus tidak sembuh dengan perawatan konservatif.Contoh
tindakan bedah kuratif adalah bila tindakan endovaskular (angioplasti dengan
menggunakan balon atau atherektomi) tidak berhasil maka perlu dilakukan bedah
vaskular (Frykberg et al, 2006).
Osteomielitis kronis merupakan indikasi bedah kuratif. Pada keadaan ini jaringan
tulang mati dan jaringan granulasi yang terinfeksi harus diangkat, sinus dan
rongga mati harus dihilangkan. Prosedur bedah ditujukan untuk menghilangkan
penekanan kronis yang mengganggu proses penyembuhan. Tindakan tersebut
dapat berupa exostectomy, artroplasti digital, sesamodectomy atau reseksi caput
metatarsal (Ansari, 2005).
Tindakan bedah emergensi paling sering dilakukan, yang diindikasikan untuk
menghambat atau menghentikan proses infeksi. Tindakan bedah emergensi dapat
berupa amputasi atau debridemen jaringan nekrotik. Dari sudut pandang seorang
ahli bedah, tindakan pembedahan ulkus terinfeksi dapat dibagi menjadi infeksi

43

yang tidak mengancam tungkai (grade 1 dan 2) dan infeksi yang mengancam
tungkai (grade 3 dan 4) (Frykberg et al, 2006).
Pada ulkus terinfeksi superfisial tindakan debridemen dilakukan dengan tujuan
untuk: drainage pus, mengangkat jaringan nekrotik, membersihkan jaringan yang
menghambat pertumbuhan jaringan, menilai luasnya lesi dan untuk mengambil
sampel kultur kuman. Tindakan amputasi dilakukan bila dijumpai adanya gas
gangren, jaringan terinfeksi, untuk menghentikan perluasan infeksi, mengangkat
bagian kaki yang mengalami ulkus berulang (Baal, 2004).
Komplikasi berat dari infeksi kaki pada pasien DM adalah fasciitis nekrotika dan
gas gangren. Pada keadaan demikian diperlukan tindakan bedah emergensi
berupa amputasi. Amputasi bertujuan untuk menghilangkan kondisi patologis
yang mengganggu fungsi, penyebab kecacatan atau menghilangkan penyebab
yang dapat mengancam jiwa sehingga rehabilitasi kemudian dapat dilakukan.
Indikasi amputasi pada kaki diabetika: (1) gangren terjadi akibat iskemia atau
nekrosis yang meluas, (2) infeksi yang tidak bisa dikendalikan, (3) ulkus resisten,
(4) osteomielitis, (5) amputasi jari kaki yang tidak berhasil, (6) bedah
revaskularisasi yang tidak berhasil, (7) trauma pada kaki, (8) Luka terbuka yang
terinfeksi pada ulkus diabetika akibat neuropati (ADA, 2003)..
h. Pencegahan ulkus diabetik
Menurut Waspadji (2009), pencegahan dan pengelolaan ulkus diabetik untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut adalah:
1. Memperbaiki kelainan vaskuler.
2. Memperbaiki sirkulasi.
3. Pengelolaan pada masalah yang timbul ( infeksi, dll).
4. Edukasi perawatan kaki.
5. Pemberian obat-obat yang tepat untuk infeksi (menurut hasil laboratorium
lengkap) dan obat vaskularisasi, obat untuk penurunan gula darah maupun
menghilangkan keluhan/gejala dan penyulit DM.
6. Olah raga teratur dan menjaga berat badan ideal.
7. Menghentikan kebiasaan merokok.
8. Merawat kaki secara teratur setiap hari, dengan cara :
- Selalu menjaga kaki dalam keadaan bersih.
- Membersihkan dan mencuci kaki setiap hari dengan air suam-suam kuku
dengan memakai sabun lembut dan mengeringkan dengan sempurna dan hati-

hati terutama diantara jari-jari kaki.


Memakai krem kaki yang baik pada kulit yang kering atau tumit yang retakretak, supaya kulit tetap mulus, dan jangan menggosok antara jari-jari kaki
(contoh: krem sorbolene).
44

Tidak memakai bedak, sebab ini akan menyebabkan kulit menjadi kering dan

retak-retak.
Menggunting kuku hanya boleh digunakan untuk memotong kuku kaki secara
lurus dan kemudian mengikir agar licin. Memotong kuku lebih mudah

dilakukan sesudah mandi, sewaktu kuku lembut.


Kuku kaki yang menusuk daging dan kalus, hendaknya diobati oleh podiatrist.
Jangan menggunakan pisau cukur atau pisau biasa, yang bisa tergelincir; dan
ini dapat menyebabkan luka pada kaki. Jangan menggunakan penutup

kornus/corns. Kornus-kornus ini seharusnya diobati hanya oleh podiatrist.


Memeriksa kaki dan celah kaki setiap hari apakah terdapat kalus, bula, luka

dan lecet.
- Menghindari penggunaan air panas atau bantal panas.
9. Penggunaan alas kaki tepat, dengan cara:
- Tidak boleh berjalan tanpa alas kaki, termasuk di pasir.
- Memakai sepatu yang sesuai atau sepatu khusus untuk kaki dan nyaman
-

dipakai.
Sebelum memakai sepatu, memerika sepatu terlebih dahulu, kalau ada batu
dan lain-lain, karena dapat menyebabkan iritasi/gangguan dan luka terhadap

kulit.
Sepatu harus terbuat dari kulit, kuat, pas (cukup ruang untuk ibu jari kaki) dan

tidak boleh dipakai tanpa kaus kaki.


Sepatu baru harus dipakai secara berangsur-angsur dan hati-hati.
Memakai kaus kaki yang bersih dan mengganti setiap hari.
Kaus kaki terbuat dari bahan wol atau katun. Jangan memakai bahan sintetis,

karena bahan ini menyebabkan kaki berkeringat.


- Memakai kaus kaki apabila kaki terasa dingin.
10. Menghindari trauma berulang, trauma dapat berupa fisik, kimia dan termis, yang
biasanya berkaitan dengan aktivitas atau jenis pekerjaan.
11. Menghidari pemakaian obat yang bersifat vasokonstriktor misalnya adrenalin,
nikotin.
12. Memeriksakan diri secara rutin ke dokter dan memeriksa kaki setiap kontrol
walaupun ulkus diabetik sudah sembuh.

45

BAB III
LAPORAN KASUS

A. Kasus.
a. Identitas pasien
Nama
Umur
Alamat
Pendidikan terakhir
Agama
Tanggal pemeriksaan
Ruangan

: Tn. Taslimah
: 51 tahun
: Labuan Jl. Trans Sulawesi
: SMP
: Islam
: 5-12-2013
: Seroja

b. Anamnesis
Keluhan utama: bengkak seluruh tubuh
Riwayat Penyakit Sekarang:
Keluhan sudah dirasakan sejak 1 minggu yang lalu. Bengkak mulai muncul dari kedua
kaki kemudian naik ke perut lalu kedua tangan dan wajah. Keluhan disertai dengan
luka di jempol kaki kanan, penglihatan kabur, kram di kedua kaki, lemas dan gatalgatal di kedua tangan. Luka di jempol jari kaki kanan sudah dirasakan sejak 2 bulan
yang lalu. Luka muncul saat pasien pasien sedang bekerja kemudian luka tidak
kunjung sembuh dan mulai membesar. Pasien mengeluh sering buang air kecil
terutama saat malam hari dan pasien selalu merasa haus. Sesak (-), nyeri pinggang (-).
Buang air besar frekuensi 2x/hari warna kuning konsistensi normal. Buang air kecil
warna jernih kekuningan. Konsumsi rokok (-), alkohol (-), NAPZA (-).
Riwayat Penyakit Terdahulu:
Riwayat hipertensi disangkal, riwayat diabetes mellitus (+) sudah sejak lama. Pasien
jarang kontrol ke dokter dan jarang minum obat. Riwayat penggunaan insulin (+).
Riwayat Penyakit Dalam Keluarga:
Ayah dan saudara perempuan pasien menderita penyakit diabetes mellitus
c. Pemeriksaan fisik
Keadaan umum:
SP: sakit sedang / kompos mentis / gizi lebih
BB: 55 kg
TB: 150 cm
IMT: 24,4 kg/m2

46

Vital Sign:
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 90 kali/menit, irama reguler, isi nadi pulsus magnus
Pernapasan: 20 kali/menit, pola pernapasan normal
Suhu axilla: 38 C
Pemeriksaan kepala
Kepala: bentuk normocephalus, deformitas (-), jejas (-), benjolan (-)
Rambut: warna hitam, distribusi normal
Wajah: tampak lemas, warna normal, edema (+), ruam (-), jejas (-)
Mata:

Palpebra: normal, edema (+), radang (-)

Konjungtiva: warna pucat, anemis (+)

Sklera: warna putih, ikterik (-)

Pupil: ukuran 3 mm, bentuk bulat, isokor, refleks pupil +/+

Kornea: arcus senilis (-)/(-)

Lensa: jernih, katarak (-)


Mulut:

Bibir: warna normal, kelembaban normal

Gigi: susunan normal, karies (-), oklusi (+)

Lidah: bentuk normal, warna merah muda, tremor (-)

Mukosa mulut: kesan normal, lesi (-), stomatitis (-)

Faring: warna merah muda, kesan normal

Tonsil: ukuran T1/T1


Hidung: bentuk simetris, deviasi (-), depresi (-), sekret (-), darah (-), benjolan (-)
Telinga: bentuk normal, warna normal, jejas (-), thopus (-)
Pemeriksaan leher
- Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
- Kelenjar getah bening: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
- Kelenjar tiroid: pembesaran (-), nyeri tekan (-)
- JVP: R + 0 H20
- Arteri karotis: Pulsasi teraba, frekuensi 90 x/m, reguler
- Trakea: deviasi (-).
Pemeriksaan paru-paru
- Inspeksi
Ekspansi dada simetris, retraksi otot interkosta (-), jejas (-), bentuk dada normal,
frekuensi napas 20x/m, jenis pernapasan thoraco-abdominal, pola pernapasan
-

kesan normal.
Palpasi
Pembesaran getah bening (-), ekspansi dada simetris, taktil fremitus simetris kanan
= kiri, nyeri tekan (-).
Perkusi
Bunyi sonor di semua lapang paru
Auskultasi
Suara napas vesikuler di kedua lapang paru kecuali di SIC I dan II
Suara napas bronchovesikuler di SIC I dan II
Suara napas bronchial di manubrium sterni
47

Suara napas tracheal di trakea


Suara napas tambahan (+), Ronkhi (+) di basal pulmo kiri, Whezzing (-).
Pemeriksaan jantung
- Inspeksi
Pulsasi di apeks jantung, trikuspid, aorta, dan pulmonal tidak terlihat
- Palpasi
Pulsasi di apeks teraba di linea midklavikula kiri 1 jari ke lateral.
Pulsasi di trikuspid, aorta dan pulmonal tidak teraba.
- Perkusi
Batas atas: SIC II linea sternalis kiri
Batas kiri: SIC V linea midklavikula kiri 1 jari ke lateral
Batas kanan: SIC V linea sternalis kanan
- Auskultasi
Bunyi jantung S1 dan S2 murni reguler, bunyi tambahan (-).
Pemeriksaan abdomen
- Inspeksi
Permukaan cembung, warna normal, simetris, benjolan (-)
- Auskultasi
Bunyi peristaltik usus terdengar, frekuensi normal. Bising aorta abdominal dan a.
-

Renalis tidak terdengar


Perkusi
Bunyi tympani (+) di 4 kuadran. Sifthing dullness (+). Ukuran lobus hepar dextra 8

cm, ukuran lobus hepar sinistra 6 cm. Pembesaran lien (-)


Palpasi
Nyeri tekan (-). Palpasi hepar tidak teraba. Palpasi lien tidak teraba. Palpasi ginjal
tidak teraba, nyeri tekan (-). Nyeri ketok ginjal -/-

Pemeriksaan anggota gerak


1. Atas
- Kulit: warna normal, kelembaban normal, edema (+), akral hangat, fungsi
sensorik normal
- Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
- Sendi: luas pergerakan normal, nyeri tekan (-)
2. Bawah
- Kulit: warna normal, kelembaban menurun, edema (+), akral hangat, ulkus di
hallux dextra, diameter 7 cm, kedalaman 0,5 cm, kalus di plantar pedis
-

sinistra, fungsi sensorik hipestesi (+) kanan dan kiri


Otot: bentuk eutrofi, tonus normal, kekuatan otot 5/5
Sendi: luas pergerakan normal, nyeri tekan (-),

48

Pemeriksaan khusus:
Pemeriksaan Ankle-Brachial Index (ABI):
Kanan = 90/110 = 0,81
Kiri = 90/100 = 0,90
d. Resume
50 tahun dengan edema anasarka (+) sejak 1 minggu lalu. Disertai ulkus diabetik
hallux dextra (+) sejak 2 bulan lalu, penglihatan kabur (+), pruritus (+), neuropati
perifer (+), polidipsia (+), poliuria (+), polifagia (-), lemas (+). Riwayat DM (+),
Riwayat keluarga (+).
IMT: 24,4 kg/m2
Vital Sign:
Tekanan darah: 110/60 mmHg
Nadi: 90 kali/menit, irama reguler, isi nadi pulsus magnus
Pernapasan: 20 kali/menit, pola pernapasan normal
Suhu axilla: 38 C
Pemeriksaan kepala: edema wajah (+), konjungtiva anemis (+)
Pemeriksaan paru: auskultasi ronkhi (+) basal pulmo kiri
Pemeriksaan jantung: cardiomegali
Pemeriksaan abdomen: asites (+)
Pemeriksaan ekstremitas: kelembaban menurun, edema (+), ulkus diabetes di hallux
dextra, diameter 7 cm, kedalaman 0,5 cm, kalus di plantar pedis sinistra, fungsi
sensorik hipestesi (+) kanan dan kiri
Pemeriksaan Ankle-Brachial Index: kanan = 90/110 = 0,81
e. Diagnosis kerja
1. Edema anasarka ec Cronic Heart Failure
2. Ulkus diabetik ec diabetes mellitus tipe II
f. Diagnosis banding
DD edema anasarka ec: Sindroma nefrotik
Sirosis Hepar
g. Penatalaksanaan
49

Non medikamentosa
1. Tirah baring
2. Edukasi meliputi pemahaman tentang penyakit DM, perlunya pengendalian dan
pemantauan DM, penyulit DM, intervensi farmakologis dan non-farmakologis,
hipoglikemia, masalah khusus yang dihadapi dan lain-lain.
3. Perencanaan makan
Berat badan idaman = 90% x (TB dalam cm 100) x 1 kg
= 90% x (150 -100) x 1 kg
= 45 kg
Indeks massa tubuh = 24,4 kg/m2
Jumlah kalori basal per hari:
Wanita = 25 kal x BB idaman
= 25 kal x 45 kg
= 1125 kalori
Penyesuaian
- Umur: rentang 40 59 tahun, kalori dikurangi 5% = -56,25 kalori
- Aktivitas fisik atau pekerjaan: aktivitas istirahat kalori ditambah 10% =
-

+112,5 kalori
Berat badan: BB lebih kalori dikurangi 5% = -56,25 kalori
Stress metabolik (infeksi): kalori ditambah 10% 30% = +112,5 337,5

kalori
Sehingga jumlah kalori total per hari adalah 1350 sampai 1575 kalori/hari.
Makanan sejumlah kalori tersebut dibagi dalam 3 porsi besar untuk makan pagi
(20%), siang (30%), dan sore (25%), serta 2-3 porsi makanan ringan (10-15%)
diantaranya.
4. Diet rendah kolesterol <600 mg/hari, diet rendah garam, restriksi protein dengan
diet protein 0,8 gram/kgBB ideal/hari dan restriksi cairan
-

Medikamentosa
1. Diuretik: Golongan loop diuretik: Furosemid injeksi 20 mg/8 jam
2. Injeksi Insulin
Insulin harian total (IHT)
= 0,5 unit x BB
= 0,5 unit x 55 kg
= 27,5 unit
Insulin prandial total (IPT)
= 60% x IHT
= 60% x 27,5 unit
= 16,5 unit
Dosis sarapan
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Dosis makan siang
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Dosis makan malam
= 1/3 x IPT = 1/3 x 16,5 = 5,5 unit
Insulin basal total (IBT)
= 40% x IHT
= 40% x 27,5 unit
= 11 unit

50

Sehingga dosis insulin analog rapid acting yaitu insulin aspart (novorapid)
adalah 3x 5,5 unit/hari. Dosis insulin long acting yaitu insulin detemir (levemir)
adalah 11 unit/hari.
3. Obat hipoglikemik oral: golongan metformin 500 mg 3x1 bersama/sesudah
makan
4. Antibiotik golongan sefalosporin (ceftriaxon inj 1 gram/8 jam) dan antibiotik
golongan lain (metronidazole infus 500 mg/8 jam)
5. Obat golongan kortikosteroid: Dexametasone 0,5 mg 3x1
h. Pemeriksaan penujang
1. Laboratorium
RBC
: 2,48 x 1012/L (3,5 6,0)
Hb
: 7,0 g/dl (11,5 - 16,5)
MCV
: 81,9 fl (75 100)
MCH
: 28,4 pg (25 35)
MCHC
: 34,7 g/dl (31 38)
WBC
: 26,9 x 109/L (3,5 10)
PLT
: 244 x 109/L (150 400)
Albumin : 2,28 g/dl (3,5 5,2)
Glukosa : 369 mg/dl (70 200)
Ureum
: 29 mg/dl (8 53)
Kreatinin : 0,8 mg/dl (0,6 1,2)
2. Radiologi
Foto Thorax PA: Pleuropneumonia paru kiri bawah parahiler ec KP belum
disingkirkan dan Cardiomegali dengan CHF
3. EKG
Irama sinus ritmik, frekuensi 90 x/menit, axis LAD (-60), P wave normal, PR
segment 0,16 s, durasi QRS 0,08 s, ST segmen normal, T wave inverted di aVR,
V1, V4, V5, V6, U wave tidak ada.
i. Follow up
Tanggal
6-12-2013

Follow up
S:
bengkak di seluruh tubuh, luka di ibu jari kaki, dan penglihatan kabur
O:
edema anasarka, ulkus diabetik
TD: 120/70 mmHg, N: 70 x/m, R: 19 x/m, S: 37,5 C
GDS: 369 mg/dl
A:
Edema anasarka + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
IVFD RL Life line
51

Novorapid 3 x 16 IU/SC
Ranitidin 1 amp/12 jam
Ketorolac 1 amp/8 jam
Ceftriaxon 1 gram/12 jam
Farsix 1amp/12 jam
Metronidazole 0,5 mg/12 jam
S:
Bengkak seluruh tubuh, luka di ibu jari kaki, gatal-gatal di kedua
tangan dan penglihatan kabur
O:
Edema anasarka, ulkus diabetik
TD: 110/70 mmHg, N: 75 x/m, R: 17 x/m, S: 37 C
GDS: 263 mg/dl
7-12-2013

A:
Edema anasarka + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Novorapid 3 x 16 IU/SC
Dexametason 5mg/12 jam
Interhistin 50 mg 3x1
Ceftriaxon 1 gram/12 jam
Farsix 1amp/12 jam

9-12-2013

Metronidazole 0,5 mg/12 jam


S:
Batuk, sakit ulu hati, gatal di kedua tangan
O:
Bengkak berkurang
TD: 110/70 N: 80 x/m R: 16 x/m S: 36,5 C
GDS: 118 mg/dl
A:
CHF + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Spironolacton 25 mg 2x1
Ambroxol 30 mg 3x1
Omeprazole 20 mg 1x1
52

Dexametason 0,5 mg 2x1


Nocid 10 mg 3x2
S:
Keluhan tidak ada
O:
TD: 120/80, N: 80x/m R: 17 x/m S: 36,5 C
GDS: 447 mg/dl
10-12-2013

A:
CHF + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Metformin 500 mg 1-1-0
Novorapid 3x6 IU/SC
Nocid 10 mg 3x2
S:
Tidak ada keluhan
O:
TD: 120/70, N: 75x/m R: 17 x/m S: 36,5 C

11-12-2013

GDS: 265 mg/dl


A:
CHF + Ulkus diabetik + DM tipe II
P:
Metformin 500 mg 1-1-0
Novorapid 3x6 IU/SC

B. Pembahasan

53

54

DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association. 2003. Preventive care in people with diabetes. Diabetes
Care; 26:S78-S79.
Amstrong, D., Lavery, L., Wu, S., et al, 2005. Evaluation of removable and irremovable cast
walkers in the healing of diabetic foot wounds. Diabetes Care; 28:551-4.
Ansari, M., Shukla, V., 2005. Foot infections. Lower Extremity Wounds; 4(2):74-87.
Baal, J., 2004. Surgical treatment of the infected diabetic foot. Clin Infect Dis; 39 (Suppl 2):
S123-128.
Bode, B., Braihwaite, S., Steed, R., Davidson, C., 2004. Intravenous insulin infusion therapy:
indications methods, and transition to subcutaneous insulin therapy. ACE inpatient
diabetes and metabolic control concensus conference. Endocr Pract; 10 (Suppl 2): 7180.
Boulton AJ, 2002. The Diabetic Foot. Blackweel Publising.
Bustan, M, 1999. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta, Jakarta.
Cheng, A., Zinman, B., Khan, C., et al. (Eds),2005.. Joslins Diabetes Mellitus. Fourth
Edition. Lipincott Williams & Wilkins. Philadelphia.
Darmono. Pola Hidup Sehat Penderita Diabetes Mellitus. Dalam : Darmono, et al, editors,
2007. Naskah Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam
dalam rangka Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas
Diponegoro Semarang. p.15-30.
Frykberb & Robert, G., 2002. Risk Factor, Pathogenesis and Management of Diabetic Foot
Ulcers, Des Moines University, Iowa.
Frykberg, R., Zgonis, T., Armstrong, D., et al. 2006. Diabetic foot disorders: a clinical
practice guideline. American College of Foot and Ankle Surgeons. J Foot Ankle Surg;
39:S1-66.
Green, R., 1997. Pathology and Theurapeutic for Pharmacits : a Basic for Clinical
Pharmacy Practice. Chapman and Hill, London.
Hadisaputro, S., Setyawan, H., Epidemiologi dan Faktor-Faktor Risiko Terjadinya Diabetes
Mellitus tipe 2. Dalam : Darmono, et al, editors, 2007. Naskah Lengkap Diabetes
mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka Purna Tugas Prof
Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Semarang. p.133154.
Hirsch, I., 2005. Insulin Analog. N Engl J Med; 352: 174-183.
Ketut, S., Djoko, W., Asdie., John, A., Sidartawan, S., Asman, M., Karel, P., Alfien, S.,
Pradana, S., Soebagijo, A., Agus, S., Yunie, E., Made, R., 2007. Petunjuk Praktis Terapi

55

Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus. Persatuan Dokter Ahli Penyakit Dalam
Indonesia.
Kruse, I., Edelman, S., 2006. Evaluation and treatment of diabetic foot ulcers. Clin Diabetes;
24:91-3.
Kusuma, A., 2000. Hubungan antara terjadinya neuropati diabetika dengan lamanya
menderita DM di RSUD DR. Moewardi Surakarta. Fakultas Kedokteran Surakarta.
Levin, M., 2001. Pathogenesis and General Management of Foot Lesions in the Diabetic
Patients. Dalam : Levin ME, editors. The Diabetic Food, Edisi 6, St Louis, The CV
Mosby Company.
Lipsky, B., Berendt, A., Deery, H., et al. 2004. Diagnosis and treatment of diabetic foot
infections. Clin Infect Dis; 39:885-910
Misnadiarly, 2006. Diabetes Mellitus : Ulcer, Infeksi, Ganggren. Penerbit Populer Obor,
Jakarta.
PERKENI, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Mellitus Tipe 2 di
Indonesia.
Peter, J., 2014. Prevalence of Diabetes Worldwide. Accessed 7 January 2014. Availabe from
http://www.who.int/entists/diabetes/facts/en
Reynold, F., The Diabetic Food, ABC of Diabetic Accessed 9 Januari 2014. Available from
<http:/www. Japmoanline.org/search.dtl>.
Riyanto, B., 2007. Infeksi pada Kaki Diabetik. Dalam : Darmono, dkk, editors. Naskah
Lengkap Diabetes Mellitus Ditinjau dari Berbagai Aspek Penyakit dalam dalam rangka
Purna Tugas Prof Dr.dr.RJ Djokomoeljanto. Badan Penerbit Universitas Diponegoro
Semarang. p.15-30.
Sapico, F. Food Ulcer in Patients with Diabetes Mellitus, Journal of American Podiatric
Medical Association, Vol 79, Issue 482-485, Accessed 12 Januari 2014. Available from
http://www.bmj.com/cgi/feedback.
Slater, R., Ramot, Y., Rapoport, M., 2001. Diabetic foot ulcers: principles of assessment and
treatment. IMAJ; 3:59 62.
Suharjo, J., 2007. Manajemen Ulkus Kaki Diabetik. Dexa Medica. No. 3, Vol. 20.
Suyono, S., 2009. Masalah Diabetes di Indonesia. Dalam : Aru W, dkk, editors, Ilmu
Penyakit Dalam, Jilid I, Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
Van den Berghe, G., Wouters, P., Weekers, F., et al. 2001. Intensive insulin therapy in
critically ill patients. N Engl J Med 345: 1359-1367, .
Waspadji, S., 2009. Komplikasi kronik Diabetes : Mekanisme Terjadinya, Diagnosis dan
Strategi pengelolaan. Dalam : Aru W, et al, editors, 2009. Ilmu Penyakit Dalam, Jilid
III, Edisi V, Interna Publishing, Jakarta.
White, C., 2007. Intermittent claudication. New Engl J Med; 356:1241-50.

56

William, C., 2003. The Diabetic Foot, In ( Ellenberg, Rifkins, eds), Diabetes Mellitus, Sixth
Edision, USA.

57

You might also like