You are on page 1of 37

LAPORAN KASUS ANESTESI

EKEK + IOL DENGAN GENERAL ANESTESI INHALASI

Disusun oleh:
Rizqon Rohmatussadeli
01.211.6515

Pembimbing:
dr. Endang Widyastuti, Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG
RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO
SEMARANG
2015
HALAMAN PENGESAHAN

NAMA

: LUTFAN ADI PRASETYO


0

NIM

: 01.211.6436

FAKULTAS

: KEDOKTERAN UMUM

UNIVERSITAS

: UNIVERSITAS

ISLAM

SULTAN

AGUNG

SEMARANG
BIDANG PENDIDIKAN : ANESTESI
PEMBIMBING

: dr. Endang Widyastuti, Sp.An

Telah diperiksa dan disahkan pada tanggal

Agustus 2015

Pembimbing,

(dr. Endang Widyastuti, Sp.An )

DAFTAR MASALAH
No Masalah aktif Tanggal
Ket
No Masalah pasif Tanggal
1
Katarak
20/08/2015 Elektif

Ket

LAPORAN KASUS
STATUS PENDERITA
1. Identitas Pasien
Nama
Umur
Agama
Pekerjaan
Status
No RM
Tanggal masuk
Perawatan
Pasien bangsal

: Ny. P
: 57 th/11 bl/11 hr
: Islam
:: Menikah
: 47-83-86
: 18 Agustus 2015
: Hari ke-1
: Amarilis 1

2. Keluhan Utama
Penglihatan mata kanan tidak jelas
2.1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien dibawa ke IGD RSUD dr. Adhyatma, MPH Tugurejo pada
tanggal 18 Agustus 2015, karena penglihatan mata kanan tidak jelas.
Keluhan tersebut sudah dirasakan sejak 1 bulan dan semakin
memburuk.
2.2. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat penyakit yang sama : disangkal
2. Riwayat penyakit jantung : disangkal
3. Riwayat penyakit paru
: disangkal
4. Riwayat DM
: disangkal
5. Riwayat kejang
: disangkal
6. Riwayat alergi obat
: disangkal
7. Riwayat Hipertensi
: disangkal
2.3. Riwayat Penyakit Keluarga
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Riwayat penyakit yang sama


Riwayat penyakit jantung
Riwayat penyakit paru
Riwayat DM
Riwayat stroke
Riwayat kejang
Riwayat Hipertensi

: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal
: disangkal

2.4. Riwayat Pribadi


3

1. Riwayat merokok
2. Riwayat komsumsi alcohol
3. Riwayat minum jamu

: disangkal
: disangkal
: disangkal

3. Persiapan Pre Operasi


3.1 Anamnesis ( 19Agustus 2015)
A (Allergy)
: Tidak ada riwayat alergi obat-obatan, makanan
M (Medication)
P (Past Illnes)
L (Last meal)
E (Environment)

:
:
:
:

dan penyakit
Dexamethason 5 mg
Riwayat DM (-), HT (-), asma (-)
EKEK + IOL

3.2. Pemeriksaan Fisik Pre-operasi (19 Agustus 2015)


Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
Suhu
TB
BB

: 169/90 mmHg
: 82 x/menit
: 16 x/menit
: 99 %
: 36,7oC
: 150 cm
: 50 Kg

Jantung

: dbn

Paru

: dbn

Mulut, gigi daan jalan nafas

: dbn

Ekstremitas

: dbn

Genitalia

: dbn

Lain lain

:dbn

Pemeriksaan Penunjang (2 Juni 2015)


HEMATOLOGI
Darah rutin (WB EDTA)
1. Leukosit
2. Eritrosit
3. Hemoglobin
4. Hematocrit
5. MCV
6. MCH

Nilai Normal
: 8,98 10 /uL
3,6-11 103/uL
3
: 4,18 10 /uL 3,8-5,2 103/uL
: 11,90 g/dL
11,7-15,5 g/dL
: 34,30 %
(L)
35-47 %
: 82,10 fL
80-100 fL
: 28,50 pg
26-34 pg
3

7. MCHC
8. Trombosit

: 34,70 g/dL
: 291 103 /uL

/uL
9. RDW
: 12,20 %
10. Diff Count
a. Eosinophil absolute : 0,33 103 /uL
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.

103 /uL
Basophil absolute
Netrofil absolute
Limfosit absolute
Monosit absolute
Eosinophil
Basophil
Neutrophil
Limfosit
Monosit

: 0,06 103 /uL


: 4,89 103 /uL
: 3,11 103 /uL
: 0,59 103 /uL
: 3,79 %
: 0,70 %
: 54,40 %
: 34,60 %
: 6,60 %

32-36 g/dl
150-400 103
11,5-14,5 %
0,045-

0,44

0-0,2 103 /uL


1,8-8 103 /uL
0,9-5,2 103 /uL
0,16-1 103 /uL
2-4 %
0-1 %
50-70 %
25-40 %
2-8 %

KIMIA KLINIK(SERUM B)
1. Kalium
4,20
mmol/L
3,50-5,0 mmol/L
2. SGOT
15 U/L
0-35
3. SGPT
11 U/L
0-35
4. Ureum
42,0 mg/dL
10,0-50,0
5. Creatinin
1,19 md/dL
0,60-0,90
6. Chlorida
106 mmol/mL
95,0-105
7. Natrium
140 mol/L
135 - 145
8. Creatinin
1,19 md/dL
0,60-0,90
9. GDS
131 mg/dL
<125
Tes HBsAg : (-)
4. Laporan Anesthesi Durante Operasi
Tindakan operasi
: KEK + IOL
Jenis anestesi
: General Anestesi Inhalasi
Lama anestesi
: 08.00 09.20
Lama operasi
: 08.40 09.15 WIB
Premedikasi
: Sulfas Atropin 0,25 mg (I.V)
Ondancetron 4mg (I.V)
Induksi
: Atracurium 25 mg (I.V)
Propofol 200 mg (I.V)
Maintenance
Adjuvantia
Terapi cairan

: O2 4 L/menit
N2O 2 L/menit
Sevofluran 1 %
: Ketorolac 30 mg IV
Tramadol 100 mg drip
: RL 20 tpm

Post operasi

:Selesai operasi pasien dipindahkan ke recovery

room
4.1 Tindakan Anestesi Genaral Anestesi Inhalasi

Pasien diposisikan supinasi atau terlentang, dilakukan pemasangan


manset dan oximeter untuk monitoring dan penilaian kondisi
umum awal, cairan di ganti jenis RL. Injeksi obat premedikasi

ondancetron 4mg i.v , Sulfa Atropin 0,25 mg i.v


Kemudian siapkan spuit 10 ml, masukkan propofol 200 mg untuk

induksi.
Pemberian Sevoflurane 8 % menggunakan sungkup
dilakukan pemasangan ET untuk menjaga patensi jalan nafas serta
ventilasi positif pada pasien tersebut serta memudahkan untuk

memberikan anestesi inhalasi O2 : N20 adalah 60%:40%


Kemudian posisi pasien diatur pada posisi operasi / tindakan
selanjutnya.

4.2 Pemberian Cairan


Cairan masuk
Pre operatif : RL 500 cc
Durante operatif : RL 500 cc
Cairan keluar
Perdarahan :Pasca Bedah di Recovery Room (RR)
Recovery Room

Masuk jam
Pulang jam

: 09.20 WIB
: 09.55 WIB

Keadaan Umum

: Baik

Respon Kesadaran

: Terjaga

Status mental

: Sadar penuh

Jalan nafas

: Nasal

Pernafasan

: Teratur

Terapi Oksigen

: Nasal Canul

Sirkulasi anggota badan: Merah muda


6

Kulit

: Hangat

Posisi Pasien

: Supinasi

Nadi

: Teratur

Infus

: RL

Tanda Vital

TD
Nadi
RR
SaO2
Suhu
TB
BB

: 169/90 mmHg
: 82 x/menit
: 16 x/menit
: 99 %
: 36,7oC
: 150 cm
: 50 Kg

Instruksi Post Operasi Dengan General Anestesi Inhalasi


o Sadar penuh, mual (-), muntah (-), makan dan minum bertahap
o Oksigen 2 liter/menit
o Monitor KU dan hemodinamik
o Cek Hb Post Operasi

Infus : RL 20 tpm
Inj. Ketolorac 3 x 30 mg iv bila nyeri mulai jam 17.00 WIB

10

PEMBAHASAN
1. Pre Operatif
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk
dilakukan persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya
kecelakaan anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus
dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang
akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat
kelainan yang berhubungan dengan anestesi seperti adanya riwayat hipertensi,
asma, alergi, atau decompensasi cordis. Selain itu, dengan mengetahui
keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara
anestesi dan pilihan obat yang tepat pada pasien. Kunjungan pre operasi pada
pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Evaluasi pre operasi meliputi history taking (AMPLE), pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan laboratorium yang berhubungan. Evaluasi tersebut juga harus
dilengkapi klasifikasi status fisik pasien berdasarkan skala ASA. Operasi yang
elektif dan anestesi lebih baik tidak dilanjutkan sampai pasien mencapai
kondisi medis optimal. Selanjutnya dokter anestesi harus menjelaskan dan
mendiskusikan kepada pasien tentang manajemen anestesi yang akan
dilakukan, hal ini tercermin dalam inform consent.
History taking bisa dimulai dengan menanyakan adakah riwayat alergi
terhadap makanan dan obat-obatan, alergi (manifestasi dispneu atau skin rash)
harus dibedakan dengan intoleransi (biasanya manifestasi gastrointestinal).
Riwayat penyakit sekarang dan dahulu juga harus digali begitu juga riwayat
pengobatan (termasuk obat herbal), karena adanya potensi terjadi interaksi
obat dengan agen anestesi. Riwayat operasi dan anestesi sebelumnya bisa
menunjukkan komplikasi anestesi bila ada. Pertanyaan tentang review sistem
organ juga penting untuk mengidentifikasi penyakit atau masalah medis lain
yang belum terdiagnosa.
Pemeriksaan fisik dan history taking melengkapi satu sama lain.
Pemeriksaan fisik dapat membantu mendeteksi abnormalitas yang tidak
muncul

pada

history

taking,

sedangkan

history

taking

membantu
11

memfokuskan pemeriksaan pada sistem organ tertentu yang harus diperiksa


dengan teliti. Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang sehat dan
asimtomatik setidaknya meliputi tanda-tanda vital (tekanan darah, heart rate,
respiratory rate, suhu) dan pemeriksaan airway, jantung, paru-paru, dan system
musculoskeletal. Pemeriksaan neurologis juga penting terutama pada anestesi
regional sehingga bisa diketahui bila ada defisit neurologis sebelum diakukan
anestesi regional.
Pentingnya pemeriksaan airway tidak boleh diremehkan. Pemeriksaan
gigi geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar, leher pendek dan kaku
sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan dalam melakukan
intubasi. Kesesuaian masker untuk anestesi yang jelek harus sudah
diperkirakan pada pasien dengan abnomalitas wajah yang signifikan.
Mikrognatia (jarak pendek antara dagu dengan tulang hyoid), insisivus bawah
yang

besar,

makroglosia,

Range

of

Motion

yang

terbatas

dari

Temporomandibular Joint atau vertebrae servikal, leher yang pendek


mengindikasikan bisa terjadi kesulitan untuk dilakukan intubasi trakeal.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak direkomendasikan pada pasien
yang sehat dan asimtomatik bila history taking dan pemeriksaan fisik gagal
mendeteksi adanya abnormalitas. Namun, karena legitimasi hukum banyak
dokter yang tetap memeriksa kadar hematokrit atau hemoglobin, urinalisis,
serum elekrolit, tes koagulasi, elektrokardiogram, dan foto polos toraks pada
semua pasien.
Klasifikasi status fisik ASA bukan alat perkiraan risiko anestesi, karena
efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan dari efek samping pembedahan.
Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori ke-6 selanjutnya
ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Status fisik
ASA secara umum juga berhubungan dengan tingkat mortalitas perioperatif.
Karena underlying disease hanyalah satu dari banyak faktor yang
berkontribusi terhadap komplikasi periopertif, maka tidak mengherankan
apabila hubungan ini tidak sempurna. Meskipun begitu, klasifikasi status fisik

12

ASA tetap berguna dalam perencanaan manajemen anestesi, terutama teknik


monitoring.
Klasifikasi Status Fisik ASA
Kelas I

: Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.

Kelas II

: Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang,


tanpa limitasi aktivitas sehari-hari.

Kelas III

: Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi


aktivitas normal.

Kelas IV

: Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan


memerlukan terapi intensif, dengan limitasi serius pada
aktivitas sehari-hari.

Kelas V

: Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan


atau tanpa pembedahan.

Masukan Oral
Reflek laring mengalami penurunan selama anestesi. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan nafas merupakan resiko utama
pada pasien yang menjalani anestesi. Untuk meminimalkan risiko tersebut,
semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesi harus
dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesi.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan
pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum
induksi anestesi. Minuman bening, air putih, teh manis sampai 3 jam dan
untuk keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh I jam
sebelum induksi anesthesia.
Terapi Cairan
Terapi cairan perioperatif termasuk penggantian defisit cairan
sebelumnya, kebutuhan maintenance dan luka operasi seperti pendarahan.
Dengan tidak adanya intake oral, defisit cairan dan elektrolit bisa terjadi cepat
karena terjadinya pembentukan urin, sekresi gastrointestinal, keringat dan

13

insensible losses yang terus menerus dari kulit dan paru. Kebutuhan
maintenance normal dapat diperkirakan dari tabel dibawah:
Kebutuhan Cairan Selama Operasi
Jenis Operasi
Ringan
Sedang
Berat

Kebutuhan Cairan Selama Operasi


4 cc/kgBB/jam
6 cc/kgBB/jam
8 cc/kgBB/jam

Pasien yang puasa tanpa intake cairan sebelum operasi akan


mengalami deficit cairan karena durasi puasa. Defisit bisa dihitung dengan
mengalikan kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa.
Penggantian Cairan Selama Puasa

50 % selama jam I operasi

25 % selama jam II operasi

25 % selama jam III operasi

Transfusi darah
Transfusi darah umumnya > 50 % diberikan pada saat perioperasi dengan
tujuan umtuk menaikkan kapasitas pengangkutan oksigen dan volume
intravaskular. Kalau hanya menaikkan volum intravaskular cukup dengan
koloid ataupun kristaloid.
Indikasi transfusi darah ialah :

Perdarahan akut sampai Hb < 8gr % atau Ht < 30 %, pada orang tua
kelainan paru atau kelainan jantung Hb < 10 g/dl

Bedah mayor kehilangan darah > 20 % volum darah

Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anestesi
dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun dari
anesthesia diantaranya:
14

Meredakan kecemasan dan ketakutan


Memperlancar induksi anesthesia
Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus
Meminimalkan jumlah obat anestetik
Mengurangi mual muntah pasca bedah
Menciptakan amnesia
Mengurangi isi cairan lambung
Mengurangi reflek yang membahayakan
Pada pasien ini diberikan obat premedikasi berupa inj. Ondansetron 4mg/ml.
Ondansetron ialah suatu antagonis 5-HT3 yang sangat selektif yang dapat
menekan mual dan muntah.
2. Durante Operasi
Induksi Anestesi
Induksi anestesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak
sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan.
Induksi anestesia dapat dikerjakan dengan secara intravena, intramuskular,
atau rektal. Setekah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung dilanjutkan
dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan pembedahan selesai. Sebelum
induksi kita siapakan alat-alat STATICS untuk mengantisipasi bila terjadi
kegawatan :
Scope

: Stetoscope dan laringo-Scope

Tubes

: Pipa trakea sesuai usia

Airway

: Pipa mulut-faring (OPA) atau pipa hidung-faring (NPA)

Tape

: Plester

Introducer : Mandrin atau stylet


Connector : penyambung pipa dengan alat anestesi
Suction

: Penyedot leher

15

Induksi Intravena
Induksi Intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah
terpasang jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi
disuntikkan dengan kecepatan antara 30-60 detik. Dosis induksi :
Tiopental (Tiopenton) : Kepekatan 2,5 % dosis 3-7 mg/kgBB, dosis rendah
pada manula.
Propofol (Recofol) : kepekatan 1 % dosis 2-2,5 mg/kgBB.
Ketamin (Ketalar) : dosis 1-2 mg/kgBB.
Induksi intramuskular
Sampai sekarang hanya ketamin yang dapat diberikan IM dengan dosis 5-7
mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
Induksi Inhalasi
Dengan halotan atau sevofluran yang digunakan pada bayi atau anak-anak
maupun dewasa yang takut pada suntikan.
Bila halotan diberikan butuh pendorong O2 atau campuran O2 dan N2O.
Induksi dimulai dengan aliran O2 > 4 liter/menit atau campuran N 2O : O2 = 3 :
1 aliran > 4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5% sampai konsentrasi yang
dibutuhkan. Bila memakai sevofluran diberi dengan konsentrasi 8%.
JENIS-JENIS ANESTESI INTRAVENA
1. Propofol ( 2,6 diisopropylphenol )
Merupakan derivat fenol yang banyak digunakan sebagai anastesia
intravena dan lebih dikenal dengan nama dagang Diprivan. Pertama kali
digunakan dalam praktek anestesi pada tahun 1977 sebagai obat induksi.
Propofol digunakan untuk induksi dan pemeliharaan dalam
anastesia umum, pada pasien dewasa dan pasien anak anak usia lebih
dari 3 tahun. Mengandung lecitin, glycerol dan minyak soybean,
sedangkan

pertumbuhan

kuman

dihambat

oleh

adanya

asam

etilendiamintetraasetat atau sulfat, hal tersebut sangat tergantung pada


16

pabrik pembuat obatnya. Obat ini dikemas dalam cairan emulsi lemak
berwarna putih susu bersifat isotonik dengan kepekatan 1 % (1 ml = 10
mg) dan pH 7-8 Obat ini juga kompatibel dengan D5W.
1.1 Mekanisme kerja
Mekanisme kerjanya sampai saat ini masih kurang diketahui,
tapi diperkirakan efek primernya berlangsung di reseptor GABA A
(Gamma Amino Butired Acid).
1.2 Farmakokinetik
Digunakan secara intravena dan bersifat lipofilik dimana 98%
terikat protein plasma, eliminasi dari obat ini terjadi di hepar menjadi
suatu metabolit tidak aktif, waktu paruh propofol diperkirakan berkisar
antara 2 24 jam. Namun dalam kenyataanya di klinis jauh lebih
pendek karena propofol didistribusikan secara cepat ke jaringan tepi.
Dosis induksi cepat menyebabkan sedasi ( rata rata 30 45 detik )
dan kecepatan untuk pulih juga relatif singkat. Satu ampul 20ml
mengandung propofol 10mg/ml. Popofol bersifat hipnotik murni tanpa
disertai efek analgetik ataupun relaksasi otot.
1.3 Farmakodinamik
Pada sistem saraf pusat
Dosis induksi menyebabkan pasien tidak sadar, dimana dalam
dosis yang kecil dapat menimbulkan efek sedasi, tanpa disertai efek
analgetik, pada pemberian dosis induksi (2mg/kgBB) pemulihan
kesadaran berlangsung cepat. Dapat menyebabkan perubahan mood
tapi tidak sehebat thiopental. Dapat menurunkan tekanan intrakranial
dan tekanan intraokular sebanyak 35%.
Cp50 - respon terhadap perintah hilang (verbal ) = 2.3 - 3.5 mcg/ml
Pemeliharaan

: 1.5-6 mcg/ml

Pasien bangun

: < 1.6 mcg/ml

Pasien terorientasi : < 1.2 mcg/ml

17

Pada sistem kardiovaskuler


Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada
jantung dan pembuluh darah dimana tekanan dapat turun sekali disertai
dengan peningkatan denyut nadi. Ini diakibatkan Propofol mempunyai
efek mengurangi pembebasan katekolamin dan menurunkan resistensi
vaskularisasi sistemik sebanyak 30%. Pengaruh pada jantung
tergantung dari :
Pernafasan spontan mengurangi depresi jantung berbanding nafas
kendali
Pemberian drip lewat infus mengurangi depresi jantung
berbanding pemberian secara bolus
Umur makin tua usia pasien makin meningkat efek depresi
jantung
Pada sistem pernafasan
Dapat menurunkan frekuensi pernafasan dan volume tidal,
dalam beberapa kasus dapat menyebabkan henti nafas kebanyakan
muncul pada pemberian diprivan. Secara lebih detail konsentrasi yang
menimbulkan efek terhadap sistem pernafasan adalah seperti berikut:
Pada 25%-40% kasus Propofol dapat menimbulkan apneu setelah
diberikan dosis induksi yang bisa berlangsung lebih dari 30 saat.

Pemberian 2,4 mg/kg:


Memperlambat frekuensi pernafasan selama 2 menit
Volume tidal (VT) menurun selama 4 menit

Pemberian 100 g/kg/min:


Respons CO2 sedikit menurun
VT berkurang 40%, frekuensi pernafasan meningkat 20%

Pemberian 200 g/kg/min:


Hanya sedikit mendepresi VT
paCO2 menurun

18

1.4 Dosis dan penggunaan


a) Induksi : 2,0 sampai 2.5 mg/kg IV.
b) Sedasi : 25 to 75 g/kg/min dengan I.V infus
c) Dosis pemeliharaan pada anastesi umum : 100 - 150 g/kg/min IV
(titrate to effect).
d) Turunkan dosis pada orang tua atau gangguan hemodinamik atau
apabila digabung penggunaanya dengan obat anastesi yang lain.
e) Dapat dilarutkan dengan Dextrosa 5 % untuk mendapatkan
konsentrasi yang minimal 0,2%
f) Propofol mendukung perkembangan bakteri, sehingga harus berada
dalam lingkungan yang steril dan hindari profofol dalam kondisi
sudah terbuka lebih dari 6 jam untuk mencegah kontaminasi dari
bakteri.
1.5 Efek Samping
Dapat menyebabkan nyeri selama pemberian pada 50% sampai
75%. Nyeri ini bisa muncul akibat iritasi pembuluh darah vena, nyeri
pada pemberian propofol dapat dihilangkan dengan menggunakan
lidokain (0,5 mg/kg) dan jika mungkin dapat diberikan 1 sampai 2
menit dengan pemasangan torniquet pada bagian proksimal tempat
suntikan, berikan secara I.V melaui vena yang besar. Gejala mual dan
muntah juga sering sekali ditemui pada pasien setelah operasi
menggunakan propofol. Propofol merupakan emulsi lemak sehingga
pemberiannya harus hati hati pada pasien dengan gangguan
metabolisme lemak seperti hiperlipidemia dan pankreatitis. Pada
sesetengah kasus dapat menyebabkan kejang mioklonik (thiopental <
propofol < etomidate atau methohexital). Phlebitis juga pernah
dilaporkan terjadi setelah pemberian induksi propofol tapi kasusnya
sangat jarang. Terdapat juga kasus terjadinya nekrosis jaringan pada
ekstravasasi subkutan pada anak-anak akibat pemberian propofol.

19

2. Tiopenton
Pertama kali diperkenalkan tahun 1963. Tiopental sekarang lebih
dikenal dengan nama sodium Penthotal, Thiopenal, Thiopenton Sodium
atau Trapanal yang merupakan obat anestesi umum barbiturat short acting,
tiopentol dapat mencapai otak dengan cepat dan memiliki onset yang cepat
(30-45 detik). Dalam waktu 1 menit tiopenton sudah mencapai puncak
konsentrasi dan setelah 5 10 menit konsentrasi mulai menurun di otak
dan kesadaran kembali seperti semula. Dosis yang banyak atau dengan
menggunakan infus akan menghasilkan efek sedasi dan hilangnya
kesadaran.
Beberapa

jenis

barbiturat

seperti

thiopental

[5-ethyl-5-(1-

methylbutyl)-2-thiobarbituric acid], methohexital [1-methyl-5-allyl-5-(1methyl-2-pentynyl)barbituric

acid],

dan

thiamylal

[5-allyl-5-(1-

methylbutyl)-2-thiobarbituric acid]. Ada juga turunan barbiturat yang


dipakai sebagai induksi seperti secobarbital dan pentobarbital tetepi
penggunaannya sangat jarang. Thiopental (Pentothal) dan thiamylal
(Surital) merupakan thiobarbiturates, sedangan methohexital (Brevital)
adalah oxybarbiturate.
Walaupun terdapat beberapa barbiturat dengan masa kerja ultra
singkat, tiopental merupakan obat terlazim yang dipergunakan untuk
induksi anasthesi dan banyak dipergunakan untuk induksi anestesi.
2.1 Mekanisme kerja
Barbiturat terutama bekerja pada reseptor GABA dimana
barbiturat akan menyebabkan hambatan pada reseptor GABA pada
sistem saraf pusat, barbiturat menekan sistem aktivasi retikuler, suatu
jaringan polisinap komplek dari saraf dan pusat regulasi, yang
beberapa terletak dibatang otak yang mampu mengontrol beberapa
fungsi vital termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat
secara khusus lebih berpengaruh pada sinaps saraf dari pada akson.
Barbiturat menekan transmisi neurotransmitter inhibitor seperti asam
gamma aminobutirik (GABA). Mekanisme spesifik diantaranya
20

dengan pelepasan transmitter (presinap) dan interaksi selektif dengan


reseptor (postsinap).
2.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pada anestesiologi klinis, barbiturat paling banyak diberikan
secara intravena untuk induksi anestesi umum pada orang dewasa dan
anak anak. Perkecualian pada tiopental rektal atau sekobarbital atau
metoheksital

untuk

induksi

pada

anak

anak.

Sedangkan

phenobarbital atau sekobarbital intramuskular untuk premedikasi pada


semua kelompok umur.
Distribusi
Pada pemberian intravena, segera didistribusikan ke seluruh
jaringan tubuh selanjutnya akan diikat oleh jaringan saraf dan jaringan
lain yang kaya akan vaskularisasi, secara perlahan akan mengalami
difusi kedalam jaringan lain seperti hati, otot, dan jaringan lemak.
Setelah terjadi penurunan konsentrasi obat dalam plasma ini terutama
oleh karena redistribusi obat dari otak ke dalam jaringan lemak.
Metabolisme
Metabolisme terjadi di hepar menjadi bentuk yang inaktif.
Ekskresi
Sebagian besar akan diekskresikan lewat urine, dimana eliminasi
terjadi 3 ml/kg/menit dan pada anak anak terjadi 6 ml/kg/menit.
2.3 Farmakodinamik
Pada Sistem saraf pusat
Dapat menyebabkan hilangnya kesadaran tetapi menimbulkan
hiperalgesia

pada

dosis

subhipnotik,

menghasilkan

penurunan

metabolisme serebral dan aliran darah sedangkan pada dosis yang


tinggi akan menghasilkan isoelektrik elektroensepalogram.Thiopental
turut menurunkan tekanan intrakranial. Manakala methohexital dapat
menyebabkan kejang setelah pemberian dosis tinggi.
21

Mata
Tekanan intraokluar menurun 40% setelah pemberian induksi
thiopental atau methohexital. Biasanya diberikan suksinilkolin setelah
pemberian induksi thiopental supaya tekanan intraokular kembali ke
nilai sebelum induksi.
Sistem kardiovaskuler
Menurunkan tekanan darah dan cardiac output ,dan dapat
meningkatkan frekwensi jantung, penurunan tekanan darah sangat
tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan
karena efek depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung
turun, dan dilatasi pembuluh darah. Iritabilitas otot jantung tidak
terpengaruh, tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi resistensi
CO2 atau hipoksia. Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan
pulih normal dalam beberapa menit tetapi bila obat disuntik secara
cepat atau dosisnya tinggi dapat terjadi hipotensi yang berat. Hal ini
terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat
vasomotor. Dilain pihak turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh
karena efek depresi langsung obat pada miokard.
Sistem pernafasan
Menyebabkan depresi pusat pernafasan dan sensitifitas
terhadap CO2 menurun terjadi penurunan frekwensi nafas dan volume
tidal

bahkan

dapat

sampai

menyebabkan

terjadinya

asidosis

respiratorik. Dapat juga menyebabkan refleks laringeal yang lebih aktif


berbanding propofol sehingga menyebabkan laringospasme. Jarang
menyebabkan bronkospasme.
2.4 Dosis
Dosis yang biasanya diberikan berkisar antara 3-5 mg/kg.
Untuk menghindarkan efek negatif dari tiopental tadi sering diberikan
dosis kecil dulu 50-75 mg sambil menunggu reaksi pasien.

22

2.5 Efek samping


Efek samping yang dapat ditimbulkan seperti alergi, sehingga
jangan memberikan obat ini kepada pasien yang memiliki riwayat
alergi terhadap barbiturat, sebab hal ini dapat menyebabkan terjadinya
reaksi anafilaksis yang jarang terjadi, barbiturat juga kontraindikasi
pada pasien dengan porfiria akut, karena barbiturat akan menginduksi
enzim d-aminoleuvulinic acid sintetase, dan dapat memicu terjadinya
serangan akut. Iritasi vena dan kerusakan jaringan akan menyebakan
nyeri pada saat pemberian melalui I.V, hal ini dapat diatasi dengan
pemberian heparin dan dilakukan blok regional simpatis.
3. Ketamin
Ketamine (Ketalar or Ketaject) merupakan arylcyclohexylamine
yang memiliki struktur mirip dengan phencyclidine. Ketamin pertama kali
disintesis tahun 1962, dimana awalnya obat ini disintesis untuk
menggantikan obat anestetik yang lama (phencyclidine) yang lebih sering
menyebabkan halusinasi dan kejang. Obat ini pertama kali diberikan pada
tentara amerika selama perang Vietnam.Ketamin hidroklorida adalah
golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non barbiturate
general anesthesia. Ketalar sebagai nama dagang yang pertama kali
diperkenalkan oleh Domino dan Carson tahun 1965 yang digunakan
sebagai anestesi umum.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anastesia, karena sering
menimbulkan takikardi, hipertensi , hipersalivasi , nyeri kepala, pasca
anasthesi dapat menimbulkan muntah muntah , pandangan kabur dan
mimpi buruk. Ketamin juga sering menebabkan terjadinya disorientasi,
ilusi sensoris dan persepsi dan mimpi gembira yang mengikuti anesthesia,
dan sering disebut dengan emergence phenomena.
3.1 Mekanisme kerja
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa blok terhadap
reseptor opiat dalam otak dan medulla spinalis yang memberikan efek

23

analgesik, sedangkan interaksi terhadap reseptor metilaspartat dapat


menyebakan anastesi umum dan juga efek analgesik.
3.2 Farmakokinetik
Absorbsi
Pemberian

ketamin

dapat

dilakukan

secara

intravena

atau

intramuskular
Distribusi
Ketamin lebih larut dalam lemak sehingga dengan cepat akan
didistribusikan ke seluruh organ. Efek muncul dalam 30 60 detik
setelah pemberian secara I.V dengan dosis induksi, dan akan kembali
sadar setelah 15 20 menit. Jika diberikan secara I.M maka efek baru
akan muncul setelah 15 menit.
Metabolisme
Ketamin mengalami biotransformasi oleh enzim mikrosomal hati
menjadi beberapa metabolit yang masih aktif.
Ekskresi
Produk akhir dari biotransformasi ketamin diekskresikan melalui
ginjal.
3.3 Farmakodinamik
Susunan saraf pusat
Apabila diberikan intravena maka dalam waktu 30 detik pasien
akan mengalami perubahan tingkat kesadaran yang disertai tanda khas
pada mata berupa kelopak mata terbuka spontan dan nistagmus. Selain
itu kadang-kadang dijumpai gerakan yang tidak disadari (cataleptic
appearance), seperti gerakan mengunyah, menelan, tremor dan kejang.
Itu merupakan efek anestesi dissosiatif yang merupakan tanda khas
setelah pemberian Ketamin. Apabila diberikan secara intramuskular,
efeknya akan tampak dalam 5-8 menit, sering mengakibatkan mimpi
buruk dan halusinasi pada periode pemulihan sehingga pasien
mengalami agitasi. Aliran darah ke otak meningkat, menimbulkan
24

peningkatan tekanan darah intrakranial. Konsentrasi plasma (Cp) yang


diperlukan untuk hipnotik dan amnesia ketika operasi kurang lebih
antara 0,7 sampai 2,2 g/ml (sampai 4,0 g/ml buat anak-anak). Pasien
dapat terbangun jika Cp dibawah 0,5g/ml. Ketamin merupakan suatu
reseptor antagonis N-Metil-D-aspartat (NMDA) yang non kompetitif
yang menyebabkan :

Penghambatan aktivasi reseptor NMDA oleh glutamat

Mengurangi pembebasan presinaps glutamat

Efek potensial Gamma-aminobutyric acid (GABA)


Pemberian Ketamin dapat menyebabkan efek psikologis yang

berupa:

Mimpi buruk

Perasaan ekstrakorporeal (merasa seperti melayang keluar dari


badan)

Salah persepsi, salah interpretasi dan ilusi

Euphoria, eksitasi, kebingungan dan ketakutan

20%-30% terjadi pada orang dewasa

Dewasa > anak-anak

Perempuan > laki-laki

Mata
Menimbulkan lakrimasi, nistagmus dan kelopak mata terbuka
spontan, terjadi peningkatan tekanan intraokuler akibat peningkatan
aliran darah pada pleksus koroidalis.
Sistem kardiovaskuler
Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik,
sehingga bisa meningkatkan tekanan darah dan jantung. Peningkatan
tekanan darah akibat efek inotropik positif dan vasokonstriksi
pembuluh darah perifer.
Sistem pernafasan
Pada dosis biasa, tidak mempunyai pengaruh terhadap sistem
respirasi.

dapat

menimbulkan

dilatasi

bronkus

karena

sifat
25

simpatomimetiknya, sehingga merupakan obat pilihan pada pasien


asma.
3.4 Dosis dan pemberian
Ketamin merupakan obat yang dapat diberikan secara
intramuskular apabila akses pembuluh darah sulit didapat contohnya
pada anak anak. Ketamin bersifat larut air sehingga dapat diberikan
secara I.V atau I.M. Dosis induksi adalah 1 2 mg/KgBB secara I.V
atau 5 10 mg/Kgbb I.M , untuk dosis sedatif lebih rendah yaitu 0,2
mg/KgBB dan harus dititrasi untuk mendapatkan efek yang diinginkan.
Untuk pemeliharaan dapat diberikan secara intermitten atau kontinyu.
Pemberian secara intermitten diulang setiap 10 15 menit dengan
dosis setengah dari dosis awal sampai operasi selesai.3 Dosis obat
untuk menimbulkan efek sedasi atau analgesic adalah 0,2 0,8 mg/kg
IV atau 2 4 mg/kg IM atau 5 10 g/kg/min IV drip infus.
Bioavailabilitas
Route
Nasal
Oral
IM
Rektal
Epidural

% bioavailabilitas
50
20
90
25
77

3.5 Efek samping


Dapat menyebabkan efek samping berupa peningkatan sekresi
air liur pada mulut,selain itu dapat menimbulkan agitasi dan perasaan
lelah , halusinasi dan mimpi buruk juga terjadi pasca operasi, pada otot
dapat menimbulkan efek mioklonus pada otot rangka selain itu
ketamin juga dapat meningkatkan tekanan intracranial. Pada mata
dapat menyebabkan terjadinya nistagmus dan diplopia.
3.6 Kontra indikasi

26

Mengingat efek farmakodinamiknya yang relative kompleks


seperti yang telah disebutkan diatas, maka penggunaannya terbatas
pada pasien normal saja. Pada pasien yang menderita penyakit sistemik
penggunaanya harus dipertimbangkan seperti tekanan intrakranial yang
meningkat, misalnya pada trauma kepala, tumor otak dan operasi
intrakranial, tekanan intraokuler meningkat, misalnya pada penyakit
glaukoma dan pada operasi intraokuler. Pasien yang menderita
penyakit sistemik yang sensitif terhadap obat obat simpatomimetik,
seperti ; hipertensi tirotoksikosis, Diabetes militus , PJK dll.
4. Opioid
Opioid telah digunakan dalam penatalaksanaan nyeri selama
ratusan tahun. Obat opium didapat dari ekstrak biji buah poppy papaverum
somniferum, dan kata opium berasal dari bahasa yunani yang berarti
getah. Opium mengandung lebih dari 20 alkaloid opioids. Morphine,
meperidine, fentanyl, sufentanil, alfentanil, and remifentanil merupakan
golongan opioid yang sering digunakan dalam general anestesi. efek
utamanya adalah analgetik. Dalam dosis yang besar opioid kadang
digunakan dalam operasi kardiak. Opioid berbeda dalam potensi,
farmakokinetik dan efek samping.
4.1 Mekanisme kerja
Opioid berikatan pada reseptor spesifik yang terletak pada
system saraf pusat dan jaringan lain. Empat tipe mayor reseptor
opioid yaitu , ,,,. Walaupun opioid menimbulkan sedikit efek
sedasi, opioid lebih efektif sebagai analgesia. Farmakodinamik dari
spesifik opioid tergantung ikatannya dengan reseptor, afinitas ikatan
dan apakah reseptornya aktif. Aktivasi reseptor opiat menghambat
presinaptik dan respon postsinaptik terhadap neurotransmitter
ekstatori (seperti asetilkolin) dari neuron nosiseptif.

4.2 Farmakokinetik
27

Absorbsi
Cepat dan komplit terjadi setelah injeksi morfin dan
meperedin intramuskuler, dengan puncak level plasma setelah 20-60
menit. Fentanil sitrat transmukosal oral merupakan metode efektif
menghasilkan analgesia dan sedasi dengan onset cepat (10 menit)
analgesia dan sedasi pada anak-anak (15-20 g/Kg) dan dewasa (200800 g).
Distribusi
Waktu paruh opioid umumnya cepat (5-20 menit). Kelarutan
lemak yang rendah dan morfin memperlambat laju melewati sawar
darah otak, sehingga onset kerja lambat dan durasi kerja juga Iebih
panjang. Sebaliknya fentanil dan sufentanil onsetnya cepat dan durasi
singkat setelah injeksi bolus.
Metabolisme
Metabolisme sangat tergantung pada biotransformasinya di
hepar, aliran darah hepar. Produk akhir berupa bentuk yang tidak
aktif.
Ekskresi
Eliminasi terutama oleh metabolisme hati, kurang lebih 10%
melewati bilier dan tergantung pada aliran darah hepar. 5 10%
opioid diekskresikan lewat urine dalam bentuk metabolit aktif,
remifentanil dimetabolisme oleh sirkulasi darah dan otot polos
esterase.
4.3 Farmakodinamik
Sistem kardiovaskuler
System kardiovaskuler tidak mengalami perubahan baik
kontraktilitas

otot

jantung

maupun

tonus

otot

pembuluh

darah.Tahanan pembuluh darah biasanya akan menurun karena terjadi


penurunan aliran simpatis medulla, tahanan sistemik juga menurun
hebat pada pemberian meperidin atau morfin karena adanya
pelepasan histamin.
28

Sistem pernafasan
Dapat meyebabkan penekanan pusat nafas, ditandai dengan
penurunan frekuensi nafas, dengan jumlah volume tidal yang
menurun .PaCO2 meningkat dan respon terhadap CO2 tumpul
sehingga kurve respon CO2 menurun dan bergeser ke kanan, selain
itu juga mampu menimbulkan depresi pusat nafas akibat depresi
pusat nafas atau kelenturan otot nafas, opioid juga bisa merangsang
refleks batuk pada dosis tertentu.
Sistem gastrointestinal
Opioid

menyebabkan

penurunan

peristaltik

sehingga

pengosongan lambung juga terhambat.


Endokrin
Fentanil mampu menekan respon sistem hormonal dan
metabolik akibat stress anesthesia dan pembedahan, sehingga kadar
hormon katabolik dalam darah relatif stabil.
4.4 Dosis dan pemberian
Premedikasi petidin diberikan I.M dengan dosis 1 mg/kgbb
atau intravena 0,5 mg/Kgbb, sedanakan morfin sepersepuluh dari
petidin dan fentanil seperseratus dari petidin.
5. Benzodiazepin
Golongan benzodiazepine yang sering digunakan oleh anestesiologi
adalah Diazepam (valium), Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Versed),
diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air dan kandungannya berupa
propylene glycol. Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak
(Diazemuls atau Dizac), yang tidak menyebakan nyeri atau tromboplebitis
tetapi hal itu berhubungan bioaviabilitasnya yang rendah, midazolam
merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan
dengan PH 3,5.
5.1 Mekanisme kerja

29

Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative,


anxiolitik, amnestik, antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja di
sentral. Benzodiazepine bekerja di reseptor ikatan GABAA. Afinitas
pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam >
midazolam > diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan
berikatan pada komponen gamma yang terdapat pada reseptor
GABA.
5.2 Farmakokinetik 1137 0247605378
Obat golongan benzodiazepine dimetabolisme di hepar, efek
puncak akan muncul setelah 4 - 8 menit setelah diazepam disuntikkan
secara I.V dan waktu paruh dari benzodiazepine ini adalah 20 jam.
Dosis ulangan akan menyebabkan terjadinya akumulasi dan
pemanjangan

efeknya

sendiri.

Midazolam

dan

diazepam

didistribusikan secara cepat setelah injeksi bolus, metabolisme


mungkin akan tampak lambat pada pasien tua.

Clearance in ml/kg/min
Short

midazolam

6-11

Intermediate

lorazepam

0.8-1.8

Long

diazepam

0.2-0.5

5.3 Farmakodinamik
Sistem saraf pusat
Dapat menimbulkan amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi
otot dan mepunyai efek sedasi, efek analgesik tidak ada, menurunkan
aliran darah otak dan laju metabolisme.

Sistem Kardiovaskuler

30

Menyebabkan

vasodilatasi

sistemik

yang

ringan

dan

menurunkan cardiac out put. Ttidak mempengaruhi frekuensi denyut


jantung, perubahan hemodinamik mungkin terjadi pada dosis yang
besar atau apabila dikombinasi dengan opioid.
Sistem Pernafasan
Mempengaruhi penurunan frekuensi nafas dan volume tidal ,
depresi pusat nafas mungkin dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit paru atau pasien dengan retardasi mental.
Sistem saraf otot
Menimbulkan penurunan tonus otot rangka yang bekerja di
tingkat supraspinal dan spinal , sehingga sering digunakan pada
pasien yang menderita kekakuan otot rangka.
5.4 Dosis
Dosis midazolam bervariasi tergantung dari pasien itu sendiri.

Untuk preoperatif digunakan 0,5 2,5mg/kgbb

Untuk keperluan endoskopi digunakan dosis 3 5 mg

Sedasi pada analgesia regional, diberikan intravena.

Menghilangkan halusinasi pada pemberian ketamin.

Efek samping
Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika
digunakan sebagai sedasi. Lorazepam dan diazepam

dapat

menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine


turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien. Efek
Benzodiazepines dapat di reverse dengan flumazenil (Anexate,
Romazicon) 0.1-0.2 mg IV prn to 1 mg, dan 0.5 - 1 mcg/kg/menit
berikutnya.
Pelumpuh Otot
Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi bekerjanya seperti asetil-kolin,
tetapi di celah saraf otot lurik tak dirusak oleh kolinesterase,
sehingga cukup lama berada di celah sinaptik sehingga terjadi
31

depolarisasi ditandai dengan fasikulasi dan disusul dengan relaksasi


otot lurik. Termasuk golongan

pelumpuh otot depolarisasi ialah

suksinil-kolin.
Non-depolarisasi
Pelumpuh otot non depolarisasi berikatan dengan reseptor
nikotinik-kolinergik, tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya
menghalangi asetil-kolin menempati nya sehingga asetil-kolin tidak
dapat bekerja. Berdasarkan susunan molekul nya dibagi menjadi
beberapa golongan :
Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metikurin, atrakurium
Steroid : pankurinium, vekuronium
Eter-fenolik : gallamin
Nortoksiferin : alkuronium
Dosis atrakurium : 0,5-0,6 mg/kgBB.
Rumatan Anestesia
Rumatan anestesi dapat dikerjakan dengan secara intravena
atau dengan inhalasi ataupun dengan campuran intravena dan
inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia
yaitu tidur ringan (hipnosis), analgesia cukup dan relaksasi otot lurik
yang cukup.
Rumatan anestesia misalnya dengan menggunakan opioid
dosis tinggi, fentanil 10-50 picogram/kgBB, atau bisa dengan
menggunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2 yang
bertujuan untuk mengembangkan paru.
Anastesi Inhalasi
Obat anestesi inhalasi yang pertama kali dikenal dan digunakan
untuk membantu pembedahan ialah N2O. Kemudian menyusul eter,

32

kloroform, etil-klorida, divinil-eter, siklo-propan, trikloro-etilen,


halotan, enfluran, isofluran, desfluran dan sevofluran.
Dalam dunia modern, anestetik inhalasi yang umum digunakan
untuk praktek klinik ialah N2O, halotan, enfluran, isofluran,
desfluran dan sevofluran. Obat-obat lain sudah ditinggalkan karena
efek samping nya yang terlalu berbahaya.
Mekanisme kerja obat anestetik inhalasi ditentukan oleh :
-) Ambilan gas atau uap anestetik dalam alveolus
-) Difusi gas dari paru ke darah
-) Distribusi oleh darah ke otak dan organ lain
Sebagian besar gas anestetik dikeluarkan lagi oleh badan lewat
paru. Sebagian lagi dimetabolisir oleh hepar dengan sistem oksidasi
sitokrom P 450. Sisa metabolisme yang larut dalam air dikeluarkan
melalui ginjal.
N2O
N2O,(nitrous oxide, dinitrogen monoksida) diperoleh dengan
memanaskan amonium nitrat sampai 240 C. Pemberian anestesia
dengan N2O harus disertai O2 minimal 25%. Gas ini bersifat
anestetik lemah, tetapi analgesik nya kuat, sehingga sering di
kombinasikan dengan salah satu cairan anestetik lain seperti halotan
dan sebagainya.
Halotan
Halotan merupakan turunan etan, baunya yang enak dan tidak
merangsang jalan nafas, maka sering digunakan sebagai induksi
anestesia kombinasi dengan N2O. halotan mudah dirusak oleh cahaya
sehingga harus disimpan dalam botol yang gelap dan diawetkan
dalam timol 0,01%.
Dosis rumatan anestesia halotan pada nafas spontan ialah 1-2%
dan pada nafas kendali ialah 0,5-1%.. Halotan menyebabkan
33

vasodilatasi serebral, meninggikan aliran darah ke otak yang sulit


dikendalikan dengan teknik anestesia hiperventilasi sehingga tidak
disukai untuk bedah otak.
Metabolisme nya secara oksidatif dan reduktif di dalam hepar
sehingga merupakan kontra indikasi penderita gangguan hepar. Efek
samping halotan ialah membuat pasien menggigil.
Enfluran
Enfluran merupakan halogenasi eter dan pada EEG dapat
menunjukkan

tanda-tanda

epileptik,

karena

itu

hindari

pemggunaannya pada pasien dengan riwayat epilepsi. Metabolisme


enfluran hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk nonvolatil yang
dikeluarkan lewat urin. Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk
asli. Efek depresi nafas lebih kuat dibanding halotan tetapi efek
aritmia nya lebih jarang. Dosis rumatan anestesi nya ialah 2-4%.
Isofluran
Isofluran merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik
atau subanestetik menurunkan laju metabolisme otak terhadap
oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan
intrakranial

ini

dapat

dikurangi

dengan

teknik

anestesia

hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak.


Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal,
sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan
dosis > 1% terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang
responsif jika diantisipasi dengan oksitosin, sehingga dapat
menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis rumatan anestesi
nya ialah 2-4%.

34

Desfluran
Desfluran merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan
efek klinisnya mirip isofluran. Desfluran sangat mudah menguap
dibandingkan anestetik volatil lain, sehingga butuh vaporizer khusus.
Anestetik ini bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan
hipertensi. Desfluran merangsang jalan nafas atas, sehingga tidak
digunakan untuk induksi anestesia.
Sevofluran
Sevofluran merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih
anestesi lebih cepat dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak
merangsang jalan nafas, sehingga digemari untuk induksi anestesi
selain halotan.
Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil, jarang menyebabkan
aritmia. Efek terhadap SSP seperti isofluran dan belum ada laporan
toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan sevofluran
cepat dikeluarkan oleh badan. Dosis rumatan anestesi nya ialah
anestesi 1-4%.

35

REFERENSI
1. Said A. Latif dkk, Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi kedua, Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
Jakarta, 2010.
2. Intravenous

Anesthetics

didapat

dari

didapat

dari

http://www.metrohealthanesthesia.com/edu.htm
3. Intravenous

anesthesic

http://anesthesiologyinfo.com/intravenousanesthetic
4. Hipnotika dan Sedativa didapat dari http://www.medicastore.com
5. Anestesi

Intravena

didapat

dari

http://ryan-

mul.blogspot.com/2009/04/anestesi intravena.html
6. Opioid didapat dari http://en.wikipedia.org/wiki/Wikipedia: Opioid
7. Anestesi Umum didapat dari http://www.scribd.com/anestesiumum

36

You might also like