You are on page 1of 48

Luka Borok dan Jaringan Parut

di Dinding Leher Bagian Bawah


STEP 1
Abses
Kumpulan nanah dalam jaringan, bila mengenai kulit berarti
di dalam kutis atau subkutis. Batas antara ruangan yang
berisikan nanah dan jaringan di sekitarnya tidak jelas. Abses
biasanya terbentuk dari infiltrat radang. Sel dan jaringan
hancur membentuk nanah. Dinding abses terdiri atas
jaringan sakit, yang belum menjadi nanah.
Fistul
A Fistula is a permanent abnormal passageway between two
organs in the body or between an organ and the exterior of
the body.

Fistulas can arise in any part of the body, but they are most
common in the digestive tract. They can also develop
between blood vessels and in the urinary, reproductive, and
lymphatic systems. Fistulas can occur at any age or can be
present at birth (congenital). Some are life-threatening,
others cause discomfort, while still others are benign and go
undetected or cause few symptoms. Diabetics, individuals
with compromised immune systems (AIDS, cancer) and
individuals with certain gastrointestinal diseases (Crohn's
disease, inflammatory bowel disease) are at increased risk
of developing fistulas.
Nodul
Massa padat sirkumskirp, terletak di kutan atau subkutan,
dapat menonjol, jika diameternya lebih kecil 1 cm disebut
nodulus.
Tes Tuberkulin

STEP 2
1. Mengapa didapatkan benjolan di tulang selangka kanan yang
tidak terasa nyeri/sakit sejak 2 minggu lalu?
2. Apa hub. Ditemukan benjolan dengan luka borok dengan
keluarga yang menderita TB Paru (+)?
3. Mengapa benjolan dapat pecah dan bisa menjadi borok?
4. Mengapa dokter menyarankan untuk tes Tuberkulin?
5. Bagaimana proses terjadinya nodul, abses, dan fistula?
6. Apa faktor predisposisi dari penyakit di skenario?
7. DD?

STEP 7
1. Mengapa didapatkan benjolan di tulang selangka kanan yang
tidak terasa nyeri/sakit sejak 2 minggu lalu?
Skrofuloderma:
Tuberkulosis kutis murni sekunder yang terjadi secara
pekontinuitatum dari jaringan di bawahnya, misalnya kelenjar
getah bening, otot dan tulang. Skrofuloderma terjadi terutama
pada anak-anak dan dewasa muda pada bagian kulit yang
berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan
tulangnya. Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan
keluhan tambahan. Dimulai dengan infeksi sebuah kelenjar
yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi periadenitis.
Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga
membentuk suatu kantong kelenjar klier packet. Pada
stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, mencari
jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan
demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar,
membentuk ulkus yang mempunyai sifat-sifat khas.
Skrofuloderma biasanya dimulai sebagai infeksi kelenjar
getah

bening

(limfadenitis

tuberculosis)

berupa

pembesaran kelenjar getah bening. Kelenjar getah bening ini


konsistensinya padat pada perabaan. Mula mula hanya
beberapa kelenjar yang diserang, lalu makin banyak dan
berkonfluensi. Selanjutnya berkembang menjadi periadenitis
yang menyebabkan perlekatan kelenjar tersebut dengan jaringan
sekitarnya. Kemudian kelenjar tersebut mengalami perlunakan
yang tidak serentak, menyebabkan konsistensinya menjadi
bermacam macam, yaitu didapati kelenjar getah bening
melunak dan membentuk abses yang akan menembus
kulit dan pecah, bila tidak disayat dan dikeluarkan nanahnya,
abses ini disebut abses dingin artinya abses tersebut tidak panas
maupun nyeri tekan, melainkan berfluktuasi (bergerak bila
ditekan, menandakan bahwa isinya cair).

Pada

stadium

selanjutnya

terjadi

perkejuan

dan

perlunakan, pecah dan mencari jalan keluar dengan


menembus kulit di atasnya dengan demikian membentuk
fistel. Kemudian fistel meluas hingga mejadi ulkus yang
mempunyai sifat khas yakni bentuknya panjang dan tidak
teratur, dan di sekitarnya berwarna merah kebiruan, dindingnya
tergaung, jaringan granulasinya tertutup oleh pus yang purulen,
jika mengering menjadi krusta warna kuning.
Lesi dapat sembuh secara spontan namun memerlukan
waktu dalam beberapa tahun dengan meninggalkan
bekas luka (sikatriks) yang memanjang dan tidak teratur.
Jembatan kulit (skin bridge) kadang kadang terdapat di atas
sikatriks, biasanya berbentuk seperti tali yang kedua ujungnya
melekat pada sikatriks tersebut.

Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam Djuanda,


Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. FK UI. Jakarta.
2005. Pages: 64-72
Tidak Nyeri?
Cara Penularan Infeksi

Perjalaran langsung ke kulit


dari organ di bawah kulit yang telah dikenai
penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma

Inokulasi langsung pada kulit


sekitar orifisium alat dalam yang dikenai penyakit
tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis orifisialis.

Penjalaran secara hematogen,


misalnya tuberkulosis kutis miliaris.

Penjalaran
misalnya lupus vulgaris.

secara

limfogen,

Penjalaran
langsung
dari
selaput lendir yang sudah diserang penyakit
tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris.

Kuman langsung masuk ke


kulit, jika ada kerusakan kulit dan resistensi lokalnya
telah menurun, contohnya tuberkulosis kutis
verukosa.
Djuanda, Adhi, Tuberkulosis kutis, Dalam
Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages: 65

2. Apa hub. Ditemukan benjolan dan luka borok dengan keluarga


yang menderita TB Paru (+)?
TB nodus limfatikus
Muncul setelah infeksi primer, reakaktivasi, dan penyebaran
langsung. 70 % kasus terjadi pada nodus servikal. Gejala
sistemik muncul pada 30-60% kasus. Nodus soliter
membesar, tidak nyeri, dan bentuknya menjdai tidak
teratur. Nodus-nodus ini akhirnya pecah menyebabkan sinus
dan lesi kulit yang kronis.
Sumber : At a Glance Medicine. Patrick Davey
Jika seorang penderita penyakit TBC berbicara, meludah,
batuk atau bersin, maka kuman-kuman TBC yang berada di
dalam paru-parunya akan menyebar ke udara dan dapat
terhirup oleh orang lain yang berada di sekitar penderita.

Dalam waktu satu tahun, 1 orang penderita TBC dapat


menularkan penyakitnya pada 10 sampai 15 orang di
sekitarnya.
Pada saat terjadi infeksi pertama bakteri TBC, mayoritas
orang tidak mengalami gejala-gejala. Dalam waktu satu tahun
setelah terinfeksi TBC, sekitar 5% orang akan mengalami
penyakit TBC (penyakit TBC aktif). 95% orang memasuki
periode infeksi yang tidak aktif, yang disebut periode latent.
Berarti walaupun orang terinfeksi TBC, dia tidak merasa sakit,
dan tidak dapat menularkan bakteri TBC pada orang lain.
Orang ini mungkin menderita penyakit TBC pada masa depan.
Hal ini lebih mungkin jika seorang terinfeksi TBC memiliki
sistem kekebalan kurang fit (mis. menderita AIDS). Bila dia
sudah mengalami penyakit TBC, dia dapat menularkan TBC
pada orang lain.
Maka, penyakit TBC yang aktif terjadi bila:
1.
Dalam waktu satu tahun setelah terjadi infeksi
pertama bakteri TBC (sekitar 5% orang sehat yang
terinfeksi, atau 50% pengidap HIV).
2.
Akibat bakteri TBC yang sudah lama ada dalam tubuh
muncul kembali (risiko seumur hidup penyakit TBC
antar orang dalam periode latent.(Diagram 1).

Orang yang tinggal dalam satu rumah dengan seorang


penderita penyakit TBC, atau orang yang menghabiskan
banyak waktu bergaul dengan orang tersebut, mempunyai
risiko paling tinggi kena TBC. Orang ini disebut kontak.
Sebaiknya kontak-kontak diperiksa untuk TBC secara otomatis
bila ada kasus TBC, sehingga kontak-kontak juga dapat diobati
bila perlu.

www.tragus.co.uk
3. Mengapa benjolan dapat pecah dan bisa menjadi borok?
Skrofuloderma:
Perjalaran per kontinuitatum dari organ di bawah kulit yang
diserang penyakit tuberkulosis, yang tersering berasal dari
kelenjar
getah.
Diawali
dengan
limfadenitisperiadenitisperlunakan tidak serentak(cold
abses)pecahfistelmuara
fistel
meluasulkusmemanjang, tidak teratur, sekitarnya warna
kebiru-biruan
(livide),
menggaung,
tertutup
pus
seropurulenmengering
menjadi
krusta
(kuning)ulkus
menjadi sikatrikatas sikatrik terdapat skin bridge.
http://id.scribd.com/doc/122925310/penyakit-kulit-disebabkanoleh-tuberkulusis-kutis-kusta-dan-mikosis
4. Mengapa dokter menyarankan untuk tes Tuberkulin?
Tes Tuberkulin:
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan paling
bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa dan sering digunakan dalam
"Screening TBC". Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC
dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita
TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24
tahun 7
8%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari
persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia
anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun
sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi
penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan
bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam
kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah
penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan
(indurasi) yang terjadi.

Penyakit TBC biasanya menular melalui udara yang


tercemar dengan bakteri Mikobakterium tuberkulosa yang
dilepaskan pada saat penderita TBC batuk, dan pada anakanak sumber infeksi umumnya berasal dari penderita TBC
dewasa. Bakteri ini bila sering masuk dan terkumpul di dalam
paru-paru akan berkembang biak menjadi banyak (terutama
pada orang dengan daya tahan tubuh yang rendah), dan dapat
menyebar melalui pembuluh darah atau kelenjar getah bening.
Oleh sebab itulah infeksi TBC dapat menginfeksi hampir
seluruh organ tubuh seperti: paru-paru, otak, ginjal, saluran
pencernaan, tulang, kelenjar getah bening, dan lain-lain,
meskipun demikian organ tubuh yang paling sering terkena
yaitu paru-paru.
3.
Pembengkakan (Indurasi)
:
04mm,uji
mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mikobakterium
tuberkulosa.
4.
Pembengkakan (Indurasi)
:
39mm,uji
mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang
dengan Mikobakterium atipik atau setelah vaksinasi
BCG.
5.
Pembengkakan (Indurasi)
:

10mm,uji
mantoux positif.
Arti
klinis
:
sedang
atau pernah
terinfeksi
Mikobakterium tuberkulosa.
http://medicastore.com/tbc/uji_tbc.htm
DEFINISI
Uji tuberkulin (tuberculin skin test/TST) merupakan alat
diagnostik yang sampai saat ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas cukup tinggi untuk mendiagnosis adanya infeksi

tuberkulosis. Pertama kali Robert Koch membuat filtrat dari


kultur Mycobacterium tuberculosis dengan tujuan sebagai
terapi. Pada penerapannya, tenyata pemberian tuberkulin
yang bertujuan menyembuhkan menimbulkan reaksi sistemik
seperti demam, nyeri otot, mual dan muntah sedangkan
mereka yang tidak sakit tidak menunjukkan reaksi tersebut.
Akhirnya pada perkembangannya tuberkulin digunakan
sebagai alat diagnostik dengan mengaplikasikannya secara
lokal untuk mencegah reaksi sistemik.
Test mantoux adalah suatu cara yang digunakan untuk
mendiagnosis TBC. Tes mantoux itu dilakukan dengan
menyuntikan suatu protein yang berasal dari kuman TBC
sebanyak 0,1ml dengan jarum kecil di bawah lapisan atas
kulit lengan bawah kiri.
TUJUAN
Tujuan dari tes mantoux ini adalah sebagai salah satu cara
untuk mendiagnosis infeksi TBC. Kenapa salah satu? Karena
ternyata tidak mudah untuk mendiagnosis TBC sehingga perlu
banyak faktor untuk mengetahui pasti bahwa seseorang
memang terinfeksi TBC dan harus menjalani pengobatan.
Hasil tes Mantoux saja tidak bisa digunakan untuk
menegakkan diagnosis karena kadang hasil tes ini
memberikan hasil negatif palsu atau positif palsu. Hasil
pemeriksaan tes mantoux ini harus didukung dengan keluhan,
pemeriksaan fisik, serta pemeriksaan laboratorium yang ada.
LOKASI DAN CARA PENYUNTIKAN TEST MANTOUX
Lokasi
penyuntikan
tes
mantoux
umumnya
adalah
pertengahan bagian atas, lengan bawah kiri bagian depan.
Penyuntikan dilakukan intrakutan (ke dalam kulit).
PRINSIP DASAR
Setelah seseorang terinfeksi kuman mycobacteria, sel limfosit
T akan berproliferasi dan menjadi tersensitisasi. Sel T yang
tersensitisasi masuk ke dalam aliran darah dan bersirkulasi
selama
berbulan-bulan
atau
bertahun-tahun.
Proses
sensitisasi ini terjadi pada kelenjar getah bening regional dan
memerlukan waktu 2-12 minggu setelah infeksi. Sekali
terinfeksi, maka sensitisasi terhadap tuberkulin akan
menetap. Injeksi tuberkulin pada kulit akan menstimulasi selsel limfosit dan terjadi aktivasi rentetan kejadian yang
termasuk dalam respon hipersensitivitas tipe lambat
(delayed-type hypersensitivity/DTH). Respons ini dikatakan
lambat oleh karena reaksi memerlukan waktu berjam-jam.
Reaktivitas kulit mencakup vasodilatasi, edema, infiltrasi sel-

sel limfosit, basofil, monosit dan netrofil ke lokasi suntikan.


Antigen-spesific limfosit T akan berproliferasi dan melepaskan
limfokin, yang akan mengundang akumulasi sel-sel alin ke
lokasi suntikan. Terjadilah indurasi yang mencerminkan
aktivitas DTH. Pada pasien yang sudah pernah terinfeksi, DTH
muncul setelah 5-6 jam dan kebanyakan mencapai indurasi
maksimal 48-72 jam.
PROSES PENYUNTIKAN TEST MANTOUX
I.
TES BAYI BARU LAHIR
Bila saat mengandung si ibu menderita TBC bisa saja bayi
akan terkena TBC begitu dilahirkan. Ini disebut dengan TBC
kongenital dan bayi harus segera dites Mantoux pada usia
sekitar 1 bulan. Usahakan jangan di bawah 1 bulan karena
dapat memberi reaksi negatif meski boleh jadi si bayi tersebut
menderita TBC. Itu karena sistem imun bayi usia ini masih
belum baik. Kendati kasusnya sangat jarang ditemui,
setidaknya orangtua dapat segera mengatasinya bila bayinya
memang positif TBC.
II. TES PADA ANAK
Tes Mantoux dilakukan dengan cara menyuntikkan protein
dari kuman Mycobacterium tuberculosis pada lengan bawah
anak. Agar hasilnya akurat, penyuntikannya harus benarbenar teliti. Bahan yang dimasukkan harus dengan dosis
tepat dan masuk sepenuhnya ke dalam kulit, bukan di bawah
kulit. Kemudian, reaksi yang dihasilkan harus dibaca tepat
waktu.
Untuk memastikan anak terinfeksi kuman TBC atau tidak,
akan dilihat indurasinya setelah 48-72 jam. Indurasi ini
ditandai dengan bentuk kemerahan dan benjolan yang
muncul di area sekitar suntikan. Bila nilai indurasinya 0-4 mm,
maka dinyatakan negatif. Bila 5-9 mm dinilai meragukan,
sedangkan di atas 10 mm dinyatakan positif.
Setelah hasil Mantoux dinyatakan positif, anak sebaiknya
diikutkan pada serangkaian pemeriksaan lainnya. Salah
satunya adalah rontgen yang bertujuan mendeteksi TBC lebih
detail lewat kondisi paru yang tergambar dalam foto rontgen
dan dan tes darah. Tes mantoux dilakukan lebih dulu karena
hasil rontgen tidak dapat diandalkan untuk menentukan
adanya infeksi kuman TB. Bercak putih yang mungkin terlihat
pada hasil foto bisa memiliki banyak penyebab. Anak yang
sedang menderita batuk pilek pun kemungkinan memiliki
bercak putih di paru. Jadi, tes Mantoux sangat perlu, tak
cukup hanya rontgen paru.

Untuk mendapatkan diagnosis tepat, tes Mantoux dilakukan


jika anak menujukkan gejala-gejala berikut:
a.
MMBB (Masalah Makan dan Berat Badan)
Bila anak sulit makan dan memiliki berat badan yang kurang
dari rata-rata anak seusianya, orangtua patut waspada. Atau,
ada peningkatan berat badan tapi tak sesuai atau masih di
bawah jumlah yang semestinya (tidak sesuai dengan yang
tertera pada KMS/Kartu Menuju Sehat).
b.
Mudah sakit
Anak sakit batuk pilek wajar saja. Bedanya, anak yang
terinfeksi TB akan lebih mudah tertulari penyakit. Jika orang di
lingkungan sekitarnya batuk pilek, anak mudah tertulari atau
sebulan sekali mesti sakit. Kondisi ini patut mendapat
perhatian.
c.
Lemah, letih, lesu dan tidak bersemangat dalam
melakukan aktivitas
Anak-anak dengan TB, umumnya terlihat berbeda dari anak
kebanyakan yang sehat dalam beraktivitas. Ia tampak lemah,
lesu dan tidak bersemangat.
d.
Reaksi cepat BCG
Pada lokasi suntik vaksin BCG akan timbul tanda menyerupai
bisul. Jika reaksi ini muncul lebih cepat, misalnya seminggu
setelah pemberian, berarti tubuh anak sudah terinfeksi TB.
Padahal normalnya, tanda itu paling cepat muncul pada 2
minggu setelah anak divaksinasi BCG. Namun rata-rata,
benjolan pada kulit muncul setelah 46 minggu.
e.
Batuk berulang
Batuk berkepanjangan merupakan gejala yang paling dikenal
di kalangan masyarakat sebagai pertanda TBC. Batuk yang
awalnya berupa batuk kering kemudian lama-kelamaan
berlendir dan berlangsung selama 2 minggu lebih, merupakan
salah satu tanda TBC. Gejala ini akan muncul bila sudah
terdapat gangguan di paru-paru. Hanya saja, bedakan dari
batuk alergi dan asma.
f.
Benjolan di leher
Pembesaran kelenjar getah bening di leher samping dan di
atas tulang selangkangan bisa saja merupakan tanda TBC.
Karena , kelenjar getah bening merupakan salah satu benteng
pertahanan terhadap serangan kuman. Kelenjar ini akan
membesar bila diserang kuman. Namun, meski merupakan
salah satu gejala TB, tidak semua pembengkakan kelenjar
getah bening adalah gejala penyakit TB. Bisa jadi
pembengkakan itu karena adanya infeksi atau radang di
tenggorokan.
g.
Demam dan berkeringat di malam hari

Gejala awal TBC biasanya muncul demam pada sore dan


malam hari, disertai keluarnya keringat. Gejala ini dapat
berulang beberapa waktu kemudian. Namun hal ini tetap
belum dapat memastikan kalau anak menderita TBC. Tidak
selalu anak-anak yang berkeringat di malam hari menderita
TB. Keringat tidur justru merupakan pertanda sistem
metabolisme yang sedang aktif bekerja. Tak heran, pada saat
tidurlah anak-anak mengalami metabolisme yang pesat.
h.
Diare persisten
Diare akibat TBC biasanya tidak kunjung sembuh dengan
pengobatan biasa. Sebagai orangtua, kita bisa membantu
dokter untuk menjelaskan apakah gejala-gejala di atas
memang muncul pada anak atau tidak; berapa lama
berlangsungnya, dan seberapa sering gejala-gejala tersebut
muncul. Dari pengamatan kita sehari-hari, dokter akan sangat
terbantu
untuk
mendiagnosis
penyakit
anak
serta
memutuskan apakah perlu dijalani tes Mantoux atau tidak.
CARA MELAKUKAN UJI TUBERKULIN METODE MANTOUX
(TES MANTOUX)
1.
Siapkan 0,1 ml PPD ke dalam disposable spuit ukuran 1
ml (3/8 inch 26-27 gauge)
2.
Bersihkan permukaan lengan volar lengan bawah
menggunakan alcohol pada daerah 2-3 inch di bawah lipatan
siku dan biarkan mengering
3.
Suntikkan PPD secara intrakutan dengan lubang jarum
mengarah ke atas. Suntikan yang benar akan menghasilkan
benjolan pucat, pori-pori tampak jelas seperti kulit jeruk,
berdiameter 6-10 mm
4.
Apabila penyuntikan tidak berhasil (terlalu dalam atau
cairan terbuang keluar) ulangi suntikan pada tempat lain di
permukaan volar dengan jarak minimal 4 cm dari suntikan
pertama.
5.
Jangan lupa mencatat lokasi suntikan yang berhasil
tersebut pada rekam medis agar tidak tertukar saat
pembacaan. Tidak perlu melingkari benjolan dengan
pulpen/spidol karena dapat mengganggu hasil pembacaan.
Catatan
a.
Perhatikan cara penyimpanan PPD sesuai petunjuk
pada kemasan
b.
PPD aman bagi bayi berapapun usianya bahkan aman
pula bagi wanita hamil
c.
Tes Mantoux bukan merupakan kontra indikasi bagi:

Pasien yang pernah diimunisasi BCG

Pasien yang pernah dilakukan tes Mantoux sebelumnya


dan hasilnya positif (dalam hal ini pengulangan diperlukan
karena hasil tes Mantoux sebelumnya tidak tercatat dengan
baik)

Pasien sedang dalam kondisi demam, sakit, maupun


pasien dengan imunokompromais
d.
Adanya parut yang besar pada bekas tes Mantoux
sebelumnya merupakan petunjuk hasil positif pada tes
terdahulu dan tidak perlu diulang. Namun perlu ditekankan
bahwa tes Mantoux menggunakan PPD dan bukan vaksin
BCG.

Pembacaan
1.
Hasil tes Mantoux dibaca dalam 48-72 jam, lebih
diutamakan pada 72 jam

Minta pasien control kembali jika indurasi muncul


setelah pembacaan

Reaksi positif yang muncul setelah 96 jam masih


dianggap valid

Bila pasien tidak control dalam 96 jam dan hasilnya


negative maka tes Mantoux harus diulang.
2.
Tentukan indurasi (bukan eritem) dengan cara palpasi
3.
Ukur diameter transversal terhadap sumbu panjang
lengan dan catat sebagai pengukuran tunggal
4.
Catat hasil pengukuran dalam mm (misalnya 0 mm, 10
mm, 16 mm) serta catat pula tanggal pembacaan dan
bubuhkan nama dan tandatangan pembaca
5.
Apabila timbul gatal atau rasa tidak nyaman pada bekas
suntikan dapat dilakukan kompres dingin atau pemberian
steroid topikal

Catatan:
Reaksi hipersensitivitas terhadap tuberkulin yang munculnya
cepat (immediate hypersensitivity reactions) dapat timbul
segera setelah suntikan dan biasanya menghilang dalam 24
jam. Hal ini tidak mempunyai arti dan bukan menunjukkan
hasil yang positif.
INTERPRETASI TEST MANTOUX
Tes Mantoux dinyatakan positif apabila diameter indurasi >
10 mm. Kemungkinan yang perlu dipikirkan pada anak
dengan hasil tersebut:
a.
Terinfeksi tuberkulosis secara alamiah

b.
Infeksi TB mencakup infeksi TB laten, sakit TB aktif, atau
pasca terapi TB.
c.
Pernah mendapat imunisasi BCG (pada anak dengan
usia kurang dari 5 tahun)
d.
Pada pasien usia kurang dari 5 tahun dengan riwayat
vaksinasi BCG kecurigaan ke arah infeksi alamiah TB bila hasil
uji Mantoux > 15 mm.
e.
Infeksi mikobakterium atipik
Meskipun demikian, hasil uji Mantoux > 5 mm dapat
dipertimbangkan positif pada pasien tertentu seperti :
a.
Pasien dengan infeksi HIV
b.
Pasien dengan transplantasi organ atau mendapat
imunosupresan jangka panjang seperti pasien keganasan atau
sindrom nefrotik
False Negative
Pasien-pasien tertentu yang terinfeksi tuberkulosis mungkin
dapat menunjukkan hasil tes Mantoux yang negatif. Kondisi
demikian disebut dengan anergi. Anergi kemungkinan terjadi
pada pasien:

Berbagai faktor indvidual seperti usia, nutrisi, gagal


ginjal, imunosupresi karena obat (seperti kortikosteroid) atau
penyakit (seperti kanker, infeksi HIV, dan sarcoidosis)

Infeksi
virus
(seperti
Campak,Mumps,
Rubella,
mononucleosis, Varicella, dan influenza) dapat menurunkan
reaktivitas tuberkulin selama beberapa bulan

Setelah vaksinasi dengan vaksin virus hidup (seperti


Campak, Mumps, Rubella) akan teramati penurunan
reaktivitas tuberkulin. Oleh sebab itu, jika uji mantoux tidak
dapat dilakukan bersamaan dengan imunisasi Campak,
Mumps, dan Rubella, uji ditunda selama 4-6 minggu

Pasien dengan sakit TB berat seperti TB milier, meningitis


TB
Mengingat masa yang diperlukan untuk terbentuknya cellular
mediated immunity sejak masuknya kuman TB adalah 2-12
minggu maka hasil negatif pada pasien dengan kontak erat
penderita TB dewasa masih mungkin pasien sedang dalam
masa inkubasi.
PENYIMPANAN
PPD RT 23 harus disimpan pada suhu antara +2oC dan +8oC.
Terlindung dari cahaya. Jangan Dibekukan
Setelah Dibuka, isi vial harus digunakan dalam 24 jam.
Setelahnya jika ada sisa, harus dibuang.

TES LAIN

1.

2.

3.
4.

5.

Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu


berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan asam,
panjang 2-4/ dan lebar 0,3-1,5/, tidak bergerak dan suhu optimal
pertumbuhan pada 37C. Pemeriksaan bakteriologik terdiri atas 5
macam:
Sediaan mikroskopik
Bahan berupa pus, jaringan kulit dan jaringan kelenjar getah bening.
Pada pewarnaan dengan Ziehl Neelsen, atau modifikasinya, jika
positif kuman tampak berwarna merah pada dasar yang biru. Kalau
positif belum berarti kuman tersebut M. tuberkulosis, oleh karena
ada kuman lain yang tahan asam, misalnya M. leprae.
Kultur
kultur dilakukan pada media Lowenstein-Jensen, pengeraman pada
suhu 37. Jika positif koloni tumbuh dalam waktu 8 minggu. Kalau
hasil kultur positif, berarti pasti kuman tuberkulosis.
Binatang percobaan
Dipakai marmot, percobaan tersebut memerlukan waktu 2 bulan.
Tes biokimia
Ada beberapa macam, misalnya tes niasin dipakai untuk
membedakan jenis human dengan yang lain. Jika tes niasin positif
berarti jenis human.
Percobaan resistensi
Pemeriksaan histopatologi penting untuk menegakkan diagnosis.
Pada gambaran histopatologi tampak radang kronik dan jaringan
nekrotik mulai dari lapisan dermis sampai subkutis tempat ulkus
terbentuk. Jaringan yang mengalami nekrosis kaseosa oleh sel sel
epitel dan sel sel Datia Langhans.
Diagnosis pasti tuberculosis kutis tidak dapat ditegakkan
berdasarkan tes tuberculin yang positif karena tes ini
hanya menunjukkan bahwa penderita pernah terinfeksi
tuberculosis tetapi tidak dapat membedakan apakah
infeksi tersebut masih berlangsung aktif atau telah
berlalu. Pada tuberkulosis kutis, LED mengalami
peningkatan tetapi LED ini lebih penting untuk
pengamatan
obat
daripada
untuk
membantu
menegakkan diagnosis.
Perubahan patologis epidermis berupa proses berikut: HIPERPASA
1.Hiperkeratosis
yaitu hipertrofi dari lapisan tanduk.Ini sangat khas terlihat pada kornu
kutaneus.
2.Parakeratosis

yaitu inti sel lapisan tanduk masih ada.Ini terlihat pada psoriasis dan
keadaan lesi bersisik lainnya.
3.Akantosis
yaitu penebalan stratum spinosum. Ini terjadi pada psoriasis dan
wart(kutil).
4.Spongiosis
yaitu pembengkakan interselluler dan merupakan sebagian
gambarandermatitis dan eksema.
5.Akantolisis
yaitu melepasnya sel-sel epidermis sehingga terjadilah
eleft/vesikel dan bula pada epidermis. Ini terjadi pada
keadaan penyakit berlepuh yang disebut pemfigus.
5. Bagaimana proses terjadinya nodul, abses, dan fistula?
Sikatrik(Scare):

Proses penyembuhan luka sangat mempengaruhi terjadinya


sikatrik dan jaringan yang menyebabkan kontraktur, untuk itu
perlu diingat kembali fase-fase penyembuhan luka.
1. Fase Inflamasi / fase substrat / fase eksudasi / lag
phase
Biasanya berlangsung mulai hari pertama luka sampai hari
kelima. Fase ini bertujuan menghilangkan mikroorganisme
yang masuk kedalam luka, bendabenda asing dan jaringan
mati. Semakin hebat infamasi yang terjadi makin lama fase ini
berlangsung, karena terlebih dulu harus ada eksudasi yang
diikuti penghancuran dan resorpsi sebelum fase proliferasi
dimulai.
Fase ini mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen vaskuler
Pembuluh darah yang terputus pada luka akan menyebabkan
perdarahan dan tubule berusaha menghentikannya dengan
vasokonstriksi dan retraksi ujung pembuluh darah. Sel mast
dalam jaringan ikat menghasilkan scrotonin dan histamin yang
meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi eksudasi

cairan, penyebukan sel radang disertai vasodilatasi lokal yang


menyebabkan udem.
b. Komponen hemostatik
Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari
pembuluh darah saling melengket, dan bersama dengan jala
fibrin yang terbentuk ikut membekukan darah yang keluar dari
pembuluh darah.
c. Komponen selluler
Aktivitas seluler yang terjadi adalah pergerakan leukosit
menembus dinding pembuluh darah (diapedesis) menuju luka
karena daya kemotaksis. Leukosit mengeluarkan enzim
hidrolitik yang membantu mencerna bakteri dan kotoran luka.
Limfosit dan monosit yang kemudian muncul ikut memakan
dan menghancurkan kotoran luka dan bakteri.
2. Fase proliferasi / fase fibroplasi / fase jaringan ikat
Fase ini berlangsung dari akhir fase inflamasi sampai kira-kira
akhir minggu ketiga, mempunyai 3 komponen, yaitu :
a. Komponen epitelisasi
Epitel tepi luka yang terdiri dari sel basal terlepas dari
dasarnya dan berpindah mengisi permukaan luka. Tempatnya
kemudian diisi oleh sel baru yang terbentuk dari proses
mitosis. Proses migrasi hanya dapat terjadi ke arah yang lebih
rendah atau datar. Proses ini baru berhenti setelah epitel saling
menyentuh dan menutup seluruh permukaan luka.
b. Komponen kontraksi luka
Kontraksi luka disebut juga pertumbuhan intussuseptif, tujuan
utama adalah penutupan luka atau memperkecil permukaan
luka. Proses terjadinya kontraksi luka ini berhubungan erat
dengan proses fibroplastik. Fibroblast berasal dari sel
mesenkim
yang
belum
berdiferensiasi,
menghasilkan
mukopolisakarida, asam aminoglisin dan prolin yang
merupakan bahan dasar
kolagen serat yang
akan
mempertautkan luka. Serat dibentuk dan dihancurkan kembali
untuk penyesuaian diri dengan tegangan pada luka yang
cenderung mengkerut. Sifat ini bersamaan dengan sitat
kontraktil miofibroblast menyebabkan tarikan pada tepi luka.
c. Reparasi jaringan ikat
Luka dipenuhi sel radang, fbroblast dan kolagen yang disertai
dengan adanya peningkatan vaskularisasi karena proses
angiogenesis membentuk jaringan berwarna kemerahan

dengan permukaan berbenjol halus yang disebut jaringan


granulasi.
3. Fase remodeling/fase resorpsi/fase maturasi/fase
diferensiasi/penyudahan
Pada fase ini terjadi proses pematangan yang terdiri dari
penyerapan kembali jaringan yang berlebihan. Fase ini dimulai
akhir minggu ketiga sampai berbulan bulan dan dinyatakan
berakhir kalau semua tanda radang sudah lenyap. Udem dan
sel radang diserap, sel mudah menjadi matang, kapiler baru
menutup dan diserap, kolagen yang berlebihan diserap dan
sisanya mengerut sesuai dengan regangan yang ada. Selama
proses ini dihasilkan jaringan parut yang pucat, tipis dan lemas
serta mudah digerakkan dari dasar. Pada akhir fase ini
perupaan luka kulit mampu menahan regangan kira-kira 80%
kemampuan kulit normal. Hal ini tercapai kira-kira 3-6 bulan
setelah penyembuhan.
http://www.fisioterapimakassar.info/proses-penyembuhanluka.html
6. Apa faktor predisposisi dari penyakit di skenario?
7. DD?
Atypical Mycobacterial Diseases
Pathophysiology
Infections with atypical mycobacteria usually occur in
immunocompromised hosts due to host immunity and
resistance factors. Pulmonary infections can occur in patients
with impaired ventilation systems. These infections can also be
introduced after surgery and through contaminated injections
because atypical mycobacteria do not have the ability to pass
through the mucosa or the integument.
Differential Diagnoses

Actinomycosis
Cellulitis
Coccidioidomycosis
Cutaneous Manifestations of HIV Disease
Erythema Induratum (Nodular Vasculitis)
Mycobacterium Avium-Intracellulare Infection

Mycobacterium Marinum Infection of the Skin


Papulonecrotic Tuberculids
Pyoderma Gangrenosum
Sarcoidosis
Sporotrichosis
Wegener Granulomatosis
Yaws
Laboratory Studies
The optimal way to diagnosis atypical mycobacteria is by performing
a culture of tissue. This should be performed at multiple
temperatures 25, 37, and 42 to ensure that the cultures grow out
all possible pathogens.
The development of DNA fingerprinting technology, especially
pulsed-field gel electrophoresis, has been suggested as a diagnostic
tool. Polymerase chain reaction has been used to aid in diagnosing
these conditions.
In HIV-positive patients, autoantibodies versus interferon-gamma
should be considered as a reason for recurrence.
Imaging Studies
In 1999, Erasmus et al[35] noted that the radiologic manifestations of
pulmonary atypical mycobacteria infection are protean and include
consolidation, cavitation, fibrosis, nodules, bronchiectasis, and
adenopathy. Pulmonary atypical mycobacteria infection has 5
distinct clinicoradiologic manifestations: classic infection, nonclassic
infection, nodules in patients who are asymptomatic, infection in
patients with achalasia, and infection in patients who are
immunocompromised. Although classic atypical mycobacteria
infection may be indistinguishable from active tuberculosis, it is
usually more indolent. The characteristic radiologic features of
nonclassic atypical mycobacteria infection include bronchiectasis
and centrilobular nodules isolated to or most severe in the lingula
and the middle lobe. In patients with acquired immunodeficiency
syndrome, mediastinal or hilar adenopathy is the most common
radiographic finding.

Other Tests
Polymerase chain reaction is a new tool in diagnosing atypical
mycobacterial infections and can even be performed on tissue
specimens of the standard formalin-fixed paraffin-embedded type. [36]
The purified protein derivative test result is usually negative in
infections with atypical mycobacteria.
Medical Care
Infections with atypical mycobacteria can be treated with a variety
of antibiotics. Clarithromycin has shown good efficacy against a
broad range of atypical mycobacteria, but some organisms are
resistant, and proper sensitivities must be obtained.
Effective treatment of M kansasii infection can usually be
accomplished with a rifampin-based regimen, or a rifabutin-based
regimen can be used for patients who are HIV seropositive and
receiving antiretroviral therapy.
Jousse-Joulin et al[37] described skin and joint infection by M
chelonae treated with rescue treatment with interferon gamma.
Han et al[38] analyzed clinical and microbiologic features of 115 cases
involving rapidly growing mycobacteria isolated at the University of
Texas M.D. Anderson Cancer Center from 2000-2005. Antimicrobial
susceptibility test results demonstrated that M abscessus was the
most resistant species and thatMycobacterium mucogenicum was
most susceptible.
Surgical Care
A combined therapeutic approach, including surgical drainage,
debridement, and prolonged (>3 mo) treatment with combined
antimicrobial agents, has been used in some cases of atypical
mycobacteria.
In some cases based on clinical assessment, successful treatment
requires aggressive debridement of all infected subcutaneous
tissues and skin.

Split-thickness skin grafting has been successfully used to cover


large wounds. Grafting did not appear to foster recurrent infection.
Consultations
Consultations with infectious disease specialists, surgeons,
dermatologists, and pulmonary specialists may be necessary.
Medication Summary
The drug of choice depends on the sensitivity of an organism. M
kansasii is most susceptible to antituberculosis medications and can
be treated with minocycline.M scrofulaceum is not sensitive to
medications, and surgical removal is often required. Combinations of
medications based on sensitivities should also be used.M szulgai is
sensitive to medications. M haemophilum may be sensitive to paminosalicylic acid and rifampin or rifabutin. For M fortuitum and M
abscessus,combinations of medications that include ciprofloxacin,
clarithromycin, amikacin, cefoxitin, and tobramycin among others
have been used.
Antimycobacterial Agents
Class Summary
Therapy must cover all likely pathogens in the context of this clinical
setting.
View full drug information
Isoniazid (Nydrazid, Laniazid)

Used in isolation for prevention of tuberculosis and in combination to


treat tuberculosis and mycobacterial infections.
View full drug information
Clarithromycin (Biaxin)

Inhibits bacterial growth, possibly by blocking dissociation of


peptidyl tRNA from ribosomes, causing RNA-dependent protein
synthesis to arrest.
View full drug information
Streptomycin

Used in combination with other drugs in the treatment of MAI.


View full drug information
Ciprofloxacin (Cipro)

Used in combination with other agents in the treatment of MAI.


View full drug information
Rifabutin (Mycobutin)

Used for prevention of DMAI in patients with HIV.


View full drug information
Minocycline (Dynacin, Minocin)

Treats infections caused by susceptible gram-negative and grampositive organisms, in addition to infections caused by
susceptible Chlamydia,
Rickettsia,and Mycoplasma species
and
atypical mycobacteria.
View full drug information
Amikacin (Amikin)

For gram-negative bacterial coverage of infections resistant to


gentamicin and tobramycin. Effective against Pseudomonas
aeruginosa. Irreversibly binds to 30S subunit of bacterial ribosomes;

blocks recognition step in protein synthesis; causes


inhibition. Use IBW of patient for dosage calculation.

growth

Para-aminosalicylate sodium (Sodium P.A.S.)

Bacteriostatic agent useful against M tuberculosis. Inhibits onset of


bacterial resistance to streptomycin and isoniazid. Administer
aminosalicylate sodium with other antituberculous drugs.
View full drug information
Cefoxitin (Mefoxin)

Second-generation cephalosporin indicated for gram-positive cocci


and gram-negative rod infections. Infections caused
by
cephalosporin- or penicillin-resistant gram-negative bacteria may
respond to cefoxitin. Higher doses for severe or serious infections
required.

Sumber : http://emedicine.medscape.com/article/1105570-overview
TB CUTIS
TBC kutis (TB kulit)
A. DEFINISI
Tuberkulosis kutis adalah tuberkulosis pada kulit yang di
Indonesia disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan
mikobakteria atipikal.
B. EPIDEMIOLOGI
Di
Rumah
Sakit
Dr.
Cipto
Mangunkusumo
(RSCM)
skrofuloderma merupakan bentuk yang tersering yang didapat
(84%), disusul tuberkulosis kutis verukosa (13%), bentukbentuk yang lain jarang ditemukan. Lupus vulgaris yang
dahulu dikatakan tidak terdapat ternyata ditemukan, meskipun
jarang. Bentuk tersebut dahulu merupakan bentuk yang
tersering terdapat di negeri beriklim dingin (Eropa). Di Amerika
Serikat sejak dahulu jarang terdapat tuberkulosis kutis.

Faktor predisposisi terjadinya tuberkulosis kutis diantaranya


adalah kemiskinan, gizi kurang, penggunaan obat-obatan
secara intravena, dan status imunodefisiensi. Tuberkulosis
kutis pada umumnya ditemukan pada bayi dan orang dewasa
dengan status imunodefisiensi. Frekuensi terjadinya penyakit
ini pada wanita dan pria adalah sama. Penyakit ini dapat
terjadi di belahan dunia manapun, terutama di Negara
Negara berkembang dan negara tropis. Di negara berkembang
termasuk Indonesia, tuberculosis kutis sering ditemukan.
Penyebarannya dapat terjadi pada musin hujan dan
diakibatkan karena gizi yang kurang dan sanitasi yang buruk.
Prevalensinya tinggi pada anak anak yang mengonsumsi
susu yang telah terkontaminasi Mycobacterium bovi
.Tuberkulosis kutis dapat ditularkan melalui inhalasi, ingesti,
dan inokulasi langsung pada kulit dari sumber infeksi. Selain
manusia, sumber infeksi kuman tuberkulosis ini juga adalah
anjing, kera dan kucing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya penyakit ini
sering terkait dengan faktor lingkungannya ataupun
pekerjaannya. Biasanya penyakit ini sering ditemukan pada
pekerjaan seperti ahli patologi, ahli bedah, orang-orang yang
melakukan autopsi, peternak, juru masak, anatomis, dan
pekerja lain yang mungkin berkontak langsung dengan M.
tuberculosis ini, seperti contohnya pekerja laboraturium.
Sekarang, dimasa yang semakin efektifnya pengobatan
tuberkulosis sistemik, tuberkulosis kulit semakin jarang
ditemui. Data insiden dari penyakit ini menurut beberapa
rumah sakit memperkirakan angka sekitar 1-4%, walaupun itu
bukan menggambarkan keadaan yang sesungguhnya. Di
negara-negara barat, frekuensi yang terbanyak terjadi adalah
bentuk lupus vulgaris. Sedangkan untuk daerah tropis seperti
Indonesia, yang paling sering terjadi adalah skrofuloderma dan
tuberkulosis kutis verukosa. Tuberkulosis kutis menyerang
tanpa memandang jenis kelamin dan umur. Tetapi, insiden
terbanyak terjadi antara dekade 1-2.
C. ETIOLOGI
Tuberkulosis kutis merupakan penyakit kulit yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini juga dapat
disebabkan oleh Mycobacterium bovis dan terkadang juga

dapat disebabkan oleh vaksin Bacillus Calmette-Guerin.


Tuberkulosis kutis terjadi saat bakteri mencapai kulit secara
endogen maupun eksogen dari pusat infeksi. Klasifikasi
tuberculosis kutis yaitu tuberculosis kutis yang menyebar
secara eksogen (inokulasi tuberculosis primer, tuberculosis
kutis
verukosa),
secara
endogen
(Lupus
vulgaris,
skrofuloderma, tuberculosis kutis gumosa, tuberculosis orifisial,
tuberculosis miliar akut) dan tuberkulid (Liken skrofulosorum,
tuberkulid papulonekrotika, eritema nodosum). Tuberkulosis
kutis, seperti tuberkulosis paru, terutama terjadi di negara
yang sedang berkembang. Insidensi di Indonesia kian menurun
sejalan dengan menurunnya tuberkulosis paru. Hal itu tentu
disebabkan oleh kian membaiknya keadaan ekonomi. Bentukbentuk yang dahulu masih terdapat sekarang telah jarang
terlihat,
misalnya
tuberkulosis
kutis
papulonekrotika,
tuberkulosis kutis gumosa, dan eritema nodusum.5
D. BAKTERIOLOGI
Mycobacterium tuberculosis merupakan kuman yang bersifat
aerob dan merupakan patogen pada manusia, dimana bakteri
ini bersifat tahan asam sehingga biasa disebut bakteri tahan
asam (BTA), dan hidupnya intraselular fakultatif. Artinya,
bakteri ini tidak mutlak harus berada didalam sel untuk dapat
hidup. Mikobakterium tuberkulosis mempunyai sifat-sifat yaitu
berbentuk batang, tidak membentuk spora, aerob, tahan
asam, panjang 2-4/ dan lebar 0,3-1,5/, tidak bergerak dan
suhu optimal pertumbuhan pada 370 C. Bakteri ini merupakan
kuman yang berbentuk batang yang lebih halus daripada
bakteri Mycobekterium leprae, sedikit bengkok dan biasanya
tersusun satu-satu atau berpasangan.6
E. KLASIFIKASI
Klasifikasi tuberkulosis kutis menurut Pillsburry dengan sedikit
perubahan:
1. Tuberkulosis Kutis Sejati
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat
pada kelainan kulit disertai gambaran histopatologis yang
khas.
a. Tuberkulosis kutis primer
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulous chancre)

TBC kutis primer terjadi karena infeksi eksogen pada


penderita yang belum pernah terpapar dengan M.
Teubercukosis dan tidak mempunyai imunitas terhadap
kuman TB.
b. Tuberkulosis kutis sekunder
TBC kutis sekunder merupakan reinfeksi baik lokal
maupun sistemik pada individu yang pernah terinfeksi
dengan kuman TB sebelumnya.
Tuberkulosis kutis miliaris
Jenis ini timbul akibat perluasan secara hematogen pada
penderita TB yang mempunyai imunitas jelek, paling
sering pada penderita HIV/AIDS. Biasanya dijumpai pada
bayi dan anak-anak, juga bisa pada dewasa.
Skrofuloderma
Skrofuloderma
timbulnya
akibat
penjalaran
per
kontinuitatum dari organ dibawah kulit yang telah
diserang penyakit tuberkulosis. Sering berasal dari KGB,
juga dapat berasal dari sendi dan tulang.
Tuberkulosis kutis verukosa
Infeksi pada jenis ini terjadi secara eksogen, jadi kuman
langsung masuk ke dalam kulit, oleh karena itu tempat
predileksinya berada pada tungkai bawah, kaki dan yang
tersering yaitu di lutut. Pada penderita tuberkulosis aktif
dapat mengalami autoinokulasi dari sputumnya.
Tuberkulosis kutis gumosa
Tuberkulosis kutis ini terjadi akibat penjalaran secara
hematogen, biasanya dari paru. Kelainan kulit berupa
guma, yakni infitrat subkutan, sirkumskrip dan kronis,
kemudian melunak dan bersifat destruktif.
Tuberkulosis kutis orifisialis
Disebut juga tuberkulosis kutis ulserosa. Lokasinya
disekitar orifisium dan terjadi akibat berkontak langsung
dengan sputum, feses atau urin yang mengandung
kuman. Predileksinya pada mulut, sekitar anus dan
genitalia. Timbulnya bentuk ini disebabkan kekebalan
yang sangat kurang. Berupa ulkus dengan dinding yang
bergaung dan sekitarnya livid.
Lupus Vulgaris
Timbul pada penderita dengan imunitas baik dan pernah
terinfeksi kuman tuberkulosis. Dapat terjadi karena
perluasan
limfogen
atau
hematogen
dari
lesi

skrofuloderma atau vaksinasi BCG. Mempunyai gambaran


klinis yang berupa kelompok nodus eritematosa yang
berubah warna menjadi kuning pada tes diaskop (apple
jelly colour).
2. Tuberkulid
Tuberkulid merupakan reaksi id, yaitu kelainan kulit akibat
alergi. Pada kelainan kulit tidak ditemukan kuman penyabab,
kuman tersebut terdapat pada tempat lain di dalam tubuh,
biasanya di paru. Tes tuberkulin memberikan hasil positif.
a. Bentuk Papul
Lupus Miliaris Diseminatus Fasiei
Mengenai muka, timbulnnya secara bergelombang. Pada
diaskopi memberikan gambaran apple jelly colour seperti
pada lupus vulgaris.
Tuberkulid Papulonekrotika
Bentuk tuberkulid ini biasanya simetrik pada bagian
ekstensor dan anggota badan, berupa papula atau nodul
kemerahan dengan nekrosis ditengahnya, kemudian
menjadi krusta yang melekat. Dalam beberapa minggu
sembuh,
meninggalkan
sikatriks
atrofi
dikelilingi
hiperpigmentasi di sekitarnya.
Liken skrofulosorum
Merupakan bentuk tuberkuloid dengan erupsi likhenoid.
Kelainan kulit berupa beberapa papul miliar, warna dapat
serupa dengan kulit atau kemerahan (eritematosa).
Terutama terdapat pada anak-anak. Tempat predilesi
pada dada, perut, punggung dan daerah sakrum.
b. Bentuk granuloma dan ulseronodus
Eritema Nodosum (E.N.)
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada
ekstremitas bagian ekstensor yang diatasnya terdapat
eritema. Banyak penyakit yang dapat memberikan
gambaran klinis sebagai E.N., yang sering adalah lepra
sebagai Eritema Nodosum Leprosum, reaksi id karena
Streptococcus B hemoliticus, alergi obat secara sistemik
dam demam reumatik.
Eritema Induratum (E.I.) Bazin
Kelainan kulit juga berupa eritema dan nodus-nodus
indolen seperti pada E.N., tetapi tempat predileksinya
pada ekstremitas bagian fleksor. Perbedaan lain, pada E.I.
terjadi supurasi sehingga membentuk ulkus-ulkus.

Kadang-kadang tidak mengalami supurasi tetapi regresi


sehingga terjadi hipotrofi. Perjalanan penyakit kronik
residif.
Tuberkulosis kutis sejati berarti kuman penyebab terdapat
pada kelainan kulit isertai gambaran histopatologik yang khas.
Tuberkulosis kutis primer berarti kuman masuk pertama kali ke
dalam tubuh. Tuberkulid merupakan reaksi id, yang berarti
kelainan kulit akibat alergi. Pada kelainan tersebut tidak
ditemukan kuman penyebab, tetapi kuman tersebut terdapat
pada tempat lain di dalam tubuh, biasanya di paru. Pada
tuberkulid tes tuberkulin memberi hasil positif.
F. PATOGENESIS
Cara infeksi dari kuman M. Tuberculosis ini ada 6 macam yaitu
penjalaran langsung ke kulit dari organ di bawah kulit yang
telah dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya skrofuloderma,
inokulasi langsung pada kulit sekitar orifisium alat dalam yang
dikenai penyakit tuberkulosis, misalnya tuberkulosis kutis
orifisialis, penjalaran secara hematogen, misalnya tuberkulosis
kutis miliaris, penjalaran secara limfogen, misalnya lupus
vulgaris, penjalaran langsung dari selaput lendir yang sudah
diserang penyakit tuberkulosis, misalnya lupus vulgaris, atau
bisa juga kuman langsung masuk ke kulit yang resistensi
lokalnya telah menurun atau jika ada kerusakan kulit,
contohnya tuberkulosis kutis verukosa.
Hal-hal yang mempengaruhi timbulnya gejala klinik adalah
sifat kuman, respon imun tubuh saat kuman ini masuk kedalam
tubuh ataupun saat kuman ini sudah berada didalam tubuh
serta jumlah dari kuman tersebut. Respon imun yang berperan
pada infeksi M. tuberculosis adalah respon imunitas selular.
Sedangkan peran antibodi tidak jelas atau tidak memberikan
imunitas.
Bila terjadi infeksi oleh kuman M. Tuberculosis ini, maka kuman
ini akan masuk jaringan dan mengadakan multiplikasi
intraseluler. Hal ini akan memicu terjadinya reaksi jaringan
yang ditandai dengan datang dan berkumpulnya sel-sel
leukosit dan dan sel-sel mononuklear serta terbentuknya
granuloma epiteloid disertai dengan adanya nekrosis kaseasi
ditengahnya. Granuloma yang terbentuk pada tempat infeksi
paru disebut ghonfocus dan bersamaan kelenjar getah bening

disebut kompleks primer adalah tuberculous chancre. Bila


kelenjar getah bening pecah timbul skrofuloderma.4
G. IMUNOLOGI
Ternyata terdapat kolerasi antara bentuk-bentuk tuberkulosis
kutis dan imunitas. Stokes dkk mengadakan pembagian
tuberkulosis kutis berdasarkan imunitas sebagai berikut:2
a. Hiperergik, positif dengan tuberkulin pengenceran
tinggi (1:1.000.000 atau kurang) termasuk:
1. Liken skrofulosorum
2. Tuberkulosis kutis verukosa
3. Lupus vulgaris
b. Normogenik, positif dengan tuberkulin pengenceran
sedang (1:100.000) termasuk;
1. Lupus vulgaris
2. Skrofuloderma
3. Sebagian kecil Tuberkulid papulonekrotika
4. Sebagian eritema induratum
5. Inokulasi tuberkulosis primer (setelah minggu ke 3-4)
c. Hipoergik, tidak bereaksi atau bereaksi lemah dengan
tuberkulin pengenceran rendah (1:1.000 atau lebih):
1. Sebagian besar tuberkulid papulonekrotika
2. Sebagian kecil eritema induratum
3. Lupus miliaris diseminatus fasiei
d. Anergik ( tidak bereaksi):
1. Kompleks primer stadium dini
2. Tuberkulosis kutis miliaris lanjut
H. GAMBARAN KLINIS DAN DIAGNOSIS BANDING
Inokulasi tuberkulosis primer (tuberkulosis chancre)
Kompleks lesi primer meliputi kulit dan nodus limfatikus
terutama pada bayi dan anak-anak. Jalan masuk basil tuberkel
adalah paru-paru, luka kecil, kuku yang terbuka, atau luka
tusuk. Afek primer dapat berbentuk papul, pustul atau ulkus
indolen, berdinding tergaung dan disekitarnya livid. Masa
tunas 2-3 minggu, limfangitis dan limfadenitis timbul beberapa
minggu hingga beberapa bulan setelah afek primer, pada
waktu
tersebut
reaksi
tuberkulin
menjadi
positif.
Keseluruhannya merupakan kompleks primer. Pada ulkus
tersebut dapat terjadi indurasi, karena itu disebut tuberculous
chancre. Makin muda usia penderita makin berat gejalanya.
Bagian yang sering terkena adalah wajah dan ekstremitas

yang berhubungan dengan limphadenopaty regional. Biasanya


ditemukan pada daerah kulit yang mudah terkena trauma.

Tuberkulosis kutis miliaris


Tipe ini biasanya terjadi pada bayi dan anak-anak dengan
status imunokompromise. Fokus infeksi terdapat secara khusus
pada paru-paru atau selaput otak. Terjadi karena penjalaran ke
kulit dari fokus di badan. Reaksi terhadap tuberkulin biasanya
negatif (anergi). Ruam berupa eritema berbatas tegas, papul,
vesikel, pustul, skuama atau purpura yang menyeluruh. Pada
umumnya prognosisnya buruk.
Skrofuloderma
Tuberkulosis kutis murni sekunder yang terjadi secara
pekontinuitatum dari jaringan di bawahnya, misalnya kelenjar
getah bening, otot dan tulang. Skrofuloderma terjadi terutama
pada anak-anak dan dewasa muda pada bagian kulit yang
berada diatas nodus limfatikus dan daerah yang kelihatan
tulangnya. Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan
keluhan tambahan. Dimulai dengan infeksi sebuah kelenjar
yang selanjutnya menjadi berkembang menjadi periadenitis.
Beberapa kelenjar kemudian dapat meradang, sehingga
membentuk suatu kantong kelenjar klier packet. Pada
stadium selanjutnya terjadi perkejuan dan perlunakan, mencari
jalan keluar dengan menembus kulit diatasnya, dengan
demikian terbentuk fistel. Fistel tersebut kian melebar,
membentuk ulkus yang mempunyai sifat-sifat khas.
Tuberkulosis kutis verukosa
Tipe ini terjadi terutama pada orang dewasa, anak-anak dan
individu yang resisten terhadap terjadinya inokulasi eksternal
basil tuberkel. Infeksi terjadi secara eksogen, jadi kuman
masuk ke dalam kulit, oleh sebab itu tempat predileksinya
pada tungkai bawah dan kaki, tempat yang lebih sering
mendapat trauma. Gambaran klinis biasanya berbentuk bulan
sabit akibat penjalaran secara serpiginosa, yang berarti

penyakit menjalar ke satu jurusan diikuti penyembuhan di


jurusan yang lain. Ruam terdiri atas papul-papul lentikuler di
atas kulit yang eritematosa. Pada bagian yang cekung terdapat
sikatriks.

Tuberkulosis kutis gumosa


Tuberkulosis ini terjadi akibat penjalaran secara hematogen,
biasanya dari paru. Kelainan kulit berupa infiltrat subkutan,
berbatas tegas yang menahun, kemudian melunak dan bersifat
destruktif. Pada awalnya kulit berwarna normal dan lamakelamaan menjadi merah kebiruan. Lesi tersebar berbentu
makula dan papul berukuran kecil atau lesi berwarna
kemerahan. Kadang-kadang vesikuler danterdapat krusta.
Tuberkulosis kutis orifisialis
Pada umumnya terjadi pada pasien dengan penyakit
tuberkulosa pada organ-organ dalam. Sesuai dengan namanya
maka lokasinya di sekitar orifisium. Pada tuberkulosis paru
dapat terjadi ulkus di mulut, bibir atau di sekitarnya. Pada
tuberkulosis saluran cerna, ulkus dapat ditemukan di sekitar
anus. Pada tuberkulosis saluran kemih, ulkus dapat ditemukan
di sekitar orifisium uretra eksternum. Ulkus berdinding
tergaung, kemerahan, hemoragik, purulen dan sekitarnya livid.

Lupus vulgaris
Lupus vulgaris merupakan bentuk yang sering dan mengenai
terutama pada bagian yang sering terpapar misalnya pada
wajah dan ekstremitas. Cara infeksi dapat secara endogen
atau eksogen. Gambaran klinis yang umum adalah kelompok

nodus eritematosa yang berubah warna menjadi kuning pada


penekanan (apple jelly colour). Nodus-nodus tersebut
berkonfluensi berbentuk plak, bersifat destruktif, sering terjadi
ulkus. Pada waktu terjadi involusi terbentuk sikatriks. Bila
mengenai muka tulang rawan hidung dapat mengalami
kerusakan. Penyembuhan spontan terjadi perlahan-lahan di
suatu tempat, tetapi terjadi perjalanan di tempat lain, yang
dapat ke perifer atau serpiginosa.

Lupus milliaris diseminatus fasiel


Mengenai muka, timbulnya secara bergelombang. Ruam
berupa papul-papul bulat, biasanya diameternya tidak melebihi
5 mm, eritematosa kemudian meninggalkan sikatriks. Pada
diaskopi memberi gambaran apple jelly colour seperti pada
lupus vulgaris.
Tuberkulosis papulonekrotika
Lesi tipe ini terutama terjadi pada anak-anak dan dewasa yang
menderita TB pada bagian tubuh lain. Keadaan ini terjadi
karena adanya reaksi alergi terhadap basil tuberkel. Basil
menyebar secara hematogen pada orang dengan satus
imunitas sedang atau baik, akan tetapi fokus tuberkulosis
secara klinis tidak aktif pada saat terjadinya erupsi, dan pasien
sedang berada dalam keadaan sehat. Selain berbentuk
papulonekrotika juga dapat berbentuk papulopustul. Tempat
predileksi pada muka, anggota badan bagian ekstensor, dan
badan. Mula-mula terdapat papul eritematosa yang timbul
secara
bergelombang,
membesar
perlahan-lahan
dan
kemudian menjadi pustul, lalu memecah menjadi krusta dan
membentuk jaringan nekrotik dalam waktu 8 minggu, lalu
menyembuh dan meninggalkan sikatriks., kemudian timbul
lesi-lesi baru. Lama penyakit dapat bertahun-tahun.

Liken skrofulosorum
Lesi biasanya terjadi di daerah leher pada anak yang
menderita tuberkulosis tulang atau nodus limfatikus. Kelainan
kulit terdiri atas beberapa papul miliar, warna dapat serupa
dengan kulit atau eritematosa. Mula-mula tersusun tersendiri,
kemudian berkelompok tersusun sirsinar, kadang-kadang di
sekitarnya terdapat skuama halus. Tempat predileksi pada
dada, perut, punggung dan daerah sacrum. Perjalanan
penyakitnya dapat berbulan-bulan dan residif, jika sembuh
tidak meninggalkan sikatriks

Eritema nodusum
Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen terutama pada
ekstremitas bagian ekstensor. Diatasnya terdapat eritema.
Banyak penyakit yang juga dapat memberi gambaran klinis
sebagai Eritema Nodusum., yang sering: lepra sebagai eritema
nodusum leprosum, reaksi yang terjadi karena Streptococcus B
Hemolyticus, alergi obat secara sistemik, dan demam
reumatik.
Eritema induratum
Eritema induratum adalah suatu peradangan kronis dari
pembuluh darah arteri dan vena bersifat jinak, dan disertai
nekrosis lemak. Kelainan kulit berupa nodus-nodus indolen.
Tempat predileksinya pada daerah fleksor. Terjadi supurasi
sehingga
terbentuk
ulkus-ulkus.
Kadang-kadang
tidak
mengalami supurasi, tetapi regresi sehingga terjadi hipotrofi
berupa lekukan-lekukan. Perjalanan penyakit kronik residif.

Tuberkulosis chancre

Sindrom

Chancriform

syphilis

primer

yaitu
dengan

disertai chancre, penyakit catscratch,

sporotrichosis,

tularemia, infeksi M. marinum.


Tuberkulosis

kutis Kromomikosis,

verukosa

verukosa,

nevus

dan

frambusis

stadium II, veruka vulgaris,


infeksi

M.

pyoderma,

marinum,

chromomycosis,

bromoderma,

lichen

planus

hipertrofik, dermatosis aktinik


hipertropik.
Lupus Vulgaris

Sarkoidosis,
lymphocytoma,lymphoma,
lupus eritematosus kutaneus
kronik,

syphilis

tersier,

leprosy,

blastomycosis,

leismaniasis

lupoid

dan

pioderma.
Scrofuloderma

Aktinomikosis,
supurativa,

hidradenitis
limfopatia

venereum, infeksi jamur.


Tuberkulosis kutis gumosa

Pannikulitis,

infeksi

jamur

infasive, hidradenitis, syphilis


tersier.
Tuberkulosis
orifisialis

kutis Ulkus

aphthous,

histoplasmosis, syphilis.

Tabel 1. Diagnosis banding tuberkulosis kutis


I. DIAGNOSIS
Diagnosis tuberkulosis kutis didasarkan atas anamnesis
riwayat TB, pemeriksaan bakteriologik (untuk menentukan
etiologinya), pemeriksaan histopatologik (untuk menegakkan
diagnosis), dan tes tuberkulin. Ada juga yang menyebutkan
bahwa Reaksi berantai polimerase (polymerase chain reaction)
dapat dipakai untuk menentukan etiologi. Tetapi kerugiannya
tidak dapat mendeteksi kuman hidup, jadi kultur masih tetap
merupakan baku emas.10
J. PENATALAKSANAAN
Prinsip
pengobatan
tuberkulosis
kutis
sama
dengan
tuberkulosis paru. Untuk mencapai hasil yang baik hendaknya
diperhatikan syarat-syarat yaitu pengobatan harus dilakukan
secara teratur tanpa terputus agar tidak cepat terjadi
resistensi dan pengobatan harus dalam kombinasi. Dalam
kombinasi tersebut INH disertakan, diantaranya karena obat
tersebut bersifat bakterisidal, harganya murah dan efek
sampingnya langka. Sedapat-dapatnya dipilih paling sedikit 2
obat yang bersifat bakterisidal, dan keadaan umum diperbaiki.
Pemilihan obat tergantung pada keadaan ekonomi penderita,
berat-ringannya penyakit, dan adakah kontraindikasi. Dosis
INH (H) pada anak 10 mg/Kg BB, pada orang dewasa 5mg/Kg
BB, dosis maksimum 400 mg sehari. Rifampisin (R) 10 mg/kg
BB paling lama diberikan 9 bulan. Bila digunakan Z hanya
selama 2 bulan, kontraindikasinya penyakit hepar. Pirazinamid
(Z) 25 mg/kg BB, streptomisin (S) 15 mg/kg BB, dosis
maksimun streptomisin 90 gram. Ethambutol (E) 15 mg/kg BB.
Pada pengobatan tuberkulosis terdapat 2 tahapan, yaitu
tahapan awal (intensif) dan tahapan lanjutan. Tujuan tahapan
awal adalah membunuh kuman yang aktif membelah
sebanyak-banyaknya dan secepat-cepatnya dengan obat yang
bersifat bakterisidal. Tahapan lanjutan ialah melalui kegiatan
sterilisasi membunuh kuman yang tumbuh lambat.
Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, terjadi
pengurangan jumlah kuman disertai perbaikan klinis. Pasien
yang infeksi menjadi noninfeksi dalam waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan
menjadi negatif dalam waktu 2 bulan. Selama fase lanjutan

diuperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih


panjang. Efek sterilisasi obat untuk membersihkan sisa-sisa
kuman dan mencegah kekambuhan. Pada paien dengan
sputum BTA positif ada resiko terjadinya resistensi selektif.
Penggunaan 4 obat selama fase awal dan 2 obat selama fase
lanjutan akan mengurangi resiko terjadinya resistensi selektif.
Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB
ekstrapulmoner tidak terdapat resiko resistensi selektif karena
jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase
awal dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya
sudah memadai. Pada pasien yang pernah diobati ada resiko
terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang terdiri dari 5
obat untuk fase awal dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama
fase awal sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan
haruslah yang masih selektif. Pengobatan standar dengan INH,
Rifampisin dan Pirazinamid dapat diberikan pada wanita hamil
dan menyusui, dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin
tidak boleh diberikan.
Menurut The Joint Tuberculosis Committee of the British
Thoracic Society, fase awal diberikan selama 2 bulan yaitu INH
5 mg/kgBB, Rifampisin 10 mg/kgBB, Pirazinamid 35 mg/kgBB
dan Etambutol 15 mg/kgBB. diikuti fase lanjutan selama 4
bulan dengan INH dan Rifampisin untuk tuberkulosis paru dan
ekstra paru. Etambutol dapat diberikan pada pasien dengan
resistensi terhadap INH.
Terapi pembedahan berupa eksisi dapat dilakukan pada lupus
vulgaris, tuberkulosis kutis
verukosa yang kecil, serta skrofuloderma pada ekstremitas
bawah.
Pengobatan topikal pada tuberkulosis kutis tidak sepenting
pengobatan sistemik. Pada skrofuloderma, jika ulkus masih
mengandung pus dikompres, misalnya dengan larutan kalium
permanganas 1/5000.2,5,9
K. Prognosis
Prognosis dari penyakit ini baik apabila pasien bersedia
mengikuti terapi dengan bersungguh-sungguh dan selalu
menjaga kebersihan badan serta lingkungan sekitarnya.
http://id.scribd.com/doc/65955750/REFERAT-TUBERKULOSISKUTIS

Dermatologi Ed. 8
Papulonecrotic Tuberculids
Background
The tuberculids, first described by Darier in 1896, represent a form
of cutaneous hypersensitivity reaction to tuberculosis (TB) antigens.
[1]
Although many types of tuberculids have been described, most
are now understood to not be uniquely caused by tuberculosis.
However, papulonecrotic tuberculids (PNTs) and lichen scrofulosorum
are still widely accepted as true tuberculids.
The entity papulonecrotic tuberculid was first established by Pautrier
in 1936 as a distinct tuberculosis-associated disorder, when he
described the characteristic clinical and histopathologic features.
Papulonecrotic tuberculid is a chronic, recurrent, and symmetric
eruption of necrotizing skin papules arising in crops, involving
primarily the arms and the legs. A hallmark of this condition is that
lesions heal with varioliform scarring. The eruption is believed to
represent a hypersensitivity reaction to tuberculosis antigens
released from a distant focus of infection. Most patients react
markedly to the Mantoux skin test (purified protein derivative, PPD)
and may exhibit other evidence of current or past tuberculosis
infection.

Pathophysiology
The pathophysiology of papulonecrotic tuberculid is controversial.
Most authors believe this disease entity is triggered by an initial
Arthus reaction to mycobacterial antigens. This is then followed by a
hypersensitivity reaction in which antigens undergo opsonization by
antibodies, followed by immune complex deposition in small
cutaneous blood vessels. The ensuing complement cascade triggers
a leukocytoclastic vasculitis, leading to destruction of vessel walls
with ensuing tissue necrosis. However, other authors dispute this
mechanism, citing the lack of leukocytoclastic vasculitis in some
cases. Instead, they propose that the primary lesion is the result of
subacute lymphohistiocytic vasculitis that leads to thrombosis and
subsequent tissue necrosis.
Whatever underlies the pathophysiology, a consensus has been
reached that papulonecrotic tuberculid represents a true
hypersensitivity reaction rather than the result of a local cutaneous
tuberculosis infection. This is based on the observation that
papulonecrotic tuberculid lesions have consistently failed to either
stain positive for, or culture out, mycobacterial organisms. Although
the organisms are absent, mycobacterial DNA have been detected in
approximately half of the biopsy specimens subjected to polymerase
chain reaction. These observations support the idea that lesions of
papulonecrotic tuberculid are the result of released mycobacterial
antigens in the setting of a concurrent but distant infection.
Epidemiology
Frequency
United States
A decreasing incidence of papulonecrotic tuberculid began in the
second half of the 1900s and the decline continues to this day. This
phenomenon is attributed to aggressive tuberculosis control now
found in wide practice. Currently, almost all cases come from areas
outside of North America with high endemic rates of tuberculosis.
However, a rare US case, involving a previously healthy 9-year-old
girl from Chicago, Ill, was reported in 1990. [2] Historically, reports
indicate that young women and children are especially susceptible
to this disorder.

Papulonecrotic tuberculidlike lesions have also been associated


with other mycobacterial infections, including Mycobacterium
bovis and Mycobacterium kansasii, and from BCG vaccination.[3] With
the increased incidence of tuberculosis infection in patients with HIV,
[4]
the frequency of papulonecrotic tuberculid may increase, although
this has not yet occurred, due possibly to effective public health
measures to identify, isolate, and treat active cases of tuberculosis.
International
Papulonecrotic tuberculid is an uncommon disorder even in
populations with a high prevalence of tuberculosis, occurring in less
than 5% of active tuberculosis cases. In the literature, 91 cases were
reported during a 17-year period in South Africa in 1974. In addition,
12 cases from a period of longer than 30 years in England were
reported in 1986. In the latter study, most patients were immigrants
and had presumably acquired the infection outside of England.
Freiman et al reported a case in a 25-year-old woman from the
Philippines who had immigrated to Canada 8 years previously. [5]
Mortality/Morbidity
The condition typically follows a prolonged and relapsing course
lasting years, although spontaneous resolution has been reported.
Significant varioliform scarring is a sequela, and progression to lupus
vulgaris has been observed.[6, 7] An association with Takayasu
arteritis of the aortic arch has also been documented.
Sex
Females seem to be at a slightly increased risk for developing this
disorder.
Age
Children and young adults are more susceptible to this condition
than other people. In the 1974 study from South Africa, two thirds of
the patients were younger than 30 years.

History

The
characteristic
lesions
are
small,
erythematous,
inflammatory papules that undergo central ulceration and heal
spontaneously within weeks, leaving a varioliform scar.
Lesions arise in symmetric crops, typically with an acral
predilection. Characteristically, lesions develop over the extensor
surfaces, particularly the knees, the elbows, and the dorsum of the
hands and the feet, although widespread involvement may be
present.
New lesions form as older lesions resolve, giving the eruption a
polymorphous appearance.
Oral lesions have not been reported to date.
Papulonecrotic tuberculids have been reported to coexist with
lesions of erythema induratum,[8] as well as lichen scrofulosorum. [9] In
several reports, cutaneous lesions resolved with appropriate
antituberculosis therapy.
Physical
Primary lesion: The characteristic initial lesions are 2- to 8-mm,
erythematous papules that become pustules and undergo central
ulceration forming hemorrhagic-crusted papules. See the image

below.
Bilaterally symmetric papulonecrotic lesions on the
lower extremities.

Distribution: Lesions arise in symmetric crops, typically with an


acral predilection. Characteristically, lesions develop over the
extensor surfaces, particularly the knees, the elbows, and the
dorsum of the hands and the feet, although widespread involvement
may occur. Involvement of the glans penis has also been reported.

Color: Hyperpigmented to erythematous papules with central


crusting are seen early, and the lesions generally heal with scarring.

Lymph nodes: In one study, as many as one third of the cases


were associated with cervical lymphadenopathy, and some patients
developed scrofuloderma.

Causes
The eruption is a form of an exaggerated host immunologic response
to a mycobacterial infection involving the cutaneous vessels. Active
tuberculosis is reported in as many as 40% of patients.
Differential Diagnoses

Lymphomatoid Papulosis
Papular Urticaria
Pityriasis Lichenoides
Laboratory Studies

Patients should be evaluated for evidence of active


tuberculosis or other forms of mycobacterial infection. Tuberculous
involvement of the female genital tract may account for the
increased incidence in females, and a culture of menstrual fluid and
endometrial biopsy may be of value in excluding occult disease.

CBC count, chemistry panel, and urinalysis should be


performed.

The erythrocyte sedimentation rate is often very high and can


be used to monitor treatment. It decreases 4-6 weeks after
treatment is started.
Imaging Studies

Chest radiography is needed to rule out active or past


pulmonary tuberculosis.

Abdominal radiographs may show lymph node calcifications


typical of tuberculosis.
Other Tests

Mantoux (PPD) intradermal skin tests are usually strongly


positive. Some authors require this result for diagnosis. However,
false-negative negative results can occur in the setting of
immunosuppression. Hence, clinical correlation in such cases is
prudent.
Histologic Findings
The histologic features vary with the timing of the biopsy. In an early
lesion, evidence of a vasculitis, which is typically leukocytoclastic
with fibrinoid necrosis of the vessel wall and karyorrhectic debris,
should be present. However, some authors have found that the
primary lesion consists of lymphohistiocytic, rather than
leukocytoclastic, vasculitis.

Characteristic of the disorder is the presence of perivascular spongy


edema. Later, because of the obliterative vascular changes, a
wedge-shaped area of focal dermal necrosis develops, surrounded
by a granulomatous inflammatory infiltrate with giant cells and
epithelioid histiocytes. Well-formed tuberculoid granulomas with
Langerhans giant cells are not usually present in the lesions. Special
stains for mycobacteria are typically negative.
The histologic differential diagnosis depends on the timing of the
biopsy as well as the histologic appearance. In particular,
inflammatory palisading granulomas (ie, granuloma annulare and
infectious granulomas) may look similar as compared to those found
occasionally in papulonecrotic tuberculid. However, the ability to
exclude mucin and infectious organisms in effect rules out
granuloma annulare and infectious granulomas, respectively. [11]
Medical Care
Treatment is directed at eradicating the underlying mycobacterial
infection. Tuberculosis treatment guidelines may vary from region to
region and from different authorities (ie, the World Health
Organization [WHO] and the Centers for Disease Control and
Prevention [CDC]). Currently, for patients with active tuberculosis, a
4-drug therapy with rifampin, isoniazid, pyrazinamide, and
ethambutol (RIPE) is recommended to avoid the development of
resistance. Papulonecrotic tuberculids respond promptly to
appropriate antituberculosis therapy. New lesions cease forming
within days to weeks after therapy is initiated, and existing lesions
heal rapidly, usually within several months. A minimum of 6 months
of anti-tuberculosis therapy is recommended. Recurrences rarely
occur after appropriate therapy.
Also see the following guidelines:

Controlling
tuberculosis
in
the
United
States.
Recommendations from the American Thoracic Society, CDC, and
the Infectious Diseases Society of America.[12]

Guidelines for the investigation of contacts of persons with


infectious tuberculosis. Recommendations from the National
Tuberculosis Controllers Association and CDC.[13]

Medication Summary
The goal of pharmacotherapy is to eradicate the underlying
mycobacterial infection that causes papulonecrotic tuberculid.
Antitubercular agents
Class Summary
These agents are effective in the treatment of mycobacterial
infections. Therapy with a 4-drug combination of rifampin, isoniazid,
pyrazinamide, and ethambutol (RIPE) is recommended to avoid the
development of resistance.
View full drug information
Isoniazid (Laniazid, Nydrazid)

Best combination of effectiveness, low cost, and minor adverse


effects. First-line drug unless resistance or another contraindication
is known. Therapeutic regimens of < 6 mo demonstrate an
unacceptably high relapse rate. Coadministration of pyridoxine is
recommended to minimize risk of peripheral neuropathy secondary
to isoniazid therapy. Prophylactic doses of 6-50 mg of pyridoxine
daily are recommended. Twice-weekly dosing not recommended in
HIV patients with CD4 lymphocyte counts < 100 cells/L
View full drug information
Rifampin (Rifadin, Rimactane)

For use in combination with at least 1 other anti-TB drug. Inhibits


DNA-dependent bacterial RNA polymerase but not mammalian RNA
polymerase. Cross-resistance may occur. Treat for 6-9 mo or until 6
mo have elapsed from conversion to sputum culture negativity.
View full drug information
Pyrazinamide

Pyrazine analog of nicotinamide that may be bacteriostatic or


bactericidal againstM tuberculosis, depending on concentration of
drug attained at site of infection; mechanism of action is unknown.
Administer for initial 2 months of a 6-mo or longer treatment
regimen for drug-susceptible patients. Treat drug-resistant patients
with individualized regimens.
View full drug information
Ethambutol (Myambutol)

Diffuses into actively growing mycobacterial cells, such as tubercle


bacilli. Impairs cell metabolism by inhibiting synthesis of one or
more metabolites, which, in turn, causes cell death. No crossresistance demonstrated. Mycobacterial resistance is frequent with
previous therapy. Use in these patients in combination with secondline drugs that have not been previously administered. Administer
qd until permanent bacteriologic conversion and maximal clinical
improvement is seen. Absorption is not significantly altered by food.
Complications

Complications include significant varioliform scarring and those


of tuberculosis infections, including progression to lupus vulgaris.
Prognosis

Patients typically follow a waxing and waning course lasting


many years, although spontaneous resolution has been reported.

Papulonecrotic tuberculids respond promptly to appropriate


antituberculosis therapy. New lesions cease forming within days to
weeks after therapy is initiated, and existing lesions heal rapidly,
usually within several months. Recurrences are rare after
appropriate therapy.

Unfortunately, despite even the most aggressive efforts,


mortality is high in those infected with multidrug resistant
tuberculosis.
Sumber
:
http://emedicine.medscape.com/article/1105234overview

OBAT ANTITUBERKULOSIS YANG ADA DI INDONESIA

NAMA
OBAT
INH

DOSIS

Rifampisi
n

10 mg/Kg BB

5-10 mg/Kg BB

Pirazinami 20-35 mg/Kg BB


d
Etambutol Bulan I/II 25 mg/Kg BB,
berikutnya 15 mg/Kg BB
Streptomi 25 mg/Kg BB
sin

CARA
PEMBERIAN
Per os dosis
tunggal
Per os, dosis
tunggal waktu
lambung kosong
Per os dosis
terbagi
Per os dosis
tunggal
Im

EFEK SAMPING
YANG UTAMA
Neuritir perifer
Gangguan hepar
Gangguan hepar

Gangguan hepar
Gangguan N II
Gannguan N VIII,
terutama cabang
vestibularis

Nodul, Fistul, Abses

STEP 4

Tidak Nyeri

Tes Tuberkulin

TB Cutis

TB Tuberkulid

TB Sejati

Primer

TB (+)
Virulensi
Imunodefisiensi

Benjolan pada tulang


selangka

Sekunder

STEP 5
STEP 6
STEP 7

You might also like