You are on page 1of 27

PENDAHULUAN

Hemangioblastoma merupakan tumor vaskular jinak yang terjadi sebagian


besar pada serebelum dan medula spinalis. Hemangioblastoma terjadi
sekitar 2% keganasan intrakranial dan merupakan tumor primer dewasa
pada fossa posterior intraaksial yang paling sering. Hemangioblastoma
Susunan Saraf Pusat (SSP) biasanya adalah tumor sporadik, namun 30 %
pasien dengan hemangioblastoma terkait penyakit von Hippel-Lindau (VHL),
kelainan

yang

hemangioblastoma

didapat
pada

secara
retina

dominan
dan

SSP,

dengan
karsinoma

karakteristik
sel

renal,

phaeochromocytoma, endolymphatic sac tumours (ELSTs) dan kista pada


ginjal, pankreas dan epididimis. Usia rata-rata hemangioblastoma serebelum
pada penyakit VHL lebih muda secara signifikan dibandingkan pada tumor
yang sporadik.
Riwayat keluarga dengan penyakit VHL, adanya hemangioblastoma
tunggal, karsinoma sel renal, RCC, phaeochromacytoma atau ELST cukup
untuk menegakkan diagnosis klinis penyakit VHL. Namun, 20 % pasien
dengan penyakit VHL tidak memiliki riwayat keluarga dan pada kasus seperti
ini, dua hemangioblastoma atau hemangioblastoma dan tipe tumor VHL
lainnya diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Identifikasi tumor supresor
gen VHL pada tahun 1993 memfasilitasi diagnosis penyakit VHL, khususnya
pada pasien yang tidak sesuai kriteria diagnosis.
Walaupun hubungan antara hemangioblastoma dan penyakit VHL jelas
diketahui,

penelusuran

klinis

dan

radiologis

yang

menunjukkan

hemangioblastoma dapat tidak menunjukkan bukti penyakit VHL. Oleh


karena itu analisis mutasi VHL dapat digunakan untuk mendeteksi pasien
tanpa riwayat keluarga dan tanpa gambaran penyakit VHL lain (Woodward et
al, 2007).

LAPORAN KASUS
Seorang pria 34 tahun, Sumba, Kristen, Petani, Tamat SD, Kinan datang
dengan keluhan nyeri kepala. Nyeri kepala dikatakan terjadi sejak 20 hari
Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS). Nyeri kepala dirasakan di belakang
kepala, terasa berat dan kadang-kadang berdenyut. Awalnya nyeri kepala
masih bisa ditahan namun semakin hari nyeri kepala dirasakan semakin
bertambah berat sehingga membuat pasien tidak mampu melaksanakan
pekerjaannya. Pasien lebih banyak tertidur namun nyeri kepala masih tetap
dirasakan. Keluhan nyeri kepala ini disertai dengan muntah sebanyak satu
kali, menyemprot tanpa didahului dengan mual, volume sekitar 1 gelas kecil
dengan isi cairan dan makanan yang dikonsumsi. Pasien juga mengeluhkan
pandangan kabur yang dirasakan sejak 2 minggu SMRS, pasien tidak mampu
melihat dengan jelas benda yang berjarak 2 meter. Pandangan ganda tidak
dikeluhkan. Pasien tidak ada mengeluhkan kelemahan pada separuh tubuh,
tidak ada keluhan kesemutan separuh tubuh. Pasien tidak mampu berjalan
lagi sejak 2 minggu SMRS karena dikatakan kedua kakinya sulit berjalan dan
berjalan sebelumnya dengan posisi mengangkang. Pasien juga kesulitan
mengambil sesuatu dengan menggunakan tangan kirinya, jangkauan pasien
tidak tepat untuk mengambil barang. Pusing berputar tidak dikeluhkan,
kesemutan sekitar bibir disangkal.
Pasien dikatakan oleh keluarganya mulai tampak gelisah dan bicara
tidak

nyambung

sejak

minggu

SMRS,

pasien

tidak

bisa

diajak

berkomunikasi karena nyeri kepala yang diderita. Saat itu pasien sempat
dibawa dan dirawat di RSUD Waikabubak selama 5 hari kemudian pasien
pulang paksa karena tidak ada perubahan pada pasien. Setelah dirawat
selama 3 hari pasien dibawa lagi ke RSUD untuk dirawat karena kontak
2

pasien dikatakan semakin menurun. Pasien dirawat selama 4 hari kemudian


minta dirujuk ke RSUP Sanglah.
Saat di RSUP Sanglah pasien mengeluhkan nyeri kepala yang hebat,
pasien mengalami disorientasi namun masih mampu mengikuti perintah.
Riwayat panas badan disangkal, kejang disangkal, riwayat batuk sejak 1
bulan yang lalu, batuk berdahak warna kuning kental, muntah darah 3 hari
SMRS sebanyak 1 kali bercampur dengan makanan. Riwayat trauma kepala
disangkal. Tekanan darah tinggi tidak diketahui, kencing manis disangkal,
penyakit jantung tidak diketahui. Riwayat tumor di keluarga disangkal.
Pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum sakit berat, tekanan darah
110/80 mmHg, Nadi 60 kali/menit reguler, Frekuensi pernapasan 18
kali/menit tipe thorakoabdominal dan suhu aksila 37C. Status general dalam
batas normal.
Pada status neurologis didapatkan kesadaran GCS E3V4M6, sefalgia
kronis progresif,nistagmus fase cepat ke kanan, kaku kuduk (+) disertai
gangguan koordinasi pada sisi tubuh kiri berupa dismetri , tes telunjukhidung, telunjuk-hidung-telunjuk terganggu pada tangan kiri, disdiadokinesis
pada tangan kiri, gangguan tes tumit-lutut-ibu jari kaki pada kaki kiri, gait
belum dapat dievaluasi, VAS 10.
Berdasarkan pemeriksaan fisik dan anamnesa didapatkan diagnosis
sementara yaitu SOL Serebelum ec tumor serebelum ec susp astrositoma dd
meningioma dd abses. Setelah dilakukan CT sken kepala diagnosis menjadi
SOL

Serebelum

ec

tumor

serebelum

ec

astrositoma

pilokistik

dd

hemangioblastoma dd arachnoid cyst dengan hidrosefalus non komunikan.


Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah lengkap didapatkan
hasil : pada tanggal 21 Oktober 2011 didapatkan RBC 5,20; HGB 13,50;HCT
39,40. Tanggal 27 Oktober 2011 didapatkan RBC 5,13; HGB 13,40; HCT
39,20. Pada tanggal 8 Nopember 2011 RBC 4,56; HGB 12,00; HCT 35,70.
Terjadi transaminitis (SGOT 36,20; SGPT 234,90).
Penatalaksanaan pada pasien adalah dengan terapi medikamentosa
berupa injeksi kortikosteroid (dexamethason) 40 mg bolus selanjutnya 10 mg
3

tiap

jam

pemberian.

Tindakan

pembedahan

berupa

VP(Ventriculo-

peritoneal shunt) pada tanggal 17 Oktober 2011 kemudian dilakukan reseksi


tumor pada tanggal 28 Oktober 2011. Pemeriksaan sitologi cairan kista
didapatkan sediaan terdiri dari eritrosit dan tidak tampak seeding sel tumor.
Pemeriksaan

patologi

dan

imunohistokimia

didapatkan

gambaran

hemangioblastoma.
Pasien mengalami perkembangan klinis menuju ke arah baik. Setelah
dilakukan tindakan VP Shunt pada pasien masih didapatkan defisit neurologis
berupa nistagmus dan gangguan koordinasi pada sisi tubuh kiri, fukuda test
(+) 45 derajat ke arah kiri, gait ataksia (+) VAS 6-7. Pemeriksaan visus
didapatkan penurunan visus dengan visus 6/12 pada okuli dekstra dan 6/30
pada okuli sinistra. Pada funduskopi didapatkan papil N II bulat berbatas
tegas dengan perbandingan arteri dengan vena sebesar 2/3, retina baik dan
reflek makula (+). Selama perawatan gangguan koordinasi pada pasien
mengalami perbaikan, pasien mulai mampu melakukan tes dengan gerakan
yang semakin tangkas namun belum bisa berjalan lurus sampai pasien
dipulangkan pada tanggal 9 Nopember 2011 dengan VAS 2. Pada tanggal 18
Nopember 2011 pasien sudah mampu melakukan tes koordinasi dengan
gerakan yang tangkas dan pasien mampu mengikuti garis lurus, VAS 0 .

Gambar 2. CT sken penampang aksial, tampak lesi kistik pada area


serebelum.

Gambar 3. CT sken penampang koronal, tampak lesi kistik pada


serebelum kiri dengan hidrosefalus.

Gambar 4. CT sken penampang sagital, tampak area kistik di fossa


posterior

PEMBAHASAN
Berdasarkan anamnesa pada kasus didapatkan nyeri kepala yang semakin
memberat disertai muntah proyektil dan penurunan kesadaran yang
merupakan tanda peningkatan tekanan intrakranial akibat adanya suatu
space occupying lession (SOL). Gejala tumor intrakranial dapat dibagi
menjadi (Ngoerah, 1991):
1. Gejala umum dari tekanan intrakranium yang meningkat
a. Nyeri Kepala
Nyeri kepala ini dirasakan seperti berdenyut, dapat pula kepalanya
dirasakan seperti penuh. Nyeri kepala itu terutama dirasakan pada
pagi hari, baru bangun tidur karena saat tidur kepala letaknya lebih
rendah dan oleh karena PCO2 saat malam meningkat maka aliran
darah otak akan meningkat. Nyeri kepala itu akan bertambah keras
bila penderita mengejan bersin atau batuk. Bila nyeri kepala itu
dirasakan unilateral, maka mungkin tumor serebri lokasinya di sisi
nyeri

kepala

itu

dirasakan.

Tumor

subtentorial

biasanya

menimbulkan nyeri di belakang kepala atau suboksiput. Hal ini


sesuai dengan keluhan pasien yaitu adanya nyeri kepala pada
bagian belakang kepala yang dirasakan berdenyut namun dikatakan
nyeri semakin hari semakin memberat sehingga saat istirahat atau
beraktivitas atau saat malam dan pagi intensitas nyeri pada pasien
7

tetap tinggi. Adanya nyeri kepala pada bagian kepala belakang


yang kronis progresif mengarahkan dugaan awal pada adanya SOL
pada fossa infratentorial.
b. Muntah
Muntah ini juga terjadi terutama di pagi hari sewaktu bangun tidur,
biasanya tidak dibarengi oleh rasa mual. Muntah ini seringkali
proyektil sifatnya tetapi dapat pula tidak. Gejala ini juga ada pada
pasien kasus yaitu muntah yang proyektil tanpa didahului mual. Hal
ini menegaskan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial (TIK)
pada pasien ini.
2. Tanda-tanda fisik diagnosis pada tumor intrakranium
a. Papiledema
Pada setiap penderita dengan nyeri kepala yang kronis progresif
perlu dilakukan funduskopi untuk menentukan apakah tidak ada
papiledema. Pada permulaan dari suatu papiledema seringkali visus
untuk jangka waktu yang cukup lama, masih tetap baik, sebaliknya
pada papilitis atau neuritis retrobulbaris visus itu cepat sekali
menurun. Papiledema itu biasanya timbul pada kedua mata. Bila
ada papiledema, maka pada funduskopi akan terlihat batas papil
nervi optikus menjadi kabur. Ditemukan eksudat, papil tampak
menonjol. Ekskavasi papil menghilang. Menonjolnya papil biasanya
lebih dari 4 dioptri (D). Vena-vena di retina melebar dan berkelokkelok. Arteri menyempit, disamping itu tampak pula pendarahan
dan eksudat di retina. Lama-kelamaan akan timbulah atrofi papil
sekunder (papil pucat, pinggir tidak tajam dan tidak teratur dengan
pembuluh- pembuluh darah yang sempit).
Hal ini tidak sesuai pada pasien, pada pasien didapatkan gambaran
funduskopi dalam batas normal walaupun dengan penurunan visus
yang terjadi sudah dalam jangka waktu lama.
b. Bradikardia
8

Tekanan

intrakranium

yang

meningkat

dapat

menimbulkan

bradikardia. Disamping itu tekanan darah akan meningkat secara


progresif. Pernapasan dapat menjadi cepat yang diselingi oleh
pernapasan Cheyne Stokes. Hal ini semua timbul karena TIK yang
meningkat, akan menimbulkan iskemia dan gangguan pada pusat
vasomotorik dan pusat pernapasan di medula oblongata.
Pada pasien didapatkan tekanan darah yang masih dalam batas
normal begitu juga dengan frekuensi pernapasannya. Pada pasien
sudah terjadi bradikardi dengan frekuensi denyut nadi 60 x
permenit. Hal ini semakin menguatkan pada pasien terjadi tekanan
intrakranial yang meningkat akibat suatu SOL.
3. Gejala-gejala fokal
Berikut akan diuraikan gejala fokal yang sesuai dengan klinis
neurologis pada pasien. Pada pasien ditemukan adanya nistagmus dan
gangguan koordinasi pada sisi tubuh sinistra.
Tumor pada serebelum menimbulkan nyeri kepala pada daerah
suboksiput.

Disamping

itu

tumor

serebelar

dapat

menimbulkan

nistagmus dan ataksia serebelar. Bila tumor itu ada pada satu hemisfer
serebelum maka akan timbul ataksia hemiserebelar di sisi ipsilateral
(Ngoerah,1991).

Pada

pasien

ditemukan

gangguan

koordinasi

serebelar pada sisi kiri dengan kemungkinan terjadi tumor pada


serebelum sinistra. Hal ini sesuai dengan gambaran CT sken yang
menunjukkan adanya suatu tumor pada serebelum sinistra.
Gangguan koordinasi, dismetri dan asinergia serebelar yang terjadi pada
pasien terkait dengan lesi pada susunan yang mengatur koordinasi dengan
pusat pada serebelum. Serat eferen dari sel Purkinje pada korteks serebelum
mengadakan hubungan dengan inti serebelum yang merupakan tempat asal
jalur keluar dari serebelum (Gambar 1). Output dari inti serebelum adalah
bersifat eksitatori dan glutaminergik kecuali proyeksi ke oliva inferior yang
menggunakan GABA sebagai neurotransmiter. Nukleus fastigii menerima
serat aferen dari palaeocerebellum dan juga dari inti vestibular dan saraf
9

Vestibularis. Impuls eferen, sebagian besar menyilang pada dasar, melalui


batang otak menuju inti vestibularis khususnya nukleus vestibularis lateral
dan

menuju

formasio

retikularis.

Beberapa

serat

eferen

keluar

dari

serebelum melalui pedunkulus serebelum inferior dan sisanya melalui


pedunkulus serebelum superior pada fasikulus unsinatus. Nukleus fastigii
juga mengeluarkan serat proyeksi menuju nukleus Ventral lateral (VL)
talamus, yang selanjutnya memproyeksikan kepada area motorik. Nukleus
dentatus, menerima serat aferen dari sel Purkinje neoserebelum. Nukleus ini
mengeluarkan serat proyeksi menuju VL dan intralaminar talamus ipsilateral
dan secara kontralateral menuju nukleus ruber dan nukleus olivarius inferior
(Campbell, 2005; Haines,2004).
Serebelum merupakan bagian dari kompleks lengkung umpan balik
yang terlibat dalam koordinasi aktivitas motorik. Spindel otot bermielin yang
besar dan organ tendon Golgi yang bersifat aferen berjalan menuju
serebelum melalui traktus spinoserebelar dan masuk kedalam serebelum
pada pedunkulus serebelum inferior. Informasi ini diproses pada hemisfer
dan mempengaruhi aktivitas sel purkinje pada inti serebelum profunda pada
garis tengah (khususnya nukleus dentatus). Sel purkinje mengeluarkan
akson melalui pedunkulus serebelum superior menuju nukleus VL talamus
kontralateral yang selanjutnya mengirimkan impuls tersebut ke korteks
motorik. Serat kortikopontin desenden bersinaps dengan nukleus pontis pada
basis pons, yang selanjutnya mengirimkan akson pontoserebelar melalui
pedunkulus

serebelum

media

menuju

hemisfer

serebelum.

Serat

kortikomotor desending yang lain secara aktual mengeksekusi tugas-tugas


pada tangan. Serebelum diperlukan dalam memperhalus gerakan yang
diakibatkan

korteks

serebri.

Motorik

talamus

bertugas

untuk

mengintegrasikan aktivitas serebelum, ganglia basalis dan korteks serebri


(Campbell,2005; Haines,2004).
Biasanya, kerusakan yang hanya terjadi pada korteks mengakibatkan
gangguan ringan atau tidak terjadi disfungsi kecuali lesi yang besar atau lesi
10

yang menyebabkan peningkatan TIK. Akan tetapi, lesi yang melibatkan


korteks dan inti serebelum atau hanya inti serebelum akan menimbulkan
tanda serebelum yang jelas (Haines,2004).
Lesi yang melibatkan struktur garis tengah (korteks vermis, inti
fastigius) dan atau lobus flocculonodular menyebabkan ataksia trunkal
(titubation atau tremor), nistagmus dan head tilting. Pasien ini juga dapat
mengalami gait ataxia (wide-based), pasien tidak mampu berjalan tandem
(tumit-ibu jari), dan tidak mampu berjalan bertumpu pada tumit atau ibu jari
kakinya. Secara umum, lesi garis tengah menyebabkan defisit motorik
bilateral yang mempengaruhi otot-otot proksimal tubuh aksial dan limb
(anggota gerak) (Haines,2004).
Kerusakan pada korteks intermediet dan lateral serta inti globosus,
emboliformis

dan

dentatus

menyebabkan

kombinasi

beberapa

defisit

berupa : disartria, dismetria (hipometria, hipermetria), disdiadokinesia,


tremor (statis, kinetis, intention), fenomena rebound, gait serebelar dan
nistagmus. Salah satu defisit yang paling sering ditemukan pada pasien
dengan lesi serebelum adalah tremor intensi, yang sangat jelas terlihat
dengan tes telunjuk-hidung. Tes telunjuk-telunjuk juga digunakan untuk
mengetahui adanya tremor intensi dan untuk menilai fungsi serebelum. Tes
tumit-lutut juga menunjukkan adanya dismetri pada ekstremitas inferior. Jika
tes tumit-lutut-ibu jari kaki normal pada pasien yang membuka mata,
menunjukkan serebelum dalam keadaan intak. Jika tes ini diulangi pada
pasien yang sama dengan mata tertutup dan menunjukkan gangguan, hal ini
mengarahkan terjadi lesi pada sistem kolumna posterior-lemnikus medialis.
Kerusakan serebelum pada area intermediet dan lateral (inti atau korteks
dan inti) menyebabkan gangguan pergerakan pada sisi lesi dengan ataksia
dan masalah gaya berjalan pada sisi yang sama, pasien akan cenderung
terjatuh

menuju

sisi

lesi.

Hal

ini

terjadi

karena

inti

serebelum

memproyeksikan menuju talamus kontralateral, yang memproyeksikan


menuju medula spinalis kontralateral via traktus kortikospinalis. Sirkuit lain
11

(serebelorubralspinal)

dan

lengkung

umpan

balik

(cerebelloolivary-

olivacerebellar) mengikuti jalur yang sama. Akibatnya, ekspresi motor


unilateral

kerusakan

serebelum

terjadi

pada

sisi

lesi

karena

terjadi

persilangan sebanyak dua kali (Haines,2004).

Gambar 1. Jalur Koordinasi (Haines,2004)


4. Tanda lokasitorik yang menyesatkan
Suatu tumor intrakranial dapat menimbulkan manifestasi suatu lesi
yang tidak sesuai dengan daerah yang ditempati oleh tumor itu
sendiri. Manifestasi yang demikian disebut dengan tanda lokasitorik
yang menyesatkan yang terdiri dari kelumpuhan N VI, kelumpuhan N
III, babinski yang positif pada kedua sisi, gangguan mental, gangguan
endokrin dan ensefalomalasi (Ngoerah,1991).
12

Tanda lokasitorik yang menyesatkan ini tidak ditemukan pada pasien


kasus ini.
5. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meningkat
Tekanan

intrakranial

yang

meningkat

secara

progresif

akan

menimbulkan gangguan kesadaran dan disfungsi batang otak salah


satunya adalah yang disebut dengan sindroma herniasi serebelum di
foramen magnum. Suatu tumor subtentorial dapat menimbulkan
pressure cone dari satu atau kedua tonsila serebeli ke dalam foramen
magnum

sehingga

terjadi

kompresi

pada

medula

oblongata

(Ngoerah,1991).
Klinis akan tampak penderita mengalami nyeri kepala yang berat di
suboksiput. Disamping itu ada kaku kuduk dan spasme dari otot-otot
kuduk. Bila hanya satu tonsila serebelum yang mengalami herniasi
kedalam foramen magnum, maka akan timbul kedudukan distonik dari
kepala. Kedudukan ini dikenal dengan nama tonsillar tilt. Dalam
keadaan ini oksiput terputar ke bawah dan ke sisi kontralateral dari
tonsil yang terjepit. Hal ini mendukung didapatkannya kaku kuduk
pada pasien kasus ini, kemungkinan pada pasien sudah terjadi herniasi
tonsilar serebelum akibat adanya SOL serebelum.
Berdasarkan anamnesa dan pemeriksaan fisik mengarahkan kecurigaan
terjadinya SOL Serebelum akibat tumor serebelum. Berikut tumor-tumor
yang sering terjadi pada serebelum (Duus, 1994): tumor intrinsik yang
mengikuti aliran sirkulasi merupakan kasus yang sering terjadi. Tumor
tersebut jarang hanya terbatas pada daerah hemisfer serebelum yang
spesifik dan biasanya mencakup daerah di dekatnya bahkan juga daerah
yang jauh dengan menginvasi atau menekan dan menggeser daerah
tersebut. Tumor yang tumbuh dengan lambat, tidak memberikan tanda dan
gejala. Tumor dapat tidak memberikan tanda-tanda untuk beberapa waktu
karena kemampuan serebelum yang masih utuh untuk mengkompensasi
defisit yang berasal dari kerusakan yang menyerang satu atau lebih dari
segmen-segmennya. Oleh karena itu, jika tanda dan gejala serebelar
13

pertama kali timbul, tumor biasanya sudah jauh lebih besar daripada yang
diharapkan.
Dua tumor intrinsik ditemukan paling sering pada masa kanak-kanak
dan

pradewasa.

Tumor

tersebut

adalah

astrositoma

serebelum

dan

meduloblastoma (Duus,1994).
a. Astrositoma Serebelum
Tumor ini dapat berkembang sebagai massa tumor yang agak padat
pada satu hemisfer, dalam vermis atau dalam dinding ventrikel
keempat dengan utama kedalam ventrikel dan tekanan utama
mendesak tegmentum pons. Tumor ini biasanya tidak menginfiltrasi
jaringan disekitarnya seperti pada astrositoma serebrum. Pada
kenyataannya tumor tersebut tetap relatif kecil dan dapat dikelilingi
oleh kista besar berdinding lunak yang berisi cairan bening atau
berwarna dan kadang-kadang cairan gelatinosa. Dalam kasus seperti
ini yang merupakan SOL adalah kista yang mengelilingi, bukannya
tumornya itu sendiri (Duus, 1994).
b. Meduloblastoma
Tumor ganas ini timbul hanya pada serebelum. Jika berkembang pada
masa kanak-kanak, tempat terjadinya adalah di vermis dan lobus
flokulomodularis. Akibatnya anak-anak akan berjalan dengan gaya
jalan lebar-lebar, tersentak-sentak dan berayun dari satu sisi ke sisi
yang lain. Hanya jika tumor tumbuh kedalam hemisfer atau menekan
serebelum, akan timbul gejala dan tanda serebelar yang lain seperti
ataksia, asinergia, dismetri,disdiadokinesis, tremor hebat, hipotonia
dan akhirnya nistagmus, berkembang secara bertahap. Pertumbuhan
tumor kedalam pedunkulus serebelaris dan dari sana kedalam batang
otak, menimbulkan defisit saraf kranialis tambahan. Obliterasi
akuaduktus, ventrikel keempat atau foramen Magendie mempersulit
situasi klinis dengan menyebabkan kenaikan tekanan intrakranial
akibat

hidrosefalus

cenderung

hipertensif

menyebar

melalui

nonkomunikans.
ruang

Meduloblastoma

subaraknoid

dan

dapat
14

menyebar ke serebrum seperti juga pada sepanjang medula spinalis.


Pada dewasa muda, tumor ini biasanya timbul dalam satu hemisfer,
tidak pada garis tengah (Duus,1994).
c. Angioblastoma
Tumor nodular yang biasanya berisi kapiler ini, pertumbuhannya jinak
dan biasanya terlihat pada dewasa mudan dan dewasa usia
pertengahan. Merupakan kepentingan diagnostik bahwa tumor ini
sering berhubungan dengan angiomatosis dari retina. Tumor tumbuh
menjadi besar, yaitu ukuran yang mengisi ruang. Dalam sekitar 60%
kasus, tumor ini kecil dan melekat, terlihat seperti nodul hemoragik
pada dinding kista yang berbatas tegas dan bertanggung jawab
terhadap timbulnya semua tanda. Gejala biasanya ringan dan secara
primer dapat terdiri dari nyeri pada daerah leher dan oksipital, akibat
peningkatan tekanan intrakranial.
Berdasarkan hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan berupa CT
sken kepala didapatkan gambaran suatu tumor serebelum yang berbentuk
kistik, maka diagnosis yang ,mungkin dari pasien pada kasus adalah
astrositoma atau hemangioblastoma (angioblastoma). Untuk memastikan
diagnostik dilakukan pemeriksaan baku emas pada keganasan atau tumor ini
berupa pemeriksaan patologi. Berikut akan dijelaskan secara singkat tentang
hemangioblastoma serebelum terkait kasus ini.
Epidemiologi
Hemangioblastoma SSP jarang pada anak kurang dari 18 tahun dengan
frekuensi kurang dari 1 per 1.000.000. Tumor ini sebagian besar ditemukan
pada pasien dekade ketiga dan jarang dilaporkan terjadi pada bayi (Fisher et
al, 2006). Lokasi yang paling sering untuk hemangioblastoma SSP adalah
serebelum, diikuti pada batang otak dan medula spinalis.

Tumor dapat

terjadi sebagai lesi sporadik, sebesar 75 % kasus, atau sebagai manifestasi


penyakit VHL sebesar 25 % pasien. Hemangioblastoma SSP merupakan salah
satu presentasi sindrom VHL yang paling sering dan sekitar 21-72% pasien
15

dengan sindrom VHL mengalami hemangioblastoma SSP. Luaran klinis


hemangioblastoma sporadis dibandingkan dengan yang terkait penyakit VHL
adalah sebanding. Penyakit VHL mempengaruhi sekitar 1 pada 36.000
sampai 1 pada 45.000 individu. Sindrom von Hippel-Lindau merupakan
sindrom kanker autosom dominan dengan penetrance lebih dari 90% mulai
usia 60 tahun (Fisher et al,2006; Glasker et al,1999). Tumor ini terkait
dengan tumor ganas dan jinak, umumnya terdiri dari angiomatosis retina,
hemangioblastoma

SSP,

tumor

jinak

atau

kista

epididimis

dan

pheochromacytoma (Fisher et al,2006).


Pasien pada kasus ini berusia 34 tahun sesuai dengan epidemiologi
hemangioblastoma yang sering terjadi pada usia dekade ketiga. Riwayat
keluarga dengan tumor pada susunan saraf pusat disangkal oleh keluarga
pasien dan untuk menyingkirkan apakah pada kasus ini merupakan suatu
hemangioblastoma serebelum sporadis atau terkait penyakit VHL telah
dilakukan pemeriksaan funduskopi dengan hasil tidak ditemukan adanya
angioma pada pembuluh darah retina, sayangnya untuk mengeksklusi
adanya kista pada ginjal dan kelenjar pencernaan belum dilakukan.

Patogenesis
Inaktivasi tumor suppressor gene VHL menyebabkan tumor yang sangat
tervaskularisasi. VHL bekerja melalui dua jalur dengan pertama kali
melibatkan degradasi faktor A yang terinduksi hipoksia dan downregulasi
gen target proangiogeniknya yaitu gen vascular endothelial growth factor
(VEGF) dan platelet derived growth factor-B (PDGF B),dan jalur kedua
memicu penyusunan extacellular matrix (ECM). Sekresi faktor proangiogenik
merupakan penginduksi angiogenesis utama. Berkurangnya penyusunan
ECM berkaitan dengan angiogenesis pada penyakit VHL. Inaktivasi jalur
penyusunan VHLECM, terlihat tumor memiliki vaskularisasi yang banyak,
ECM yang rusak dan aktivitas matriks metaloproteinase 2 yang meningkat.
16

Hilangnya jalur VHL memicu degradasi faktor A yang terinduksi hipoksia


menyebabkan tumor dengan kadar VEGF yang meningkat namun dengan
densitas pembuluh darh mikro yang rendah, kemampuan penyusunan ECM
dan invasif yang rendah. Kehilangan integritas ECM ini akan memicu dan
mempertahankan angiogenesis dengan memberikan jalur untuk pembuluh
darah untuk menginfiltrasi tumor (Kurban et al, 2006).
Angiogenesis pada tumor memerlukan vascular endothelial growth
factor (VEGF) family dan sehingga VEGF merupakan target dalam strategi
terapi anti angiogenik terhadap kanker. Akan tetapi fungsi VEGF pada
jaringan normal tidak jelas dan dapat terganggu dengan terapi sistemik
tersebut. Pada kondisi patologis, peningkatan kadar ekspresi VEGF receptor
(VEGFR), VEGFR1,VEGFR2 dan VEGFR3 menyertai aktivitas VEGF. Ko-ekspresi
VEGFR1,2,dan 3 terdapat pada pembuluh darah mikro dekat epitel pada
mata, mukosa saluran pencernaan, hati, ginjal dan folikel rambut. Ekspresi
VEGFR1,2, dan 3 juga terobservasi pada pembuluh darah dan sinusoid
jaringan limfoid. Lebih jauh, VEGFR1 bukan VEGFR2 dan 3 terdapat pada
pembuluh

darah

mikro

pada

otak

dan

retina.

Mikroskop

elektron

menunjukkan bahwa ekspresi VEGFR1 terbatas pada perisit dan VEGFR2


pada

sel

endotel

pembuluh

darah

tonsil

yang

normal.

Temuan

ini

mengindikasikan bahwa VEGFR mempunyai pola distribusi spesifik pada


jaringan normal, menegaskan fungsi fisiologis VEGF yang terganggu oleh
terapi anti-VEGF sistemik. Salah satu fungsi tersebut yang melibatkan VEGF
pada hubungan parakrin antara epitel dan kapiler terdekat. Berikut akan
diuraikan VEGFR secara rinci (Witmer et al, 2002).
a. VEGFR 1
Pewarnaan granular lemah sampai kuat VEGFR1 ditemukan pada
kapiler dekat epitel seperti pada koriokapiler, kapiler proses siliaris
pada mata, kapiler lamina propria mukosa pencernaan, glomerulus
ginjal, kapiler sekitar folikel rambut dan di dalam papil folikel rambut,
kapiler traktus porta dekat duktus empedu pada hati dan kapiler
pleksus koroideus.
17

b. VEGFR 2
Serupa dengan VEGFR 1, pembuluh darah besar seperti arteriol,
venula, arteri dan vena negatif atau terwarna lemah untuk VEGFR2.
Pewarnaan granular VEGFR2 selalu ditemukan pada kapiler dekat
epitel dan jaringan limfoid yang memiliki VEGFR1 positif. Pada
jaringan limfoid, pewarnaan VEGFR2 lemah pada arteriol dan venula
dan berbeda pada endotelium sinusoid. Pada SSP, pewarnaan
VEGFR2 tidak ada pada pembuluh darah, berlawanan dengan
VEGFR1.
c. VEGFR 3
Kolokalisasi VEGFR3 dengan VEGFR1 dan VEGFR2 ditemukan pada
kepiler dekat epitel dan kapiler jaringan limfoid. Pada jaringan
limfoid, pewarnaan VEGFR3 lemah pada arteriol, berbeda dengan
yang terjadi pada venula dan vena dan sangat kuat pada endotel
sinosoid. Pewarnaan VEGFR3 pada pembuluh darah menunjukkan
pola intraseluler granular yang baik. Pengecatan VEGFR3 tidak ada
pada pembuluh darah pada SSP. Pengecatan VEGFR3 yang sangat
kuat terlihat pada pembuluh limfa hati berdinding tipis, vili saluran
pencernaan, ginjal, kulit dan jaringan limfoid. Pengecatan VEGFR3
pada jaringan nonvaskular terdapat pada parenkim serebri, sesuai
dengan pengecatan VEGFR3 yang difus pada elemen retina.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa up-regulation VEGF
pada sel stroma dan VEGFR terkait pada sel endotel tumor menegaskan
bahwa VEGF berfungsi sebagai regulator neovaskularisasi dan pembentukan
kista pada hemangioblastoma yang terkait penyakit VHL ataupun yang
sporadis (Voos et al, 1995).
Adanya VEGFR pada sel tumor terbukti pada kasus ini. Pada pengecatan
imunohistokimia didapatkan adanya VEGFR3 yang diselingi oleh banyak sel
stroma. Jadi pemeriksaan ini dapat meningkatkan nilai diagnostik pada
pasien hemangioblastoma serebelum.
18

Diagnosis
Diagnosis hemangioblastoma SSP secara tipikal ditegakkan sekitar 25
minggu dari onset gejala neurologis awal. Pasien umumnya mengeluh gejala
nyeri kepala, pusing, ataksia, dan mual (Fisher et al,2006). Tumor ini
berbatas tegas dan tervaskularisasi serta tidak menginvasi jaringan otak
sekitarnya, penyebaran tumor jarang terjadi. Walaupun penatalaksanaan
tumor sporadis telah terstandarisasi dan tidak menyebabkan masalah
umum, hemangioblastoma familial memerlukan pendekatan klinis yang
berbeda secara lengkap tertuju pada pasien dan keluarganya. Penegakkan
diagnosis masih tetap menemukan kesulitan dan kadang terlewatkan karena
sindrome ini bervariasi dalam keparahannya, jumlah lesi, dan jumlah organ
yang terkena serta analisis pedigree sering tidak dilakukan secara cukup
teliti.
Hemangioblastoma merupakan manifestasi paling sering dari penyakit
VHL, analisis genetik molekular yang aman yaitu gen VHL pada pasien
hemangioblastoma

mempunyai

diagnosis kelainan ini.

peranan

penting

dalam

penegakkan

Secara keseluruhan, diagnosis penyakit VHL

ditegakkan beberapa tahun setelah onset gejala. Deteksi dini dan follow up
selanjutnya cukup esensial untuk penatalaksanaan sindrom ini secara
adekuat. Kejadian hemangioblastoma multiple hanya ditemukan pada satu
kasus

sporadis,

sedangkan

64%

kasus

familial

mengalami

hemangioblastoma lebih dari satu melalui pemeriksaan neuroimaging


lengkap dan follow up, kejadian multiple merupakan good index untuk
penyakit VHL (Glasker et al, 1999). Namun hanya 19% pasien dalam
penelitian Glasker et al yang menunjukkan hemangioblastoma multiple saat
pertama kali datang untuk keluhan neurologi, dan hanya 36 % yang memiliki
gejala sebelumnya terkait lesi yang termasuk dalam penyakit VHL, hal ini
membuat diagnosis berdasarkan kriteria klinis kurang aman bagi pasien
dengan hemangioblastoma SSP. Analisis pedigree jika dilakukan dengan
sangat teliti dan cermat memiliki sensitivitas yang lebih tinggi dalam
mengidentifikasi pasien dengan penyakit VHL. Bagaimanapun alat dengan
19

sensitivitas tertinggi untuk menegakkan diagnosis adalah analisis genetik


molekuler gen VHL. Terdeteksi mutasi VHL pada 86 % pasien, yang
mengalami penyakit VHL. Sensitivitas dapat meningkat dengan perbaikan
metodologi genetika molekuler seperti yang dilaporkan pertama kali
mencapai nilai 99%. Ketika semua pasien yang positif dalam tes analisis
genetika molekular juga positif secara kriteria klinis, hal ini merupakan
metode yang lebih aman bagi pasien (Glasker et al,1999).
Tabel 1. Panduan Skrining untuk Penyakit Von Hippel-Lindau (VHL) (Leung et al, 2008)

Pada kasus ini ditemukan terjadi peningkatan sedikit jumlah sel darah
merah yang menurun setelah dilakukan pembedahan. Hal ini dapat
dijelaskan sebagai berikut. Terjadinya eritrositosis pada pasien dengan
hemangioblastoma serebelum diketahui dengan jelas. Hal ini terjadi dominan
pada pria dengan perbandingan 8:1, yang dapat dijelaskan terjadinya variasi
dalam

aktivitas

stimulasi

eritroid,

perbedaan

hormaonal,

kekurangan

simpanan zat besi pada wanita (Trimble et al,1991). Tidak ada gambaran
histologis spesifik yang dapat membedakan kelompok eritrositotik dengan
yang noneritrositotik. Eritrositosis selalu membaik setelah eksisi tumor.
Waldmann et al seperti dikutip oleh Trimble et al merupakan orang pertama
20

yang menunjukkan bahwa eritrositosis terjadi akibat stimulasi eritropoietik


oleh tumor. Tikus yang mengalami polisitemia, mendapat injeksi cairan kista
tumor meningkatkan besi yang berradiolabel bergabung kedalam sel eritroid
(Hennessy et al,1967). Peneliti selanjutnya mengkonfirmasi aktivitas cairan
kista dan menunjukkan aktivitas ekstrak tumor, cairan serebrospinal dan
serum. Menggunakan antiserum kelinci berlabel kedalam eritropoitin (Ep)
urin manusia, hemangioblastoma terlihat mengandung sel yang positif pada
pewarnaan Ep (Trimble et al, 1991). Investigasi ini menegaskan bahwa tumor
merupakan tempat sintesis dan sekresi Ep. Sayangnya pada kasus ini tidak
dilakukan pemeriksaan massa sel darah merah untuk mengetahui terjadinya
eritrositosis yang sebenarnya. Pada kasus juga tidak dilakukan pemeriksaan
eritropoietin

preoperatif

dan

postoperatif

sehingga

tidak

dapat

menghubungkan terjadinya peningkatan sel darah merah sebelum reseksi


dan penurunannya setelah reseksi dengan fungsi tumor dalam mensintesis
Ep.
Hemangioblastoma merupakan lesi vaskular yang meningkat dengan
pemberian kontras. Tumor dapat berupa solid, kistik atau hemoragik atau
campuran. Tumor ini sering berupa kistik dengan nodul mural. Imajing
MR(Magnetic

Resonanse)

menunjukkan

karakteristik

intensitas

rendah

sampai medium sinyal pada T-1 weighted images dan intensitas sinyal yang
tinggi pada T2-weighted images. Pembuluh darah yang memberikan makan
(feeding) atau yang mengaliri sel tumor didalam komponen perifer dan solid
dapat tampak sebagai area tubular aliran cairan (Leung et al, 2008).
Terdapat beberapa temuan karakteristik pada MRI,yang merupakan ciri
patognomonik pada massa fossa posterior intraaksial. Temuan yang paling
penting adalah (a) massa kistik, (b) jaringan solid nodul mural pada tepi
piamater yang mengalami penyangatan dengan pemberian kontras dan (c)
pembuluh darah besar didalam dan atau pada tepi massa (Jayaraman,2009).
Pada kasus ini penegakkan diagnosis secara radiologi hanya menggunakan
CT sken kepala, dimana nilai CT Sken memiliki nilai diagnostik yang lebih
rendah dalam menentukan lesi kistik. Namun dari hasil CT sken ditemukan
21

adanya suatu lesi kistik pada fossa posterior yang menyangat dengan
pemberian kontras dan terjadinya hidrosefalus obstruktif akibat massa kistik
tersebut. Dari gambaran CT sken ini kita mampu mengerucutkan diagnosa
banding

lesi

kistik

pada

fossa

posterior,

dimana

hemangioblastoma

merupakan lesi kistik yang paling sering terjadi di fossa posterior.


Pemeriksaan patologis makroskopis hemangioblastoma menunjukkan
massa kistik berbatas tegas dengan nodul solid yang memiliki banyak
vaskularisasi didalam dinding kista. Disamping dari nodul mural, dinding
kista tidak terlibat pada tumor namun lebih sering berupa gliosis sederhana.
Nidus solid terletak superfisial dan faktanya, selalu terdiri dari piamater
(Jayaraman,2009).

Secara

mikroskopis,

gambarannya

berbeda

dengan

penampakan makroskopisnya, tumor tidak berkapsul ataupun tidak berbatas


tegas dan dapat menginvasi parenkim serebelum. Nodul mural merupakan
massa hipervaskular kapiler dengan diselingi stroma neoplastik yang tampak
jinak (Jayaraman,2009). Hal ini sesuai dengan hasil pemeriksaan patologis
pada kasus. Ditemukan banyaknya vaskular didalam sel stroma tumor, dan
tampak adanya batas yang tegas antara tumor dengan jaringan serebelum.
Hemangioblastoma serebelum berdasarkan gambaran histologi dan
radiologi dibedakan menjadi empat tipe. Tipe 1 (5% hemangioblastoma fossa
posterior) yang merupakan kista sederhana tanpa nodul makroskopis. Tipe 2
adalah kista dengan nodul mural (60%). Tipe 3 atau tumor solid (26%) dan
tipe 4 atau tumor solid dengan kista internal yang kecil (9%) (Slater et al,
2003).
Penanganan
Reseksi tumor dilakukan pada pasien sebagai terapi definitifnya. Terapi
hemangioblastoma SSP meliputi reseksi bedah tumor simptomatis dengan
embolisasi arteri preoperatif. Akan tetapi hemangioblastoma yang terkait
dengan penyakit VHL dapat sulit ditangani melalui pembedahan, namun hal
ini dapat teratasi dengan adanya teknologi yang disebut dengan gamma
knife therapy (Leung at al,2008). Penanganan kasus yang asimptomatis
22

masih kontroversial, dimana tumor dapat menunjukkan pertumbuhan


spontan yang tidak dapat diprediksi. Penanganan melalui operasi masih
merupakan suatu tantangan, dengan hampir mencapai 15 % pasien
mengalami komplikasi pembedahan yang signifikan dan tingkat rekurensi
mencapai 20% pada pasien yang telah menjalani reseksi tumor (Fisher et
al,2006). Embolisasi endovaskular diusahakan ketika terdapat satu atau dua
pembuluh darah feeding yang utama.
Pada kasus yang tidak mampu dilakukan reseksi, pilihan terapi alternatif
seperti radioterapi dan kemoterapi gagal menghasilkan respon yang
signifikan. Studi histopatologi menunjukkan ekspresi VEGF. Temuan ini
menjadi

dasar

penggunaan

terapi

antiangiogenik

spesifik

pada

hemangioblastoma dengan target pada proses signaling VEGF. Salah satu


antiangiogenik adalah SU5416, suatu molekul kecil yang menghambat
reseptor tyrosine kinase seperti VEGFR kinase regio dominan dan reseptor
PDGF (Auethavekiat et al, 2005; Richard et al,2002), yang dipasarkan
pertama kali pada bulan Agustus 2001. Untuk terapi, diberikan dosis 145
mg/m2 melalui infus dua kali per minggu dapat ditoleransi. Segera setelah
awal pemberian, paresis membaik dan hipestesia dan disaesteria yang
terjadi sebelumnya dapat berkurang. Terapi dilanjutkan dan tetap dapat
diberikan lebih dari 24 bulan (Auethavekiat et al, 2005).
Prognosis
Hemangioblastoma SSP memiliki kepentingan prognostik, tumor ini
cenderung untuk menginduksi pembentukan kista yang meluas yang dapat
menyebabkan komplikasi yang mengancam nyawa dan sering memerlukan
tindakan kegawatdaruratan. Hemangioblastoma serebelar menyebabkan
kematian pada 82 pasien (Neumann et al, 1992). Untuk itu sangat penting
suatu kritikal dalam penatalaksanaan klinis pasien penyakit VHL. Deteksi dini
dapat memperbaiki prognosis secara signifikan. Untuk mengidentifikasi
pembawa (carrier) yang asimptomatik dan lesi dini, diperkenalkan suatu
program skrining standar untuk pasien dengan risiko penyakit VHL (Tabel 1).
23

Sebagai tambahan, analisis genetik memberikan kesempatan mendiagnosis


individu yang presimptomatis. Skrining untuk lesi SSP dapat dimulai pada
usia 10 tahun, pasien termuda dengan hemangioblastoma ditemukan pada
anak usia 12. Teknik imajing seperti MRI meningkatkan nilai diagnostik untuk
deteksi

dini

lesi

SSP

yang

kecil

dan

untuk

memperlihatkan

hemangioblastoma multipel, gambaran ini ditemukan pada 42 % pasien


dalam penelitian Neumann et al (1992) dan pada studi yang dipublikasikan
sekitar 50% hemangioblastoma terkait penyakit VHL.
Usia juga merupakan faktor penting, hemangioblastoma SSP pada
pasien VHL menjadi simptomatis sekitar 15 tahun lebih muda dibandingkan
pasien

dengan

hemangioblastoma

sporadis

(Neumann

et

al,

1992).

Parameter yang lain adalah lokasi tumor dan gambaran makroskopis dan
histopatologi, yang tidak berbeda secara signifikan pada kedua kelompok.
Follow

up

pemeriksaan

diperlukan

pada

pasien

dengan

hemangioblastoma SSP. Pada penelitian yang dilakukan Neumann et al


(1992) ditemukan sekitar 21 % pasien hemangioblastoma SSP belum
mengalami manifestasi sindrom pada saat intervensi neurosurgikal. Pada 47
% pasien VHL dengan hemangioblastoma, lesi non neurologis teridentifikasi
hanya

selama

program

skrining.

Hal

ini

mengindikasikan

bahwa

hemangioblastoma SSP merupakan manifestasi awal sindrom VHL.


SIMPULAN
Hemangioblastoma merupakan tumor intrakranial yang jarang, kejadian
paling sering terjadi pada serebelum. Tumor ini bisa terjadi secara sporadis
atau terkait dengan penyakit VHL atau menjadi bagian dari sindrom.
Hemangioblastoma merupakan manifestasi awal sindrom tersebut sehingga
hal ini menyebabkan terlambatnya penegakkan diagnosis karena sebagian
besar hemangioblastoma asimptomatis. Untuk itu sangat perlu dilakukan
skrining penyakit VHL pada pasien dengan manifestasi salah satu dari gejala
sindrom VHL. Semakin dini penegakkan diagnosis maka akan semakin baik
prognosis pasien. Penatalaksanaan hemangioblastoma ini untuk kuratif
24

masih dengan reseksi yang menunjukkan hasil luaran yang baik. Sekarang
ini

telah

berdasarkan

dikembangkan

terapi

pengetahuan

alternatif

terhadap

berupa

patogenesis

antiangiogenesis
dan

patologi

hemangioblastoma.

DAFTAR PUSTAKA
Auethavekiat et al. 2005. Hemangioblastomas: Diagnosis of von HippelLindau Disease and Antiangiogenic Treatment with SU5416. Journal of
Clinical Oncology. Available at :http://jco.ascopubs.org. (Accessed: Nov
24,2011).
Campbell, William, W., 2005. DeJongs The Neurologic Examination. Sixth
edition. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins. Pp 511-533.

25

Duus, Peter., 1994. Diagnosis Topik Neurologi: Anatomi, Fisiologi, Tanda,


Gejala. Edisi 2., Jakarta: EGC. Hal 315-316
Fisher, C., Rajpurkar, M.,Alcasabas, P.,Curtis, M. 2006. Central Nervous
System Hemangioblastoma and von Hippel-Lindau Syndrome: A Familial
Presentation.
Clin
Pediatr
45:
456.
Available
at
:http://cpj.sagepub.com/content/45/5/456. (Accessed: Nov 20,2011)
Glasker, S., Bender, B.U., Apel, T.W., Natt, E., van Velthoven, V., Scheremet,
R., Zentner, J., Neumann,H.P.H. 1999. The impact of molecular genetic
analysis of the VHL gene in patients with hemangioblastomas of the
central nervous system. J Neurol Neurosurg Psychiatry 67: 758-762.
Available at: http://jnnp.bmj.com (Accessed: Nov 24,2011)
Haines, D.E., 2004. Neuroanatomy Atlas. Sixth edition. Mississippi. Chapter
7., pp 204-208.
Hennessy,
T.G.,
Stern,
W.E.,
Herrick,
S.E.
1967.
Cerebellar
Hemangioblastoma: Erythropoietic activity by radioiron assay. Journal of
Nuclear Medicine 8: 601-606.
Jayaraman, M.V., Boxerman, J.L., 2009, Adult Brain Tumor in Atlas S.W. (ed):
MRI of the Brain and Spine., Volume two. Lippincott Williams and Wilkins,
pp 510-515
Kurban , G., Hudon, V., Duplan, E. 2006. Characterization of von HippelLindau pathway involved in extracellular matrix remodeling, cell
invasion and angiogenesis. Cancer Research 66:1313-1319. Available
at:http://cancerres.aacrjournals.org (Accessed: Nov 24,2011).
Leung, R.S., Buwas, S.V., Duncan, M., Rankin, S. 2008. Imaging features of
von Hippel-Lindau Disease. RadioGraphics. Volume 28: 65-79
Ngoerah, I GNG.,1991. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Saraf. Edisi pertama.
Surabaya: Airlangga University Press., hal 338-342
Neumann, H.P.H., Eggert, H.R., Scherement, R., Schumacher,M., Mohadjer,
M., Wakhloo, A.K., Volk, B., Hettmannsperger, U., Rilgler, P., Schollmeyer,
P., Wiestler, O. 1992. Central nervous system lessions in von HippelLindau Syndrome. Journal of Neurology, Neurosurgery and Psychiatry 55:
898-901. Available at :http://jnnp.bmj.com (Accessed: Nov 24, 2011).
Richard, S., Croisille, L., Yvart, J., Casadeval, N., Eschewege, P. 2002.
Paradoxical secondary polycythemia in von Hippel-Lindau patients
treated with anti-vascular endothelial growth factor receptor therapy.
26

Blood
99:3851-3853.
Available
at:http://bloodjournal.hematologylibrary.org (Accessed: Nov 24,2011).
Slater, A., Moore, N.R., Huson, S.M. 2003. The natural history of cerebellar
hemangioblastomas in von Hippel-Lindau Disease. AJNR 24:1570-1574.
Available at:http://www.ajnr.com (Accessed: Nov 24,2011).
Trimbel, M., Caro, J., Talalia, A., Brain, M. 1991. Secondary erythrocytosis due
to Cerebellar Hemangioblastoma : Demonstration of erythropoietin
mRNA
in
the
tumor.Blood.78:599-601.
Available
at
http://bloodjournal.hematologylibrary.org. (Accessed: Nov 20,2011)
Voos, S.W., Breier, G., Risau, W. 1995. Up-regulation of vascular endothelial
growth factor and its receptors in von Hippel-Lindau Disease-associated
and sporadic hemangioblastoma. Cancer Research 55: 1358-1364.
Available at:http://cancerres.aacrjournals.org (Accessed: Nov 24,2011)
Witmer, A.N., Dai, J., Weich, H.A., Vrenten, G.F.J.M., Schlingeman, R.O. 2002.
Expression of vascular endothelial growth factor receptors 1, 2, and 3 in
quiescent endothelia. The Journal of Histochemistry & Cytochemistry
50(6): 767-777. Available at:http://www.jhc.org. (Accessed: Nov
24,2011).
Woodward, E.R; Wall, K., Forsyth, J., Macdonald, F.,Maher, E.R. 2007. 2VHL
mutation analysis in patients with isolated central nervous system
haemangioblastoma. Brain, 130:836-842.

27

You might also like