Professional Documents
Culture Documents
A. Definisi BPH
Benign prostatic hyperplasia (BPH), merupakan neoplasma jinak yang paling umum
pada pria merupakan kondisi gejala kronis yang dikaitkan dengan kencing progresif pada
saluran bawah urinari dan mempengaruhi hampir 3 dari 4 laki-laki selama dekade ketujuh
kehidupan ( Wei, John T, 2005).
Benign prostatic hyperplasia (BPH) adalah penyakit yang etiologinya tidak diketahui
yang secara signifikan mempengaruhi kualitas hidup pada pria penuaan (Prakash, 2002).
B. Epidemiologi
Studi landmark yang dilakukan oleh Berry dan kawan-kawan (1984) dengan
meringkas data dari lima penilitian sebelumnya menunjukkan bahwa tidak ada pria yang
lebih muda dari umur 30 tahun memiliki bukti mengidap BPH dan prevalensi naik seiring
dengan kelompok usia , memuncak pada 88% pada pria berumur 80-an.
Prevalensinya meningkat pesat dalam dekade ke-empat kehidupan, hampir mencapai
100% dalam dekade ke-sembilan. Prevalensi otopsi usia tertentu diberbagai negara
menghasilkan hasil yang hampir mirip dalam semua populasi diteliti tanpa memandang
etnis dan geografisnya (Roehrborn, GC, 2005).
C. Etiologi
Pembesaran jinak prostata sering ditemukan pada laki-laki berusia lebih dari 50 tahun.
Penyebabnya mungkin karena ketidakseimbangan pengendalian hormon.
(Snell, S Richard, 2006).
Meskipun beberapa dekade penelitian intens, etiologi BPH masih kurang dipahami.
Dari hipotesis dominan, hipotesis (DHT) hormon atau dihidrotestosteron sangat sering
disebutkan (Roehrborn, GC, 2005).
Etiologi dari benigna prostat hyperplasia kemungkinan berkaitan dengan penuaan dan
disertai dengan perubahan hormone. Dengan penuaan, kadar testosterone serum menurun,
dan kadar estrogen serum meningkat. Dimana teori mengatakan bahwa rasio estrogen /
androgen yang kadarnya meninggi akan merangsang hyperplasia jaringan prostat (
Wilson, 2002) .
D. Pathogenesis
1
untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes melitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada buli-buli ( buli-buli neurogenik). Jika dicurigai adanya
keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor prostate specifik antigen (PSA)
b) Pencitraan:
1. Foto polos berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih. Pemeriksaan
IVU dapat menerangkan kemungkinan adanya kelainan pada ginjal maupun ureter
berupa hidoureter atau hidronefrosis, memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang
ditunjukkan dengan adanya indentasi prostat distal yang berbentuk seperti mata kail
atau hooked fish, dan penyulit yang terjadi pada buli-buli. Namun pemeriksaan IVU
sering tidak direkomendasikan pada BPH
2. Pemeriksaan USG diharapkan dapat mendapatkan informasi mengenai perkiraan
volume prostat, panjang prostrusi prostat ke buli-buli atau intra prostatic protrusion
(IPP) mungkin didapatkan kelainan pada buli-buli (massa batu, atau bekuan darah),
menghitung residu urin pasca miksi atau hidronefrosis atau kerusakan ginjal akibat
obstruksi prostat.
c) Pemeriksaan lain:
1. Residual urin yang merupakan jumlah sisa urin setelah miksi. Sisa urin ini dapat
dihitung dengan cara melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan
pemeriksaan USG setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan USG setelah
miksi
2. Pancaran urin atau flow rate dapat dihitung dengan cara sederhana yaitu dengan
menghitung jumah urin dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik)
(Purnomo, BP 2011)
G. Manajemen Penanganan dan prognosis
a. Watchful Waiting pilihan tanpa terapi ditujukan untuk pasien BPH dengan skor
IPSS dibawah 7, ringan, tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Diberikan anjuran
agar menghindaro kopi dan alkohol, makanan seperti coklat dan kopi yang dapat
mengiritasi buli-buli, mambatasi penggunaan obat flu (mengandung fenilprolamin),
kurangi pedas dan asin, dan tidak menahan kencing. Secara periodik pasien diminta
untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah semakin membaik. Jika
keluhan semakin berat, perlu dipikirkan terapi yang lain
Skor IPSS
b. penghambat reseptor adregenik- obat penghambat adregenik-1 dapat mengurangi
penyulit sistemik yang diakibatkan oleh efek hambatan 2 dari fenoksibenzamin.
Obat ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi dan laju pancaran urin.
c. Penghambat 5 -reduktase bekerja dengan cara menghambat pembentukan
dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron yang dikatalisis oleh enzim 5 alfa-reduktase
di dalam sel prostat. Menurunnya kadar DHT menyebabkan sintesis protesis dan
replikasi sel prostat menurun. Pemberian finasteride 5 mg sehari sekali setelah enam
bulan mampu menyebabkan penurunan prostat hingga 28%.
d. Pembedahan penanganan ini untuk pasien hiperplasia prostat jangka panjang karena
pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka waktu
yang sangat lama untuk melihat hasil terapi. Desobstruksi kelenjar prostat akan
menyembuhkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini dapat
dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP) atau insisi
prostat transuretra (TUIP atau BNI). Pembedahan direokemendasikan untuk pasien:
DAFTAR PUSTAKA
Darmojo Boedhi, 2010. Buku Ajar Geriatri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta .
Kumar, Robbins. 2004. Buku Ajar Patologi Volume 2 Edisi 7. EGC: Jakarta.
Prakash, Kulkarni, dkk. 2002. Symptomatic and asymptomatic benign prostatic hyperplasia:
Molecular differentiation by using microarrays. The National Academy of Sciences.
Accessed on 29 April 2012 from: < http://www.pnas.org/content/99/11/7598.short>.
Purnomo, B. Basuki. 2011. Dasar-Dasar Urologi. Sagung Setyo: Malang.
Roehrborn, GC. 2005. Benign Prostatic Hyperplasia: An Overview. Department of Urology, The
University of Texas Southwestern Medical Center, Dallas, TX. Accesed on 29 April 2012
from: < http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1477638/>.
Roehrborn, GC. 2011. Campbell-Walsh Urology: Benign Prostatic Hyperplasia: Etiology,
Pathophysiology, Epidemiology, and Natural History. Saunder: Philadelphia.
Snell, S Richard, 2006. Anatomi Klinis Dasar. EGC: Jakarta.
Swartz. H,M. 1995. Buku Ajar Diagnostik Fisik. EGC: Jakarta.
Wei, JT. 2005. Urologic Diseases In America Project: Benign Prostatic Hyperplasia. The
Journal of Urology. Volume 173, Issue 4 , Pages 1256-1261. Accessed on 29 April 2012
from: <http://www.jurology.com/article/S0022-5347%2805%2961064-6/abstract>.
Wilson, M, Lorraine. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Vol.1 Edisi 6.
EGC: Jakarta