Professional Documents
Culture Documents
A. Latar Belakang
Pasal 19 Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok
Agraria
(dikenal
sebagai
Undang-undang
Pokok
Agraria-UUPA)
sebagai
infrastruktur
pemetaan
terutama
meliputi
peta-peta
dasar
B. Pengertian
2.
3.
Meridian sentral zone TM-3o terletak 1,5 derajat di barat dan di timur
meridian sentral zone UTM yang bersangkutan.
3.
Besaran faktor skala di meridian sentral yang digunakan dalam zone TM3o adalah 0,9999.
4.
5.
kepada Datum Geodesi Nasional (DGN 95) dengan spheroid acuan seperti
datum World Geodetic System 1984 (WGS 84).
Pasal 2 dan pasal 4 PMNA/KBPN No 3/1997 menyebutkan bahwa JKGN orde-0
dan orde-1 Bakosurtanal dirapatkan menjadi titik dasar teknik orde-2, orde-3
dan orde-4. Titik dasar teknik
orde-0, titik dasar teknik orde-3 diikatkan ke titik dasar teknik orde-2, dan titik
dasar teknik
F. Transformasi Koordinat
Transformasi koordinat adalah perubahan suatu sistem koordinat ke suatu
sistem koordinat lainnya (dalam hal ini dari sistem koordinat lokal menjadi
sistem koordinat nasional) yang diakibatkan oleh adanya faktor rotasi, translasi
dan skala. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam transformasi
koordinat antara lain :
a. Adanya common point (titik sekutu). Yang dimaksud dengan titik sekutu
adalah titik yang diketahui koordinatnya pada kedua sistem koordinat. Titik
sekutu ini digunakan untuk mengetahui besarnya parameter-parameter
transformasi.
b.
Koordinat titik ikat dan koordinat titik yang akan ditransformasikan harus
memenuhi persyaratan geometris yaitu harus terhindar dari kesalahan
blunder (kasar) dan memenuhi spesifikasi teknis ketelitian yang telah
ditetapkan berdasarkan orde ketelitian pengukuran.
c. Orde ketelitian koordinat definitif sebagai titik ikat harus lebih tinggi atau
minimal sama dengan ketelitian koordinat titik yang akan ditransformasikan.
G. Integrasi Peta
Pada integrasi peta-peta dasar pendaftaran ke sistem tunggal ini melalui
beberapa tahapan pekerjaan, yaitu:
1. Identifikasi peta
Suatu kegiatan pendahuluan untuk menseleksi peta-peta yang akan
discanning selanjutnya didigitasi berdasarkan dari cakupan peta Foto yang
ada. Dengan mengacu kelurahan dan kecamatan yang ada di peta garis dan
peta foto maka cakupa yang sama dapat diperoleh. Kegiatan ini bertujuan
agar daerah petagaris yang akan dikerjakan benar-benar berada di peta foto
yang sudah tersedia. Cara lain yang digunakan adalah dengan menumpang
tindihkan indeks peta garis dan indeks peta foto dengan mengambil suatu
obyek referensi yaitu pojok jalan yang terlihat dengan jelas.
2. Scanning peta
Proses scanning dilakukan untuk mendapatkan gambar peta yang
tersimpan di komputer dalam bentuk data raster. Teknologi scanner dipilih
dari pada sistem digitalizer karena proses pekerjaannya lebih cepat dan
efektif. Hasil yang diperoleh adalah gambar hitam putih dengan resolusi 300
400 dpi. Ketajaman kualitas gambar yang diperoleh sangan tergantung
dari kualitas gambar yang diperoleh sangat tergantung dari kualitas gambar
dan kertas yang discan.
3. Editing gambar scanning
Gambar-gambar peta dalam bentuk kertas pada umumnya mempunyai
kualitas obyek yang kurang jelas, baik digambar dengan pensil, akibat
penumpukkan obyek maupun kondisi kertas yang sudah tua, tidak
seragamnya dimensi skala dan scanning dalam format hitamputih. Salah
satu proses editing ini bertujuan agar gambar peta yang di komputer
mempunyai kenampakkan kualitas yang lebih baik dan sesuai dengan skala,
deimensi serta arah yang sebenarnya seperti dilapangan.
4. Vektorisasi data
Kegiatan ini adalah kegiatan pendijitalisasian data hasil scanning
menjadi data vector sehingga diperoleh besaran dimensi dan arah. Proses
ini merupaan tahapan pekerjaan yuang membutuhkan waktu yang lama
karena selain data gambar sangat banyak juga banyak gambar yang tidak
jelas dari peta asli sehingga memerlukan kecermatan dan ketelitian.
5. Penggabungan antar peta ke peta foto TM-3
Setelah data-data peta sudah dalam bentuk vektor maka selanjutnya
peta tersebut ditempatkan dipeta foto dan dilakukan penggabungan antar
peta-peta di area yang sama. Pada proses penggabungan peta hasil vektor
ini digunakan indeks peta lama yang sudah dioverlapkan dengan indeks
peta foto sebagai acuan dalam penempatannya. Banyaknya lembaran petapeta di daerah yang sama, mempunyai permasalahan tersendiri dalam
penggabungannya.
6. Cek Lapangan
Banyaknya peta hasil vektor yang meragukan baik karena koordinator
dipeta tidak ada ataupun menggunakan koordinat lokal mengakibnatkan
banyak peta yang tidak bisa ditempatkan di peta foto, sehingga diperlukan
proses pengecekan lapangan. Pekerjaan cek lapangan di dengan skala
prioritas yaitu terutama pada peta-peta hasil vektor yang gambarnya cukup
jelas dan ada nama jalan tapi tidak bisa ditempatkan di peta foto. Dengan
bantuan receiver GPS, petugas kelapangan mengambil detil yang ekstrim di
peta garis misalnya perempatan/pertigaan jalan, di jembatan dan lain-lain
(minimal dua titik yang diambil diposisi yang berbeda diambil) maka posisi
peta garis dapat di tempatkan di peta foto.
7. Reproduksi
Produk atau output dari pekerjaan integrasi peta pendaftaran ke dalam
sistem tunggal dapat terdiri dari :
-
Daftar informasi lembar peta garis dimana posisi dilembar peta foto
Daftar lembar peta foto yang berisikan peta garis apa saja di lembar
peta foto tersebut
Integrasi Peta untuk bidang bidang tanah terdaftar dari peta-peta produk BPN
(Internal solution)
Integrasi Peta dari peta lain ( Bakosurtanal, PBB, Ikonos, Instansi terkait) untuk
bidang - bidang tanah belum terdaftar
Tweet
GERAKAN untuk mendukung terwujudnya kebijakan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono
yaitu Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy yang dicanangkan beliau pada sidang kabinet
paripurna 23 Desember 2010 yang lalu, kiranya perlu untuk terus digelorakan di seluruh wilayah
tanah air.
One Map Policy didengungkan pemerintah didasari keprihatinan terhadap berbagai data spasial
(data menyangkut keruangan atau kewilayahan) yang saling tumpang tindih. Oleh karena itu inti
dari Kebijakan Satu Peta adalah agar berbagai peta-peta yang dihasilkan oleh para praktisi
pemetaan harus terintegrasi dalam satu referensi tunggal sebagaimana diamanatkan Undangundang No 4/ 2011 tentang Informasi Geospasial (UUIG).
SRGI 2013: Sistem Referensi Tunggal
Referensi tunggal yang dimaksud di sini adalah Sistem Referensi Geospasial Indonesia 2013
(SRGI 2013) yang merupakan sistem koordinat nasional yang konsisten dan kompatibel dengan
sistem koordinat global/internasional. SRGI 2013 yang diluncurkan pada 17 Oktober 2013 yang
baru lalu di Jakarta oleh Kepala Badan Informasi Geospasial (BIG; dahulu Bakorsurtanal)
dengan dihadiri Menristek, Kepala BPPT, TNI (AD, AL, AU), para pendidik dan praktisi
pemetaan nasional itu berbeda dengan dua sistem referensi sebelumnya yang pernah berlaku di
Indonesia, yaitu ID 74 (Indonesian Datum 1974) yang mengadopsi ellipsoid referensi Geodetic
Reference System 1967 (GRS 67) dan DGN 95 (Datum Geodesi Nasional 1995); datum yang
diluncurkan pada 1995 tersebut sebagai hadiah ulang tahun emas (50 tahun) Republik
Indonesia dari Bakorsurtanal saat itu. DGN 95 tersebut memiliki ellipsoid referensi yang
mempunyai parameter sama dengan parameter ellipsoid World Geodetic System 1984 (WGS 84).
Perbedaan utama sistem referensi SRGI 2013 dibandingkan dengan ID 74 maupun DGN 95
adalah bahwa SRGI 2013 telah mempertimbangkan aspek pergerakan lempeng tektonik dan
deformasi kerak bumi. Kedua aspek tersebut sangat penting diperhitungkan mengingat
keberadaan wilayah Indonesia yang berada pada pertemuan lempeng tektonik besar yaitu
Eurasia, Pasifik, Australia, India dan Laut Filipina di mana implikasi pertemuan lempenglempeng tektonik yang bergerak tersebut menimbulkan aktivitas seismik, berada di antara dua
samudera yaitu Samudera Hindia dan Pasifik serta terdapat gugusan gunung api yang aktif di
dunia.
Dengan berlakunya SRGI 2013 maka kegiatan pemetaan atau penyelenggaraan informasi
geopasial (informasi geospasial yang paling dikenal publik adalah peta, baik peta cetak maupun
peta digital dalam berbagai bentuknya) sudah memiliki referensi tunggal yang berlaku bagi
berbagai pihak, baik kementrian atau lembaga pemerintah daerah, akademisi, swasta maupun
perorangan. Dengan penggunaan referensi tunggal, informasi geospasial satu wilayah dapat
terintegrasi/tersambung rapi dengan wilayah lainnya.
Peta Tunggal: Menghindari Konflik
Kita semua sudah lama menunggu adanya sistem referensi tunggal informasi geospasial (dibaca
peta) ini. Selama ini penyelenggaraan informasi geospasial di Indonesia belum sepenuhnya
menggunakan referensi tunggal yang disepakati bersama. Hal ini dapat mengakibatkan terjadinya
ketidaksinkronan antara peta-peta yang digunakan, sehingga mengakibatkan tumpang tindih.
Ketidaksinkronan tersebut telah menimbulkan kebingungan dan kerancuan di kalangan pengguna
peta sehingga dapat menimbulkan konflik perbatasan wilayah administrasi, pengelolaan kawasan
kehutanan dan pengelolaan sumber daya alam lainnya, ketidaktepatan penataan ruang,
pengelolaan bencana dan lain sebagainya hingga pada akhirnya dapat mengakibatkan
terhambatnya pembangunan ekonomi Indonesia.
Dalam konteks Riau dan mungkin juga pada provinsi lainnya, konflik perbatasan wilayah
administrasi sudah menjadi menu harian bagi pemerintah daerah beserta tim teknis yang
dibentuknya. Dari 1.864 km panjang batas antara kabupaten/kota se-Riau yang berada di dalam
19 belas) segmen batas, baru 922,5 km (49 persen) yang sudah diukur dan yang sudah ditetapkan
baru empat segmen batas. Padahal kegiatan penataan batas wilayah administrasi ini sudah
dimulai sejak awal tahun 1990-an. Lambatnya kemajuan penataan batas wilayah ini antara lain
disebabkan belum adanya kesepakatan peta tunggal yang digunakan sebagai dasar dalam
pembahasan-pembahasan yang dilakukan.
Peta dasar yang digunakan ada yang mengacu pada sistem referensi geospasial Bessel 1841 atau
biasa disebut peta Belanda, karena memang masih produk kolonial, ada pula yang mengacu pada
peta dengan referensi ID 74 maupun DGN 95 sehingga sering menimbulkan perdebatan panjang
yang tidak berkesudahan karena perbedaan referensi yang digunakan. Hal ini harus diakhiri
dengan segera menggunakan peta dengan referensi yang sama dan terstandarisasi serta
dimanfaatkan bersama, sehingga harapan Kepala BIG yang disampaikannya pada peluncuran
SRGI 2013, Oktober lalu yaitu jangan sampai terjadi pertumpahan darah di masyarakat hanya
karena perbedaan peta yang menjadi rujukan dapat segera diwujudkan.
Sukseskan Gerakan Menuju Satu Peta
Dalam upaya menyukseskan Gerakan Menuju Satu Peta ini, maka selayaknya para praktisi
pemetaan di seluruh Indonesia termasuk yang berada di Provinsi Riau turut berperan aktif dalam
seminar dan workshop Aktualisasi dan Implementasi SRGI 2013 Dalam Rangka Pemetaan
Nasional yang dilaksanakan oleh Ikatan Surveyor Indonesia Komisariat Wilayah Riau (Komwil
Riau) yang didukung Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Badan Pertanahan Nasional (BPN)
serta para sponsor pada 21-23 Mei 2013 di Pekanbaru. Pada kesempatan tersebut akan
diserahkan pula Peta Rupa Bumi Indonesia (Peta RBI) skala 1 : 50.000 mencakup wilayah
Provinsi Riau dan skala 1 : 10.000 mencakup wilayah Kota Pekanbaru yang sudah menggunakan
SRGI 2013, agar dapat dimanfaatkan sebagai referensi tunggal bagi kegiatan yang terkait dengan
ruang kebumian/kewilayahan.
Untuk mendukung Gerakan Menuju Satu Peta tersebut, secara nasional BPN RI beberapa tahun
terakhir ini sudah melaksanakan program GeoKKP baik yang masih berbasis desktop maupun
berbasis web (di Provinsi Riau seluruh kantor pertanahan sudah berbasis web) dengan target
seluruh Kantor Pertanahan kabupaten/kota se-Indonesia harus mencapai 100 persen pada tahun
2020. Dengan program ini, seluruh bidang tanah terdaftar harus sudah dilandingkan atau
diplotkan pada peta dasar pendaftaran yang sudah bereferensi SRGI 2013.
Untuk melaksanakan program tersebut tentu saja diperlukan sumber daya manusia yang terdidik
dan terlatih. BPN Provinsi Riau telah mengantisipasinya dengan melantik sebanyak 70 orang
tenaga asisten surveyor pertanahan beberapa minggu yang lalu. Tenaga-tenaga muda tersebut
dididik dan dilatih selama setahun penuh pada Diploma I Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional
(STPN) di Yogyakarta. Untuk pembinaan dan tetap terpeliharanya kehormatan profesi mereka
harus menjadi anggota organisasi profesi ISI Komwil Riau. sebagaimana digariskan oleh
Peraturan Kepala BPN RI Nomor 9 tahun 2013 tentang Surveyor Pertanahan.***