You are on page 1of 20

PRIA DENGAN KELUHAN KESEMUTAN

KELOMPOK 2

030.05.172

Putri Melati

030.07.062

Dewa Putu S.M.S.

030.07.212

Regina Fristasari

030.07.012

Ahmad Musa

030.08.022

Anastasia Carolin

030.08.042

Arista Sthavira

030.08.052

Azhari Ganesha

030.08.072

Cynthia Karamina E.

030.08.102

Ferdy

030.08.132

Julia Mutiarani

030.08.142

Laura Estelia

030.08.162

Mila Widyastuti

030.08.182

Noer Kamila

030.08.192

Prajnya Paramitha N.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI


JAKARTA
JUMAT, 18 Maret 2011
1

BAB I
PENDAHULUAN

Pada diskusi dengan topik Seorang laki-laki yang mengeluh sering merasa
kesemutan yang dilaksanakan dua sesi. Sesi pertama pada hari Selasa, 15 Maret 2011 dan
sesi kedua pada hari Kamis, 17 maret 2011. Jumlah peserta lengkap sesuai dengan jumlah
pada daftar anggota yaitu 14 orang. Diskusi berlangsung dengan dr. Victor sebagai tutor,
ketua diskusi Ahmad Musa dan Noer Kamila sebagai sekretaris. Diskusi berjalan dengan
baik. Para peserta diskusi bersikap kondusif dalam memberikan pendapatnya berdasarkan
referensi yang mereka miliki.

BAB II
LAPORAN KASUS
Identitas pasien
Nama

: Tn. Hadi

Umur

: 42 tahun

Jenis kelamin : laki laki


Anamnesis
Keluhan utama :
-

Sering merasa kesemutan

Keluhan tambahan :
-

Badannya makin gemuk karena jarang berolahraga

Cepat lelah

Sering sakit kepala terutama pagi hari saat bangun tidur

Nyeri di pangkal ibu jari kaki kiri sejak 3 hari lalu, tapi sudah membaik.

Pemeriksaan fisik :
Data antropometri
TB : 160 cm
BB : 85 kg
BMI : 85/(1,6)2 = 33,2
(menurut WHO : Obese kelas 1, Asia Pasifik : Obese kelas 2)
Tanda vital
TD

: 145/100 mmHg hipertensi stage II (menurut JNC VII dan WHO)

Nadi

: 88x/m, vol. sedang, reguler, suhu 36,8OC normal

Pernafasan

: 24x/menit

Takipnoe

GDS

: 210mg/dl

Hiperglikemi

Status generalisata
3

Mata : kelopak mata atas kiri tampak benjolan kekuningan sebesar kacang hijau
Leher : tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelainan getah bening leher.
Thorax : tidak ada kelainan pada pemeriksaan jantung dan paru.
Abdomen :
- nyeri tekan (-)

normal

- bising usus

normal

- shifting dulness (-) normal


- lingkar perut 114 cm obese (normal laki-laki < 90cm, wanita< 80cm)
Hepar : teraba 1 jari b.a.c, kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (-)
Lien : tak teraba
Ekstremitas : pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki kiri dan masih tampak
sedikit kemerahan. Tidak ada pembengkakan pada sendi- sendi lain. Edema -/- .
Pemeriksaan laboratorium :(2)
Variabel

Nilai normal

Hasil pemeriksaan

Interpretasi

DARAH
Hb

13 16 g %

11,5 g%

Anemia

Lekosit

5000 10000/mm3

6200/mm3

Normal

Trombosit

150000 400000

212000

Normal

LED

0 10 mm/jam

45 mm/jam

Meningkat

SGOT

5 40 u/L

78 u/L

Meningkat

SGPT

5 41u/L

86 u/L

Meningkat

GD puasa

100 120 mg/dl

145mg/dl

Hiperglikemi

HBA1C

Orang normal : 4-6%

8%

Meningkat

DM terkontrol: <7%
DM tak terkontrol:>8%
LIPID DARAH
Kolesterol total

< 200mg/dl

292mg/dl

Meningkat

Trigliserida

<150mg/dl

270mg/dl

Meningkat
4

Kolesterol HDL

>55 mg/dl

35mg/dl

Rendah

FAAL GINJAL
Ureum

15-40 mg/dl

40mg/dl

Normal

Kreatinin

0,5-1,5mg/dl

1,5mg/dl

Normal

Asam urat

3,4 7,0mg/ dl

8,5 mg/dl

Meningkat

URINALISA
BJ

1005 1030

1015

Normal

pH

4,5-8,0

Normal

Protein

Negatif

+1

Proteinuria

Glukosa

Negatif

(-)

Normal

Sedimen eritrosit

0-1/LPB

5 6/ LPB

Meningkat

Sedimen lekosit

0-3/LPB

10 25/ LPB

Meningkat

Pengkajian Masalah Diskusi Sesi I


No
1.

Daftar masalah
Obese grade II

Dasar masalah
TB :160 cm ; BB :85 kg

Hipotesis penyebab
Jarang berolahraga

BMI : 33,2
Lingkar perut 114 cm
2.

Hipertensi grade II

TD : 145/100 mHg

Keturunan

3.

Hiperglikemi

GDS : 210 mg/dl

Resistensi insulin

GD puasa 145mg/dl
4.

Xanthelasma

Benjolan kuning
sebesar kacang hijau di
kelopak mata atas kiri

Penimbunan lemak
jaringan subkutis

Pengkajian Masalah Diskusi Sesi II


No
1.

Daftar masalah
Hepatomegali

Dasar masalah

Hipotesis

Hepar teraba 1 jari Fatty liver, DM


b.a.c
5

di

2.

Arthritis Gout

Sendi metatarsal 1 kiri


bengkak

Hiperurisemia

Asam urat:8,5mg/dl
3.

Anemia

Hb : 11,5 g%

Defisiensi Fe

4.

Peningkatan LED

LED 45mm/jam

Penyakit kronis

5.

Peningkatan SGOT SGPT

SGOT 78 u/L

Gangguan fungsi hati

SGPT 86 u/L
6.

Dislipidemia

kolesterol total, TG
serta HDL

Komplikasi DM

Skema(6)

Masalah-masalah pada Tn.Hadi:


1) Obesitas kelas 2 (Asia Pacific 2000), karena BMInya 33,2

2) Hipertensi grade II (JNC VII) (1), karena tekanan darahnya 145/100 mmHg

3) Hiperglikemia, karena gula darah sewaktu 210 mg/dl dan puasa 145 mg/dl
4) Xanthelasma, karena ada benjolan kuning sebesar kacang hijau pada kelopak mata atas kiri
5) Hepatomegali, karena hepar teraba 1 jari di bawah arcus costae serta SGOT,SGPT
6) Arthritis gout, karena sendi metatarsal I kiri bengkak, kadar asam urat 8,5 mg/dl ()
7) Anemia, karena kadar Hb 11,5 g% ()
8) Dislipidemia, karena kadar kolestrol total dan LDL , HDL
9) Diabetes Melitus, karena HBA1C 8%-->kadar gula darah tak terkontrol 3 bulan terakhir,
kadar gula darah puasa 145 mg/dl, pasien sering kesemutan, faktor risiko obese
Penatalaksanaan: (1)
Hipertensi
7

Simtomatik

: analgetik (asam mefenamat)

Kausatif

: ACE-I

Diet

: rendah garam

Anjuran

: meminum obat secara teratur dan seumur hidup, tidak stress

Dislipidemia

Kausatif

: penurunan glukosa darah + statin

Diet

: Pembatasan asupan jumlah kalori dan lemak

Anjuran

: melakukan aktivitas fisik rutin

Diabetes Melitus tipe II

Kausatif

: obat hiperglikemik oral

Diet

: terapi gizi medis

Anjuran

: modifikasi gaya hidup, latihan jasmani (jalan/jogging)

Artritis Gout

Simtomatik

: analgesik, NSAID

Kausatif

: Alopurinol (xantin oksidase inhibitor)

Anjuran

: mengurangi konsumsi makanan tinggi purin dan alkohol

Prognosis

Ad Vitam

: dubia ad bonam

Ad Fungsionam

: dubia ad malam

Ad Sanasionam

: dubia ad malam

BAB III
PEMBAHASAN
8

DIABETES MELITUS(4, 5)
1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan
suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi dan kegagalan beberapa organ
tubuh, terutama mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah.
2. Klasifikasi
Klasifikasi Etiologi Diabetes Melitus
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi
insulin absolut) :
a. Proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan sekresi insulin bersama
resistensi insulin).
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta:
-

Kromosom 12, HNF-1 alfa ( dahulu MODY 3 )

Kromosom 7, glukokinase ( dahulu MODY 2 )

Kromosom 20, HNF 4 alfa ( dahulu MODY 1 )

DNA mitokondria

b. Defek genetik kerja insulin


c. Penyakit eksokrin pankreas
-

Pankreatitis

-Cystik fibrosis

Trauma/pankreatektomi

-Hemochromatosis

Neoplasma

-Pankreatopati fibro kalkulus

d. Endokrinopati
-

Akromegali

Feokromositoma

Sindrom Cushing

Hipertiroidisme
9

e. Karena obat/zat kimia


-

Vacor, pentamidin, asam nikotinat glukokortikoid, hormon tiroid tiazid,


dilantin, interferon alfa

f. Infeksi
-

Rubella kongenital, Cyto-MegaloVirus (CMV)

g. Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin


h. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM
-

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, Huntington, Chorea,


Sindrom Prader Willi

4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

3. Etiologi
Etiologi dari DM dapat tejadi karena berbagai aspek seperti disebabkan oleh
munculnya fenomena autoimunitas, yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi virus
variola, coxsackie B4, rubela ataupun paparan zat kimia yang bersifat sitotoksik
nitrofenilurea atau sianida dari singkong basi, hal ini yang terjadi pada DM type I. Pada DM
type II terjadi kelainan genetik pada kromosom 7, 12 & 20 yang menyebabkan insufisiensi
enzim glukokinase dan penurunan ekspresi gen hepatocyt nuclear factor 1 alpha dan 4 alpha
yang dapat menghambat sintesa proinsulin.

4. Patofisiologi
1. Diabetes Mellitus tipe I ( IDDM )
DM tipe I ( IDDM ) atau DM bergantung insulin, biasanya disebabkan oleh
munculnya fenomena autoimunitas, dimana telah terjadi molecular mimicry dari selsel beta pankreas (langerhans) yang disebabkan oleh adanya mutasi akibat insersi
virus variola, coxsackie B4, rubella ataupun paparan zat kimiawi yang bersifat
sitotoksik nitrofenilurea, atau sianida dari singkong basi. Mutasi yang tejadi pada
genom sel beta langerhans di pankreas akan menyebabkan terjadinya kelainan
ekspresi protein yang disandi oleh gen-gen yang terletak di kromosom 6 baik lengan
panjang maupun di sentromer. Pada lengan p atau panjang terdapat gen-gen yang
menyandi HLA A, B8 dan B18 serta Cw3 sedangkan pada sentromer disandi HLA
DR3 dan DR4. Pada IDDM terjadi defisiensi insulin yang berat, sehingga penderita
memerlukan terapi insulin untuk menghindari terjadinya ketoasidosis.
2. Diabetes Mellitus tipe II ( NIDDM )
10

Pada DM tipe II ( NIDDM ) atau DM tidak bergantung insulin, paling sedikit ada
dua kondisi patologis. Pertama, adanya penurunan kemampuan insulin untuk
berfungsi pada jaringan perifer untuk menstimulasi metabolisme glukosa dan
menghambat pengeluaran glukosa dari hati, suatu keadaan yang dinamakan resistensi
insulin. Obesitas menyebabkan resistensi insulin dan obesitas merupakan faktor resiko
utama terjadinya NIDDM. Kedua, ketidak mampuan kelenjar endokrin dipankreas
untuk mengkompensasi secara penuh penanganan resistensi insulin ini (defisiensi
insulin relatif ).
Pada DM tipe II didapat kelainan kromosomal 7, 12, 20, dimana kelainan
kromosomal 7 mengakibatkan terjadinya insufisiensi enzim glukokinase sehingga
terjadi hambatan pada proses stimulasi sel beta langerhans di pankreas. Kelainan
kromosom 12 dan 20 berdampak pada terjadinya penurunan ekspresi gen hepatocyt
nuclear factor 1a dan 4a akan mengakibatkan terjadinya hambatan fosforilasi dan
kaskade kinase di sel langerhans yang akhirnya akan menghambat sintesa
proinsulin.
Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2
Tabel 1. Perbandingan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2
DM tipe 1

DM tipe 2

Nama Lama

DM Juvenil

DM dewasa

Umur (th)

Biasa < 40 (tapi tak Biasa > 40 (tapi tak selalu)


selalu)

Keadaan
Klinik
saat diagnosis

Berat

Ringan

Kadar Insulin

Tak ada Insulin

Berat Badan

Biasanya kurus

Pengobatan

Insulin, diet, olahraga

Insulin cukup atau tinggi


Biasanya gemuk/normal
Diet,olahraga,tablet,Insulin

5. Gejala Klinis
Gejala khas
-

Poliuri

- Polifagi

Polidipsi

- Berat badan menurun tanpa sebab jelas


11

Gejala tidak khas


-

Kesemutan

- Bisul yang hilang timbul

Gatal di daerah genital

- Penglihatan kabur

Keputihan

- Cepat lelah

Infeksi sulit sembuh

- Mudah mengantuk , dll

6. Diagnosis

I. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menyaring pasien DM, TGT (toleransi glukosa
terganggu), dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu), sehingga kemudian dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat diperlukan
agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan sekunder dapat segera
diterapkan. Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan salah satu faktor
risiko untuk DM, yaitu:

kelompok usia dewasa tua (> 45 tahun)


kegemukan {BB (kg)> 110% BB idaman atau IMT > 23 (kg/m2)}
tekanan darah tinggi (> 140/90 mmHg)
riwayat keluarga DM
riwayat kehamilan dengan BB lahir bayi > 4000 gram
riwayat DM pada kehamilan
dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl).
pernah TGT atau GDPT

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah


sewaktu, kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO) standar (lihat skema langkah-langkah diagnostik DM)
e
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negatif,
pemeriksaan penyaring ulangan dilakukan tiap tahun, sedangkan bagi mereka yang berusia >
45 tahun tanpa faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.
Pasien dengan Toleransi Glukosa Terganggu dan Glukosa Darah Puasa Terganggu
merupakan tahapan sementara menuju DM. Setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT
akan berkembang menjadi DM, 1/3 tetap TGT dan 1/3 lainnya kembali normal.

12

Adanya TGT sering berkaitan dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini
risiko terjadinya aterosklerosis lebih tinggi daripada kelompok normal. TGT sering berkaitan
dengan penyakit kardiovaskular, hipertensi dan dislipidemia.

Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM (mg/dl)
Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Kadar glukosa darah


sewaktu(mg/dl)

< 110

110 - 199

200

Plasma vena
darah kapiler

< 90

90 199

200

Kadar glukosa darah


puasa(mg/dl)
Plasma vena
darah kapiler

< 110

110 - 125

126

< 90

90 109

110

II. Langkah-langkah untuk Menegakkan Diagnosis Diabetes Melitus


Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat
ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Dalam menentukan diagnosis DM harus
diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai. Untuk
diagnosis DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara
enzimatik dengan bahan darah plasma vena.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata
kabur dan impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis klinis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapatkan sekali lagi
angka abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu >
200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dl.
13

Cara Pelaksanaan TTGO (Tes Toleransi Glukosa Oral) :


a. 3 (tiga) hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup). Kegiatan
jasmani seperti yang biasa dilakukan
b. Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air putih
diperbolehkan
c. Diperiksa kadar glukosa darah puasa
d. Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1, 75 gram/kgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit
e. Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa
f. Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok

Kriteria diagnostik Diabetes Melitus dan gangguan toleransi glukosa :


1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
2. Kadar

glukosa

darah

puasa

(plasma

vena)

126

mg/dl

Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada
TTGO

7. Tata Laksana
1. Edukasi
2. Perencanaan makan
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang dalam
hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak

60 70 %

2) Protein sebanyak

10 15 %

3) Lemak sebanyak

20 25 %

Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress akut dan
kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah kalori dipakai
rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga didapatkan:
1)

Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal

2)

Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal


14

3)

Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal

4)

Gemuk = > 120% dari BB Ideal.

Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan kalori basal
yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB, kemudian ditambah
untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat). Koreksi status gizi
(gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi stress akut sesuai
dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi dalam
beberapa porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak

20%

2) Makanan siang sebanyak

30%

3) Makanan sore sebanyak

25%

4) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 % diantaranya.


3. Latihan jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang lebih
30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
4. Intervensi farmakologis
a. Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
- Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
- Menurunkan ambang sekresi insulin.
- Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal dan
masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan
orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga
gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi
hati atau ginjal.
2) Biguanid
15

Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat tunggal
dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 2730) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea
b. Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah dan
dinaikkan perlahan lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien. Bila
sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal tetapi tidak
tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan kombinasi
sulfonylurea dan insulin.

8. Pencegahan
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah upaya yang ditujukan pada orang-orang yang termasuk
kelompok risiko tinggi, yakni mereka yang belum menderita, tetapi berpotensi untuk
menderita DM. Pencegahan primer ini harus dikenal faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap timbulnya DM dan upaya untuk menghilangkan faktor-faktor tersebut.
Penyuluhan sangat penting perannya dalam upaya pencegahan primer. Masyarakat
luas melalui lembaga swadaya masyarakat dan lembaga sosial lainnya harus
diikutsertakan. Demikian pula pemerintah melalui semua jajaran terkait seperti
Departemen Kesehatan dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan perlu
memasukkan upaya pencegahan primer DM dalam program penyuluhan dan
pendidikan kesehatan.
b. Pencegahan Sekunder
Maksud pencegahan sekunder adalah upaya mencegah atau menghambat
timbulnya penyulit dengan tindakan deteksi dini dan memberikan pengobatan sejak
awal penyakit. Deteksi dini dilakukan dengan pemeriksaan penyaring, namun
kegiatan tersebut memerlukan biaya besar. Memberikan pengobatan penyakit sejak
awal berarti mengelola DM dengan baik agar tidak timbul penyulit lanjut DM.
c. Pencegahan Tersier
16

Kalau kemudian penyulit menahun DM ternyata terjadi juga, maka pengelola


harus berusaha mencegah terjadinya kecacatan lebih lanjut dan merehabilitasi pasien
sedini mungkin, sebelum kecacatan tersebut menetap. Sebagai contoh aspirin dosis
rendah (80 - 325 mg) dapat dianjurkan untuk diberikan secara rutin bagi pasien DM
yang sudah mempunyai penyulit makro-angiopati.

9. Komplikasi

GOUT(3)
Gout adalah suatu penyakit yang ditandai dengan serangan mendadak dan berulang dari
artritis yang terasa sangat nyeri karena adanya endapan kristal monosodium urat, yang
terkumpul di dalam sendi sebagai akibat dari tingginya kadar asam urat di dalam darah
(hiperurisemia).
Penyakit ini paling sering mengenai sendi di pangkal ibu jari kaki dan menyebabkan suatu
keadaan yang disebut podagra; tetapi penyakit ini juga sering menyerang pergelangan kaki,
lutut,pergelangan_tangan_dan_sikut.
Serangan pertama biasanya hanya mengenai satu sendi dan berlangsung selama beberapa
17

hari. Gejalanya menghilang secara bertahap, dimana sendi kembali berfungsi. Tetapi jika
penyakit ini semakin memburuk, maka serangan yang tidak diobati akan berlangsung lebih
lama, lebih sering terjadi dan mengenai beberapa sendi. Sendi yang terkena bisa mengalami
kerusakan_yang_permanen.
DIAGNOSA
Diagnosis seringkali ditegakkan bedasarkan gejalanya yang khas dan hasil pemeriksan
terhadap_sendi.
Ditemukannya kadar asam urat yang tinggi di dalam darah akan memperkuat diagnosis.
Tetapi pada suatu serangan akut, kadar asam urat seringkali normal.
Pada pemeriksaan terhadap contoh cairan sendi dibawah mikroskop khusus akan tampak
kristal_urat_yang_berbentuk_seperti_jarum.
PENGOBATAN
Langkah

pertama

untuk

mengurangi

nyeri

adalah

mengendalikan

peradangan.

Saat ini obat anti peradangan non-steroid (misalnya ibuprofen dan indometasin) lebih banyak
digunakan daripada kolkisin dan sangat efektif mengurangi nyeri dan pembengkakan sendi.
Kadang diberikan kortikosteroid (misalnya prednison).Jika penyakit ini mengenai 1-2 sendi,
suatu larutan kristal kortikosteroid bisa disuntikkan langsung ke dalam sendi. Pengobatan ini
sangat efektif untuk mengakhiri peradangan yang disebabkan oleh kristal urat.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiayohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editors. Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi IV. Jakarta: Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
FKUI ; 2006.
2. Sutedjo A.Y. Buku Saku Mengenal Penyakit Melalui Hasil Pemeriksaan
18

Laboratorium. Yogyakarta: Amara Books ; 2007.


3. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Ed 6.
Jakarta : EGC ; 2005.
4. Sherwood, L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Jakarta : EGC ; 2001.
5. Harrison. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam Volume 4. Edisi Bahasa Indonesia.
Edisi 13. Jakarta : EGC ; 2000.
6. Silbernagl S, Lang F. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta : EGC ;
2006.

BAB V
PENUTUP DAN UCAPAN TERIMA KASIH

Kesimpulan

19

Kelompok kami menarik kesimpulan bahwa pasien tersebut menderita obesitas yang
berakibat

munculnya

penyakit-penyakit

lainnya

seperti

hipertensi,

hiperglikemia,

xanthelasma, hepatomegali, penyakit gout, anemia, dislipidemia, dan diabetes melitus


Kami merencanakan penatalaksanaan pada pasien berupa tatalaksana medikamentosa yang
sifatnya simtomatik serta kausatif. Tatalaksana non-medikamentosa juga sangat penting yakni
memodifikasi pola atau gaya hidup dan diet sesuai kebutuhan gizi yang cukup dan seimbang
dengan kondisi dan kebutuhan yang ada. Diharapkan gejala-gejala penyakit yang timbul
dapat berkurang maupun menghilang sehingga pasien dapat menjalankan aktivitasnya dan
tidak lupa pasien rutin mengontrol kesehatannya.
Penutup dan Ucapan Terima Kasih
Secara keseluruhan kasus ini sangat memicu setiap mahasiswa untuk berpikir dan memicu
kondisi diskusi yang kondusif. Kami menyadari bahwa diskusi dan laporan ini masih ada
kekurangan, dengan bimbingan dan arahan dari para dosen, kami akan berusaha untuk terus
meningkatkannya.
Terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam pembuatan laporan, kontributor modul,
baik kepala modul, sekretaris, para tutor, dan seluruh staf Universitas Trisakti Kampus B.

20

You might also like