You are on page 1of 6

KERANGKA PERUBAHAN KEBIJAKAN PENGELOLAAN SAMPAH

VERSI UNDANG UNDANG NOMOR 18 TAHUN 2008


Aspek-aspek yang diduga diperhitungkan dan menjadi situasi
yang melatari perubahan model, konsep dan cara perumusan, serta
formulasi kebijakan pada Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008,
antara lain: perkembangan kependudukan, dampak modernisasi
dan perubahan wilayah kota, dampak revolusi teknologi informasi
dan komunikasi, dampak krisis dan proses reformasi.
Perubahan proses kebijakan yang terkait dengan perkembangan
kependudukan adalah mengacu pada pengalaman kebijakan
konvensional yang kapasitas kebijakannya tidak dirancang untuk
mampu
menangani
peringkatan
timbulan
sampah
akibat
peningkatan jumlah penduduk. Sedangkan perubahan proses
kebijakan yang terkait dengan dampak modernisasi dan perubahan
wilayah kota, adalah berangkat dari pengalaman kebijakan
pengelolaan sampah konvensional yang tidak sungguh-sungguh
memodernisir
pengelolaannya
(masih
tradisional,
yaitu
mengandalkan model pembuangan terbuka), yang sangat disadari
telah menimbulkan komplikasi permasalahan lingkungan dan sosial
yang kemudian melebar ke wilayah politik dan gangguan
kamtibmas. Hal berikutnya, adalah pengalaman kebijakan
konvensional yang tidak pula dirancang untuk dapat menyesuaikan
diri atau sangat terbatas penyesuaiannya dengan perubahan
karakteristik sampah yang proporsi sampah non organiknya semakin
besar.
Juga, pengalaman kebijakan
konvensional yang tidak
dirancang untuk mengantisipasi perkembangan wilayah kota dan
dampak peningkatan konsentrasi penduduk di kota yang
berimplikasi pada peningkatan volume timbulan sampah di
perkotaan meningkat drastis.
Terkait dengan dampak revolusi teknologi informasi dan
komunikasi, dampak proses reformasi, serta dampak krisis di tingkat
nasional dan global, maka perubahan proses kebijakan pada
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2008 adalah diinspirasi dari bukti
empiris yang dialami kebijakan sampah konvensional yang tidak
dirancang untuk mengantisipasi terjadinya ledakan partisipasi dan
tuntutan-tuntutan publik sebagai implikasi dari terjadinya
penurunan kepercayaan publik terhadap negara (pemerintah), serta
proses terbentuknya masyarakat informasi dan masyarakat jejaring
(networking society) -menuju masyarakat madani (civil society)yang semakin sadar atas hak-hak asasi dan hak-hak politiknya; dan
yang posisi tawar politiknya semakin bertambah kuat sehubungan

reformasi politik yang mengagendakan pemilihan langsung pejabatpejabat politik dan yang dalam prosesnya diikat oleh kontrak politik;
serta yang tidak mengatisipasi pula melemahnya kedudukan negara
di hadapan publik, karena ketidakberdayaannya dalam memerankan
fungsi negara kesejahteraan sehubungan terkurasnya sumber daya
negara untuk penyelamatan ancaman kebangkrutan perekonomian
negara (seperti penyelamatan sektor perbankan dan penanggulanan
beban hutang yang melambung tinggi), penanggulangan dampak
krisis, dan untuk pemulihan kembali fundamental perekonomian
nasional. Sehingga, kebijakan pengelolaan sampah konvensional
terperosok ke posisi yang sangat dilematis, yakni terjadi ledakan
perlawanan rakyat ketika mereka mengalami kerugian dan
menderita akibat kebijakan pengelolaan sampah konvensional yang
mencemari dan merusak lingkungan dan kehidupannya.
Pertama, spirit atau ruh kebijakan, yaitu penyelamatan
lingkungan dan bukannya kebersihan lingkungan. Salah satu konsep
yang menjadi basis utama kebijakan transformatif adalah konsep
pembangunan
berkelanjutan
yang
menekankan
pentingnya
perlindungan, pelestarian dan keselamatan lingkungan. Paradigma
kebijakan
transformatif
menitikberatkan
pada
kepentingan
perlindungan lingkungan, serta mengupayakan kelestarian dan
keselamatan lingkungan. Kebersihan lingkungan dan kota merupakan
salah satu fenomena positif dari tema sentral perlindungan dan
keselamatan lingkungan. Penjabaran dan operasionalisasi dari spirit
atau ruh kebijakan itu dituangkan ke dalam pokok-pokok kebijakan
yang menjadi agenda transformasi kebijakan pengelolaan sampah,
antara lain pertama, menyangkut pemaknaan baru terhadap sampah
dan kategorisasi sampah yang dikelola; kedua, tema-tema
pengelolaan sampah sejak dari aspek teknis (pendekatan
komprehensif dan sumber, serta konsep 3R atau Reduce, Reuse, dan
Recycl)) hingga aspek penempatan posisi dan peran, serta hubungan
antara negara/pemerintah dan masyarakat dalam kerangka
mewujudkan negara/pemerintah kuat-masyarakat kuat menuju self
governance society dalam pengelolaan sampah; tata kelola yang baik
(good governance); serta penegakan hukum atau law enforcement
dalam rangka perlindungan lingkungan hidup (khususnya dalam
konteks pengendalian pencemaran), sebagaimana dipaparkan
dibawah ini.
Kedua, makna dan kategorisasi sampah. Dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan serta upaya perlindungan dan
keselamatan
lingkungan,
paradigma
kebijakan
transformatif
memandang dan memaknai sampah secara lebih luas dari perspektif
lingkungan hidup, dan tidak secara sempit hanya dari perspektif
kebersihan, utamanya kebersihan kota. Berdasarkan perspektif
lingkungan hidup, sampah dipahami berdasarkan konsep sumber
daya (resources), yakni bukan barang buangan yang menjijikkan

(setidaknya sebagian besar sampah), melainkan sumber daya yang


mempunyai nilai ekonomi dan dapat dimanfaatkan; yang kemudian
dirumuskan sebagai sisa kegiatan sehari-hari manusia dan/atau
proses alam yang berbentuk padat. Sebagai sisa kegiatan, sampah
masih merupakan sumberdaya yang berpotensi ekonomis dan dapat
dimanfaatkan. Namun, merujuk pada perkembangan karakteristik
sampah, paradigma kebijakan transformatif mengkategorisasi
sampah yang dikelola kedalam tiga kelompok, yaitu sampah rumah
tangga, sampah sejenis sampah rumah tangga, dan sampah spesifik;
yang masing-masing mempunyai bentuk pengelolaan tersendiri.
Ketiga, pendekatan komprehensif dan sumber, serta konsep
3R dalam pengelolaan sampah. Berdasarkan perspektif lingkungan
hidup, paradigma kebijakan transformatif berkeyakinan, bahwa cara
memandang masalah sampah harus holistik dan integral, bukan
hanya sektoral (kebersihan kota) dan teknis (ke-PU-an) belaka. Cara
pandang holistik dan integral dimaksud, adalah mengelola sampah
dengan pendekatan yang komprehensif dari hulu, yaitu sejak sebelum
dihasilkan suatu produk yang berpotensi menjadi sampah, sampai ke
hilir, yaitu pada fase produk sudah digunakan sehingga menjadi
sampah, yang kemudian dikembalikan ke media lingkungan secara
aman. Berbeda dengan paradigma kebijakan konvensional yang
sangat mengandalkan pengelolaan di tingkat akhir (TPA), paradigma
kebijakan transformatif mengandalkan pendekatan sumber, yaitu
sangat menitik beratkan pengelolaan di tingkat hulu serta antara hulu
dan hilir; dengan mana sebagian besar sampah sudah harus dapat
dikelola secara baik dan aman bagi lingkungan di tingkat hulu serta
antara hulu dan hilir. Sehingga, hanya sebagian kecil sampah saja
yang kemudian dibawa diproses di TPA, yaitu sampah-sampah yang
memang sudah tidak mempunyai nilai ekonomis atau tidak dapat
dikelola lagi selain melalui penimbunan secara sanitari (sanitary
landfil). Dalam kaitan ini, TPA bukan lagi sebagai Tempat Pembuangan
Akhir, melainkan menjadi Tempat Pemrosesan Akhir sampah yang
aman terhadap lingkungan. Oleh karena titik berat pengelolaan di
tingkat hulu serta antara hulur dan hilir, maka paradigma kebijakan
tranformatif menjadikan konsep 3R (Reduce, Reuse, dan Recycle)
sebagai kebijakan teknis terpenting dalam pengelolaan sampah.
Keempat, negara/pemerintah kuat-masyarakat kuat menuju
self governance society. Paradigma kebijakan transformatif
berasumsi, bahwa kebijakan pengelolaan sampah yang komprehensif
dan bersandarkan konsep 3R hanya dapat berhasil bila terjadi
perubahan-perubahan menyolok pada aspek negara/pemerintah,
masyarakat dan dunia usaha. Sehingga, peran negara/pemerintah
adalah sedemikian menentukan, dan disebutkan wajib memberikan
pelayanan publik dalam pengelolaan sampah, atau secara implisit
menjadi pihak pertama dan utama yang memiliki kewenangan dan
tanggung jawab pengelolaan sampah yang menghargai, melindungi,
dan membela hak-hak masyarakat dan keselamatan lingkungan di
berbagai aspek dan tahapan pengelolaan. Hal ini mengandung
pengertian, bahwa negara/pemerintah harus kuat dalam arti kinerja

kebijakannya.
Namun, paradigma kebijakan transformatif juga
memposisikan dan mengangkat peran, hak dan kewajiban
masyarakat, baik masyarakat dunia usaha maupun non dunia usaha,
sehingga menjadi pihak yang harus sama kuatnya dengan
negara/pemerintah, seperti dalam proses pengambilan keputusan,
implementasi dan pengawasan pengelolaan sampah. Jadi, dimensi
perubahan sosial yang dituju mengarah pada wujud negara kuatmasyarakat kuat dalam pengelolaan sampah. Selain itu, melalui
aplikasi konsep 3R, peluang dan kesempatan bagi masyarakat untuk
memprakarsai pengelolaan sampah secara mandiri dibuka seluasluasnya. Bahkan, negara/pemerintah berkewajiban memfasilitasi
usaha-usaha 3R dimaksud, termasuk melalui penggunaan instrumen
kebijakan insentif-disinsentif. Gagasan perubahan sosial yang
terkandung dalam konteks prakarsa masyarakat dalam pengelolaan
sampah tersebut mengarah pada wujud masyarakat yang bertata
kelola mandiri (self governance society).
Kelima, tata kelola yang baik (good governance). Paradigma
kebijakan transformatif juga berasumsi, bahwa keberhasilan kebijakan
pengelolaan sampah akan ditentukan pula oleh keberadaan faktor
good governance. Oleh sebab itu, good governance menyangkut
transparansi
misalnya,
mengharuskan
pemerintah
dapat
menyediakan informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu dalam
penyelenggaraan pengelolaan sampah. Sedangkan aspek partisipasi
dirumuskan secara proporsional dan seimbang antara hak dan
kewajiban, yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam semua
proses manajemen kebijakan, termasuk pada aspek pengawasan.
Pada aspek akuntabilitas, paradigma kebijakan transformatif
mengamanatkan adanya norma, standar, prosedur dan kriteria
pengelolaan sampah, sehingga kinerja kebijakan relatif menjadi
terukur. Selain itu, digariskan pula adanya kewajiban penetapan
target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu
tertentu. Pengawasan juga harus dijalankan menurut norma, standar,
prosedur dan kriteria pengawasan tertentu.
Keenam, penegakan hukum (law enforcement). Belajar dari
pengalaman sebelumnya, paradigma kebijakan transformatif
menempatkan faktor law enforcement sebagai faktor pemaksa yang
sangat penting untuk menjamin keberhasilan kebijakan pengelolaan
sampah. Kegiatan pengelolaan sampah mensyaratkan adanya
perizinan yang mensyaratkan terpenuhinya norma, standar, prosedur
dan kriteria pengelolaan sampah; serta sanksi administratif bila
terjadi pelanggaran persyaratan perizinan. Dalam hal ada kelompok
masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu kegiatan pengelolaan
sampah, maka diberikan hak untuk mengajukan gugatan perwakilan
kelompok (class action). Ditetapkan pula larangan untuk mengimpor,
memasukkan sampah dari luar negeri, mencampur sampah dengan
limbah berbahaya dan beracun, pengelolaan sampah yang
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan,
membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan
disediakan, menangani sampah dengan cara pembuangan terbuka

(open dumping) di TPA, serta membakar sampah yang tidak sesuai


dengan persyaratan teknis pengelolaan sampah. Pemerintah Daerah
diberi waktu lima tahun untuk menutup TPA yang menggunakan
sistem pembuangan terbuka (open dumping).
Dalam konteks penegakan hukum dimaksud, maka ancaman
pidana relatif dirumuskan secara sangat keras. Memasukkan dan/atau
mengimpor sampah rumah tangga dan atau sampah sejenis rumah
tangga diancam pidana penjara minimal 3 tahun dan maksimal 9
tahun, serta denda minimal Rp 100.000.000 dan maksimal Rp
3.000.000.000. Memasukkan dan/atau mengimpor sampah spesifik
diancam pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun,
serta denda minimal Rp 200.000.000 dan maksimal Rp
5.000.000.000. Bilamana pengelolaan sampah dengan sengaja tidak
memperhatikan norma, standar, prosedur dan kriteria pengelolaan
sampah
yang
dapat
mengakibatkan
gangguan
kesehatan
masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau
perusakan lingkungan, maka pengelola diancam pidana penjara
minimal 4 tahun dan maksimal 10 tahun, serta denda minimal Rp
100.000.000 dan maksimal Rp 5.000.000.000. Bilamana pelanggaran
tersebut mengakibatkan terjadinya orang mati atau luka berat, maka
pengelola diancam pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15
tahun, serta denda minimal Rp 100.000.000 dan maksimal Rp
5.000.000.000. Bilamana pelanggaran dimaksud bukan oleh faktor
kesengajaan, melainkan hanya karena kealpaan, maka pengelola
diancam pidana penjara maksimal 5 tahun, serta maksimal Rp
100.000.000. Bilamana kealpaan pengelola tersebut mengakibatkan
orang mati atau luka berat, maka pengelola diancam pidana penjara
maksimal 5 tahun, serta denda maksimal Rp 500.000.000.

Sebagai implikasi dari perbedaan cara memandang masalah sampah,


maka Undang Nomor 18 Tahun 2008 mentransformasi beberapa
pokok kebijakan sebelumnya. Pertama, transformasi dari kebijakan
pengelolaan yang berorientasi menangani masalah kebersihan kota
berubah menjadi kebijakan yang berorientasi tujuan, yaitu melindungi dan
menyelamatkan tumpah darah Indonesia (wilayah, masyarakat dan
lingkungan hidup Indonesia) dalam arti dapat memberikan manfaat
secara ekonomi; menciptakan dan memelihara kondisi dan kualitas
lingkungan hidup yang lingkungan yang sehat bagi masyarakat, serta
aman dari pencemaran sampah dan dampak pengelolaan sampah; serta
mengubah perilaku
masyarakat (society). Kebersihan kota hanya
merupakan salah satu hasil yang diperoleh dari terciptanya lingkungan
hidup yang aman dari pencemaran sampah. Kedua, transformasi dari
paradigma Kumpul-Angkut-Buang yang mengandalkan pendekatan akhir
(ujung pipa) menjadi paradigma pengolahan dan pemanfaatan yang
mengandalkan pendekatan sumber, sebagai implikasi dari perubahan

orientasi kebijakan. Ketiga, transformasi dari kebijakan pengelolaan


yang sarat didominasi dalam perspektif pelayanan publik terkait bidang
ke-PU-an menjadi pelayanan publik terkait bidang lingkungan hidup
secara luas, sebagai implikasi dari perubahan paradigma pengelolaan.
Secara keseluruhan, contoh-contoh agenda transformasi kebijakan
tersebut dikategorikan sebagai agenda-agenda perubahan sosial yang
pro-lingkungan hidup dan pro-rakyat.

You might also like