Professional Documents
Culture Documents
reformasi politik yang mengagendakan pemilihan langsung pejabatpejabat politik dan yang dalam prosesnya diikat oleh kontrak politik;
serta yang tidak mengatisipasi pula melemahnya kedudukan negara
di hadapan publik, karena ketidakberdayaannya dalam memerankan
fungsi negara kesejahteraan sehubungan terkurasnya sumber daya
negara untuk penyelamatan ancaman kebangkrutan perekonomian
negara (seperti penyelamatan sektor perbankan dan penanggulanan
beban hutang yang melambung tinggi), penanggulangan dampak
krisis, dan untuk pemulihan kembali fundamental perekonomian
nasional. Sehingga, kebijakan pengelolaan sampah konvensional
terperosok ke posisi yang sangat dilematis, yakni terjadi ledakan
perlawanan rakyat ketika mereka mengalami kerugian dan
menderita akibat kebijakan pengelolaan sampah konvensional yang
mencemari dan merusak lingkungan dan kehidupannya.
Pertama, spirit atau ruh kebijakan, yaitu penyelamatan
lingkungan dan bukannya kebersihan lingkungan. Salah satu konsep
yang menjadi basis utama kebijakan transformatif adalah konsep
pembangunan
berkelanjutan
yang
menekankan
pentingnya
perlindungan, pelestarian dan keselamatan lingkungan. Paradigma
kebijakan
transformatif
menitikberatkan
pada
kepentingan
perlindungan lingkungan, serta mengupayakan kelestarian dan
keselamatan lingkungan. Kebersihan lingkungan dan kota merupakan
salah satu fenomena positif dari tema sentral perlindungan dan
keselamatan lingkungan. Penjabaran dan operasionalisasi dari spirit
atau ruh kebijakan itu dituangkan ke dalam pokok-pokok kebijakan
yang menjadi agenda transformasi kebijakan pengelolaan sampah,
antara lain pertama, menyangkut pemaknaan baru terhadap sampah
dan kategorisasi sampah yang dikelola; kedua, tema-tema
pengelolaan sampah sejak dari aspek teknis (pendekatan
komprehensif dan sumber, serta konsep 3R atau Reduce, Reuse, dan
Recycl)) hingga aspek penempatan posisi dan peran, serta hubungan
antara negara/pemerintah dan masyarakat dalam kerangka
mewujudkan negara/pemerintah kuat-masyarakat kuat menuju self
governance society dalam pengelolaan sampah; tata kelola yang baik
(good governance); serta penegakan hukum atau law enforcement
dalam rangka perlindungan lingkungan hidup (khususnya dalam
konteks pengendalian pencemaran), sebagaimana dipaparkan
dibawah ini.
Kedua, makna dan kategorisasi sampah. Dalam kerangka
pembangunan berkelanjutan serta upaya perlindungan dan
keselamatan
lingkungan,
paradigma
kebijakan
transformatif
memandang dan memaknai sampah secara lebih luas dari perspektif
lingkungan hidup, dan tidak secara sempit hanya dari perspektif
kebersihan, utamanya kebersihan kota. Berdasarkan perspektif
lingkungan hidup, sampah dipahami berdasarkan konsep sumber
daya (resources), yakni bukan barang buangan yang menjijikkan
kebijakannya.
Namun, paradigma kebijakan transformatif juga
memposisikan dan mengangkat peran, hak dan kewajiban
masyarakat, baik masyarakat dunia usaha maupun non dunia usaha,
sehingga menjadi pihak yang harus sama kuatnya dengan
negara/pemerintah, seperti dalam proses pengambilan keputusan,
implementasi dan pengawasan pengelolaan sampah. Jadi, dimensi
perubahan sosial yang dituju mengarah pada wujud negara kuatmasyarakat kuat dalam pengelolaan sampah. Selain itu, melalui
aplikasi konsep 3R, peluang dan kesempatan bagi masyarakat untuk
memprakarsai pengelolaan sampah secara mandiri dibuka seluasluasnya. Bahkan, negara/pemerintah berkewajiban memfasilitasi
usaha-usaha 3R dimaksud, termasuk melalui penggunaan instrumen
kebijakan insentif-disinsentif. Gagasan perubahan sosial yang
terkandung dalam konteks prakarsa masyarakat dalam pengelolaan
sampah tersebut mengarah pada wujud masyarakat yang bertata
kelola mandiri (self governance society).
Kelima, tata kelola yang baik (good governance). Paradigma
kebijakan transformatif juga berasumsi, bahwa keberhasilan kebijakan
pengelolaan sampah akan ditentukan pula oleh keberadaan faktor
good governance. Oleh sebab itu, good governance menyangkut
transparansi
misalnya,
mengharuskan
pemerintah
dapat
menyediakan informasi yang benar, akurat, dan tepat waktu dalam
penyelenggaraan pengelolaan sampah. Sedangkan aspek partisipasi
dirumuskan secara proporsional dan seimbang antara hak dan
kewajiban, yang memungkinkan masyarakat terlibat dalam semua
proses manajemen kebijakan, termasuk pada aspek pengawasan.
Pada aspek akuntabilitas, paradigma kebijakan transformatif
mengamanatkan adanya norma, standar, prosedur dan kriteria
pengelolaan sampah, sehingga kinerja kebijakan relatif menjadi
terukur. Selain itu, digariskan pula adanya kewajiban penetapan
target pengurangan sampah secara bertahap dalam jangka waktu
tertentu. Pengawasan juga harus dijalankan menurut norma, standar,
prosedur dan kriteria pengawasan tertentu.
Keenam, penegakan hukum (law enforcement). Belajar dari
pengalaman sebelumnya, paradigma kebijakan transformatif
menempatkan faktor law enforcement sebagai faktor pemaksa yang
sangat penting untuk menjamin keberhasilan kebijakan pengelolaan
sampah. Kegiatan pengelolaan sampah mensyaratkan adanya
perizinan yang mensyaratkan terpenuhinya norma, standar, prosedur
dan kriteria pengelolaan sampah; serta sanksi administratif bila
terjadi pelanggaran persyaratan perizinan. Dalam hal ada kelompok
masyarakat yang merasa dirugikan oleh suatu kegiatan pengelolaan
sampah, maka diberikan hak untuk mengajukan gugatan perwakilan
kelompok (class action). Ditetapkan pula larangan untuk mengimpor,
memasukkan sampah dari luar negeri, mencampur sampah dengan
limbah berbahaya dan beracun, pengelolaan sampah yang
menimbulkan
pencemaran
dan/atau
kerusakan
lingkungan,
membuang sampah tidak pada tempat yang telah ditentukan dan
disediakan, menangani sampah dengan cara pembuangan terbuka