Professional Documents
Culture Documents
ERIN BROKOVICH
1.
Erin Brockovich adalah film biografi yang disutradarai oleh Steven Soderbergh dan
ditulis oleh Susannah Grant. Film ini adalah dramatisasi dari kisah nyata Erin
Brockovich yang diperankan oleh Julia Roberts, dimana tokoh utama ini berjuang
melawan korporasi energi Pacific Gas & Electric Company (PG & E). Film ini
menuturkan kisah tentang wanita yang tidak memiliki latar pendidikan formal di bidang
hukum, tetapi sanggup memenangkan kasus senilai US$ 333 juta atau saat ini sekitar
Rp 4,4 triliun. Film ini memenangkan Academy Award, Golden Globe, Screen Actors'
Guild Award dan BAFTA untuk kategori Best Actress.
Cerita film ini berlatar pada 1993. Erin Brockovich, single mother dari tiga anak harus
berjuang tiap hari karena tak memiliki pekerjaan. Langkah Erin masuk ke dunia hukum
mungkin tak pernah terlintas di benaknya.
Menjadi korban tabrakan lalu lintas, Erin meminta bantuan pengacara Ed Masry
(Albert Finney) Van Nuys, California dari law firm Masry dan Vititoe untuk menuntut
dokter yang menabrak. Meskipun Ed meyakinkan dirinya bahwa ia bisa mendapatkan
kemenangan atau bayaran yang besar sebagai kompensasi kecelakaan tersebut , Tetapi
karena sikap Erin yang meledak-ledak di pengadilan, kasus Erin tak dimenangkan.
Hingga suatu hari Ed kaget melihat Erin di kantornya, dan meminta pekerjaan. Karena
kasihan, ia memberinya tugas untuk pekerjaan kecil dan tanpa benefit. Di rumah,
meskipun Erin enggan untuk terlibat dengan pria lain, ia memulai hubungan dengan
George yang memiliki hobby mengendarai motor Harley Davidson dan sangat di sukai
oleh anak-anaknya.
Suatu hari, Erin terkejut saat memeriksa dokumen kasus real-estate perusahaan, Pro Bo
Case, Pacific Gas and Electric (PG&E) Hinkley di California yang ingin membeli
rumah penduduk bernama Donna Jensen Case no.2400. Erin kemudian membaca
semua document tersebut dan semakin penasaran untuk mendalami kasus ini. Kasus ini
pada awalnya mengungkapakan pembelian rumah oleh PG&E tetapi terdapat beberapa
memberitahu mereka bahwa perusahaan telah membuat tawaran murah hati untuk
membeli rumah Jensens, tapi membantah atas biaya pengobatan mereka.. Erin
kemudian mendapat kunjungan Tom dan Mandy Robinson, yang dulu tinggal di
seberang jalan dari Jensens, datang untuk memberitahu Erin bahwa Mandy telah
menderita lima kali keguguran dan ayam mereka mati dengan tumor aneh, mendorong
mereka untuk bertanya-tanya apakah mereka juga korban kromium. Ed dan Erin
kemudian pergi ke Hinkley, bertemu dengan warga lain dan memberitahu mereka
bahwa perusahaannya akan mewakili mereka melawan
memenangkan kasus ini, biaya nya sebesar empat puluh persen dari apa pun yang
dihasilkan, tetapi jika mereka kalah, biaya nya akan menjadi nol.
Berbekal keingintahuan dan ketulusan untuk membantu, Erin menggali lebih dalam
kasus tersebut dengan mengunjungi tiap rumah warga yang terkena dampak langsung,
berkunjung ke tempat-tempat yang airnya telah terkontaminasi, mengambil sample air
dan katak yang mati. Dengan sabar ia menemukan informasi sedikit demi sedikit,
mengorbankan waktunya untuk tiga anak tersayang demi tujuan yang lebih besar, Erin
kemudian mewawancarai beberapa keluarga lainnya yang memiliki penyakit serius,
berharap keluarga yang akan melakukan klaim bertambah. Meskipun Ed, yang dekat
dengan usia pensiun, mulai khawatir perjuangannya melawan perusahaan raksasa
seperti PG&E, mengetahui bahwa mereka bisa kalah di pengadilan dengan memakan
biaya besar dan menghabiskan waktu selama bertahun-tahun, dia bersedia melanjutkan,
jika Erin dapat menghasilkan bukti yang signifikan
Sembilan bulan kemudian, Ed dan Erin menghadiri piknik masyarakat di Hinkley,
berusaha untuk menambahkan nama ke dalam daftar penggugat yang kini sudah
berjumlah 411 penggugat. Di samping itu, kasus ini menelan biaya besar yang
membuat Ed terpaksa untuk mengambil hipotek kedua rumahnya. Dia merasa bahwa
Kantor pusat PG&E di San Francisco telah menyadari apa yang sedang terjadi di
Hinkley dan menggunakan taktik hukum melakukan pra-peradilan terhadap PG&E di
San Bernardino County atas kerusakan dan biaya pengobatan karena pencemaran air
tanah. Meskipun PG&E mengajukan mosi untuk menggagalkan tuntutan tersebut,
hakim mendukung warga dan menegur pengacara PG&E, yang kemudian menawarkan
Ed dan Erin melakukan penyelesaian dengan menawarkan uang dua puluh juta dolar,
lebih rendah dari tuntutan. Sementara itu, hubungan Erin dengan George dan anakanaknya memburuk, karena dia jarang di rumah. George meminta dia untuk berhenti
dari pekerjaannya, tetapi dia tidak bisa karena telah dia telah mendapatkan pengakuan,
harga diri, dan dia tidak lagi bersedia untuk menyesuaikan hidupnya dengan kebutuhan
laki laki dalam hidupnya. Meskipun begitu Erin meminta George untuk tinggal
bersamanya.
Erin marah ketika dia mengetahui bahwa Ed telah melibatkan mitra baru, Kurt Potter,
seorang ahli dalam kasus kasus toxic tort, untuk bekerja pada litigasi Hinkley. Kurt
telah memberikan Ed cek mencakup semua biaya sampai saat ini. Kemudian, Ed
memberi Erin selembar cek sebesar lima ribu dolar dan sebuah mobil baru A Brand
New Chevy Blazer. Kasus ini sekarang memiliki 634 penggugat dan Kurt
merencanakan suatu strategi hukum baru. Merasa bahwa jika mereka pergi ke
pengadilan sekarang , PG&E bisa mengulur ulur waktu dengan mengajukan banding
selama sepuluh tahun atau lebih, ia menganjurkan agar mereka setuju untuk arbitrase
yang mengikat dimana hal ini hanya mendengar oleh seorang hakim, yang putusannya
bersifat final dan tidak dapat diajukan banding. Erin mengingatkan Ed bahwa warga
mengharapkan sidang, tapi dia setuju dengan Kurt. Erin, yang merasa bahwa Ed
mendorong keluar dari kasus ini, dan memiliki kesulitan dalam menghadapi Teresa,
penasihat dari Kurt yang sopan, tapi merendahkan dirinya dengan membuat kejutan
menanyakan latar belakang para penggugat seperti no telepon, security number, dll.
Kurt mengatakan kepada Ed bahwa mereka harus mendapatkan data dari kantor pusat
PG&E mengenai air yang terkontaminasi dan tidak melakukan apa pun tentang hal itu.
Untuk menggunakan strategi arbitrase yang mengikat, perlu bahwa sembilan puluh
persen dari penggugat setuju untuk itu, sehingga Ed melakukan pertemuan di pusat
komunitas Hinkley dan akhirnya meyakinkan hampir semua orang bahwa ini adalah
kesempatan terbaik mereka untuk mendapatkan uang yang dibutuhkan untuk memenuhi
berkelanjutan biaya pengobatan. Namun, mereka masih butuh sekitar dua ratus lima
puluh tanda tangan , sehingga Erin tinggal di sebuah motel di dekatnya dan pergi dari
pintu ke pintu, mencari tanda tangan tambahan. Dia meminta George untuk datang ke
sana untuk melihat anak-anak dan dia setuju.
Suatu malam, setelah meminta tanda tangan bartender, Erin didekati oleh Charles
Embry, dia berpikir seseorang sedang mencoba untuk menjemputnya, tapi Charles
mengatakan bahwa ia dulunya bekerja di pabrik dan sepupunya yang berusia empat
puluh satu tahun baru saja meninggal akibat kanker setelah bekerja di menara
pendingin air. Charles memberitahukan pada Erin bahwa ia ditugaskan untuk
menghancurkan banyak dokumen, sebagian besar merupakan data yang tidak berguna,
tetapi beberapa di antaranya terkait dengan pemberitaan air dalam kolam penampung
dan sumur uji. Setelah mendapatkan informasi dari dokumen-dokumen yang oleh
Charles tidak di rusak, Ed dan Erin memberikan kepada Kurt sebanyak 634 tanda
tangan ditambah satu memo dari kantor pusat PG&E ke pabrik Hinkley yang
menyatakan bahwa mereka tahu kondisi pencemaran tersebut. Ed mengambil
kesempatan untuk mengatur disposisi oleh arbitrase mengikat , tetapi sebagian besar
penggugat harus menyetujui ini Kemudian, Erin dan George kembali ke Hinkley, dan
Erin membawanya untuk bertemu Donna. Erin mengatakan Donna berita bahwa hakim
telah memutuskan bahwa PG&E akan membayar penggugat 333.000.000 dolar. Dia
kemudian menceritakan hal ini pada Jensens dan dia gembira dan lega bahwa mereka
akan menerima lima juta dolar. Kembali di kantor, masih perdebatan Erin bekerja pada
kasus lain ketika Ed memberinya cek bonus, tapi memperingatkan bahwa angka
tersebut tidak persis apa yang mereka bahas. Erin marah dan menuduh Ed meremehkan
nilai.
'Erin Brockovich' merupakan film yang menyentuh, mengharukan sekaligus
memberikan motivasi bahwa kerja keras selalu akan terbayar jika bekerja dengan hati.
Tanpa gelar ijazah, Erin memang sempat direndahkan, tetapi dia melakukan hal yang
jauh lebih berguna dari pengacara top lulusan universitas bergengsi di film tersebut.
2.
Kasus yang serupa dengan film Erin Brokovich di Indonesia adalah sebagai
berikut :
ini
sejalan
dengan
penegakan
reformasi
di
berbagai
aspek
Namun Pada kenyataannya yang menjadi kasus dalam Pembahasan masalah ini adalah
sekalipun UUPLH Class Action telah diadopsi, tetap saja gugatan Class Action selalu
menemukan kendala-kendala yuridis. Proses adopsi prosedur Class Action dalam
UUPLH ternyata banyak menimbulkan masalah dalam prakteknya, mengingat Pasal 39
UUPLH menentukan bahwa hukum acara yang dipergunakan adalah hukum acara yang
berlaku di Indonesia dalam hal ini adalah Het Herziene Indonesisch Regelement (HIR)
dan Regelement op de Burgelijk Rechtsvordering(RBg), padahal HIR dan RBg tidak
mengenal prosedur Class Action. Kendala-kendala yuridis itu sangat mempengaruhi
gugatan Class Action terutama sebelum lahirnya Peraturan Mahkamah Agung
(PERMA) No. 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Sebelum
terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok,
dapat disebtkan beberapa permasalahan yang sering terjadi dalam praktek gugatanClass
Action di peradilan di Indonesia, antara lain :
a. Tentang surat kuasa dari anggota kelompok kepada perwakilan kelompok.
Dari keseluruhan putusan pengadilan yang dianalisa, dapat dicatat bahwa bantahan
pertama yang sering dikemukakan oleh tergugat terhadap penggunaan prosedur Class
Action adalah tidak adanya surat kuasa dari anggota kelompok kepada anggota
kelompok. Dalam ketentuan hukum acara perdata yang berlaku (HIR/RBg)
mensyaratkan bahwa untuk dapat bertindak sebagai wakil atau kuasa, seseorang harus
memperoleh suart kuasa istimewa dari orang/pihak yang diwakilinya.
b. Tentang surat gugatan.
Dalam surat gugatan yang diajukan pada umumnya tidak menjelaskan karakteristik dari
sebuah gugatan yang menggunakan prosedur Class Action, dalam hal ini tidak
mendeskripsikan secara jelas definisi kelas, posita gugatan tidak menjelaskan secara
rinci dan jelas kesamaan tentang fakta dan hukum serta kesamaan tuntutan antara wakil
kelompok dengan anggota kelompok, serta tata cara pendistribusian ganti kerugian. Di
samping itu, dalam menentukan wakil kelompok, penggugat cenderung mengajukan
jumlah wakil kelompok dalam jumlah yang besar. Hal ini akan menyulitkan penggugat
dalam membuktikan adanya unsur kesamaan kepentingan antara wakil kelompok
10
11
sebagai bagian Class Action (opt in) tidak diatur. Pada mekanisme pemberitahuan ini
membuka kesempatan bagi anggota kelompok untuk menyatakan diri keluar dari Class
Action apabila tidak menghendaki menjadi bagian dari gugatan.
Kendala lain setelah terbitnya PERMA No. 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan
perwakilan kelompok misalnya juga terlihat pada bagian pemeriksaan dan pembuktian.
Dalam hal ini pembuktian secara umum dilakukan menurut hukum acara perdata yang
berlaku di Indonesia. Meski demikian, PERMA No. 1 Tahun 2002 terkesan cenderung
memberikan titik tekan terhadap pemeriksaan kejujuran dan keabsahan keterwakilan
Penggugat serta pada pembuktian kesamaan fakta hukum dan kejadian yang menimpa
banyak orang. Pengaturan ini cenderung terlihat memberatkan dan membebankan
pembuktian pada penggugat. Secara sosiologis masyarakat Indonesia cenderung kurang
mahir bermain dengan hukum, sehingga masyarakat sering kali terlihat lemah dalam
pembuktian. Karenanya, perlu dilakukan terobosan baru untuk mengatasi kendala
pembuktian ini, misalnya pembuktian dilakukan menurut mekanisme pembuktian
terbalik dimana tergugat dibebankan pembuktian apakah ia melakukan pencemaran
atau tidak. Kendala berikutnya yang menghambat proses gugatan Class Action adalah
keseimbangan antara pelestarian lingkungan dengan kepentingan pembangunan
khususnya kesiapan investasi di Indonesia.
Gugatan Class Action jika dimenangkan oleh majelis hakim seringkali berakibat pada
pailitnya perusahaan yang bersangkutan. Hal ini tentunya memberikan efek buruk bagi
iklim ekonomi Indonesia, dalam beberapa kejadian bahkan hingga mendorong
pemerintah untuk ikut campur membela kepentingan investor. Kasus Lapindo Brantas
bahkan menunjukkan betapa kerugian yang ditimbulkan oleh kelalaian sebuah
perusahaan dengan berbagai dalih dapat dialihkan menjadi publik lose yang
dipersamakan dengan bencana alam sehingga beban pertangungannya dipikul oleh
pemerintah.
Pengalaman pencemaran lingkungan adalah penyakit yang banyak diderita oleh negara
berkembang termasuk Indonesia. Keberadaan pembangunan yang melulu mengejar
keuntungan ekonomis tanpa memperhitungkan akibat atau dampak yang dapat merusak
dan merampas hak masyarakat untuk mendapatkan lingkungan yang baik dan bersih.
12
Kasus lumpur PT. Lapindo Brantas yang terjadi belakangan ini merupakan contoh
sempurna betapa pembangunan yang dilakukan secara sembrono dan sekedar
berorientasi keuntungan ekonomis belaka dapat memberikan akibat yang begitu
menghancurkan. Persoalan pelestarian dan perlindungan lingkungan hidup tentu saja
tidak dapat serta merta diserahkan pada kesadaran masing-masing individu anggota
masyarakat maupun kepada badan-badan hukum semata. Instrumen hukum sebagai
salah satu strategi pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan, dalam kajian
Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan Hukum harus pula dikembangkan
sehingga mampu mewadahi kepentingan masyarakat banyak akan lingkungan yang
sehat, nyaman dan bersih.
Akibat semakin dirasakannya dampat negatif yang disebabkan oleh kegiatan korporasi,
maka negara-negara maju khususnya yang perekonomiannya baik mulai mencari cara
untuk bisa meminimalisir atau mencegah dampak tersebut salahsatunya dengan
menggunakan istrumen hukum pidana (bagian dari hukum publik). Sebenarnya
kejahatan korporasi (corporate crime) sudah dikenal lama dalam ilmu kriminologi. Di
kriminologi sendiri corporate crime merupakan bagian dari kejahatan kerah putih
(white collar crime). White collar crime sendiri diperkenalkan oleh pakar kriminologi
terkenal yaitu E.H. Sutherland (1883-1950) dalam pidato bersejarahnya yang
dipresentasikan "...at the thirty-fourth annual meeting of the American Sociological
Society ini Philadelphia on 27 December 1939". semenjak itu banyak pakar hukum
maupun kriminologi mengembangkan konsep tersebut.
Dalam perjalanannya pemikiran mengenai corporate crime, banyak menimbulkan pro
dan kontra di kalangan ahli hukum khususnya hukum pidana. Di hukum pidana ada
doktrin yang berkembang yaitu doktrin ''universitas delinquere non potest'' (korporasi
tidak mungkin melakukan tindak pidana), ini dipengaruhi pemikiran, bahwa
keberadaan korporasi di dalam hukum pidana hanyalah fiksi hukum yang tidak
mempunyai mind, sehingga tidak mempunyai suatu nilai moral yang disyaratkan untuk
dapat dipersalahkan secara pidana (unsur kesalahan). Padahal dalam suatu delik/Tindak
pidana mensyaratkan adanya kesalahan (mens rea) selain adanya perbuatan (actus reus)
atau dikenal dengan ''actus non facit reum, nisi mens sit rea''.
13
Namun masalah ini sebenarnya tidak menjadi masalah oleh kalangan yang pro
terhadap pemikiran corporate crime. Menurut Mardjono Reksodiputro ada dua hal yang
harus diperhatikan dalam menentukan tindak pidana korporasi yaitu, pertama tentang
perbuatan pengurus (atau orang lain) yang harus dikonstruksikan sebagai perbuatan
korporasi dan kedua tentang kesalahan pada korporasi. Menurut pendapat beliau, hal
yang pertama untuk dapat dikonstruksikan suatu perbuatan pengurus adalah juga
perbuatan korporasi maka digunakanlah asas identifikasi . Dengan asas tersebut maka
perbuatan pengurus atau pegawai suatu korporasi, diidentifikasikan (dipersamakan)
dengan perbuatan korporasi itu sendiri. Untuk hal yang kedua, memang selama ini
dalam ilmu hukum pidana gambaran tentang pelaku tindak pidana masih sering
dikaitkan dengan perbuatan yang secara fisik dilakukan oleh pembuat (fysieke dader)
namun hal ini dapat diatasi dengan ajaran pelaku fungsional (functionele dader) .
Dengan kita dapat membuktikan bahwa perbuatan pengurus atau pegawai korporasi itu
dalam lalu lintas bermasyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasi yang bersangkutan
maka kesalahan (dolus atau culpa) mereka harus dianggap sebagai keasalahan
korporasi.
Di negara-negara Common Law System seperti Amerika, Inggris, dan Kanada upaya
untuk membebankan pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal
liability) sudah dilakukan pada saat Revolusi Industri. Menurut Remy Sjahdeini ada
dua ajaran pokok yang menjadi bagi pembenaran dibebankannya pertanggungjawaban
pidana kepada korporasi. Ajaran-ajaran tersebut adalah doctrine of strict liability dan
''doctrine of vicarious liability''. Berdasarkan ajaran strict liability pelaku tindak pidana
dapat diminta pertanggungjawabannya tanpa disyaratkannya adanya kesalahan
sedangkan menurut ajaran vicarious liability dimungkinkan adanya pembebanan
pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana yang dilakukan.
Kejahatan Korporasi
Blacks Law Dictionary menyebutkan kejahatan korporasi atau corporate crime adalah
any criminal offense committed by and hence chargeable to a corporation because of
activities of its officers or employees (e.g., price fixing, toxic waste dumping), often
referred to as white collar crime.
14
Kejahatan korporasi adalah tindak pidana yang dilakukan oleh dan oleh karena itu
dapat dibebankan pada suatu korporasi karena aktivitas-aktivitas pegawai atau
karyawannya (seperti penetapan harga, pembuangan limbah), sering juga disebut
sebagai kejahatan kerah putih.
Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan
korporasi adalah conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a
corporation, which is proscribed and punishable by law.
Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai
kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda
dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi.
Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas
hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua,
baik korporasi (sebagai subyek hukum perorangan legal persons) dan perwakilannya
termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek
yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas
pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi
bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan
pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut
ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.
Kejahatan korporasi mungkin tidak terlalu sering kita sering dalam pemberitaanpemberitaan kriminil di media. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian juga pada
umumnya lebih sering menindak aksi-aksi kejahatan konvensional yang secara nyata
dan faktual terdapat dalam aktivitas sehari-hari masyarakat. Ada beberapa beberapa
faktor yang mempengaruhi hal ini. Pertama, kejahatan-kejahatan yang dilaporkan oleh
masyarakat hanyalah kejahatan-kejahatan konvensional. Penelitian juga menunjukkan
bahwa aktivitas aparat kepolisian sebagian besar didasarkan atas laporan anggota
masyarakat, sehingga kejahatan yang ditangani oleh kepolisian juga turut bersifat
konvensional. Kedua, pandangan masyarakat cenderung melihat kejahatan korporasi
atau kejahatan kerah putih bukan sebagai hal-hal yang sangat berbahaya,dan juga turut
dipengaruhi. Ketiga, pandangan serta landasan hukum menyangkut siapa yang diakui
15
sebagai subjek hukum pidana dalam hukum pidana Indonesia. Keempat, tujuan dari
pemidanaan kejahatan korporasi adalah lebih kepada agar adanya perbaikan dan ganti
rugi, berbeda dengan pemidanaan kejahatan lain yang konvensional yang bertujuan
untuk menangkap dan menghukum. Kelima, pengetahuan aparat penegak hukum
menyangkut kejahatan korporasi masih dinilai sangat minim, sehingga terkadang
terkesan enggan untuk menindaklanjutinya secara hukum. Kelima, kejahatan korporasi
sering melibatkan tokoh-tokoh masyarakat dengan status sosial yang tinggi. Hal ini
dinilai dapat mempengaruhi proses penegakan hukum.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa
yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat
undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia
melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan
maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai
satu
kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau
korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus
atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga,
jika
pertanggungjawaban
pidana
oleh
korporasi,
namun
hanya
landasan untuk
dimungkinkan
pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398
KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan
terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam
keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan
pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut
membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari
kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan(dan seterusnya).
Di Belanda sendiri, sebagai tempat asal KUHP Indonesia, pada tanggal 23 Juni 1976,
korporasi diresmikan sebagai subjek hukum pidana dan ketentuan ini dimasukkan
kedalam pasal 51 KUHP Belanda (Sr.), yang isinya menyatakan antara lain:
1. Tindak pidana dapat dilakukan baik oleh perorangan maupun korporasi;
16
2. Jika suatu tindak pidana dilakukan oleh korporasi, penuntutan pidana dapat
dijalankan dan sanksi pidana maupun tindakan yang disediakan dalam perundangundangansepanjang berkenaan dengan korporasidapat dijatuhkan. Dalam hal ini,
pengenaan sanksi dapat dilakukan terhadap
2.1. korporasi sendiri, atau
2.2. mereka yang secara faktual memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana
yang dimaksud, termasuk mereka yang secara faktual memimpin pelaksanaan tindak
pidana dimaksud, atau
2.3. korporasi atau mereka yang dimaksud di atas bersama-sama secara tanggung
renteng.
1. Berkenaan dengan penerapan butir-butir sebelumnya, yang disamakan dengan
korporasi: persekutuan bukan badan hukum, maatschap (persekutuan perdatan), rederij
(persekutuan perkapalan) dan doelvermogen (harta kekayaan yang dipisahkan demi
pencapaian tujuan tertentu; social fund atau yayasan).
Meskipun KUHP Indonesia saat ini tidak mengikutsertakan korporasi sebagai subyek
hukum yang dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana, namun korporasi mulai
diposisikan sebagai subyek hukum pidana dengan ditetapkannya UU No.7/Drt/1955
tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi.
Kemudian kejahatan korporasi juga diatur dan tersebar dalam berbagai undang-undang
khusus lainnya dengan rumusan yang berbeda-beda mengenai korporasi, antara lain
termasuk pengertian badan usaha, perseroan, perusahaan, perkumpulan, yayasan,
perserikatan, organisasi, dan lain-lain, seperti :
Dalam literatur Indonesia juga ditemukan pandangan yang turut untuk mewacanakan
17
menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana. Seperti misalnya Prof. Dr.
Wirjono Prodjodikoro, SH, dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia,
menyatakan :
Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan dari orang-orang, yang sebagai badan
hukum turut serta dalam pergaulan hidup kemasyarakatan, timbul gejala-gejala dari
perkumpulan itu, yang apabila dilakukan oleh oknum, terang masuk perumusan
pelbagai tindak pidana. Dalam hal ini, sebagai perwakilan, yang kena hukuman pidana
adalah oknum lagi, yaitu orang-orang yang berfungsi sebagai pengurus dari badan
hukum, seperti misalnya seorang direktur dari suatu perseroan terbatas, yang
dipertanggungjawabkan.
gagasan, bahwa juga suatu perkumpulan sebagai badan tersendiri dapat dikenakan
hukuman pidana sebagai subyek suatu tindak pidana.
Di Indonesia, salah satu peraturan yang mempidanakan kejahatan korporasi adalah
Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup. Hal ini dapat
dilihat dari isi pasal 46 yang mengadopsi doktrin vicarious liability.
Meskipun tidak digariskan secara jelas seperti dalam KUHP Belanda, berdasarkan
sistem hukum pidana di Indonesia pada saat ini terdapat 3 bentuk pertanggungjawaban
pidana dalam kejahatan korporasi berdasarkan regulasi yang sudah ada, yaitu
dibebankan pada korporasi itu sendiri, seperti diatur dalam Pasal 65 ayat 1 dan 2 UU
No.38/2004 tentang Jalan. Kemudian dapat pula dibebankan kepada organ atau
pengurus korporasi yang melakukan perbuatan atau mereka yang bertindak sebagai
pemimpin dalam melakukan tindak pindana, seperti yang diatur dalam pasal 20 ayat 2
UU No.31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU No.31/2004 tentang Perikanan.
Kemudian kemungkinan berikutnya adala dapat dibebankan baik kepada pengurus
korporasi sebagai pemberi perintah atau pemimpin dan juga dibebankan kepada
koorporasi, contohnya seperti dalam pasal 20 ayat 1 UU No.31/1999.
CONTOH :
18
19
20
November 1986 oleh Presiden RI kala itu, Jenderal Soeharto, bersamaan dengan 33
naskah kontrak karya lainnya yang disetujui. Wilayah konsensi dalam Konrak Karya
meliputi 527.448 hektar
di
desa
Energi atas
permohonan tertulis dari perusahaan. Umur tambang PT. NMR diperkirakan akan
mencapai 12 tahun. Selama operasinya, PT. MNR adalah satu-satunya perusahaan
yang terbanyak mempekerjaan karyawan baik secara langsung maupun tidak langsung
di daerah Minahasa. PT. MNR dan kontraktornya telah memberikan kesempatan kerja
bagi 700 orang Indonesia. Dari jumlah tersebut 85% berasal dari Provinsi Sulawesi
Utara. Karyawan lain yang tidak dipekerjakan secara langsung oleh PT. NMR
21
Kecamatan
Mongondow. Setiap hari, sebanyak 2.000 ton tailing disalurkan PT. NMR ke dasar
perairan Teluk Buyat.
Dari
22
mengalami dampak pencemaran pembuangan limbah tailing dan juga akibat dari
aktivitas pertambangan. Desa-desa tersebut adalah desa Basaan, desa Buyat dan 4
(empat) desa yang belum lama ini (1997) merupakan hasil pemekaran wilayah
Ratatotok yaitu desa Ratatotok I,
Pantai Buyat dihadapkan dengan sejumlah persoalan mulai dari kehilangan sumber air
bersih, sebab sungai Buyat yang merupakan satu- satunya tempat untuk memenuhi
kebutuhan air bersih berubah menjadi keruh seiring aktivitas perusahan di hulu sungai.
Mereka harus kehilangan wilayah tangkapan ikan karena ternyata sedimentasi limbah
tailing telah menutupi hampir seluruh permukaan dasar perairan mulai dari wilayah
lamun (sea grass) hingga ke kawasan terumbu karang (coral reef).
perusahan mencoba
Walaupun
(artificial coral reef) ternyata tidak memberi pengaruh yang berarti, dan paling tragis
adalah muncul banyak penyakit misterius yang dialami oleh hampir seluruh warga,
seperti : muncul gatal-gatal, sakit kepala yang berulang-ulang, perut sering mual,
muntah, pembengkakan di beberapa bagian tubuh dan beberapa ibu sering mendadak
pingsan.
23
PT. NMR
24
Penelitian yang hasilnya dituliskan oleh pihak PT. NMR tersebut menyimpulkan bahwa
kandungan sejumlah logam berat di air dan sedimen Perairan Teluk Buyat masih dalam
ambang batas aman.
Dengan adanya dua kesimpulan berbeda tersebut, terjadilah polemik di
tengah publik dan pemerintahan daerah. Untuk memperkuat argumenya kemudian PT.
MNR, mengundang peneliti asing yaitu CSIRO (Commonwealth Scientific and
Industrial Research Organization) lembaga penelitian dari Australia. Dalam hasil
studinya menunjukkan perairan Teluk Buyat tidak tercemar logam berat dan
konsentrasi logam pada jaringan tubuh ikan berada pada kisaran normal. Hasil
penelitian CSIRO ini menegaskan hasil penelitian Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) / National Institute for Minamata Disease (yang dikeluarkan pada 4 Oktober
2004) dan laporan penelitian Tim Terpadu Pemerintah Indonesia (yang dikeluarkan
pada 19 Oktober) menyimpulkan bahwa tidak terjadi pencemaran di perairan Teluk
Buyat. Dan akhirnya untuk menengahi kontroversi tentang adanya pencemaran di
perairan Teluk Buyat di Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, pemerintah pusat lalu
mengirimkan tim penelitinya untuk melakukan penelitian terpadu di Teluk Buyat dan
sekitarnya. Penelitian tersebut dilakukan oleh Tim Penanganan Kasus Pencemaran dan
Perusakan Lingkungan Hidup di Desa Buyat Pante dan Desa Ratatotok Timur
Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara yang dibentuk dengan
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 97 Tahun 2004, Jo Keputusan
MENLH No. 191 tahun 2004. Tim ini dikenal dengan nama Tim Terpadu. Aspek
lingkungan yang diteliti oleh Tim Terpadu meliputi antara lain; kualitas air laut,
sungai, air tanah, air minum; kandungan logam berat di dalam ikan, biota laut
lainnya, dan bahan makanan utama lainnya; biodiversitas ikan, benthos, plankton; pola
arus; lapisan termoklin; dan teknologi pengolahan yang digunakan oleh PT. NMR.
Pemerintah pusat menyimpulkan, perusahaan tambang emas PT. NMR telah
mencemari lingkungan di Teluk Buyat, Minahasa, Sulawesi Utara. Laporan audit
internal Newmont yang dibeberkan dalam harian New York Times (22/12), juga
ditemukan oleh Tim Terpadu Penanganan kasus Buyat. Pembuangan sebanyak 33 ton
merkuri langsung, sudah dicurigai oleh tim terpadu dalam laporannya tertanggal
November 2004.
25
Kecurigaan tim terpadu terbukti pada laporan audit internal Newmont yang
dipaparkan dalam artikel New York Times berjudul "Mining Giant told It Put Toxic
Vapors Into Indonesia's Air". Dalam laporan tersebut ditunjukkan pada 1998 mercury
scrubber tidak berfungsi dengan baik, dan baru diperbaiki pertengahan tahun 2001,
sehingga merkuri menguap ke udara dan tidak ditangkap sebagai kalomel. Dalam
laporan audit internal yang dibeberkan oleh harian New York Times itu juga disebutkan
33 ton merkuri yang seharusnya dikumpulkan dan dikirim ke PPLI selama 4 tahun
ternyata, 17 ton di antaranya terlepas di udara dan 16 ton dilepaskan ke Teluk Buyat.
tidak
hanya
dikenal
dalam
UU
No.
23/1997.
Undang-Undang
Pemberantasan Korupsi dan Undang- Undang Anti Tindak Pidana Pencucian Uang
(money laundering) juga mengatur pertanggungjawaban atas kejahatan korporasi.
Sally S. Simpson menyatakan "corporate crime is a type of white-collar crime".
Dalam bukunya
bukunya
Explaining
Crime,
Joseph
F.
Sheley
26
dari segi pencemaran lingkungan maupun musnahnya satwa yang dlindungi. Fakta
lapangan mengungkapkan bahwa pembuangan limbah produksi secara sengaja tanpa
pertimbangan AMDAL dapat menyebabkan kematian, baik manusia maupun makhluk
hayati lainnya. Meski pihak PT. NMR bersikukuh bahwa kandungan arsen, merkuri,
serta sianida dalam sedimen dan biota laut di Teluk Buyat masih di bawah baku mutu
ketentuan mana pun. Namun hasil kajian hukum tim teknis menunjukkan cukup bukti
adanya beberapa pelanggaran perizinan oleh PT. NMR yang memicu pencemaran di
Teluk Buyat.
Atas dasar itu pemerintah Indonesia kemudian mengajukan gugatan hukum secara
perdata maupun pidana terhadap PT. NMR dan presiden direkturnya, Richard Bruce
Ness. Mereka dituntut untuk memenuhi kewajiban clean up selama 30 tahun
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Lingkungan Nomor 23 Tahun 1997,
juga dituntut membayar ganti rugi materiil US$ 117 juta (sekitar Rp 1,058 Namun
gugatan hukum yang dilakukan pemerintah Indonesia tersebut menemui kegagalan.
Dalam sidang putusan kasus pidana lingkungan tersebut, PT. NMR sebagai terdakwa I
dan Richard Ness sebagai terdakwa II dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Hal menarik yang patut di ungkapkan di sini adalah adanya
bentuk campur tangan asing terhadap proses penegakan hukum di Indonesia. Duta
Besar Amerika Serikat, Ralph L. Boyce mendatangi Mabes Polri dan menemui
Presiden Megawati untuk mempengaruhi proses penanganan kasus Buyat. Boyce juga
menyatakan bahwa penahanan eksekutif PT. NMR akan memperburuk iklim
investasi.
Dalam kondisi demikian maka terjadi imperialisme, yang didefinisikan Cohen
sebagai suatu hubungan dominasi atau kontrol yang efektif, politik atau ekonomi,
langsung atau tak langsung dari suatu negara atas negara lain.11 Sebagaimana akhir
dari perjalanan kontroversi kasus Buyat ini yang mencapai klimasksnya setelah
terjadinya negosiasi antara pemerintah dan PT. NMR yang ditandai dengan pemberian
ganti rugi sebesar US$ 30 juta.
27
28