Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Kondrosarkoma merupakan bentukan tumor ganas dari kartilago hialin
dengan pembesaran yang lambat 1,2. Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif
yang membentuk mesenkim, memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan
pertumbuhan yang abnormal dari tulang atau kartilago2.
Kondrosarkoma merupakan tumor ganas primer ke-3 pada tulang setelah
multiple myeloma dan osteosarkoma. Kejadian kondrosakoma 20% - 27% dari semua
neoplasma primer ganas pada tulang dan 3,5 % dari semua tumor primer pada tulang
yang perlu biopsi3. Kondrosarkoma ini biasa terjadi pada dewasa dekade 3-6 dengan
laki-laki lebih banyak daripada perempuan3.
Istilah kondrosarkoma menggambarkan kelompok lesi heterogen dengan ciri
morfologi dan perilaku klinis yang bermacam-macam1. Kondrosarkoma dapat terjadi
sebagai tumor primer maupun tumor sekunder dari perubahan lesi di kartilago
sebelumnya4. Kondrosarkoma primer terdiri atas konvensional intramedular, clear
cell, mesenkimal, juxtakortikal, dedifferentiated, mixoid
dan ekstraskeletal.
termasuk
kondrosarkoma
sekunder
yang
sebelumnya
berupa
lesi
sehingga kasus ini pernah didiskusikan bersama antara bagian ortopedi, patologi dan
radiologi untuk membahas diagnosis dan terapi yang tepat untuk pasien ini.
Tujuan dari laporan kasus ini adalah untuk mengetahui gambaran dari
kondrosarkoma dan membedakan kondrosarkoma dengan lesi lain yang merupakan
diagnosis pembandingnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Kondrosarkoma merupakan tumor tulang ganas yang terdiri atas kondrosit
anaplastik yang dapat tumbuh sebagai tumor tulang perifer atau sentral.
Kondrosarkoma berasal dari kartilago primitif yang membentuk mesenkim,
memproduksi kartilago hialin dan menghasilkan pertumbuhan yang abnormal dari
tulang atau kartilago2,5.
Kondrosarkoma dapat dibagi menjadi kondrosarkoma primer dan sekunder.
Untuk keganasan yang berasal dari kartilago itu sendiri (de novo) disebut
kondrosarkoma primer. Sedangkan apabila merupakan bentuk degenerasi keganasan
dari penyakit lain seperti enkondroma, osteokondroma dan kondroblastoma disebut
kondrosarkoma sekunder. Kondrosarkoma sekunder kurang ganas dibandingkan
kondrosarkoma primer. Berdasar lokasi kondrosarkoma dapat diklasifikasi menjadi
tumor sentral atau perifer6.
Sarkoma primer pada tulang pelvis dianggap mempunyai prognosis lebih
jelek dibandingkan lokasi lain di tulang panjang7.
B. Anatomi pelvis
Pelvis adalah sebuah tulang bentuk cincin yang terdiri dari sepasang tulang
innominata, sakrum dan tulang ekor (gambar 1). Tulang-tulang inominata bersendi
dengan sakrum di posterior pada sinkondrosis sakroiliaka dan bersendi dengan tulang
inominata lainnya di anterior di simfisis pubis. Setiap tulang innominata terdiri dari
3
tiga bagian yaitu ilium, iskium dan pubis. Ketiganya bergabung di acetabulum
(gambar 2 dan 3). Ilium adalah tulang datar melengkung dan menahan krista iliaka di
superior. Anterior dan posterior spina iliaka superior berada di kedua ujung krista
iliaka, dengan anterior dan posterior spina iliaka inferior di bawahnya. Permukaan
bagian dalam tulang halus dan memiliki garis iliopectineal yang berjalan dari depan
ke belakang, yang merupakan garis demarkasi pelvis8.
Tulang pubis terdiri dari corpus, ramus superior dan inferior. Tulang pubis
bergabung satu sama lain di simfisis pubis. Tulang pubis menahan rongga di aspek
superomedialnya. Permukaan artikular simfisis pubis terdiri dari kartilago hialin
dengan diskus fibrokartilago di antaranya. Tulang pubis diperkuat oleh ligamen.
Ischium terdiri dari corpus dan ramus inferior yang bergabung dengan ramus inferior
tulang pubis. Foramen obturatorium dikelilingi oleh corpus dan ramus tulang pubis
dan corpus dan ramus tulang ischium8.
Sendi-sendi sakroiliaca merupakan sendi kartilaginosa tipe simfisis. Sendi ini
mempunyai hubungan fibrokartilago dan ujung-ujung tulangnya dibungkus oleh
tulang rawan / kartilago hialin, dilapisi oleh sinovium dan di sokong oleh ligament
dan
hanya
sedikit
bergerak.
Permukaan
sendi
datar
dan
tidak
merata.
memiliki ketebalan yang setara dengan pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis
lempeng5.
C. Epidemiologi
Kondrosarkoma bisa mengenai semua orang dengan berbagai umur, meskipun
sering terjadi pada dekade 5 atau 6 dengan perbandingan laki-laki : perempuan (1,5-2:
1).
agresif. Meskipun semua tulang bisa terkena namun lokasi paling sering terkena
adalah pelvis (40-50% dari semua kondrosarkoma)7, pergelangan bahu, tulang
panjang bagian proksimal, iga, scapula, dan sternum. Kondrosarkoma primer jarang
terjadi di tulang punggung (<1%) dan tulang kraniofasial dan juga jarang terjadi di
tulang kecil tangan dan kaki (kira-kira 1%) 6. Kejadian kondrosarkoma di femur kirakira 20%-35% diikuti di tibia 5%. Ekstremitas atas kejadiannya sekitar 10%-20%
dengan humerus bagian proksimal merupakan tempat yang paling sering terjadi.
Kerangka aksial juga paling sering terkena dengan kejadian pada tulang innominata
25% kasus dan kejadian pada tulang iga 8%. Lokasi yang jarang terjadi antara lain di
scapula (5%) dan di sternum (2%)3.
Pada tulang panjang lesi umumnya terletak di metafisis (49%) diikuti di
diafisis (36%). Kondrosarkoma konvensional yang terpusat di diafisis tidak banyak
terjadi, hanya 16% kasus3.
D. Gejala klinis
Gejala klinis kondrosarkoma tergantung derajat tumor. Pada kebanyakan
kasus, gejalanya ringan dengan waktu yang lama, berkisar dari beberapa bulan
6
sampai tahun, dan biasanya nyeri tumpul dengan teraba adanya masa. Pada derajat
yang tinggi tumor dapat tumbuh cepat dengan nyeri yang menyiksa. Tumor di pelvis
biasanya disertai dengan keluhan kencing yang sering atau sumbatan kencing6.
Fraktur patologis terkadang menjadi gejala yang tampak lebih dulu (3-17 % kasus)
pada pasien dengan kondrosaroma konvensional3.
E. Klasifikasi
Kondrosarkoma di klasifikasikan menjadi kondrosarkoma primer (90%) jika
lesi denovo dan kondrosarkoma sekunder (10%) jika berasal dari defek kartilago
jinak, seperti osteokondroma atau enkondroma. Selanjutnya diklasifikasikan sebagai
kondrosarkoma sentral (jika letak lesi di kanal intramedular), kondrosarkoma perifer
(jika letak lesi di permukaan tulang) dan kondrosarkoma jukstakortikal atau periosteal
dengan kejadian jarang (2%). Secara patologi kondrosarkoma diklasifikasikan
menjadi kondrosarkoma konvensional (80-85%), dan kondrosarkoma dengan subtipe
tergantung lokasi, tampilan, terapi dan prognosis. Subtipe tersebut antara lain
kondrosarkoma
clear
cell
(1%-2%),
kondrosarkoma
miksoid
(8%-10%),
inti membesar (ukuran > 8 mikro) dan sedikit sel dengan multinucleated (kebanyakan
binucleated). Stroma lebih dominan dengan area miksoid sedikit atau bahkan tidak
ada.
Kondrosarkoma
derajat
ini
sulit
dibedakan
dengan
enkondroma.
Kondrosarkoma derajat 2 mempunyai matriks kondroid yang sedikit dan lebih banyak
mengandung sel. Peningkatan sel lebih dominan di tumor perifer dengan matriks
kondroit yang hampir tidak ada dan jarang ditemukan gambaran mitosis.
Kondrosarkoma derajat 3, menampilkan sel-sel yang lebih besar dan inti lebih
pleomorfisme dibandingkan derajat 2. Matriks kondroit jarang bahkan hampir tidak
ada dengan material interseluler sedikit dan sering berupa mixoid. Selnya umumya
bentuk stellat atau ireguler. Fokus nekrosis sering tampak dan sering meluas. Inti sel
sering berbentuk spindle dengan ukuran bisa lebih besar 5-10 kali dibandingkan
dengan ukuran normal3.
F. Etiologi
Etiologi kondrosarkoma masih belum diketahui secara pasti. Informasi
etiologi kondrosarkoma masih sangat minimal. Beberapa zat-zat fisika dan kimia,
seperti radiasi, beryllium, dan isotop radioaktif, telah menunjukkan faktor resiko
potensial terhadap perkembangan tumor kondroid. Namun berdasarkan penelitian
yang terus berkembang didapatkan bahwa kondrosarkoma berhubungan dengan
tumor-tumor tulang jinak seperti enkondroma atau osteokondroma sangat besar
kemungkinannya untuk berkembang menjadi kondrosarkoma. Tumor ini dapat juga
terjadi akibat efek samping dari terapi radiasi untuk terapi kanker selain bentuk
kanker primer. Selain itu, pasien dengan sindrom enkondromatosis seperti Ollier
disease dan Maffucci syndrom, beresiko tinggi untuk terkena kondrosarkoma9.
G. Patogenesis
Patogenesis kondrosarkoma primer maupun sekunder adalah terbentuknya
kartilago oleh sel-sel tumor tanpa disertai osteogenesis. Sel tumor hanya
memproduksi kartilago hialin yang mengakibatkan abnormalitas pertumbuhan tulang
dan kartilago. Secara fisiologis, kondrosit yang mati dibersihkan oleh osteoklas
kemudian daerah yang kosong itu, diinvasi oleh osteoblas-osteoblas yang melakukan
proses osifikasi. Proses osifikasi ini menyebabkan diafisis bertambah panjang dan
lempeng epifisis kembali ke ketebalan semula. Seharusnya kartilago yang diganti
oleh tulang di ujung diafisis lempeng memiliki ketebalan yang setara dengan
pertumbuhan kartilago baru di ujung epifisis lempeng. Namun pada kondrosarkoma
proses osteogenesis tidak terjadi, sel-sel kartilago menjadi ganas dan menyebabkan
abnormalitas penonjolan tulang, dengan berbagai variasi ukuran dan lokasi5.
Proses keganasan kondrosit dapat berasal dari perifer atau sentral. Apabila lesi
awal dari kanalis intramedular, di dalam tulang itu sendiri dinamakan kondrosarkoma
sentral sedangkan kondrosarkoma perifer apabila lesi dari permukaan tulang seperti
kortikal dan periosteal. Tumor kemudian tumbuh membesar dan mengikis korteks
sehingga menimbulkan reaksi periosteal pada formasi tulang baru dan soft tissue.
Penelitian baru-baru ini berkesimpulan patogenesis dari kondrosarkoma bisa
melibatkan inaktifasi mutasional dari gen supresor tumor terdahulu. Telah dilaporkan
terjadinya inaktifasi mutasional tumor supresor p16, Rb, dan p53 pada contoh
9
kondrosarkoma. Lebih lanjut lagi, inaktifasi p53 berhubungan dengan tumor tingkat
yang lebih tinggi dan prognosis yang lebih jelek10.
H. Diagnosis
Diagnosis kondrosarkoma dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang antara lain pemeriksaan
radiologi dan patologi anatomi. Pemeriksaan radiologi meliputi pemeriksaan foto
polos, CT scan, MRI dan PET scan. Foto polos atau foto konvensional merupakan
pemeriksaan penting yang dilakukan untuk diagnosis awal kondrosarkoma. Foto
polos bisa menggambaran lokasi lesi, identifikasi sifat kartilago dan agresifitasnya.
Tampilan khas dari lesi tulang rawan pada radiografi polos adalah kalsifikasi diskrit.
Lesi dapat berupa radiolusen atau sklerotik pada foto polos, dengan disertai adanya
kalsifikas.
Tampilan
lesi
tergantung
jumlah
mineralisasi
yang
terjadi15.
radiolusen
yang
berisi kalsifikasi
matriks kartilago.
secara
khas
menunjukkan
peningkatan
penyerapan
radioisotop pada bone scan, namun belum bisa digunakan untuk membedakan antara
osteokondroma dan enkondroma. Peningkatan penyerapan menunjukkan adanya
aktifitas metabolik pada kondroma atau pada tranformasi ke ganas. Namun demikian
tidak adanya peningkatan penyerapan, curiga keganasan bisa disingkirkan6.
I. Diagnosis Banding
1. Enkondroma
Enkondroma merupakan tumor intrameduler yang dikarakteristikkan oleh
adanya bentukan kartilago hialin yang berbatas tegas. Enkondrama sebagai diagnosis
banding terutama jika dibandingkan dengan kondrosarkoma derajat rendah9.
12
mineralisasi
matriks
dan
integritas
korteks.
MRI
membantu
Insiden terjadinya
osteosarkoma pada umur 10-25 tahun dengan predileksi di sekitar lutut. Biasanya
mengenai metadiafisis dari bagian distal tulang femur dan bagian proksimal dari
tulang tibia. Osteosarkoma jarang terjadi di pelvis, tulang belakang, clavicula,
scapula, iga, dan tulang-tulang kecil. Sepuluh persen terjadi di diafisis. Terlibatnya
epifisis biasanya terjadi pada kasus yang sangat kronis. Kartilago di metafisis barlaku
sebagai barrier sementara bagi perluasan tumor11.
osteosarkoma adalah adanya area eksentrik dengan destruksi tulang tipe permeatif di
metadiafisis sekitar lutut disertai adanya erosi korteks dan adanya massa jaringan
lunak yang berbatas tegas. Tampak adanya elevasi periosteum yang disebabkan
adanya bentukan baru dari tulang yang dikenal sebagai codmans triangle. Epifisis
biasanya tampak normal. Tampak adanya kalsifikasi bentuk spikula amorf di massa
jaringan lunak. Sklerosis dan destruksi tulang biasanya tampak didalam lesi tulang,
namun kadang-kadang lesi berupa lesi litik11.
3. Fibrous Displasia
Fibrous displasia adalah lesi jinak di skeletal yang sering terjadi dengan
melibatkan satu tulang (monostotic) atau banyak tulang (polyostotic) dengan
predileksi di tulang panjang, tulang iga, dan tulang kraniofasial, tulang belakang,
pelvis dan biasanya unilateral. Bentuk monoostotik kira-kira 70-80% dari kasus
fibrous displasia, selebihnya adalah tipe poliostotik. Derajat deformitas tulang relatif
14
lebih banyak pada tipe poliostotik. Tipe poliostotik paling banyak mengenai kepala,
tulang fasial, pelvis dan tulang belakang dan biasanya mempunyai sifat unilateral.
Kejadian fibrous displasia ini mirip proses kongenital. Fibrous displasia banyak
mengenai anak dan dewasa muda, 75 % pasien berumur kurang dari 30 tahun dengan
insiden tertinggi pada usia 3-15 tahun. Gejala awal fibrous displasia adalah nyeri
disekitar lesi diikuti pincang dan fraktur spontan. Lesi pada pelvis sering
menunjukkan tanda sheperds crook deformity dan deformitas coxa vara jika
kasusnya sudah berat14. Secara klasik fibrous displasia berupa lesi di intrameduler,
ekspansil, dan berbatas tegas. Meskipun terdapat endosteal scalloping, namun masih
tampak kontur korteks yag halus. Lesi menunjukkan berbagai macam derajat densitas
opasitas dengan tampak gambaran ground glass appearance, meskipun beberapa
kasus hanya tampak hanya rodiolusen atau sklerotik. Lesi biasa menunjukkan
peningkatan yang tidak spesifik terhadap radiotracer pada bone scan. CT dan MRI
berguna membantu mengevaluasi komponen jaringan lunak dan perluasan lesi14.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
Dilaporkan sebuah kasus pasien wanita 24 tahun dengan keluhan utama nyeri
dan bengkak di pinggul kanan. Empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit pasien
mulai merasakan nyei di pinggul kanan. Nyeri dirasakan hilang timbul namun sering.
Pasien tidak merasakan ada benjolan. Tidak ada keluhan lain selain rasa nyeri. Dua
tahun kemudian pasien merasakan nyeri bertambah berat sehingga jalan pasien
pincang. Pasien harus menggunakan tongkat untuk menyeimbangkan dan menahan
rasa sakit saat berjalan. Pasien mulai merasakan adanya benjolan di pinggul kanan.
Pasien juga merasakan berat badan sangat menurun, kira-kira berat badan turun 25
kg. Dua tahun kemudian, kurang lebih 2 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien
mengeluhkan menstruasi tidak teratur. Buang air kecil dan buang air besar kadangkadang tidak lancar. Nyeri di pinggul dirasakan bertambah, khususnya saat berbaring
sehingga pasien tidak bisa berbaring dengan nyaman. Pasien juga tidak bisa
menggerakkan paha kanan dengan bebas karena nyeri. Tidak ada anggota keluarga
lain yang terkena keluhan serupa.
Pada pemeriksaan saat masuk rumah sakit (16 februari 2011) keadaan umum
pasien baik, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 92 x/mnt, rata-rata respirasi 20
x/mnt dan suhu tubuh 36oC. Pemeriksaan kepala dan leher normal, tak teraba
pembesaran limfonodi. Pemeriksaan dada dan perut dalam batas normal. Status
lokalis region hip kanan, inspeksi tampak bengkak di regio pelvis kanan, tak tampak
tanda radang. Palpasi di regio pelvis kanan teraba masa dengan konsistensi kenyal,
16
keras dan berbatas tegas, dirasakan nyeri tekan (+), tak tampak adanya neurovascular
disturbance. Fleksi dan ekstensi hip joint kanan terbatas karena nyeri.
Foto polos dada dan pelvis (saat masuk rumah sakit, 16-2-2011) didapatkan
kesan foto dada: thorax dan jantung dalam batas normal, tak tampak gambaran
metastase ke paru maupun tulang di regio dada (gambar 8-9), sedangkan kesan pada
foto pelvis tampak masa jaringan lunak di regio pelvis dextra dengan lesi densitas
campuran yang berasal dari os ischium dan os ilium dextra batas tidak dengan
kalsifikasi (+) menyebar, tak tampak adanya periostel reaction dengan hip joint dextra
lebih sempit dibanding sinistra dan dikesankan suspek kondrosaroma DD
osteosarkoma, saran CT scan untuk melihat perluasan lesi dan memastikan diagnosis.
Satu hari setelah masuk rumah sakit (17 februari 2013) dilakukan USG perut
atas dan bawah untuk melihat apakah ada penyebaran ke organ lain dan dilakukan
pemeriksaan laboratorium. Hasil USG perut didapatkan tak tampak kelainan maupun
metastasis pada organ hepar, vesica felea, lien, pankreas, kedua ren, vesica urianaria
dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta bilateral dan di para iliaka bilateral
(gambar 12). Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hemoglobin rendah 8,3 g/dl.
Sedangkan yang lain dalam batas normal.
Pasien menjalani aspirasi jarum halus (AJH) dua hari setelah masuk rumah sakit (182-2011) dan diambil di 2 tempat, pinggul kanan dan kiri dengan hasil: ditemukan
beberapa sel agak besar, polimorfi, inti bulat atau ovoid hiperkromatis, didapatkan
pula fragmen-fragmen kecil tulang, dikesankan adanya sel atipi curiga keganasan
dengan jenis sel tidak dapat ditetapkan. Karena tidak dapat ditentukan jenis selnya
17
maka direncanakan AJH ulang dengan panduan USG. AJH ulang (10 maret 2011)
didapatkan hasil adanya sel-sel berkelompok yang tersebar dengan ukuran besar dan
sitoplasma sedikit disertai inti yang besar, oval dan spindel, kromatin inti kasar,
sebagian anak inti terlihat jelas. Didapatkan massa amorf miksoid (matriks kondroid).
Latar belakang eritrosit merata, lekosit polimorfonuklear, limfosit, debris sel nekrotik
dengan didapatkan sel ganas. Kesan dari sitologi AJH regio gluteus dextra
menyokong kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas.
Sepuluh hari setelah masuk rumah sakit (26 februari 2011) dilakukan
pemeriksaan CT scan untuk melihat perluasan lesi (gambar 10-11), didapatkan hasil
tampak massa di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra,
dan sampai ke os sacrum aspek dextra batas tegas, bentuk amorf cenderung oval,
dengan kalsifikasi tersebar bentuk flokulen, ukuran terbesar 15 cm x 13 cm yang
mendestruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta mendesak rectum ke sinistra
dan VU ke anterosinistra. Tampak lesi hipodens dengan tepi ireguler di m. gluteus
minimus dan medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra.
Kesan dari CT scan massa dengan kalsifikasi tersebar di os ischium dextra meluas ke
os pubis dan os ilium dexta yang menginfiltrasi m. gluteus minimus dan medius
dextra, m. obturator internus dextra, dan m. iliopsoas dextra dengan ukuran terbesar
15 cm x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum aspek dextra dextra
serta mendesak rektum ke sinistra dan kandung kencing ke anterosinistra sangat
mungkin kondrosarkoma.
18
Diagnosis kerja pada pasien ini adalah kondrosarkoma regio pelvis kanan
yang telah meluas ke jaringan sekitarnya dengan anemia. Pasien direncanakan
kemoterapi.
19
BAB IV
PEMBAHASAN
Kondrosarkoma di pelvis merupakan kasus yang paling sering di banding
kondrosarkoma ditempat lain. Kira-kira kejadiannya 40-50% dari semua kasus
kondrosarkoma. Sarkoma tulang primer di pelvis dianggap mempunyai prognosis
yang lebih jelek di banding sarkoma di lokasi lain di tulang panjang. Hal itu
disebabkan karena secara anatomi tidak ada barier di pelvis yang bisa melawan tumor
sehingga sebagian besar sarkoma di pelvis menghasilkan massa yang besar sehingga
bisa menyebabkan ekstrakompartemental. Kondrosarkoma pelvis sering mengenai
ilium dengan predileksi yang sering adalah daerah sekitar kartilago tri radiata.
Meskipun lesi kondrosarkoma sering merupakan lesi yang besar, namun secara klinis
sering kali terdapat keterlambatan munculnya gejala. Selain itu pemeriksaan
radiografi sering kali menemukan kelainan yang minimal karena kompleknya
anatomi pelvis. CT dan MR dapat menampilkan ciri agresif, destruksi kortek dan
pembesaran massa jaringanya. Daerah mineralisasi matriksnya sering hanya bisa
terdeteksi dengan CT scan, hal itu juga disebabkan karena anatomi pelvis sangat
komplek. Beberapa kasus kondrosarkoma di pelvis sering invasi ke hip joint dan
terjadi adenopati di daerah iliaca3,15,16,17,18.
Tampilan
campuran litik dan sklerotik. Lesi sklerotik merupakan matrik mineral berupa
kalsifikasi bentuk ring arc, flokulen, stippled, punctata maupun popcorn. Adanya
matrik mineral yang luas cenderung menunjukkan kondrosarkoma tipe agresif.
20
CT
scan.
Tanda-tanda
tersebut
mendukung
adanya
gambaran
kondrosarkoma tipe high grade (tipe 3). Lesi kondrosarkoma pada pasien ini
merupakan lesi yang besar dan unresektabel. Dan tumor telah infiltrasi ke daerah
sekitarnya. Namun tumor belum metastase ke organ-organ lain seperti paru, hepar
dan otak.
Stadium kondrosarkoma didasarkan pada Enneking staging system yang
merupakan sistem pembagian yang biasa di terapkan pada sarkoma muskuloskeletal,
dan bisa diterapkan pada kasus kondrosarkoma. Sistem tingkat menurut Enneking ini
membagi tumor menjadi : Stadium 1 (tumor low grade) dengan IA tumor
intrakompartmental dan IB tumor ekstrakompartmental, stadium II (tumor high
grade) dengan IIA tumor intrakompartmental dan IIB tumor ekstrakompartmental,
dan stadium III (tumor sudah metastasi jauh)15. Metastasis jauh pada kasus
kondrosarkoma paling sering ke paru, limfonodi regional, dan hepar. Pada kasus ini
masuk dalam stadium III.
Sebagian besar kondrosarkoma tumbuh lambat dan jarang bermetastasis.
Kondrosarkoma memiliki prognosis baik setelah operasi yang adekuat. Eksisi bedah
secara luas tetap merupakan terapi terbaik pada tumor derajat sedang sampai tinggi.
Namun, sebagian kecil pasien mengalami kekambuhan dengan metastasis sampai
13% kasus. Kasus yang sering mengalami kekambuhan adalah kondrosarkoma tipe
high grade dan tipe primer19.
Menurut Murphey et al, ada dua pilihan terapi pembedahan pada
kondrosarkoma tipe low grade, yaitu pertama kuretase intra lesi, dengan ablasi termal
atau kimia dan diberikan semen atau bone graft pada defeknya. Pilihan kedua yaitu
23
pembedahan dengan eksisi luas disertai rekonstruksi metal atau struktur graft.
Kondrosarkoma konvensional yang menunjukkan adanya fokus destruksi kortek dan
endosteal scalloping yang dalam atau lesi dengan histologi derajat 2-3 pada spesimen
biopsi dianjurkan untuk dilakukan eksisi luas sampai mencapai daerah bebas tumor.
Pembedahan secara agresif diperlukan untuk mengontrol tumor lokal secara optimal
dan mengurangi frekuensi penyebaran tumor3.
Kondrosarkoma relatif resisten terhadap kemo dan radioterapi. Penyebabnya
antara lain karena kondrosarkoma banyak mengandung matriks ekstraselular,
prosentase sel dalam membelah diri rendah, dan miskinnya vaskularisasi19. Sedang
menurut Schrage YM et al, mekanisme resisten kondrosarkoma karena adanya
ekspresi P-glykoprotein pada kondrosarkoma yang merupakan penyebab resisten
kemoterapi. P-glycoprotein merupakan produk gen yang resisten terhadap multiple
drug1.
Tantangan bagi klinisi untuk mencegah terulangnya kekambuhan dan
menemukan pilihan pengobatan yang lebih baik untuk kondrosarkoma yang tidak
dapat dioperasi atau yang telah mengalami metastasis. Klasifikasi secara radiologi
dan histopatologi yang berhubungan dengan gejala klinis, riwayat penyakit penting
untuk mengambil keputusan terapi yang harus dilakukan oleh tim yang terdiri ahli
patologi yang berpengalaman, ahli radiologi, medis onkologi, radioterapi, dan ahli
bedah ortopedi19.
24
KESIMPULAN
Dilaporkan kasus wanita 24 tahun dengan keluhan keluhan nyeri dan bengkak
di pinggul kanan selama empat tahun sebelumnya masuk rumah sakit, perlahan dan
memberat sampai terjadi gangguan BAK, BAB dan menstruasi serta gangguan gerak.
Pada pemeriksaan didapatkan benjolan di regio pelvis kanan dengan konsistensi
kenyal dan keras. Pasien mengalami anemia. Diagnosis ditegakkan dengan foto
polos, CT scan dan diperkuat dengan PA sebagai kondrosarkoma. Foto thoraks dan
USG perut atas dan bawah tidak didapatkan metastasis.
Gambaran foto polos pelvis dikesankan suspek kondrosaroma dengan
diagnosis banding osteosarkoma. Gambaran CT scan dikesankan sangat mungkin
kondrosarkoma di os ischium dextra yang meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra,
dan sampai ke os sacrum yang telah mengalami infiltrasi ke m. gluteus minimus dan
medius dextra, m. obturator internus dextra dan m. iliopsoas dextra. Hasil
pemeriksaan USG tak tampak metastasis ke organ hepar, vesica felea, lien, pankreas,
kedua ren, vesica urianaria dan tak tampak adanya limfadenopati di para aorta
bilateral dan di para iliaka bilateral. Pemeriksan patologi anatomi dengan AJH I tidak
dapat menyimpulkan adanya sel ganas sedang AJH ke 2 didapatkan hasil menyokong
kondrosarkoma dengan didapatkan sel ganas.
25
LAMPIRAN
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
www.doctorline.com
Gambar 2
http://teachmeanatomy.info/pelvis/bones/the-hipGb.2. Diagram tulang inominata (kiri) dan skema oblik menampilkan kartilago triradiata (kiri).
Kartilago acetabulum terdiri atas kartilago hemisfer (HC) dan kartilgo triradiata (TC)
26
Gambar 3
Gb 3. Histologi kondrosarcoma. Seluleritas
rendah pada grade I chondrosarcoma (A)
dg matrik kondroit dan absennya mitosis.
Grade II chondrosarcoma (B) mitoses
ditemukan (inset).
Grade III chondrosarcoma (C) seluleritas
tinggi dengan matrik mucomiksoid yg
berubah terlihat cytonuclear yg atypia
(hematoxylin and eosin staining).
www.TheOncologist.com
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 5. Axial CT menunjukkan deep endosteal
Scalloping, destruksi kortek, perluasan soft tissue (M)
dan kalsifikasi bentuk flocculent (C). Komponen non
mineralisasi tampak area dengan atenuasi redah
(RadioGraphics 2003; 23:12451278).
Gambar 6
27
Gambar 7
Gambar 8
28
Gambar 9
29
Gambar 10
30
31
32
33
Gb. 10.CT scan tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium
dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus
dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra,
ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta
mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma
34
Gambar 11
35
Gb. 11.CT scan 3D tanggal 26-2-2011. Tampak Massa dengan kalsifikasi tersebar di os iscium
dextra meluas ke os pubis dextra, os ilium dextra yang menginfiltrasi ke M. Gluteus minimus
dextra, M. Gluteus medius dextra, M. Obturator internus dextra dan M. Ilipsoas dextra,
ukuran terbesar 15 x 13 cm dengan destruksi os ilium dextra dan os sacrum dextra serta
mendesak rectum ke sinistra dan VU ke anterosinistra sangat mungkin chondrosarcoma
Gambar 12
36
TINJAUAN PUSTAKA
1. Schrage YM, Bovee JVMG, Hogendoorn PCW. Towards new therapeutic
strategies in chondrosarcoma. Netherlands Organisation for Scientific
Research; 2009.
2. Kundu S, Mousumi P, Ranjan R, Paul. Clinicopathologic correlation of
chondrosarcoma of mandible with a case report. Contemporary Clinical
Dentistry. Oct-Dec 2011;2: 390-93.
3. Murphey MD, Walker EA, Wilson AJ, Kransdorf MJ, Temple TH, Gannon
FH. Imaging of primary chondrosaroma : Radiologic-pathologic correlation.
Radiographics. 2003; 23: 1245-78.
4. Solomon L, editor, Apleys system of orthopedics and fractures. 8 th ed. New
York. Oxford University Press Inc; 2011.
5. Wijaya C, editor. Patofisiologi : Konsep klinis proses-proses penyakit. Ed. 4.
Jakarta EGC; 1995
6. Mavrogenis AF, Gambarotti M, Angelini A, Palmerini E, Staals EL, Ruggieri
P, et al. Chondrosarcomas Revisited. Orthopedics; 2012 March (35);2.
Available from http://www.ORTHOSuperSite.com.Search:20120222-30
7. Wirbel RJ, Schulte M, Maier B, Koschnik M, Mutschler W. Chondrosarcoma
of the pelvis: oncologic and functional outcome. Sarcoma. 2000; 4: 161-68.
8. Ryan S, McNicholas M, Eustace S. Anatomy for diagnostic imaging. 2 nd ed.
Elsivier limited; 2004.
9. Murphey MD, Flemming DJ, Boyea SR, Bojescul JA, Sweet D, Temple HT.
Enchondroma
11. Sutton D, editor. Text book of radiology and imaging. 7th ed. Churchill
livingstones. Elsevier science Ltd; 2003.
12. Riddle NMD, Yamauchi H, Caracciolo JT, Johnson D, Letson GD, Hakam A,
et al. Dedifferentiated chondrosarcoma arising in fibrous dysplasia: A case
report and re iew of the current literature. Pathology and Laboratory Medicine
International 2009; (1):16.
13. Muller PE, Durr HR, Nerlich A, Pellengahr C, Maier M, Jansson V.
Malignant transformation of benign enchondroma of the hand to secondary
chondrosarcoma with isolated pulmonary metastasis. Acta chir belg, 2004;
104: 341-344
14. Fitzpatrick1 KA, Taljanovic1 MS, Speer DP, Graham AR, Jacobson JA,
Barnes GR, Hunter TB. Imaging findings of fibrous dysplasia with
histopathologic and intraoperative correlation. American Journal Radiology.
2004;
182:
1389-98.
Available
from
http://www.ajronline.org
2013
july
15).
Available
from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/1258236-overview.
16. Hong P, Trites JR, Taylor M, Nasser JG, Hart RD. Chondrosarcoma of the
head and neck: Report of 11 cases and literature review. Journal of
Otolaryngology Head & Neck Surgery. 2009; 38(2): 279-85.
17. Hide G. Chondrosarcoma. Diunduh dari http://www.flyingpig.ws, tanggal 8
Oktober 2011.
18. Bergh P, Gunterberg B, Kindblom JM, Kindblom LG. Prognostic factor and
outcome of pelvic sacral and spinal chondrosarcoma : a center-based study of
69 cases. American cancer society. 2001; 91(7): 1201-12.
19. Gelderblom H, Hagendoorn PCW, Dijkstra SD, Rijswijk CS, Krol AD,
Taminiau AHM, et al. The clinical approach towards chondrosarcoma. The
38
39