You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1; Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu Negara yang menjunjung tinggi nilai Hak
Asasi Manusia. Dengan dibuatnya dasar hukum di Indonesia, menunjukan bahwa
HAM memiliki kedudukan yang tinggi dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Sehingga, penegakan HAM dapat terwujud dengan baik. Berbagai
pelanggaran HAM bisa diatasi sesuai dengan hukuman yang sudah ditentukan.
Namun ternyata dalam menegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak
hanya mengandalkan dasar hukum yang sah saja, karena banyak faktor lainnya
yang harus dipertimbangkan. Dan hal tersebut bisa menjadi penghambat dari
penegakan HAM yang ada. Paradigma masyarakat tentang pemahaman Hak Asasi
Manusia yang kurang merupakan salah satunya, karena adanya kondisi sosial
budaya yang berbeda di setiap daerahnya. Serta hambatan lainnya yang bisa
memperlambat dalam penegakan HAM.
Kondisi seperti inilah yang harus diperhatikan oleh seluruh elemen yang
terkait dalam menegakan HAM. Perlu adanya tindakan mutlak untuk
meminimalisir hambatan-hambatan yang ada. Agar setiap warna Negara bisa
mendapatkan Hak nya dalam menjalani kehidupan.
1.2; Rumusan Masalah
1; Apa yang dimaksud dengan penegakkan hak asasi manusia?
2; Apa hambatan dalam penegakkan hak asasi manusia di Indonesia?
3; Bagaimana upaya meminimalisir hambatan dalam penegakkan hak asasi

manusia di indonesia?

1.3; Tujuan
1; Menjelaskan tentang makna dari penegakan Hak Asasi Manusia.
2; Menjabarkan setiap hambatan yang memperlambat penegakan Hak Asasi

Manusia di Indonesia.
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 1

3; Menjelaskan tentang cara untuk meminimalisir hambatan penegakan Hak

Asasi Manusia di Indonesia.

BAB II
PEMBAHASAN

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 2

2.1. Penegakkan Hak Asasi Manusia


Hak asasi merupakan hak yang bersifat dasar dan pokok. Pemenuhan hak
asasi manusia merupakan suatu pengharusan agar warga negara dapat hidup
sesuai dengan kemanusiaannya. Hak asasi manusia melingkupi antara lain hak
atas kebebasan berpendapat, hak atas kecukupan pangan, hak atas rasa aman, hak
atas penghidupan dan pekerjaan, hak atas hidup yang sehat serta hak-hak lainnya
sebagaimana tercancum dalam deklarasi hak asasi manusia tahun 1948.
Penghormatan terhadap hukum dan hak asasi manusia merupakan suatu
keharusan

dan

tidak

perlu

ada

tekanan

dari

pihak

manapun

untuk

melaksanakannya. Pembangunan bangsa dan negara pada dasarnya juga juga


ditujukan untuk memenuhi hak-hak asasi warga negara. Hak asasi tidak sebatas
pada kebebasan berpendapat ataupun berorganisasi, tapi juga menyangkut
pemenuhan

hak atas keyakinan, hak atas pangan, pekerjaan, pendidikan,

kesehatan, hak memperoleh air dan udara yang bersih, rasa aman, penghidupan
yang layak, dan lain-lain. Kesemuanya tersebut tidak hanya merupakan tugas
pemerintah tetapi juga seluruh warga masyarakat untuk memastikan bahwa hak
tersebut dapat dipenuhi secara konsisten dan berkesinambungan.
Penegakan hukum dan ketertiban merupakan syarat mutlak bagi upayaupaya penciptaan Indonesia yang damai dan sejahtera. Apabila hukum di tegakan
dan ketertiban di wujudkan, maka kepastian, rasa aman, terntram, atau kehidupan
yang rukun akan dapat terwujud. Namun ketiadaan penegakan hukum dan
ketertiban akan menghambat pencapaian masyarakat yang berusaha dan bekerja
dengan baik untuk memenuhi kehidupan hidupnya. Hal tersebut menunjukan
adanya keterkaitan yang erat antara damai, adil dan sejahtera. Untuk itu perbaikan
pada aspek keadilan akan memudahkan pencapaian kesejahteraan dan kedamaian.

2.2. Hambatan Penegakkan Hak Asasi Manusia di Indonesia


Meskipun bangsa Indonesia telah membuat beberapa dokumen hak asasi
manusia untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, namun dalam
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 3

perjalanannya masih ada pelanggaran hak asasi. Pelanggaran hak asasi manusia di
Indonesia terjadi karena makin meningkatnya gejala individualistik, materialistik,
dan eksklusif. Pelanggaran ini dapat diatasi atau dikurangi jika ada penegakan hak
asasi manusia. Bangsa Indonesia pun telah berusaha melakukan upaya penegakan
hak asasi manusia, namun banyak hambatan dan tantangan dalam penegakan hak
asasi manusia itu.
Hambatan dan tantangan utama dalam penegakan hak asasi manusia di
Indonesia adalah masalah ketertiban dan keamanan nasional, rendahnya kesadaran
hak asasi manusia, dan minimnya perangkat hukum dan perundang-undangan.
Secara umum hambatan dan tantangan tersebut dikelompokkan menjadi tiga
macam, yaitu secara ideologis, ekonomis, dan teknis.1 Selain itu, dalam
menegakkan pelaksanaan HAM di Tanah Air, banyak sekali berbagai
hambatan, baik yang berasal dari luar negeri maupun dari dalam negeri. 2 Faktor
kondisi sosial-budaya, informasi dan komunikasi serta peraturan perundangundangan juga merupakan hambatan penegakkan hak asasi manusia di Indonesia.
Berikut ini penjelasan mengenai hambatan-hambatan tersebut.
1. Secara Ideologis
Perbedaan ideologi sosialis dengan liberalis membuat perbedaan yang
tajam dalam memandang hak asasi manusia. Pandangan ideologi liberal lebih
mengutamakan penghormatan terhadap hak pribadi, sipil, dan politik.
Pandangan sosialis mengutamakan peran negara dan masyarakat.

2. Secara Ekonomis
Penegakan hak asasi manusia memiliki hubungan dengan kondisi
ekonomi masyarakat. Makin tinggi ekonomi masyarakat, maka makin tinggi
pula upaya penegakan hak asasi manusia.
1 Dwi Cahyati AW dan Warsito Adnan, Pelajaran Kewarganegaraan 1, Jakarta : Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011, hlm 109.
2 Atik Hartati dan Sarwono, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Pusat Kurikulum dan
Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional, 2011 hlm 102.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 4

3; Hambatan dari Luar Negeri

Hambatan yang berasal dari luar negeri antara lain, pengaruh ideologi
Liberalisme. Liberalisme berasal dari kata liberal yang berarti
berpendirian bebas. Liberalisme adalah suatu paham yang melihat manusia
sebagai makhluk bebas. Artinya, manusia memiliki kemauan bebas dan
merdeka serta harus diberikan kesempatan untuk memajukan diri sendiri
dengan merdeka pula. Kaum liberal berkehendak membatasi hak negara untuk
mencampuri urusan ekonomi, kebudayaan, agama, dan sebagainya. Mereka
juga menuntut hak kemerdekaan menulis, menyampaikan pikiran, memeluk
agama, dan menentang rasialisme. Mereka menuntut perdagangan bebas,
persamaan hak bagi wanita, dan hak asasi manusia lainnya.
Dalam bidang politik, kebebasan individu atau partai sangat
ditonjolkan, sehingga dikenal adanya partai oposisi dan mosi tidak percaya
kepada pemerintah yang sedang berkuasa. Apabila hak itu digunakan untuk
memenuhi batas minimum pemerintah di parlemen, pemerintah yang
berkuasa akan jatuh. Akibat lebih lanjut adalah pemerintah menjadi tidak stabil
dan program pembangunan tidak berjalan. Akhirnya upaya untuk
meningkatkan kemakmuran rakyat akan terhambat.
Paham Liberalisme dilaksanakan di Eropa Barat, Amerika Serikat
dan beberapa negara di Asia. Paham ini menghendaki hal-hal berikut.
a;
Kekuasaan mutlak mayoritas atas minoritas sehingga dapat terjadi
diktator mayoritas terhadap minoritas.
b;
Lebih mengutamakan pemungutan suara mayoritas dalam mengambil
keputusan. Oleh karena itu, kelompok kecil pendapatnya tidak akan
dipertimbangkan dalam pengambilan putusan sehingga bisa
menimbulkan rasa Irustrasi.
4; Hambatan dari Dalam Negeri
Hambatan dari dalam negeri adalah sebagai berikut :
a;
b;

Keadaan geografis Indonesia yang luas


Wilayah Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang menyebar
di seluruh Nusantara menjadi kendala dalam komunikasi dan sosialisasi
produk hukum dan perundang-undangan. Suatu produk hukum tertentu
yang berskala nasional memerlukan sosialisasi dalam waktu yang relatiI

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 5

lama. Hal ini sangat diperlukan, sebab penyebaran tingkat kualitas


pendidikan dan kemajuan sosial budaya di Indonesia sangat bervariasi.
Pengaruhnya adalah masalah di wilayah tertentu di Indonesia dapat
menjadi masalah di wilayah yang lain.
Faktor Kondisi Sosial-Budaya
Faktor Sosial-budaya memiliki pengaruh terhadap
pelaksanaan Hak Asasi Manusia di suatu Bangsa dan Negara.
Sistem kebudyaan yang dianut oleh masyarakat Indonesia
adalah sistem kekeluargaan. Pada awal kemerdekaan, atau
pada masyarakat pedesaan, pelanggaran terhadap Hak Asasi
Manusia tidak banyak terjadi karena kesadaran akan nilai-nilai
5;

sosial budaya yang masih tinggi. Hambatan dari factor sosialbudaya antara lain:
a; Stratifikasi dan status sosial
Stratifikasi dan status sosial yaitu tingkat pendidikan,
usia, pekerjaan, keturunan dan ekonomi masyarakat
Indonesia yang multikompleks. Harus diakui bahwa persoalan
ketersediaan aksess pendidikan di Indonesia masih terbilang rendah. Kini,
pendidikan yang berkualitas sering diasumsikan dengan pendidikan yang
mahal. Hal ini juga menjadi sangat mencolok ketika kebijakan pendidikan
nasional tidak bisa mengantisipasi dampak terburuk dari kapitalisasi
pendidikan.3
Pekerjaan merupakan aplikasi dari mandat eksistensial manusia.
Jaminan dalam dunia kerja juga tidak kalah pentingnya. Maka, segala
bentuk diskriminasi untuk memperoleh upah secara tegas dinyatakan
sebagai bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM.
b; Hukum adat atau budaya lokal
yang kadang
bertentangan dengan HAM
Hukum adat yang berlaku di masyarakat harus
dihormati sejauh hukum adat tersebut tidak melanggar
hak-hak asasi manusia. Namun, pada kenyataannya masih
terdapat hukum adat yang bertentangan dengan hak asasi
manusia seperti hukum adat di Amole Papua yang
3 Eko Prasetyo, Orang Miskin Dilarang Sekolah, Yogyakarta: Resist Book, 2004.
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 6

mewajibkan pengantin perempuan ketika malam pertama


harus berhubungan dengan saudara pengantin pria
terlebih dahulu atau adat belis di Sumbawa yaitu seorang
pria yang akan menikah harus memberikan sejumlah
binatang kerbau atau kuda kepada keluarga mempelai
perempuan, semakin banyak binatang yang diberikan
kepada keluarga perempuan maka suami dapat bebas
memukul istri.
Hukum adat sendiri, antara lain sebagai berikut :
1 Hukum yang dibuat dengan sengaja;
2 Hukum yang memperlihatkan aspek kerohanian yang kuat, dan
3 Hukum yang berhubungan erat dengan dasar-dasar dan susunan

c;

masyarakat setempat mempunyai sifat-sifat elastik di dalamm


menghadapi kemajuan.
Masih adanya konflik horizontal dikalangan masyarakat
Konflik

lantaran

sosial

secar

perbatasan

terbuka

provinsi,

telah

desa,

dll.

terjadi

hanya

konflik-konflik

komunal ini tentu saja serta merta berakibat kepada kondisi


HAM. Salah satu akibat langsung dari konflik-konflik komunal
tersebut

adalah

kekerasan

yang

menyeruak

dan

mengorbankan nyawa manusia, terutama kalangan rentan


seperti perempuan, anak-anak dan orang tua.

6; Faktor Komunikasi dan Informasi


a; Letak geografis Indonesia yang luas dengan laut, sungai,

hutan,dan
daerah

gunung yang

membatasi

komunikasi antar

4 Hamid Awaludin, HAM Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional, Jakarta:


Kompas, Hlm 254.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 7

b; Sarana dan prasarana komunikasi dan informasi yang

belum terbangun secara baik yang mencakup seluruh


wilayah Indonesia
c; Sistem informasi untuk kepentingan sosialisasi yang
masihsangat terbatas baik sumber daya manusianya
maupun perangkat yang diperlukan.
7; Faktor Peraturan Perundang-undangan

Sejak

era

reformasi,

perundang-undangan

tentang

telah
HAM,

dibentuk

peraturan

diantaranya

adalah

Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi


Manusia,

Undang-Undang

No.

26

tahun

2000

tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang No. 9


tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di
Muka Umum.
Kelahiran peraturan perundang-undangan tentang hak asasi manusia
pada masa reformasi merupakan komitmen dan politik hukum pemerintah
dalam proses penegakan HAM di Indonesia, namun keberadaan undangundang ini sebagai payung hukum penegakan HAM di Indonesia ternyata
masih menyisakan sisi-sisi problematik hukum terutama dari sudut substansi,
antara lain :
a; Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi

Manusia
1; Pasal 1
Pasal 1 tentang pengertian Pelanggaran HAM dinyatakan bahwa
setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara
baik disengaja atau tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan
hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi
manusia seseorang atau sekelompok orang yang dijamin oleh undangundang ini, dan tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 8

Pengertian pelanggaran HAM dalam pasal ini cakupannya terlalu


luas dan cenderung melebar, sehingga dalam proses hukum di lapangan
akan mengalami kesulitan, apalagi tidak disertai dengan penjelasan yang
cukup. Biasanya pasal yang memiliki cakupan luas harus disertai dengan
penjelasan, sehingga interpretasi hukumnya tidak jamak.
2; Keberadaan Komnas HAM yang diatur dalam Pasal 75 sampai dengan
Pasal 99
Permasalahan yang muncul antara lain :
Pertama, Proses rekruitmen anggota Komnas HAM oleh DPR
sebagai lembaga politik dapat menimbulkan bias politik, karena anggota
legislatif yang merupakan anggota partai politik dipastikan memiliki
kepentingan dalam memilih anggota Komnas HAM. Dengan kondisi
seperti ini, tawar menawar politik sulit dihindari.
Kedua, Dalam hal jumlah anggota Komnas HAM relatif terlalu
banyak (35 orang) bahkan merupakan satu-satunya lembaga HAM yang
punya anggota paling banyak di dunia. Di negara seperti India, jumlah
anggotanya sebanyak 6 (enam) orang saja, di Philipina sebayak 5 (lima)
orang. Jumlah anggota sebanyak itu akan mempersulit Komnas HAM
dalam mengambil sikap politiknya apalagi untuk menyamakan persepsi
dan visi tentang HAM.
Ketiga, Setting kewenangan dan tugas Komnas HAM di negara
kita lebih banyak berfungsi pada persoalan lapangan, sehingga praktis
persoalan pada level kebijakan sama sekali tidak tersentuh.
Keempat, Persoalan independensi anggota Komnas HAM terkait
dengan mekanisme pemilihan melalui pintu legislatif (DPR) dan
diresmikan oleh Eksekutif (Presiden).
Dalam posisi seperti ini, banyak kalangan yang pesimis terhadap
sifat independensi anggota Komnas HAM, jika sebuah kasus pelanggaran
HAM yang ditangani bersinggungan langsung dengan kepentingan
penguasa.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 9

Dalam UU No.39 tahun 1999 setidaknya terdapat 57 pasal yaitu Pasal


9 hingga Pasal 66 yang memuat berbagai jenis HAM yang wajib
dihormati dan dilindungi oleh pemerintah.
Menurut ketentuan Pasal 1 bahwa pelanggaran HAM adalah setiap
perbuatan yang melawan hukum dengan mengurangi, menghalangi,
membatasi, mencabut hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini dan
tidak mendapatkan atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh
penyelesaian hukum yang adil dan benar, maka termasuk kategori sebagai
pelanggaran HAM, tetapi menurut ketentuan UU Nomor 26 Tahun 2000

3;

dalam Pasal 7 dan Pasal 8 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM hanya


mengadili pelanggaran HAM berat saja, sementara pelanggaran HAM
yang lain diserahkan kepada peradilan umum. Jika kita melihat rumusan
pasal di atas, maka nampak bahwa dari sisi ini sesungguhnya kelihatan
inkonsistensi negara kita dalam mengapresiasi materi yang terdapat dalam
undang-undang HAM yang ada. Mestinya kewenangan Pengadilan HAM
di perluas sesuai dengan tuntutan materi UU HAM itu sendiri.
b;

Undang-undang No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan


Hak Asasi Manusia
1; Dianutnya asas Retroaktif
Ketentuan pasal 43 ayat 1 UU nomor 26 tahun 2000
menyatakan bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang terjadi sebelum diundangkannya undangundang ini, diperiksa dan diutus oleh Pengadilan HAM ad
hoc
yang
dibentuk
dengan
Keputusan
Presiden
berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Ini berarti UUD Pengadilan HAM berlaku bagi
pelanggaran
HAM
berat
yang
terjadi
sebelum
diundangkannya undang-undang tersebut, dalam arti
adanya ketentuan berlaku surut atau menganut asas
Retroaktif dan pengawasannya diawasi secara ketat oleh
rakyat.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 10

Dalam hal pembentukan


Pengadilan Hak Asasi
Manusia Ad Hoc harus berdasarkan
usul dari DPR,
Undang-Undang ini tidak menerangkan lebih lanjut
mengenai prosedur yang harus ditempuh hingga akhirnya
DPR mengusulkan kepada Presiden bahwa situasi
tertentu merupakan pelanggaran berat hak asasi
manusia. Hal ini seringkali disalahtafsirkan bahwa DPR-lah
yang berwenang untuk menentukan
bahwa suatu
peristiwa merupakan pelanggaran berat hak asasi
manusia atau bukan, padahal sebagai lembaga politik
DPR tidak memiliki kewenangan sebagai penyelidik yang
merupakan
tindakan
yudisial dan
merupakan
kewenangan Komnas HAM seperti yang diatur dalam
Undang-Undang. 5
Romli Atmasasmita mengatakan pemberlakuan asas
Retroaktif dalam pelanggaran HAM berat masih dilematis
karena beberapa sebab, yaitu:
a; Pelanggaran HAM merupakan peristiwa baru dalam
sejarah bangsa Indonesia.
b; Pelanggaran HAM yang berat tidak identik dengan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan
pidana yang berlaku dan untuk itu pelarangan analogi
masih tetap berlaku.
c; Pemberlakuan surut undang-undang Pengadilan HAM
dengan muatan materi mengenai ketentuan pidana di
satu sisi melanggar asas hukum tidak berlaku surut,
tetapi di sisi lain jika asas hukum tidak berlaku surut
diabaikan berarti KUHP diberlakukan terhadap
pelanggaran HAM berat. Hal ini berarti pelanggaran
HAM berat dianggap sama dengan kejahatan biasa.
d; Pemberlakukan asas Retroaktif memerlukan justifikasijustifikasi yang sangat kuat baik dari sisi pertimbangan
filosofis, yuridis, atau sosiologis.

5 Rhona K.M. Smith,dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: PUSHAM UII, 2008, Hlm 308.
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 11

Dalam hukum pidana asas Retroaktif menimbulkan


suatu kontroversi karena eksistensinya jelas bertentangan
dengan asas Legalitas. Secara prinsip sebagai konsekuensi
diakuinya asas Legalitas, aturan hukum pidana tidak boleh
diberlakukan secara surut. Pasal 1 ayat 1 KUHP secara
eksplisit menegaskan bahwa asas Legalitas merupakan
sendi utama hukum pidana sehingga asas Retroaktif tidak
mendapatkan tempat sama sekali.6
Penolakan penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana juga
didasarkan pada alasan bahwa asas reroaktif sesungguhnya bertentangan
dengan keadilan dan membuka potensi kesewenang-wenangan dari
penguasa. Tanpa berpikir terlalu jauh, setiap orang tentu akan dapat
bertanya, apakah bisa dikatakan adil jika seseorang melakukan perbuatan
yang pada saat perbuatan itu dilakukan masih dianggap legal atau tidak
melanggar hukum, tapi kemudian diadili sebagai perbuatan yang
melanggar hukum dan dijatuhi hukuman berdasarkan peraturan yang
keluar setelah perbuatan tersebut dilakukan.
Penerapan asas retroaktif dianggap sama sekali tidak menyediakan
kemungkinan bagi orang untuk mengetahui apa yang harus ia lakukan atau
apa yang tidak boleh dilakukan. Dengan penerapan asas retroaktif orang
juga bisa dikenai konsekuensi hukum atau sanki yang tidak pernah ia
prediksikan sebelumnya pada saat itu melanggar sebuah peraturan. Inilah
mengapa penerapan asas retroaktif yang sifatnya merugikan tersangka atau
terdakwa bertentangan dengan keadilan.
Persoalan ketakutan akan potensi kesewenang-wenangan penguasa
pada hakikatnya adalah akar dari semua persoalan yang dihadapi oleh
penerapan asas retroaktif. Hal ini tampak jelas bila merujuk kepada fakta
sejarah, yang telah menunjukan beberapa praktik kesewenang-wenangan
penguasa dengan menggunakan penerapan asas tertoaktif. Kesewenang6 Mahrus Ali dan Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat In
Court System & Out Court System, Jakarta: Gramata Publishing, hlm 63.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 12

wenangan inilah yang kemudian melahirkan empat persoalan yang telah


diuraikan diatas yaitu mencerminkan asa lex talionis, pelanggaran hak
asasi manusia, ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.
Itulah alasan-alasan yang dikemukakan oleh mereka yang menolak
penerapan asas retroaktif dalam hukum pidana. Namun kalau pun asas ini
mau diterapkan dalam hukum pidana, penerapannya haruslah memenuhi
kriteria yang rigid dan limitative antara lain :
a; Adanya korelasi antara Hukum Tata Negara Darurat dengan hukum

pidana
Asas retroaktif hanya dapat diberlakukan apabila Negara dalam
keadaan darurat dengan prinsip-prinsip hukum darurat, karenanya
sifat menempatan asas ini hanya bersifat temporer dan dalam
wilayah hukum yang sangat limitative, dengan diberikan suatu
kriteria yang jelas masa berlakunya dan sifat menanganan kasusnya
berdasarkan case by case.
b; Asas retroaktif tidak diperkenankan bertentangan dengan pasal 1
ayat 2 KUHP yang imperative sifatnya, artinya sifat darurat
keberlakuan asas retroaktif yang dibenarkan perundang-undangan
dengan alasan eksepsionalitas ini tidak berada dalam keadaan yang
merugikan seorang tersangka/terdakwa.
c; Substansi dari aturan yang bersifat retroaktif harus tetap
memperhatikan asas lex certa, yaitu penempatan substansial suatu
aturan secara tegas dan tidak menimbulkan multi-interpretatif,
sehingga tidak dijadikan sebagai sarana penguasa melakukan suatu
perbuatan yang dikatagorikan abuse of power.
2; Tidak mengenal daluarsa
Ketentuan mengenai daluarsa diatur dalam pasal 84 KUHP yang
berbunyi Kewenangan menjalankan pidana hapus karena daluarsa :
a; Tenggang daluarsa mengenai semua pelanggaran lamanya dua tahun,
mengenai kejahatan yang dilakukan dengan sarana percetakan
lamanya lima tahun, dan mengenai kejahatan-kejahatan lainnya
lamanya sama dengan daluarsa bagi penuntutan pidana, ditambah
sepertiga;
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 13

b; bagaimana pun juga tenggang daluarsa tidak boleh kurang dari


lamanya pidana yang dijatuhkan;
c;

wewenang menjalankan pidana mati tidak mungkin daluarsa.


Berdasarkan ketentuan tersebut, pelaksanaan pidana menjadi gugur

karena daluarsa jika pidana yang dijatuhkan kepada terpidana bukan


pidana mati. Bagi terpidana yang dijatuhi pidana mati, aturan mengenai
daluarsa sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana tidak
dapat diberlakukan kepada terpidana.
Lalu, bagaimana kalau terpidana dijatuhi pidana seumur hidup,
KUHP ternyata tidak mengaturnya. Karena yang secara eksplisit
disebutkan sebagai alasan yang tidak menggugurkan pelaksanaan pidana
karena daluarsa adalah pidana mati, sedangkan pidana seumur hidup tidak
dijelaskan. Dengan demikian, ketentuan mengenai daluarsa dalam KUHP
sebagai alasan yang menggugurkan pelaksanaan pidana memiliki
kelemahan terutama dalam kaitannya dengan pidana seumur hidup yang
dijatuhkan kepada terpidana.
Dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia yang berat, ketentuan dan justifikasi teoritis mengenai daluarsa
dalam KUHP tidak berlaku atau disampingi. Ketentuan pasal 46 undangundang tersebut secara eksplisit menyatakan, bahwa untuk pelanggaran
hak asasi manusia yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai daluarsa.
Ini artinya, kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang
terjadi pada tahun 1950-an sekalipun akan diproses, diperiksa dan diadili
berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut.
Namun,

perlu

juga

kiranya

dipikirkan

hambatan

yang

memungkinkan muncul jika pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi


pada rentang waktu yang cukup lama terutama jika dilihat dari proses
pengumpulan alat-alat buki. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dipikirkan
juga aturan mengenai ketentuan daluarsa dengan menyebutkan waktunya
secara spesifik dan lebih lama dibandingkan dengan daluarsa dalam
KUHP. Hal ini dirasakan penting karena proses penegakan hukum atas
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 14

pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang mengatasnamakan hak


asasi manusia pelakuka harus tetap menghormati dan melindungi hak asasi
pelaku. Perlakukan dan perlindungan hukum dalam konteks daluarsa ini
harus dilakukan secara seimbang antara pelaku dan korban.
3; Komnas HAM sebagai penyelidik

Dari kewenangan-kewenangan yang dimiliki Komnas


HAM selaku penyidik, yaitu memanggil pihak pengadu,
korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan
didengar

keterangannya

mengandung

persoalan.

Meskipun Komnas HAM diberikan kewenangan sub poena


berupa memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak
yang

diadukan

untuk

diminta

dan

didengar

keterangannya, kewenangan tersebut tidak diikuti oleh


saksi hukum bagi pihak-pihak pengadu, korban, atau pihak
yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya
jika tidak hadir atau tidak mengindahkan panggilan resmi
Komnas HAM. Kewenangan sub poena Komnas HAM
tersebut tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai
dengan tersedianya sanksi hukum bagi pihak-pihak yang
menolak atau tidak hadir memenuhi panggilan Komnas
HAM.
4; Perlindungan

terhadap saksi dan korban dalam


pelanggaran HAM berat
Perlunya perlindungan terhadap saksi dan korban
dalam pelanggaran HAM yang berat karena kerentanankerentanan yang dihadapi baik sebelum proses peradilan
maupun saat bahkan setelah peradilan dilaksanakan. Tidak
jarang saksi dan korban mendapat terror dari pelaku atau
orang lain suruhan pelaku sehingga saksi dan korban

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 15

terpaksa enggan untuk hadir dan memberikan kesaksian


di persidangan pengadilan.7
Contohnya, pada kasus Teungku Bantaqiah di Aceh
yang menjadi korban kekerasan dari oknum aparat
keamanan pada saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer
(DOM), keluarga korban meminta kepada pengadilan untuk
tidak melanjutkan persidangan karena saksi (korban)
sering menerima ancaman teror setiap akan memberikan
keterangan di pengadilan. Bahkan pada hari ketiga
persidangan terjadi pelemparan granat oleh orang yang
tidak dikenal sehingga mencederai 17 orang.
Hak-hak korban pelanggran HAM berat tidak pernah
disinggung kecuali hanya dinyatakan dalam undangundang dan peraturan pemerintah. Perlindungan terhadap
saksi dan korban akan memebrikan efek yang besar
terhadap proses peradilan pelanggaran HAM. Dampak yang
paling nyata adalah adanaya jaminan bagi saksi untuk
memebrikan
keteranagan
tanpa
adanya
tekanan,
ancaman, gangguan, intimidasi dan segala bentuk lainnya.
Selain adanya hambatan, ada pula kelemahan pokok dalam penegakan
HAM di Indonesia yang menyebabkan penegakan HAM masih bersifat relatif,
didorong oleh unjuk rasa, demonstratif, pertentangan kelompok, dibawah tekanan
negara maju dan didanai oleh beberapa lembaga internasional, belum build-in di
dalam strategi nasional dan belum mewartai Pembangunan Nasional. Kelemahan
pokok tersebut yaitu:8
1; Masih kurang pemahaman tentang HAM
Banyak orang menagkap pemahaman HAM dan segi pemikiran formal
belaka. HAM hanya dilihat sebagaimana yang tertulis dalam Declaration of
Human Rights atau apa yang tertulis dalam Undang-undang Nomor 39 tahun
1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia. Namun, hakikat pemahaman HAM
harus dilihat sebagai suatu konsep yang bersifat multidimensi. Sebab dalam
7 Ibid, Hlm 111.
8 Abdul Rozak,dkk, Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta: Prenada Media, hlm. 186.
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 16

pemahaman HAM tertanam di dalamnya konsep dasar politik, hukum,


sosiologi, filosifi, ekonomi dan realitas masyarakat masa kini, agenda
internasional, yurispudensi analitis, yurispudensi normatif, etika dan estetika.
Jika makna seperti ini dapat ditangkap melalui suatu proses pembelajaran,
pemahaman, penghayatan dan akhirnya diyakini, barulah kita dapat menuju
kepada suatu proses untuk menjadikan HAM ini sebagai bagian dari kebijakan
nasional. Bagian dari kebijakan nasional, program nasional dan konsistensi.
Tetapi, jangan lupa bahwa HAM yang formal ini adalah barang impor.
2; Masih kurang pengalaman
Didasari atau tidak kita harus akui bahwa HAM sebagai suatu konsep
formal masih terasa baru di masyarakat kita. Kondisi ini mendorong kita harus
membina kerjasama dengan beberapa negara dalam mencari gagasan,
menciptakan kondisi yang kondusif, dan memberikan proteksi perlindungan
HAM, persepsi dan pemahaman bersama seperti ini perlu didorong dan
ditegakkan. Namun, kita harus hati-hati, khususnya dalam menjalin kerjasama,
forum konsultasi, dan berbagai kepentingan tertentu yang sering tidak terasa
bahwa tujuan yang hendak dicapai menjadi melenceng jauh dari tujuan yang
semula diharapkan.
3; Kemiskinan
Kemiskinan adalah sumber kebodohan, oleh sebab itu harus diperangi
dan diberantas. Tema memberantas kemiskinan telah banyak dipersoalkan di
forum-forum nasional, regional dan internasional, tetapi hingga saat ini belum
ada solusinya. Bahkan, ide memberantas kemiskinan hanya mampu
memobilisasi masyarakat miskin tanpa menambah sepeser pun uang ke
kantong-kantong orang miskin. Dari segi HAM seolah-olah konvensi hak-hak
sosial dan ekonomi yang belum diratifikasi oleh Indonesia perlu diwujudkan.
4; Keterbelakangan
Keterbelakangan ini adalah sesuatu penyakit yang kultural dan
struktural. Kultural karena sering sekelompok orang yang terikat dalam satu
budaya yang sama memiliki adat istiadat yang sama dan arah berpikir yang

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 17

sama pula. Untuk mengatasi diperlukan proses pendidikan dan kebiasaan


menggunakan logika berpikir.
5; Pemahaman HAM masih terbatas dalam pemahaman gerakan
Untuk membangun HAM dalam masyarakat untuk menjaga kerukunan
berbangsa dan bernegara diperlukan :
a; Adanya personil pemerintahan yang berkualitas,
b; Aparat pemerintah yang bermodal dan bertanggungjawab,
c; Terbangunnya publik opini yang sehat atau tersedia sumber informasi
yang jelas,
d; Terbangunnya suatu kelompok pers yang berani dan bebas dalam koridor
menjaga keutuhan bangsa dan negara,
e; Adanya sanksi terhadap aparat yang melanggar HAM,
f; Tersedianya bantuan hukum (legal-aid) dimana-mana,
g; Terbentuknya jaringan aparat pemerintahan yang bersih, berwibawa
sehingga bersinergi. Setiap pemikiran, konsep atau rencana yang
ditawarkan.
2.3 Meminimalisir Hambatan Penegakan HAM di Indonesia
1; Pendidikan
Sistem pendidikan telah di buka oleh pemerintah (Negara) untuk
dilengkapi dengan muatan HAM. Kurikulum-kurikulum pendidikan kita di
berbagai jenjang, terutama di univeristas atau perguruan tinggi, sangat
akomodatiif dengan muatan HAM. Khusus di Indonesia dengan mudah kita
melihat betapa kurikulum pendidikan di berbagai perguruan tinggi, telah
memberi tempat yang begitu luas dan leluasa bagi muatan HAM.
Hingga pertengahan tahun 1980-an, pelajaran tentang HAM di
perguruan tinggi, hanya dicantolkan dalam mata kualiah ilmu Negara di
fakultas hukum. Sementara FISIP, HAM dicantolkan dalam mata kualiah ilmu
politik.
Kini HAM, sudah menjadi subyek tersendiri dan diajarkan dengan
berbagai pendekatan. Malah sejumlah perguruan tinggi kita sekarang telah
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 18

membuka jurusan khusus untuk HAM pada level S-2 dan S-3. Ini adalah
seuah gerakan dahsyat yang menggelindingkan pemahaman tentang nilai-nilai
HAM.
Dengan sistem pendidikan yang amat terbuka ini, di tambah dengan
bangkitnya kelas menengah baru yang terdidik, maka gerakan masyarakat luas
untuk menegakan HAM, memang membuat Negara tidak memiliki
kesempataan berkelit.
Lulusan perguruan tinggi yang mempelajari HAM secara mendalam
ini, telah menebarkan virus gerakan penegakan HAM. Mereka berada dan
tersebar di mana-mana yang membuat sebuah loncatan vertikal dalam
masyarakat kita mengenai perlindungan dan penegakan HAM. Merekalah
yang memutar dynamo pergerakan mesin HAM. Mereka bagai bola salju yang
menggelinding tanpa batas dihentikan. Dan tiap putaran selalu menarik saljusalju yang lainnya untuk ikut dalam pusaran, hingga menjadi gerakan dahsyat.
Bagi alumni perguruan tinggi yang mendalami HAM dan bergerak di
LSM, telah menambah dahsyat tekanan masyarakat sipil mengenai
perlindungan dan penegakan HAM. Bagi mereka yang bekerja di birokrasi
pemerintah, telah menjadi agen perubahan dari dalam birokrasi mengenai
perlindungan dan penegakan HAM. Sementara yang bergerak di sektor
swasta, aktif memasukan elemen-elemen HAM dalam setiap perencanaan
organisasi mereka. maka persepsi masa lalu yang dimiliki swasta bahwa HAM
adalah urusan politik semata, kini mulai ditinggalkan.
Anak-anak muda yang mendalami HAM secara mendalam di
perguruan tinggi tersebut, adalah anak-anak muda yang penuh idealism karena
dalam tataran praktis, hingga kini HAM belum menjadi sebuah subyek yang
dengan mudah memberikan kenikmatan duniawi.
Namun dalam kondisi serang ini akan berubah drastic untuk kedepan.
Dengan gerakan HAM yang menggelinding dahsyat, masalah pengetahuan
HAM tidak akan berbeda jauh dengan pengetahuan lainnya dalam hal
penghargaan dan penerimaan masyarakat. Pengetahuan dan keterampilan

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 19

mengenai HAM, sama saja dengan pengetahuan dan keterampilan di bidang


lainnya.
2; Peyempurnaan Peraturan perundang-undangan
Cukup banyak pasal dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM yang perlu disempurnakan. Namun ketentuan yang krusial untuk
disempurnakan, bila perlu di hapus adalah prinsip yang bersifat retroaktif dan
kadaluarsa serta diperlukan Hukum Acara tersendiri yakni Hukum Acara
Pengadilan HAM.
Penyempurnaan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
harus segera dilaksanakan. Sebab ketentuan yang sangat bermasalah inilah
yang merupakan penghambat dibentuknya pengadilan HAM atas dugaan
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
3; Pembinaan dan Peningkatan Kualitas SDM Aparat Terkait
Guna menghindari jatuhnya korban pelanggaran HAM yang lebih
banyak di saat terjadinya keadaan darurat, dan untuk menciptakan kondisi
yang kondusif bagi penghormatan, penegakan dan penyebarluasan HAM
sebagaimana sesuai dengan Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang
HAM, dengan lampiran Naskah Piagam Hak Asasi Manusia, pemerintah,
DPR, TNI/Polri, Komnas HAM, kejaksaan harus secara serius melaksanakan
isi Ketetapan MPR tersebut.9
Di sini Komnas HAM sangat berperan dalam mensosialisasikan HAM
kepada aparat penyelenggara Negara seperti Polri, Jaksa, Hakim, Pengacara,
masyarakat lewat penyuluhan baik formal maupun nonformal.
Dengan telah ditingkatkannya dasar hukum pembentukan Komnas
HAM dari keputusan presiden menjadi undang-undang, diharapkan Komnas
HAM dapat menjalankan fungsinya dengan lebih optimal untuk mencapai
tujuannya sebagaimana ditetapkan oleh undang-undang. Dengan undangundang tersebut, Komnas HAM juga mempunyai subpoena power untuk
9 Binsar Gultom, Pelanggaran HAM, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, hlm 289.
Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 20

menyelesaikan pelanggaran HAM. Artinya Komnas HAM harus tegas dan


konsekuen memanggil saksi dugaan pelanggaran HAM. Jika Saksi tersebut
tidak bersedia hadir memberikan keterangan, Komnas HAM harus
menggunakan upaya paksa dari Ketua Pengadilan sesuai pasal 95 UU No.39
Tahun 1999 tentang HAM.
Wewenang Komnas HAM menjadi bertambah dengan disahkannya
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Berdasarkan Undang-undang ini, Komnas HAM diberikan mandate sebagai
satu-satunya institusi yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat untuk diteruskan dan
dikembangkan oleh jaksa agung.
Komnas HAM sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka (7)
Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 adalah lembaga mandiri, yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga Negara lainnya yang berfungsi
melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi
mengenai HAM.
Tujuan Komnas HAM, sebagaimana disebutkan di atas, adalah
mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan
Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, dan Piagam Perserikatan BangsaBangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan meningkatkan
perlindungan serta penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia
Indonesia seutuhnya dan mampu berpartisipasi dalam berbagai bidang
kehidupan.
Untuk mencapai tujuan tersebut, Komnas HAM melaksanakan fungsi
pengkajian dan penelitian, penyuluhan dan pemantauan, serta mediasi tentang
HAM sesuai Pasal 76 UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Minimnya pemahaman tentang HAM oleh masyarakat maupun aparat
penegak hukum menjadi kendala yang serius sehingga sering terjadi
pelanggaran HAM dalam keadaan hukum darurat harus diatasi oleh
pemerintah.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 21

Cara mengatasinya adalah pemerintah harus berhati-hati dalam


menentukan sesuatu keadaan darurat di suatu wilayah terkait dengan bidang
hukum tata Negara darurat sehingga pemberlakukan status keadaan darurat,
hal itu selalu memenuhi legalitas hukum yang jelas. Pemerintah sering raguragu untuk menggunakan hak prerogratifnya untuk menerapkan status
keadaan darurat. Entah karena pemerintah takut dituding oleh masyarakat
telah berbuat otoriter atau karena ketidakmampuan dan ketidakberanian untuk
bertindak, atau karena tidak memiliki skill yang memadai untuk itu, atau
karena mempunyai alasan politik tertentu.
Agar penetapan status hukum keadaan darurat di suatu daerah berjalan
efektif, berbagai kebijakan dan tindakan yang harus diambil pemerintah
adalah10 :
a; Pemerintah harus konsekuen terhadap pelaksanaan UU No.39 Tahun

1999 tentang HAM dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan


HAM, sebab hanya kedua peraturan inilah yang dapat menyelesaikan
kasusu pelanggaran HAM di Indonesia.
b; Meningkatkan pengawasan intensif terhadap pelaksanaan keadaan
hukum darurat yang ditetapkan oleh Presiden sehingga berbagai instruksi
dan prosedur tetap dalam pelaksanaan tugas TNI/Polri tidak akan
merusak sendi-sendi hak asasi manusia.
c; Pemerintah tidak boleh sembarangan menetapkan status hukum keadaan
darurat. Penerapannya harus melalui prosedur hukum yang benar dan
sebisa mungin tidak secara mendadak, dan harus dideklarasikan terhadap
publik, agar terciptanya control pengawasan dari publik.
d; Aparat terkait seperti TNI/Polri, Komnas HAM, Kejaksaan, Hakim perlu
mendapatkan pendidikan formal maupun nonformal khususnya
pengetahuan di bidang Hak Asasi Manusia dan Hukum Tata Negara
Darurat dari Komnas HAM atau pakar/ahli yang membidangi hukum tata
Negara darurat guna menjadi professional ketika melaksanakan tugas di
lapangan.

10 Ibid, hlm. 290


Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 22

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih kurang optimal. Hal
tersebut dikarenakan masih adanya hambatan-hambatan yang menjadikan
tegaknya HAM secara menyeluruh. Hambatan yang paling komplek terdapat
dalam peraturan perundang-undangannya. Seperti dalam UU No. 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dari penjabaran setiap pasalnya, akan
timbul Asas Retroaktif, tidak adanya batas daluarsa pengajuan pelanggaran HAM,
peraturan tentang Komnas HAM yang belum jelas dan adanya perlindungan saksi
serta korban yang kurang diperhatikan lebih lanjut.
Untuk itu perlu adanya tindakan yang lebih khusus untuk meminimalisir
berbagai hambatan yang lebih krusial nantinya. Cara meminimalisir hambatan
tersebut bisa dilakukan dengan memberikan pendidikan tentang HAM kepada
masyarakat, menyempurnakan peraturan perundang-undangan dan melakukan
pembinaan pada aparatur penegakan Hak Asasi Manusia.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 23

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Rozak,dkk. 2010. Pendidikan Kewarganegaraa. Jakarta: Prenada Media.


Atik Hartati dan Sarwono. 2011. Pendidikan Kewarganegaraan, Jakarta : Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Binsar Gultom. 2012. Pelanggaran HAM. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Dwi Cahyati AW dan Warsito Adnan. 2011. Pelajaran Kewarganegaraan 1. Jakarta
: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Eko Prasetyo. 2004. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta : Resist Book.
Hamid Awaludin. HAM Politik, Hukum, & Kemunafikan Internasional. Jakarta :
Kompas.
Mahrus Ali. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat. Jakarta : Gramata Publishing.
Rhona K.M. Smith,dkk. 2008. Hukum Hak Asasi Manusia. Jakarta: PUSHAM
UII.

Hambatan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia 24

You might also like