You are on page 1of 23

TINJAUAN PUSTAKA

IMUNISASI

1. Pengertian Imunisasi
Imunisasi berasal dari kata imun yang berarti kebal atau resisten,
jadi pengertian imunisasi adalah tindakan untuk memberi kekebalan dengan
cara memasukkan vaksin ke dalam tubuh manusia. Dengan demikian
imunisasi bermanfaat untuk menurunkan angka morbiditas, mortalitas, serta
bila mungkin didapatkan eradikasi suatu penyakit dari suatu daerah.
Sedangkan pengertian imunisasi menurut Departemen Kesehatan RI adalah
suatu cara untuk menimbulkan atau meningkatkan kekebalan seseorang
secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila kelak ia terpapar dengan
penyakit tersebut tidak akan menderita penyakit tersebut.
Imunisasi merupakan salah satu upaya pelayanan kesehatan dasar yang
memegang peranan dalam menurunkan angka kematian bayi dan ibu. Upaya
pelayanan imunisasi dilakukan melalui kegiatan imunisasi rutin dan tambahan
dengan tujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Tujuan
tersebut dapat tercapai apabila ditunjang dengan sumber daya manusia yang
berkualitas dan ketersediaan standar, pedoman, sistem pencatat-pelaporan
serta logistik yang memadai dan bermutu.

Perlu diketahui bahwa istilah imunisasi dan vaksinasi seringkali


diartikan sama. Imunisasi adalah suatu pemindahan atau transfer antibodi
secara pasif, sedangkan istilah vaksinasi dimaksudkan sebagai pemberian
vaksin (antigen) yang dapat merangsang pembentukan imunitas (antibodi)
dari sistem imun di dalam tubuh.

Indikator yang digunakan untuk memantau pencapaian cakupan


imunisasi rutin pada bayi yang lengkap dan merata adalah Universal Child
Immunization (UCI) desa/kelurahan. Target tercapainya UCI pada tahun 2010
adalah 100% desa/kelurahan sebagaimana tertuang dalam SK Mentri
Kesehatan RI No. 1457/Menkes/SK/2003, tentang Standar Pelayanan
Minimal Bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota.

2. Tujuan Program Imunisasi


Imunisasi diperlukan untuk mencegah meluasnya penyakit-penyakit
tertentu dan menghindari resiko kematian yang diakibatkannya. Tujuan
program imunisasi pada anak ada 2, yaitu :
1.
Tujuan Umum
Turunnya angka kesakitan dan kematian akibat Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).
2.

Tujuan Khusus
Tercapainya target Universal Child Immunization (UCI), yaitu
cakupan imunisasi lengkap minimal 80% secara merata pada bayi

100% di desa/kelurahan pada tahun 2011.


Tercapainya pemutusan rantai penularan Poliomyelitis pada tahun

2009 2010, serta sertifikasi bebas Polio pada tahun 2011.


Tercapainya Reduksi Campak ( Recam ) pada tahun 2008.

3.

Jenis Imunisasi
Di Indonesia, imunisasi dasar merupakan imunisasi yang dianjurkan
bagi bayi berusia 0 11 bulan. Imunisasi ini sendiri terbagi dalam 5 jenis,
antara lain :

Imunisasi BCG (Bacillus Calmette Guerin)

Imunisasi BCG (basillus calmette guerin) merupakan imunisasi yang


digunakkan untuk mencegah terjadinya penyakit TBC. Vaksin BCG
merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah
dilemahkan.
Penyakit TBC disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan
mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di udara yang
terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin.
Gejalanya antara lain : berat badan anak sudah bertambah, sulit
makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di
malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi TB rata-rata
berlangsung antara 8-12 minggu.
Usia Pemberian
Dibawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan
tes Montoux (tuberculin) dahulu untuk mengetahui apakah pada bayi
telah terdapat kuman Mycrobacterium tuberculosis atau belum.
Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB
yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah
lahir bayi harus di imunisasi BCG.
Jumlah Pemberian
Cukup 1 kali saja, tidak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG
berisi kuman hidup sehingga antibody yang dihasilkannya tinggi
terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan
pengulangan.

Kontra indikasi :

Tidak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau


menunjukan mantoux positif. Adanya penyakit kulit yang berat dan
menahun seperti : eksim, furunkulosis dan sebagainya
Efek Samping :
Imunisasi BCG tidak menimbulkan reaksi yang bersifat umum seperti
demam. Setelah 1-2 minggu akan timbul indurasi dan kemerahan
ditempat suntikan yang berubah menjadi pustula, kemudian pecah
menjadi luka. Luka tidak perlu pengobatan , akan sembuh secara
spontan dan meninggalkan tanda parut. Kadang-kadang terjadi
pembesaran kelenjar regional di ketiak dan atau leher, terasa padat
tidak sakit dan tidak menimbulkan demam. Reaksi ini normal tidak
memerlukan pengobatan dan akan menghilang dengan sendirinya.
Cara pemberian :
1.

Sebelum disuntikkan vaksin BCG harus dilarutkan terlebih

dahulu. Melarutkan dengan menggunakan alat suntik steril (ADS 5 ml)


dengan 4 ml pelarut.
2.

Dosis 0,05 cc, untuk mengukur dan menyuntikkan dosis

sebanyak itu secara akurat, harus menggunakan spuit dan jarum kecil
yang khusus.
3.

Disuntikkan di lengan kanan atas (sesuai anjuran WHO) ke

dalam lapisan kulit dengan penyerapan pelan-pelan (intrakutan). Untuk


memberikan suntikkan intrakutan secara tepat, harus menggunakan
jarum pendek yang sangat halus (10 mm, ukuran 26)
Alat dan bahan:
1.

Spuit tuberculin dengan jarum ukuran 25-27 panjang 10 mm

2.

Vaksin BCG dan gergaji ampul

3.

Ampul berisi NaCl 0,9 %

4.

Kapas lembab (dibasahi air matang)

5.

Sarung tangan bersih

Prosedur
1.

Cuci tangan

2.

Gunakan sarung tangan bersih

3.

Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

4.

Buka vaksin BCG

5.

Larutkan vaksin dengan NaCl 0,9 % sebanyak kurang lebih 4 cc

6.

Isi spuit dengan vaksin sebanyak 0,05 ml yang sudah dilarutkan

7.

Atur posisi dan bersihkan lengan ( daerah yang akan diinjeksi,

yaitu 1/3 bagian lengan atas) dengan kapas DTT


8.

Tegangkan daerah yang akan diinjeksi

9.

Tusukkan jarum dengan sudut 10-15 derajat kemudian

masukkan vaksin.
10. Tarik spuit setelah vaksin habis dan jangan dimasase
11. Usap area bekas injeksi dengan kapas bersih jika ada darah yang
keluar
12. Lepas sarung tangan dan cuci tangan.
13.catat respon yang terjadi, vaksin berhasil jika timbul benjolan di
kulit dengan kulit kelihatan pucat dan pori-pori tampak jelas.
Imunisasi Hepatitis B
Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program
nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk Negara endemis tinggi
penyakit hepatitis. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan
virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus
hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang
dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau
pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih
buruk bisa mengakibatkan kanker hati.

Usia Pemberian :
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi
stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada
usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu
pengidap VHB, selain imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam
setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan imunoglobin
antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24 jam.
Jumlah Pemberian
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan
kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
Kontra Indikasi :
Hipersensitif terhadap komponen vaksin. Dan tidak dapat diberikan
pada anak yang menderita sakit berat.
Efek Samping :
Umumnya tidak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa
keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan
pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua
hari.
Cara Pemberian :
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi
dipaha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral =
otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tidak dianjurkan karena bisa
mengurangi efektivitas vaksin.
Alat dan bahan :
1.

Spuit diposibel 2,5 cc dan jarumnya

2.

Vaksin hepatitis dan pelarutnya dalam termos es.

3.

Kapas alcohol dalam tempatnya.

4.

Sarung tangan bersih.

Prosedur :
1.

Cuci tangan

2.

Gunakan sarung tangan

3.

Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

4.

Ambil vaksin hepatitis dengan spuit sesuai program/anjuran, yakni


0,5.

5.

Atur posisi bayi (bayi dipangku ibunya, tangan kiri ibu merangkul
bayi, menyangga kepala, bahu, dan memegang sisi luar tangan kiri
bayi, tangan kanan bayi melingkar kebadan ibu dan tangan kanan
ibu memegang kaki bayi dengan kuat).

6.

Lakukan desinfeksi didaerah 1/3 tengah paha bagian luar yang


akan diinjeksi dengan kapas alcohol.

7.
8.

Tegangkan daerah yang akan diinjeksi.


Lakukan injeksi dengan memasukkan jarum ke intramuscular
didaerah fermur

9.

Cuci tangan

10. Catat reaksi yang terjadi.

Imunisasi Polio
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang
dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis
yang sangat menular. Penularannya bisa lewat makanan/minuman
yang tercemar virus polio. Bisa juga lewat percikan ludah/air liur
penderita polio yang masuk kemulut orang sehat.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari,
umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu

anggota gerak. Namun tidak semua orang yang terkena virus polio
akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang
menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Imunisasi polio akan
memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
Di Indonesia dipakai vaksin sabin yang diberikan melalui mulut
dengan dosis 2 tetes. Imunisasi dasar diberikan sejak anak baru lahir
atau berumur beberapa hari, dan selanjutnya setiap 4-6 minggu.
Vaksin polio dilakukan sampai 4 kali. Pemberian vaksin polio dapat
dilakukan bersamaan dengan BCG, vaksin hepatitis B, dan DPT. Bagi
bayi yang sedang meneteki maka ASI diberikan seperti biasa karena
ASI tidak berpengaruh terhadap vaksin polio. Imunisasi ulangan
diberikan bersamaan dengan imunisasi ulang DPT dengan interval 2
jam.
Imunisasi ulang masih diperlukan walaupun seorang anak pernah
terjangit polio. Alasannya adalah mungkin anak yang menderita polio
itu hanya terjangkit oleh virus polio tipe 1. Artinya bila penyakitnya
telah menyembuh, ia hanya mempunyai kekebalan terhadap virus
polio tipe 1, tetapi tidak mempunyai kekebalan terhadap jenis virus
polio tipe II dan III.
Usia Pemberian :
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan
pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin
DPT.
Kontra Indikasi :
Tidak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau
demam tinggi (di atas 38 derajat Celsius), muntah atau diare, penyakit
kanker atau keganasan, HIV/AIDS, sedang menjalani pengobatan

steroid dan pengobatan radiasi umum, serta anak dengan mekanisme


kekebalan terganggu.
Pada anak dengan diare berat atau yang sedang sakit parah, imunisasi
polio sebaiknya ditangguhkan, demikian juga pada anak yang
menderita penyakit gangguan kekebalan (difisiensi imun). Alasan
untuk tidak memberikan vaksin polio pada keadaan diare berat adalah
kemungkinan terjadinya diare yang lebih parah. Pada anak dengan
penyakit batuk, pilek, demam, atau diare ringan imunisasi polio dapat
diberikan seperti biasanya.
Efek Samping :
Hampir tidak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami
pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
Cara Pemberian :

Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau


lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang
digunakan adalah OPV.

1 dosis adalah 2 tetes sebanyak 4 kali (dosis) dengan interval


setiap dosis minimal 4 minggu

Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes


(dropper) yang baru.

Alat dan bahan :


1.

Vaksin polio dalam termos es/flakon berisi vaksin polio

2.

Pipet plastic

Prosedur:

1.

Cuci tangan

2.

Jelaskan prosedur yang akan dilaksanakan.

3.

Ambil vaksin polio dalam termos es

4.

Atur posisi bayi, mintalah orang tua untuk memegang bayi

dengan kepala disangga dan dimiringkan kebelakang


5.

Teteskan 2 tetes vaksin dari alat tetes ke dalam lidah. Jangan

biarkan alat tetes menyentuh bayi, buka mulut bayi secara hati-hati, baik
dengan ibu jari pada dagu (untuk bayi kecil) atau dengan menekan pipi bayi
dengan jari-jari.
6.

Cuci tangan

7.

Catat reaksi yang terjadi

Imunisasi Campak.
Sebenarnya, bayi sudah mendapat kekebalan campak dari ibunya. Namun
seiring bertambahnya usia, antibody dari ibunya semakin menurun sehingga
butuh antibody tambahan lewat pemberian vaksin campak. Apalagi penyakit
campak mudah menular, dan mereka yang daya tahan tubuhnya lemah
gampang sekali terserang penyakit yang disebabkan virus mobili ini.
Untungnya, campak hanya diderita sekali seumur hidup. Jadi, sekali terkena
campak, setelah itu biasanya tak akan terkena lagi.
Penularan campak terjadi lewat udara atau butiran halus air ludah (droplet)
penderita yang tertiup melalui hidung atau mulut. Pada masa inkubasi yang
berlangsung sekitar 10-12 hari, gejalanya sulit dideteksi. Setelah itu barulah
muncul gejala flu (batuk, pilek, demam), mata kemerahan-merahan, berair
dan merasa silau saat melihat cahaya. Kemudian, di sebelah dalam mulut
muncul bintik-bintik putih yang akan bertahan 3-4 hari. Beberapa anak juga
mengalami diare. Satu-dua hari kemudian timbul demam tinggi yang turun

naik, berkisar 38-40 derajat celcius. Seiring dengan itu, barulah keluar
bercak-bercak merah yang merupakan cirri khas penyakit ini. Ukurannya
tidak terlalu kecil.
Vaksin campak merupakan vaksin virus hidup yang dilemahkan. Setiap dosis
(0,5 ml) mengandung tidak kurang dari 1000 infective unit virus strain CAM
70 dan tidak lebih dari 100 mcg residu kanamycin dan 30 mcg residu
erythromycin. (vademecum Bio Farma Jan 2002).
Usia dan Jumlah Pemberian :
Sebanyak 2 kali; 1 kali di usia 9-11 bulan, dan ulangan (booster) 1 kali di usia
6-7 tahun. Dianjurkan, pemberian campak ke-1 sesuai jadwal. Selain karena
antibody dari ibu sudah menurun di usia 9 bulan, penyakit campak umumnya
menyerang anak usia balita. Jika sampai 12 bulan belum mendapatkan
imunisasi campak, maka pada usia 12 bulan harus diimunisasi MMR
(Measles Mumps Rubella).
Efek Samping :
Umumnya tidak ada. Pada beberapa anak, bias menyebabkan demam dan
diare, namun kasusnya sangat kecil. Biasanya demam berlangsung seminggu.
Kadang juga terdapat efek kemerahan mirip campak selama 3 hari.
Kontra Indikasi :
Anak yang mengidap penyakit immune deficiency atau yang diduga
menderita gangguan respon imun karena leukemia, limfoma.

Cara pemberian :

Sebelum disuntikkan vaksin campak terlebih dahulu harus dilarutkan dengan


pelarut steril yang telah tersedia yang berisi 5 ml cairan pelarut.
Suntikan diberikan pada lengan kiri atas secara subkutan dengan dosis 0,5 cc.
Alat dan Bahan :
1.

Spuit disposibel 2,5 cc dan jarumnya.

2.

Vaksin campak dan pelarutnya dalam termos es.

3.

Kapas alcohol dalam tempat.

4.

Sarung tangan.

Prosedur :
1.

Cuci tangan.

2.

Gunakan sarung tangan

3.

Jelaskan prosedur yang akan dilakukan

4.

Ambil vaksin campak dengan spuit sesuai dengan program/anjuran

5.

Atur posisi bayi (bayi dipangku ibunya, lengan kanan bayi dilepat

diketiak ibunya. Ibu menopang kepala bayi, tangan kiri ibu memegang tangan
kiri bayi)
6.

Lakukan desinfeksi 1/3 bagian lengan kanan atas

7.

Tegangkan daerah yang akan diinjeksi.

8.

Lakukan injeksi dengan memasukkan jarum dengan sudut 45 derajat.

9.

Setelah vaksin habis, tarik spuit sambil menekan lokasi penyuntikan

dengan kapas.

10. Lepaskan sarung tangan.


11. Cuci tangan
12. Catat reaksi yang terjadi
Imunisasi DPT
Manfaat pemberian imunisasi ini ialah untuk menimbulkan kekebalan aktif
dalamwaktu yang bersamaan terhadap penyakit difteria, pertusis (batuk rejan)
dan tetanus.
Vaksinasi dan jenis vaksin

Vaksin difteri terbuat dari toksin kuman difteri yang telah dilemahkan
(toksoid). Biasanya diolah dan dikemas bersama dengan vaksin tetanus
dalam bentuk vaksin DT, atau dengan vaksin tetanus dan pertusis (DPT).

Vaksin terhadap pertusis terbuat dari kuman Bordetella Pertusis yang


telah dimatikan. Selanjutnya dikemas bersama dengan vaksin difteria
dan tetanus (DPT, vaksin tripe)

Vaksin tetanus yang digunakan untuk imunisasi aktif adalah toksoid


tetanus, yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian
dimurnikan.

Ada 3 macam kemasan vaksin tetanus, yaitu:


1.

Bentuk kemasan tunggal (TT)

2.

Kombinasi dengan vaksin difteria (DT)

3.

Kombinasi dengan Vaksin difteria dan pertusis (DPT)

Usia dan Jumlah Pemberian :

1.

3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), Diberikan 3 kali karena suntikan

pertama tidak memberikan apa-apa dan baru akan memberikan perlindungan


terhadap serangan penyakit apabila telah mendapat suntikan vaksin DPT
sebanyak 3 kali.
2.

Imunisasi ulang pertama dilakukan pada usia 1,5 2 tahun atau pada usia

18 bulan setelah imunisasi dasar ke-3.


3.

Diulang lagi dengan vaksin DT pada usia 5-6 tahun (kelas 1) vaksin

pertusis tidak dianjurkan untuk anak berusia lebih dari 5 tahun karena reaksi
yang timbul dapat lebih hebat selain itu perjalanan penyakit pada usia > 5 tahun
tidak parah.
4.

Diulang lagi pada usia 12 tahun (menjelang tamat SD). Anak yang

mendapat DPT pada waktu bayi diberikan DT 1 kali saja dengan dosis 0,5 cc
dengan cara IM, dan yang tidak mendapatkan DPT pada waktu bayi diberikan
DT sebanyak 2 kali dengan interval 4 minggu dengan dosis 0,5 cc secara IM,
apabila hal ini meragukan tentang vaksinasi yang didapat pada waktu bayi
maka tetap diberikan 2 kali suntikan. Bila bayi mempunyai riwayat kejang
sebaiknya DPT diganti dengan DT dengan cara yang sama dengan DPT.
Pengulangan imunisasi DPT diperlukan untuk memperbaiki daya tahan tubuh
yang mungkin menurun setelah sekian lama. Karena itu mestii diperkuat lagi
dengan pengulangan pemberian vaksin (booster). Kalau sudah dilakukan 5 kali
suntikan DPT, maka biasanya dianggap sudah cukup. Namun di usia 12 tahun,
seorang anak biasanya mendapat lagi suntikan DT atau TT (tanpa P/Pertusis) di
sekolahnya. Di atas usia 5 tahun, penyakit pertusis jarang sekali terjadi dan
dianggap bukan masalah.
Kontra Indikasi :
Tidak dapat diberikan kepada meraka yang kejangnya di sebabkan suatu
penyakit seperti epilepsy, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau
habis di rawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DPT. Mereka
hanya boleh menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang
menyebabkan panas.

Efek Samping :
Gejala-gejala yang bersifat sementara seperti : lemas, demam, pembengkakan,
dan atau kemerahan pada bekas penyuntikan. Kadang-kadang terjadi gejala
berat seperti demam tinggi, iritabilitas, dan meracau yang biasanya terjadi 24
jam setelah imunisasi. Reaksi yang terjadi bersifat ringan dan biasanya hilang
setelah 2 hari.
Cara pemberian :

Sebelum digunakan vaksin harus dikocok terlebihdahulu agar suspensi


menjadi homogen.

Disuntikan secara Intramuskular pada paha tengah luar dengan dosis


pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.

Alat dan Bahan :


1.

Spuit disposable 2,5 cc dan jarumnya.

2.

Vaksin DPT dan pelarutnya.

3.

Kapas alcohol dalam tempatnya

4.

Sarung tangan

Prosedur :
1.

Cuci tangan.

2.

Gunakan sarung tangan

3.

Jelaskan prosedur yangn akan dilaksanakan

4.

Ambil vaksin DPT dengan spuit sesuai program/anjuran, yakni 0,5 ml

5.

Atur posisi bayi ( bayi dipangkuan ibunya, tangan kiri ibu merangkul

bayi, menyangga kepala, bahu dan memegang sisi luar tangn bayi. Tangan

kanan bayi melingkar ke badan ibu dan tangan kanan ibu memegang kaki
bayi dengan kuat.
6.

Lakukan desinfeksi di 1/3 tengah paha bagian luar yang akan diinjeksi

dengan kapas alcohol


7.

Tegangkan daerah yang akan diinjeksi

8.

Lakukan injeksi dengan memasukkan jarum ke intramuscular di daerah

femur
9.

Lepas sarung tangan

10. Cuci tangan


11. Catat reksi yang terjadi

Bahan-bahan untuk membuat vaksin antara lain berasal dari bakteri/virus,


toksin, dan hasil bioteknologi (rekayasa genetika). Bakteri/virus dan toksin
yang digunakan tersebut dimatikan atau dilemahkan terlebih dahulu, sehingga
tidak berbahaya bagi manusia. Berikut beberapa contoh vaksin dan bahan
pembuatnya:
Bakteri yang sudah dimatikan
Contoh : Bakteri Bordetella pertusis dalam vaksin DPT
Virus/ bakteri yang sudah dilemahkan
Contoh : ` Virus campak dalam vaksin campak
Virus polio dalam vaksin polio
Bakteri Mycobacterium tuberculosis dalam vaksin BCG
(Bacillus Calmette Guerin)
Toksin yang diubah menjadi toksoid
Contoh : Tetanus toksoid dalam vaksin DPT dan TT
Difteri toksoid dalam vaksin DPT
Hasil bioteknologi (rekayasa genetika)
Contoh : Vaksin Hepatitis B rekombinan
4.

Kondisi Anak yang Baik untuk Mendapat Imunisasi

Tidak semua ibu yang memiliki balita mengetahui kondisi-kondisi


pada anaknya yang boleh mendapatkan imunisasi atau harus ditunda untuk
sementara waktu. Pada prinsipnya, imunisasi atau vaksinasi tidak
seharusnya diberikan saat kondisi imunologis atau kekebalan anak
menurun. Penundaan tersebut bertujuan untuk menghindari komplikasi
yang merugikan bagi tubuh anak dan agar imunisasi itu sendiri mampu
memberi respon yang optimal.
Umur yang tepat untuk pemberian vaksin, yaitu sebelum bayi
mendapat infeksi dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Pemberian imunisasi diusahakan sedini mungkin dan diusahakan
melengkapi imunisasi sebelum bayi berumur 1 tahun. Khusus untuk
campak dimulai segera setelah anak berumur 9 bulan. Pemberian imunisasi
campak sebelum umur 9 bulan dapat mengakibatkan pembentukkan zat
kekebalan yang berasal dari ibu.
Imunisasi dapat diberikan dalam kondisi-kondisi sebagai berikut:
1.
Gangguan saluran napas dan gangguan saluran cerna.
2.
Riwayat kejang dalam keluarga.
3.
Riwayat penyakit infeksi.
4.
Kontak dengan seseorang yang menderita suatu penyakit tertentu.
5.
Kelainan saraf seperti sindrom down.
6.
Memiliki penyakit kronis seperti jantung, paru, serta penyakit
7.
8.
9.

metabolik.
Sedang menjalani terapi antibiotik seperti terapi steroid topikal
(terapi kulit atau mata).
Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir.
Berat badan lahir rendah.

Imunisasi yang tidak boleh diberikan dalam kondisi :


1.
Sakit berat dan mendadak demam tinggi.
2.
Memiliki alergi yang berat (anafilatik).
3.
Menderita gangguan sistem imun, misalnya sedang menjalani
pengobatan steroid jangka panjang seperti HIV. Keadaan yang
seperti ini tidak boleh diberikan vaksin hidup seperti polio oral,
MMR, BCG, cacar air.
5.

Efek Samping Imunisasi

Imunisasi terkadang dapat menimbulkan efek samping, tetapi hal ini


menandakan bahwa vaksin bekerja secara tepat. Efek samping yang dapat
terjadi antara lain :
1.
Setelah bayi

diberikan

imunisasi

BCG

akan

terjadi

pembengkakan kecil dan merah pada tempat suntikan selama 2


minggu. Setelah 2-3 minggu, pembengkakan akan menjadi abses
kecil dan menjadi luka dengan diamater 10 mm. Luka akan
sembuh dengan sendirinya dalam waktu 2-3 bulan dan
meninggalkan luka parut. Apabila dosis yang diberikan terlalu
tinggi maka ulkus yang akan timbul akan lebih besar dan apabila
penyuntikkan terlalu dalam maka luka parut yang akan tertarik ke
dalam (retacred).

2.

Setelah bayi mendapatkan imunisasi DPT anak menjadi gelisah


dan menangis terus menerus selama beberapa jam paska suntikan.
Biasanya bayi akan demam pada sore hari setelah mendapat
imunisasi DPT, demam akan turun dan hilang dalam waktu 2 hari.
Sebagian besar anak akan merasa nyeri, sakit, merah dan bengkak
ditempat suntikkan. Keadaan ini tidak berbahaya dan tidak perlu
mendapatkan pengobatan khusus karena akan sembuh dengan
sendirinya. Bila gejala tersebut tidak timbul tidak perlu diragukan
bahwa imunisasi tersebut tidak bekerja dengan baik.

3.

Setelah mendapatkan imunisasi polio sebagian kecil penerima


vaksin OPV akan mengalami gejala pusing-pusing, diare ringan
dan sakit otot. Pada umumnya efek samping paska imunisasi
polio sangat jarang ditemukan bahkan hampir tidak memberikan
efek samping sama sekali.

4.

Setelah mendapatkan imunisasi campak kemungkinan anak akan


diare, panas dan disertai kemerahan 4-10 hari sesudah suntikkan.

Untuk mengatasi efek yang timbul dianjurkan untuk memakai


pakaian yang tipis dan minum obat penurun panas.
5.

Setelah mendapatkan imunisasi hepatitis mungkin hanya terjadi


keluhan nyeri pada bekas suntikkan, demam ringan dan
pembengkakan. Reaksi ini akan hilang dalam waktu 2 hari.

6.

Tenaga Pelaksana Imunisasi


Standar tenaga pelaksana di tingkat pusksmas adalah petugas imunisasi
dan pelaksana cold chain. Petugas imunisasi adalah tenaga perawat atau
bidan yang telah

mengikuti pelatihan, yang tugasnya memberikan

pelayanan imunisasi dan penyuluhan. Pelaksana cold chain adalah tenaga


yang berpendidikan minimal SMA atau SMK yang telah mengikuti
pelatihan cold chain, yang tugasnya mengelola vaksin dan merawat lemari
es, mencatat suhu lemari es, mencatat pemasukan dan pengeluaran vaksin
serta mengambil vaksin di kabupaten / kota sesuai kebutuhan per bulan.
Pengelola program imunisasi adalah petugas imunisasi, pelaksana cold
chain atau petugas lain yang telah mengikuti pelatihan untuk mengelola
program imunisasi, yang bertugas membuat perencanaan vaksin dan
logistik lain, mengatur jadwal pelayanan imunisasi, mengecek catatan
pelayanan imunisasi, membuat dan mengirim laporan ke kabupaten/kota,
membuat dan menganalisis PWS bulanan, dan merencanakan tindak lanjut.
7. Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)
Imunisasi terbukti sebagai satu upaya pencegahan penyakit yang paling
efektif dan efisien. Dengan semakin banyaknya orang yang diimunisasi,
maka semakin rendah angka kejadian penyakit yang dapat dicegah
dengan imunisasi (PD3I). Seperti halnya dengan semua tindakan medis,
resiko terjadinya efek samping selalu ada walaupun kemungkinannya
sangat kecil. Efek samping yang terjadi setelah pemberian imunisasi
disebut dengan KIPI (Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi).

Seiring dengan cakupan imunisasi yang tinggi maka penggunaan vaksin


juga meningkat dan sebagai akibatnya kejadian yang berhubungan dengan
imunisasi juga meningkat. Dalam menghadapi hal tersebut penting
diketahui apakah kejadian tersebut berhubungan dengan vaksin yang telah
diberikan ataukah terjadi secara kebetulan.
Reaksi simpang yang dikenal sebagai kejadian ikutan pasca imunisasi
(KIPI) atau Adverse Events Following Immunization (AEFI) adalah
semua kejadian sakit yang terjadi setelah menerima imunisasi. Untuk
mengetahui hubungan antara imunisasi dengan KIPI diperlukan
pencatatan dan pelaporan semua reaksi simpang yang timbul setelah
pemberian imunisasi.
Seperti halnya dengan semua tindakan medis, resiko terjadinya efek
Samping selalu ada walaupun kemungkinannya sangat kecil. Efek
samping yang terjadi setelah pemberian imunisasi disebut dengan KIPI
(Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi). KIPI adalah kejadian medik yang
berhubungan dengan imunisasi, baik berupa reaksi vaksin ataupun efek
samping, toksisitas, reaksi sensitivitas, efek farmakologis; atau kesalahan
program, koinsidensi, reaksi suntikan, atau hubungan kausal yang tidak
dapat ditentukan.
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena sebagian
besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh karena itu,
untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai: 1) besar
frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu, 2) sifat kelainan
tersebut lokal atau sistemik, 3) derajat sakit resipien, apakah memerlukan
perawatan, menderita cacat atau menyebabkan kematian, 4) apakah
penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti, dan 5) apakah
dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin, kesalahan
produksi, atau kesalahan prosedur.
Gejala klinis KIPI dapat timbul secara cepat maupun lambat dan dapat
dibagi menjadi gejala lokal, sistemik, reaksi susunan syaraf pusat, serta

reaksi lainnya. Pada umumnya makin cepat terjadi KIPI makin berat
gejalanya.
Baku keamanan suatu vaksin dituntut lebih tinggi daripada obat. Hal ini
disebabkan oleh karena pada umumnya produk farmasi diperuntukkan
orang sakit sedangkan vaksin untuk orang sehat terutama bayi. Karena itu
toleransi terhadap efek samping vaksin harus lebih kecil daripada obatobatan untuk orang sakit. Mengingat tidak ada satupun jenis vaksin yang
aman tanpa efek samping, maka apabila seorang anak telah mendapat
imunisasi perlu diobservasi beberapa saat, sehingga dipastikan bahwa
tidak terjadi KIPI (reaksi cepat). Berapa lama observasi sebenarnya sulit
ditentukan, tetapi pada umumnya setelah pemberian setiap jenis imunisasi
harus dilakukan observasi selam 15 menit.
Tabel Gejala KIPI
Reaksi

Gejala KIPI

Lokal

Abses pada tempat suntikan


Limfadenitis
Reaksi lokal lain yang berat, misalnya selulitis,
BCG-itis

SSP

Kelumpuhan akut
Ensefalopati
Ensefalitis
Meningitis
Kejang

Lain-lain

Reaksi alergi : urtikaria, dermatitis, edema


Reaksi anafilaktoid
Syok anafilatik
Artralgia
Demam tinggi > 38,5C
Episode hipotensif-hiporesponsif
Osteomielitis
Menangis menjerit yang terus menerus (3 jam)
Sindrom syok septik

6.

Jadwal dan Cara Pemberian Imunisasi

Gambar Jadwal Imunisasi Anak Umur 0-18 tahun


Tabel Cara Pemberian Imunisasi
Vaksin

Dosis

Cara Pemberian

BCG

0,05 cc

Suntikkan intrakutan, tempatnya insertio M. deltoideus dextra

DPT

0,5 cc

Polio

2 tetes

Meneteskan per oral

0,5 cc

Suntikkan intramuskuler pada paha atas luar atau anterolateral

0,5 cc

Suntikkan secara subkutan biasanya di lengan kiri bagian atas.

Hepatitis
B
Campak

Suntikkan intramuskuler atau subkutan dalam di anterolateral


paha atas

You might also like