You are on page 1of 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Depresi dapat diartikan sebagai gangguan berupa rasa sedih yang
psikopatologis yang persisten dan berlangsung lama. Gangguan depresif adalah suatu
gangguan mental yang ditandai dengan adanya gejala penurunan mood.
Depresi merupakan salah satu penyebab utama angka kesakitan di dunia.
Prevalensi dalam seumur hidup sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya,
mulai dari 3% di Jepang hingga 17% di US. Pada kebanyakan negara jumlah orang
yang terkena depresi berkisar antara 8-12% sepanjang hidupnya. Kebanyakan orang
sering mengalami episode pertama depresinya antara usia 30 dan 40 tahun, serta
terdapat pula insidensi pada waktu lain yang sering terjadi pada usia antara 50 dan 60
tahun. Risiko terjadinya depresi akan meningkat seiring kondisi neurologis seperti
Stroke, Parkinson, atau multiple sclerosis serta tahun pertama setelah melahirkan
Nyeri merupakan "Pengalaman yang tidak nyamanan baik berupa sensoris dan
emosional yang berhubungan dengan kerusakan atau kemungkinan kerusakan
jaringan atau mengindikasikan adanya kemungkinan tersebut". Seperti yang telah
didefinisikan tersebut persepsi nyeri dapat bersifat subjektif dan bervariasi antara
banyak orang karena melibatkan emosional dalam proses perjalanan nyeri.
Oleh karena itu peneliti ingin lebih mengetahui apakah ada hubungan antara
depresi dengan nyeri dikarenakan depresi merupakan gangguan mood dan nyeri dapat
dipengaruhi oleh emosional pasien.

1.2 Tujuan
Makalah ini disusun dengan harapan kelak pembaca khususnya kalangan
medis dapat mengetahui mengenai gangguan depresif, nyeri dan bagaimana
hubungan antara kedua hal tersebut.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Depresi
2.1.1 Definisi Gangguan Depresif
Depresi dapat diartikan sebagai gangguan berupa rasa sedih yang psikopatologis
yang persisten dan berlangsung lama. Gangguan depresif adalah suatu gangguan
mental yang ditandai dengan adanya gejala penurunan mood, kehilangan minat
terhadap sesuatu, mudah lelah dan kehilangan energi, perasaan bersalah yang dapat
mengacu kepada pikiran tentang kematian atau bunuh diri, gangguan tidur (baik sulit
tidur ataupun tidur berlebihan), perubahan nafsu makan, serta penurunan
konsentrasi.1,2,4,7

2.1.2 Epidemilogi Gangguan Depresif


Depresi merupakan salah satu penyebab utama angka kesakitan di dunia.
Prevalensi dalam seumur hidup sangat bervariasi dari satu tempat ke tempat lainnya,
mulai dari 3% di Jepang hingga 17% di US. Pada kebanyakan negara jumlah orang
yang terkena depresi berkisar antara 8-12% sepanjang hidupnya.4
Kebanyakan studi populasi menunjukan hasil yang konsisten bahwa depresi
terjadi 2 kali lebih banyak pada wanita ketimbang pria. Kebanyakan orang sering
mengalami episode pertama depresinya antara usia 30 dan 40 tahun, serta terdapat
pula insidensi pada waktu lain yang sering terjadi pada usia antara 50 dan 60 tahun.
Risiko terjadinya depresi akan meningkat seiring kondisi neurologis seperti Stroke,
Parkinson, atau multiple sclerosis serta tahun pertama setelah melahirkan.

Depresi memiliki banyak faktor pemicu dan dapat menyerang siapa saja,
walaupun seseorang yang hidup dalam suasana yang dianggap kebanyakan orang lain
ideal.

2.1.3 Etiologi dan Epidemiologi Gangguan Depresif


Depresi merupakan sebuah gangguan kompleks yang diakibatkan oleh banyak
faktor. Etiologi gangguan depresi secara garis besar dibagi menjadi 3 faktor, yaitu ;
faktor psikososial, faktor genetik, dan faktor biologis.
1. Faktor Psikososial
Pengaruh dari stress berkepanjangan serta berbagai macam kejadian dalam
kehidupan dapat mengacu kepada timbulnya gangguan depresi. Paparan secara
terus menerus terhadap kekerasan, pengabaian, kemiskinan serta masalah masalah
lain dapat menjadi faktor pencetus terjadinya depresi. Selain faktor yang berasal
dari lingkungan tersebut, personalitas seseorang juga dapat mempengaruhi
terjadinya depresi. Orang-orang dengan percaya diri yang rendah akan sangat
gampang kewalahan menghadapi stress, serta orang-orang yang pesimis akan
cenderung cepat mengalami depresi.
Pada saat pertama kalinya individu terpapar oleh stress internal, maka akan
terjadi perubahan neurotransmitter dan sistem pemberian sinyal intraneuron yang
bertahan lama di dalam biologi otak. Akibatnya individu akan rentan mengalami
episode gangguan mood, terutama gangguan depresif berikutnya, bahkan tanpa
stressor eksternal.
Menurut Freud dalam teori psikodinamika dikemukakan bahwa terdapat
pandangan klasik mengenai depresi, yaitu terdiri dari empat poin teori penting :
(1) gangguan hubungan ibu-bayi selama fase oral (10 sampai 18 bulan pertama
kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan selanjutnya terhadap stress, (2)
depresi terkait dengan kehilangan objek yang nyata atau khayalan, (3) kematian
seseorang sehingga individu berusaha untuk bertahan menghadapi penderitaan
4

akibat kehilangan seseorang, (4) kehilangan seseorang yang dicinta atau benci
kepada seseorang sehingga menimbulkan emosi yang dalam pada diri sendiri.
2. Faktor Genetik
Studi mengenai faktor genetik dalam gangguan afektif sudah banyak
dilakukan dan menunjukan hasil yang mengacu bahwa faktor genetik dapat
berpengaruh dalam ketahanan dan kemampuan seseorangan dalam menghadapi
stress. Pada individu yang memiliki riwayat keluarga mengalami depresi akan
memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih tinggi daripada populasi umum tanpa
riwayat keluarga dengan gangguan depresi.
Beberapa studi juga menyatakan bahwa gangguan afektif terkait pada
kromosom 4, 5, 12, 18, 21 serta kromosom X.
3. Faktor Biologis
Laporan dari banyak penelitian yang telah dilakukan menjelaskan bahwa
pasien-pasien dengan gangguan mood terutama gangguan depresif mengalami
abnormalitas biologis terkait neurotransmitter yang ditemukan dalam darah, urine,
dan cairan serebrospinal pasien dengan gangguan mood. Hal ini sejalan dengan
hipotesis yang menyatakan bahwa gangguan mood disebabkan oleh disregulasi
heterogen amin biogenik.1,2,4,6
1) Mekanisme Amin biogenik : Norepinephrin, Serotonin, Dopamin
Norepinefrin dan serotonin merupakan neurotransmitter yang paling
terkait dalam patofisiologi gangguan mood, terutama gangguan depresif.
1. Norepinefrin : Penurunan regulasi atau penurunan sensitivitas dari
reseptor 2 adrenergik dan penurunan respon terhadap antidepressan
berperan dalam terjadinya gangguan depresi.1,4,6
2. Serotonin : penurunan jumlah serotonin dapat mencetuskan terjadinya
gangguan depresif. Hasil pemeriksaan laboratorium pada beberapa
penelitian menunjukkan terjadinya penurunan jumlah serotonin pada
cairan serebrospinal pada pasien yang ingin melakukan percobaan bunuh
diri.1,4,6
3. Dopamin : Aktivitas dopamin akan berkurang pada keadaan depresi.
Keadaan ini dapat dijumpai pada pasien yang mengalami penyakit
Parkinson atau pasien yang mengonsumsi obat reserpine (Serpasil) yang

menunjukkan

menurunnya

konsentrasi

dopamine

dalam

cairan

serebrospinal. Sedangkan obat seperti tyrosin, amphetamine, dan


bupropion dapat menurunkan gejala depresi.1,4,6
2) Mekanisme Regulasi Neuroendokrin
Diperkirakan bahwa hormon mempunyai pengaruh penting dalam
terjadinya

gangguan

mood,

terutama

gangguan

depresif.

Sistem

neuroendokrin meregulasi hormon-hormon penting yang berperan dalam


gangguan mood yang mempengaruhi fungsi dasar, seperti : gangguan tidur,
makan, seksual dan fungsi lainnya.1,4,6
Terdapat tiga komponen penting yang saling bekerjasama dalam
pengaturan neuroendokrin dan terkoneksi dengan sistem limbik yakni
hipotalamus, hipofisis anterior, dan korteks adrenal.

1,4-6

Hipotalamus

merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin, menerima input neuron


yang mengandung neurotransmiter amin biogenik. Pada pasien dengan
gangguan depresif ditemukan adanya disregulasi neuroendokrin, hal ini terjadi
akibat kelainan fungsi neuron di dalam nucleus paraventrikular yang
mengandung neurotransmitter amin biogenik.1,4,6

Gambar 2.1 HPA-Axis Pathway pada depresi


Dalam keadaan depresi hipotalamus akan mengeluarkan neurotransmitter
yang mengganggu aksis neuroendokrin, yaitu pada kelenjar adrenal, tiroid dan

pengaturan hormon pertumbuhan bahkan hormon seksual. Keadaan yang


paling khas adalah terjadi peningkatan kadar Corticotropin Realising
Hormone (CRH) yang disekresikan oleh hipotalamus. Keadaan ini disebabkan
rusaknya mekanisme umpan balik kortisol pada sistem limbikatau adanya
kelainan pada sistem monoaminogenik dan neuromodulator yang mengatur
CRH. CRH akan menstimulus sekresi Adenocorticotropic Hormone (ACTH)
di hipofisis anterior, ACTH sendiri akan mempengaruhi pelepasan kortisol di
korteks adrenal. Kortisol yang berlebih akan mempengaruhi berbagai regulasi
tubuh, seperti terganggunya sistem respirasi, kardiovaskular, imunitas,
seksual, bahkan pertumbuhan. Hal ini yang mendasari alasan mengapa pada
pasien dengan gangguan depresif akan terjadi gejala-gejala klinis seperti nafas
cepat, takikardi, penurunan berat badan, mudah letih dan sakit, susah tidur dan
sebagainya. Di otak, peningkatan kadar kortisol akan mempengaruhi
peningkatan reuptake serotonin yang mengakibatkan kadar serotonin dalam
tubuh menurun, hal ini akan menginduksi terjadinya depresi.1,12
2.1.4 Diagnosa Gangguan Depresif
Untuk menegakkan diagnosa gangguan depresif di Indonesia dapat menggunakan
Pedoman Penggolongan dan Diagnosa Gangguan Jiwa di Indonesia, Edisi ketiga
(PPDGJ-III). Dapat pula merujuk pada panduan diagnosa menurut Diagnostic and
Statistical Manual of Mental Disorder, Forth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR),
atau ICD 10.
Pedoman diagnosa menurut PPDGJ-III :

I.

(F32) EPISODE DEPRESIF


Terdapat tiga variasi dari episode depresif yang khas, yaitu ringan (F32.0),
sedang (F32.1), dan berat (F32.2 dan F32.3). Individu yang mengalami
gangguan depresif umumnya memiliki gejala seperti dibawah ini :3,7
1) Gejala utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
a) Afek depresif
7

b) Kehilangan minat dan kegembiraan


c) Berkurang energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan aktivitas
menurun.
2) Gejala lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian kurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Gangguan tidur
g) Nafsu makan berkurang
3) Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut, diperlukan
masa sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan
tetapi periode lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa
beratnya dan berlangsung cepat.
4) Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1), dan
berat (F32.2) hanya digunakan untuk episode depresi tunggal (yang
pertama). Episode depresif berikutnya harus diklasifikasikan di bahwa
salah satu diagnosis gangguan depresif berulang (F33,-).
Individu yang mengalami gangguan depresif biasanya mengalami mood
yang menurun sedikit demi sedikit tiap harinya, dan seringkali tidak
terpengaruh oleh keadaan sekitarnya. Keadaan mood tersebut juga dapat
memperlihatkan variasi diurnal yang khas seiring berjalannya waktu. Gejalagejala gangguan depresif dapat berkembang dan membentuk gejala khas pada
tiap keparahan depresi. Gejala khas tersebut sering disebut dengan gejala
somatik. Gejala somatik terdiri dari :
1) Kehilangan minat atau kesenangan pada kegiatan yang biasanya dapat
dinikmati.
2) Tidak adanya reaksi emosional terhadap lingkungan atau peristiwa yang
biasanya menyenangkan.
3) Bangun pagi lebih awal 2 jam atau lebih daripada biasanya.
4) Depresi lebih parah pada pagi hari.

5) Adanya bukti objektif dari retardasi atau agitasi psikomotor yang nyata
(dijelaskan oleh orang lain).
6) Kehilangan nafsu makan secara mencolo.
7) Penurunan berat badan (sering ditentukan sebagai 5% atau lebih dari berat
badan bulan terakhir).
8) Kehilangan libido secara mencolok.7
Gejala somatik dapat ditegakkan bila ditemukan sekitar empat gejala
dari delapan gejala diatas.7 Episode depresif terbagi menjadi 3 tingkat
keparahan. Perbedaan antara episode depresif ringan, sedang, dan berat
terletak pada penilaian klinis kompleks yang meliputi jumlah, bentuk, dan
keparahan gejala yang ditemukan.7
1. (F32.0) Episode Depresif Ringan
1) Sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi
2)
3)
4)
5)

seperti tersebutdiatas
Ditambah sekurang-kurangnya dua dari gejala lainnya
Tidak boleh ada gejala yang berat
Lamanya seluruh episode berlangsung minimal dua minggu
Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan sosial yang

biasa dilakukannya
6) Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik.3,7
2. (F32.1) Episode Depresif Sedang
1) Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti
pada episode depresi ringan (F30.0)
2) Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya.
3) Lamanya seluruh episode berlangsung minimal sekitar 2 minggu.
4) Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan dan urusan rumah tangga.
5) Dapat dengan gejala somatik atau tanpa gejala somatik.3,7
3. (F32.2) Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik
1) Semua 3 gejala utama depresi harus ada.
2) Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa di
antaranya harus berintensitas berat.

3) Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor)


yang mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu
untuk melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode
depresif berat masih dapat dibenarkan.
4) Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2
minggu, akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat,
maka masih dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun
waktu kurang dari 2 minggu.
5) Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan
sosial , pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada pada taraf
yang sangat terbatas.3,7
4. (F32.3) Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
1) Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas;
2) Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibakan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang
mengancam, dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu.
Halusinasi auditorik atau olfatorik biasanya berupa suara yang
menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau daging membusuk.
Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi
atau tidak serasi dengan afek (mood-congruent).
5. (F32.8) Episode Depresif Lainnya
6. (F32.9) Episode Depresif YTT3,7
II.

(F33) GANGGUAN DEPRESIF BERULANG


Pedoman Diagnostik
1) Gangguan ini tersirat dengan episode berulang dari :
- Episode depresif ringan (F32.0)
- Episode depresif sedang (F32.1)
- Episode depresif berat (F32.2)

10

Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, akan tetapi


frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
2) Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2).
Namun kategori ini tetap harus digunakan jika ternyata ada episode singkat
dari peninggian afek dan hiperaktivitas ringan yang memenuhi kriteria
hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif (kadang-kadang
tampaknya dicetuskan oleh tindakan pengobatan depresi).
3) Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, namun sebagian
kecil pasien mungkin mendapat depresi yang akhirnya menetap, terutama
pada usia lanjut (untuk keadaan ini, kategori ini harus tetap digunakan).
4) Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali
dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental
lain (adanya stress tidak esensial untuk penegakkan diagnosis).3,7
III.

(F34.1) DISTIMIK
Menurut DSM-IV-TR, ciri gangguan distimik yang paling khas adalah
perasaan yang tidak adekuat, bersalah, iritabilitas, kemarahan, penarikan diri
dari masnyarakat, hilang minat dan inaktivitas serta tidak produktif. Istilah
distimia dikenalkan pada tahun 1980 yang berarti tidak menyenangkan (illhumored).1
Gangguan distimik dibedakan dengan gangguan depresif berat berdasarkan
fakta bahwa pasien mengeluh selalu merasa depresi, yang gangguan tersebut
terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja dan saat pasien mencapai usia 20an. Gejala depresi pada gangguan distimik juga bersifat subjektif daripada
objektif. Sehingga tidak ditemukan tanda khas berupa gangguan nafsu makan,
gangguan libido, dan agitasi atau retardasi psikomotor tidak terlihat pada
gangguan distimik. Gangguan distimik dapat menetap selama beberapa waktu
sampai setidaknya dua tahun. Untuk diagnosi gangguan distimik, seorang
pasien tidak pernah memiliki gejala dari gangguan depresif berat.1 Gangguan
distimik ada dengan awitan dini atau lambat.
11

- Awitan dini terjadi sebelum usia 21 tahun.


- Awitan lambat jika terjadi pada usia 21 tahun atau lebih.
Pedoman diagnostik :
1) Ciri esensial ialah afek depresif yang berlangsung sangat lama yang tidak
pernah atau jarang sekali cukup parah untuk memenuhi kriteria gangguan
depresif berulang ringan atau sedang (F33.0 atau F33.1).
2) Biasanya mulai pada usia dini dari masa dewasa dan berlangsung
sekurang-kurangnya beberapa tahun, kadang-kadang untuk jangka waktu
tidak terbatas.
Jika onsetnya pada usia lebih lanjut, gangguan ini seringkali merupakan
kelanjutan suatu episode depresif tersendiri (F32.) dan berhubungan dengan
masa berkabung atau stress lain yang tampak jelas.3,7
2.1.5 Terapi Gangguan Depresif
Pengobatan pasien dengan gangguan depresi dapat berupa medikamentosa
dan juga psikoterapi.
1. Terapi dengan medikamentosa
Obat-obatan antidepressant secara umum bekerja pada neurotransmiter otak,
terutama serotonin dan norepinephrine dan beberapa obat-obatan juga bekerja
pada dopamin. Beberapa golongan obat antidepressant antara lain; Trisiklik dan
Tetrasiklik, Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAO-I), dan Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI), serta beberapa obat golongan lain.
a. Golongan Trisiklik dan Tetrasiklik
Trisiklik dan Tetrasiklik merupakan golongan antidepressan yang
sudah ada sejak 40 tahun yang lalu. Efek dari pemberian obat golongan
trisiklik dan tetrasiklik adalah penghambatan ambilan kembali dari NE dan
juga Serotonin serta menghambat reseptor asitilkolin muskarinik dan
histamin. Saat ini penggunaan obat golongan ini sudah banyak dikurangi oleh
karena efek sampingnya yang dapat mempengaruhi fungsi jantung, selain itu
efek samping lain dari obat ini adalah pusing, rasa lemas, mulut kering dan
juga peningkatan berat badan.

12

Tabel 2.1 Contoh obat golongan Trisiklik dan Tetrasiklik

b. Golongan Mono Amine Oxidase Inhibitor (MAOI)


MAOI adalah golongan obat antidepressant yang paling tua. Obat
golongan ini dapat sangat efektif pada kasus-kasus depresi atipikal, seperti
pada saat seseorang merasakan peningkatan nafsu makan dan membutuhkan
lebih banyak tidur daripada penurunan nafsu makan dan tidur. Obat golongan
ini juga dapat mengatasi perasaan cemas atau panik serta gelaja spesifik lain
Pasien yang menggunakan golongan MAOI harus menghindari
beberapa makanan dan minuman (keju dan wine) yang mengandung zat
tyramine. Obat-obatan lain seperti pil KB, dan penghilang rasa nyeri serta
obat-obatan alergi harus dihindari karena interaksi obat tersebut dengan
MAOI dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah yang berbahaya.

13

Penggunaan MAOI bersamaan SSRI dapat menyebabkan kondisi


serius seperti "Serotonin Syndrome" yang dapat menyebabkan halusinasi,
bingung, peningkatan keringat, kaku otot, kejang, perubahan tekanan darah
serta irama jantung. Oleh karena itu obat golongan MAOI tidak boleh
digunakan bersamaan dengan obat golongan SSRI.
Beberapa jenis obat golongan MAOI

adalah

Isocarboxazid,

Phenelzine, Tranylccypromine dan Selegine.6


c. Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor (SSRI)
Golongan Selective Serotonin Reuptake Inhibitor memiliki aktivitas
spesifik dalam hal inhibisi ambilan kembali serotonin tampa efek pada
ambilan kembali norepinefrin dan dopamine. SSRI juga tidak memiliki sama
sekali aktivitas agonis dan antagonis pada tiap reseptor neurotransmitter.6

Tabel 2.2 Dosis Obat Selective Serotonin Reuptake Inhibitor pada Orang Dewasa

Meskipun umumnya SSRI dapat ditoleransi dengan baik, SSRI dapat


menyebabkam rasa cemas, gangguan tidur dan gangguan pencernaan. SSRI
bisa dikelola dengan menurunkan dosis atau memperlambat peningkatan dosis
sementara mengobati gejala sasaran (misalnya ondansetron untuk mual,
lorazepam untuk insomnia.6,8,9

14

d. Obat-obatan antidepressan lainnya


Venlafaxine (Golongan SNRI)
Bupropion (Golongan NDRI)
Mirtazapine
Trazodone

Jika obat yang diberikan kepada pasien tidak berespon setelah pemakaian
2 minggu atau 3 minggu maka periksa apakah obat memang benar dikonsumsi
secara teratur atau ada disposisi farmakokinetik Jika obat antidepresan
pertama telah digunakan secara adekuat dan konsentrasi plasma yang adekuat
telah dicapai tetapi tidak memberikan respon yang maksimal maka dapat
dilakukan dua pilihan, yaitu memperkuat obat dengan lithium, liothyronine
atau L-tryptophan atau mengganti agen primer alternatif . Jika pengobatan 2
atau 3 minggu pertama memiliki respon maka dokter wajib meyakinkan
pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan minimal 6 bulan. Sarankan
pasien depresi untuk melanjutkan pengobatan paling sedikit 2 tahun untuk
pasien yang berisiko relapse. Pasien yang berisiko relapse, yaitu pasien yang
memiliki riwayat depresi lebih atau sama dengan 2 episode, pasien yang
memiliki gangguan fungsional yang berat, pasien yang memiliki riwayat
pengobatan yang lama. Terapi alternatif terhadap terapi obat, yaitu
elektrokonvulsif dan fototerapi. Terapi elektrokonvulsif biasanya digunakan
jika pasien tidak respon terhadap farmakoterapi, pasien tidak menoleransi
farmakoterapi, situasi klinis sangat parah sehingga diperlukan perbaikan cepat
yang terlihat pada elektrokonvulsif. Fototerapi adalah suatu pengobatan baru
yang telah digunakan pada pasien yang menderita gangguan mood dengan
pola musiman.6,8,9
2. Terapi Psikososial

15

Terapi farmakologis akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan terapi


psikososial. Tiga jenis terapi psikososial antara lain, terapi jangka panjang (terapi
kognitif), terapi interpersonal dan terapi perilaku.
a. Terapi kognitif
Tujuan terapi kognitif adalah meringankan episode depresif dan
mencegah kekambuhan dengan membantu pasien mengidentifikasi dan
menguji kognisi negatif, mengembangkan cara berpikir alternatif, fleksibel,
dan positif, serta melatih respon perilaku dan kognitif baru.
b. Terapi interpersonal
Terapi ini memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal
pasien saat ini. Program terapi interpersonal biasanya terdiri dari 12 sampai
16 sesi dan ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif.
c. Terapi perilaku
Terapi perilaku didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku
maladaptif mengakibatkan seseorang menerima sedikit umpan balik positif
dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat. Dengan memusatkan
perhatian pada perilaku maladaptif di dalam terapi, pasien diarahkan untuk
dapat berfungsi dalam peran sosial sehingga pasien memperoleh dukungan
positif.1

16

Gambar 2.2 Alur tatalaksana terapi pasien depresi

17

2.2 Nyeri
2.2.1 Pengertian Nyeri
Menurut International Association for the Study of Pain (IASP), Nyeri
merupakan "Pengalaman yang tidak nyamanan baik berupa sensoris dan emosional
yang berhubungan dengan kerusakan atau kemungkinan kerusakan jaringan atau
mengindikasikan adanya kemungkinan tersebut". Seperti yang telah didefinisikan
tersebut persepsi nyeri dapat bersifat subjektif dan bervariasi antara banyak orang
karena melibatkan emosional dalam proses perjalanan nyeri.10, 11
Mekanisme sistem saraf untuk mendeteksi stimulus yang memiliki potensi
merusak jaringan sangat penting untuk memicu proses perilaku yang melindungi diri
dari terjadinya kerusakan atau mencegah kerusakan tersebut mengalami kerusakan
lebih lanjut.
2.2.2 Mekanisme Nyeri
Nyeri berdasarkan mekanismenya melibatkan persepsi dan respon terhadap
nyeri tersebut. Mekanisme timbulnya nyeri melibatkan empat proses, yaitu:
tranduksi/ transduction, transmisi/transmission, modulasi/modulation, dan persepsi/
perception.

18

Gambar 2.3 Mekanisme Nyeri


a. Transduksi adalah adalah proses dari stimulasi nyeri dikonfersi kebentuk yang
dapat diakses oleh otak. Proses transduksi dimulai ketika nociceptor yaitu
reseptor yang berfungsi untuk menerima rangsang nyeri teraktivasi. Aktivasi
reseptor ini (nociceptors) merupakan sebagai bentuk respon terhadap stimulus
yang datang seperti kerusakan jaringan.
b. Transmisi adalah serangkaian kejadian-kejadian neural yang membawa impuls
listrik melalui sistem saraf ke area otak. Proses transmisi melibatkan saraf aferen
yang terbentuk dari serat saraf berdiameter kecil ke sedang serta yang
berdiameter besar. Saraf aferen akan ber-axon pada dorsal horn di spinalis.
Selanjutnya transmisi ini dilanjutkan melalui sistem contralateral spinalthalamic
melalui ventral lateral dari thalamus menuju cortex serebral.
c. Proses modulasi mengacu kepada aktivitas neural dalam upaya mengontrol jalur
transmisi nociceptor tersebut. Proses modulasi melibatkan system neural yang

19

komplek. Ketika impuls nyeri sampai di pusat saraf, transmisi impuls nyeri ini
akan dikontrol oleh system saraf pusat dan mentransmisikan impuls nyeri ini
kebagian lain dari system saraf seperti bagian cortex. Selanjutnya impuls nyeri
ini akan ditransmisikan melalui saraf descenden ke tulang belakang untuk
memodulasi efektor.
d. Persepsi adalah proses yang subjektif. Proses persepsi ini tidak hanya berkaitan
dengan proses fisiologis atau proses anatomis saja, akan tetapi juga meliputi
cognition (pengenalan) dan memory (mengingat). Oleh karena itu, faktor
psikologis, emosional, dan berhavioral (perilaku) juga muncul sebagai respon
dalam mempersepsikan pengalaman nyeri tersebut. Proses persepsi ini jugalah
yang

menjadikan

nyeri

tersebut

suatu

fenomena

yang

melibatkan

multidimensional.
2.2.3 Sifat-Sifat Serabut Saraf Tepi
Serabut saraf tepi dapat dibagi menjadi serabut A, A, dan

C. Studi

elektrofisiologis dan analisis molekuler dari axon saraf tepi dan badan sel di dorsal
root ganglion (DRG) menunjukan beberapa sifat-sifat yang berbeda untuk tiap kelas
serabut saraf tersebut. 10,11
Serabut A (A-Beta) : Memiliki kecepatan konduktifitas elektris dari axon yang
termielinisasi. Dapat bersifat cepat ataupun lambat. Stimulasi Serabut A pada
saraf tulang belakang akan dipersepsikan sebagai nyeri yang berakibat
hipersensitivitas pada stimulasi mekanis (allodynia taktil). Serabut A

melepaskan glutamat di sinapse.


Serabut A (A-Delta) : Memiliki kecepatan konduktivitas elektris rata-rata dari
akson yang termielinisasi. Serabut A meneruskan informasi yang berasal dari

nosiseptor mekanis dan thermal.


Serabut C : Memiliki kecepatan konduktivitas elektris yang lambat, axon tidak
termielinisasi dan tipis. Serabut C menyampaikan informasi yang berasal dari
polymodal nociceptor yang mana sangat sensitif terhadap stimulasi mekanis,
thermal dan kimiawi yang memiliki intensitas tinggi.

20

Tabel 2.3 Sifat-sifat berbagai serabut saraf di sistem saraf tepi

2.2.4 Jaras Utama Nyeri


Jaras spinothalamus dan trigeminal adalah rute utama saraf untuk transmisi
nyeri dan informasi temperatur normal dari tubuh dan wajah menuju otak. Organ
visceral hanya memiliki serabut saraf nosiseptor tipe C dan oleh karenanya tidak
memiliki reaksi refleks terhadap nyeri organ visceral.

21

A. Jaras Spinothalamus
Serabut saraf dari dorsal root ganglia (DRG) masuk ke saraf tulang punggu
melalui dorsal root dan mengirimkan bagian cabang 1-2 keatas dan kebawah
Medula Spinalis sebelum memasuki gray matter di tulang punggung dimana akan
membuat kontak (Innervasi) dengan sel saraf di Raxed Lamina I (zona marginal)
dan Lamina II (substansia gelatinosa). Serabut A banyak menginervasi sel-se di
substansia gelatinosa dari Medula Spinalis. Sel saraf ini secara bergantian
menginervasi sel-sel di nucleus propius (Lapisan Raxed IV, V dan VI) yang
mengirimkan serabut saraf keseluruh bagian tengah tulang punggung dan naik
melalui medula dan pons dan menginervasi sel-sel yang berlokasi di area spesifik
thalamus. Hal ini merupakan sistem transmisi spinothalamus merupakan
penyampaian informasi yang berupa stumulus nyeri dan suhu normal (<45 oC).
Disfungsi di jaras thalamus dapan menjadi sumber nyeri pada area yang
mengalami paralisis.10-11
B. Jaras Trigeminal
Stimulus nyeri dari area wajah akan ditransmisikan pada serabut saraf yang
berasal dari sel saraf di ganglion terminal dan juga nukleus kranial VII, IX, dan
X. Serabut saraf masuk kedalam batang otak dan turun menuju medulla dimana
mereka menginervasi sub-bagian kompleks nukleus trigemial. Dari sana serabut
saraf dari sel-sel ini akan menyebrangi neural midline dan naik menuju inervasi
saraf thalamus di bagian kontralateralnya.
Area thalamus yang menerima informasi nyeri dari Medula Spinalis dan
nukleus trigeminal juga merupakan area yang menerima informasi mengenai
stimulus sensoris normal seperti tekanan. Dari area ini, serabut saraf dikirimkan
ke lapisan permukaan dari otak (bagian korteks yang menangani informasi
sensoris). Oleh karena itu, dengan memiliki kedua informasi, nosiseptor dan
informasi sensoris normal, dialirkan pada daerah yang sama, informasi mengenai

22

lokasi dan intensitas nyeri dapat diproses menjadi "perasaan nyeri yang
terlokalisasi".10-11
2.2.5 Neurotransmiter Nyeri
Pada nosiseptor, neurotransmiter aferen yang paling sering digunakan adalah
glutamat sebagai neurotransmiter eksitasi cepat dimana akan memproduksi
Excitatory Post-Synaptic Potentials (EPSPs) onset cepat. Selain glutamat pada
serabut saraf kecil digunakan calcitonin gene-related peptide (CGRP) dan substansia
P yang akan melepaskan stimulus frekuensi tinggi. Neurotransmitter ini akan memicu
durasi EPSPs yang lebih lama pada neuron projeksi dan juga mempengaruhi aferen
terminal utama di saraf tulang belakang.
Di bagian medula spinalis neurotransmiter yang sering digunakan adalah
glutamat yang merupakan lanjutan saraf aferen dan eksitasi interneurons, GABA dan
glycine yang berfungsi sebagai interneuron inhibitor dibantu dengan noradrenaline
dan serotonin untuk mengatur kadar eksitasi oleh nosiseptor.
2.3 Hubungan Depresi dengan Nyeri
Nyeri sering sekali dialami oleh pasien depresi dan pada pasien depresi sering
sekali manifestasi klinisnya berupa nyeri. Berdasarkan HMO (Health Maintanance
Organization) 2003, pasien dental clinic dengan nyeri facial 100% mengalami depresi
atipikal, pasien orthopedic dengan nyeri axial dan low back pain sekitar 22-89% juga
mengalami depresi, serta pasien psychiatri dengan nyeri kronik juga mengalami
depresi sekitar 64%.
Berdasarkan review literatur yang dilakuakn Matthew et.al ditemukan 51-69%
pasien depresi mengeluhkan nyeri pada beberapa bagian (multiple pain sites), 7785% mengeluhkan nyeri kepala, 37% mengeluhkan nyeri dada. Penelitian yang
dilakukan oleh Watts pada pasien psychiatric ditemukan 100% pasien depresi
mengeluhkan nyeri pada beberapa bagian.

23

Hasil studi studi epidemiologi pada komorbiditas nyeri dan depresi pada
pelayanan

kesehatan

tingkat dasar menunjukan nyeri sangat terkait dengan

kecemasan dan gangguan depresi. Gejala psikologis yang muncul pada pasien nyeri
adalah energi yang rendah, gangguan tidur, cemas berlebihan disertai keluhan lain
seperi rasa bersalah, disfungsi tubuh, dan lain-lain. Data diatas menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang sangat erat antara kejadian depresi dengan munculnya nyeri
maupun kejadian nyeri yang menyebabkan depresi. Pada penderita depresi dijumpai
adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di otaknya. Serotonin(5-HT) dan
norepinefrin(NE) adalah neurotransmitter yang berperan dalam proses nyeri maupun
depresi, yang mengurus mood dan depresi terletak di korteks prefrontal dan sistem
limbik, sedangkan yang mengurus pain modulating circuit terletak di amygdala,
periaquaductal gray (PAG), dorsolateral pontine tegmentum (DLPT), dan
rostroventral medulla(RVM).
Modulasi efek serotonin di otak menunjukkan efek impulsif, modulasi sexual
behaviour; appetite dan agresi. Sedang NE sistem menunjukkan modulasi waspada,
sosialisasi, energi, dan motivasi. Kalau keduanya bersamaan maka ia akan
memodulasi ansietas, iritabilitas, nyeri, mood, emosi dan fungsi kognitif. Pada
penderita depresi dijumpai adanya defisit kadar serotonin dan noradrenalin di
otaknya. 5HT adalah suatu neurotransmitter penting yang berperan dalam modulasi
nyeri secara kompleks. Yaitu sebagai antinociceptive pathway ascending maupun
descending dari brain stem ke spinal cord. Efek antinoseptif dari 5 HT dimediasi oleh
beberapa macam subtipe reseptor 5 HT J, 5-HT 2, 5-HT 3 yang diikuti oleh dengan
peninggian sensitifitas nyeri. Neurotransmitter maupun neurokimiawi lain yang
berperanan pada proses nyeri kepala maupun migren adalah jenis katekolamin seperti
misalnya noradrenalin /norepinefrin & dopamin yang terutama banyak dijumpai di
locus ceruleous. Yang berperanan sebagai media proses vasokonstriksi maupun
vasodilatasi dan pelepasan asam lemak bebas yang berguna sebagai signal kepada
platelet untuk melepaskan serotonin.
24

Norepinefrine dan serotonin berperan sangat penting dalam fungsi endogen


pain-supressing descending projection. Stress yang kronik memproduksi peninggian
aktivitas tyrosine hydroxylase, yaitu suatu enzym yang terlibat dalam biosintesa NE
di LC yang selanjutnya menurunkan transmisi serotonin. Pada suatu penelitian
terhadap pasien depresi ternyata didapati pengurangan kadar NE dan metabolitnya,
dan homovanilic acid(metabolit dari dopamin) di darah venoarteriai. Komponen
Dorsal Raphe Nucleus (DRN) didalam PAG mengirim pancaran serotonergik ke
korteks serebri dan pembuluh darah, yang dapat melancarkan neuron excitability dan
vasomotor kontrol. Aktivitas metabolik yang abnormal dari PAG dapat menyebabkan
area ini menjadi lebih peka dan mudah rusak terhadap modulasi reseptor sesudah
penggunaan obat-obatan analgetikum yang terlampau sering .15 Penggunaan
analgesik seperti acetaminophen, memacu pelepasan 5HT dari raphe spinal pathway
yang melakukan upregulation dari 5HT2A receptor. 5HT2A reseptor sebagai mediator
bagi neuronal excitability dan memperkuat transmisi nosiseptif. Lebih banyak 5HT
2A reseptor maka otak lebih excitable, dan jatuh dalam keadaan hiperalgesi, nilai
ambang nyeri turun, dan frekuensi maupun derajat keparahan nyeri akan bertambah.

25

Norephinephrin dan locus ceruleus memberi input penting pada kontrol


sistem saraf pusat, misalnya fungsi kognisi, mood, emosi, gerakan dan tekanan darah.
Markas besar badan sel neuron serotonergik berada di batang otak pada area yang
dinamakan rafe nukleus. Dari rafe nukleus banyak terdapat proyeksi neuron ke bagian
lain otak dan diluar otak. Proyeksi ke korteks frontalis diduga penting dalam
pengaturan mood. Proyeksi ke bagsal ganglion berperan dalam gerakan obsesif
kompulsif. Proyeksi ke area limbil berperan dalam kadaan cemas dan panik. Proyeksi
ke hipothalamus berperan dalam mengatur selera makan serta perilaku makan.
Neuron serotonergik di pusat tidur batang otak mengatur pola tidur. Proyeksi
serotonergik ke bawah ke medulla spinalis diduga bertanggung jawab terhadap
refleks spinalis.
Oleh karena itu pasien dengan nyeri kronis dapat diobati menggunakan obatobatan antidepresan baik golongan SNRI, SSRI, Trisiklik ataupun obat-obatan yang
dapat mempengaruhi hormon serotonin dan norefinefrin

26

BAB III
KESIMPULAN
Depresi adalah sebuah gangguan berupa rasa sedih yang psikopatologis yang
persisten dan berlangsung lama. Depresi dapat mengakibatkan turunnya kadar
serotonin dan norefinefrine dalam tubuh yang pada mekanisme nyeri merupakan
neurotransmitter yang bersifat inhibitor terhadap rangsangan nyeri. Kurangnya
Serotonin dan Norefinefrin tersebut dapat berakibat menurunnya inhibisi terhadap
stimulus nosiseptor dan menurunkan ambang nyeri oleh pasien yang mengalami
gangguan depresi.

27

You might also like