You are on page 1of 29

REFERAT

KERATITIS HERPETIKA

Pembimbing:
dr. Agah Gadjali, SpM
dr. Gartati Ismail, SpM
dr. Henry A. W, SpM
dr. Hermansyah, SpM
dr. Mustafa K. Shahab, SpM

Disusun oleh:
Erdika Satria

1102009098

Fahada Indi

1102007106

Fatia Nurfatiatin

1102008103

Laras Wiyardhani

1102010148

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


RS BHAYANGKARA TK. I R. SAID SUKANTO
PERIODE 16 NOVEMBER 20 DESEMBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas selesainya referat
yang berjudul Keratitis Herpetika. Kepada dr. Agah Gadjali, Sp.M, dr. Gartati
Ismail, Sp.M, dr. Henry A.W, Sp.M, dr. Hermansyah, Sp.M, dr. Mustafa. K.
Shahab, Sp.M selaku dosen pembimbing, kami juga ucapkan terima kasih banyak
atas bimbingannya selama kepaniteraan kami di Bagian Ilmu Penyakit Mata R.S
Bhayangkara Tingkat I Raden Said Sukanto.
Dalam referat ini kami akan mencoba membahas mengenai keratitis
herpetika. Semoga pembahasan kami ini dapat membantu membuka wawasan dan
pengetahuan bagi mahasiswa klinik ataupun dokter umum mengenai keratitis
herpetika.

Penulis,

Jakarta, Desember 2015

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN...................................................................................................1
BAB II
I.

ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA....................................................3

II. HERPES VIRUS...........................................................................................6


III. KERATITIS HERPETIKA............................................................................7
BAB III
KESIMPULAN......................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................27

BAB I
PENDAHULUAN
Keratitis adalah suatu peradangan kornea yang disebabkan oleh bakteri, virus, dan
jamur..2. Salah satu contoh dari keratitis adalah Keratitis Herpetika. Kondisi ini seringkali
ditandai dengan rasa yang sangat nyeri dan kemudian dapat berkembang menjadi fotofobia
atau rasa silau bila terkena cahaya.1 Biasanya diklasifikasikan menurut lapisan kornea yang
terkena yaitu keratitis superfisialis apabila mengenal lapisan epitel atau bowman dan keratitis
profunda atau interstisialis (atau disebut juga keratitis parenkimatosa) yang mengenai lapisan
stroma.4 Dalam Referat ini akan kami bahas tentang salah satu pembagian dari keratitis, yaitu
Keratitis Herpetika.
Keratitis herpetika adalah keratitis yang disebabkan oleh virus dari herpes simpleks
dan herpes zooster.2
Keratitis Herpes Simpleks adalah infeksi pada kornea yang disebabkan oleh Virus
Herpes Simpleks. Herpes Simpleks Virus (HSV) merupakan virus DNA rantai ganda yang
termasuk ke dalam famili herpesviridae. Mengandung 3 komponen pembentuk utama.
Bagian inti yang mengandung DNA virus, membran sel dan casid. Tegument terletak di antara
kapsid dan selubung serta berbagai protein yang dikirim ke dalam sel yang terinfeksi selama
fusi. 6 Virus ini menempati manusia sebagai host, dan merupakan parasit intraselular obligat,
yang ditandai dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun.
Pada mata, Virus Herpes Simpleks dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis Herpes Simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan jaringan
mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus. Keratitis herpes simplek
dapat terjadi sepanjang tahun, kasus pada laki laki kurang lebih dua kali perempuan, masa
inkubasi 2 hari hingga 2 minggu.3,4 Keratitis Herpes Simpleks dibagi menjadi menjadi 2 tipe :
Infeksi primer dan Infeksi kambuhan (rekuren).
Sedangkan untuk Keratitis Herpes Zooster adalah peradangan
disebabkan karena infeksi virus varisela-zooster (VZV).

pada kornea yang

Herpes zooster memiliki insiden

paling tinggi dari seluruh penyakit neurologi. Sekitar 95% orang dewasa di Amerika Serikat
memiliki antibodi terhadap VZV dan rentan terhadap munculnya reaktivasi. Seseorang
dengan usia berapapun dapat menderita zoster, namun insidensnya meningkat seiring dengan
usia akibat menurunnya kekebalan. Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada
herpes zoster oftalmik sering terjadi manifestasi pada mata. Pada varicella (cacar air), lesi
1

mata umumnya berupa lesi cacar di palpebra dan tepian palpebra. Adapun gejala pada herpes
zoster oftalmika antara lain adalah 3:
nyeri lateral sampai mengenai mata, demam, malaise, sakit kepala, dermatitis, lakrimasi,
penurunan visus, mata merah unilateral.
Pada penatalaksanaan bertujuan untuk menghentikan replikasi virus didalam kornea,
sambil memperkecil efek merusak akibat respon radang. Penemuan obat-obat anti viral terus
berkembang dengan ditemukannya asiklovir, gansikiovir, dan penggunaan interferon tetes
mata. 3
Tujuan referat ini adalah untuk mengetahui bagaimana diagnosis keratitis herpetika
yang disertai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi, klasifikasi, komplikasi serta
prognosis dari keratitis. Dan sebagai syarat untuk mengikuti kepaniteraan klinik ilmu
penyakit mata di RS Bhayangkara TK I R Said Sukanto.

BAB II

I.

ANATOMI DAN FISIOLOGI KORNEA


Kornea (Latin Cornum = seperti tanduk) adalah selaput bening mata, bagian selaput

mata yang tembus cahaya, merupakan lapis jaringan yang menutup bola mata sebelah depan
dan terdiri atas lapis 2:
1. Epitel
Tebalnya 50 m, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang saling tumpang

tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke depan
menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel gepeng, sel basal
berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel poligonal di depanya melalui
desmosom dan makula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit,

dan glukosa yang merupakan barrier.


epitel berasal dari ektoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membran basal epitel kornea yang merupakan kolagen yang
tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan susunan kolagen yang sejajar satu dengan
lainnya, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang di bagian perifer
serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen memakan waktu
yang lama yang kadang-kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma
kornea yang merupakan fibroblas terletak di antara seratkolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma.

Gambar 2.1. Anatomi Kornea


4. Membrane descement
Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma kornea

dihasilkan selendotel dan merupakan membran basalnya.


Bersifat sangat elastik dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai tebal

40m.
5. Endotel
Berasal dari mesotellium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40m.
endotel melekat pada membrane descement melalui hemidesmosom dan zonula
okluden.
Kornea dipersarafi oleh banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar, saraf ke V saraf siliar longus berjalan suprakorois, masuk ke dalam stroma
kornea, menembus membran Bowman melepaskan selubung Schwannya. Seluruh lapis epitel
dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan tanpa ada akhir saraf. Bulbus Krause untuk
sensasi dingin ditemukan di daerah limbus. Daya regenerasi saraf setelah dipotong didaerah
limbus terjadi dalam waktu 3 bulan.2
Trauma atau penyakit yang merusak endotel akan mengakibatkan system pompa
endotel terganggu sehingga dekompensasi endotel dan terjadi edema kornea. Endotel tidak
mempunyai daya regenerasi Kornea merupakan bagian selaput mata yang tembus cahaya,
bersifat transparan, berukuran 11-12 mm horizontal dan 10-11 mm vertikal, tebal 0,6-1 mm.
Indeks bias kornea 1,375 dengan kekuatan pembiasan 80%. Sifat kornea yang dapat ditembus
4

cahaya ini disebabkan oleh struktur kornea yang uniform, avaskuler dan diturgesens atau
keadaan dehidrasi relatif jaringan kornea yang dipertahankan oleh pompa bikarbonat aktif
pada endotel dan oleh fungsi sawar epitel dan endotel.. Pembiasaan sinar terkuat dilakukan
oleh kornea, dimana 40 dioptri pembisan sinar masuk kornea dilakukan oleh kornea.2
Batas antara sclera dan kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa
cembung dengan kekuatan refraksi sebesar + 43 dioptri. Jika kornea oedem karena suatu
sebab, maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang dapat menguraikan sinar sehingga
penderita akan melihat halo atau gambaran seperti melihat pelangi. 1
Kornea bersifat avaskuler, maka sumber-sumber nutrisi kornea berasal dari pembuluhpembuluh darah limbus, humor aquaeus dan air mata. Kornea superfisial juga mendapatkan
oksigen sebagian besar dari atmosfer. Kornea dipersarafi oleh banyak serat saraf sensorik
yang didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus kranialis V yang berjalan
supra koroid, masuk kedalam stroma kornea, menembus membran bowman dan melepaskan
selubung schwannya. Bulbus Krause untuk sensasi dingin ditemukan didaerah limbus. Daya
regenerasi saraf sesudah dipotong didaerah limbus terjadi dalam waktu 3 bulan. 1
Karena kornea memiliki banyak saraf nyeri, kebanyakan lesi kornea, baik superfisial
maupun profunda, menimbulkan rasa nyeri dan fotofobia. Rasa nyeri ini diperberat oleh
gerak palpebra (terutama palpebra superior) diatas kornea dan biasanya menetap sampai
sembuh. Karena kornea berfungsi sebagai jendela bagi mata dan membiaskan berkas cahaya,
lesi kornea umumnya mengaburkan penglihatan, terutama bila letaknya di pusat. Fotofobia
pada penyakit kornea merupakan akibat kontraksi iris meradang yang nyeri. Dilatasi
pembuluh darah iris adalah fenomena refleks yang timbul akibat iritasi pada ujung saraf
kornea. Fotofobia, yang berat kebanyakan pada penyakit kornea, hanya minimal pada
keratitis herpetika karena terjadi hipestesia pada penyakit ini, yang merupakan suatu tanda
diagnostik penting. 1

II.

HERPES VIRUS
Herpes Virus atau disebut juga family Herpesviridae merupakan virus DNA

intranukleus besar yang mempunyai kecendrungan kuat untuk menimbulkan infeksi laten
(apabila sudah pernah terinfeksi,maka virus ini akan menetap pada tubuh pasien dan akan
kembali menyerang dalam kondisi imun menurun) dan rekuren.

STRUKTUR DAN KOMPOSISI


o
o
o
o
o
o

Ciri : Inti, Kapsul, Tegument & Envelope


Virion : bulat, diameter 120-200 nm.
Genom: DNA untai ganda, linear
Protein : > 35 protein dlm virion
Selubung : mengandung glikoprotein, reseptor Fc
Replikasi di nukleus, bertunas dari membran nukleus

Gambar 2.2. Herpes Virus

Herpes sendiri terbagi menjadi dua,yaitu: Herpes zoster disebabkan oleh virus Varicella
zoster, dan Herpes simpleks yang disebabkan oleh herpes virus hominis (HVH). Ada dua
macam HVH, yaitu HVH tipe 1 menyebabkan herpes labialis dan keratitis, sedangkan HVH
tipe 2 menyebabkan penyakit kelamin yang disebut herpes genitalis. Herpes keratitis, infeksi
virus mengenai kornea mata yang dapat menimbulkan luka. Sementara herpes genitalis yang
ditularkan melalui hubungan seksual.
III.

KERATITIS HERPETIKA

Keratitis herpetika adalah keratitis yang disebabkan oleh virus dari herpes simpleks dan
herpes zooster.2
A. Keratitis Herpes Simplex
Bentuk Klinis
Keratitis herpes simpleks merupakan salah satu infeksi kornea yang paling
sering ditemukan dalam praktek. Disebabkan oleh virus herpes simpleks, ditandai
dengan adanya infiltrasi sel radang & edema pada lapisan kornea manapun. Pada
mata, virus herpes simplek dapat diisolasi dari kerokan epitel kornea penderita
keratitis herpes simpleks. Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan cairan dan
jaringan mata, rongga hidung, mulut, alat kelamin yang mengandung virus.
Keratitis herpes simplek dibagi dalam 2 bentuk yaitu epitelial dan stromal
Kerusakan terjadi pada pembiakan virus intraepitelial, mengakibatkan kerusakan sel
epitelial dan membentuk tukak kornea superfisial. Pada yang stromal terjadi reaksi
imunologik tubuh terhadap virus yang menyerang yaitu reaksi antigen antibodi yang
menarik sel radang kedalam stroma. Sel radang ini mengeluarkan bahan proteolitik
untuk merusak virus tetapi juga akan merusak jaringan stroma disekitarnya. Hal ini
penting diketahui karena manajemen pengobatan pada yang epitelial ditujukan
terhadap virusnya sedang pada yang stromal ditujukan untuk menyerang virus dan
reaksi radangnya. Perjalanan klinik keratitis dapat berlangsung lama kaena stroma
kornea kurang vaskuler, sehingga menghambat migrasi limfosit dan makrofag ke
tempat lesi. Infeksi okuler HSV pada hospes imunokompeten biasanya sembuh
sendiri, namun pada hospes yang secara imunologik tidak kompeten, perjalanannya
mungkin menahun dan dapat merusak.
Patofisiologi
Infeksi virus herpes simpleks dibedakan atas infeksi primer dan infeksi
kekambuhan. Infeksi primer dapat terjadi tanpa atau dengan gejala klinik yang ringan.
Dapat pula berupa erupsi kulit atau anogenital, kelainan di kedua mata. Kelainan
primer di mata berupa vesikel di margo palpebra, konjungtivitis folikularis, keratitis
pungtata superfisial yang dapat berkembang menjadi dendritikus. Studi serologik
menunjukkan hampir semua orang dewasa pernah terpajan virus ini. Sesudah infeksi
primer, virus ini menetap secara laten di ganglion trigeminum. Infeksi ini dapat
kambuh bila terdapat trigger mechanisms seperti demam, haid, sinar ultraviolet, sinar
matahari, stress physics. Makin banyak bukti menunjukkan bahwa beratnya penyakit
ditentukan (setidaknya sebagian) oleh jenis virusnya. Kebanyakan infeksi HSV pada

kornea disebabkan oleh HSV tipe 1 (penyebab herpes labialis). Namun, lesi kornea
yang ditimbulkan oleh jenis HSV 1 dan HSV 2 tidak dapat dibedakan.
Adanya antibodi dalam badan yang terbentuk saat infeksi primer tidak
mencegah kekambuhan, tapi dapat mengubah manifestasi di kulit dan konjungtiva,
tetapi tidak yang di kornea. Kalau pada serangan pertama mengenai konjungtiva dan
kornea, maka serangan kekambuhan konjungtiva tak diserang lagi.
Gejala Klinis
Kelainan mata akibat infeksi herpes simpleks dapat bersifat primer dan
kekambuhan. lnfeksi primer ditandai oleh adanya demam, malaise, limfadenopati
preaurikuler, konjungtivitis folikuralis, blefaritis, dan 2/3 kasus terjadi keratitis
epitelial. Umumnya terjadi unilateral, walaupun lesi bilateral dapat terjadi pada 4-6%
kasus dan paling sering pada pasien-pasien atopik. Infeksi primer dapat terjadi pada
setiap umur, tetapi biasanya antara umur 6 bulan 6 tahun atau 16 25 tahun.
Keratitis herpes simpleks didominir oleh kelompok laki-laki pada umur 40 tahun ke
atas. Gejala-gejala subyektif keratitis epitelial meliputi : epifora, fotofobia, injeksi
perikornea, dan penglihatan kabur. Berat ringannya gejala-gejala iritasi tidak
sebanding dengan luasnya lesi epitel, berhubung adanya hipestesi atau insensibilitas
kornea. Dalam hal ini harus diwaspadai terhadap keratitis lain yang juga disertai
hipestesi kornea, misalnya pada: herpes zoster oftalmikus, keratitis akibat pemaparan
dan mata kering, pengguna lensa kontak, keratopati bulosa, dan keratitis kronik.
Infeksi Herpes Simpleks laten terjadi setelah 2-3 minggu pasca infeksi primer.
Keratitis herpes simpleks kambuhan atau lazim disebut keratitis herpes simpleks
relaps dibedakan atas bentuk superfisial, profunda, dan bersamaan dengan uveitis atau
kerato-uveitis. Keratitis superfisial dapat berupa pungtata, dendritik, dan geografik.
Keratitis dendritika merupakan proses kelanjutan dari keratitis pungtata yang
diakibatkan oleh perbanyakan virus dan menyebar sambil menimbulkan kematian sel
serta membentuk defek dengan gambaran bercabang. Keratitis dendritika dapat
berkembang menjadi keratitis geografika, hal ini terjadi akibat bentukan ulkus
bercabang yang melebar dan bentuknya menjadi ovoid. Dengan demikian gambaran
ulkus menjadi seperti peta geografi dengan kaki cabang mengelilingi ulkus.

Gambar 2.3. Keratitis herpes simpleks rekuren


Keratitis herpes simpleks bentuk dendrit harus dibedakan dengan keratitis
herpes zoster, pada herpes zoster bukan suatu ulserasi tetapi suatu hipertropi epitel
yang dikelilingi mucus plaques; selain itu, bentuk dendriform lebih kecil. Reaksi
iritasi konjungtiva bersifat ringan akibat adanya hipestesia. Reflek lakrimasi
berkurang, sehingga produksi tear film menjadi relatif tidak cukup.5

Gambar 2.4. Ulkus dendritik

Terdapat dua bentuk keratitis stroma, yaitu keratitis disciform dan keratitis
interstitial. Keratitis disciform dihipotesiskan sebagai reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, sedang keratitis interstitialis terjadi akibat reaksi hipersensitivitas imun.

Gambar 2.5. Keratitis disciform


9

Karakteristik keratitis disciform berupa edema stroma berbentuk lonjong atau


gambaran melingkar seperti cakram dengan ukuran diameter 57 mm, biasanya disertai
infiltrat ringan. Edema dapat terbatas pada bagian depan stroma, tetapi dapat juga
meluas ke seluruh tebal stroma. Keratic precipitates biasanya dijumpai menempel di
endotel kornea belakang daerah edema. 5
Keluhan penderita antara lain: penglihatan kabur, epifora, rasa tidak enak, dan
fotofobia terjadi bila disertai adanya iritis. Pada kasus yang ringan, tanpa disertai
nekrosis dan neovaskularisasi penyembuhan dapat terjadi dalam beberapa bulan tanpa
meninggalkan sikatriks. Pada kasus yang berat, penyembuhan memerlukan waktu
sampai 1 tahun atau lebih, bahkan sering terjadi penyulit berupa penipisan kornea
maupun perforasi. Keratitis disciform dapat pula terjadi akibat infeksi Herpes Zoster,
varisela, campak, keratitis karena bahan kimia, dan trauma tumpul yang mengenai
kornea. Pada keratitis discform dapat diisolisir Virus Herpes Simpleks dan cairan
akuos.5
Keratitis interstisialis memiliki bentuk bervariasi, lesi dapat tunggal maupun
beberapa tempat. Gambaran klinisnya bahkan dapat mirip keratitis bakteri maupun
jamur. Infiltrat tampak mengelilingi daerah stroma yang edema, dan dijumpai adanya
neovaskularisasi. Kadang-kadang dijumpai adanya infiltrat marginal atau lebih
dikenal sebagai Wessely ring, diduga sebagai infiltrat polimorfonuklear disertai reaksi
antigen antibodi Virus Herpes Simpleks. 5,6

Gambar 2.6. Keratitis stromal


Beberapa penyulit keratitis stroma antara lain: kornea luluh, descemetocele,
penipisan kornea, superinfeksi, dan perforasi. Terjadinya kornea luluh disebabkan
oleh mekanisme aktif enzim kolagenase, nekrosis, replikasi virus, dan efek steroid.

10

Enzim kolagenase dilepaskan oleh sel epitel rusak, sel polimorfonuklear, dan
fibroblas selama reaksi radang. 4 -6
Diagnosis
Pemeriksaan pada Kornea
1. Uji Fluoresein
Uji untuk melihat adanya defek pada epitel kornea. Caranya kertas fluoresein dibasahi
terlebih dahulu dengan garam fisiologis kemudian diletakkan pada saccus konjungtiva
inferior setelah terlebih dahulu penderita diberi anestesi lokal. Penderita diminta
menutup matanya selama 20 detik, kemudian kertas diangkat. Defek kornea akan
terlihat berwarna hijau sebagai uji fluoresein positif.
2. Uji Fistel
Uji untuk mengetahui letak dan adanya kebocoran kornea. Pada konjungtiva inferior
ditaruh kertas fluoresein. Bila terdapat fistel kornea akan terlihat pengaliran cairan
mata berwarna hijau.
3. Uji Placido
Untuk melihat kelengkungan kornea. Caranya dengan memakai papan plasido yaitu
papan dengan gambaran lingkaran konsentris putih hitam yang menghadap pada
sumber cahaya, sedang pasien berdiri membelakangi sumber cahaya. Melalui lubang
di tengah dilihat gambaran bayangan plasido pada kornea. Normal bayangan plasido
pada kornea berupa lingkaran konsentris.
4. Uji Sensibilitas Kornea
Uji untuk menilai fungsi saraf trigeminus kornea. Caranya dengan meminta penderita
melihat jauh ke depan, kemudian dirangsang dengan kapas basah dari bagian lateral
kornea. Bila terdapat refleks mengedip, rasa sakit atau mata berair berarti fungsi saraf
trigeminus dan fasial baik.
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis keratitis herpes simpleks kadang-kadang sulit dibedakan dengan
kelainan kornea yang lain. Dalam hal ini pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan
untuk membedakan dengan keratitis lain, misalnya keratitis bakteri, jamur, dan trauma
kimia. Virus herpes dapat ditemukan pada vesikel dan dapat dibiakkan. Pada keadaan
tidak terdapat lesi dapat diperiksa antibodi HSV. Pemeriksaan penunjang yang
dilakukan pada pusat-pusat penelitian adalah :
11

1. Mikroskop cahaya : sampel berasal dari sel-sel di dasar lesi, atau apusan pada
permukaan mukosa, atau dari biopsi, mungkin ditemukan intranuklear inklusi
(Lipshutz inclusion bodies). Sel-sel yang terinfeksi dapat menunjukkan sel yang
membesar menyerupai balon (balloning) dan ditemukan fusi.
2. Kultur virus dari cairan vesikel pada lesi (+) untuk HSV adalah cara yang paling baik
karena paling sensitif dan spesifik dibanding dengan cara-cara lain. HSV dapat
berkembang dalam 2-3 hari. Jika tes ini (+), hampir 100% akurat, khususnya jika
cairan virus dalam sel ditunjukkan dengan terjadinya granulasi sitoplasmik,
degenerasi balon dan sel raksasa berinti banyak. Sejak virus sulit untuk berkembang,
hasil tesnya sering (-). Namun cara ini memiliki kekurangan karena waktu
pemeriksaan yang lama dan biaya yang mahal.
3. Mikroskop elektron : mikroskop elektron tidak sensitif mendeteksi HSV, kecuali pada
kasus dengan cairan pada vesikel mengandung 108 atau lebih partikel per millimeter.
4. Pemeriksaan antigen langsung : sel-sel dari spesimen dimasukkan dalam aseton yang
dibekukan. Tapi yang lebih sensitif adalah dengan menggunakan cahay elektron (90%
sensitif, 90% spesifik) tetapi tidak dapat dicocokkan dengan kultur virus.
5. Serologi : dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assays (ELISAs) dan HSV-II
serologic assay, immunofluoresensi, immunoperoksidasi dapat mendeteksi antibodi
yang melawan virus. Tes ini dilakukan secara imunologik memakai antibodi
poliklonal atau monoklonal. Deteksi antigen secara langsung dari spesimen sangat
potensial, cepat dan dapat merupakan deteksi paling awal pada infeksi HSV.
Pemeriksaan imunoperoksidase tak langsung dan imunofluoresensi langsung
memakai antibodi poliklonal memberikan kemungkinan hasil positif palsu dan negatif
palsu. Dengan memakai antibodi monoklonal pada pemeriksaan imunofluoresensi,
dapat ditentukan tipe virus. Pemeriksaan antibodi monoklonal dengan cara
mikroskopik imunofluoresein tidak langsung dai kerokan lesi, sensitifitasnya 78% 88%. Pemeriksaan dengan cara ELISA adalah pemeriksaan untuk menemukan antigen
HSV. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 95% dan sangat spesifik, tapi dapat berkurang
jika spesimen tidak segera diperiksa. Tes ini memerlukan waktu 4,5 jam. Tes ini juga
dapat dipakai untuk mendeteksi antibodi terhadap HSV dalam serum penderita. Tes
ELISA ini merupakan tes alternatif yang terbaik di samping kultur karena mempunyai
beberapa keuntungan seperti hasilnya cepat dibaca, dan tidak memerlukan tenaga ahli.
12

6. Deteksi DNA HSV dengan PCR dari cairan vesikel. Cairan vesikel mengandung sel
manusia dan partikel virus. PCR adalah teknik yang mendeteksi jumlah kecil dari
DNA dan dapat menginformasikan bahwa virus herpes terdapat pada vesikel.
7. Kultur Virus : pada percobaabn Tzank dengan pewarnaan Giemsa atau Wright, dapat
ditemukan sel datia berinti banyak dan badan inklusi intranuklear. Tes Tzank dari lesi
kulit dapat menunjukkan hasil yang konsisten dengan infeksi herpes virus.
Diagnosis Banding
Diagnosis banding utama keratitis herpes simpleks adalah keratitis herpes zoster.1
Penatalaksanaan
Hal-hal yang perlu dinilai dalam mengevaluasi keadaan klinis keratitis
meliputi: rasa sakit, fotofobia, lakrimasi, rasa mengganjal, ukuran ulkus dan luasnya
infiltrat. Tujuan dari terapi keratitis herpetik yaitu untuk menghentikan replikasi virus
di dalam kornea dan juga memperkecil efek perusakan respon pandang.7
Pengobatan keratitis epitelial meliputi pemberian antiviral topikal mata
ditutup, dan pemberian antibiotik topikal untuk mencegah infeksi sekunder. Sebagian
besar para pakar menganjurkan melakukan debridement sebelumnya. Debridement
epitel kornea selain berperan untuk pengambilan spesimen diagnostik, juga untuk
menghilangkan sawar epitelial sehingga antiviral lebih mudah menembus. Diharapkan
debridement juga mampu mengurangi kandungan virus epitelial, konsekuensinya
reaksi radang akan cepat berkurang. Apabila tidak ada perbaikan dalam 21 hari, perlu
diganti dengan antiviral yang lain.8
Pada keratitis meta herpetik terjadi kerusakan membrana basalis, untuk itu
perlu dicegah kerusakan lebih lanjut dengan verban dan lensa kontak lunak.
Pengobatan yang diberikan meliputi pemberian antiviral, air mata buatan, sikioplegik,
dan asetil sistein 10-20% tetes mata tiap 2 jam bila ada tanda-tanda penipisan dan
Iuluhnya stroma. Selain itu, perlu ditambahkan lem cyanoacrylate untuk
menghentikan luluhnya stroma. Bila tindakan tersebut gagal, harus dilakukan flap
konjungtiva, bahkan bila perlu dilakukan keratoplasti. Flap konjungtiva hanya
dianjurkan bila asih ada sisa stroma kornea. Bila sudah terjadi descemetocele, flap
konjungtiva tidak perlu, tetapi dianjurkan dengan keratoplastik lamellar.8
Pengobatan pada keratitis disciform meliputi pemberian steroid topikal,
antiviral salep, bila terjadi iritis perlu diberikan steroid oral 20-30mg selama 7-10
13

hari. Antibiotik topikal perlu diberikan, jika steroid topikal diberikan secara masif.
Bila terjadi ulserasi, steroid topikal agar dikurangi pembeniannya dan bila perlu
distop. Apabila terjadi penyulit misalnya luluh kornea, descemetocele, atau perforasi,
kemudian dikelola seperti pengelolaan ulkus metaherpetik yang mengalami penyulit. 8
Pemilihan Antiviral
Antiviral yang efektif dan aman adalah jika mampu menghentikan replikasi
virus, tanpa merusak sel-sel sehat. Obat-obat lama sepenti idoksuridina dan vidarabina
memiliki toksisitas semacam dan khasiat sepadan guna menghentikan replikasi virus.
Efek samping pemberian idoksuridina antara lain: keratitis pungtata, dermatitis
kontakta, konjungtivitis folikularis, dan oklusi pungtum lakrimalis. Efektivitas kedua
obat tersebut untuk pengobatan keratitis dendritik sebesar 80%, sedang trifluridina
mempunyal efektivitas 97% dengan waktu penyembuhan 2 minggu. Tingkat
kepatuhan pasien pengguna trifluridma lebih baik dibanding kedua obat antiviral
tendahulu, karena lebih mudah larut dalam air. Pada 3-5% kasus ternyata dalam 1
minggu tidak ada perbaikan dengan tnifluridin, dalam hal ini diperlukan debridement.
Resistensi terhadap triflunid sangat jarang, dan bila dijumpai ternyata tidak dijumpai
resistensi silang terhadap idoksunidina maupun vidarahina. 9
Hasil penelitian tentang daya guna asikiovir dengan idoksuridina pertama kali
didapatkan hasil berupa lama penyembuhan keratitis dendritik rata-rata 4,4 hari dan
secara bermakna lebih pendek dibandingkan kelompok idoksuridina. Untuk kasuskasus keratitis geognafik memerlukan waktu penyembuhan rata-rata 5,6 hari.

5,8

Keratitis stroma memiliki hasil kurang baik bila diobati dengan idoksuridina.
Penggunaan kombinasi antara asikiovin dengan steroid topikal dapat meningkatkan
waktu penyembuhan. Steroid topikal dapat membantu menekan reaksi radang, dan
menghambat vaskularisasi. Asiklovir topikal menghasilkan daya penetrasi terbaik
dibandingkan vidarabina maupun trifluridina. Pada pasien-pasien keratitis stroma
yang mendapat pengobatan kombinasi asiklovir salep mata dan betametason 0,01%
ternyata sembuh komplit memerlukan waktu rata-rata 19,4 hari. 8
Pengobatan asiklovir secara topikal dan oral pada kasus-kasus keratitis
disciform. Masing-masing kelompok menggunakan tambahan prednisolon 0,05%
tetes mata 5 kali sehari. Hasil penelitian rnenunjukkan hilangnya lakrimasi dan
perbaikan visus lebih cepat pada kelompok pemberian oral, sedang waktu
penyembuhan tidak berbeda dan memerlukan waktu rata-rata 25 hari. Selain itu tidak
14

dijumpai perbedaan angka kekambuhan pada pengamatan sampai 3 tahun pasca


penyembuhan.9
Mengenai resistensi klinik antiviral, pernah dilaporkan untuk idoksuridina
sebesar 37%, dan vidarabina sebesar 11 %.

Berdasarkan hasil uji laboratorik

sensitivitas, beberapa antiviral terhadap Virus Herpes Simpleks mengalami


penurunan, tetapi untuk asiklovir maupun gansiklovir tidak sampai 10%. Sedangkan
untuk foscarnet, vidarabina, dan icloksuridina didapatkan penurunan sensitivitas jauh
lebih banyak.5
Gansiklovir dan karbosiklik oksetanosin G merupakan calon obat antiviral
yang potensial, karena terbukti lebih baik dibandingkan asiklovir pada percobaan
binatang. Interferon tetes mata sebagai terapi tunggal pada keratitis dendritik kurang
bermanfaat, tetapi akan lebih efektif bila dikombinasi dengan antiviral selain
vidarabina. Mekanisme dasar interferon sebagai terapi adalah membuat sel-sel sehat
menjadi resisten terhadap virus, dan memblok penyebaran virus.

Pada keratitis

stroma pembenian kombinasi steroid dan interferon memberikan hasil yang baik pada
percobaan binatang. Kombinasi antiviral dan interferon diharapkan dapat mengatasi
resistensi Virus Herpes Simpleks di masa mendatang.9
Pembedahan
Silindris tidak teratur akibat keratitis stroma kronis mungkin diperbaiki
dengan kaku gas-permeable lensa kontak. Pasien dengan kekeruhan kornea visual
yang signifikan atau perforasi kornea mungkin memerlukan keratoplasty menembus
untuk rehabilitasi visual. Jika mungkin, descemetocele kecil atau perforasi pada mata
bengkak awalnya mungkin dikelola dengan perekat jaringan, lensa kontak perban, dan
/ atau transplantasi membran amnion. Transplantasi kornea idealnya harus ditunda
sampai mata kurang meradang. 7
Prognosis untuk cangkok berhasil mendekati 80% pada mata tanpa
peradangan sebelum operasi. Terapi antivirus profilaksis oral setelah keratoplasty
menembus mengurangi mata berulang HSV penyakit.7
Komplikasi
Pada keratitis Herpetika dengan bentuk stroma, dapat menyebabkan inflamasi
hebat pada kamera okuli anterior.

Semua tipe keratitis stromal dapat berkembang

menjadi uveitis, trabekulitis, dan glaukoma sekunder. Komplikasi yang tersering dan

15

menyebabkan morbiditas yang paling tinggi adalah hilangnya penglihatan akibat


sikatriks pada kornea.10
Prognosis
Bila diobati sedini-dininya dengan pengobatan yang baik, prognosis baik,
tetapi dapat kambuh kembali. Tak ada obat yang dapat mematikan virus secara tuntas,
sehingga kekambuhan dapat terjadi berulang-ulang. 1
B. KERATITIS HERPES ZOOSTER
Bentuk klinis
Herpes zoster memiliki insiden paling tinggi dari seluruh penyakit neurologi.
Sekitar 95% orang dewasa di Amerika Serikat memiliki antibodi terhadap VZV dan
rentan terhadap munculnya reaktivasi. Seseorang dengan usia berapapun dapat
menderita zoster, namun insidensnya meningkat seiring dengan usia akibat
menurunnya kekebalan. Sekitar 4% pasien dengan zoster akan mengalami episode
berulang atau kekambuhan di kemudian hari.
Diantara kasus penyakit okular eksternal, insiden herpes zoster oftalmikus adalah
2,4% sedangkan insiden kelainan mata pada herpes zoster, yaitu kelainan pada daerah
yang diinervasi oleh cabang pertama nervus trigeminus berkisar antara 8,2 % - 56 %.
Meskipun herpes zoster adalah suatu penyakit yang lebih jarang dijumpai
dibandingkan dengan varisela, tapi lebih sering mengenai mata. 4-6
Infeksi virus varicella zoster terjadi dalam 2 bentuk: primer (varicella) dan
rekuren (zoster). Manifestasi pada mata jarang terjadi pada varicella namun sering
pada zoster ophthalmic. Pada varicella, lesi mata umumnya pada kelopak dan tepian
kelopak. Jarang ada keratitis (khas lesi stroma perifer dengan vaskularisasi), dan lebih
jarang lagi keratitis epithelial dengan atau tanpa pseudodendrite. Pernah dilaporkan
keratitis disciformis, dengan uveitis yang lamanya bervariasi.3
Berbeda dari lesi kornea varicella, yang jarang dan jinak, zoster ophthalmic
relatif banyak dijumpa, kerap kali disertai keratouveitis yang bervariasi beratnya
sesuai dengan status kekebalan pasien. Komplikasi kornea pada zoster ophthalmic
dapat diperkirakan timbul jika terdapat erupsi kulit di daerah yang dipersarafi cabangcabang Nervus Nasosiliaris.
Patofisiologi

16

Varicella Zoster Virus (VZV) terdapat dimana-mana dan sangat menular,


dengan paparan pertama secara khas terjadi pada masa anak-anak. Pada paparan
pertama (infeksi varisella), virus masuk ke host melalui sistem respiratori bagian atas,
kemudian bereplikasi diperkirakan pada nasofaring. Paparan pertama ini dapat juga
menyebabkan keratitis zoster, walaupun sangat jarang terjadi. Virus menginfiltrasi
sistem retikuloendotelial, dan akhirnya menuju ke sirkulasi sistemik (viremia).
Selama serangkaian terjadinya varisela, VZV melewati lesi pada permukaan kulit dan
mukosa menuju ujung-ujung saraf sensoris yang berdekatan dan pindah secara
sentripetal ke atas serabut sensoris pada ganglion sensoris (ganglion dorsalis). Pada
ganglia, virus menjadi infeksi laten yang tetap ada selama kehidupan.3

Virus ini dapat reaktivasi menjadi infeksius oleh karena adanya


gangguan pada host-parasit dalam waktu beberapa tahun sampai puluhan tahun
setelah infeksi primer dan biasanya terjadi pada orang tua atau dewasa. Infeksi
primer merupakan penyakit yang self-limiting. 3
Pada reaktivasi herpes zoster laten, sering timbul ganglionitis nekrotik
dan virus infeksius akan bergerak kembali menuju akson dan menimbulkan
dermatitis vesikularis yang infeksius pada dermatom yang terkena. Infeksi
virus varisela zoster pada mata dapat terjadi melalui satu atau dua mekanisme
dibawah ini 3 :
1. Reaktivasi virus laten pada ganglion sensoris trigeminal
2. Masuknya virus eksogen melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan
penderita herpes zoster atau varisella, walaupun infektivitasnya rendah
Dermatom yang paling sering terkena adalah yang diinervasi oleh
n.trigeminus, dimana cabang pertama (oftalmik) terkena 20 kali lebih sering daripada
cabang kedua atau ketiga. Herpes zoster yang timbul pada daerah yang diinervasi oleh
cabang oftalmik n.trigeminus disebut sebagai herpes zoster oftalmikus tanpa
mempertimbangkan apakah mata tersebut mengalami inflamasi atau tidak.3

17

Gambar 2.7. Distribusi sensorik dari n.oftalmika cabang dari n.trigeminal


Infeksi virus varisela zoster dapat menyebabkan kerusakan okular, invasi virus
secara langsung dapat menyebabkan keratitis dan konjungtivitis. Komplikasi yang
paling umum dari herpes zoster ke okula adalah inflamasi kornea, beberapa vesikel
kecil yang tumbuh di epitel kornea dan hal tersebut diikuti dengan bengkaknya stroma
kornea.Selain itu, suplai saraf yang terganggu di kornea sebagaimana yang sering
muncul pada herpes zoster dapat menyebabkan kornea berkembang menjadi keratitis
dengan erosi epitelial yang berbentuk pungtat (neuroparalitik keratitis). 3
Pada cabang oftalmik yang juga paling sering terkena adalah n.frontalis yang
menginervasi palpebral superior, dahi, dan konjungtiva superior melalui cabang
supratroklear dan supraorbital. Cabang nasosiliaris dan lakrimal dari n.oftalmikus
juga bisa terserang bersama-sama maupun sesudahnya, dan bisa disertai dengan
kelainan cabang maksilaris n.trigeminus. Bila cabang nasosiliaris terkena, disebut
Hutchinson sign, ini menunjukkan bahwa mata terinfeksi virus varisela zoster melalui
cabang dari nasosiliaris. Hutchinson sign merupakan indikasi untuk risiko lebih tinggi
terkena gangguan penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda ini
mempunyai gangguan penglihatan.

18

Gambar 2.8. Hutchinson sign

Gejala Klinis
Infeksi virus varicella zoster (VZV) terjadi dalam dua bentuk 3:
1. Primer (varicella)
2. Rekurens (herpes zoster)
Pada varicella jarang terjadi manifestasi di mata, pada herpes zoster oftalmik
sering terjadi manifestasi pada mata. Pada varicella (cacar air), lesi mata umumnya
berupa lesi cacar di palpebra dan tepian palpebra. Jarang timbul keratitis (khasnya,
lesi stroma perifer dengan vaskularisasi) dan lebih jarang lagi keratitis epithelial
dengan atau tanpa pseudodendrit. 3
Adapun gejala pada herpes zoster oftalmika antara lain adalah 3:
a. Stadium prodromal : nyeri lateral sampai mengenai mata, demam, malaise,
b.
c.
d.
e.
f.

dan sakit kepala


Dermatitis
Nyeri pada mata
Lakrimasi
Penurunan visus
Mata merah unilateral
Komplikasi pada kornea terjadi 65 % dari kasus herpes zoster oftalmik.

Keratitis Herpes Zoster menimbulkan gejala yang umum terjadi pada keratitis seperti
19

nyeri, mata merah, dan dapat menyebabkan penurunan visus. Pada kelopak akan
terlihat vesikel dan infiltrate pada kornea. Vesikel tersebar sesuai dengan dermatom
yang dipersarafi saraf trigeminus yang dapat progresif dengan terbentuknya jaringan
parut. Daerah yang terkena tidak melewati garis media. 3,9

Gambar 2.9. Keratitis Herpes Zoster


Herpes Zoster keratitis bermanifestasi dalam bentuk klinis yaitu : 2

Keratitis epithelial akut


Gejala awal mulai muncul dua hari setelah onset kemerahan di kulit dan
sembuh secara spontan beberapa hari kemudian. Ditandai dengan adanya lesi
dendritik kecil dan halus (pseudodendrit) yang positif jika di tes fluoresen. 2

Gambar 2.10. A.Lesi Dendritik pada Keratitis Herpes Zoster, B. dengan tes Fluoresen

Keratitis nummular
Keratitis nummular mungkin mengikuti keratitis epitelial akut, biasanya sepuluh hari

setelah onset kemerahan di kulit. Ditandai dengan adanya multiple granular infiltrat pada
stroma anterior dikelilingi oleh halo of stromal haze pada daerah yang sebelumnya terkena
20

punctate epitel dan pseudodendrit. Biasanya lesi ini hanya bersifat sementara, tetapi dapat
pula meninggalkan jaringan parut yang samar-samar. Lesi memberi respon pada pemberian
steroid tapi dapat recurrence jika pemberian dihentikan terlalu cepat. 2

Gambar 2.11. Keratitis Nummularis

Keratitis Disciform
Keratitis Disciform adalah infiltrasi stroma yang mendalam biasanya berkembang 3-4

bulan setelah fase akut awal, dan biasanya didahului olehkeratitis stroma akut epitel atau
anterior keratitis stroma. Pada pemeriksaanakan tampak disk shaped, well defined, disertai
edema stromal difus tanpadisertai vaskularisasi. Pada tahap ini akan tampak jelas edema pada
kornea

dan

inflamasi

pada

bilik

mata

depan.

Edema

disciformik

ini

dapat

mengakibatkan jaringan parut, neovaskularisai atau kadang ditemukan adanya deposisi


lemak. (2)

Gambar 2.12. Keratitis Disciform

Keratitis Neurotropik

21

Neurotropik keratitis ditandai dengan kehilangan sensasi kornea bisa disertaidengan


adanya perforasi pada kornea, dimana jika sudah terjadi perforasi, maka proses epitelisasi
akan sulit. Hal ini akan menyebabkan mudahnya terjadi infeksi sekunder pada mata. (2)

Gambar 2.12. Tipe tipe Keratitis Herpes Zoster : A. Punctate Ephitelial Keratitis,
B. Microdendritic Epithelialulcer, C.Nummular Keratitis, D. Disciform Keratitis

Diagnosis
Diagnosa laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan :
1. Pemeriksaan langsung secara mikroskopik
Percobaan Tzanck : Kerokan pada palpebral diwarnai dengan Giemsa dan akan
didapati sel datia berinti banyak. Namun tes ini tidak dapat membedakan antara
lesi akibat herpes zoster dengan herpes simpleks.
2. Immunofloresensi direk dapat membedakan infeksi akibat varicella zoster atau
herpes simpleks
3. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik PRC (Polymerase Chain Reaction)
Namun, pada kebanyakan kasus, diagnosis dapat ditegakkan secara klinis.
Penatalaksanaan

22

Pengobatan biasanya tidak spesifik dan hanya simtomatis. Pengobatan dengan


memberikan asiklovir dan pada usia lanjut dapat diberi steroid. 3
Terapi sistemik
1

Obat antivirus oral


Obat ini secara signifikan dapat mengurangi rasa sakit, mengurangi
timbulnya vesikel, menghentikan perkembangan virus, dan mengurangi kejadian
serta komplikasi lebih lanjut. Agar efektif, pengobatan harus dimulai segera
setelah timbulnya ruam, namun hal ini tidak berpengaruh pada post herpetik
neuralgia. Pengobatan dapat diberikan acyclovir dengan dosis 800 mg, 5 kali
sehari selama10 hari atau Valasiklovir dengan dosis 1 g tiga kali sehari selama 10
hari, famciclovir, 500 mg/ 8 jam selama 7-10 hari. Terapi dimulainya 72 jam
sejak timbulnya kemerahan. 2

Analgetik
Rasa nyeri terasa sangat parah pada 2 minggu pertama dari serangan.
Sehingga harus diberikan pengobatan dengan analgesik seperti kombinasi dari
mefenamic acid dengan paracetamol atau pentazocin atau petidin ( ketika sangat
berat). 2

Steroid sistemik
Digunakan dengan dosis tinggi untuk menghambat perkembangan
penyakit pada post herpetic neuralgia. Namun resiko steroid dosis tinggi pada
lansia harus dipertimbangkan. Steroid pada umumnya digunakan untuk
menangani komplikasi dari kasus neurologis seperti kelumpuhan nervus
okulomotorius dan neuritis optik. Pemakaian steroid sistemik masih kontroversial.
2

Terapi lokal untuk mata


1

2
3

Untuk keratitis zoster :.


a.Tetes mata steroid 4 kali sehari.
b.
Obat tetes mata yang mengandung Cyclopegics seperti Cyclopentolate
atau salep mata atropin.
c.Salep mata acyclovir 3% diberikan 5 kali sehari selama 2 minggu.
Untuk mencegah adanya infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik topikal.
Apabila terdapat glaukoma sekunder
a.Obat tetes mata Timolol 0,5 % atau Betaxolol 0,5%
23

b.
Acetazolamide oral 250mg diberikan 4 kali sehari.
Untuk ulkus kornea neuroparalisis yang disebabkan oleh herpes zoster, dilakukan
Tarsorrhaphy lateral.

Kerusakan epitel yang menetap digunakan :


a.Tetes air mata buatan
b.
Soft contact lens bandage

Keratoplasti
Tindakan ini diperlukan untuk rehabilitasi pengelihatan pasien herpes zoster
dengan jaringan parut yang tebal. Namun hal ini beresiko tinggi.

Komplikasi
Penyulit yang terjadi adalah uveitis, parase otot penggerak mata, glaucoma,
dan neuritis optic. 2,3
Prognosis
Prognosis penyakit pada umumnya baik tergantung pada tindakan perawatan.
Tingkat kesembuhan penyakit ini umumnya tinggi pada dewasa dan anak anak
dengan perawatan secara dini. Prognosa penyakit menjadi baik kerena pemberian
asiklovir yang dapat mencegah komplikasi ke mata sampai ke arah penurunan visus
dan pencegahan terjadinya paralisis motorik. Selain itu, bengkak dan merah pada
mata dapat hilang. Namun pada kulit dapat menimbulkan makula hiperpigmentasi
atau sikatrik. 1
Prognosa juga ditentukan dari waktu pemberian antiviral yang sebaiknya
diberikan 72 jam pertama setelah onset. Pemeriksaan ulang setelah maksimum 1
minggu haruslah dijadwalkan pada stadium awal. 1

24

BAB III
KESIMPULAN

1. Keratitis merupakan peradangan kornea. Kondisi ini seringkali ditandai dengan rasa yang
sangat nyeri dan kemudian dapat berkembang menjadi fotofobia atau rasa silau bila
terkena cahaya
2. Keratitis Herpes Simpleks merupakan radang kornea yang disebabkan oleh infeksi Virus
Herpes Simpleks tipe 1 maupun tipe 2.
3. Bentuk infeksi keratitis Herpes Simpleks dapat berupa keratitis epithelial dan stromal.
4. Keratitis Herpes Simpleks dapat bersifat infeksi primer maupun infeksi rekuren. Infeksi
rekuren dibagi menjadi keratitis superficial, profunda dan keratouveitis.
5. Gejala subjektif yang ditimbulkan akibat keratitis Herpes Simpleks dapat berupa epifora,
fotofobia, injeksi perikornea, dan penglihatan kabur.
6. Keratitis Herpes Zoster adalah peradangan pada kornea yang disebabkan karena infeksi
virus varisela-zoster (VZV).
7. Antiviral yang dapat digunakan antara lain idoxuridine, trifluridine, vidarabine, dan
asyclovir.

25

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijana N. Keratitis. Dalam: Wijana N. Ilmu penyakit mata. Jakarta : FKUI. 1983.
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2007.
3. Roderick B. Kornea. In: Vaughan & Asbury. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
EGC. 2009.
4. Kaufman HE. Herpes simplex in ophthalmology, in F.C. BloW (ed): Herpes Simplex
Infections of the Eye, vol. l,chap. 12. New York: Churchill Livingstone Inc., 1984. pp.
15360Kenyon KR, Fogle JA, Stone DL, Stark WL. Regeneration of corneal epithelial
basement membrane following thermal cauterization. Invest Ophthalmol Vis Sci, 1977;
16: 2925. 16. Porrier RH, Kingham JJ, deMiranda P. Annel M. Intra ocular antiviral
penetration, Arch Ophthalmol. 1982; 100: 19647.
5. Poiler SM, Patterson A, Kho P. A comparison of local and systemic acyclovir in the
management of herpetic disciform keralitis. Br J Ophthalrnol. 1990; 74: 2835.
6. Tasman W, Jaeger EA. The wills eye hospital: atlas of clinical opthalmology.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2001.
7. American Academy of Ophthalmology. External Eye Disease and Cornea. San
Fransisco 2008-2009.
8. Foster CS, Duncan J. Penetrating keratoplasty for herpes simplex keratitis. AmJ
Ophthalmol. 1981; 92: 3369.
9. Collum LMT, Logan P. Rovenschott T. Acyclovir in herpetic disciform keratitis, Br I
Ophthalmol. 1983; 67: 1158
10. Wang,
Jim.
Herpes

Simplex

Keratitis.

http://emedicine.medscape.com/article/1194268-overview#a7

Available
Accessed

at
on:

:
20

November 2015

26

You might also like