You are on page 1of 30

BAB I

PENDAHULUAN
A.

Latar Belakang
Abad 21 merupakan abad yang sering kita sebut era globalisasi

atau age of globalization, dimana ditandai oleh kemajuan teknologi dan


ilmu pengetahuan. Kemajuan teknologi menghasilkan alat transportasi,
telekomunikasi dll. Yang menjadikan hubungan antar satu dengan yang
lainnya dipermukaan bumi ini nyaris tanpa batas atau borderless. Apa
yang terjadi di luar tanpa kesulitan untuk diakses bahkan dapat
disuguhkan di kamar pribadi kita. Sedangkan kemajuan ilmu pengetahuan
mampu menciptakan manusia-manusia yang unggul diberbagai bidang.
Disaat kondisi tersebut, merupakan sebuah tuntutan bagi setiap
Organisasi baik profit maupun nonprofit untuk menyiapkan sumber daya
manusia (SDM) yang unggul. Sebab, tanpa adanya persiapan SDM yang
matang, kiranya sulit bagi organisasi bisnis untuk bersaing dengan yang
lain.
Disadari atau tidak bahwa SDM memegang peranan yang sangat
penting bagi dinamisasi sebuah organisasi untuk mencapai tujuannya.
Peranan disini diartikan sebagai bentuk kemampuan secara maksimal
menjalankan tugas yang diberikan oleh organisasi sesuai dengan tugas
pokok dan fungsinya (Tupoksi), yang mencakup seluruh aktifitas yang ada
dalam organisasi tersebut, mulai dari perencanaan, pengorganisasian,
pelaksanaan kegiatan, sampai pada evaluasi hasil kegiatan. Maka dari itu,
tidak berlebihan apabila SDM diposisikan teratas dari pada faktor-faktor
1

lain yang berpengaruh terhadap aktifitas organisasi, seperti tehnologi,


modal, tanah dan lain-lain.
Menurut Buller (1995) dikatakan bahwa kesuksesan organisasi
dapat dilihat melalui partnership yang baik antara sumberdaya manusia
dan perencanaan strategis yang dilakukan oleh organisasi. Ada beberapa
faktor yang mempengaruhi integrasi antara perencanaan strategis dan
sumberdaya manusia dalam organisasi yaitu : lingkungan (environment),
strategi di tingkat Corporate, bisnis dan sumberdaya manusia sendiri,
karakteristik organisasi (yang meliputi ukuran, sejarah, budaya dan
struktur organisasi), proses dan sistem organisasi (yang meliputi human
resource control, informasi, pengambilan keputusan dan komunikasi,
tugas dan teknologi, praktik dan falsafah manajemen, skill dan nilai
karyawan serta politik organisasi).
Mengingat peranannya yang begitu besar, maka sebuah organisasi
harus betul-betul memperhatikan SDM ini secara maksimal. Salah satu
wujud nyata yang perlu diperhatikan adalah dengan menciptakan situasi
lingkungan kerja yang Humanis atau melakukan perbaikan kualitas
kehidupan kerja (Filippo: 1983:412); pada dasarnya, perbaikan kualityas
kehidupan kerja ini mengacu pada keadaan menyenangkan terhadap
lingkungan pekerjaan bagi setiap karyawan/pegawai dengan tujuan
pokoknya adalah untuk mengembangkan lingkungan yang aman, nyaman
dan harmonis baik bagi karyawan maupun produksinya.

Dalam pembahasan tentang perilaku individu, konsep yang


paling banyak mendapat perhatian dari pakar ilmu organisasional
adalah motivasi. Dengan memandang sekilas berbagai organisasi
maka kita akan dapat melihat bahwa beberapa orang tertentu bekerja
lebih keras daripada yang lain. Seseorang yang memilki kemampuan
istimewa mungkin prestasinya dikalahkan oleh orang lain yang
sesungguhnya

kurang

berbakat.

Nah,

mengapa

orangorang

menampilkan tingkat usaha yang berbeda dalam kegiatan yang


berbeda? mengapa orangorang tertentu nampak memiliki motivasi
yang tinggi sementara yang lain tidak? pertanyaanpertanyaan iniliah
yang akan dijawab dalam makalah ini. Hal ini pulalah penulis sangat
tertarik untuk mengambil makalah dengan judul Motivasi dan
Kepuasan Kerja.
B.

Rumusan Masalah
Beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini

yaitu sebagai berikut :


1. Jelaskan beberapa pengertian kualitas kehidupan kerja menurut
2.
3.
4.
5.
C.

para ahli?
Jelaskan beberapa dimensi kualitas kehidupan kerja?
Jelaskan tentang kompensasi (Upah atau gaji)?
Jelaskan tentang Partisipasi karyawan?
Jelaskan tentang Restrukturisasi kerja?
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

1. Menyelesaikan tugas mata kuliah Perilaku Organisasi dengan judul


2.
3.
4.
5.
6.
D.

Kualitas Kerja.
Menjelaskan pengertian kualitas kehidupan kerja menurut para ahli.
Menjelaskan tentang dimensi kualitas kehidupan kerja
Menjelaskan tentang kompensasi (upah atau gaji).
Menjelaskan tentang partisipasi karyawan.
Menjelaskan tentang restrukturisasi kerja.

Manfaat
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai
berikut :
1.
2.
3.
4.
5.

Mengetahui pengertian dari kualitas kehidupan kerja.


Dapat memahami dimensi-dimensi kualitas kehidupan kerja.
Dapat memahami kompensasi (upah atau gaji) kerja.
Dapat memahami partisipasi karyawan.
Dapat memahami restrukturisasi kerja.

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Pengertian Kualitas Kehidupan Kerja


Menurut Bernardin dan russel (1993:520) Quality of Work Life

(QWL) is the degree to which individuals are able to satisfy their important

personal need (e.g. need for independent) while imployed by the firm.
yaitu tingkat individu-individu yang merasa puas atas kebutuhankebutuhan penting mereka seperti kebutuhan untuk bebas- dimana
mereka bekerja dalam suatu perusahaan. Dari definisi tersebut dapat
dipahami bahwa kualitas kehidupan kerja ditentukan oleh bagaimana
pekerja merasakan perannya dalam setiap organisasi. Peran disini
diartikan sebagai bagian dari cara yang sistematis dimana karyawan
berpartisipasi didalam setiap pengambilan keputusan yang menyangkut
masalah sikap dan terkait dengan pekerjaan, kegiatan, dan organisasi
mereka, sehingga peran tersebut mampu memberikan rasa tanggung
jawab dan merasa memiliki (sense of belonging) terhadap setiap
pekerjaan yang muncul dari kesepakatan dan keputusan bersama
(Wheter dan davis, 1996:502).
Sedangkan menurut French (dalam Arifin, 1999:1) mengartikan
kualitas kehidupan secara sempit yaitu teknik manajemen yang mencakup
gugus kendali mutu, pengayaan pekerjaan (job enrichment), suatu
pendekatan

untuk

bernegosiasi

dengan

serikat

pekerja,

upaya

manajemen untuk memelihara kebugaran mental para karyawan,


hubungan industri yang serasi, manajemen partisipatif dan sebagai salah
satu bentuk intervensi dan pengembangan organisasional.
Perkembangan

selanjutnya

adalah

kualitas

kehidupan

kerja

merupakan bentuk filsafat yang diterapkan oleh manajemen dalam


mengelola organisasi pada umumnya dan sumberdaya pada khususnya.

Sebagai filsafat dasar, kualitas kehidupan kerja merupakan cara pandang


manajemen tentang manusia, pekerjaan dan organisasi dengan berbagi
aktivitas di dalam tempat kerja (Filippo, 1983:412). Unsur-unsur pokok
dalam filsafat tersebut adalah kepedulian manajemen tentang dampak
pekerjaan pada manusia, efektifitas organisasi serta pentingnya para
karyawan dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan
terutama menyangkut pekerjaan karier, penghasilan dan nasib mereka
dalam pekerjaannya. Akan tetapi memanusiakan lingkungan kerja dengan
mengakui dan menghargai harkat dan martabat sebagai manusia dalam
organisasi merupakan masalah yang sangat ditekankan dalam teori ini.
Untuk meningkatkan kualitas kehidupan kerja terdapat sembilan (9)
aspek dari sumberdaya manusia di lingkungan perusahaan yang perlu
diciptakan, dibina dan dikembangkan yaitu:
1.

Di lingkungan setiap dan semua perusahaan, pekerja sebagai

sumberdaya menusia memerlukan komunikasi yang terbuka dalam batasbatas wewenang dan tanggungjawab masing-masing.
2.

Di lingkungan suatu perusahaan, settiap dan semua pekerjaan

memerlukan pemberian kesempatan untuk memecahkan konflik dengan


perusahaan atau sesama karywan secara terbuka, jujur, dam lain-lain.
3.

Di lingkungan suatu perusahaan, setiap dan semua pegawai

memerlukan kerjasama karir masing-masing dalam menghadapi masa


depannya.

4.

Di

lingkungan

suatu

perusahaan,

setiap

pegawai

perlu

diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan


pekerjaan, sesuai dengan posisi, wewenang, dan jabatan masing-masing.
5.

Di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai perlu dibina dan

dikembangkan perasaan bangganya pada pekerjaan dan tempat kerjanya.


6.

Di

lingkungan

suatu

perusahaan,

setiap

pegawai

harus

memperoleh kompensasi yang adil, wajar dan mencukupi.


7.

Di lingkungan suatu perusahaan, setiap pegawai memerlukan

keamanan lingkungan kerja.


8.

Di lingkungan suatu perusahaan, semua pegawai memerlukan

jaminan kelangsungan pekerjaannya


9.

Di lingkungan suatu perusahaan, semua dan setiap pegawai

memerlukan perhatian terhadap pemeliharaan kesehatannya agar dapat


bekerja secara efektif, efisien, dan produktif.
Sedangkan

komponen-komponen

utama

didalam

kualitas

kehidupan kerja yang berguna untuk meningkatkan produktifitas karyawan


dan memperbaiki kualitas produk serta mengurangi absenteism menurut
Wayne (1982:25) adalah:
1.

Pay (upah)

2.

Employee benefit (the most frequently mentioned issue were health

care, dental care, and relirement)/ masalah yang terkait dengan karyawan
seperti jaminan kesehatan dll.
3.

Job scurity (kemanan kerja)

4.

Alternative work schedules (adanya jadwal kerja alternatif)

5.

Job stress
Dampak dari kualitas kehidupan kerja yang buruk salah satu

diantaranya adalah timbulnya stress di tempat kerja. Stess kerja


merupakan istilah umum yang menunjuk pada tekanan dan masalah yang
dialami oleh setiap orang dalam kehidupan kerjanya. Konsep stress
mengandung dua makna yaitu positif dan negatif. Jika orang dapat
mengatur atau mengelola stress dengan baik maka secara psikologis
akan menumbuhkan semangat dan motivasi untuk bekerja. Sebaliknya
jika stress terlalu berlebihan akan menyebabkan terganggunya kesehatan
baik secara fisik maupun nonfisik (Titin Ekowati, 2009).
Stress yang sering dikeluhkan orang biasanya merupakan suatu
perasaan tegang atau tekanan yang dialami ketika tuntutan yang
dihadapkan melebihi kekuatan yang ada pada diri kita. Saat ini, reaksi
stress

pada

umumnya

berhubungan

dengan

ancaman

finansial,

emosional, mental, dan sosial. Oleh karena itu pimpinan suatu organisasi
perlu mengelola stress agar karyawan mampu bekerja produktif sehingga
kinerja organisasi dapat dicapai secara maksimal (Anwar Prabu
Mangkunegara, 2003 : 179).
Menurut Szilagyi (1990) stress adalah pengalaman yang bersifat
internal yang menciptakan adanya ketidakseimbangan pisik dan psikis
dalam diri seseorang sebagai akibat dari faktor lingkungan eksternal
organisasi atau orang lain. Stress kerja merupakan perasaan yang

menekan

atau

merasa

tertekan

yang

dialami

karyawan

dalam

menghadapi pekerjaan. Stress kerja ini tampak dari simpton antara lain
emosi tidak stabil, perasaan tidak tenang, suka menyendiri, sulit tidur,
merokok yang berlebihan, tidak bisa rileks, cemas, tegang, gugup,
tekanan darah meningkat dan mengalami gangguan pencernaan.
Penyebab stress kerja antara lain beban kerja yang dirasakan terlalu
berat, waktu kerja yang mendesak, kualitas pengawasan kerja yang
rendah, iklim kerja yang tidak sehat, autoritas kerja yang tidak memadai
yang berhubungan dengan tanggung jawab, konflik kerja, perbedaan nilai
antar karyawan dengan pimpinan yang frustasi dalam kerja.
Stress yang terjadi berlarutlarut dapat menyebabkan karyawan
mengalami burn out. Menurut Sulistyantini (dalam Lailani, dkk, 2005),
stress dan tekanan kerja dapat mengalami pasang surut dan berubahubah. Dengan kata lain , hari ini individu mengalami stress, esok harinya
bisa kembali normal. Sedangkan burn out terjadi secara perlahan melalui
proses waktu cukup lama. Atau stress merupakan proses adaptasi
sementara terhadap tekanan lingkungan sehingga bersifat fluktuatif dan
tidak menetap, serta tidak disertai perubahan sikap dan perilaku. Burnout
merupakan tahap akhir dari ketidakmampuan individu untuk beradaptasi
dengan tekanan lingkungan, dimanan proses terjadinya berjalan perlahan
dan waktu yang lama, serta terjadi perubahan sikapperilaku yang negatif
pada orang lain dan pekerjaannya. Burnout bukanlah kondisi yang bersifat

temporal dan terjadi secara bertahap, perlahan dan menetap dalam


jangka waktu yang lama.
Problem interpersonal dalam lingkungan kerja dapat terjadi
terhadap resipien, kolega, supervisor, dan bawahan. Individu yang
mengalami burnout dapat membawa problem di tempat kerja ke rumah,
yang oleh Jackson dan Maslach disebut dengan negative spillover. Tipikal
individu yang mengalami burnout cenderung menarik diri dari kontak
sosial dan lebih buruk lagi jika mengisolasi dirinya.
Sikap negatif yang berkembang tidak hanya terjadi pada hubungan
interpersonal saja tetapi dapat pula terjadi pada pekerjaan ataupun
organisasi.

Sikap

negatif

dalam

hubungan

interpersonal

seperti

dehumanisasi, tidak berperasaan (callous), memisahkan diri (detached),


acuh tak acuh (indifferent), sinis (synical) terhadap resipien, merupakan
karakteristik yang sering muncul pada penderita burnout.
Burnout

dapat

memperburuk

kualitas

kerja

(Chermis

dan

Freudenberger, dalam Schultz dan Schultz, 1994) bahkan dapat


menyebabkan individu berhenti dari pekerjaan, turnover tinggi dan juga
absen, serta rendahnya produktivitas kerja (Schaufeli dan Buunk, 1996).
Jaffe dan Scott (dalam Sulistyantini, 1997) menambahkan bahwa burnout
dapat menimbulkan masalah bagi organisasi atau perusahaan karena
simpton burnout dapat muncul dalam bentuk komitmen kinerja menurun,
frustasi, penurunan semangat kerja, turnover, hilangnya dedikasi dan

10

kreativitas individu. Simpton ini juga sering disertai dengan munculnya


simpton fisik.
Sikap negatif terhadap pekerjaan atau organisasi yang sering
muncul adalah hilangnya motivasi intrinsik individu seperti semangat,
antusiasisme, minat dan idealisme. Individu yang mengalami burnout
merasa tidak dihargai oleh organisasi atau rekan kerjanya. Individu
menjadi tidak perhatian terhadap organisasi dan akhirnya mengkritik dan
tidak mempercayai pihak manajemen, rekan kerja, maupun supervisor.
Individu yang mengalami burnout merasa tujuantujuannya tidak tercapai
dengan disertai perasaan serba kurang dan rendahnya harga diri (selfesteem ).
Menurut Chermiss dan Freudenberget (dalam Schultz dan Schultz,
1994), individu yang mengalami burnout menunjukkan rendahnya energi
dan minat pekerjaan. Individu mengalami kelelahan emosional, apatis,
murung, mudah marah, dan merasa bosan, cenderung mencari kesalahan
pada semua aspek yang ada di lingkungannya, termasuk pada rekan kerja
dan bersikap negatif kepada orang lain, serta kualitas kerjanya menurun.
Schultz dan Schultz (1994) menambahkan , sikap negatif yang dapat
berkembang adalah individu cenderung bersikap kaku pada pekerjaan,
mengikuti peraturan dan prosedur kerja dengan terpaksa karena mereka
mengalami kelelahan untuk bersikap fleksibel terhadap pendekatan
pendekatan alternatif.

11

a.

Partisipation in decitions that affect them (partisipasi karyawan dalam

setiap keputusan)
b.

Democracy in the workplace

c.

Profit sharing

d.

Pansion right (hak pensiun)

B.

Dimensi kualitas kehidupan kerja


Menurut Wayne (1989:240) ada dua (2) pandangan mengenai

maksud dari Kualitas Kehidupan Kerja. Pertama, Kualitas Kehidupan


Kerja adalah sejumlah keadaan dan praktek dari organisasi (contoh:
pengkayaan penyelia yang demokratis, keterlibatan pekerja, dan kondisi
kerja yang aman). Sementara yang kedua, Kualitas Kehidupan Kerja
adalah persepsi karyawan bahwa mereka ingin rasa aman, secrara rela
mereka puas, dan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh dan
berkembang sebagai layaknya manusia.
Sedangkan menurut Siagian (dalam Arifin, 1999:2) Kualitas
Kehidupan Kerja sebagai filsafat manajemen menekankan pada:
a.

Program

kompetitif

dengan

mempertimbangkan

berbagai

kebutuhan dan tuntutan karyawan.

b.

Peraturan perundang-undangan. Seperti ketentuan yang mengatur

pencegahan tindakan yang diskriminatif, perlakuan pekerja dengan caracara yang manusiawi dan ketentuan sistem imbalan upah minimum.

12

c.

Pengakuan keberadaan serikat pekerja dalam organisasi dengan

berbagai perannya memperjuangkan kepentingan para pekerja termasuk


upah

dan

gaji,

keselamatan

kerja,

dan

penyelesaian

pertikaian

buruh/karyawan berdasrkan berbagai ketentuan normatif yang berlaku di


wilayah tertentu.
d.

Pentingnya manajemen yang manusiawi, yang pada hakikatnya

berarti penampilan gaya manajemen yang demokratik termasuk penyelia


yang simpatik.
e.

Perkayaan pekerjaan, sebab merupakan bagian integral yang

sangat penting bagi dinamisasi perusahaan.


f.

Pentingnya tanggungjawab sosial dari pihak manajemen dan

perlakuan

manajemen

terhadap

karyawan

yang

dapat

dipertanggungjawabkan.
Dari berbagai definisi dan karakteristik Kualitas Kehidupan Kerja di
atas, yang selanjutnya oleh Arifin (1999:3) disimpulkan bahwa Kualitas
Kehidupan Kerja mempunyai empat (4) dimensi yang perlu diterapkan
oleh manajemen untuk mencapai kinerja yang unggul dan produktifitas
kerja karyawan, yaitu.

1.

Lingkungan kerja
Lingkungan kerja dalam suatu perusahaan sangat penting untuk

diperhatikan manajemen. Meskipun lingkungan kerja tidak melaksnakan

13

proses produksi dalam suatu perusahaan, namun lingkungan kerja


mempunyai

pengaruh

melaksanakan

proses

langsung
produksi

terhadap
tersebut.

para

karyawan

Lingkungan

kerja

yang
yang

memusatkan bagi karyawannya dapat meningkatkan kinerja. Sebaliknya


lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan kinerja.
Sebaliknya lingkungan kerja yang tidak memadai akan dapat menurunkan
kinerja dan akhirnya menurunkan motivasi kerja karyawan.
Suatu kondisi lingkungan kerja dikatakan baik atau sesuai apabila
manusia dapat melaksnakan kegiatan secara optimal, sehat, aman dan
nyaman. Kesesuaian lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam
jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi lingkungan-lingkungan kerja yang
kurang baik dapat menuntut tenaga kerja dan waktu yang lebih banyak
dan tidak mendukung diperolehnya rencangan sistem kerja yang efisien.
Beberapa ahli mendifinisikan lingkungan kerja antara lain sebagai
berikut :
1. Nitisemito (2000:183) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut:
Lingkungan kerja adalah segala sesuatu yang ada disekitar para pekerja
yang dapat mempengaruhi dirinya dalam menjalankan tugas-tugas yang
diembankan.
2. Sedarmayati (2001:1) mendefinisikan lingkungan kerja sebagai berikut :
Lingkungan kerja adalah keseluruhan alat perkakas dan bahan yang
dihadapi, lingkungan sekitarnya di mana seseorang bekerja, metode

14

kerjanya, serta pengaturan kerjanya baik sebagai perseorangan maupun


sebagai kelompok.
Dari beberapa pendapat di atas, disimpulkan bahwa lingkungan
kerja merupakan segala sesuatu yang ada di sekitar karyawan pada saat
bekerja, baik yang berbentuk fisik ataupun non fisik, langsung atau tidak
langsung, yang dapat mempengaruhi dirinya dan pekerjaanya saat
bekerja.
Jenis Lingkungan Kerja
Sedarmayanti (2001:21) menyatakan bahwa secara garis besar,
jenis ingkungan kerja terbagi menjadi 2 yakni : (a) lingkungan kerja fisik,
dan (b) lingkungan kerja non fisik.
Lingkungan kerja Fisik
Menurut Sedarmayanti (2001:21),Lingkungan kerja fisik adalah
semua keadaan berbentuk fisik yang terdapat di sekitar tempat kerja yang
dapat mempengaruhi karyawan baik secara langsung maupun scara tidak
langsung.

Lingkungan kerja fisik dapat dibagi dalam dua kategori, yakni :

15

1.

Lingkungan

yang

langsung

berhubungan

dengan

karyawan

(Seperti: pusat kerja, kursi, meja dan sebagainya).


2.

Lingkungan perantara atau lingkungan umum dapat juga disebut

lingkungan

kerja

yang

mempengaruhi

kondisi

manusia,

misalnya

:temperatur, kelembaban, sirkulasi udara, pencahayaan, kebisingan,


getaran mekanis, bau tidak sedap, warna, dan lain-lain.
Untuk dapat memperkecil pengaruh lingkungan fisik terhadap
karyawan, maka langkah pertama adalah harus mempelajari manusia,
baik mengenai fisik dan tingkah lakunya maupun mengenai fisiknya,
kemudian digunakan sebagai dasar memikirkan lingkungan fisik yang
sesuai.
Lingkungan Kerja Non Fisik
Menurut Sadarmayanti (2001:31), Lingkungan kerja non fisik
adalah semua keadaan yang terjadi yang berkaitan dengan hubungan
kerja, baik hubungan dengan atasan maupun hubungan sesama rekan
kerja, ataupun hubungan dengan bawahan. Lingkungan non fisik ini juga
merupakan kelompok lingkungan kerja yang tidak bisa diabaikan.
Menurut Nitisemito (2000:171-173) Perusahaan hendaknya dapat
mencerminkan kondisi yang mendukung kerja sama antara tingkat atasan,
bawahan maupun yang memiliki status jabatan yang sama di perusahaan.
Kondisi yang hendaknya diciptakan adalah suasana kekeluargaan,
komunikasi yang baik, dan pengendalian diri.

16

Sentoso (2001:19-21) yang mengutip pernyataan Prof. Myon Woo


Lee sang pencetus teori W dalam Ilmu Manajemen Sumber Daya
Manusia, bahwa pihak manajemen perusahaan hendaknya membangun
suatu

iklim

dan

suasana

kerja

yang

bisa membangkitkan

rasa

kekeluargaan untuk mencapai tujuan bersama. Pihak manajemen


perusahaan juga hendaknya mampu mendorong inisiatif dan kreativitas.
Kondisi seperti inilah yang selanjutnya menciptakan antusiasme untuk
bersatu dalam organisasi perusahaan untuk mencapai tujuan.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Lingkungan Kerja
Manusia akan mampu melaksanakan kegiatannya dengan baik,
sehingga dicapai suatu hasil yang optimal, apabila diantaranya ditunjang
oleh suatu kondisi lingkungan yang sesuai. Suatu kondisi lingkungan
dikatakan baik atau sesuai apabila manusia dapat melaksanakan
kegiatannya secara optimal, sehat, aman, dan nyaman. Ketidaksesuaian
lingkungan kerja dapat dilihat akibatnya dalam jangka waktu yang lama.
Lebih jauh lagi, Keadaan lingkungan yang kurang baik dapat menuntut
tenaga dan waktu yang lebih banyak dan tidak mendukung diperolehnya
rancangan sistem kerja yang efisien. Banyak faktor yang mempengaruhi
terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja.
Berikut ini beberapa faktor yang diuraikan Sedarmayanti (2001:21)
yang dapat mempengaruhi terbentuknya suatu kondisi lingkungan kerja
dikaitkan dengan kemampuan karyawan, diantaranya adalah :
1.

Penerangan/cahaya di tempat kerja


17

2.

Temperatur/suhu udara di tempat kerja

3.

Kelembaban di tempat kerja

4.

Sirkulasi udara di tempat kerja

5.

Kebisingan di tempat kerja

6.

Getaran mekanis di tempat kerja

7.

Bau tidak sedap ditempat kerja

8.

Tata warna di tempat kerja

9.

Dekorasi di tempat kerja

10.

Musik di tempat kerja

11.

Keamanan di tempat kerja

C.

Kompensasi (Upah atau gaji)


Salah satu tujuan manajemen sumber daya manusia, yaitu

memastikan organisasi memiliki tenaga kerja yang bermotivasi dan


berkinerja tinggi, serta dilengkapi dengan sarana untuk menghadapi
perubahan yang dapat memenuhi kebutuhan pekerjanya. Dalam usaha
mendukung pencapaian tenaga kerja yang memiliki motivasi dan
berkinerja tinggi, yaitu dengan cara memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
Sistem kompensasi juga berpotensi sebagai salah satu sarana
terpenting dalam membentuk perilaku dan mempengaruhi kinerja. Namun
demikian banyak organisasi mengabaikan potensi tersebut dengan suatu
persepsi bahwa kompensasi tidak lebih sekadar a cost yang harus
diminimisasi. Tanpa disadari beberapa organisasi yang mengabaikan
potensi penting dan berpersepsi keliru telah menempatkan sistem tersebut

18

justru sebagai sarana meningkatkan perilaku yang tidak produktif atau


counter productive. Akibatnya muncul sejumlah persoalan personal
misalnya low employee motivation, poor job performance, high turn over,
irresponsible behaviour dan bahkan employee dishonestry yang diyakini
berakar dari sistem kompensasi yang tidak proporsional.
Menurut Handoko, Faktor pendorong penting yang menyebabkan
manusia bekerja adalah adanya kebutuhan dalam diri manusia yang harus
dipenuhi (Handoko, 2003, p.30) Dengan kata lain, berangkat dari
keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup, manusia bekerja dengan
menjual tenaga, pikiran dan juga waktu yang dimilikinya kepada
perusahaan dengan harapan mendapatkan kompensasi (imbalan).
Secara umum kompensasi merupakan sebagian kunci pemecahan
bagaimana

membuat

anggota

berbuat

sesuai

dengan

keinginan

organisasi. Sistem kompensasi ini akan membantu menciptakan kemauan


diantara

orang-orang

yang

berkualitas

untuk

bergabung

dengan

organisasi dan melakukan tindakan yang diperlukan organisasi. Secara


umum

berarti

bahwa

karyawan

harus

merasa

bahwa

dengan

melakukannya, mereka akan mendapatkan kebutuhan penting yang


mereka perlukan. Dimana didalamnya termasuk interaksi sosial, status,
penghargaan, pertumbuhan dan perkembangan.
Menurut J. Long (1998:8) dalam bukunya Compensation in Canada
mendefinisikan sistem kompensasi adalah bagian (parsial) dari sistem
reward yang hanya berkaitan dengan bagian ekonomi, namun demikian

19

sejak adanya keyakinan bahwa perilaku individual dipengaruhi oleh sistem


dalam spektrum yang lebih luas maka sistem kompensasi tidak dapat
terpisah dari keseluruhan sistem reward yang disediakan oleh organisasi.
Sedangkan reward sendiri adalah semua hal yang disediakan organisasi
untuk memenuhi satu atau lebih kebutuhan individual. Adapun dua jenis
reward tersebut adalah:
a.

Ekstrinsik kompensasi, yang memuaskan kebutuhan dasar untuk

survival dan security dan juga kebutuhan sosial dan pengakuan.


Pemuasan ini diperoleh ari faktor-faktor yang ada di sekeliling para
karyawan di sekitar pekerjaannya, misalnya : upah, pengawasan, co
worker dan keadaan kerja.
b.

Intrinsik kompensasi, yang memenuhi kebutuhan yang lebih tinggi

tingkatannya,

misalnya

untuk

kebanggaan,

penghargaan,

serta

pertumbuhan dan perkembangan yang dapat diperoleh dari faktor-faktor


yang melekat dalam pekerjaan karyawan itu, seperti tantangan karyawan
atau interest suatu pekerjaan yang diberikan, tingkatan keragaman/variasi
dalam pekerjaan, adanya umpan balik, dan otoritas pengambilan
keputusan dalam pekerjaan serta signifikansi makna pekerjaan bagi nilainilai organisasional.
Masalah kompensasi bukan hanya penting karena merupakan
dorongan utama seseorang menjadi karyawan, tapi juga besar pengaruh
terhadap semangat dan kegairahan kerja para karyawan. Dengan
demikian maka setiap badan usaha harus dapat menetapkan kompensasi
20

yang paling tepat, sehingga dapat menopang mencapai tujuan badan


usaha secara lebih efektif dan lebih efisien. Seberapa besar kompensasi
diberikan harus sedemikian rupa sehingga mampu mengikat para
karyawan. Hal ini adalah sangat penting sebab bila komponen yang
diberikan kepada para karyawan terlalu kecil bila dibandingkan badan
usaha lain, maka hal ini dapat menyebabkan karyawan pindah ke badan
usaha yang lain. Dalam perkembangannya sistem kompensasi sendiri
mempunyai tiga komponen pokok, yaitu :
a.

Upah dasar (based pay), merupakan komponen upah dasar bagi

kebanyakan karyawan, dan pada umumnya berdasarkan hitungan waktu,


seperti jam, hari, minggu, bulan atau per tahun.
b.

Upah berdasar kinerja (performance related pay), berkaitan dengan

monetary reward dengan basis ukuran atau merupakan upah yang


didasarkan pada ukuran kinerja individu, kelompok atau organisasi.

c.

Upah

tidak

langsung

dikenal

sebagai

employee

benefit

keuntungan bagi karyawan terdiri dari barang-barang jasa non cash item
atau services yang secara langsung memuaskan sejumlah kebutuhan
spesifik karyawan, seperti jaminan keamanan pendapatan (income
security) termasuk asuransi jiwa, perlindungan kesehatan termasuk
medical & dental plan dan pensiun.

21

Menurut

Mondy,

bentuk

dari

kompensasi

yang

diberikan

perusahaan kepada karyawan dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua),


yaitu: (1) financial compensation, dan (2) non-financial compensation,
- Financial compensation (kompensasi finansial)
Kompensasi finansial artinya kompensasi yang diwujudkan dengan
sejumlah uang kartal kepada karyawan yang bersangkutan. Kompensasi
finansial implementasinya dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:

Direct

Financial

compensation

(kompensasi

finansial

langsung)

Kompensasi finansial langsung adalah pembayaran berbentuk uang yang


karyawan terima secara langsung dalam bentuk gaji/upah, tunjangan
ekonomi, bonus dan komisi. Gaji adalah balas jasa yang dibayar secara
periodik kepada karyawan tetap serta mempunyai jaminan yang pasti,
sedangkan upah adalah balas jasa yang dibayarkan kepada pekerja
dengan berpedoman pada perjanjian yang disepakati pembayarannya.

Indirect Financial compensation (kompensasi finansial tak langsung)


Kompensasi

finansial

tidak

langsung

adalah

termasuk

semua

penghargaan keuangan yang tidak termasuk kompensasi langsung.


Wujud dari kompensasi tak langsung meliputi program asuransi tenaga
kerja (jamsostek), pertolongan sosial, pembayaran biaya sakit (berobat),
cuti danlain-lain.
- Non-financial compensation (kompensasi non finansial)

22

Kompensasi non-finansial adalah balas jasa yang diberikan


perusahaan kepada karyawan bukan berbentuk uang, tapi berwujud
fasilitas. Kompensasi jenis ini dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
Non financial the job (kompensasi berkaitan dengan pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai pekerjaan ini dapat berupa pekerjaan
yang menarik, kesempatan untuk berkembang, pelatihan, wewenang dan
tanggung jawab, penghargaan atas kinerja. Kompensasi bentuk ini
merupakan perwujudan dari pemenuhan kebutuhan harga diri (esteem)
dan aktualisasi (self actualization).
Non financial job environment (kompensasi berkaitan dengan lingkungan
pekerjaan)
Kompensasi non finansial mengenai lingkungan pekerjaan ini dapat
berupa supervisi kompetensi (competent supervision), kondisi kerja yang
mendukung (comfortable working conditions), pembagian kerja (job
sharing).
Besarnya kompensasi yang diterima karyawan mencerminkan
jabatan, status, dan tingkat pemenuhan kebutuhan yang dinikmati oleh
karyawan bersama keluarganya. Apabila kompensasi yang diterima
karyawan semakin besar, berarti jabatannya semakin tinggi, statusnya
semakin baik, dan pemenuhan kebutuhan yang dinikmatinya semakin
banyak pula. Dengan demikian kepuasan kerja karyawan semakin baik
dan hasil kerja pun akan baik.

23

Kepentingan perusahaan dengan pemberian kompensasi yaitu


memperoleh imbalan prestasi kerja yang lebih besar dari karyawan.
Sedangkan kepentingan karyawan atas kompensasi yang diterima, yaitu
dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya dan menjadi keamanan
ekonomi rumah tangganya. Bagi perusahaan, kompensasi merupakan
faktor utama dalam kepegawaian. Kebijakan sumber daya manusia
banyak

berhubungan

kompensasi

karyawan.

dengan

pertimbangan

untuk

menentukan

Tingkat

besar-kecilnya

kompensasi

sangat

berkaitan dengan tingkat pendidikan, tingkat jabatan, dan masa kerja


karyawan.
D.

Partisipasi karyawan
Pandangan dari pemecahan masalah secara partisipatif melibatkan

anggota-anggota

organisasi

pada

berbagai

tingkatan.

Manajemen

partisipatif adalah suatu sistem dimana anggota-anggotanya dilibatkan


dalam pelaksanaan operasional atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari
penyelia. Dalam hal ini pekerja memiliki kesempatan untuk berpartisipasi
atau terlibat didalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi secara
langsung ataupun tidak langsung terhadap pekerjaan mereka. Kualitas
kehidupan

kerja

tidak

dapat

didelegasikan

secara

sepihak

oleh

manajemen, namun melalui kesepakatan antara atasan dan bawahan


yang kemudian oleh Arifin (1999:3) istilah tersebut dikenal dengan konsep
employee involment (keterlibatan pekerja).

24

Keterlibatan pekerja diartikan sebagai bentuk perizinan para


pekerja

untuk

berpartisipasi

mempengaruhi

mereka.

tanggungjawab

dan

dalam

Dimana

peranan

pengambilan
pihak

keputusan

manajemen

pengambilan

yang

melepaskan

keputusan.

Hal

ini

membuktikan bahwa adanya rasa saling percaya antara pihak manajemen


dengan pekerja tanpa harus saling curiga.
Secara teoritis manajemen partisipatif diklasifikasi menjadi dua (2)
bagian. Pertama, setiap individu dalam suatu organisasi sanggup untuk
menyumbangkan perbaikan-perbaikan dalam kerja yang mereka lakukan.
Ini berarti bahwa setiap orang dalam tugas-tugas khusus adalah pekerja
yang paling tahu bidang garapannya masing-masing. Terlebih jika pekerja
dimotivasi untuk dikembangkan lebih banyak untuk mempengaruhi situasi
kerja. Para pekerja lebih cenderung untuk lebih komitmen terhadap
pencapaian tujuan dan perubahan dimana mereka turut membentuknya.
Kedua, bahwa hasil dari kelompok kerja bersama-sama akan lebih besar
dari pada jumlah usaha individu secara terpisah.

E.

Restrukturisasi kerja
Perhatian selanjutnya dalam konteks Kualitas kehidupan kerja

adalah restrukturisasi kerja yang secara alami dilakukan oleh karyawan


dan sistem kerja yang melingkupinya. restrukturisasi kerja mencakup
pengawasan, penetapan kerja terutama prosedur dalam pengembangan
para pekerja dengan keterlibatan pekerja. Dengan demikian akan

25

membuat pekerja menjadi interdependensi sehingga akan terbentur


kerjasama yang solid antar tim. Jika kondisi ini sudah menjadi budaya
dalam organisasi, maka untuk mencapai tingkat kerja yang diinginkan
tidak sulit dalam hal ini Kualitas kehidupan kerja mengandung pengertian
bahwa kehidupan kerja seseaorang, terdapat kemungkinan untuk
mengembangkan keterampilan dan kemampuan yang dimilikinya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan uraian bahasan Kualitas Kerja dapat disimpulkan
bahwa:

26

1. Kualitas kehidupan kerja adalah tingkat individu-individu yang


merasa puas atas kebutuhan-kebutuhan penting merekaseperti
kebutuhan untuk bebas- dimana mereka bekerja dalam suatu
perusahaan. Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kualitas
kehidupan kerja ditentukan oleh bagaimana pekerja merasakan
perannya dalam setiap organisasi.
2. Dalam dimensi kualitas kehidupan kerja, lingkungan kerja sangat
berpengaruh terhadap kualitas kerja. Jenis lingkungan kerja terbagi
menjadi 2 yakni: lingkungan kerja fisik dan lingkungan kerja non
fisik.
3. Memberikan kompensasi (upah atau gaji) merupakan salah satu
cara untuk memastikan organisasi dapat bekerja dengan penuh
motivasi dan berkinerja tinggi serta juga berpotensi sebagai salah
satu

sarana

terpenting

dalam

membentuk

perilaku

dan

mempengaruhi kinerja.
4. Manajemen partisipasi karyawan adalah suatu sistem dimana
anggota-anggotanya dilibatkan dalam pelaksanaan operasional
atau kegiatan bisnis di bawah arahan dari penyelia.
5. Restrukturisasi kerja merupakan sistem kerja yang mencakup
pengawasan,

penetapan

kerja

terutama

prosedur

dalam

pengembangan para pekerja dengan keterlibatan pekerja.

27

DAFTAR PUSTAKA
Alex S. Nitisemito (2000). Manajemen Personalia: Manajemen Sumber
Daya Manusia, Ed. 3, Ghalia Indonesia, Jakarta.
Arifin, Nur. Aplikasi konsep Quality of Worklife (QWL) dan Upaya
Menumbuhkan Motivasi Karyawan berkinerja Unggul. Usahawan
No. 10 Th. XXVIII. Oktober. 1999.
Bernadin and Russel, Joice E.A. 1993. Human Resources Management,
An Experiential Approach. By McGraw-Hill, Inc. Newyork, USA.
Cascio, Wayne F. 1989. Managing Human Resource. Productivity, Quality
of Worklife, Profit. Second Edition. McGraw-Hill, Inc. Singapura.
28

Filippo B. Edwin. 1983. Personal Management. Sixth Edition. McGraw-Hill.


International Book Company, USA.
Mangkunegara, Anwar P, 2003, Perencanaan & Pengembangan
Sumberdaya Manusia, Bandung : Refika Aditama.
Paul. F. Buller, 1995, Successful Partnerships : HR and Strategic Planning
at Eight Top Firms, Academy of Management Executive, Vol9. No.2.
Schaufeli, W.B., and Buunk, B.P.1996. Profesional Burnout, Handbook of
Work and Health Psychology., Schabracq, M.J. Winnubst, J.A.M.,
Cooper, C.L. ( Editor ). Chichester : John Wiley and Sons Ltd.
Schultz, D.P., and Schultz, S.E. 1994. Psycology and Work Today : an
Introduction to Industrial an Organizational Psycology. Sixth Edition,
New York : Macmillan Publishing Company.
Sedarmayanti (2001). Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja.
Mandar Maju, Bandung.
Suryadi Perwiro Sentono (2001). Model Manajemen Sumber Daya
Manusia Indonesia, Asia dan Timur Jauh, Bumi Aksara, Jakarta.
Sulistyantini, S.R. 1997. Hubungan Antara Dukungan Sosial dengan
Burnout pada Perawat di Rumah Sakit Angkatan Laut Jakarta
Pusat. Hasil Penelitian ( tidak diterbitkan ). Jogjakarta : Fakultas
Psikologi, UGM.
Titin ekowati, 2009, Quality of Work Life : Upaya Antisipasi Stress di
Tempat Kerja. Jurnal, published in www.um-pwr.ac.id.
TUGAS INDIVIDU
PERILAKU KEORGANISASIAN

MAKALAH KUALITAS KEHIDUPAN KERJA

29

NURUL FADHILLAH AZIS


14. 501. 011

30

You might also like