You are on page 1of 18

REFERAT

SEPSIS

Disusun Oleh:
Friska Leonardy
17120080022

Pembimbing:
dr. Maria Rini, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN PENYAKIT DALAM


RUMKITAL MARINIR CILANDAK
Periode 27 Agustus 2012 3 November 2012

Bab I.

Pendahuluan

Sepsis merupakan puncak dari interaksi kompleks dari imunitas penderita, reaksi inflamasi
dan koagulasi dan mikroorganisme yang menginfeksi. Sepsis adalah penyakit yang
heterogen, aktivasi proses inflamasi yang tidak terkontrol dapat menyebabkan progresi sepsis
menjadi sepsis berat dan dapat berujung pada terjadinya syok septik.1
Sepsis merupakan penyebab utama kematian di intensive care units (ICU) di seluruh dunia.
Dilaporkan lebih dari 34.000 kematian disebabkan oleh sepsis di Amerika. Sebuah penelitian
di India dilakukan untuk mengetahui insidensi dari sepsis berat. Dari total 1.344 pasien yang
masuk ke Intensive Care Unit (ICU), total pasien yang masuk dengan sepsis berat adalah
13%. Terjadi peningkatan insidensi sepsis akibat dari kemajuan medik di seluruh dunia
seperti misalnya penggunaan kateter intravaskular yang berkepanjangan, peningkatan dalam
implan material bagian tubuh buatan seperti sendi atau katup jantung buatan dan penggunaan
obat-obat imunosupresif atau agen kemoterapi.1,2,3
Referat ini akan akan membahas lebih dalam tentang sepsis ditinjau dari definisi, etiologi,
patogenesis, diagnosis, komplikasi dan penatalaksanaan.

Bab II.

Isi

2.1 Definisi
Sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang masih dicurigai secara klinis atau telah terbukti
disertai dengan adanya SIRS.4 SIRS adalah manifestasi klinis dari inflamasi sistemik dengan
dua atau lebih kriteria sebagai berikut:5,6
1. Suhu > 38oC atau <36oC
2. Denyut jantung > 90x/menit
3. Laju nafas >20x/menit atau PaCO2 <32mmHG
4. Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau <4.000/mm atau > 10% sel imatur (batang)
Sepsis berat adalah sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi.
Yang termasuk di dalam hipoperfusi adalah asidosis laktat, oliguria atau perubahan status
mental akut. Akan tetapi hipoperfusi tidak terbatas pada ketiga hal tersebut saja. Syok septik
didefinisikan sebagai sepsis berat dengan hipotensi walaupun telah diberikan resusitasi cairan
yang adekuat.6
2.2 Etiologi
Di negara barat, penyebab paling sering dari sepsis adalah infeksi bakteri. Bakteri gram
positif yang paling sering menyebabkan sepsis adalah Staphylococcus aureus dan
Streptococcus pneumoniae sedangkan bakteri gram negatif yang paling sering menyebabkan
sepsis adalah Escherichia coli, Klebsiella sp. dan Pseudomonas aeruginosa. Walaupun
bakteri-bakteri ini juga sering ditemukan pada kultur darah pasien dengan sepsis di daerah
tropis, perlu dipertimbangkan penyebab lain yang dapat menyebabkan sepsis. Penyebab
potensial sepsis yang mematikan di negara tropis adalah infeksi malaria fulminan, tetanus
fulminan, infeksi amuba fulninan, demam berdarah viral, leptospirosis, demam tifoid, dan
hiperinfeksi yang disebabkan oleh strongiloidosis.7
Lokasi yang umumnya menjadi sumber infeksi pada pasien dengan sindroma sepsis adalah
traktus respiratori, traktus genitourinaria, traktus gastrointestinal dan traktus hepatobilier.
Lokasi lain yang lebih jarang menjadi sumber infeksi adalah jalur intravena, cairan infus,
luka operasi, pemakaian kateter jangka panjang dan ulkus dekubitus.8 Sepsis yang disebabkan
oleh bakteri gram negatif merupakan flora normal di dalam traktus gastrointestinal yang
menyebar ke struktur yang berdekatan seperti pada peritonitis akibat perforasi apendiks atau

flora normal yang berpindah dari perineum ke urethre atau kandung kemih. Fokus infeksi
sepsis yang disebabkan bakteri gram negatif lainnya adalah berasal dari traktus
genitourinarium dan saluran empedu. Sepsis yang disebabkan oleh bakteri gram positif
biasanya disebabkan oleh infeksi pada kulit, saluran respiratori dan luka terbuka seperti pada
luka bakar.5
Telah terjadi perubahan bakteriologi dari sepsis dalam dekade terakhir. Bakteri gram negatif
seperti contohnya Enterobacteriaceae spp. dan Pseudomonas spp. yang sebelumnya
merupakan penyebab utama dari sepsis telah digantikan oleh bakteri gram positif yang saat
ini menyebabkan lebih dari 50% dari kasus sepsis. Staphylococcus spp. adalah bakteri yang
paling sering ditemukan pada kultur darah, diduga karena terjadinya peningkatan prevalansi
dari pemakaian jangka alat-alat dengan akses vena dan bahan-bahan prostetik implan.
Dengan alasan yang sama, kejadian sepsis fungal yang disebabkan oleh Candida spp.
meningkat secara dramatis dalam dekade terakhir. Sepsis yang berhubungan dengan P
aeruginosa, Candida, atau infeksi campuran dari beberapa organisme memiliki angka
mortalitas yang tinggi.2
2.3 Patogenesis
MEKANISME PENGENALAN MIKROBA OLEH PENJAMU
Penyebab sepsis dan syok sepsis yang paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari
endotoksin gram negatif maupun eksotoksin gram positif. Struktur lipid A dari lipolisakarida
(LPS, dapat juga disebut endotoksin) yang merupakan komponen utama dari membran terluar
bakteri gram negatif bertanggung jawab terhadap toksisitas bakteri dan reaksi inflamasi.
Respon yang dihasilkan terhadap endotoksin mencakup interaksi kompleks dari makrofag,
neutrofil, monosit, limfosit, platelet dan sel endotel yang dapat mempengaruhi hampir semua
organ. Sebuah protein dari penjamu (LPS-binding protein) berikatan dengan lipid A dan
membawa LPS menuju CD14 yang terdapat pada permukaan monosit, makrofag dan
meutrofil. LPS kemudian akan diteruskan ke MD-2 yang berikatan dengan toll like receptors
4 (TLRs4) untuk membentuk sebuah kompleks molekuler yang mengirimkan sinyal
pengenalan LPS ke bagian dalam dari sel. Sinyal ini akan secara cepat memicu produksi dan
pelepasan dari mediator-mediator, seperti tumor necrosis factor (TNF), yang akan
memperkuat dan mengirimkan sinyal LPS ke sel dan jaringan lain. Peptidoglikan dan
lipopeptida dari bakteri menimbulkan respon yang secara keseluruhan mirip dengan respon
yang ditimbulkan LPS. Molekul-molekul tersebut akan ditransfer oleh CD14 dan berinterkasi

dengan TLR yang berbeda. Terdapat 11 jenis TLR yang berbeda yang telah terindentifikasi
sejauh ini pada manusia. Protein lain yang penting dalam proses pengenalan invasi patogen
adalah nucleotide-binding oligomerization domain-containing protein (NOD) 1 dan 2 yang
akan mengenali fragmen yang berlainan dari peptidoglikan bakteri, komponen komplemen
awal (jalur alternatif), dan lektin yang berikatan dengan mannose dan C-reactive protein yang
mengaktifkan komplemen melalui jalur klasik.5,9,10
Kemampuan penjamu untuk mengenali molekul mikroba tertentu dapat mempengaruhi
potensi dari pertahanan diri dan patogenesis dari sepsis berat. Sebagai contoh, MD-2-TLR4
paling baik mendeteksi LPS yang memiliki lipid A dengan rantai hexaacyl. Kebanyakan dari
bakteri gram negatif komensal aerob dan non-aerob yang dapat mencetuskan sepsis berat dan
syok septik (sebagai contoh E. coli, Klebsiella dan Enterobacter) memiliki struktur lipid A
dengan rantai hexaacyl ini. Saat patogen patogen ini menginvasi penjamu, biasanya melalui
epitel pelindung yang rusak, patogen-patogen ini biasanya terbatas di jaringan subepitel dan
menyebabkan respon inflamasi lokal. Patogen-patogen ini tampaknya menyebabkan sepsis
berat umumnya dengan mencetuskan inflamasi lokal yang berat daripada dengan bersirkulasi
di aliran darah.9,10
RESPON LOKAL DAN SISTEMIK TERHADAP INVASI MIKROBA
Pengenalan molekul mikroba oleh fagosit jaringan mencetuskan terjadinya produksi dan/atau
pelepasan dari sejumlah molekul penjamu (seperti sitokin, kemokin, prostanoid, leukotriene
dan lainnya) yang menyebabkan peningkatan airan darah ke jaringan yang terinfeksi,
meningkatkan permeabilitas pembuluh darah lokal, mengerahkan neutrofil ke tempat infeksi
dan menghasilkan sakit. Respon sistemik diaktivasi oleh komunikasi humoral dan/atau neural
dengan hipotalamus dan batang otak; respon ini meningkatkan pertahanan lokal dengan
meningkatkan aliran darah ke daerah yang terinfeksi, meningkatkan jumlah neutrofil yang
bersirkulasi, dan menaikkan level dari sejumlah molekul di pembuluh dari yang memiliki
fungsi anti-infeksi.10
Sitokin dan Mediator lainnya
Sitokin dapat memiliki efek endokrin, parakrin dan autokrin. TNF- menstimulasi leukosit
dan sel endotel pembuluh darah untuk melepaskan sitokin lainnya, untuk mengeskpresikan
molekul permukaan sel yang memperbanyak adesi neutrofil-endotel pada tempat infeksi dan

meningkatkan produksi prostaglandin serta leukotriene. Level TNF-

di pembuluh darah

mengalami peningkatan pada pasien dengan sepsis berat atau syok septik.
TNF-

walaupun berfungsi sebagai mediator sentral, hanya merupakan satu dari begitu

banyak molekul proinflamatori yang berkontribusi dalam pertahanan penjamu. Kemokin,


terutama interleukin (IL)-8 dan IL-17, menarik neutrofil sirkulasi ke tempat infeksi. IL-1
menunjukkan aktifitas serupa dengan TNF- . TNF- , IL-1 , interferon (IFN) , IL-12, IL17 dan sitokin proinflamasi lainnya dan mungkin berinteraksi secara sinergis satu dengan
yang lainnya.5,9,10
Faktor Koagulasi
Trombosis intravaskular, sebuah tanda dari respon inflamasi lokal, dapat membantu
mencegah invasi mikroba dan penyebaran infeksi dan inflamasi ke jaringan lain. IL-6 dan
mediator lainnya mendorong terjadinya koagulasi intaravaskular dengan menginduksi
monosit dan sel endotel pembuluh darah untuk mengekspresikan faktor jaringan. Saat faktor
jaringan diekspresikan pada permukaan sel, ia akan berikatan dengan faktor VIIa untuk
membentuk kompleks aktif yang dapat mengkonversi faktor X dan IX menjadi bentuk aktif.
Hasil yang didapatkan adalah aktivasi dari jalur pembekuan ekstrinsik dan intrinsik,
menyebabkan pemuncakan dari produksi fibrin. Pembekuan juga terjadi akibat gangguan
fungsi jlaur inhibisi protein C-protein S dan deplesi antitrombin dan protein C dan S,
sedangkan fibrinolisis dihambat oleh peningkatan level inhibitor aktivator plasminogen 1.
Hal ini dapat menyebabkan kecenderungan yang menyolok pada deposisi fibrin intravaskular,
trombosis dan pendarahan; kecenderungan ini paling sering terlihat pada pasien dengan
infeksi endotelial intravaskular seperti meningococcemia. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
faktor jaringan yang mengekspresikan mikropartikel yang berasal dari leukosit berpotensi
sebagai pencetus koagulasi intravaskular. Aktivasi sistem-kontak terjadi selama sepsis tetapi
berkontribusi lebih kepada terjadinya hipotensi dibandingkan dengan terjadinya koagulasi
intravaskular diseminata (DIC).4,9,10

Gambar 1. Respon prokoagulan pada sepsis


(Dikutip dari JA, Russell. Drug Therapy : Management of Sepsis. The New England
Journal of Medicine, 2006: 1699-1713.)
Mekanisme Kontrol Lokal
Pengenalan mikroba yang menginvasi oleh penjamu di dalam jaringan subepitel akan secara
khusus mengaktifkan respon imun yang secara cepat membunuh patogen. Respon imun ini
kemudian akan mereda untuk memberikan kesempatan pemulihan jaringan. Proses antiinflamasi yang membantu meredakan proses inflamasi mencakup molekul yang menetralkan
atau menginaktifasi signal mikrobial. Diantara molekul-molekul ini adalah faktor intrasel
(contohnya penekan dari cytokine signaling 3 and IL-1 receptorassociated kinase 3) yang
menurunkan produksi mediator proinflamasi oleh neutrofil dan makrofag; sitokin antiinflamasi (IL-10. IL-4) dan molekul yang berasal dari essential polyunsaturated fatty acids
(lipoxin, resolvin dan protektin) yang mendorong terjadinya pemulihan jaringan. Inaktivasi
enzim oleh sinyal molekul mikrobial (mis : LPS) dapat dibutuhkan untuk memulihkan
homeostasis; acyloxyacyl hydrolase yang merupakan enzim leukosit terbukti menghambat
terjadinya inflamasi yang berkepanjangan dengan menginaktivasi LPS pada tikus.9,10

Mekanisme Kontrol Sistemik


Badan pengirim sinyal yang menghubungkan pengenalan mikrobial dengan respon seluler
lebih tidak aktif di darah dibandingkan dengan di jaringan. Sebagai contoh, walaupun LPSbinding protein memiliki peran dalam mengenali kehadiran LPS di jaringan, pada plasma
protein ini juga mencegah terjadinya pengiriman sinyal LPS dengan mentransfer molekul
LPS kedalam partikel lipoprotein plasma yang mengambil bagian dari lipid A sehingga LPS
tidak dapat berinteraksi dengan sel. Pada keadaan dimana konsentrasi LPS-binding protein
tinggi di dalam darah, LPS-binding protein juga menginhibisi respon monosit terhadap LPS
dan bentuk sirkulasi dari CD14

melepaskan LPS yang berikatan dengan permukaan

monosit.4,10
Respon sistemik terhadap infeksi juga mengurangi respon selular terhadap molekul
mikrobial. Level dari sitokin anti-inflamasi sirkulasi (contoh : IL-10) meningkat bahkan pada
pasien dengan infeksi ringan. Glukokortikoid menginhibisi sintesis in vitro sitokin oleh
monosit; peningkatan level kortisol darah pada awal respon sistemik memiliki peran inhibisi
yang sama. Epinefrin menginhibisi respon TNF-

terhadap pemasukan endotoksin pada

penjamu dan secara bersamaan memperbanyak dan mempercepat pelepasan IL-10;


protaglandin E2 memiliki efek pemograman ulang yang sama terhadap respon dari monosit
sirkulasi kepada LPS dan agonis bakterial lainnya. Kortisol, epinefrin, IL-10 dan C-reactive
protein menurunkan kemampuan neutrofil untuk menempel pada endotel pembuluh darah,
melepaskan neutrofil dari endotel dan dengan demikian berkontribusi terhadap leukositosis
sementara menghambat adhesi neutrofil-endotelial pada organ yang tidak mengalami
inflamasi. Bukti-bukti yang tersedia dengan demikian menunjukkan bahwa respon sistemik
tubuh terhadap kerusakan dan infeksi biasanya menghambat inflamasi di dalam organ-organ
yang jauh dari tempat terjadinya infeksi. Terdapat juga bukti yang menunjukkan bahwa
respon-respon ini dapat memiliki efek imunosupresi.4,10
Respon pada fase akut menyebabkan peningkatan konsentrasi dari begitu banyak molekul
yang memiliki efek anti-inflamasi di dalam darah. Sebagai contoh, level reseptor antagonis
IL-1 di dalam darah sering kali melebihi level dari IL-1 sirkulasi dan kelebihan ini dapat
menginhibisi pengikatan IL-1

dengan reseptornya. Level yang tinggi dari reseptor TNF

terlarut menetralkan TNF- yang memasuki sirkulasi. Protein fase akut lain adalah inhibitor
protease atau antioksidan yang dapat menetralkan molekul berbahaya yang dilepaskan oleh

neutrofil dan sel inflamasi lainnya. Peningkatan produksi hepcidin oleh hati akan mendorong
terjadinya pelepasan zat besi di dalam hepatosit, sel epitel intestinal dan eritrosit; efek ini
akan mengurangi pengambilan zat besi oleh mikroba serta berkontribusi terhadap terjadinya
anemia normositik normokrom yang berhubungan dengan inflamasi.4,10
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa respon lokal dan sistemik terhadap agen
infeksius memberikan keuntungan-keuntungan yang penting bagi penjamu. Penjelasan
tentang bagaimana respon-respon ini berkontribusi terhadap kematian (sebagai contoh
terjadinya maladaptasi) masih menjadi tantangan besar untuk penelitian sepsis.10
Kerusakan Endotel
Banyak penelitian yang menunjukkan keterlibatan kerusakan endotel yang menyebarluas
sebagai mekanisme utama terjadinya disfungsi multiorgan. Mediator-mediator yang berasal
dari leukosit dan platelet-leukocyte-fibrinthrombi dapat berkontribusi terhadap kerusakan
vaskuler, tetapi endotelium vaskuler juga tampaknya memiliki peran aktif. Stimulus seperti
TNF-

menginduksi sel endotelial vaskular untuk memproduksi dan melepaskan sitokin,

molekul prokoagulan, faktor aktivasi platelet, nitrik oksida (NO) dan mediator lainnya.
Sebagai tambahan, molekul sel adhesi menyebabkan penempelan neutrofil kepada sel
endotel. Sementara respon ini dapat menyebabkan penarikan fagosit ke tempat infeksi dan
aktivasi dari komponen antimikrobial, aktivasi sel endotel juga dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular, trombosis mikrovaskular, DIC dan hipotensi.4,9,10
Oksigenasi jaringan dapat menurun selagi terjadi penurunan jumlah kapiler fungsional oleh
obstruksi luminal akibat pembengkakan sel endotel, penurunan pembentukan eritrosit
sirkulasi, leukocyte-platelet-fibrinthrombi atau kompresi dari cairan edema. Di sisi lain,
penelitian menggunakan orthogonal polarization spectral imaging terhadap mikrosirkulasi di
lidah menemukan bahwa perubahan aliran kapiler yang berhubungan dengan sepsis dapat
dibalikkan dengan pemberian asetilkolin ke permukaan lidah atau dengan pemberian
nitroprusside intravenously; observasi ini menunjukkan neuroendokrin sebagai dasar dari
hilangnya pengisian kapiler. Penggunaan oksigen oleh jaringan dapat juga terganggu oleh
keadaan hibernasi dimana produksi ATP berkurang selagi terjadi penurunan fosforilasi
oksidatif; NO dapat bertanggung jawab terhadap induksi respon ini.9,10
Organ-organ dengan fungsi yang menurun akibat sepsis biasanya tampak normal pada otopsi.
Nekrosis atau trombosis hanya sedikit terlihat dan apoptosis hanya terbatas pada organ

limfoid dan trkatus gastrointestinal. Fungsi organ juga akan kembali normal saat keadaan
pasien membaik. Poin-poin ini menunjukkan bahwa disfungsi organ yang terjadi pada sepsis
berat memiliki dasar biokemikal, bukan struktural.9,10

Gambar 2. Respon inflamasi pada sepsis


(Dikutip dari JA, Russell. Drug Therapy : Management of Sepsis. The New England
Journal of Medicine, 2006: 1699-1713.)
2.4 Manifestasi Klinis
Manifetasi klinis dari sepsis biasanya tidak spesifik yang diawali dengan gejala
konstitusional berupa demam, menggigil, rasa lelah, malaise, gelisah atau kebingungan.5
Manifestasi dari respon sepsis biasanya tumpang tindih dengan gejala dan tanda dari penyakit
yang mendahului atau infeksi primer penderita. Manifestasi klinis dari sepsis bervariasi pada
setiap penderita, sebagai contoh pada beberapa individu, sepsis dapat menyebabkan
hipotermi atau tidak menyebabkan perubahan suhu tubuh yang biasanya ditemukan pada
neonatus, pasien dengan usia lanjut dan pasien dengan uremia atau yang sering
mengkonsumsi alkohol, sedangkan pada individu yang lain sepsis menyebabkan hipertermi.10
Hiperventilasi sering menjadi tanda awal dari sepsis. Disorientasi, kebingungan dan gejala
lain dari ensefalopati juga dapat terjadi pada awal sepsis, khususnya pada pasien usia lanjut
dan pada individu yang memiliki kerusakan neurologis sebelumnya. Hipotensi dan

disseminated intravascular coagulation (DIC) menjadi faktor predisposisi dari terjadinya


acrocyanosis dan nekrosis iskemik jaringan perifer dengan jari tangan dan kaki sebagai
tempat yang paling umum. Selulitis, pustul, bula, atau lesi hemoragik dapat terjadi apabila
bakteri hematogen atau jamur menginfeksi kulit atau jaringan lunak. Toksin bakteri juga
dapat menyebar secara hematogen dan menyebabkan reaksi kutan yang luas. Terkadang, lesi
kulit dapat menunjukkan patogen spesifik seperti misalnya pada sepsis dengan petekie atau
purpura, N. meningitidis (atau yang lebih jarang H. influenzae) dapat dicurigai sebagai
patogen penyebab. Lesi kulit berupa ektima gangrenosum (lesi bula yang dikelilingi oleh
edema yang mengalami pendarahan dan nekrosis sentral) pada pasien dengan neutrofilia
biasanya disebabkan oleh P. aeruginosa. Lesi bula atau hemoragik pada pasien sepsis yang
baru-baru saja mengkonsumsi tiram mentah dapat menunjukkan infeksi oleh V.
vulnificus,sedangkan pada pasien dengan lesi serupa yang baru-baru saja mengalami luka
gigitan anjing dapat dicurigai sebagai infeksi oleh Capnocytophaga canimorsus or C.
cynodegmi. Eritroderma yang menyeluruh pada pasien sepsis dapat menunjukkan toxic shock
syndrome yang disebabkan oleh S. aureus or S. pyogenes.5,10
Manifestasi gastrointestinal seperti rasa mual, muntah, diare dan ileus menunjukkan
gastroenteritis akut. Stress ulcer dapat menyebabkan pendarahan dari traktus gastrointestinal
bagian atas. Jaundice kolestatik dengan peningkatan serum bilirubin (terutama bilirubin
direk) dan alkaline phosphatase dapat juga menjadi tanda yang mendahului tanda lain dari
sepsis. Disfungsi dari sel dan kanalikuli hepar mendasari sebagian besar kasus dan hasil tes
fungsi hati akan kembali normal apabila terjadi resolusi dari infeksi. Hipotensi yang berat
atau berkepanjangan dapay menyebabkan kerusakan hati akut atau ischemic bowel
necrosis.5,10
Metabolisme anaerobik dapat terjadi yang disebabkan oleh banyaknya jaringan yang tidak
dapat memecah oksigen secara normal dari darah walaupun saturasi oksigen mendekati
normal yang berakibat sebagai peningkatan kadar laktat dalam darah. Peningkatan kadar
laktat dalam darah juga dapat disebabkan oleh kemampuan pembuangan laktat dan piruvat
oleh hepar dan ginjal. Pada kebanyakan pasien, terutama pada pasien dengan diabetes, dapat
terjadi peningkatan kadar gula dalam darah. Pada beberapa pasien terjadi gangguan
glukoneogenesis dan pelepasan insulin yang berlebihan yang dapat menyebabkan
hipoglikemi. Terjadi juga inhibisi dari transthyretin dan peningkatan produksi dari C-reactive
protein, fibrinogen dan komponen dari komplemen sebagai hasil dari respon dari sitokin pada

fase akut. Kadar serum albumin mengalami penurunan sebagai akibat dari penurunan sintesis
oleh hati dan perpindahan albumin ke ruang interstisial.5,10
2.5 Diagnosis
Sepsis adalah SIRS dengan bukti adanya infeksi atau kecurigaan adanya infeksi secara klinis
sehingga diagnosis sepsis dapat ditegakkan dengan ditemukannya dua atau lebih kriteria
SIRS dan bukti adanya infeksi melalui anamnesis, pengambilan riwayat medis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan uji laboratorium.5,6
Melalui anamnesis dan pengambilan riwayat medis yang cermat, kita dapat mengetahui
faktor resiko yang dapat menyebabkan infeksi pada pasien seperti riwayat penggunaan
kateter atau instrumensasi yang berkepanjangan, riwayat luka bakar atau luka yang terbuka,
riwayat paparan terhadap agen infeksius dan faktor resiko terjadinya penurunan imunitas dari
pasien sehingga mudah terjadi infeksi. Perlu juga diketahui riwayat penyakit yang baru-baru
ini diderita oleh pasien seperti infeksi gastrointestinal, infeksi traktus respiratori, infeksi
urogenital dan infeksi di tempat lainnya.5
Tanda-tanda dari sepsis berupa kenaikan suhu > 38oC atau penurunan suhu <36oC, kenaikan
denyut jantung > 90x/menit, peningkatan laju nafas >20x/menit atau penurunan PaCO2
<32mmHG dapat ditemukan dari pemeriksaan fisik. Perlu juga dilakukan pemeriksaan fisik
menyeluruh pada pasien sepsis untuk mencari tanda infeksi seperti lesi kulit. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan fisik yang spesifik apabila dicurigai terdapat infeksi fokal seperti pada
pasien dengan dugaan infeksi pelvis, dapat dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis dan genital
untuk menemukan adanya abses rektal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis, atau prostatitis.5,6,10
Tidak terdapat uji laboratorium yang spesifik untuk sepsis. Uji laboratorium meliputi hitung
jenis leukosit, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin,
elektrolit, tes fungi hati, kadar asam laktat, arterial blood gas (ABG), elektrokardiogram dan
foto toraks. Pada sepsis awal, ditemukan leukositosis dengan shift ke kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat pula terjadi leukopenia, peningkatan profil lipid
dan hipoksemia yang dapat dikoreksi dengan pemberian oksigen. Hiperventilasi
menyebabkan alkalosis respiratori. Terjadi juga hiperglikemia pada pasien diabetes. Apabila
sepsis berlanjut, akan terjadi perburukan trombositopenia disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, atau keberadaan D-dimer yang merupakan penanda
terjadinya

DIC.

Aminotransferase

akan

meningkat

dan

terjadi

azotemia

dan

hiperbilirubinemia. Peningkatan serum laktat terjadi sebagai akibat dari lelahnya otot
pernafasan. Alkalosis respiratori akan digantikan oleh asidosis metabolik. Hipoksemia tidak
lagi dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia diabetik dapat
menimbulkan ketoasidosis.5,10
Diagnosis etiologi sepsis yang definit dapat dilakukan dengan melakukan biakan darah,
sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi. Sebaiknya dilakukan pengambilan paling
sedikit dua sampel darah dalam waktu 24 jam untuk biakan dengan volume sampel 10-20 ml
pada dewasa dan inokulasikan dengan trypticase soy broth dan thioglycolate soy broth.
Dilakukan pula pengambilan sampel dari setiap lumen kateter atau instrumen lain pada pasien
dengan pemakaian kateter jangka panjang. Pada kebanyakan kasus, hasil kultur darah adalah
negatif, hasil ini dapat disebabkan oleh penggunaan antibiotik, organisme yang bertumbuh
secara lambat atau karena tidak adanya invasi mikroba ke aliran darah. Pada kasus-kasus
seperti ini, pengambilan sampel dapat dilakukan pada tempat infeksi primer atau lesi kulit
untuk menentukan etiologi sepsis.5,10
2.6 Komplikasi
Komplikasi dari sepsis meliputi :5,10

Adult respiratory distress syndrome (ARDS) dengan insidensi 2-8%

DIC dengan insidensi 8-18%

Gagal ginjal akut dengan insidensi 9-23%

Perdarahan usus

Gagal hati dengan insidensi 12%

Disfungsi sistem saraf pusat dengan insidensi 19%

Gagal jantung

Kematian

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan sepsis meliputi tiga terapi utama, yaitu : (1) stabilisasi pasien secara
langsung, (2) eradikasi dari infeksi dengan pemberian antibiotik melalui jalur intravena
secara adekuat dan (3) terapi suportif.5,10
1. Stabilisasi pasien secara langsung

Sirkulasi, jalan nafas dan pernafasan perlu diperhatikan pada pasien dengan sepsis.
Pemeliharaan sirkulasi dan perfusi yang adekuat dapat dilakukan dengan pemberian cairan
intravena juga agen inatropik dan vasopresor. Pemberian cairan intravena sebagai resusitasi
awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan cairan kristaloid atau koloid.
Peredaran darah terancam dan penurunan bermakna dari tekanan darah memerlukan terapi
gabungan yang agresif dengan cairan dan agen inatropik atau vasopresor berupa dopamin,
dobutamin, fenilefrin, epinefrin atau norepinefrin.5,10
Nama

Farmakologi

Efek

Dosis

Epinefrin

Agonis dan adrenergik

K,I,V

5-20 g/menit

Norepinefrin

Agonis dan adrenergik

K,I,V

5-20 g/menit

Dopamin

Dopaminergik dan adrenergik,

K,I,V

2-20 g/kgBB/menit

progresif adrenergik dengan


peningkatan dosis
Dobutamin

Agonis adrenergik

K,I,V

5-15 g/kgBB/menit

Feniefrin

Agonis adrenergik

2-20 g/menit

Ket : K = Kronotropik; I = Inotropik; V = Vasokonstriksi


Tabel 1. Obat-obat bantuan sirkulasi
(Dikutip dari Widodo D, Govinda A. Penanganan Sepsis. Dexa Media, 2006: 110-115.)

Tabel 2. Efek agen inatropik dan vasopresor pada pasien sepsis


(Dikutip dari Morgan, Jr. G.E., Mikhail M.S., Murray M.J. (2006). Chapter 49. Critical Care. In
G.E. Morgan, Jr., M.S. Mikhail, M.J. Murray (Eds), Clinical Anesthesiology, 4e. Retrieved
September 21, 2012 from http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=895845.)

Perlindungan jalan nafas pasien perlu dilakukan pada pasien dengan penurunan tingkat
kesadaran atau perubahan status mental. Intubasi dapat dilakukan pada pasien yang
memerlukan kadar oksigen yang lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu

menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan sehingga terjadi peningkatan


ketersediaan oksigen untuk jaringan lain.5,9,10
2. Eradikasi dari infeksi dengan pemberian antibiotik melalui jalur intravena secara adekuat
Terapi antibiotik perlu segera diberikan bahkan sebelum patogen diindetifikasi, akan tetapi
pemberian antibiotik tidak boleh dilakukan sebelum didapatkan sampel yang adekuat untuk
kultur. Perlu diperhatikan untuk jenis antimikrobial yang diberikan, karena antimikrobial
tertentu diyakini dapat menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga memperburuk
keadaan pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan perburukan kondisi pasien adalah
karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida dan kuinolon. Terapi yang
digunakan adalah terapi kombinasi menggunakan dua atau lebih regimen atibiotik sampai
patogen yang menyebabkan sepsis diketahui. Diperlukan regiman antibiotik dengan
spektrum luas. Penggunaan kombinasi penisilin/inhibitor

-laktamase atau sefalosporin

generasi ketiga dengan aminoglikosida biasanya cukup adekuat pada sebagian besar kasus.
Setelah hasil kultur dan sensitivitas didapatkan maka terapi dirubah menjadi terapi rasional
sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas.5,6,9
Regimen antibiotik yang digunakan tergantung pada sumber infeksi yang menyebabkan
sepsis, yaitu:5
a.

Pneumonia dapatan komunitas


Antibiotik yang digunakan yaitu sefalosporin generasi ketiga yaitu seftriakson atau
keempat yaitu sefepim dengan aminoglikosida biasanya gentamisin

b.

Pneumonia nosokomial
Sefepim atau imipenem-silastatin dengan aminoglikosida

c.

Infeksi abdomen
Imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam dengan aminoglikosida

d.

Infeksi abdomen nosokomial


Imipenem-silastatin dengan aminoglikosida atau piperasilin-tazobaktam dengan
amfoterisin-B

e.

Kulit/jaringan lunak
Vankomisin dengan imipenem-silastatin atau piperasilin-tazobaktam

f.

Kulit/jaringan lunak nosokomial


Vankomisin dengan sefepim

g.

Infeksi traktus urinaris


Siprofloksasin dengan aminoglikosida

h.

Infeksi traktus urinaris nosokomial


Vankomisin dengan sefepim

i.

Infeksi CNS
Vankomisin dengan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem

j.

Infeksi CNS nosokomial


Meropenem dengan vankomisin

Pemberian terapi amfoterisin B, flukonazole atau caspofungin diberikan pada infeksi yang
diduga disebabkan oleh jamur atau pada pasien immunocompromised yang mengalami
demam yang berkelanjutan 96 jam setelah pemberian atibiotik. Terapi antiviral
dipertimbangkan pada pasien sepsis yang menjalani transplantasi organ atau sumsum tulang
satu bulan sebelumnya.5,9
Selain pemberian antibiotik, fokus awal infeksi harus dieliminasi. Hal ini dapat dilakukan
melalui eliminasi benda asing dan eksudat purulen, pengangkatan organ yang terinfeksi,
pemotongan jaringan gangren dan penghentian penggunaan instrumen intravena atau
pemasangan instrumen baru di tempat yang lain.5,6
3.

Terapi suportif

Pemberian nutrisi merupakan terapi yang penting berupa makro dan mikronutrien.
Makronutrien terdiri dari omega-3 dan golongan nukelotida yaitu glutamin sedangkan
mikronutrien berupa vitamin dan trace element. Pemberian suplemen nutrisi dapat
mengurangi dampak dari hiperkatabolisme protein pada pasien dengan sepsis berat yang
berkepanjangan. Pemberian nutrisi yang merupakan pilihan untuk pasien sepsis adalah
melalui jalur enteral. Keuntungan pemberian nutrisi enteral antara lain untuk
mempertahankan buffer pH lambung dan mukosa usus, menghindari translokasi bakteri dari
usus ke sirkulasi dan menghindari pemakaian kateter nutrisi parenteral yang akan
meningkatkan risiko terjadinya infeksi baru.5,6,11
Pemberian heparin sebagai profilaksis terjadinya deep vein trombosis (DVT) diindikasikan
untuk pasien yang tidak mengalami perdarahan aktif atau koagulopati. Pengontrolan ketat
kadar gula darah pada beberapa percobaan menunjukkan penyembuhan dari penyakit kritis
akan tetapi penggunaan insulin untuk menurunkan kadar gula darah sampai dengan 100-120

mg/dl tidak meningkatkan angka kelangsungan hidup bahkan membahayakan bagi pasien.
Sebaiknya kadar gula darah dipertahankan sampai <150 mg/dl dengan melakukan
monitoring gula darah setiap 1-2 jam dan dipertahankan minimal sampai dengan empat hari.
Pasien yang menggunakan insulin intravena harus dimonitor gula darahnya agar tidak
terjadi hipoglikemi. Stress ulcer dapat dicegah dengan pemberian profilaksis berupa H2
receptor antagonist atau proton pump inhibitor. Penggunaan drotrecogin alfa (protein C
teraktifkan) yang merupakan antikoagulan menurunkan risiko relatif kematian dengan
disfungsi organ akut.5,6,9

Referensi

1. Recent Advances in Sepsis Research: Novel Biomarkers and Therapeutic Targets


2. Bloch K.C. (2010). Chapter 4. Infectious Diseases. In S.J. McPhee, G.D. Hammer
(Eds), Pathophysiology of Disease, 6e. Retrieved September 20, 2012 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=5366994.
3. Todi S, Chatterjee S, Bhattacharyya M. Epidemiology of Severe Sepsis in India.
27th International Symposium on Intensive Care and Emergency Medicine, 2007: 25.
4. JA, Russell. Drug Therapy : Management of Sepsis. The New England Journal of
Medicine, 2006: 1699-1713.
5. papdi jilid III
6. J, Soong. Sepsis : Recognition and Treatment. Clinical Medicine vol.12, 2012: 27680.
7. TVD, Poll. Tropical Sepsis. 18th ECCMID, Oral presentations, 2008: s13.
8. Schwartz B.S. Chapter 33. Bacterial & Chlamydial Infections. In M.A. Papadakis, S.J.
McPhee, M.W. Rabow (Eds), CURRENT Medical Diagnosis & Treatment 2012.
McGraw-Hill : 2012
Retrieved September 20, 2012 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=17820.
9. Morgan, Jr. G.E., Mikhail M.S., Murray M.J. Chapter 49. Critical Care. In G.E.
Morgan, Jr., M.S. Mikhail, M.J. Murray (Eds), Clinical Anesthesiology, 4e. McGrawHill : 2006
Retrieved September 21, 2012 from
http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=895845.
10. Munford R.S. Chapter 271. Severe Sepsis and Septic Shock. In D.L. Longo, A.S.
Fauci, D.L. Kasper, S.L. Hauser, J.L. Jameson, J. Loscalzo (Eds), Harrison's
Principles of Internal Medicine, 18e. McGraw-Hill : 2012 Retrieved September 21,
2012 from http://www.accessmedicine.com/content.aspx?aID=9105972.
11. Widodo D, Govinda A. Penanganan Sepsis. Dexa Media, 2006: 110-115.

You might also like