You are on page 1of 5

Asal Usul Evolusioner Regulasi gen mamalia lebih dari 150 juta tahun

ScienceDaily (July 3, 2008) Ilmuan di Babraham Institute, Sanger Institute,


University of Cambridge dan University of Melbourne serta University of Texas at
San Antonio (semua bagian dari SAVOIR consortium) telah menemukan bahwa
sebuah mekanisme pengendali gen yang rumit, sangat terjaga dan sangat penting
telah berusia 150 juta tahun.
Mamalia terbagi atas tiga kelompok; Monotremata, Marsupialia dan Eutheria, yang dua
terakhir membentuk kelas therian. Bukti terbaru menunjukkan bahwa therian berpisah
dari monotremata yang mengerami telur seperti platipus sekitar 180 juta tahun lalu, lalu
memecah menjafi infra klas eutheria dan marsupialia sekitar 150 juta tahun lalu.
Ketiadaan imprint genetik dalam monotremata dan keberadaannya dalam eutherian dan
marsupialia menunjukkan bahwa imprinting telah berevolusi pada perbatasan antara
pemisahan monotremata dan therian. Menariknya, evolusi imprinting sejajar dengan
kemunculan plasenta dan implantasi.
Studi saat ini menunjukkan bahwa gen RNA non coding H19 ada di dekat gen marsupial
IGF2, bahwa imprinting mereka adalah resiprokal dan bahwa unsur termetilasi secara
paternal yang sama mengendalikan imprinting ini. Maka, lokus ter-imprint therian IGF2H19 adalah unik dengan menjadi sebuah kluster gen ter-imprint juga dalam marsupial
(beberapa gen lain yang ter-imprint dalam marsupial semua adalah gen singleton) dan
dengan mekanisme imprinting yang sama dalam marsupial maupun eutherian,
membuatnyasebagai lokus ter-imprint paling kuno dalam mamalia.
Permalink
Label: Asal-usul kehidupan, Biologi evolusioner, Charles Darwin, Evolusi, Genetika,
Sains kehidupan
Evolusi sebuah domain tertanam dalam mamalia
ScienceDaily (Jun. 3, 2008) Genome manusia normal terdiri dari 46 kromosom :
23 dari ibu dan 23 dari ayah. Sehingga anda memiliki dua salinan dari setiap gen
(tanpa menghitung ketakberaturan dalam pasangan kromosom seks). Secara
umum, orang tua mana yang menyumbangkan kromosom tertentu tidak memiliki
efek pada gen di dalammnya. Pengecualian aturan ini di sebabkan oleh "genomic
imprinting (penanaman genomik) "--modifikasi DNA, yang berarti bahwa ekspresi
gen dipengaruhi oleh orang tua mana yang menjadi sumber gen. Sebuah paper baru
menyelidiki evolusi genomic imprinting (penanaman genomik) dalam sebuah
daerah genome mamalia. Karya ini, oleh Anne Ferguson-Smith dan kolega di UK
dan Australia, menunjukkan bahwa beragam daeraah menjadi tertanam pada
waktu berbeda pada evolusi mamalia.
http://www.sciencedaily.com/releases/2008/06/080602214249.htm

Ganjil Luar-Dalam
Genom platypus merefleksikan percabangan dan peralihan evolusinya, mata rantai yang
hilang dalam evolusi mamalia.
PARIS -- Bukan burung, bukan pula reptil, tapi platypus mempunyai paruh mirip bebek
dan mengayuh kaki lebarnya laksana unggas air serta bertelur dan berbisa seperti reptil.
Namun, dia juga punya bulu tebal dan menyusui anaknya serupa mamalia.
Sepintas platypus (Ornithorhynchus anatinus) memang terlihat seperti rakitan dari
beragam suku cadang yang tersisa setelah kerajaan binatang selesai dibuat. Bentuknya
sangat aneh, sehingga ketika spesimen awetan pertamanya tiba di Eropa pada pengujung
abad ke-18, ahli biologis yakin apa yang mereka lihat adalah olok-olok buatan ahli
taksidermi, gabungan badan berang-berang dan paruh bebek raksasa yang dijahit menjadi
satu.
Kini para ilmuwan mengetahui mengapa penampilan binatang ini begitu aneh. Ternyata
genetika platypus sama ganjilnya: separuh mamalia, separuh reptil, dan separuh burung.
Keanehan itu terungkap dalam pemetaan genom yang dilakukan oleh tim ilmuwan
internasional yang menunjukkan adanya perpaduan beberapa gen sekaligus yang
mencerminkan percabangan dan transisi evolusinya. Hasil sequence genetika platypus
betina bernama Glennie dari Australia itu dipublikasikan dalam edisi terbaru jurnal
Nature kemarin.
"Platypus adalah sebuah cabang yang amat kuno dari pohon mamalia dan kita memiliki
nenek moyang yang sama dengan platypus sampai 166 juta tahun lampau," kata Jenny
Graves, Kepala Comparative Genomics Group di Australian National University, anggota
tim studi tersebut. "Hal itu menempatkan mereka di antara mamalia dan reptil karena
mereka masih mempertahankan banyak karakteristik reptil yang tidak lagi kita miliki,
semisal bertelur."
Binatang semi akuatik ini adalah salah satu dari dua mamalia yang berkembang biak
dengan cara bertelur, satu lagi adalah echidna, binatang mirip landak. Platypus bertubuh
langsing dan pipih sepanjang 50 sentimeter, dengan ekor yang menyerupai bet pingpong
dan empat kaki berselaput. Mamalia primitif ini tinggal di liang-liang di Australia Timur
yang digali di sepanjang tepian sungai kecil ataupun berair deras, tempatnya mencari
makan.
Studi genom platypus ini memberi informasi yang amat berharga dalam memahami
proses evolusi. Genom platypus dianggap sebagai mata rantai yang hilang dalam
memahami bagaimana manusia dan mamalia lainnya pertama kali berkembang. "Kita
dapat menggunakan mereka untuk melacak perubahan yang terjadi ketika kita beralih
dari reptil dan mulai mengembangkan rambut sampai menghasilkan susu untuk
memelihara anak yang baru lahir," kata Graves.

Untuk memilah hubungan evolusioner antara platypus dan binatang lainnya, tim ilmuwan
yang dipimpin Fakultas Kedokteran Washington University di St. Louis, Missouri,
Amerika Serikat, itu membandingkan genom seekor platypus betina bernama Glennie
dengan genom manusia, mencit, anjing, opossum, dan ayam. Dalam studi ini ayam
digunakan untuk mewakili binatang bertelur, seperti reptil telah punah yang mewariskan
DNA mereka kepada platypus dan mamalia lainnya dalam evolusi.
Studi yang dilakukan lebih dari 100 ilmuwan dari seluruh dunia dan didanai oleh
National Human Genome Research Institute itu memetakan sekitar 2,2 miliar pasangan
basa genom platypus, sekitar dua pertiga ukuran genom manusia. Perlu beberapa tahun
untuk mengurai miliaran pasangan basa yang tersebar pada 18.500 gen itu. Dari sekian
banyak materi genetik itu, lebih dari 80 persennya sama dengan gen mamalia lain.
Seperti manusia, platypus membawa kromosom X dan Y, tapi keduanya bukan kromosom
seks. "Itu berarti kita dapat menelusuri ke belakang sampai pada waktu ketika kromosom
seks kita cuma kromosom biasa dan meneliti apa yang membuat mereka berubah," kata
Graves.
Jumlah kromosom platypus lebih banyak dari manusia, yaitu 52 kromosom, termasuk 10
kromosom seks. Para ilmuwan dari Amerika, Australia, Inggris, Jerman, Israel, Jepang,
Selandia Baru, dan Spanyol itu juga menemukan bagian DNA yang terkait dengan
menyusui dan yang lainnya mengatur bertelur. Karena platypus tak punya puting, bayibayinya mengisap susu dari kulit perut ibunya.
Keganjilan yang lain, ketika mengayuhkan kakinya di air, platypus memejamkan mata
dan menutup kuping dan lubang hidungnya serta mengandalkan paruh bebeknya sebagai
antena untuk melacak medan listrik samar yang mengelilingi mangsanya. Kemampuan
ini disebut electroreception, ciri unik monotreme, ordo mamalia bertelur.
Meski demikian, genom platypus mengungkapkan bahwa binatang ini juga memiliki gen
untuk mendeteksi bau. "Kami hanya sedikit berharap menemukan gen penerima bau ini
karena platypus menghabiskan sebagian besar hidupnya di dalam air," kata Wes Warren,
pakar genetika dari Washington University.
Para ilmuwan juga berupaya mengetahui karakteristik platypus yang terhubung dengan
reptil pada level DNA. Ketika mereka menganalisis sequence genetik yang bertanggung
jawab atas produksi bisa pada platypus jantan, ternyata bisa itu berasal dari duplikasi
dalam kelompok gen yang berkembang dari genom nenek moyang reptil. Yang
mengherankan, duplikasi dalam gen yang sama itu tampaknya berkembang secara bebas
pada reptil berbisa.
Gen serupa juga ditemukan pada binatang yang mengandalkan indra penciuman, seperti
binatang pengerat dan anjing. Para ilmuwan menduga tambahan gen ini membuat
platypus bisa mendeteksi bau ketika menyelam di air. tjandra dewi | livescience | AFP |
NYTimes | sciencedaily

Leluhur HIV mungkin telah menyerang mamalia pertama


Oleh: ScienceDaily
Tgl. laporan: 28 September 2009

Unduh versi PDF

Retrovirus yang melahirkan HIV sudah menyerang sistem kekebalan tubuh mamalia
sejak mamalia berevolusi untuk pertama kalinya pada kurang lebih 100 juta tahun lalu
kurang lebih 85 juta tahun lebih awal dari perkiraan sebelumnya. Hal itu kini diyakini
oleh para ilmuwan.
Sisa-sisa virus HIV purba telah ditemukan dalam genom mamalia berkuku belah dua
[Choloepus hoffmanni] oleh tim yang dipimpin oleh ilmuwan dari Universitas Oxford
yang menerbitkan laporannya dalam jurnal Science.
Menemukan sisa-sisa fosil virus tersebut di dalam mamalia itu merupakan
keberuntungan yang luar biasa, kata Dr. Aris Katzourakis dari Departemen Zoologi
Universitas Oxford dan Institute for Emergent Infections, James Martin 21st Century
School. Karena mamalia itu sangat terisolasi secara geografis dan genetika, genom itu
membuka kesempatan untuk meneliti ke masa lalu mamalia purba, sistem kekebalan
tubuhnya, dan jenis virus yang harus dihadapinya.
Bukti yang ditemukan oleh peneliti virus berbusa, jenis retrovirus tertentu yang
menyerupai virus lenti yang rumit, serupa dengan HIV dan sejenis HIV pada kera (simian
retrovirus/SIV) berbeda dengan semua retrovirus jenis sederhana yang ditemukan
dalam genom fosil selama ini.
Dalam penelitian sebelumnya kami menemukan bukti virus yang serupa pada genom
kelinci dan lemur tetapi penelitian ini memberi kesan bahwa retrovirus purba yang rumit,
seperti HIV, mungkin sudah ada sejak mamalia mulai berevolusi, kata Dr. Aris
Katzourakis.
Memahami sejarah perseteruan virus yang rumit dengan sistem kekebalan tubuh mamalia
dapat mengarahkan pada pendekatan baru untuk memerangi retrovirus yang ada,
misalnya HIV. Hal itu juga dapat membantu para ilmuwan untuk menentukan jenis virus
yang telah menyerang jenis mamalia lain yang mungkin akan menyebabkan pandemik
yang berbahaya contohnya babi flu (H1N1) flu burung (H5N1) dan virus berbusa,
telah menembus penghalang pada mamalia itu tetapi tidak pernah menyebabkan
pandemik pada populasi mamalia baru.
Artikel asli: HIVs Ancestors May Have Plagued First Mammals
Nobel untuk pembidik
Gen
Written by SYAMSUL
Martin J. Evans gembira bukan kepalang. Pria 66 tahun ini asal Inggris, tapi kegembiraannya bisa
disetarakan dengan tim nasional sepak bola Italia setahun lalu kala merebut supremasi tertinggi dalam
Piala Dunia. "Saya tidak percaya ini terjadi," katanya semringah.
Dulu Evans belia adalah pelahap biografi para ilmuwan peraih Nobel--sebuah penghargaan tertinggi dalam

dunia sains. Tak sedetik pun pernah terlintas dalam benaknya ia bisa bergabung dengan mereka--yang
biografinya jadi begitu menarik. Tapi kabar dari Dewan Nobel di Karolinska Institute, Senin lalu,
menjungkirbalikkan isi benaknya itu: Evans terpilih sebagai satu dari tiga peraih Nobel Kedokteran 2007.
Evans, profesor genetika mamalia di University of Cardiff, dinyatakan berhak berbagi hadiah uang tunai
US$ 1,54 juta (sekitar Rp 13,86 miliar) bersama begawan genetika Mario R. Capecchi dari University of
Utah, Amerika Serikat, dan Oliver Smithies, profesor patologi di University of North Carolina, Amerika
Serikat. "Ini sangat menggembirakan," begitu komentar Evans.
Evans, Capecchi, dan Smithies dianggap sangat berjasa untuk riset-riset--yang sebagian besar dilakukan
sendiri-sendiri--pada 1980-an. Mereka menemukan prinsip introduksi modifikasi gen pada tikus dengan
memanfaatkan sel tunas embrionik.
Capecchi dan Smithies berperan mengembangkan sebuah metode yang dikenal sebagai gene targeting,
yang memungkinkan keduanya melumpuhkan atau, sebaliknya, memodifikasi gen-gen tertentu. Adapun
Evans menemukan bahwa sel-sel yang diekstrak dari blastocyst (fase yang lebih muda lagi daripada
embrio) tikus bisa dibudidayakan untuk tumbuh menjadi jenis sel tertentu dengan kromosom yang normal.
Lewat kombinasi kedua macam riset itu, gen dalam embrio tikus dapat dimodifikasi secara spesifik. Tikustikus seperti itu kini meramaikan setiap laboratorium canggih karena sangat membantu para peneliti
memahami lebih baik penyebab sebuah penyakit. Seperti diketahui, hampir semua penyakit pada manusia
saat ini memiliki unsur genetis.
Mempelajari bagaimana memodifikasi gen tikus menggunakan sel tunas embrionik juga penting dalam
memahami bagaimana potensi sel tunas embrionik manusia di masa mendatang, yakni mengobati organ
dan jaringan yang sakit secara in situ. Tidak lagi bergantung pada operasi bedah transplantasi. "Penemuan
ini adalah revolusi dalam lingkungan ilmu pengetahuan dan berperan penting bagi perkembangan terapi
medis," begitu penilaian Komite Nobel.
Goran Hansson, anggota komite itu, berkomentar, "Gene targeting telah mengubah wajah fisiologi dan
kedokteran. "Di antara ilmu dasar biomedis, sangat sulit membayangkan penelitian medis saat ini
dilakukan tanpa menggunakan knock-out technology (teknologi yang bisa melumpuhkan suatu gen
tertentu)," katanya sambil menambahkan, "kemampuan memutasi genetis tikus telah membuat terobosan
baru dalam pengetahuan imunologi, neurobiology, dan metabolisme."
Sang begawan, Capecchi, pun jadi terharu. "Ini merupakan penghormatan besar untuk universitas, untuk
jurusan genetika manusia, dan terutama semua anggota laboratorium yang di masa lalu ataupun masa
mendatang berkontribusi untuk penelitian ini," katanya.
Berkat Capecchi, Evans, dan Smithies pula, 500 lebih jenis penyakit telah dimodelkan secara medis, mulai
penyakit jantung dan saraf sampai diabetes dan kanker. Total, hingga kini, ilmuwan sudah secara selektif
membongkar-pasang 10 ribu gen pada tikus atau hampir separuh genom mamalia. Mereka berharap
seluruh fungsi genom sudah akan terkupas tuntas fungsinya dalam beberapa tahun mendatang.

(Sumber: Koran Tempo)

You might also like