Professional Documents
Culture Documents
KANKER KOLON
Disusun Oleh:
Wulan Pingkan Sigit
1061050100
Pembimbing:
dr. Stanley Ketting Olivier, SpB
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas seluruh bimbingan dan kasih
karunia-Nya, sehingga penulis sanggup menulis referatnya dengan judul KANKER
KOLON, sehingga referat ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.
Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Kepaniteraan Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia di Rumah Sakit Umum Universitas
Kristen Indonesia periode 05 Oktober sampai dengan 12 Desember 2015. Selain itu, besar
harapan dari penulis bilamana referat ini dapat membantu proses pembelajaran dari
pembaca sekalian.
Dalam penulisan referat ini, penulis telah mendapat bantuan, bimbingan, dan
kerjasama dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan
terima kasih kepada :
1. dr. Stanley Ketting Oliver, SpB. selaku pembimbing referat Kanker Kolon
2. Rekan-rekan Anggota Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit
Universitas Kristen Indonesia periode 05 Oktober sampai dengan 12 Desember 2015.
Penulis menyadari bahwa referat ini tidak luput dari kekurangan karena
kemampuan dan pengalaman penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis
mengharapakan kritik dan saran yang bermanfaat untuk mencapai referat yang sempurna
Akhir kata, semoga referat ini bermanfaat bagi para pembaca.
Jakarta, November 2015
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
Pada awalnya, insiden dari keganasan kolon tidak diperhitungkan sebelum
tahun 1900. Akan tetapi, sejak kemajuan ekonomik dan industri berkembang,
angka kejadian keganasan ini meningkat. Pada saat ini, kanker kolon merupakan
penyebab ketiga kematian dari pria dan wanita akibat kanker di Amerika Serikat.
Insidens kanker kolon di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka
kematiannya. Pada tahun 2002 kanker kolon menduduki peringkat kedua pada
kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolon
menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker. Meskipun belum ada data
yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah
kasus, data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk.
Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insiden
yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan
penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang. Demikian pula antara
Negara Barat dan Indonesia, terdapat perbedaan pada frekuensi kanker kolon yang
ditemukan. Di Indonesia frekuensi kanker kolon yang ditemukan sebanding antara
pria dan wanita; banyak terdapat pada seseorang yang berusia muda; dan sekitar
75% dari kanker ditemukan pada kolon rektosigmoid, sedangkan di Negara Barat
frekuensi kanker kolon yang ditemukan pada pria lebih besar daripada wanita;
banyak terdapat pada seseorang yang berusia lanjut; dan dari kanker yang
ditemukan hanya sekitar 50% yang berada pada kolon rektosigmoid.
Letak kanker kolon paling sering terdapat pada kolon transversum dan
asenden. Keluhan pasien karena kanker kolon tergantung pada besar dan lokasi
dari tumor. Keluhan dari lesi yang berada pada kolon kanan dapat berupa perasaan
penuh di abdominal, asimtomatik anemia dan perdarahan, sedangkan keluhan
yang berasal dari lesi pada kolon kiri dapat berupa perubahan pada pola defekasi,
perdarahan, konstipasi sampai obstruksi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kanker usus besar dan rektum adalah penyebab paling umum ketiga
kematian kanker pada wanita (setelah kanker paru-paru dan payudara) dan
penyebab yang paling umum ketiga kematian kanker pada laki-laki (setelah
kanker paru-paru dan prostat). Lebih dari 150.000 kasus baru terdiagnosis setiap
tahunnya di Amerika Serikat dengan angka kematian per tahun mendekati angka
60.000 (www. Medicineworld, 2010)
Penyakit tersebut paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia,
Selandia Baru dan sebagian Eropa. Kejadiannya beragam di antara berbagai
populasi etnik, ras atau populasi multietnik/multi rasial. Secara umum didapatkan
kejadian kanker kolorektal meningkat tajam setelah usia 50 tahun, fenomena ini
dikaitkan dengan pajanan terhadap berbagai karsinogen dan gaya hidup. Di
Amerika Serikat rata-rata pasien kolorektal adalah berusia 67 tahun dan lebih dari
50% kematian terjadi pada mereka yang berumur di atas 55 tahun (Abdullah,
2006).
Di Indonesia, menurut laporan registrasi kanker nasional, didapatkan angka
yang berbeda. Didapatkan kecenderungan untuk umur yang lebih muda
dibandingkan dengan laporan dari negara barat. Untuk usia di bawah 40 tahun
data dari Bagian Patologi Anatomi FKUI didapatkan angka 35,36% (Abdullah,
2006).
Distribusi kanker kolorektal menurut lokasinya dapat dilihat pada gambar di
bawah ini:
6.8%
8.7%
11.7%
Sigmoid
9.7%
Sekum
1.9%
51.5%
2.4. Patofisiologi
Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor
genetik dan faktor lingkungan. Kanker kolorektal yang sporadik muncul setelah
melewati rentang masa yang lebih panjang sebagai akibat faktor lingkungan yang
Kanker kolon terjadi sebagai akibat dari kerusakan genetik pada lokus yang
mengontrol pertumbuhan sel. Perubahan dari kolonosit normal menjadi jaringan
adenomatosa dan akhirnya karsinoma kolon menimbulkan sejumlah mutasi yang
mempercepat pertumbuhan sel. Terdapat 2 mekanisme yang menimbulkan
instabilitas genom dan berujung pada kanker kolorektal yaitu : instabilitas
kromosom (Cromosomal Insyability atau CIN) dan instabilitas mikrosatelit
Awal dari proses terjadinya kanker kolon yang melibatkan mutasi somatik
terjadi pada gen Adenomatous Polyposis Coli (APC). Gen APC mengatur
kematian sel dan mutasi pada gen ini menyebabkan pengobatan proliferasi yeng
selanjutnya berkembang menjadi adenoma. Mutasi pada onkogen K-RAS yang
biasnya terjadi pada adenoma kolon yang berukuran besar akan menyebabkan
gangguan pertumbuhan sel yang tidak normal (Abdullah, 2006).
10
(Sumber : http://users.rcn.com/jkimball.ma.ultranet/BiologyPages/C/Cancer.html)
Transisi dari adenoma menjadi karsinoma merupakan akibat dari mutasi gen
supresor tumor p53. Dalam keadaan normal protein dari gen p53 akan
menghambat proliferasi sel yang mengalami kerusakan DNA, mutasi gen p53
menyebabkan sel dengan kerusakan DNA tetap dapat melakukan replikasi yang
menghasilken sel-sel dengan kerusakan DNA yang lebih parah. Replikasi sel-sel
dengan kehilangan sejumlah segmen pada kromosom yang berisi beberapa alele
(misal loss of heterizygosity), hal ini dapat menyebabkan kehilangan gen supresor
tumor yang lain seperti DCC (Deleted in Colon Cancer) yang merupakan
transformasi akhir menuju keganasan (Abdullah, 2006).
Perubahan genetik yang terjadi selama evolusi kanker kolorektal dapat
dilihat pada gambar di bawah ini :
11
Duke
s
A
T1N0M0
B1
B2
T2N0M0
T3N0M0
II
III
TxN1M0
IV
Deskripsi histopatologi
Bertahan 5
tahun (%)
>90
Derajat
D
TxN2M1
V
(sumber : Abdullah, 2006).
85
70-80
35-65
5
12
13
tidak menembus seluruh ketebalan dinding kolon maka harapan hidupnya hampir
normal. Kriteria terpenting adalah keterlibatan KGB regional saat dilakukan
reseksi primer, pasien dengan tumor yang belum menembus dinding kolon dan
belum terdapat keterlibatan KGB regional mempunyai harapan hidup 90%, tapi
bila KGB regional sudah terlibat angka harapan hidup menurun tinggal 40%.
Jumlah KGB regional yang terlibat juga penting, karena apabila lebih dari 3 KGB
regional terlibat angka harapan hidup menjadi lebih rendah yaitu 15-26%. Pada
intinya kanker yang sudah menunjukkan gejala biasanya pada stadium yang sudah
parah dan angka harapan hidup secara keseluruhan ahanya berkisar 50%.
Prognosis yang buruk juga terjadi pada pasien dengan usia muda, menderita
kanker koloid, dan
menunjukkan gejala
1994).
Klasifikasi kanker kolorektal menurut Dukes-turnbull dapat dilihat pada
gambar di bawah ini :
14
15
biasanya terjadi di kolon transversum. Kolon desendens dan kolon sigmoid karena
ukuran lumennya lebih sempit daripada kolon yang proksimal. Obstruksi parsial
awalnya ditandai dengan nyeri abdomen, namun bila obstruksi total terjadi akan
menimbulkan nausea, muntah, distensi dan obstipasi. Kanker kolon dapat
berdarah sebagai bagian dari tumor yang rapuh dan mengalami ulserasi. Meskipun
perdarahan umumnya tersamar namun hematochesia timbul pada sebagian kasus.
Tumor yang terletak lebih distal umumnya disertai hematoseczhia atau darah
tumor dalam feses, tapi tumor yang proksimal sering disertai dengan anemia
defisiensi besi. Invasi lokal dari tumor menimbulkan tenesmus, hematuria, infeksi
saluran kemih berulang dan obstruksi uretra. Abdomen akut dapat terjadi
bilamana tumor tersebut menimbulkan perforasi. Kadang timbul fistula antara
kolon dengan lambung atau usus halus. Asites maligna dapat terjadi akibat invasi
tumor ke lapisan serosa dan sebaran ke peritoneal. Metastasis jauh ke hati dapat
menimbulkan nyeri perut, ikhterus dan hipertensi portal (Abdullah, 2006).
Tanda dan gejala karsinoma kolon bervariasi tergantung dari lokasi kanker
di dalam usus besar. Ukuran dan ekstenbilitas usus ukuran kanan kira-kira enam
kali lebih besar daripada daerah sigmoid dan mengandung aliran fekal yang cair.
Tumor yang terletak di usus bagian kanan walaupun besar cenderung
menggantung (fungating) dan lunak, yang tidak tumbuh mengelilingi usus.
Sebagai salah satu akibatnya gejala dari tumor yang timbul di kolon kanan tidak
disebabkan oleh obstruksi walaupun pasien dapat mengalami rasa yang tidak enak
atau kolik di abdomen yang samar-samar. Lebih sering, penyakit disertai dengan
kehilangan darah kronis yang dideteksi dengan tes darah samar. Sebaliknya tumor
di daerah kiri cenderung keras dan tumbuh mengelilingi usus, dan fungsi normal
16
dalam daerah ini adalah sebagai penyimpan massa feses yang keras. Gejala
obstruksi akut atau kronis adalah gambaran klinis yang penting. Di samping itu
pasien dapat mengalami perubahan dalam pola defekasi (bowel habits),
memerlukan laksatif, atau penurunan kaliber feses. Perdarahan adalah lebih jelas,
dengan darah gelap atau darah merah yang melapisi permukaan feses (Schein,
1997).
Gambaran klinis kanker kolon tergantung pada tempat tumor. Sekitar
seperempat tumor usus besar terletak pada kolon kanan. Kolon transversal dan
kolon desenden relatif jarang terkena, sehingga kebanyakan tumor terletak pada
kolon sigmoid dan rektum. Gejala berdasarkan lokasi kanker dibagi menjadi
(Jones & Schofield, 1996):
Kolon kanan
a. Pasien dengan obstruksi : sekitar seperempat pasien datang dengan tanda
obstruksi usus kecil di bagian bawah yaitu kolik, muntah, konstipasi dan distensi.
Foto polos abdomen memperlihatkan dilatasi usus kecil.
b. Tanpa obstruksi : banyak pasien yang datang tanpa obstruksi tiadak
mempunyai gejala yang berhubungan dengan traktus gastrointestinal. Mereka
memberikan riwayat anemia dan penurunan berat badan
akibat perdarahan
17
Kolon kiri
a. Pasien dengan obstruksi : pada semua 25-30% pasien datang dengan lesi
pada kolon kiri datang sebagai pasien gawat darurat. Pasien dapat menderita
perforasi dengan abses perikolik atau bahkan peritonitis umum tetapi lebih sering
obstruksi usus besar. Sejauh ini penyebab paling umum dari obstruksi usus besar
adalah karsinoma, penting untuk menyingkirkan penyebab lain yang mungkin
dapat ditangani dengan terapi konservatif. Pemeriksaan barium enema darurat
diindikasikan pada semua kasus obstruksi usus besar untuk mengkonfirmasi
derajat obstruksi dan untuk mendiagnosis pseudo-obstruksi yang tidak
membutuhkan pembedahan. Kolonoskopi darurat telah dianjurkan sebagai
alternatif dari pemeriksaan barium enema.
b. Pasien tanpa obstruksi : gangguan kebiasaan defekasi merupakan keluhan
pasien yang datang tanp obstruksi. Hal ini bisa berupa konstipasi yang meninkat,
diare atau berubah-ubah antara kedua hal tersebut, pasien biasanya menemukan
darah bersama feses dan mengeluh nyeri atau rasa tidak enak pada abdomen
bawah. Penurunan berat badan umum ditemukan dan pada umumnya merupakan
tanda yang buruk. Karsinoma kadang-kadang bisa diraba dengan palpasi
abdomen.
Karsinoma rektum
Pasien dengan karsinoma rektum hampir tidak pernah datang sebgai pasien
gawat darurat. Pasien mengalami perdarahan yang jelas melalui rektum. Mungkin
terdapat perubahan kebiasaan defekasi dan sering tenesmus, perasaan defekasi
yang belum selesai dengan keinginan defekasi yang berulang-ulang, tetapi yang
18
keluar hanya lendir dan darah. Tumor sampai 10 cm dari anal biasanya dapat
dilihat dengan sigmoidoskopi.
2.7. Pendekatan diagnosis
Pada pasien dengan gejala keberadaan kanker kolon dapat dikenali dari
beberapa tanda seperti : anemia mikrositik, hematozesia, nyeri perut, berat badan
turun atau perubahan defekasi oleh sebab itu perlu segera dilakukan pemeriksaan
endoskopi atau radiologi. Temuan darah samar di feses memperkuat dugaan
neoplasma namun bila tidak ada darah samar tidak dapat menyingkirkan lesi
neoplasma.
Laboratorium
Umumnya pemeriksaan laboratorium pada pasien adenoma kolon
memberikan hasil normal. Perdarahan intermitten dan polip yang besar dapat
dideteksi melalui darah samar feses atau anemia defisiensi besi.
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan enema barium kontras ganda hanya mampu mendeteksi 50%
polip kolon dengan spesifitas 85%. Bagian rektosigmoid sering untuk divisualisasi
oleh karena itu pemeriksaan rektosigmoideskopi masih diperlukan. Bilamana ada
lesi yang mnecurigakan pemeriksaan kolonoskopi diperlukan untuk biopsi.
Pemeriksaaan lumen barium teknik kontras ganda merupakan alternatif lain untuk
kolonoskopi namun pemeriksaan ini sering tak bisa mendeteksi lesi berukuran
kecil. Enema barium cukup efektif untuk memeriksa memeriksa bagian kolon di
balik striktur yang tak terjangkau dengan pemeriksaan kolonoskopi.
Gambaran radiologi kanker kolon dengan menggunakan pemeriksaan
barium enema dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
19
20
21
22
(Diadaptasi dari Winawer SJ, Fletcher RH, Miller L, Godlee F, Stolar MH, Mulrow CD,
et al. Colorectal cancer screening: clinical guidelines and rationale. Gastroenterology
1997;112:594-642 [Published errata in Gastroenterology 1997;112:1060 and
1998;114:635].)
2.8. Penatalaksanaan
23
adenokarsinoma
belum
diketahui.
Pengamatan
jangka
panjang
ukuran
<5mm
maka
pengangkatan
cukup
dengan
biopsi
atau
24
25
26
dipertimbangkan bila tidak ada obstruksi, karena mempunyai nilai paliatif yang
kecil. Hemikolektomi kiri dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
27
Tindakan lebih lanjut dapat dilakukan dengan cara tidak hanya mereseksi
tumor tetapi juga melakukan anastomosis primer. Hal ini dibantu dengan
pembilasan kolon di atas meja operasi, yang membersihkan kolon dari feses dan
mengurangi disproporsi ukuran antara usus yang di atas dan di bawah karsinoma
yang direseksi. Pilihan lebih lanjut adalah melakukan kolektomi subtotal dan
anastomosis usus kecil ke sisa kolon distal atau rektum.
Karsinoma rektum
Karsinoma setengah bagian atas rektum yang dioperasi dapat dieksisi secara
adekuat dan dianastomosis dengan baik. Prosedur ini disebut reseksi anterior dan
rektum. Anastomosis dapat dilakukan dengan penjahitan manual, tetapi dengan
adanya alat stapler sirkuler secara teknik mempermudah untuk dilakukannya
beberapa reseksi anterior. Prosedur reseksi pada karsinoma rektum dapat dilihat
pada gambar di bawah ini :
28
Pilihan terapi untuk kanker rektum bagian bawah lebih bervariasi, terapi
standar untuk tumor <6cm dari tepi anal masih dengan eksisi abdominoperineal
rektum dengan kolostomi ujung. Terapi pilihan lain dapat dipertimbangkan.
Beberapa tumor yang berdiameter 5-6 cm dapat ditangani dengan eksisi rektal dan
anstomosis koloanal. Pada tumor kecil yang berdiameter kurang dari 3-4 cm tanpa
terlihat penyebaran ekstra rektal, terapi lokal mungkin efektif; dengan pemilihan
cermat, hasil akhir dapat sangata baik. Metode yang memuaskan adalah eksisi
lokal, dekstruksi dengan diatermi dan radioterapi lokal.
Terapi ajuvan
Sepertiga pasien yang menjalani operasi kuratif akan mengalami rekurensi.
Kemoterapi ajuvan dimaksudakan untuk menurunkan tingkat rekurensi kanker
kolon setelah operasi. Pasien dengan kriteria Dukes C yang mendapat levamisol
dan 5 FU secara signifikan meningkatkan harapan hidup dan masa interval bebas
tumor. Kemoterapi ajuvan tidak berpengaruh pada pasien dengan kriteria Dukes
B. Irinotecan (CPT11) inhibitor topoisomer dapat memperpanjang masa harapan
hidup. Oxaliplatin analog platinum juga memperbaiki respon setelah diberikan
5FU dan leucoverin. Manajemen kanker kolon yang tidak reseksibel meliputi :
Nd-YAG foto koagulasi laser dan self expanding metal endoluminal stent.
Pemilihan terapi pada pasien disesuaikan dengan stadium penyakitnya,
seperti gambar dibawah ini:
29
A
Tumor Dukes A dan B1
B
Tumor Dukes B2 dan C
Pembedahan radikal
Pembedahan radikal
Observasi
Observasi
Percobaan klinis
dengan terapi ajuvan
C
Tumor metastasis
Pembedahan
paliatif
Kemoterapi
30
Keterangan :
A. Tumor dengan klasifikasi Dukes A atau B1, dimana tumor belum mempenetrasi
keseluruhan tebal dinding usus, bentuk kemoterapi ajuvan tidak diperlukan,
tetapi rencana pengawasan ketat untuk dteksi dini adanya rekurensi harus
dilakukan. Tindakan tersebut harus termasuk adanya pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan carciniembryogenik antigen (CEA) tiap 3 bulan dan foto dada
dengan interval 6 bulan. Kolonoskopi harus diulangi dalam waktu 1 tahun
untuk mendeteksi secara dini adanya pembentukan polip dan, jika negatif
selanjutnya harus diulangi dengan interval 3 tahun. Follow-up yang lebih
ketat diperlukan pada pasien dengan tumor yang timbul pada keadaan
peradangan usus (inflammatory bowel disease) atau sindroma poliposis
herediter. Pada kasus tersebut, harus diambil pertimbangan untuk melakukan
kolektomi profilaksis.
B. Bagi pasien dengan lesi dukes B2 dan C, dengan penetrasi melalui lapisan
muskularis dan/metastasis kelenjar getah bening regional, harus diambil
pertimbangan untuk memasukkan pasien ke dalam percobaan terapi klinis
terapi ajuvan. Pada saat ini, data dari percobaan terkontrol tidak
mengharuskan pemakaian rutin kemoterapi ajuvan dengan 5-flourouracil (5FU) atau dengan kombinasi 5-FU dengan semustine (methyl-CCNU [methylcyclohexyl chloroethylni-trosoureal]).
C. Pada keadaan metastasis, pertimbangan pertama harus diberikan terhadap
reseksi paliatif tumor primer. Komplikasi berupa obstruksi, perdarahan, dan
perforasi mungkin ditemukan. Metastasis simptomati harus dihilangkan
dengan kemoterapi. Walaupun pemberian 5-FU secara intravena dengan
jadwal setiap minggu atau tiap 5 hari merupakan seni dalammemberikan
31
serial,
walaupun
belum
dibuktikan
dapat
memperbaiki
32
e. Impoten
Komplikasi lambat meliputi :
a. Kekambuhan
b. Sistemik
c. Lokal
33
BAB III
KESIMPULAN
Karsinoma kolon merupakan penyebab kematian kedua setelah keganasan
di paru-paru di USA. Diperkirakan pada tahun 2008 ditemukan 150.000 kasus
baru dan 60.000 diantaranya meninggal karena karsinoma kolorektal. Tingginya
angka kematian tersebut menyebabkan berbagai upaya untuk menguranginya,
salah satunya dengan kebijakan deteksi dini atau skrining terhadap kelompok
berisiko yang asimptomatis. Sebagian besar dari modalitas skrining yang
dimaksud adalah radiologic imaging: Flexible Sigmoidoscopy (FS), Colonoscopy,
Double Contrast Barium Enema dan CT Colonography (CTC). Pemilihan
modalitas skrining tersebut tergantung pada kondisi pasien, teknologi yang
dimiliki, resiko dan keuntungan modalitas terhadap pasien, serta kemampuan
operator.
Penanganan karsinoma kolon membutuhkan kecermatan pemeriksaan
preoperatif untuk dapat memutuskan modalitas terapi baik pembedahan,
kemoterapi maupun radioterapi. Penanganan postoperatif dan follow-up sangat
tergantung pada pemeriksaan dan penanganan yang dapat dilakukan sebelumnya.
Hal ini sangat ditentukan oleh staging karsinoma, yang salah satunya dapat
ditentukan oleh imaging seperti ultrasonografi, CT Scan, maupun MRI. Pada
prinsipnya, semakin dini diagnosis karsinoma kolorektal, semakin baik
prognosisnya karena penanganannya dapat dengan pembedahan kuratif.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdullah, Murdani. 2006. Tumor Kolorektal dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam edisi IV jilid I. FKUI : Jakarta hal: 373-378
2. De Jong, W, R. Sjamsuhidajat. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Revisi.
Jakarta : EGC. p. 773-780
3. Sabiston, D.C., Jr, M.D. 2004. Sabiston Buku Ajar Bedah. Jakarta : EGC.
4. Schwartz, et al. 2000. Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah. Edisi Keenam.
Jakarta: EGC
5.
Aninomous,
http://medicineworld.org/cancer/colon/epidemiology-of-colon
35
Gastroenterology
1997;112:594-642
[Published
errata
in