You are on page 1of 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi
2.1.1. Fertilisasi
Fertilisasi adalah proses penyatuan gamet pria dan wanita, yang terjadi di
daerah ampulla tuba fallopii. Spermatozoa bergerak dengan cepat dari vagina ke
rahim dan selanjutnya masuk kedalam saluran telur. Pergerakan naik ini
disebabkan oleh kontraksi otot-otot uterus dan tuba. Sebelum spermatozoa dapat
membuahi oosit, mereka harus mengalami proses kapasitasi dan reaksi akrosom
(Langman, 1994).
Kapasitasi adalah suatu masa penyesuaian di dalam saluran reproduksi
wanita, yang pada manusia berlangsung kira-kira 7 jam. Selama waktu ini, suatu
selubung dari glikoprotein dari protein-protein plasma segmen dibuang dari
selaput plasma, yang membungkus daerah akrosom spermatozoa. Hanya sperma
yang menjalani kapasitasi yang dapat melewati sel korona dan mengalami reaksi
akrosom (Langman, 1994).
Reaksi akrosom terjadi setelah penempelan ke zona pelusida dan diinduksi
oleh protein-protein zona. Reaksi ini berpuncak pada pelepasan enzim-enzim yang
diperlukan untuk menembus zona pelusida, antara lain akrosin dan zat-zat serupa
tripsin (Langman, 1994).
Fase fertilisasi mencakup 3 fase:
1. Penembusan korona radiata.
Spermatozoa-spermatozoa yang mengalami kapasitasi tidak akan
sulit untuk menembusnya (Langman, 1994).

2. Penembusan zona pelusida.


Zona

pelusida

adalah

sebuah

perisai

glikoprotein

yang

mempertahankan pengikatan sperma dan menginduksi reaksi kromosom.


Hanya 1 spermatozoa diantara 200-300 juta spermatozoa yang ada di
saluran kelamin yang berhasil menembus zona pelusida. Saat spermatozoa
masuk ke dalam membrane oosit, spermatozoa lain tidak akan bisa masuk
lagi karena aktifasi dari enzim oosit sendiri (Langman, 1994).

3. Fusi oosit dan membran plasma.


Spermatozoa bergerak masuk ke membrane oosit dan mencapai inti
oosit. Perlu diketahui bahwa spermatozoa dan oosit masing-masing
memiliki 23 kromosom (haploid), selama masa penyatuan masing- masing
pronukleus melakukan sintesis DNA. Segera setelah sintesis DNA,
kromosom tersusun dalam gelendong untuk melakukan pembelahan secara
mitosis yang normal. Dua puluh tiga kromosom dari ibu dan dua puluh
tiga kromosom dari ayah membelah sepanjang sentromer, dan kromatidkromatid yang berpasangan tersebut saling bergerak ke kutub yang
berlawanan, sehingga menyiapkan sel zigot yang masing-masing
mempunyai jumlah kromosom yang normal (Langman,1994).
2.1.2 Pembelahan

Kira kira 24 jam setelah fertilisasi, oosit yang telah dibuahi memulai
pembelahan pertamanya. Setelah zigot mencapai tingkat dua sel, ia menjalani
serangkaian pembelahan mitosis yang mengakibatkan bertambahnya jumlah sel
dengan cepat. Sel ini dikenal sebagai blastomer yang akan berbentuk seperti
gumpalan yang padat (Langman, 1994).
Kira-kira setelah 3 hari setelah pembuahan, sel-sel embrio yang
termampatkan tersebut, membelah lagi membentuk morula (Langman, 1994).
Morula adalah, kumpulan dari 16-30 sel blastomere. Karena sel-sel ini muncul

dari pembelahan (cleavage) dari zigot dan semua terdapat pada zona pelusida
yang tidak bisa membesar, jadi pertumbuhannya tidak banyak terlihat. Setiap sel
yang baru besarnya sama dengan sel awal dan nama morula berarti mulberry,
karena mirip seperti kumpulan sel-sel setengah bulat. Sel-sel bagian dari morula
merupakan massa sel dalam, sedangkan sel-sel di sekitar membentuk massa sel
luar. Massa sel dalam akan membentuk jaringan jaringan embrio yang
sebenarnya, sementara massa sel luar akan membentuk trofoblast, yang kemudian
ikut membentuk plasenta (Langman,1994).
2.1.3 Pembentukan Blastokista, Embrioblast dan Rongga Amnion.
Pada hari ke-4 setelah inseminasi, sel terluar dari morula yang masih
diselubungi dengan zona pelucida mulai berkumpul membentuk suatu pemadatan.
Sebuah rongga terbentuk pada di interior blastokista dan kira kira pada waktu
morula memasuki rongga rahim, cairan mulai menembus zona pelusida masuk ke
dalam ruang antar sel yang ada di massa sel dalam (inner cell mass). Sel-sel
embrio berkembang dari inner cell mass yang sekarang disebut embrioblast.
Sedangkan sel-sel di massa sel luar atau trofoblast, menipis dan membentuk
dinding epitel untuk blastokista. Zona pelusida kini sekarang sudah menghilang,
sehingga implantasi bisa dimulai (Langman, 1994).

Pada akhir hari ke-5 embrio melepaskan diri dari zona pelusida yang
membungkusnya. Melalui serangkaian siklus pengembangan-kontraksi embrio

menembus selimut pelusida. Hal ini didukung oleh enzim yang dapat melarutkan
zona pelusida pada kutub embrionik. Pelepasan embrio ini dinamakan hatching.

Polaritas dari embrio dapat terlihat pada waktu pembentukan kutub


embrionik dan kutub abemrioalik. Hal ini jelas terlihat ketika meneliti blastokista
dimana inner cell mass sudah terbentuk. Polaritas lebih terfokus pada satu kutub
dari interior belahan blastokista yang terdiri dari blastomer.

Pada perkembangan hari ke-8, blastokista sebagian terbenam di dalam


stroma endometrium. Pada daerah di atas embrioblast, trofoblast berdiferensiasi
menjadi 2 lapisan: (a) sitotrofoblast ,(b) sinsitiotrofoblast. Trofoblast mempunyai
kemampuan untuk menghancurkan dan mencairkan jaringan permukaan
endometrium dalam masa sekresi, yaitu sel-sel decidua (Prawiroharjo, 2000).
Sel-sel dari embrioblast juga berdiferensiasi menjadi dua lapisan, yaitu
lapisan hipoblast dan epiblast. Sel sel dari masing-masing lapisan mudigah
membentuk sebuah cakram datar dan keduanya dikenal sebagai cakram mudigah
bilaminer. Pada saat yang sama terdapat rongga kecil muncul di dalam epiblast,
dan rongga ini membesar menjadi rongga amnion (Langman, 1994).
Pada hari ke-9, blastokista semakin terbenam di dalam endometrium, dan
luka berkas penembusan pada permukaan epitel ditutup dengan fibrin, pada masa
ini terlihat proses lakunaris, dimana vakuola-vakuola apa sinsitium trofoblast
menyatu membentuk lakuna-lakuna yang besar. Sementara pada kutub
anembrional, sel-sel gepeng bersama dengan hipoblast membentuk lapisan
eksoselom (kantung kuning telur primitif) (Langman, 1994).

Pada hari ke-11 dan 12, blastokista telah tertanam sepenuhnya di dalam
stroma endometrium. Trofoblast yang ditandai dengan lacuna dan sinsitium akan
membentuk sebuah jalinan yang saling berhubungan, Sel-sel sinsitiotrofoblast
menembus lebih dalam ke stroma dan merusak lapisan endotel pembuluhpembuluh kapiler ibu. Pembuluh-pembuluh rambut ini tersumbat dan melebar dan
dikenal sebagai sinusoid. Lakuna sinsitium kemudian berhubungan dengan
sinusoid, dan darah ibu mulai mengalir melalui system trofoblast, sehingga
terjadilah sirkulasi utero-plasenta (Langman, 1994).
Semetara itu, sekelompok sel baru muncul di antara permukaan dalam
sitotrofoblast dan permukaan luar rongga eksoselom. Sel-sel ini berasal dari
kantong kuning telur dan akan membentuk suatu jaringan penyambung yang
disebut mesoderm ekstraembrional; di mana pada akhirnya akan mengisi semua
ruang antara trofoblastt di sebelah luar dan amnion beserta selaput eksoselom di
sebelah dalam (Langman, 1994).
Segera setelah terbentuk rongga-ronga besar di dalam mesoderm
ekstraembrional, dan ketika rongga-rongga ini menyatu, terbentuklah sebuah
rongga baru, yang dikenal dengan nama rongga khorion. Rongga khorion ini
terbentuk dari sel-sel fibroblast mesodermal yang tumbuh disekitar embrio dan
yang melapisi trofoblast sebelah dalam (Prawiroharjo, 1976). Rongga ini
mengelilingi kantung kuning telur primitive dan rongga amnion kecuali pada
tempat cakram mudigah berhubungan dengan trofoblast melalui tangkai
peghubung (Langman,1994).

2.1.4 Cakram mudigah trilaminer


Cakram mudigah bilaminer sendiri berdiferensiasi menjadi embrio
trilaminer, terjadi proses epithelio-mesenchymal layer (gastrulasi pada vertebrata
kelas bawah). Gastrulasi dimulai dengan pembentukan primitive streak (garis

10

primitive) pada permukaan epiblast (Langman, 1994). Selama periode ini embrio
mengalami perubahan-perubahan yang cukup menonjol.
Sel-sel epiblast berpindah mengikuti garis primitive untuk membentuk
mesoderm dan entoderm intraembrional. Setelah tiba di daerah garis tersebut, selsel ini menjadi bentuk seperti botol, memisahkan diri dari epiblast dan endoderm
yang baru saja terbentuk untuk membentuk mesoderm. Sel-sel yang tetap berada
di epiblast kemudian membentuk ectoderm. Dengan demikian epiblast, walaupun
terjadi proses gastrulasi, merupakan sumber dari semua lapisan germinal pada
embrio (yaitu, ektoderm, mesoderm, dan endoderm) (Langman, 1994).
Sel-sel prenotokord yang bergerak masuk ke dalam lubang primitif,
bergerak ke depan hingga mencapai lempeng prekordal. Mereka menempatkan
diri dalam endoderm sebagai lempeng notokord. Pada perkembangan selanjutnya,
lempeng ini mengelupas dari endoderm, dan terbentuklah sebuah tali padat,
notokord. Notokord akan menentukan Sumbu tengah dari embrio yang akan
menentukan situasi ke depan mengenai dasar tulang belakang dan dapat
menyebabkan diferensiasi dari ektoblast untuk membetuk neural plate. Karena itu,
pada akhir minggu ke-3, terbentuklah 3 lapisan mudigah yang terdiri dari
ectoderm, mesoderm, dan endoderm dan berdiferensiasi menjadi jaringan dan
organ-organ (Langman,1994).

2.1.5 Masa Embrionik


Menurut Langman (1994), Selama perkembangan minggu ke-3 sampai
minggu ke-8, suatu massa yang dikenal sebagai massa embrionik atau masa
organogenesis, masing-masing lapisan dari ketiga lapisan mudigah ini membentuk
banyak jaringan dan organ yang spesifik. Menjelang masa akhir embrionik ini,
sistem-sistem organ telah terbentuk. Karena pembentukan organ ini, bentuk
mudigah banyak berubah dan ciri-ciri utama bentuk tubuh bagian luar sudah dapat
dikenali menjelang bulan kedua.

11

Masa mudigah berlangsung dari perkembangan minggu keempat hingga


kedelapan dan merupakan masa terbentuk jaringan dan sistem organ dari masingmasing lapisan mudigah. Sebagai akibat pembentukan organ, ciri-ciri utama
bentuk tubuh mulai jelas.
Lapisan mudigah ektoderm membentuk organ dan struktur-struktur yang
memelihara hubungan dengan dunia luar: (a) susunan saraf pusat; (b) sistem saraf
tepi; (c) epitel sensorik telinga, hidung dan mata; (d) kulit, termasuk rambut dan
kuku; dan (e) kelenjar hipofisis, kelenjar mammae, dan kelenjar keringat serta
email gigi.
Bagian yang paling penting dari lapisan mudigah mesoderm adalah
mesoderm para aksial, intermediat, dan lempeng lateral. Mesoderm para aksial
membentuk somitomer; yang membentuk mesenkim di kepala dan tersusun
sebagai somit-somit di segmen oksipital dan kaudal. Somit membentuk miotom
(jaringan otot), skeletom (tulang rawan dan sejati), dan dermatom (jaringan
subkutan kulit), yang semuanya merupakan jaringan penunjang tubuh. Mesoderm
juga membentuk sistem pembuluh, yaitu jantung, pembuluh nadi, pembuluh getah
bening, dan semua sel darah dan sel getah bening. Di samping itu, ia membentuk
sistem kemih-kelamin; ginjal, gonad, dan saluran-salurannya (tetapi tidak
termasuk kandung kemih). Akhirnya limpa dan korteks adrenal juga merupakan
turunan dari mesoderm. Lapisan mudigah endoderm menghasilkan lapisan epitel
saluran pencernaan, saluran pernafasan, dan kandung kemih. Lapisan ini juga
membentuk parenkim tiroid, paratiroid, hati dan kelenjar pankreas. Akhirnya,
lapisan epitel kavum timpani dan tuba eustachius juga berasal dari endoderm.
Sebagai akibat dari pembentukan sistem-sistem organ dan pertumbuhan sistemsistem organ dan pertumbuhan sistem saraf pusat yang cepat, cakram mudigah
yang mula-mula datar melipat kearah sefalokaudal, sehingga terbentuklah lipatan

12

kepala dan ekor. Cakram ini juga melipat dengan arah lintang, sehingga terdapat
bentuk tubuh yang bulat. Hubungan dengan kantung kuning telur dan plasenta
dipertahankan masing-masing melalui duktus vitellinus dan tali pusat.

2.2. Blighted Ovum


2.2.1. Definisi
Blighted ovum disebut juga kehamilan anembrionik merupakan suatu
keadaan kehamilan patologi dimana janin tidak terbentuk. Dalam kasus ini
kantong kehamilan tetap terbentuk. Selain janin tidak terbentuk kantong
kuning telur juga tidak terbentuk. Kehamilan ini akan terus dapat
berkembang meskipun tanpa ada janin di dalamnya. Blighted Ovum ini
biasanya pada usia kehamilan 14-16 minggu akan terjadi abortus spontan
(Sarwono, 2009).
Blighted ovum merupakan kehamilan dimana kantung gestasi
memiliki diameter katung lebih dari 20 mm akan tetapi tanpa embrio.
Tidak dijumpai pula adanya denyut jantung janin. Blighted Ovum
cenderung mengarah pada keguguran yang tidak terdeteksi (Manuaba,
2010).
2.2.2. Etiologi
Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam
proses pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan
streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak
terkontrol, rendahnya kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti
adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan Blighted Ovum.
Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena
kualitas sperma atau ovum menjadi turun.

13

Teori lain menunjukkan bahwa Blighted Ovum disebabkan sel telur


yang normal dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya Blighted
Ovum ini sulit dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya,
karena faktor-faktor penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini
dapat mengarah ke gagalnya mempertahankan kehamilan (Schorge, 2008;
Porter, 2009).
Etiologi dari Blighted Ovum dibagi menjadi :
a. Faktor Genetik
Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi
berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah
diteliti. Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi
22/22 pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,.
Pada tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup
besar dari carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap
keluarga abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal
translocations dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan
kromosom yang paling banyak menyebabkan abortus habitualis adalah
balanced translocation yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan
struktural kromosom yang lain adalah mosaicism, single gene disorder dan
inverse dapat menyebabkan abortus habitualis. Single gene disorder dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat
keluarga atau dengan mengidentifikasi pola dari kelainan yang dikenal
dengan pola keturunan (Hill, 1996; Schorge, 2008; Porter, 2009; Byrne,
1994; Hunt, 1994).
b. Kelainan Hormonal
Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan
blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan
dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada
produksi

estrogen

yang

dihasilkan

oleh

korpus

luteum

sampai

14

kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang


terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada
kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk
memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi
progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada
endometrium dan desidua terganggu.
Keguguran juga dapat terjadi apabila trofoblas tidak dapat
menghasilkan progesteron yang seharusnya menggantikan progesteron
dari korpus luteum ketika korpus luteum menghilang (Hill, 1996; Brent,
1994).
Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada
perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada
endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron.
Dipihak lain, sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat
menimbulkan keguguran secara tidak langsung dengan cara meningkatkan
kadar hormon testosteron. Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone
biasanya berhubungan dengan adanya polikistik ovarium (Porter, 2009).
Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran
pada penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus
terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut
(Porter, 2009).
Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan
dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi
korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid.
Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena
pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih
tinggi, adanya antitiroid antibodi

dapat menjadi suatu petanda bagi

seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid


yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal
tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau
pembentukan janin (Hill, 1996; Porter, 2009).

15

c. Infeksi Saluran Reproduksi


Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis,
dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan
dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya
keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai
penyebab dari keguguran. Organisme-organisme tersebut dapat menjadi
penyebab keguguran apabila (Porter, 2009):
a. Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu secara
nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
b. Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga
menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses
radang.
Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan
keguguran dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm.
Bakterial vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari
vagina. Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli
yang normal tidak ada atau tidak banyak terdapat.
Tidak didapatkan adanya hubungan yang nyata dengan keguguran
dan hubungan ini masih perlu dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan
bahwa keguguran merupakan akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon
dari adanya organisme patologis (Porter, 2009).
d. Imunologik
Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability
complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC
golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan

16

antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan


kompatibilitas imunologik jaringan.
Golongan I antigen MHC penting utnuk mengenali struktur dalam
menolak respon mediator dengan limposit T sitotoksik (Schorge, 2008;
Porter, 2009).
Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T
dan memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon
imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit.
Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang
dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel
trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia
merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa
HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G
yang menyimpang akan mengakibatkan abortus.
Faktor-faktor imunologi terbagi dua, yaitu (Hill, 1996; Porter
2009) :
1. Kelainan imunitas seluler
Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan
inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper 1
yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan tumor nekrosis
factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering dikemukakan untuk
kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini menyatakan bahwa
konseptur merupakan target local dan respon cell mediate imun yang akan
menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita yang mengalami abortus,
antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan limfosit, mengakibatkan
respon imun seluler oleh sitokin T helper 1, IFN- dan TNF yang
ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan embrio in vitro dan
perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar TNF dan interleukin 2
yang tinggi didapatkan di serum perifer pada wanita-wanita yang
mengalami abortus dibandingkan dengan wanita hamil normal, tetapi
mekanisme dari hubungan ini belum dapat dijelaskan.

17

Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti


defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan
kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan. Ekspresi
antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi Golongan I MHC
yang tinggi

pada sitotrofoblas menimbulkan respon dari IFN- yang

mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel T yang tinggi.


2. Kelainan imunitas humoral
Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan
fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial
dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi sel-membran
sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan (walaupun
tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi terhadap
kardiolipin dan phospatydilgliserin.
Secara

klinis

antifosfolipid

antibodi

dihubungkan

dengan

trombositopenia, trombosis dan keguguran berulang. Juga dihubungkan


sebagai penyebab dari komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan
berlanjut hingga trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban
pecah sebelum waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin
terhambat dan juga preeklampsia.

Uteroplasental trombosis dianggap

sebagai penyebab utama dari berakhirnya kehamilan (Porter, 2009; Byrne,


1994).
Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung
dengan

phospholipid seperti activated partial thromboplastin time

(APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah


ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan yang
positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk
memastikan kebenaran hasil positif ini. (Byrne, 1994).
Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal
secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang

18

mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan


kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan
keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit.
Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid antibodi
adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis prostasiklin
sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah di plasenta
(Porter, 2009; Byrne, 1994).
Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan
terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas, dan
defisiensi blocking antibody.

Namun keadaan ini masih belum dapat

dibuktikan (Hill, 1996).


e. Faktor Lain
Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk
juga zat-zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan
yang lama terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen,
obat antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi.
Latihan yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan
terjadinya keguguran berulang.

Koitus dihubungkan dengan adanya

persalinan preterm tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat


dipastikan (Hill, 1996; Byrne, 1994).
2.2.3. Epidemiologi
Semakin lanjut usia pasangan dan semakin banyak jumlah anak, maka
semakin besar risiko terjadinya hamil kosong. Biasanya kondisi ini
diketahui di antara 8-13 minggu dari usia kehamilan.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota
Semarang di RSUD Kota Semarang tahun 2010-2013, prevalensi Blighted
Ovum tahun 2010 sebanyak 40 kasus. Pada tahun 2011 sebanyak 28 kasus.
Pada tahun 2012 diperoleh data sebanyak 35 kasus Blighted Ovum.

19

Sedangkan ditahun 2013 untuk bulan januari sampai tanggal 20 juli


terdapat 48 kasus.
2.2.4. Patofisiologi
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.
Namun akibat berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma
tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang
berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam
rahim.

Plasenta

menghasilkan

hormon

HCG

(human

chorionic

gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung


telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat
hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon HCG yang menyebabkan
munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan
menyebabkan tes kehamilan menjadi positif. Karena tes kehamilan baik
test pack maupun laboratorium pada umumnya mengukur kadar hormon
HCG (human chorionic gonadotropin) yang sering disebut juga sebagai
hormon kehamilan.
2.2.5. Manifestasi Klinis
Menurut (Sanders, 2007), beberapa tanda dan gejala blighted ovum
meliputi :
1. Pada awalnya pemeriksaan awal tes kehamilan menunjukkan hasil positif.
Wanita merasakan gejala-gejala hamil, dalam seperti mudah lelah, merasa
ada yang lain pada payudara atau mual-mual.
2. Hasil pemeriksaan USG saat usia kehamilan lebih dari 8 minggu rahim
masih kosong.
3. Meskipun tidak ada perkembangan embrio, tetapi kadar HCG akan terus
diproduksi oleh trofoblas di kantong.

20

4. Keluar bercak perdarahan dari vagina.

2.2.6. Diagnosis
Abortus harus diduga bila ada seorang wanita dalam masa reproduksi
mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami keterlambatan
haid. Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda
pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau
imunologik bilamana hal itu dikerjakan.
Harus diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan; pembukaan
servika dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina. Wanita dengan
Blighted Ovum sebagian besar secara klinis datang sebagai suatu abortus
imminens.
a. Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus
pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam
uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks (Winkjosastro, 1999; Cunningham,
2010).
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak
sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum
membuka dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi
perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika terjadi
pembuahan. Hal ini disebabkan oleh pembuahan villi koriales ke dalam
desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit,
warnanya

merah,

(Winkjosastro, 1999).

cepat

berhenti

dan

tidak

disertai

mules-mules

21

b. Blighted Ovum
Blighted Ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan
ultrasonografi pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7
minggu dipastikan tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan
transabdominal maupun transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat
pada usia kehamilan yang sangat dini.
Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung
bayi atau pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada
pertengahan minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5.
Sehingga, embrio dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada
pemeriksaan USG tranvaginal.

Gambar 2.2. Gambaran USG Blighted Ovum dibandingkan dengan


kehamilan normal (Cunningham, 2010).
Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac)
diameter lebih dari 10 mm tanpa yolk sac, diameter 15 mm tanpa
mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada USG
transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak
gambaran hiperechoic berupa fetal pole di dalam ges sac
(Cunningham, 2010).
Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu
pemeriksaan dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya,
pada pemeriksaan darah hormon ini dapat dideteksi pada hari 11

22

setelah konsepsi, dan pada tes urin pada hari ke 12-14 hari. Produksi
hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam. Kadarnya akan
mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu lalu
menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat
dicurigai terjadinya Blighted Ovum (Cunningham, 2010).

2.2.7. Penatalaksanaan
Jika telah didiagnosis Blighted Ovum, maka tindakan selanjutnya
adalah mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil
kuretase akan dianalisis untuk memastikan apa penyebab Blighted
Ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat
diobati sehingga kejadian ini tidak berulang. Jika penyebabnya
antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak
dapat hamil sungguhan. Untuk mencegah terjadinya Blighted Ovum,
maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti
pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak
hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula
darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di
atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas
sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan
membiasakan pola hidup sehat.
Beberapa peneliti menyatakan riwayat Blighted Ovum tidak
memberikan risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan
selanjutnya pada berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai
penelitian menggambarkan 25-50% wanita dengan riwayat keguguran
dapat mengalami keguguran ulang. Hal ini sangat berhubungan
dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi penyebab dan
penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan. Apabila, tindakan
evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi, penting

23

untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus seperti


uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan
pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian
histologi untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping.

Pada keguguran dimana fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus


harus diperiksa dan pasangan tersebut disarankan agar bersedia
dilakukan pemeriksaan autopsi. Kemudian harus dilakukan follow up
dan konseling pada pasien (Porter, 2009).
Pemeriksaan

yang

sebaiknya

dilakukan

rutin

apabila

menemukan adanya abortus dan Blighted Ovum ialah sebagai berikut


(Porter, 2009) :
1. Periksa kariotipe kedua pasangan.
2. Lakukan histerosalfingografi atau apabila terdapat ahlinya lakukan
ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan
bentuk uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus.
3. Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan
Follicle Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya
hipersekresi Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik
ovarium. Selain itu ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam
menentukan adanya polikistik ovarium selain untuk memeriksa
kelainan pada uterus atau rongga uterus.
4. Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui
mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan
diabetes mellitus.
5. Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan
IgM anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor. Hal ini juga berarti
dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT.

24

6. Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi


antitiroid.
7. Pemeriksaan platelet.
8. Pemeriksaan sperma.
9. Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.
Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan
penemuan yang positif, yaitu :
a. Faktor Genetik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik
maka perlu dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik.

Perlu

dilakukan konseling terhadap pasangan karena pemeriksaan dari


keadaan ini memerlukan biaya yang besar, selain itu kemungkinan
untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil (Byrne, 1994).
b. Kelainan Anatomi
Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang
mengalami keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk
mengeluarkan kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari
uterus.
Metode

pemeriksaan

yang

dapat

digunakan

ialah

histerosalfingografi, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi


transvaginal atau histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut
(Byrne, 1994).
Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi.
Tindakan metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya
septum uterus, tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi
prospektif secara baik dan dikatakan memiliki hubungan dengan
keadaan infertilitas postperatif.
Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus ataupun
perlengketan dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal

25

histeroskopi, dikatakan bahwa tindakan ini memiliki hasil yang cukup


memuaskan, namun tindakan operatif ini hanya dapat dilakukan oleh
klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang memadai serta
memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan histeroskopi
(Porter, 2009).
Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga
abortus pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan
perawatan antenatal yang intensif. Hal ini sering dihubungkan dengan
adanya inkompeten serviks.

Pemberian tokolitik oral sebagai

profilaksis tidak disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran


dan dilatasi serviks perlu dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan
lebih baik bila dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.
Pada

keadaan

adhesi

intrauterin

(Sindroma

Asherman),

diagnosis didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi.


Perlengketan dapat dilepaskan dengan menggunakan histeroskopi
kemudian dialkukan pemasangan IUD selama 6 minggu untuk
mencegah terjadinya perlengketan kembali. Antibiotik berspektrum
luas perlu diberikan sampai 1 minggu postoperasi. Perkembangan
janin pada kehamilan setelah tindakan harus diawasi secara hati-hati
karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat yang kurang
ideal (Porter, 2009).
Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif
bila mioma tersebut berupa mioma submukosa. Tindakan operatif
tersebut berupa miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan
juga dapat mengurangi ukuran dari mioma tersebut (Porter, 2009).
c. Abnormalitas Hormonal
Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu
basal dimana fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau
kadar progesteron serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus

26

berturut-turut.

Namun pada penelitian ternyata didapatkan bahwa

tidak adanya bukti yang mendukung secara nyata bahwa pemberian


hormon progesteron tidak mengurangi risiko terjadinya keguguran
(Porter, 2009).
Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar
hormon tersebut pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau
lebih, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah secara serial.
Sebagai alternatif dapat dilakukan pemeriksaan kadar luteinizing
hormon pada urine dimana hipersekresi lutinizing hormon ditegakkan
bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau lebih. Pengobatan
keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang akan
menekan luteinizing hormone (Porter, 2009).
Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat
diabetes mellitus tidak perlu dilakukan.

Pengendalian kadar gula

darah yang optimal sebelum kehamilan merupakan cara untuk


keberhasilan kehamilan. Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum
dapat mendeteksi gangguan fungsi tiroid. Biasanya pemeriksaan ini
dilakukan apabila telah ditemukan adanya gejala gangguan tiroid
(Porter, 2009).
d.

Infeksi Saluran Reproduksi

Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini tentu


saja disesuaikan dengan jenis organisme yang menginfeksi. Belum
ditemukan perlunya dilakukan imunisasi kecuali pada kasus penyakit
rubella (Byrne, 1994).
e. Imunologik
Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita
dengan riwayat abortus berulang.

Tanpa pengobatan hanya

didapatkan 10-15% kehamilan yang berhasil.

Pengobatan dengan

27

aspirin dosis rendah (75 mg/hari) atau heparin dosis rendah (500010000 unit tiap 12 jam) telah dilakukan dan menunjukkan adanya
perbaikan pada kehamilan baik itu dipergunakan sebagai obat tunggal
atau kombinasi.
Tetapi pemakaian obat-obatan ini memiliki risiko.

Heparin

jangka panjang diketahui dapat menyebabkan osteoporosis, dan


aspirin dapat menimbulkan perdarahan gastrointestinal (Byrne, 1994).
2.2.8. Prognosis
Blighted ovum tidak berpegaruh terhadap rahim ibu atau
terhadap masalah kesuburan. Seseorang yang pernah mengalami
blighted ovum dapat kembali hamil normal. Namun jika ibu
mengalami blighted ovum berulang, baiknya dilakukan pemeriksaan
dan pengobatan yang intensif, karena dikhawatirkan adanya kelainan
kromosom yang menetap pada diri ibu atau suami.
Dengan adanya fasilitas diagnosis dini (USG), transfusi darah,
teknik anestesi dan operasi yang baik dengan indikasi kuretase yang
pasti, maka prognosis ibu cukup baik.
2.2.10. Komplikasi Blighted Ovum
Komplikasi yang dapat terjadi pada Blighted Ovum adalah karena
tindakan dilatasi dan kuretase yang dapat menyebabkan perforasi
dinding uterus, hal ini dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke
ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak
uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal
tindakan, dan pada dilatasi serviks tidak boleh digunakan tekanan
berlebihan. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Dengan
adanya fasilitas diagnosis dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi
dan operasi yang baik dengan indikasi kuretase yang pasti, maka
prognosis ibu cukup baik (Andon, 2011).

28

2.3. Rekam Medis


Rekam medis merupakan berkas/dokumen penting bagi setiap
instansi rumah sakit. Pada Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis dijelaskan bahwa
rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen
tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan
pelayanan lain kepada pasien pada sarana pelayanan kesehatan.
Sedangkan menurut Huffman dalam Fajri (2008:5) rekam medis
adalah fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit
dan pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi
kesehatan yang memberikan pelayanan kepada pasien tersebut.
Dengan melihat ketiga pengertian di atas dapat dikatakan bahwa
suatu berkas rekam medis mempunyai arti yang lebih luas daripada
hanya sekedar catatan biasa, karena didalam catatan tersebut sudah
memuat segala informasi menyangkut seorang pasien yang akan
dijadikan dasar untuk menentukan tindakan lebih lanjut kepada
pasien.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749 a tahun 1989
menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 manfaat, yaitu :
1. Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan
2.
3.
4.
5.

pasien
Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
Bahan untuk kepentingan penelitian
Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

29

Menurut International Federation Health Organization (1992:2),


rekam medis disimpan dengan tujuan:
1. Fungsi komunikasi
Rekam medis disimpan untuk komonikasi diantara dua orang
yang bertanggungjawab terhadap kesehatan pasien untuk kebutuhan
pasien saat ini dan yang akan datang.
2. Kesehatan pasien yang berkesinambungan
Rekam medis dihasilkan atau dibuat untuk penyembuhan pasien
setiap waktu dan sesegera mungkin.
3. Evaluasi kesehatan pasien
Rekam medis merupakan salah

satu

mekanisme

yang

memungkinkan evaluasi terhadap standar penyembuhan yang telah


diberikan.
4. Rekaman bersejarah
Rekam medis merupakan contoh yang menggambarkan tipe dan
metode pengobatan yang dilakukan pada waktu tertentu.
5. Medikolegal
Rekam medis merupakan bukti dari opini yang yang bersifat
prasangka menegnai kondisi, sejarah dan prognosi pasien.
6. Tujuan statistik
Rekam medis dapat digunakan untuk menghitung jumlah
penyakit, prosedur pembedahan dan insiden yang ditemukan setelah
pengobatan khusus.
7. Tujuan penelitian dan pendidikan
RekamRiwayat
medis diabortus
waktu yang akan datang dapat digunakan dalam
2.4

penelitian kesehatan.
Kerangka TeoriRiwayat penyakit kronis
Infeksi

Faktor Maternal
Obat- obatan dan pengaruh lingkungan
Faktor-faktor hematoimunologis

Faktor Janin:
1. Kelainan kariotip
2. Kelainan jumlah
kromosom
3. Kelainan struktur
kromosom

Faktor Paternal:
Usia ibu
Paritas
Komplikasi
Prognosis : :
Jarak kehamilan
Tidak
Perforasi
berdampak
dindingpada
uterus
akibat
Tatalaksana
:kehamilan
BLIGHTED
OVUM
tindakan
selanjutnya
Dilatasi
dankuretase
Kuretase

1. Abnormalitas
kromosom pada
sperma
2. Penyakitpenyakit ayah

You might also like