You are on page 1of 25

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Reproduksi Wanita
2.1.1. Organ Genitalia Eksterna
Menurut Manuaba (1998) organ genitalia eksterna terdiri dari :
1. Mons veneris (mons pubis) : disebut juga gunung venus,
merupakan bagian yang menonjol di bagian depan simfisis, terdiri
dari jaringan lemak dan sedikit jaringan ikat. Setelah dewasa
tertutup oleh rambut yang bentuknya segitiga
2. Labia mayora : merupakan kelanjutan dari mons venseris,
berbentuk lonjong. Kedua bibir ini di bagian bawah bertemu
membentuk perineum, permukaan ini terdiri dari :
a) Bagian luar; tertutup rambut, yang merupakan kelanjutan
dari rambut padamons veneris
b) Bagian dalam; tanpa rambut, merupakan selaput yang
mengadung kelenjar sebasea (lemak)
3. Labia minora : merupakan lipatan di bagian dalam labia mayora,
tanpa rambut. Dibagian atas klitoris, labia minora bertemu
membentuk prepusium klitoris dan di bagian bawahnya bertemu
membentuk prenulum klitoris, labia minora ini mengelilingi
orifisium vagina
4. Klitoris : merupakan bagian penting alat reproduksi luar yang
bersifat erektil, mengandung banyak pembuluh darah dan serat
saraf sensoris sehingga sangat sensitif dan analog dengan penis
pada laki-laki
5. Vestibulum : merupakan alat reproduksi bagian luar yang dibatasi
oleh kedua bibir kecil, bagian atas klitoris, dan bagian belakang
pertemuan kedua labia minora. Pada vestibulum terdapat muara
urethra, dan lubang saluran kelenjar Bartholini dan dua lubang
saluran kelenjar Skene.

6. Kelenjar Bartholini : kelenjar yang penting di daerah vulva dan


vagina, karena dapat mengeluarkan lendir, pengeluaran lendir
meningkat saat hubungan seks.
7. Hymen (selaput dara) : menutupi jaringan yang menutupi lubang
vagina. Bersifat rapuh dan mudah robek.
8. Perineum terletak antara vulva dan anus, panjangnya rata-rata 4
cm. Jaringan yang mendukung perineum terutama ialah diafragma
pelvis dan diafragma urogenitalis.
2.1.2. Organ Genitalia Interna

Gambar 2.1. Organ genitalia interna wanita (Snell, 2006)

A. Ovarium

Seorang wanita memiliki sepasang ovarium, masing-masing berukuran


11/2 x inci (4 x 2 cm). Ovarium biasanya terletak di depan dinding lateral
pelvis, pada lekukan yang disebut fossa ovarica. Ovarium dikelilingi oleh
capsula fibrossa tipis, disebut tunica albuginea. Bagian luar capsula ini
dibungkus oleh lapisa peritoneum yang mengalami modifikasi disebut
epitelium germinativum.
Fungsi ovarium yaitu bertanggung jawab terhadap produksi sel benih
perempuan yang disebut ovum, dan hormon seks perempuan yaitu
estrogen dan progesteron pada perempuan dewasa. Selama kehamilan,
uterus yang membesar menarik ovarium ke atas masuk ke dalam cavitas
abdominalis. Setelah persalinan, saat ligamentum latum relakasi, ovarium
mengambil posisi yang bervariasi di dalam pelvis.
Ovarium diperdarahi oleh arteri ovarica yang berasal dari aorta
abdominalis setinggi vertebra lumbalis I, dan vena ovarica dextra yang
bemuara ke vena cava inferior, sedangkan vena ovarica sinistra bermuara
ke vena renalis sinistra. Persarafan ovarium berasal dari plexus aorticus
dan mengikuti perjalanan arteri ovarica. Pembuluh limfe ovarium
mengikutiarteri ovarica dan mengalirkan limf ke nodi aortici setinggi
vertebra L1 (Snell, 2006).
B. Tuba Uterina
Terdapat dua buah tuba uterina (tuba fallopi), setiap tuba uterina
mempunyai panjang sekitar 4 inci (10cm) dan terletak pada pinggir atas
ligamentum

latum.

Masing-masing

tuba

menghubungkan

cavitas

peritonealis di regio ovarium dengan cavitas uteri. Tuba uterina terbagi


menjadi empat bagian yaitu infundibulum, ampulla, isthmus, dan pars
uterina.
Fungsi tuba uterina menerima ovum dari ovarium dan merupakan
tempat terjadinya fertilisasi (biasanya di ampulla). Tuba uterina
menyediakan makanan untuk ovum yang telah difertilisasi dan

membawanya ke dalam cavitas uteri. Tuba uterina juga merupakan saluran


yang dilewati spermatozoa untuk mencapai ovum.
Perdarahannya berasal dari arteri uterina, dan arteri ovarica. Pembulih
limfe mengikuti jalannya arteri dan bermuara ke nodi iliaci interni dan
para aortici. Saraf simpatis dan parasimpatis berasal dari plexus
hypogastricus inferior (Snell, 2006).
C. Uterus
Uterus merupakan organ berongga yang berbentuk buah pir dan
berdinding tebal. Pada orang dewasa muda nullipara, panjang uterus 3 inci
(8cm), lebar 2 inci (5cm), dan tebal 1 inci (2,5cm). Uterus terbagi menjadi
fundus, corpus, dan cervix uteri. Fundus uteri merupakan bagian uterus
yang terletak di atas muara tuba uterina. Corpus uteri merupakan bagian
uterus yang terletak di atas muara tuba uterina. Bagian bawah corpus
menyempit, yang akan berlanjut sebagai cervix uteri. Cervix menembus
dinding anterior vagina dan dan dibagi menjadi portio supravaginalis dan
portio vaginalis cervicis uteri. Rongga pada cervix uteri yang disebut
canalis cervicis uteru berhubungan dengan rongga di dalam corpus uteri
melalui ostium histologicum uteri internum dan dengan vagina melalui
ostium uteri.
Uterus berfuungsi sebagai tempat untuk menerima, mempertahankan,
dan memberi makan ovum yang telah dibuahi. Uterus diliputi oleh
peritoneum, kecuali di bagian anterior dan di bawah ostium uteri internum.
Tunica muscularis atau myometrium sangat tebal dan dibentuk oleh otot
polos yang disokong oleh jaringan ikat. Tunica mucosa yang membatasi
corpus uteri disebut endometrium. Dan fascia pelvis visceralis yang
mengelilingi portio supravaginalis cervicis disebut parametrium.
Arteri utama pada uterus merupakan arteri uterina, sebuah cabang arteri
iliaca interna dan selanjutnya beranastomosis dengan arteri ovarica yang
juga membantu memberikan suplai darah bagi uterus. Arteri uterina
bercabang menjadi sebuah cabang kecil yang berjalan turun untuk

mendarahi cervix dan vagina. Vena uterina mengikuti arteri uterina dan
bermuara ke dalam vena iliaca interna.
Uterus dipersarafi oleh saraf simpatis dan oarasimpatis yang berassal
dari plexus hypogastricus inferior. Uterus terutama disokong oleh tonus
musculus levator ani dan kondensasi fascia pelvis yang membentuk tiga
ligamentum

penting

yaitu

Ligamentum

Transversum

Cervicis,

Ligamentum Pubocervicale, dan Ligamentum Saccrocervicale (Snell,


2006).
D. Vagina
Vagina adalah saluran otot yang terbentang ke atas dan belakang dari
vulva sampai uterus. Panjang vagina kurang lebih 3 iinci (8cm) dan
mempunyai paries anterior dan paries posterior yang dalam keadaan
normal terletak berhadapan. Pada ujung atasnya, paries anterior ditembus
oleh cervix yang menonjol ke bawah dan belakang vagina. Ostium vagina
pada perempuan yang masih perawan mempunyai selapis tipis lipatan
mukosa yang disebut hymen. Setelah melahirkan biasanya hymen hanya
tinggal rumbai-rumbai.
Fungsi vagina tidak hanya sebagai saluran kelamin pada perempuan,
tetapi juga merupakan saluran ekskresi untuk menstruaasi dan membentuk
sebagian jalan lahir. Sel dinding vagina mengandung banyak glikogen
yang menghasilkan asam susu dengan PH 4,5. Keasaman vagina
memberikan proteksi terhadap infeksi.
Vagina diperdarahi oleh arteri vaginalis, cabang asteri iliaca interna
dan ramus vaginalis arteri uterina. Vena vagina membentuk sebuah plexus
venosus vaginalis di sekeliling vagina dan bermuara ke vena iliaca interna.
Saraf yang memperssarafi vagina berasal dari plexus hypogastricus
inferior.
Bagian atas vagina disokong oleh musculus levator ani dan
ligamentum transversum cervicis, pubocervicale, dan sacrocervicale.
Struktur ini dilekatkan ke dinding vagina oleh fascia pelvis. Bagian tengah

10

vagina disokong oleh diafragma urogenital. Bagian bawah vagina,


terutama dinding posterior disokong oleh corpus perineal (Snell, 2006).
2.2. Blighted Ovum
2.2.1. Definisi
Blighted ovum disebut juga kehamilan anembrionik merupakan suatu
keadaan kehamilan patologi dimana janin tidak terbentuk. Dalam kasus ini
kantong kehamilan tetap terbentuk. Selain janin tidak terbentuk kantong
kuning telur juga tidak terbentuk. Kehamilan ini akan terus dapat
berkembang meskipun tanpa ada janin di dalamnya. Blighted ovum ini
biasanya pada usia kehamilan 14-16 minggu akan terjadi abortus spontan
(Sarwono, 2009).
Blighted ovum merupakan kehamilan dimana kantung gestasi
memiliki diameter katung lebih dari 20 mm akan tetapi tanpa embrio.
Tidak dijumpai pula adanya denyut jantung janin. Blighted ovum
cenderung mengarah pada keguguran yang tidak terdeteksi (Manuaba,
2010).
2.2.2. Epidemiologi
Diperkirakan di seluruh dunia Blighted Ovum merupakan 60% dari
penyebab kasus keguguran, di ASEAN mencapai 51%, di Indonesia
ditemukan 37% dari setiap 100 kehamilan (WHO, 2012).
Menurut studi epidemiologi, dari 100 wanita hamil, ada 10-15 orang
yang mengalami hamil kosong. Umumnya kejadian ini dialami wanita
berusia 40 tahun, sekali seumur hidup, dengan prevalensi (angka kejadian)
40-60%.
Semakin lanjut usia pasangan dan semakin banyak jumlah anak, maka
semakin besar risiko terjadinya hamil kosong. Biasanya kondisi ini
diketahui di antara 8-13 minggu dari usia kehamilan.

11

Berdasarkan data yang diperoleh di RSUD Kota Semarang tahun


2010-2013, prevalensi Blighted Ovum (BO) tahun 2010 sebanyak 40
kasus. Pada tahun 2011 sebanyak 28 kasus. Pada tahun 2012 diperoleh
data sebanyak 35 kasus blighted ovum (BO). Sedangkan ditahun 2013
untuk bulan januari sampai tanggal 20 juli terdapat 48 kasus.

2.2.3. Etiologi
Sekitar 60% blighted ovum disebabkan kelainan kromosom dalam
proses pembuahan sel telur dan sperma. Infeksi TORCH, rubella dan
streptokokus, penyakit kencing manis (diabetes mellitus) yang tidak
terkontrol, rendahnya kadar beta-hCG serta faktor imunologis seperti
adanya antibodi terhadap janin juga dapat menyebabkan blighted ovum.
Risiko juga meningkat bila usia suami atau istri semakin tua karena
kualitas sperma atau ovum menjadi turun.
Teori lain menunjukkan bahwa blighted ovum disebabkan sel telur
yang normal dibuahi sperma yang abnormal. Penyebab terjadinya blighted
ovum ini sulit dipisahkan dengan penyebab abortus pada umumnya, karena
faktor-faktor penyebab gagalnya perkembangan hasil konsepsi ini dapat
mengarah ke gagalnya mempertahankan kehamilan (Schorge, 2008; Porter,
2009).
a. Faktor Genetik
Abnormalitas kromosom orang tua dan beberapa faktor imunologi
berhubungan dengan blighted ovum dan abortus secara umum telah
diteliti. Pada tahun 1981 Granat dkk mendeskripsikan adanya translokasi
22/22 pada pria yang istrinya mengalami 6 kali abortus secara berurutan,.
Pada tahun 1990, Smith dan Gaha menemukan insiden yang cukup
besar dari carrier translokasi kromosom pada suatu penelitian terhadap
keluarga abortus habitualis dan didapatkan 15 balanced reciprocal
translocations dan 9 fusi robertsonian pada populasi ini. Kelainan

12

kromosom yang paling banyak menyebabkan abortus habitualis adalah


balanced translocation yang menyebabkan konsepsi trisomi. Kelainan
struktural kromosom yang lain adalah mosaicism, single gene disorder dan
inverse dapat menyebabkan abortus habitualis. Single gene disorder dapat
diketahui dengan melakukan pemeriksaan yang seksama terhadap riwayat
keluarga atau dengan mengidentifikasi pola dari kelainan yang dikenal
dengan pola keturunan (Hill, 1996; Schorge, 2008; Porter, 2009; Byrne,
1994; Hunt, 1994).
b. Kelainan Anatomi
Kelainan anatomi mungkin berupa kelainan kongenital atau kelainan
yang didapat. Kelainan kongenital termasuk fusi duktus Mulleri yang
inkomplit atau defek resorpsi septum, paparan diethylstilbestrol (DES) dan
kelainan servik uterus.
Wanitawanita dengan septum intrauterin memiliki risiko abortus
spontan sebesar 60%, kebanyakan abortus pada trimester dua, tetapi dapat
juga terjadi pada trimester pertama. Apabila embrio berimplantasi pada
septum karena endometrium pada septum berkembang buruk dapat
menyebabkan kelainan plasenta. Pada paparan diethylstilbestrol (DES)
intra uterine dapat menyebabkan kelainan uterus, yang paling sering
adalah hipoplasia yang dapat menyebabkan abortus pada trimester pertama
dan kedua, serviks inkompeten dan persalinan prematurus.
Kelainan anatomi

didapat yang potensial menyebabkan abortus

seperti adhesi intra uterine (Sindroma Asherman) yang disebabkan oleh


kuretase endometrium atau evakuasi hasil konsepsi yang terperangkap
terlalu dalam dan berulang, leiomioma yang mempengaruhi arah dari
kavum uteri dan endometriosis.
Hubungan keadaan ini dengan adanya keguguran berulang secara teori
ialah bahwa pada kasus adesi dan leiomioma terjadi adanya gangguan
suplai darah, sementara pada endometriosis berhubungan dengan faktor
imunologi (Hill, 1996; Prawirohardjo, 1997).

13

c. Kelainan Hormonal
Faktorfaktor endokrinologi yang berhubungan dengan abortus dan
blighted ovum termasuk insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa kelainan
dimana luteinizing hormone (LH) hipersekresi, diabetes mellitus, dan
penyakit tiroid. Perkembangan pada kehamilan awal tergantung pada
produksi

estrogen

yang

dihasilkan

oleh

korpus

luteum

sampai

kecukupannya terpenuhi diproduksi oleh perkembangan trofoblast, yang


terjadi pada usia kehamilan 79 minggu. Abortus spontan terjadi pada
kehamilan kurang dari 10 minggu jika korpus luteum gagal untuk
memproduksi progesteron yang cukup, adanya gangguan distribusi
progesteron ke uterus, atau bila pemakaian hormon progesteron pada
endometrium dan desidua terganggu.
Keguguran juga dapat terjadi apabila trofoblas tidak dapat
menghasilkan progesteron yang seharusnya menggantikan progesteron
dari korpus luteum ketika korpus luteum menghilang (Hill, 1996; Brent,
1994).
Sekresi LH yang abnormal juga memiliki akibat langsung pada
perkembangan oosit, menyebabkan penuaan yang prematur, dan pada
endometrium menyebabkan maturasi yang tidak sinkron.
Dipihak lain, sekresi luteinizing hormone yang abnormal dapat
menimbulkan keguguran secara tidak langsung dengan cara meningkatkan
kadar hormon testosteron. Keadaan gangguan sekresi luteinizing hormone
biasanya berhubungan dengan adanya polikistik ovarium (Porter, 2009).

Mekanisme yang mungkin menyebabkan terjadinya keguguran pada


penderita diabetes mellitus ialah gangguan aliran darah pada uterus
terutama sekali pada kasus-kasus dengan diabetes mellitus tahap lanjut
(Porter, 2009).
Hipotiroid merupakan gangguan endokrin lain yang dihubungkan
dengan adanya abortus berulang, terutama sekali sebagai akibat disfungsi

14

korpus luteum dan ovulasi yang sering menyertai penyakit tiroid.


Antitiroid antibodi juga dihubungkan dengan abortus berulang. Karena
pada awal kehamilan tubuh membutuhkan kadar hormon tiroid yang lebih
tinggi, adanya antitiroid antibodi

dapat menjadi suatu petanda bagi

seseorang untuk terjadi peningkatan risiko terjadinya abnormalitas tiroid


yang dapat berakhir pada keguguran. Kelainan-kelainan regulasi hormonal
tersebut juga mampu menyebabkan kegagalan perkembangan atau
pembentukan janin (Hill, 1996; Porter, 2009).
d. Infeksi Saluran Reproduksi
Walaupun keguguran telah dihubungkan dengan organisme seperti
Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, Chlamydia trachomatis,
dan Toxoplasma gondii, namun tidak ada hubungan yang meyakinkan
dengan abortus berulang. Adanya organisme tersebut pada saat terjadinya
keguguran tidak dapat dianggap sebagai bukti organisme tersebut sebagai
penyebab dari keguguran. Organisme-organisme tersebut dapat menjadi
penyebab keguguran apabila (Porter, 2009):
a. Telah ada dalam waktu yang lama tanpa menimbulkan gejala pada ibu secara
nyata sehingga keadaan ini menjadi tidak terdiagnosis dan tidak diobati.
b. Memiliki jalur untuk masuk ke lingkungan intrauteri sehingga
menginfeksi jaringan fetus dan/atau menstimulasi terjadinya proses
radang.
Terdapat bukti bahwa vaginosis bakterialis berhubungan dengan
keguguran dan juga menjadi faktor risiko terjadinya persalinan preterm.
Bakterial vaginosis disebabkan karena terganggunya flora normal dari
vagina. Terjadi pertumbuhan berlebih dari bakteri anaerob dan lactobacilli
yang normal tidak ada atau tidak banyak terdapat.
Tidak didapatkan adanya hubungan yang nyata dengan keguguran dan
hubungan ini masih perlu dibuktikan. Terdapat teori yang menyatakan

15

bahwa keguguran merupakan akibat dari aktifasi imunologi sebagai respon


dari adanya organisme patologis (Porter, 2009).
e. Imunologik
Respon imunologi diatur oleh gen-gen dari major histocompability
complex (MHC) yang berlokasi pada kromosom G. Antigen MHC
golongan I (human leucocyte antigens (HLA)-A, HLA-B dan HLA-C) dan
antigen MHC golongan II (HLA-DF, HLA-DP dan HLA-DQ) menentukan
kompatibilitas imunologik jaringan. Golongan I antigen MHC penting
utnuk mengenali struktur dalam menolak respon mediator dengan limposit
T sitotoksik (Schorge, 2008; Porter, 2009).
Golongan II antigen MHC menunjukkan antigen untuk limposit T dan
memulai imunitas. Golongan II gen-gen MHC desebut gen-gen respon
imun, secara genetik diatur dan dipercaya untuk menyebabkan penyakit.
Akhir-akhir ini, antigen golongan I MHC nonclassical truncated yang
dikenal HLA-G telah dipaparkan dalam sitotrofoblas manusia dan sel
trofoblas JEG-3, tatapi kemaknaan HLA-G masih spekulasi karena ia
merupakan trofoblas yang unik dan ada hipotasis yang mengatakan bahwa
HLA-G penting untuk gestasi yang berhasil dan respon terhadap HLA-G
yang menyimpang akan mengakibatkan abortus. Faktor-faktor imunologi
terbagi dua, yaitu (Hill, 1996; Porter 2009) :
1. Kelainan imunitas seluler
Endometrium dan desisua manusia penuh dengan sel-sel imun dan
inflamasi yang mampu mensekresi sitokin. Respon imun seluler T helper 1
yang abnormal melibatkan sitokin interferon- (IFN-) dan tumor nekrosis
factor (TNF) merupakan hipotesis yang paling sering dikemukakan untuk
kegagalan imunologi reproduksi. Hipotesis ini menyatakan bahwa
konseptur merupakan target local dan respon cell mediate imun yang akan
menyebabkan abortus. Pada wanita-wanita yang mengalami abortus,
antigen trofoblas mengaktivasi makrofag dan limfosit, mengakibatkan

16

respon imun seluler oleh sitokin T helper 1, IFN- dan TNF yang
ditunjukkan dengan menghambat pertumbuhan embrio in vitro dan
perkembangan serta fungsi dari trofoblast. Kadar TNF dan interleukin 2
yang tinggi didapatkan di serum perifer pada wanita-wanita yang
mengalami abortus dibandingkan dengan wanita hamil normal, tetapi
mekanisme dari hubungan ini belum dapat dijelaskan.
Mekanisme imun seluler lain yang berperan dalam abortus seperti
defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag berhubungan dengan
kematian janin, meskipun mekanismenya belum bisa dipaparkan. Ekspresi
antigen golongan II MHC yang abnormal atau ekspresi Golingan I MHC
yang tinggi

pada sitotrofoblas menimbulkan respon dari IFN- yang

mengakibatkan abortus melalui serangan sitotoksik sel T yang tinggi.


2. Kelainan imunitas humoral
Antifosfolipid antibodi adalah autoantibodi yang ditujukan melawan
fosfolipid yang bermuatan negatif, yang merupakan komponen esensial
dari membran sel yang memiliki peranan penting dalam fusi sel-membran
sel. Antifosfolipid antibodi termasuk juga lupus antikoagulan (walaupun
tidak terdapat sistemik lupus eritematosus) dan antibodi terhadap
kardiolipin dan phospatydilgliserin.
Secara

klinis

antifosfolipid

antibodi

dihubungkan

dengan

trombositopenia, trombosis dan keguguran berulang. Juga dihubungkan


sebagai penyebab dari komplikasi kehamilan yang lain apabila kehamilan
berlanjut hingga trimester ketiga, seperti persalinan prematur, ketuban
pecah sebelum waktunya, kematian janin dalam rahim, pertumbuhan janin
terhambat dan juga preeklampsia.

Uteroplasental trombosis dianggap

sebagai penyebab utama dari berakhirnya kehamilan (Porter, 2009; Byrne,


1994).
Lupus antikoagulan menyebabkan tes koagulasi yang bergantung
dengan

phospholipid seperti activated partial thromboplastin time

17

(APTT) menjadi memanjang dan dan tetap demikian walaupun telah


ditambah dengan plasma yang normal. Anti kardiolipin IgG atau IgM
dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan ELISA. Hasil pemeriksaan yang
positif sebaiknya dulangi kembali setelah beberapa minggu untuk
memastikan kebenaran hasil positif ini. (Byrne, 1994).
Prevalensi dari antifosfolipid antibodi ini pada populasi antenatal
secara umum adalah sekitar 2% dibandingkan dengan ibu-ibu yang
mengalami keguguran berulang yaitu sekitar 15%. Tingkat keberhasilan
kehamilan pada keadaan yang tidak diobati ialah sekitar 10-15% dan
keguguran berulang seringkali merupakan manifestasi awal penyakit.
Mekanisme untuk terjadinya keguguran akibat dari antifosfolipid antibodi
adalah peningkatan tromboksan dan penurunan sintesis prostasiklin
sehingga menimbulkan adesi platelet pada pembuluh darah di plasenta
(Porter, 2009; Byrne, 1994).
Keadaan immunologik lain yang mungkin juga menyebabkan
terjadinya keguguran ialah antibodi antisperma, antibodi antitrofoblas, dan
defisiensi blocking antibody.

Namun keadaan ini masih belum dapat

dibuktikan (Hill, 1996).

f. Faktor Lain
Faktor lain yang berhubungan dengan keguguran berulang termasuk
juga zat-zat racun pada lingkungan, terutama logam berat dan paparan
yang lama terhadap pelarut organik, obat-obatan seperti antiprogestogen,
obat antineoplasma, anestesi, nikotin dan alkohol, demikian juga radiasi.
Latihan yang berat juga belum dapat dibuktikan secara pasti menyebabkan
terjadinya keguguran berulang.

Koitus dihubungkan dengan adanya

persalinan preterm tetapi untuk terjadinya keguguran belum dapat


dipastikan (Hill, 1996; Byrne, 1994).

18

2.2.4. Patofisiologi
Pada saat konsepsi, sel telur (ovum) yang matang bertemu sperma.
Namun akibat berbagai faktor maka sel telur yang telah dibuahi sperma
tidak dapat berkembang sempurna, dan hanya terbentuk plasenta yang
berisi cairan. Meskipun demikian plasenta tersebut tetap tertanam di dalam
rahim.

Plasenta

menghasilkan

hormon

HCG

(human

chorionic

gonadotropin) dimana hormon ini akan memberikan sinyal pada indung


telur (ovarium) dan otak sebagai pemberitahuan bahwa sudah terdapat
hasil konsepsi di dalam rahim. Hormon HCG yang menyebabkan
munculnya gejala-gejala kehamilan seperti mual, muntah, ngidam dan
menyebabkan tes kehamilan menjadi positif. Karena tes kehamilan baik
test pack maupun laboratorium pada umumnya mengukur kadar hormon
HCG (human chorionic gonadotropin) yang sering disebut juga sebagai
hormon kehamilan.

2.2.5. Manifestasi Klinis


Menurut (Sanders, 2007), beberapa tanda dan gejala blighted ovum
meliputi :
1. Pada awalnya pemeriksaan awal tes kehamilan menunjukkan hasil positif.
Wanita merasakan gejala-gejala hamil, dalam seperti mudah lelah, merasa
ada yang lain pada payudara atau mual-mual.
2. Hasil pemeriksaan USG saat usia kehamilan lebih dari 8 minggu rahim
masih kosong.

19

3. Meskipun tidak ada perkembangan embrio, tetapi kadar HCG akan terus
diproduksi oleh trofoblas di kantong.
4. Keluar bercak perdarahan dari vagina.
2.2.6. Diagnosis
Abortus harus diduga bila ada seorang wanita dalam masa reproduksi
mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami keterlambatan
haid. Kecurigaan tersebut diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda
pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis atau
imunologik bilamana hal itu dikerjakan.
Harus diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan; pembukaan
servika dan adanya jaringan dalam kavum uteri atau vagina. Wanita dengan
Blighted Ovum sebagian besar secara klinis datang sebagai suatu abortus
imminens.
a. Abortus Imminens
Abortus imminens ialah peristiwa terjadinya perdarahan dari uterus
pada kehamilan sebelum 20 minggu, dimana hasil konsepsi masih dalam
uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks (Winkjosastro, 1999; Cunningham,
2010).
Diagnosis abortus imminens ditentukan karena pada wanita hamil terjadi
perdarahan melalui ostium uteri eksternum, disertai mules sedikit atau tidak
sama sekali, uterus membesar sebesar tuanya kehamilan, serviks belum
membuka dan tes kehamilan positif. Pada beberapa wanita hamil dapat terjadi
perdarahan sedikit pada saat haid yang semestinya datang jika terjadi
pembuahan. Hal ini disebabkan oleh pembuahan villi koriales ke dalam
desidua, pada saat implantasi ovum. Perdarahan implantasi biasanya sedikit,
warnanya

merah,

(Winkjosastro, 1999).

cepat

berhenti

dan

tidak

disertai

mules-mules

20

b. Blighted Ovum
Blighted Ovum dapat segera terdeteksi segera pada pemeriksaan
ultrasonografi pada minggu 6, karena tidak tampaknya fetus. Pada usia 7
minggu dipastikan tidak ada fetus. Pencitraan USG dapat dilakukan
transabdominal maupun transvaginal, namun cara yang kedua lebih akurat
pada usia kehamilan yang sangat dini.
Pada usia 8 dan 9 minggu, jika perhitungan HPHT tepat, detak jantung
bayi atau pulsasi sudah dapat terdeteksi. Kantung gestasi mulai tampak pada
pertengahan minggu ke 4, dan yolk sac normalnya tampak pada minggu 5.
Sehingga, embrio dapat terlihat jelas mulai pertengahan minggu 5 pada
pemeriksaan USG tranvaginal.

Gambar 2.2. Gambaran USG Blighted Ovum dibandingkan dengan


kehamilan normal (Cunningham, 2010).
Tidak ditemukan fetal pole, dengan kantung gestasi (ges sac)
diameter lebih dari 10 mm tanpa yolk sac, diameter 15 mm tanpa
mudigah pada USG transvaginal atau lebih dari 25 mm pada USG
transabdominal. Sedangkan pada gambar di sebelah kanan tampak
gambaran hiperechoic berupa fetal pole di dalam ges sac
(Cunningham, 2010).
Pemeriksaan kadar hormon pada kehamilan dapat juga membantu
pemeriksaan dimana beta-hCG dibentuk oleh plasenta. Normalnya,
pada pemeriksaan darah hormon ini dapat dideteksi pada hari 11

21

setelah konsepsi, dan pada tes urin pada hari ke 12-14 hari. Produksi
hormone ini akan menjadi 2 kali lipat tiap 72 jam. Kadarnya akan
mencapai jumlah tertinggi pada kehamilan usia 8-11 minggu lalu
menurun. Jika penurunan kadar beta-hCG ini terjadi lebih dini, dapat
dicurigai terjadinya blighted ovum (Cunningham, 2010).
2.2.7. Penatalaksanaan
Jika telah didiagnosis blighted ovum, maka tindakan selanjutnya
adalah mengeluarkan hasil konsepsi dari rahim (kuretase). Hasil
kuretase akan dianalisis untuk memastikan apa penyebab blighted
ovum lalu mengatasi penyebabnya. Jika karena infeksi maka dapat
diobati sehingga kejadian ini tidak berulang. Jika penyebabnya
antibodi maka dapat dilakukan program imunoterapi sehingga kelak
dapat hamil sungguhan. Untuk mencegah terjadinya blighted ovum,
maka dapat dilakukan beberapa tindakan pencegahan seperti
pemeriksaan TORCH, imunisasi rubella pada wanita yang hendak
hamil, bila menderita penyakit disembuhkan dulu, dikontrol gula
darahnya, melakukan pemeriksaan kromosom terutama bila usia di
atas 35 tahun, menghentikan kebiasaan merokok agar kualitas
sperma/ovum baik, memeriksakan kehamilan yang rutin dan
membiasakan pola hidup sehat.
Beberapa peneliti menyatakan riwayat blighted ovum tidak
memberikan risiko keguguran selanjutnya, dan 80-85% kehamilan
selanjutnya pada berlangsung hingga aterm. Namun, berbagai
penelitian menggambarkan 25-50% wanita dengan riwayat keguguran
dapat mengalami keguguran ulang. Hal ini sangat berhubungan
dengan etiologi dari keguguran, sehingga deteksi penyebab dan
penatalaksanaan yang tepat perlu dilakukan. Apabila, tindakan
evakuasi dilakukan untuk mengeluarkan sisa hasil konsepsi, penting
untuk untuk diperiksa apakah terdapat kelainan pada uterus seperti

22

uterus bikornus, adanya septum uterus. Pada terhentinya kehamilan


pada trimester pertama, hasil konsepsi sebaiknya dikirim ke bagian
histologi untuk konfirmasi diagnosis dan untuk kariotiping.

Pada

keguguran dimana fetus telah terbentuk maka kariotipe fetus harus


diperiksa dan pasangan tersebut disarankan agar bersedia dilakukan
pemeriksaan autopsi.

Kemudian harus dilakukan follow up dan

konseling pada pasien (Porter, 2009).


Pemeriksaan

yang

sebaiknya

dilakukan

rutin

apabila

menemukan adanya abortus dan blighted ovum ialah sebagai berikut


(Porter, 2009) :
1. Periksa kariotipe kedua pasangan.
2. Lakukan histerosalfingografi atau apabila terdapat ahlinya lakukan
ultrasonografi transvaginal atau histeroskopi untuk melihat kelainan
bentuk uterus, panjang serviks, ataupun adanya adhesi intrauterus.
3. Pemeriksaan luteinizing hormon pada hari 3-6 siklus, pemeriksaan
Follicle Stimulating hormone serta testosteron untuk memeriks adanya
hipersekresi Luteinizing hormone atau adanya sindroma polikistik
ovarium. Selain itu ultrasonografi transvaginal juga berperan dalam
menentukan adanya polikistik ovarium selain untuk memeriksa
kelainan pada uterus atau rongga uterus.
4. Pemeriksaan Glycosylated hemoglobin (HbA1c) apabila pasien diketahui
mengidap diabetes mellitus atau memiliki riwayat keluarga dengan
diabetes mellitus.
5. Penapisan antifosfolipid antibodi untuk Lupus antikoagulan, IgG dan
IgM anticardiolipin antibodi dan antinuclear faktor. Hal ini juga berarti
dilakukannya pemeriksaan VDRL dan APTT.
6. Uji fungsi tiroid, termasuk hormone stimulasi tiroid dan antibodi
antitiroid.
7. Pemeriksaan platelet.

23

8. Pemeriksaan sperma.
Hal-hal yang perlu diperiksa pada sediaan sperma antara lain
volume, waktu mencairnya, jumlah sel sperma per mililiter, gerakan
sperma, PH, jumlah sel darah putih dan kadar fruktosanya. Sebelum
dilakukan pengambilan sampel sperma (semen) harus melakukan
abstinen/tidak mengeluarkan sperma/ ejakulasi 2 - 5 hari sebelumnya.
Hal ini bertujuan agar sperma dalam kondisi paling baik.
Tabel 2.1. Komponen Analisis Sperma
Volume

Normal : minimal 2 mL - 6,5 mL per ejakulasi


Abnormal : Volume yang rendah atau bahkan yang berlebih dapat

menyebabkan masalah kesuburan


Waktu mencair Normal : Kurang dari 60 menit
Abnormal: Masa mencair yang lama bisa merupakan tanda infeksi

Jumlah sperma

Normal : 20150 juta per mL


Abnormal : Jumlah yang rendah kadang masih bisa menghasilkan

keturunan secara normal.


Bentuk sperma Normal : Minimal 70% memiliki bentuk dan struktur normal.
Abnormal : Sperma yang abnormal bentuknya kurang dari 15 %
disebut teratozoopsermia.
Gerakan

Normal : Minimal 60% sperma bergerak maju ke depan atau minimal 8

sperma

juta sperma per-mL bergerak normal maju ke depan.


Abnormal : Jika sebagian besar geraknya tidak normal akan
menyebabkan masalah fertilitas.

pH

Normal : pH of 7.18.0
Abnormal : pH yang tinggi atau lebih rendah dapat mengganggu

penetrasi
Sel darah putih Normal : Tidak ada sel darah putih atau bakteri.
Abnormal : Bakteri dan sel darah putih yg banyak menunjukkan

24

adanya infeksi.
Kadar fruktosa

Normal : 300 mg per 100 mL ejakulat


Abnormal :Tidak adanya fruktosa memperlihatkan tidak adanya
vesikula seminalis atau blokade pada organ ini.
Jika ditemukan jumlah sperma yang rendah atau tingginya

abnormalitas,

perlu

dilakukan

pemeriksaan

lanjutan

seperti

pengukuran kadar hormon: testosteron, luteinizing hormone (LH),


follicle-stimulating hormone (FSH), atau hormon prolaktin. Juga
dilakukan biopsi testis (zakar) dalam kondisi yang sangat ekstrim
(steril misalnya).
9. Kultur serviks untuk mikoplasma, ureaplasma dan klamidia.
Pemeriksaan lain dilakukan setelah pemeriksaan rutin ini didapatkan
penemuan yang positif, yaitu :
a. Faktor Genetik
Bila ditemukan adanya tanda-tanda abnormalitas dari genetik
maka perlu dilakukan konsultasi terhadap ahli genetik.

Perlu

dilakukan konseling terhadap pasangan karena pemeriksaan dari


keadaan ini memerlukan biaya yang besar, selain itu kemungkinan
untuk terjadinya kehamilan yang normal kecil (Byrne, 1994).
b. Kelainan Anatomi
Bentuk dari kavum uteri harus diperiksa pada setiap wanita yang
mengalami keguguran tiga kali atau lebih secara berturut-turut untuk
mengeluarkan kemungkinan penyebab berupa kelainan bentuk dari
uterus.
Metode

pemeriksaan

yang

dapat

digunakan

ialah

histerosalfingografi, tetapi dapat dilakukan pemeriksaan ultrasonografi


transvaginal atau histeroskopi untuk memeriksa kelainan tersebut
(Byrne, 1994).

25

Defek yang kecil tidak berarti harus dilakukan operasi.


Tindakan metroplasti abdominal dilakukan pada keadaan terdapatnya
septum uterus, tetapi tindakan ini belum pernah dilakukan evaluasi
prospektif secara baik dan dikatakan memiliki hubungan dengan
keadaan infertilitas postperatif.
Tindakan operatif untuk menghilangkan septum uterus ataupun
perlengketan dapat dilakukan dengan cara reseksi transervikal
histeroskopi, dikatakan bahwa tindakan ini memiliki hasil yang cukup
memuaskan, namun tindakan operatif ini hanya dapat dilakukan oleh
klinisi yang telah mendapatkan pelatihan yang memadai serta
memiliki pengalaman dalam tindakan operatif dengan histeroskopi
(Porter, 2009).
Ada peningkatan risiko terjadinya persalinan preterm dan juga
abortus pada wanita dengan kelainan uterus walaupun telah dilakukan
perawatan antenatal yang intensif. Hal ini sering dihubungkan dengan
adanya inkompeten serviks.

Pemberian tokolitik oral sebagai

profilaksis tidak disarankan, tetapi evaluasi rutin mengenai pendataran


dan dilatasi serviks perlu dilakukan setiap kunjungan antenatal, dan
lebih baik bila dilakukan pemeriksaan ultrasonografi transvaginal.
Pada

keadaan

adhesi

intrauterin

(Sindroma

Asherman),

diagnosis didapatkan dari histerosalfingografi atau dari histeroskopi.


Perlengketan dapat dilepaskan dengan menggunakan histeroskopi
kemudian dialkukan pemasangan IUD selama 6 minggu untuk
mencegah terjadinya perlengketan kembali. Antibiotik berspektrum
luas perlu diberikan sampai 1 minggu postoperasi. Perkembangan
janin pada kehamilan setelah tindakan harus diawasi secara hati-hati
karena adanya kemungkinan implantasi pada tempat yang kurang
ideal (Porter, 2009).
Mengenai leiomyoma maka perlu dilakukan tindakan operatif
bila mioma tersebut berupa mioma submukosa. Tindakan operatif

26

tersebut berupa miomektomi. Pemberian GnRH selama tiga bulan


juga dapat mengurangi ukuran dari mioma tersebut (Porter, 2009).
c. Abnormalitas Hormonal
Gangguan fase luteal ditegakkan dengan cara pemeriksaan suhu
basal dimana fase luteal berlangsung selama kurang dari 10 hari, atau
kadar progesteron serum kurang dari 15 nmol/L selama lima siklus
berturut-turut.

Namun pada penelitian ternyata didapatkan bahwa

tidak adanya bukti yang mendukung secara nyata bahwa pemberian


hormon progesteron tidak mengurangi risiko terjadinya keguguran
(Porter, 2009).
Hipersekresi luteinizing hormon ditegakkan apabila kadar
hormon tersebut pada pemeriksaan darah meningkat 10 IU/L atau
lebih, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan darah secara serial.
Sebagai alternatif dapat dilakukan pemeriksaan kadar luteinizing
hormon pada urine dimana hipersekresi lutinizing hormon ditegakkan
bila konsentrasi dala urin sebesar 100IU/L atau lebih. Pengobatan
keadaan ini dadalah dengan pemberian GNRH analog yang akan
menekan luteinizing hormone (Porter, 2009).
Pemeriksaan bagi wanita tanpa adanya gejala atau riwayat
diabetes mellitus tidak perlu dilakukan.

Pengendalian kadar gula

darah yang optimal sebelum kehamilan merupakan cara untuk


keberhasilan kehamilan. Pemeriksaan tiroid secara rutin juga belum
dapat mendeteksi gangguan fungsi tiroid. Biasanya pemeriksaan ini
dilakukan apabila telah ditemukan adanya gejala gangguan tiroid
(Porter, 2009).
d.

Infeksi Saluran Reproduksi

Mengenai penatalaksanaan infeksi saluran reproduksi ini


tentusaja disesuaikan dengan jenis organisme yang menginfeksi.
Belum ditemukan perlunya dilakukan imunisasi kecuali pada kasus
penyakit rubella (Byrne, 1994).

27

i. Imunologik
Pemeriksaan anticardiolipin harus dilakukan pada semua wanita
dengan riwayat abortus berulang.

Tanpa pengobatan hanya

didapatkan 10-15% kehamilan yang berhasil.

Pengobatan dengan

aspirin dosis rendah (75 mg/hari) atau heparin dosis rendah (500010000 unit tiap 12 jam) telah dilakukan dan menunjukkan adanya
perbaikan pada kehamilan baik itu dipergunakan sebagai obat tunggal
atau kombinasi. Tetapi pemakaian obat-obatan ini memiliki risiko.
Heparin jangka panjang diketahui dapat menyebabkan osteoporosis,
dan aspirin dapat menimbulkan perdarahan gastrointestinal (Byrne,
1994).
2.2.8. Prognosis
Blighted ovum tidak berpegaruh terhadap rahim ibu atau
terhadap masalah kesuburan. Seseorang yang pernah mengalami
blighted ovum dapat kembali hamil normal. Namun jika ibu
mengalami blighted ovum berulang, baiknya dilakukan pemeriksaan
dan pengobatan yang intensif, karena dikhawatirkan adanya kelainan
kromosom yang menetap pada diri ibu atau suami.
Dengan adanya fasilitas diagnosis dini (USG), transfusi darah,
teknik anestesi dan operasi yang baik dengan indikasi kuretase yang
pasti, maka prognosis ibu cukup baik.
2.2.10. Komplikasi Blighted Ovum
Komplikasi yang dapat terjadi pada Blighted Ovum adalah karena
tindakan dilatasi dan kuretase yang dapat menyebabkan perforasi
dinding uterus, hal ini dapat menjurus ke rongga peritoneum, ke
ligamentum latum, atau ke kandung kencing. Oleh sebab itu, letak
uterus harus ditetapkan lebih dahulu dengan seksama pada awal
tindakan, dan pada dilatasi serviks tidak boleh digunakan tekanan
berlebihan. Bahaya perforasi ialah perdarahan dan peritonitis. Dengan

28

adanya fasilitas diagnosis dini (USG), transfusi darah, teknik anestesi


dan operasi yang baik dengan indikasi kuretase yang pasti, maka
prognosis ibu cukup baik (Andon, 2011).
2.3. Rekam Medis
Rekam medis merupakan berkas/dokumen penting bagi setiap instansi
rumah

sakit.

Pada

Peraturan

Menteri

Kesehatan

Nomor

749a/Menkes/Per/XII/1989 tentang rekam medis dijelaskan bahwa rekam


medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas
pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan dan pelayanan lain kepada pasien
pada sarana pelayanan kesehatan.
Sedangkan menurut Huffman dalam Fajri (2008:5) rekam medis adalah
fakta yang berkaitan dengan keadaan pasien, riwayat penyakit dan
pengobatan masa lalu serta saat ini yang ditulis oleh profesi kesehatan yang
memberikan pelayanan kepada pasien tersebut.
Dengan melihat ketiga pengertian di atas dapat dikatakan bahwa suatu
berkas rekam medis mempunyai arti yang lebih luas daripada hanya sekedar
catatan biasa, karena didalam catatan tersebut sudah memuat segala informasi
menyangkut seorang pasien yang akan dijadikan dasar untuk menentukan
tindakan lebih lanjut kepada pasien.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 749 a tahun 1989
menyebutkan bahwa Rekam Medis memiliki 5 manfaat, yaitu :
1.
2.
3.
4.
5.

Sebagai dasar pemeliharaan kesehatan dan pengobatan pesien


Sebagai bahan pembuktian dalam perkara hukum
Bahan untuk kepentingan penelitian
Sebagai dasar pembayaran biaya pelayanan kesehatan dan
Sebagai bahan untuk menyiapkan statistik kesehatan

29

Menurut International Federation Health Organization (1992:2), rekam


medis disimpan dengan tujuan:
1. Fungsi komunikasi
Rekam medis disimpan untuk komonikasi diantara dua orang yang
bertanggungjawab terhadap kesehatan pasien untuk kebutuhan pasien saat
ini dan yang akan datang.
2. Kesehatan pasien yang berkesinambungan
Rekam medis dihasilkan atau dibuat untuk penyembuhan pasien setiap
waktu dan sesegera mungkin.
3. Evaluasi kesehatan pasien
Rekam medis merupakan salah satu mekanisme yang memungkinkan
evaluasi terhadap standar penyembuhan yang telah diberikan.
4. Rekaman bersejarah
Rekam medis merupakan contoh yang menggambarkan tipe dan metode
pengobatan yang dilakukan pada waktu tertentu.
5. Medikolegal
Rekam medis merupakan bukti dari opini yang yang bersifat prasangka
menegnai kondisi, sejarah dan prognosi pasien.
6. Tujuan statistik
Rekam medis dapat digunakan untuk menghitung jumlah penyakit,
prosedur pembedahan dan insiden yang ditemukan setelah pengobatan
khusus.
7. Tujuan penelitian dan pendidikan
Rekam medis di waktu yang akan datang dapat digunakan dalam
2.4

penelitian kesehatan.
Kerangka Teori
Riwayat abortus
Faktorkronis
Maternal
Riwayat penyakit
Infeksi
Penyakit kronis ibu
Obat- obatan dan pengaruh lingkungan
Faktor-faktor hematoimunologis

Faktor Janin:
1. Kelainan kariotip
2. Kelainan jumlah
kromosom
3. Kelainan struktur
kromosom

Kelainan anatomik
Faktor Paternal:
Usia ibu
Status Gravida
Paritas
Jarak kehamilan
BLIGHTED OVUM

1. Abnormalitas
kromosom pada
sperma
2. Penyakitpenyakit ayah

You might also like