You are on page 1of 9

PESAWAT HELIKOPTER

Perkembangan pesawat terbang bersayap tetap, dapat dengan mudah dirunut atau diikuti fase
kemajuannya. Sejarah penerbangan Amerika yang mulai dirintis oleh Otto Lilienthal, Samuel
Langley, Chanute, sampai kesuksesan penerbangan pertama menggunakan pesawat bermotor dengan
kendali penuh oleh Orville dan Wilbur Wright pada tahun 1903, membuktikan bahwa perkembangan
penerbangan pesawat sayap tetap lebih bisa dikenali secara jelas. Perkembangan terbang pesawat
helikopter tidak begitu mudah untuk diikuti, termasuk keberhasilan penerbangan pertama helikopter.
Obsesi manusia untuk bisa terbang dengan wahana terbang vertikal, yang paling kuno
diawali adanya “mainan” China yang disebut “Chinese tops” sekitar 400 Sebelum Masehi. Mainan
tersebut terbuat dari bulu yang diikat pada ujung tongkat. Jika tongkat diputar dengan kedua telapak
tangan pada posisi ke atas, maka akan menghasilkan gaya angkat, sehingga jika tongkat berbulu
tersebut dilepas akan terbang secara vertikal.
Lebih dari 2000 tahun kemudian yaitu sekitar tahun 1483, seorang warga Negara Rusia
bernama Mikhail Lomonosov mengembangkan mainan model Chinese tops dengan sumbu rotor
ganda. Perbedaannya terletak pada tenaga pemutarnya, yaitu tenaga telapak tangan digantikan
dengan gulungan pegas yang ditegangkan. Karena energi yang dilepaskan dari gulungan pegas yang
tertegang cukup besar, maka mainan ini dapat terbang mencapai ketinggian lumayan.
Seorang peneliti ilmu alam berkewarganeraan Perancis bernama Launoy dengan asistennya
seorang mekanik bernama Bienvenu, menggunakan poros ganda untuk memutar poros yang
ujungnya diikat dua set bulu kalkun yang berputar saling berlawanan arah. Percobaan model-model
tersebut semakin menggairahkan kegiatan penelitian penciptaan wahana terba ng vertikal.
Leonardo da Vinci yang lahir 15 April 1452, ternyata selain sebagai pelukis brilian juga
seorang penggagas penciptaan wahana terbang vertikal yang mengagumkan. Meskipun gagasannya
baru dituangkan dalam bentuk sketsa di kanvas, namun idenya sangat mengihami bagi
pengembangan penciptaan wahana terbang vertikal. Dalam sketsa yang dibuat Leonardo da Vinci
menggambarkan sebuah wahana pengangkut manusia terbang vertikal, yang disebut “aerial screw”
(sekrup udara) atau “air gyroscope” yang dibuat pa da tahun 1483. Wahana tersebut digambarkan
sebagai permukaan dengan alur miring seperti permukaan geratan pada sekrup, dan agar
menghasilkan permukaan yang halus, rata dan kedap udara, maka permukaan dilapis kain.
"I think, if this screw instrument is well made, that means from linen starched (to block its pores) and
is turned rapidly, then this said screw will find its female in the air and climb upwards."
Leonardo da Vinci
Pernyataan singkat Leonardo da Vinci menggambarkan bahwa dia seorang visioner yang sangat
mengilhami penerusnya dalam pengembangan wahana terbang vertikal.

Sketsa Sekrup Udara Leonardo da Vinci

Sir George Cayley terkenal dengan perkerjaannya menekuni prinsip-prinsip dasar terbang
pada tahun 1790–an. Sebagai anak muda, Cayley telah berhasil menciptakan beberapa model wahana
terbang vertikal pada akhir abad 18. Modelmodel wahana yang dibuat dilengkapi rotor yang terbuat
dari lembaran timah yang diputar dengan gulungan pegas yang tertegang. Karena kecintaannya pada
penerbangan, membuat Cayley begitu rajin merancang antara lain berupa lengan berputar (whirling
arm) pada tahun1804, sehingga menjadikannya sebagai ilmiawan pertama yang mencoba belajar
gaya aerodinamika yang dihasilkan oleh sayap. Kertas ilmiah yang dipublikasikan pada tahun 1843,
Cayley menjelaskan secara rinci rancangan wahana terbang vertikal dengan skala relatif besar yang
disebut “Aerial Carriage”. Namun apa daya rancangan model Cayley hanya sebagai angan-angan,
karena kesulitan mesin pembangkit tenaga (powerplant). Pada zaman tersebut, tenaga penggerak
yang tersedia adalah mesin uap. Mesin uap merupakan mesin konversi energi jenis mesin
pembakaran luar (external combustion engine), sehingga rasio antara tenaga yang dihasilkan dengan
beratnya (power to weight ratio) sangat rendah. Meskipun pengembangan wahana terbang vertical
saat itu mengalami kendala tenaga penggerak, namun pembuatan model wahana terbang vertikal
ringan berukuran mini dengan tenaga penggerak mesin uap banyak berhasil secara terbatas. Pada
tahun 1840 Horatio Philips berkewarganegaraan Inggris, menciptakan wahana terbang vertical
dengan tenaga uap yang disemburkan dari boiler mini ke ujung blade (bilah rotor). Memang model
tersebut tidak mungkin dibuat dengan skala penuh, namun wahana buatan Philips merupakan wahana
terbang vertikal pertama yang digerakkan mesin sebagai pengganti tenaga gulungan pegas yang
banyak digunakan sebelumnya. Pada tahun 1860-an Ponton d’Amecourt berkewarganegaraan
Perancis, menerbangkan beberapa model wahana terbang vertikal mini bertenaga uap. Sejak saat itu
wahana terbang vertikal lebih dikenal dengan nama “helikopter”. Helikopter berasal dari bahasa
Yunani, yang merupakan gabungan dari kata sifat “elikoeioas” yang berarti “spiral” atau “winding”
(berputar) dan kata benda “pteron” yang berarti “feather” (bulu) atau “wing” (sayap). Sekitar tahun
1878 Enrico warga Italia juga membuat model helikopter yang terbang dengan tenaga uap. Model ini
dilengkapi dengan dua rotor yang saling berputar berlawanan, dan tercatat mampu terbang pada
ketinggian lebih dari 40 kaki selama 20 detik.
Pada awal abad 20 hampir semua percobaan terbang vertikal dapat dianggap sebagai karya
cipta yang menantang, mengingat betapa tinggi kompleksitas aspek aerodimanika maupun mekanika
struktur wahana terbang vertikal tersebut. Disamping itu hasil penelitian aerodinamika oleh para
ilmiawan saat itu, masih sangat sedikit untuk digunakan sebagai acuan. Berdasarkan dokumen
sejarah penerbangan terungkap bahwa kegagalan ratusan percobaan helikopter disebabkan masalah
tenaga penggerak, keterbatasan kendali terbang, dan getaran mesin yang merusak struktur.
Pada tanggal 13 Nopember 1907 seorang pembuat sepeda berwarganegara Perancis bernama
Paul Cornu, menciptakan helikopter dan tercatat sebagai keberhasilan terbang helikopter berawak
pertama kali. Peristiwa ini terjadi setelah 4 tahun keberhasilan penerbangan pesawat sayap tetap
legendaris pertama di dunia, yang dilakukan oleh Wright bersaudara di Kitty Hawk Amerika Serikat.
Struktur helikopter Paul Cornu dibuat sangat sederhana, dengan dilengkapi dua rotor yang terpasang
pada keliling roda sepeda yang terletak pada ujung-ujung badan helikopter.

Helikopter Paul Cornu dengan dua rotor yang ditambatkan pada roda sepeda
dan dipasang pada ujung-ujung badan helicopter

Kedua rotor diputar oleh motor bensin bertenaga 22 HP dengan menggunakan transmisi ban
(belt transmission). Masing-masing rotor mempunyai 2 bilah (blade) dengan aspect ratio
(perbandingan antara panjang terhadap lebar bilah) kecil. Kedua rotor tersebut berputar dengan arah
saling berlawanan, dengan tujuan untuk menghilangkan reaksi torsi. Helikopter Paul Cornu mampu
terbang setinggi 1 kaki di atas tanah dalam waktu 20 detik.
Keberhasilan Paul Cornu dalam menerbangkan helikopter berpenumpang, menambah
semangat para pemerhati dan perancang wahana terbang vertikal. Pada tahun 1909 dengan diilhami
keberhasilan Paul Cornu, Igor Ivanovitch Sikorsky dan Boris Yur’ev secara terpisah membangun
prototype dengan rotor ganda tanpa awak. Namun mesin terbang yang diciptakan tidak bias
diterbangkan, karena masalah getaran dan belum tersedianya mesin penghasil tenaga penggerak yang
cukup. Dalam otobiografinya, Sikorsky menyatakan bahwa dia harus menunggu sampai
ditemukannya mesin penghasil gaya penggerak yang lebih baik, ditemukannya bahan pembuat
pesawat yang ringan serta pengalaman mekanik yang cukup. Mesin terbang vertikal ciptaannya yang
pertama yaitu S-1 bahkan tidak mampu terbang untuk mengangkat beratnya sendiri, sedangkan mesin
ciptaan kedua yaitu S2 tanpa awak hanya bisa mengudara sebentar meski sudah dilengkapi tenaga
penggerak yang cukup. Kekecewaan Sikorsky terhadap kegagalannya menciptakan mesin terbang
vertikal, membuat dia menghentikan usahanya dalam menciptakan helikopter. Selanjutnya dia
beralih untuk mencurahkan kepiawaiannya dalam penciptaan pesawat sayap tetap (pesawat
konvensional), yang ternyata lebih berhasil. Meskipun Sikorsky kurang perhatian terhadap
penciptaan helikopter, namun setelah berimigrasi ke Amerika Serika, ia kembali melanjutkan cita
citanya dalam penciptaan mesin terbang vertikal.
Boris Yur’ev dari Rusia, menciptakan helikopter dengan konfigurasi tail rotor yang pertama
kali sebagai alat untuk menghilangkan reaksi torsi rotor utama (main rotor) pada tahun 1912. Selain
memperkenalkan rancangan penggunaaan tail rotor, Boris Yur’ev juga memperkenalkan konsep
“cyclic pitch control” yang pertama kali. Dari Rusia juga dikenal nama Profesor Zhukovski
(Joukowski) dengan ketekunannya meneliti teori aerodinamika, serta banyak mempublikasikan hasil
penelitiannya tentang pesawat sayap putar (helikopter).
De la Cierva berhasil membuat model helikopter yang dilengkapi mekanisme “flapping”
guna mengatasi tidak simetrisnya gaya angkat pada saat gerakan rotor blade berputar maju dan ke
belakang. Kemudian Rauf Hafner pada tahun 1935, memperkenalkan sistem kendali “collective
control” dan “cyclic -pitch control”
Semangat pengembangan dan penyempurnaan penciptaan helikopter semakin meningkat,
tercatat nama -nama seperti Stephan Petroczy dari Austria, Bapak dan anak yaitu Emile dan Henry
Berliner dari Amerika Serikat, Louis Breman dari Inggris, Raul Pescara dari Argentina, dan para
inventor lainnya.
Jika dirunut sejak usaha penciptaan wahana terbang vertikal dimulai, ada beberapa kendala
yang memperlambat laju keberhasilan penciptaan helicopter tersebut. Kendala tersebut adalah :
Pertama adalah minimnya pengetahuan dasar tentang aerodinamika khususnya untuk terbang
vertikal. Pada saat awal penciptaan model helikopter, besarnya daya penggerak hanya dihitung
berdasarkan perkiraan saja. Baru setelah berakhirnya abad 19, teori tentang gaya rotor diperkenalkan
oleh William Rankine dan W. Proude, sedangkan teori aerodinamika helikopter baru diperkenalkan
secara intensif pada awal tahun 1920-an.
Kedua karena belum tersedianya mesin penghasil daya penggerak secara memadai. Pada
awal eksperimen wahana terbang vertikal, mesin konversi energy yang dikenal baru mesin uap.
Mesin uap merupakan external combustion engine, yang sistemnya cukup komplek dan relatif berat
sehingga tidak cocok sebagai mesin penghasil daya penggerak wahana terbang. Baru setelah mesin
bensin (gasoline engine) ditemukan pada tahun 1920-an, maka permasalahan mesin penghasil daya
penggerak bisa diatasi. Motor bensin merupakan mesin pembakaran dalam (internal combustion
engine), selain konstruksinya lebih sederhana juga mempunyai power to weight ratio yang tinggi.
Bahkan setelah mesin turbin gas (gas turbine engine) ditemukan pada tahun 1940-an, dan
dipergunakan sebagai daya penggerak pesawat pertama kali pada tanggal 15 Mei 1941 oleh Sir Frank
Whittle, maka teknologi pengembangan pesawat terbang termasuk helikopter meningkat pesat.
Helikopter pertama kali uji terbang dengan menggunakan mesin gas turbin terjadi pada tanggal 15
Mei 1951.
Ketiga karena struktur dan mesin penggerak yang cukup berat. Pada awal penciptaan wahana
terbang, bahan pembuat mesin ataupun struktur yang dikenal adalah besi tempa (cast iron) yang
relatif berat. Persoalan berat tersebut baru teratasi pada awal tahun 1920-an, setelah alumunium
beserta paduannya digunakan secara luas.
Keempat karena adanya pengaruh anti torsi. Perputaran main rotor akan berakibat
berputarnya badan helikopter ke arah kebalikan putaran main rotor. Pada saat awal penciptaan
wahana terbang vertikal, pengaruh ini diatasi dengan pembuatan rotor ganda yang titik pusat
putarannya sama (coaxial rotor). Rotor ganda dibuat berputar berlawanan, atau menggunakan
konfigurasi 2 rotor yang saling berdampinga n dengan posisi lateral. Namun pembuatan konstruksi
tersebut cukup komplek dibanding dengan hanya menggunakan sebuah rotor. Igor Sikorsky adalah
orang pertama yang berhasil menggunakan tail rotor, untuk menghasilkan anti torsi guna mengatasi
pengaruh torsi putaran main rotor.
Kelima karena kesulitan dalam sistem kendali. Kesulitan kendali tersebut antara lain adanya
gaya angkat yang tidak simetris antara bilah rotor saat berputar ke depan dan saat berputar ke
belakang. Kesulitan tersebut mulai dapa t diatasi setelah De la Cierva merancang system “flapping”
pada engsel pangkal rotor pada tahun 1923. Rancangan “flapping” tersebut menyebabkan bilah rotor
pada saat berputar ke depan (kecepatan udara relatif membesar), akan menghasilkan sudut serang
(angle of attack) mengecil yang berarti mengurangi gaya angkat. Sebaliknya pada saat berputar ke
belakang (kecepatan udara relatif mengecil), sudut serang membesar yang berarti meningkatkan gaya
angkat.
Keenam karena masalah getaran. Getaran yang berlebiha n sebagai sumber kerusakan
struktur. Permasalahan tersebut dapat diatasi setelah pengetahuan tentang sifat vibrasi dan
aerodinamika helikopter diketahui dan ditrapkan. Usaha para pioner penemu helikopter sampai saat
ini telah menghasilkan teknologi wahana terbang vertikal demikian canggih, yaitu pesawat helicopter
yang berguna sebagai wahana tranportasi, bahkan sebagai mesin tempur.

Helikopter Tempur
Helikopter digunakan sebagai mesin perang mulai Perang Dunia II. Namun untuk beberapa
tahun masih terbatas sebagai misi pencari dan penyelamat (search and rescue), evakuasi medis,
observasi dan penghubung atau komunikasi antar dua lokasi yang berjauhan. Baru pada pertengahan
tahun 1950-an, helikopter betul-betul digunakan sebagai wahana yang dipersenjatai untuk misi
perang. Kolonel Jay Vanderpool sebagai penerbang helikopter U.S. Army, melengkapi persenjataan
pada sejumlah helikopter sehingga mampu digunakan untuk operasi penyerangan. Helikopter yang
dipersenjatai antara lain jenis H-34, H-19 dan Piasecki H-21 “si pisang terbang”, dengan senjata
mesin dan roket-roket kecil yang dicoba dalam penyerangan berbagai jenis sasaran. Namun kendala
pada saat itu adalah kecepatan terbang helikopter yang terlalu lambat, sehingga rentan terhadap
serangan darat.
Helikopter pertama yang terlibat pertempuran adalah Bell UH-1A Hueys yang dipersenjatai 2
buah senapan mesin kaliber 0,30 dan 16 peluncur roket kaliber 2,75. Helikopter tersebut dikirim ke
Vietnam pada tahun 1962, guna mengawal helicopter pengangkut pasukan. Namun beberapa
helikopter jatuh tertembak, karena memang dengan kecepatan yang rendah sangat rentan terhadap
serangan darat. Selanjutnya industri helikopter Bell melanjutkan pengembangan helikopter tempur,
guna memenuhi tuntutan kebutuhan U.S. Army. Helikopter tempur yang dibangun, dipersenjatai
senapan mesin, peluncur granat, roket, dan peluru anti tank. Helikopter tersebut adalah AH-1G
HueyCobra, yang kemudian digunakan sebagai helicopter tempur yang sangat efektif oleh U.S. Army
dan Marine Corps.

Piasecki H-21 si “pisang” terbang sebagai helikopter pertama yang dipersenjatai


Menyadari kelemahan helikopter saat Perang Vietnam yang rawan terhadap tembakan darat,
maka pimpinan U.S. Army meminta pengembangan helikopter tempur yang mampu terbang cepat
dan dilengkapi persenjataan berat guna meningkatkan kehandalannya. Pada tahun 1966, U.S. Army
membuat kontrak dengan Lockheed dalam pengadaan 10 prototipe AH-56 Cheyenne. Cheyenne
merupakan helicopter tempur dengan persenjataan lengkap dan kecepatan 253 mil perjam atau 407
km perjam (dua kali lebih cepat dari helikopter tercepat yang ada pada saat tersebut). Pada Januari
1968, U.S. Army menandatangani kontrak pengadaan 375 Cheyenne. Namun demikian proyek
Cheyenne mengalami masalah teknis, bahkan merangsang Uni Sovyet untuk mengembangkan
senjata anti pesawat terbang. Terbukti bahwa peluru pencari panas (heat-seeking missile) buatan
Sovyet, membuat helicopter Cheyenne menjadi sasaran empuk yang sekaligus menandai berhentinya
proyek Cheyenne.
Pada tahun 1972, U.S. Army kembali mengajukan proposal kebutuhan helikopter tempur
dengan persenjataan berat dan berkemampuan manuver tinggi. Kebutuhan ini akibat ancaman tank
Sovyet di Eropa maupun di Vietnam. Helikopter yang dibutuhkan harus mampu beroperasi di malam
hari, mobilitas tinggi, dilengkapi alat sensor serta alat navigasi canggih. Pada saat itu dua perusahaan
helicopter ternama yaitu Hughes Aircraft dan Bell, masing-masing mengajukan prototipe. Baru pada
tahun 1981, U.S. Army mengadakan kontrak pengadaan helikopter generasi baru AH-64 Apache.
Produksi pertama Apache diterima U.S. Army pada tahun 1984. Helikopter AH-64 Apache
dilengkapi Hellfire missile sebagai penghancur tank, kendaraan militer dan sasaran-sasaran keras
lainnya. Persenjataan lain yang dipunyai Apache adalah senapan mesin kaliber 30 mm dan roket
Hydra 70 kaliber 2,75 inci. AH-64 Apache mampu terbang “hover” di balik-balik pepohonan atau
bangunan lain, sehingga mampu menghindari ancaman tembakan kendali laser. AH-64 Apache
terlibat operasi tempur pertama kali pada saat Perang Teluk I tahun 1991. Dengan Hellfireh, Apache
berhasil melumpuhkan radar lawan sehingga pesawat-pesawat multinasional dapat menembus pusat
pusat pertahanan Irak. Pada Perang Teluk, Apache sangat berhasil dengan perannya sebagai
penghancur tank dan kendaraan pengangkut personel. Pada kesempatan berpatroli di lembah
Euphrata, beberapa Apache memergoki beberapa elemen pengawal Republik Irak, dan berhail
menghancurkan sekitar 32 tank dan 100 kendaraan militer. Mulai saat itu seakan terjadi pergeseran
teknologi perang, yaitu bahwa helikopter diperhitungkan sebagai mesin perang handal yang antara
lain sebagai penghancur tank. Karena terbukti kesuksesannya dalam perang, Apache menjadi
dagangan yang laris ibarat pisang goreng.

AH-64 Apache kehandalannya sebagai mesin perang terbukti saat Perang Teluk I
Pada pasca Perang Teluk, banyak negara membeli Apache yang terkenal mahal namun
handal. Negara-negara tersebut antara lain Inggris, Israel, Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Mesir,
Swiss dan Belanda. Versi terakhir Apache yaitu Longbow Apache, yang dilengkapi radar pada posisi
di atas rotor, sehingga sambil menyelinap di balik-balik pepohonan, Apache dapat mengamati medan
perang dengan menggunakan sensornya.

AH-1Z Cobra meski tidak sehandal Apache, namun cukup populer karena harga lebih
murah, teknologi tidak terlalu komplek, mudah dirawat dan dioperasikan

AH-1 HueyCobra atau lebih dikenal dengan sebutan Cobra, terus mengembangkan
produksinya. Versi terakhir adalah AH-1Z yang dilengkapi 4 bilah rotor (versi sebelumnya 2 bilah
rotor) dan mampu membawa berbagai jenis senjata termasuk Hellfire missile seperti Apache.
Meskipun kehandalannya tidak sama dengan Apache, namun banyak negara berminat membeli AH
1Z karena berbagai alasan. Misalnya harga jauh lebih murah, teknologi yang digunakan tidak terlalu
komplek serta gampang dirawat dan dioperasikan.
Perkembangan helikopter tempur buatan AS juga diimbangi Eropa. Uni Sovyet
mengembangkan helikopter tempur Mi-24 Hind. Hind tidak semata-mata sebagai mesin tempur,
namun juga pengangkut pasukan. Helikopter Hind dioperasikan secara intensif pada Perang
Afganistan tahun 1980-an, namun banyak yang jatuh tertembak peluru kendali permukaan ke udara
Stringer buatan AS, yang dioperasikan dari atas panggul para pejuang Mujahidin Afganistan.
Helikopter Mi-35P yang memperkuat sistem senjata TNI AD
merupakan versi eksport dari Mi-24 Hind seri F

Sebagai catatan bahwa Helikopter Hind terus mengalami perkembangan baik struktur,
persenjataan maupun sistemnya. Untuk versi eksport digunakan kode lain, misalnya MI-25 sebagai
versi eksport dari MI-24 Hind seri D, sedangkan Mi-35 versi 9 eksport dari Mi-24 Hind E.
Helikopter Mi-35P yang baru saja masuk kekuatan tempur TNI AD, merupakan versi eksport dari
Mi-24 Hind seri F.
Beberapa helikoper Sovyet dikembangkan dengan meniru Apache, misalnya Mi-28 Havoc
dan Ka-50 Werewolf. Pabrik pesawat Italia yaitu Agusta mengembangkan A-109 Mangusta sebagai
helikopter tempur anti tank. Eurocopter, sebagai konsorsium pabrik-pabrik pesawat Eropa,
mengembangkan helikopter tempur untuk keperluan mereka sendiri yang disebut Tiger pada tahun
1988.
Perkembangan teknologi helikopter saat ini telah menjadikan helicopter sebagai wahana yang
multi guna, baik untuk kepentingan militer maupun sipil, misalnya sebagai mesin perang, alat angkut
personel/barang, SAR, evakuasi medis dan lain-lain.

Mi-28 Havoc dan Ka-50 Werewolf dikembangkan Sovyet dengan meniru Apache

Helikopter angkut yang tercatat sebagai yang terbesar saa t ini adalah Mi-26 “Halo” buatan
Rusia, yang berkapasitas 4 awak pesawat dan 70 pasukan. Bandingkan dengan helikopter angkut
militer AS yaitu CH-47 Chinook, yang berdaya angkut lebih kecil yaitu 4 awak pesawat dan 33
pasukan.

Helikopter Mi-26 “Halo” tercatat sebagai


helikopter angkut terbesar dengan 4 crew dan 70 troops.

Mengikuti perkembangan pesawat helikopter yang dimulai dari awal pemikiran penciptaan
wahana terbang vertikal sampai dengan helikopter dan teknologinya saat ini, disim pulkan bahwa
penciptaan karya besar selalu melalui proses panjang. Dalam proses tersebut selalu diwarnai
keberhasilan, namun juga kegagalan dan pengorbanan yang sering membuat putus asa. Demikianlah
bagian kecil dari sejarah helikopter. Barangkali jika para pioner helikopter seperti Leonardo da Vinci,
Boris Yu’rev, dan Paul Cornu berkesempatan hidup lagi dan menyaksikan bagaimana kecanggihan
wahana terbang vertikal saat ini, maka kita semua yakin bahwa mereka akan tercengang dan kagum.
Mereka mungkin tanpa sadar bahwa yang mereka kagumi sebenarnya adalah buah impian dan usaha
yang pernah dirintisnya sendiri.

You might also like