You are on page 1of 10

HIPERTENSI DALAM KEHAMILAN

Terminologi hipertensi dalam kehamilan (HDK) digunakan untuk


menggambarkan spektrum yang luas dari ibu hamil yang mengalami peningkatan
tekanan darah yang ringan atau berat dengan berbagai disfungsi organ. Sampai
sekarang penyakit HDK masih merupakan masalah kebidanan yang belum dapat
dipecahkan dengan tuntas.
HDK adalah salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas ibu disamping
perdarahan dan infeksi. Pada HDK juga didapati angka mortalitas dan morbiditas bayi
yang cukup tinggi. Di Indonesia preeklampsia dan eklamsia merupakan penyebab dari
30-40% kematian perinatal, sementara di beberapa rumah sakit di Indonesia telah
menggeser perdarahan sebagai penyebab utama kematian maternal. Untuk itu
diperlukan perhatian serta penanganan yang serius tehadap ibu hamil dengan penyakit
ini.
KLASIFIKASI
Pada saat ini, untuk lebih menyederhanakan dan memudahkan The Working
Group Report dan High Blood Pressure ini Pregnancy (2000) menyarankan klasifikasi
hipertensi dalam kehamilan sebagai berikut :
1. Hipertensi gestasional
2. Hipertensi kronis
3. Superimposed preeklampsia
4. Preeklampsia ringan, preeklampsia berat dan eklampsia
Sebagai batasan yang disebut hipertensi dalam kehamilan adalah kenaikan tekanan
darah diastolik 90 mmHg dan tekanan darah sistolik 140 mmHg pada dua kali
pemeriksaan yang berjarak 4 jam atau lebih dan proteinuria, jika dijumpai protein
dalam urine melebihi 0,3 gr/24 jam atau dengan pemeriksaan kualitatif minimal
positif (+) satu.
DEFINISI
1. Hipertensi gestasional adalah kenaikan tekanan darah yang hanya dijumpai
dalam kehamilan sampai 12 minggu pasca persalinan, tidak dijumpai keluhan
dan tanda-tanda preeklampsia lainnya. Diagnosa akhir ditegakkan pasca
persalinan.
2. Hipertensi kronis adalah hipertensi yang sudah dijumpai sebelum kehamilan,
selama kehamilan sampai sesudah masa nifas. Tidak ditemukan keluhan dan
tanda-tanda preeklampsia lainnya.
3. Superimposed preeklampsia adalah gejala dan tanda-tanda preeklampsia
muncul sesudah kehamilan 20 minggu pada wanita yang sebelumnya
menderita hipertensi kronis.
4. Preeklamsia ringan, preeklampsia berat, eklampsia : Dahulu, disebut PE
jika dijumpai trias tanda klinik yaitu : tekanan darah 140/90 mmHg,
proteinuria dan edema. Tapi sekarang edema tidak lagi dimasukkan dalam
kriteria diagnostik , karena edema juga dijumpai pada kehamilan normal.
Pengukuran tekanan darah harus diulang berselang 4 jam, tekanan darah
diastol 90 mmHg digunakan sebagai pedoman.
a. Preeklampsia ringan adalah jika tekanan darah 140/90 mmHg, tapi
< 160/110 mmHg dan proteinuria +1.

b.

c.

Preeklampsia berat adalah jika tekanan darah > 160/110 mmHg,


proteinuria +2, dapat disertai keluhan subjektif seperti nyeri
epigastrium, sakit kepala, gangguan penglihatan dan oliguria.
Eklampsia adalah kelainan akut pada wanita hamil dalam persalinan
atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dan atau koma.
Sebelumnya wanita ini menunjukkan gejala-gejala preeklampsia berat.
(kejang timbul bukan akibat kelainan neurologik).

PREEKLAMPSIA / EKLAMPSIA
Insidens
Insidens preeklampsia dan eklamsia berkisar antara 4-9 % pada wanita hamil, 3-7 %
terjadi pada nullipara, dan 0,8-5 % pada multipara. Angka kejadian PE di Indonesia
berkisar antara 3-10 %. Penelitian terakhir di Medan oleh Girsang ES (2004),
melaporkan angka kejadian PEB di RSUP. H. Adam Malik dan RSU. Dr. Pirngadi
Medan periode 2000-2003 adalah 5,94%, sedangkan eklamsia 1,07%.
Etiologi / Patogenesis
Etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini masih belum sepenuhnya
difahami, masih banyak ditemukan kontroversi, itulah sebabnya penyakit ini sering
disebut the desease of theories. Pada saat ini hipotesis utama yang dapat diterima
untuk menerangkan terjadinya preeklampsia adalah : faktor imunologi, genetik,
penyakit pembuluh darah dan keadaan dimana jumlah trophoblast yang berlebihan
dan dapat mengakibatkan ketidakmampuan invasi trofoblast terhadap arteri spiralis
pada awal trimester satu dan trimester dua. Hal ini akan menyebabkan arteri spiralis
tidak dapat berdilatasi dengan sempurna dan mengakibatkan turunnya aliran darah di
plasenta. Berikutnya akan terjadi stress oksidasi, peningkatan radikal bebas, disfungsi
endotel, agregasi dan penumpukan trombosit yang dapat terjadi diberbagai organ.
Faktor Predisposisi Terjadinya Preeklampsia.
Primigravida, kehamilan ganda, diabetes melitus, hipertensi essensial kronik, mola
hidatidosa, hidrops fetalis, bayi besar, obesitas, riwayat pernah menderita
preeklampsia atau eklamsia, riwayat keluarga pernah menderita preeklampsia atau
eklamsia, lebih sering dijumpai pada penderita preeklampsia.
PENANGANAN
Pada dasarnya penanganan yang terbaik pada preeklampsia adalah segera melahirkan
janin, tetapi disamping itu usia kehamilan, keadaan ibu dan keadaan janin harus
diawasi dengan baik, dan menjadi pertimbangan untuk melakukan terminasi
kehamilan
PE RINGAN
Penanganan yang optimal pada usia kehamialn <37 minggu adalah dirawat di rumah
sakit karena cara ini dapat meningkatkan ketahanan hidup bayi dan menurunkan
progresifitas penyakit. Jika rawat jalan, pastikan pasien kontrol secara teratur. Selama
dirawat pasien mendapatkan diet yang teratur tanpa restriksi garam dan tanpa
pembatasan aktifitas fisik.
1.
Antihipertensi, antidiuretik, dan sedatif tidak diberikan.
2.
Dilakukan evaluasi kesehatan ibu:
Tekanan darah dimonitor setiap 4 jam
Berat badan diukur setiap hari

Pemeriksaan laboratorium seperti protein urin, hematokrit, hitung trombosit, fungsi


hati, dan fungsi ginjal dilakukan setiap 1-2 minggu.
Awasi perkembangan penyakit, kemungkinan menjadi preeklampsia berat, atau
impending eklamsia dengan gejala : sakit kepala, gangguan penglihatan, atau nyeri
epigastrik
3. Evaluasi kesehatan bayi
Hitung gerak bayi setiap hari.
NST setiap minggu.
USG setiap 3 minggu untuk mengetahui IUGR
Biofisik profil jika perlu.
4. Jika usia kehamilan > 37 minggu, atau mendekati aterm, lakukan induksi persalinan
walaupun servik belum matang.
Klasifikasi PE berdasarkan tingkat keparahan penyakit:
KELAINAN

PE RINGAN

TD diastolik
Proteinuria
Sakit kepala
Gangguan penglihatan
Nyeri perut bagian atas
Oliguria
Kejang (eklamsia)
Kreatinin serum
Trombositopenia
Peningkatan enzim hati
Restriksi pertumbuhan janin
Edema pulmonum

< 100 mmHg


+1
minimal
-

PE BERAT .
110 mmHg
persisten +2
+
+
+
+
+
meningkat
+
nyata
+
+.

PREEKLAMPSIA BERAT
A. Pengobatan Medisinal
1.
Tirah Baring
2.
Oksigen
3.
Kateter menetap
4.
IVFD : Ringer Asetat, Ringer Laktat, Kolloid
Jumlah input cairan : 2000 ml/24 jam, berpedoman pada diuresis, insensible
water loss dan CVP. Awasi balans cairan.
5.
Magnesium Sulfat
Initial dose :
- Loading dose : 4 gr magnesium sulfat 20% IV (4-5 menit)
- 8 gr MS 40% IM, 4 gr bokong kanan, 4 gr bokong kiri.
Maintenance dose : 4 gr magnesium sulfat 40% IM setiap 4 jam
magnesium sulfat maintenance dapat juga diberikan secara intravenus.
6.
Antihipertensi diberikan jika tekanan darah diastole > 110 mmHg. Dapat
diberikan nifedipin sublingual 10 mg. Setelah 1 jam, jika tekanan darah masih
tinggi dapat diberikan nifedipin ulangan 5-10 mg sublingual atau oral dengan
interval 1 jam, 2 jam atau 3 jam sesuai kebutuhan. Penurunan tekanan darah
tidak boleh terlalu agresif. Tekanan darah diastol jangan kurang dari 90 mmHg,
penurunan tekanan darah maksimal 30%.

7.

8.
9.
10.
11.
12.

B.

Penggunaan nifedipine sangat dianjurkan karena harganya murah, mudah


didapat dan mudah pengaturan dosisnya dengan efektifitas yang cukup baik.
Diuretikum tidak diberikan kecuali jika ada :
- Edema paru
- Gagal jantung kongestif
- Edema anasarka
N-Acetyl Cystein 3 x 600 mg.
Jika pasien koma, diberikan perawatan koma di ICU
Konsul ke Bagian Interna, Hematologi, Mata, Neurologi jika perlu.
Jajaki kemungkinan terjadinya komplikasi Sindroma HELLP, gagal ginjal,
edema paru, solusio plasenta, DIC, stroke, dll
Jika dijumpai Sindroma HELLP, beri deksametason 10 mg / 12 jam IV 2x
sebelum persalinan, dilanjutkan dengan deksametason 10, 10, 5, 5 mg / jam IV
dengan interval 6 jam postpartum. Kelahiran bayi diharapkan terjadi dalam 48 jam
setelah pemberian deksametason pertama.
Catatan:
Syarat pemberian Magnesium Sulfat:
Harus tersedia antidotum Magnesium Sulfat yaitu Kalsium Glukonas 10%,
diberikan iv secara perlahan.
Refleks patella (+)
Frekuensi pernafasan > 16 kali / menit.
Produksi urin > 100 cc dalam 4 jam sebelumnya ( 0,5 cc/ kg BB/ jam )
Pemberian Magnesium Sulfat sampai 20 gr tidak perlu mempertimbangkan diurese
Penanganan Obstetrik
Pada keadaan ibu sudah stabil, tetapkan suatu keputusan apakah dilakukan
terminasi kehamilan atau tindakan konservatif dengan mempertimbangkan usia
kehamilan dan keadaan janin.
Penanganan konservatif bisa dilakukan pada keadaan :
Tekanan darah terkontrol < 160/110 mmHg
Oliguria respon dengan pemberian cairan
Tidak dijumpai nyeri epigastrik
Usia kehamilan < 34 minggu
Kalau penyakit berkembang menjadi Sindroma HELLP murni cenderung
dilakukan tindakan penanganan aktif
Jika serviks sudah matang dan tidak ada kontra indikasi obstetrik, dilakukan
induksi persalinan dengan oksitosin drips dan amniotomi. Kala II dipercepat
dengan EV / EF.
Seksio sesarea dilakukan pada :
Skor pelvik dibawah 5.
Dengan drips oksitosin, setelah 12 jam belum ada tanda-tanda janin akan lahir
pervaginam.
Indikasi obstetrik.
Bayi ditangani oleh Subbagian Perinatologi dan jika perlu dirawat di Neonatal
Intensive Care Unit.

EKLAMPSIA
A. Pengobatan Medisinal
1.
MgSO4 :
Cara pemberian sama dengan pasien preeklampsia berat.

2.
3.

4.

5.
6.
7.

Bila kejang berulang diberikan MgSO4 20 % 2 gr IV, diberikan sekurangkurangnya 20 menit setelah pemberian terakhir.Bila setelah diberikan dosis
tambahan masih tetap kejang dapat diberikan amobarbital 3-5 mg/ kg BB IV
perlahan-lahan.
Infus Ringer Asetat atau Ringer Laktat. Jumlah cairan dalam 24 jam
sekitar 2000 ml, berpedoman kepada diuresis, insensible water loss dan CVP .
Perawatan pada serangan kejang :
Dirawat di kamar isolasi yang cukup tenang.
Masukkan sudip lidah ( tong spatel ) kedalam mulut penderita.
Kepala direndahkan , lendir diisap dari daerah orofarynx.
Fiksasi badan pada tempat tidur harus cukup kendor guna menghindari fraktur.
Pemberian oksigen.
Dipasang kateter menetap ( foley kateter ).
Perawatan pada penderita koma :
Monitoring kesadaran dan dalamnya koma memakai Glasgow Pittsburg
Coma Scale .
Perlu diperhatikan pencegahan dekubitus dan makanan penderita.
Pada koma yang lama ( > 24 jam ), makanan melalui hidung ( NGT = Naso
Gastric Tube : Neus Sonde Voeding ).
Diuretikum dan anti hipertensi sama seperti Pre Eklamsia Berat.
Kardiotonikum ( cedilanid ) jika ada indikasi.
Tidak ada respon terhadap penanganan konservatif pertimbangkan seksio
sesarea.

B. Pengobatan Obstetrik :
1.Semua kehamilan dengan eklamsia harus diakhiri tanpa memandang umur
kehamilan dan keadaan janin.
2.Terminasi kehamilan
Sikap dasar : bila sudah stabilisasi ( pemulihan ) hemodinamika dan
metabolisme ibu , yaitu 4-8 jam setelah salah satu atau lebih keadaan dibawah
ini :
Setelah pemberian obat anti kejang terakhir.
Setelah kejang terakhir.
Setelah pemberian obat-obat anti hipertensi terakhir.
Penderita mulai sadar ( responsif dan orientasi ).
3.Bila anak hidup sc dapat dipertimbangkan.
Perawatan Pasca Persalinan
Bila persalinan terjadi pervaginam, monitoring tanda-tanda vital dilakukan
sebagaimana lazimnya.
Pemeriksaan laboratorium dikerjakan setelah 1x24 jam persalinan.
Biasanya perbaikan segera terjadi setelah 24-48 jam pasca persalinan.
SINDROMA HELLP
Sindroma HELLP yang merupakan singkatan dari Hemolysis, Elevated Liver
Enzymes dan Low Platelet counts pertama sekali dilaporkan oleh Louis Weinstein
tahun 1982 pada penderita preeklampsia berat.
Sindroma ini merupakan kumpulan gejala multisistem pada penderita
preeklampsia berat dan eklampsia yang terutama ditandai dengan adanya hemolisis,
peningkatan kadar enzym hepar dan penurunan jumlah trombosit (trombositopenia).

Sindroma HELLP dikatakan merupakan varian yang unik preeklampsia. Sekali


berkembang dengan cepat dapat menyebabkan penderita menjadi gawat, berakhir
dengan kegagalan fungsi hati dan ginjal, respiratory distress syndrome pada penderita
dan kematian ibu dan janin.
Kadang-kadang sindroma ini sulit atau salah didiagnosa, karena munculnya
cepat dan bisa mendahului tanda-tanda preeklampsia atau dapat juga didiagnosa
sebagai hepatitis, kelainan gastrointestinal dan kandung empedu, apendisitis ataupun
pielonepritis.
BATASAN
Batasan sindroma HELLP sampai saat ini masih kontroversi. Menurut Godlin
(1982) Sindroma HELLP merupakan bentuk awal preeklampsia berat. Weinstein
(1982) melaporkan sindroma HELLP merupakan varian yang unik preeklampsia. Di
lain pihak banyak penulis melaporkan bahwa sindroma HELLP merupakan bentuk
yang ringan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) yang terlewatkan karena
pemeriksaan laboratorium yang tidak adekuat.
Salah satu alasan yang menyebabkan kontroversi terhadap sindroma ini adalah
karena perbedaan dalam kriteria diagnostik dan metode yang digunakan. Walaupun
hampir semua peneliti sepakat bahwa sindroma ini merupakan petanda keadaan
penyakit yang berat dan dengan prognose yang jelek.
INSIDEN
Insiden sindroma HELLP sampai saat ini belum diketahui dengan pasti. Hal
ini disebabkan karena onset sindroma ini sulit diduga serta gambaran klinisnya sangat
bervariasi dan perbedaan dalam kriteria diagnosis. Insiden sindroma HELLP berkisar
2 12 % dari pasien dengan preeklampsia berat, dan berkisar 0,2 sampai 0,6 % dari
seluruh kehamilan
ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Etiologi dan patogenesis sindroma HELLP selalu dihubungkan dengan
Preeklampsia, walaupun etiologi dan patogenesis preeklampsia sampai saat ini belum
dapat diketahui dengan pasti.
Banyak teori yang sudah dikembangkan untuk mengungkapkan patogenesis
preeklampsia, namun dalam dekade terakhir ini perhatian terfokus pada aktivasi atau
disfungsi sel endotel. Tetapi apa penyebab perubahan endotel ini, sampai kini belum
diketahui dengan pasti.
Terjadinya sindroma HELLP merupakan manifestasi akhir kerusakan endotel
mikrovaskular dan aktivasi platelet intravaskular.
Pada sindroma HELLP terjadi anemia hemolitik mikroangiopati. Akibat
fragmentasi, sel darah merah akan lebih mudah keluar dari pembuluh darah yang telah
mengalami kebocoran akibat kerusakan endotel dan adanya deposit fibrin. Pada
gambaran darah tepi akan terlihat gambaran spherocytes, schistocytes, triangular cell
dan burr cell.
Pada sindroma HELLP terjadi perubahan pada hepar. Pada gambaran
histopatologisnya terlihat nekrosis parenkhim periportal atau fokal yang disertai
dengan deposit hialin dari bahan seperti fibrin yang terdapat pada sinusoid. Adanya
mikrotrombi dan deposit fibrin pada sinusoid tersebut menyebabkan obstruksi aliran
darah di hepar yang akan merupakan dasar terjadinya peningkatan enzim hepar dan
terdapatnya nyeri perut kwadran kanan atas. Gambaran nekrosis sellular dan

perdarahan dapat terlihat dengan MRI. Pada kasus yang berat dapat dijumpai adanya
perdarahan intrahepatik dan hematom subkapsular atau ruptur hepar.
Penurunan jumlah platelet pada sindroma HELLP disebabkan oleh
meningkatnya konsumsi atau destruksi platelet. Meningkatnya konsumsi platelet
terjadi kerena agregasi platelet yang diakibatkan karena kerusakan sel endotel,
penurunan produksi prostasiklin, proses imunologis maupun peningkatan jumlah
radikal bebas.
Beberapa peneliti beranggapan bahwa DIC merupakan proses primer yang
terjadi pada sindroma HELLP. Walaupun gambaran histologis mikrotrombi yang
mirip antara sindroma HELLP dan DIC tetapi pada sindroma HELLP tidak dijumpai
koagulopati intravaskular. Pada sindroma HELLP terjadi mikroangiopati dengan
kadar fibrinogen yang normal.
KLASIFIKASI

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, ada dua klasifikasi pada


sindroma HELLP. Menurut Audibert dkk (1996) dikatakan sindroma HELLP partial
apabila hanya dijumpai satu atau lebih perubahan parameter sindroma HELLP seperti
hemolysis (H), elevates liver enzymes (EL) dan low platelet (LP). Dan sindroma
HELLP murni apabila dijumpai perubahan pada ketiga parameter tersebut.
Selanjutnya sindroma HELLP partial dapat dibagi atas beberapa sub grup, yaitu
Hemolysis (H), Low Platelet counts (LP), Hemolysis + low platelet counts (H+LP),
dan hemolysis + elevated liver enzymes (H+EL).
Klasifikasi yang kedua hanya berdasarkan jumlah platelet. Menurut klasifikasi
ini, Martin (1991) mengelompokkan penderita sindroma HELLP dalam 3 kategori,
yaitu: kelas I jumlah platelet 50.000/mm3, kelas II jumlah platelet > 50.000 -
100.000/mm3, dan Kelas III jumlah platelet >100.000 - 150.000/mm3.
GAMBARAN KLINIS
KARAKTERISTIK PENDERITA

Menurut Weinsten (1982) sindroma HELLP lebih banyak ditemukan pada


nullipara dan pada usia kehamilan yang belum aterm.
Gejala dapat muncul antepartum dan postpartum. Pada 69% kasus gejala
muncul antepartum, pada penderita postpartum onset bervariasi antara beberapa jam
sampai 6 hari setelah persalinan, sebahagian besar muncul pada 48 jam postpartum.
GEJALA DAN TANDA KLINIS
Pada sindroma HELLP karena adanya mikroangiopati yang menyebabkan
aktifasi dan konsumsi yang meningkat dari platelet terjadi penumpukan fibrin di
sinusoid hepar, maka gejala yang menonjol adalah rasa nyeri pada daerah epigastrium
kanan, nyeri kepala, mual, muntah, ikterus dan gangguan penglihatan. Sering
dijumpai tanda-tanda hemolisis berupa perdarahan gastrointestinal dan gusi, gangguan
fungsi hepar dan fungsi ginjal dan tanda-tanda koagulopati.
Kadang-kadang gejala sindroma HELLP muncul mendahului tanda-tanda
preeklampsia. Differensial diagnosa sindroma HELLP adalah hepatitis, kelainan
gastrointestinal dan kandung empedu, apendisitis, pielonepritis dan Idiopathic
Trombocytopenia Purpurea (ITP).
PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Akibat proses yang dinamis sindroma ini, sangat mempengaruhi gambaran


laboratorium darah. Tetapi gambaran laboratorium ini tidak konstan dipengaruhi oleh
pola penyakit yang menunjukkan perbaikan atau kemunduran.
Pemeriksaan laboratorium pada sindroma HELLP sangat diperlukan, karena
diagnosa ditegakkan berdasarkan hasil laboratorium. Walaupun sampai saat ini belum
ada batasan yang tegas nilai batas untuk masing-masing parameter. Hal ini terlihat
dari banyaknya penelitian terhadap sindroma ini, untuk membuat suatu keputusan
nilai batas masing-masing parameter.
a. Hemolisis
Menurut Weinstein (1982) dan Sibai (1986) gambaran ini merupakan
gambaran yang spesifik pada sindroma HELLP.
Hemoglobin bebas pada sistim retikuloendotel akan berubah menjadi
bilirubin. Peningkatan kadar bilirubin menunjukkan terjadinya hemolisis.
Hemolisis intravaskuler menyebabkan sumsum tulang merespon dengan
mengaktifkan proses eritripoesis, yang mengakibatkan beredarnya sel darah
merah yang imatur
b. Peningkatan Kadar Enzim Hepar.
Serum aminotranferase yaitu aspartat aminotranferase (SGOT) dan glutamat
piruvat transaminase (SGPT) meningkat pada kerusakan sel hepar. Pada
Preklampsia, SGOT dan SGPT meningkat pada seperlima kasus, dimana 50%
diantaranya adalah peningkatan SGOT. Pada sindroma HELLP peningkatan
SGOT lebih tinggi darai SGPT terutama pada fase akut dan progesivitas
sindroma ini. Peningkatan SGOT dan SGPT dapat juga merupakan tanda
terjadinya ruptur kapsul hepar.
Lactat dehidrogenase (LDH) adalah enzim katalase yang bertanggung jawab
terhadap proses oksidasi laktat menjadi piruvat. LDH yang meningkat
menggambarkan terjadinya kerusakan sel hepar. Walaupun peningkatan kadar
LDH juga merupakan tanda terjadinya hemolisis. Peningkatan kadar LDH tanpa
disertai peningkatan kadar SGOT dan SGPT menunjukkan terjadinya
hemolisis.
c. Jumlah Platelet yang Rendah
Pada kehamilan normal belum diketahui batasan jumlah platelet yang spesifik.
Sebahagian besar laporan mengatakan jumlah platelet rata-rata menurun
selama kehamilan walaupun secara statistik tidak signifikan. Kadar platelet
dapat bervariasi dari < 50.000/ mm3 sampai > 150.000/ mm3.
PENANGANAN
Sampai saat ini penangan sindroma HELLP masih kontroversi. Beberapa
peneliti menganjurkan terminasi kehamilan dengan segera tanpa memperhitungkan
usia kehamilan, mengingat besarnya resiko maternal serta jeleknya luaran perinatal
apabila kehamilan diteruskan. Beberapa peneliti lain menganjurkan pendekatan yang
konservatif untuk mematangkan paru-paru janin dan memperbaiki gejala klinis ibu .
Namun semua peneliti sepakat bahwa terminasi kehamilan merupakan satu-satunya
terapi defenitif.
Penanganan sindroma HELLP lebih sulit bila dibandingkan dengan
penanganan preeklampsia, disamping itu perlu penanganan multi disiplin. Prioritas
pertama adalah stabilisasi kondisi ibu terutama terhadap tekanan darah, balans cairan
dan abnormalitas pembekuan darah.

Kontrol terhadap tekanan darah yang tinggi perlu segera dilakukan, terutama
bila dijumpai tanda-tanda iritabilitas syaraf pusat dan kegagalan ginjal.
Seperti penanganan preeklampsia, pemberian sulfas magnesikus masih
merupakan pilihan utama. Transfusi dan pemberian trombosit sering diperlukan untuk
membrantas anemi ataupun koagulopati, tetapi pemberian transfusi darah harus hatihati dengan memperhitungkan keseimbangan cairan, apalagi pada penderita dengan
gangguan fungsi ginjal. Pemberian trombosit dapat dipertimbangkan apabila kadar
trombosit kurang dari 50.000 /mm3, apalagi jika seksio sesarea akan dilakukan.
Kadang-kadang hasil pemeriksaan laboratorium tidak menggambarkan
jauhnya kerusakan yang terjadi pada jaringan hepar, jumlah penumpukan fibrin,
perdarahan dan lobular nekrosis. Itulah sebabnya beberapa peneliti seperti Weinstein
kurang menyetujui penanganan konservatif dan lebih menganjurkan untuk segera
melakukan terminasi kehamilan.
Tabel II. Penatalaksanaan Sindroma HELLP
1. Penilaian dan stabilisasi kondisi ibu :
a. Bila DIC (+), koreksi faktor pembekuan
b. Pemberian profilaksis anti kejang dengan Sulfas Magnesikus
c. Penanganan hipertensi berat
d. Rujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai
e. CT- scan dan USG abdomen juga dicurigai adanya hematom subcapsular hepar
2. Evaluasi kesejahteraan janin:
a. Non Stress test
b. Prifil biofisik
c. Ultrasonografi biometri
3. Evaluasi kematangan paru, jika usia kehamilan < 35 minggu
a. Jika paru-paru telah matang, segera lahirkan
b. Jika paru-paru belum matang, beri kortikosteroid, kemudian lahirkan
Jika usia kehamilan 35 minggu, setelah kondisi ibu stabil, segera lahirkan

(Dikutip dari Walker 6)

Tompkins dan Thigarajah (1999) melaporkan pemberian kortikosteroid baik


Betametason maupun Deksametason untuk meningkatkan pematangan paru,
meningkatkan jumlah platelet, mempengaruhi fungsi hepar (kadar SGOT,SGPT dan
LDH menurun) serta memungkinkan untuk pemberian anastesia regional.
Adanya sindroma HELLP tidak merupakan indikasi untuk melahirkan segera
dengan cara seksio sesarea. Yang harus dipertimbangkan adalah kondisi ibu dan anak.
Ibu yang telah mengalami stabilisasi dapat melahirkan pervaginam, bila tidak ada
kontra indikasi obstetrik. Persalinan dapat diinduksi dengan oksitosin pada semua
kehamilan 32 minggu. Ataupun kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang telah
matang untuk diinduksi. Pada kehamilan < 32 minggu dengan serviks yang belum
matang, seksio sesarea elektif merupakan pilihan.
PROGNOSA
Penderita sindroma HELLP mempunyai kemungkinan 19 27 % untuk
mendapat resiko sindroma ini pada kehamilan berikutnya. Dan mempunyai resiko
sampai 43% untuk mendapat Preeklampsia pada kehamilan berikutnya. Sindroma
HELLP kelas I merupakan resiko terbesar untuk berulang.
Sibai dkk (1993) melaporkan angka kematian ibu pada sindroma HELLP 1,1
%. Dengan komplikasi seperti DIC (21%), solusio plasenta (16%),gagal ginjal akut
( 7,7 %), udema pulmonum (6%), hematom subkapsular hepar (0,9%) dan ablasi
retina (0,9%).

Angka morbiditas dan mortalitas pada anak berkisar 10 60% tergantung dari
keparahan penyakit ibu. Anak yang ibunya menderita sindroma HELLP mengalami
perkembangan janin terhambat (IUGR) dan sindroma kegagalan pernafasan.

You might also like