Professional Documents
Culture Documents
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan
mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi
oleh arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia penderita
dan kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat mengalami
patah tulang.
2) Grade II : fraktur dengan luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan extensif
sekitarnya.
3) Grade III : fraktur dengan kondisi luka mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif dan sangat terkontaminasi.
Menurut Feldman (1999), fraktur terbuka grade III dibagi lagi menjadi:
a) Grade IIIA: terjadi kerusakan soft tissue pada bagian tulang yang
terbuka
b) Grade IIIB: trauma yang menyebabkan kerusakan periosteum
ekstensif dan membutuhkan teknik bedah plastik untuk menutupnya
c) Grade IIIC: fraktur terbuka termasuk rusaknya pembuluh darah besar
e. Jenis fraktur khusus
Menurut Smeltzer (2005), jenis fraktur yang khusus lain seperti:
1) Greenstick: salah satu sisi tulang patah dan sisi lainnya membengkok.
2) Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang
3) Oblik: garis patahan membentuk sudut dengan garis tengah tulang.
4) Spiral: fraktur yang memuntir seputar batang tulang
5) Kominutif: tulang pecah menjadi beberapa bagian
6) Kompresif: tulang mengalami kompresi/penekanan pada bagian tulang
lainnya seperti (pada tulang belakang)
7) Depresif: fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (pada tulang
tengkorak)
8) Patologik: fraktur pada tulang yang berpenyakit seperti penyakit Paget,
Osteosarcoma.
10
11
a. Nyeri terus menerus dan bertambah berat sampai fragmen tulang diimobilisasi.
b. Pergeseran fragmen tulang menyebabkan deformitas tulang yang bisa diketahui
dengan membandingkan dengan bagian yang normal.
c. Pemendekan tulang yang disebabkan karena kontraksi otot yang melekat diatas
maupun dibawah tempat fraktur.
d. Pada pemeriksaan palpasi ditemukan adanya krepitasi akibat gesekan antara
fragmen satu dengan yang lainnya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna lokal kulit terjadi sebagai akibat trauma
dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar X.
Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan tidak
menyadari adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai yang patah
(Brunner & Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat dan
dapat dikurangi dengan menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi
disekitar fraktur.
12
13
b. Imobilisasi fraktur
Setelah
fraktur
direduksi,
fragmen
tulang
harus
diimobilisasi,
atau
14
menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak, paruparu, ginjal dan organ lainnya.
3) Compartment Syndrome
Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi
jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh
karena penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat,
balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen karena
perdarahan atau edema.
4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati
intravaskular.
b. Komplikasi lambat
1) Delayed union, malunion, nonunion
Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak
terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan distraksi
(tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat
menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidak
adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan ujungujung dari patahan tulang.
2) Nekrosis avaskular tulang
Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.
Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan
tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps
struktural.
15
16
17
18
19
Miranda (2010), menyatakan bahwa back slab cast adalah gips sementara yang
digunakan pada penanganan pertama trauma seperti patah tulang ankle. Back slab
cast ini terdiri dari plaster yang menjaga tendon achiles dan digunakan pada
bagian yang terjadi pembengkakan tanpa memberikan penekanan. Bidai
tradisional dapat menekan aliran darah, meningkatkan rasa nyeri dan ketidak
nyamanan. Back slab cast ini dapat membantu mengurangi nyeri, pembengkakan,
spasme otot yang terjadi ketika trauma patah tulang. Sedangkan menurut Koval &
Zukerman (2006), back slab cast ini menjaga tulang yang patah pada kesejajaran
selama proses penyembuhan. Back slab cast ini dipasang mengikuti daerah
tonjolan tulang.
b. Cara pembuatan
Fitch (2008), menyatakan bahwa tahap pertama dalam pembidaian adalah
melapisi bagian ekstremitas dengan beberapa lembar bantalan (padding) pada
bagian tonjolan tulang atau bagian tubuh yang mengalami iritasi. Ukur panjang
pembidaian yang diperlukan yaitu melewati dua sendi. Gunakan 3 lembar dari
20
gips untuk ekstremitas atas dan 6 lembar untuk ekstremitas bawah untuk
meyakinkan pembidaian yang dilakukan cukup kuat. Celupkan kedalam mangkok
air yang sudah disiapkan, diamkan beberapa saat sampai mengenai seluruh gips,
kemudian angkat, pegang secara vertikal dan gunakan dua jari menurunkan sisa
air pada gips sehingga memudahkan pengeringan kemudian lapisi dengan
padding. Letakkan dibawah ekstremitas yang akan dibidai sesuai posisi anatomis.
Gunakan perban elastis untuk memegang posisi dari back slab cast yang dibuat
dari bagian terjauh dari tubuh ke bagian yang lebih dekat dari pusat tubuh.
Gunakan telapak tangan pada saat pemasangan back slab cast. Setelah kering
periksa kembali adekuat tidaknya imobilisasi yang dilakukan, posisi anatomis dan
kenyamanan pasien.
Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa gips akan mengalami kristalisasi
yang menghasilkan pembalutan yang kaku. Kecepatan terjadinya reaksi bervariasi
sekitar 30 menit sampai 60 menit tergantung dari ketebalan dan kelembaban
lingkungan. Selanjutnya perlu pemeriksaan X-ray untuk mengetahui fraktur atau
dislokasi yang membutuhkan reduksi sebelum pembidaian dilepaskan.
c. Keunggulan dari pembidaian dengan back slab cast
Brunner & Suddarth (2005), menyatakan bahwa pasien yang menderita masalah
tulang dan sendi sering mengalami nyeri yang sangat berat. Nyeri dapat timbul
secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun masalah penyertanya
misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari pembidaian, spasme otot dan
pembengkakan. Tekanan yang berkepanjangan diatas tonjolan tulang dapat
21
menyebabkan rasa terbakar. Menurut Miranda (2010) back slab cast ini dapat
membantu mengurangi nyeri, pembengkakan, spasme otot yang terjadi ketika
trauma pada kasus patah tulang. Back slab cast ini terdiri dari plaster yang
menjaga tendon dan digunakan pada bagian yang terjadi pembengkakan tanpa
memberikan penekanan. Pergerakan ekstremitas yang mengalami fraktur setelah
pembidaian dengan back slab cast sangat minimal, sehingga dapat mencegah
kerusakan fragmen tulang dan jaringan sekitarnya yang lebih berat.
Koval & Zukerman (2006), menyatakan bahwa back slab cast menjaga tulang
yang patah pada kesejajaran selama proses penyembuhan. Back slab cast ini
dipasang mengikuti daerah tonjolan tulang. Sedangkan menurut New Zealand
Orthopaedic Organization (2010), back slab cast digunakan untuk stabilisasi dari
bagian fraktur dan otot yang mengelilinginya dan digunakan untuk mengurangi
oedema (swelling) sebagai bidai. Gips ini sangat mudah dilepaskan bila
diperlukan pemeriksaan inspeksi pada bagian tubuh yang ditutupi.
22
c. Menghambat aliran darah bila terlalu ketat bisa menyebabkan iskemi jaringan.
23
traksi.
Beberapa
hal
yang
diobservasi
pada
pemeriksaan
neurovaskular meliputi:
a. Warna
Warna
ekstremitas
yang
dilakukan
tindakan
seharusnya
natural
yang
menggambarkan suplai arteri dan vena lancar ke area yang cedera. Warna pucat
mengindikasikan adanya sumbatan arteri dan warna kebiruan mengindikasikan
adanya sumbatan vena.
b. Suhu
Judge (2007), menyatakan bahwa pemeriksaan suhu dari ekstremitas bagian
bawah yang cedera dengan menggunakan punggung tangan. Ekstremitas yang
terasa dingin mengindikasikan adanya insufisiensi arteri. Ekstremitas yang lebih
24
hangat dari ekstremitas yang tidak mengalami cedera kemungkinan terdapat stasis
vena.
c. Pergerakan/movement
Pasien disuruh untuk menggerakkan jemari serta pergelangan/sendi ekstremitas
sesuai dengan toleransi. Jika pasien tidak bisa melakukan secara aktif, maka
bantu dengan teknik pergerakan pasif. Penurunan kemampuan pergerakan
mengindikasikan masalah persarafan.
d. Pengisian kapiler/capillary refill
Dilakukan dengan menekan ujung jari pada kuku dan melihat pengembalian
warna sehingga menjadi normal. Tekan ujung jari kuku selama 2-3 detik sampai
berwarna pucat kemudian lepas tekanan dan observasi waktu sampai warna kuku
kembali seperti semula:
1) Normal Capillary refill 1 2 detik
2) Capillary refill > 2 detik (lambat) : insufisiensi arteri.
e. Sensasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui sensasi dengan meminta pasien
menutup mata saat melaksanakan sentuhan pada ekstremitas. Kemudian minta
pasien mendeskripsikan sentuhan tersebut, apakah merasa dengan baik atau
kesemutan / tidak merasakan sentuhan.
f. Nadi
Perawat melakukan palpasi pada daerah-daerah denyut nadi. Bandingkan
kekuatan denyutan dengan ekstremitas yang sehat.
25
g. Nyeri
Pasien yang mengalami iskemia karena vaskularisasi yang buruk akan mengalami
nyeri pada saat pergerakan pasif.
Nyeri dapat timbul secara primer baik karena masalah muskuloskeletal maupun
masalah penyertanya. Misalnya; tekanan pada tonjolan tulang akibat dari
pembidaian, spasme otot dan pembengkakan. Tekanan yang berkepanjangan
diatas tonjolan tulang dapat menyebabakan rasa terbakar. Nyeri adalah
pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan
jaringan yang aktual maupun potensial (Brunner & Suddarth, 2005).
26
Pasien dengan fraktur terjadi kerusakan fragmen tulang dan jaringan sekitar.
Jaringan tulang terutama pada periosteum terdapat ujung-ujung saraf bebas
sebagai reseptor nyeri. Kerusakan jaringan tulang dan sekitarnya mengakibatkan
keluarnya mediator kimia yaitu bradikinin, histamin dan kalium yang bergabung
dengan lokasi reseptor di nosiseptor untuk memulai transmisi neural (Clancy dan
Mc Vicar, 1992 dalam Potter dan Perry, 2005). Bradikinin dilepas dari plasma
yang keluar dari pembuluh darah di jaringan sekitar pada lokasi cedera jaringan.
Bradikinin juga terikat dengan sel-sel yang menyebabkan reaksi rantai yang
menghasilkan prostaglandin dari pemecahan fosfolipid dalam membrane sel.
Rangsangan nyeri ini menyebar disepanjang serabut saraf perifer aferen yang
terdiri atas serabut A delta yang bermielin menghantarkan impuls secara lebih
cepat daripada serabut C yang tidak bermielin. Transmisi stimulus nyeri berakhir
di bagian kornu dorsalis medulla spinalis. Di dalam kornu dorsalis,
neurotransmitter seperti substansi glutamat dan substansi P dilepaskan sehingga
menyebabkan suatu transmisi sinapsis dari saraf perifer ke saraf traktus
spinotalamus. Impuls nyeri diteruskan ke system saraf pusat, system limbik,
thalamus, kortek sensori dan kortek asosiasi sehingga nyeri dapat dipersepsikan
(Potter dan Perry, 2005)
27
28
b. Nyeri kronis
Nyeri yang berlangsung lebih dari enam bulan biasanya diklasifikasikan sebagai
nyeri kronis. Nyeri kronis biasanya akibat terjadinya penurunan fungsi tubuh.
29
nyeri adalah ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus
kuat yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor,
secara anatomis reseptor nyeri (nosireceptor) ada yang bermielien dan ada juga
yang tidak bermielin dari saraf perifer.
Struktur reseptor nyeri dalam meliputi reseptor nyeri yang terdapat pada tulang,
pembuluh darah, syaraf, otot, dan jaringan penyangga lainnya. Karena struktur
reseptornya komplek, nyeri yang timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit
dilokalisasi. Spasme otot menimbulkan nyeri karena menekan pembuluh darah
30
yang menjadi anoksia. Spasme otot juga dapat berakibat anoksia. Pembengkakan
jaringan menjadi nyeri akibat tekanan kepada nosiseptor yang menghubungkan
jaringan (Brunner &Suddarth, 2005).
31
32
Nyeri
sangat
hebat
Tidak
nyeri
33
Tidak
nyeri
Nyeri sedang
10
Nyeri
hebat
: Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan: secara obyektif klien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang: secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat: secara obyektif klien tidak dapat mengikuti perintah tapi
masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas
panjang dan distraksi.
10 : Nyeri sangat berat: Pasien tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul.
0
Tidak
nyeri
2
Nyeri
ringan
Nyeri
sedang
3. Bourbanis scale
8
Nyeri
berat
10
Nyeri
sangat
berat
34
35
dan
mengalami
kerusakan
fungsi.
Pada
lansia
cenderung
36
e. Perhatian
Tingkat
seorang
klien
memfokuskan
perhatiannya
pada
nyeri
dapat
37
dari
analgesik,
narkotik,
analgesik
nonnarkotik,
Non
Steroid