You are on page 1of 24

1

I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas
unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari
kelompok non migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia
mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon).
Sekarang ini, udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Penyebab
utama adalah ketersediaan benih yang kurang serta adanya bakteri yang
menghambat pertumbuhan udang khususnya pada larva. Sehingga dilakukan
berbagai cara agar produksi udang windu tetap berjalan. Salah satunya adalah
penerapan sistem budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang
dimulai sejak pertengahan tahun 1986 (Agustina, 2013).
Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan
yang tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu
penyediaan benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan
budidaya udang windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan
adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan.

Keberhasilan usaha

pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai
budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung
usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas (Agustina, 2013).
Salah satu yang dapat diterapkan dalam pembenihan udang windu
adalah usaha pembenihan skala rumah tangga. Usaha pembenihan skala rumah
tangga ini sudah menjadi usaha alternatif bagi para pengusaha benur, akan
tetapi karena kasus kematian masih tetap tinggi, sehingga perlu penerapan
teknologi-teknologi

pemeliharaan

yang

benar

untuk

meningkatkan

hasil

panennya. Kendala utama penyebab menurunnya hasil panen benur di

pembenihan udang skala rumah tangga adalah adanya serangan penyakit dan
penyediaan kualitas air agar kandungan oksigen dalam bak pembenihan dapat
optimal. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar
larva udang yang dipelihara di panti pembenihan tahan terhadap lingkungan
yang kurang sesuai dan tahan terhadap serangan penyakit (Mahasri dkk., 2014).
Berdasarkan latar belakang diatas, kegiatan pembenihan udang windu
sangat perlu untuk dipelajari dan diketahui. Maka dari itu dilakukan kegiatan
Praktek Kerja Lapang yang berjudul Teknik Pemeliharaan Larva Udang Windu
(Penaeus monodon) di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan
Mallusettasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
I.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari Praktik Kerja Lapang ini, yakni untuk mendapatkan
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan kerja serta gambaran secara
langsung mengenai teknik pemeliharaan larva udang windu (P. monodon) di
Backyard Pendidikan UNHAS dengan memadukan pengetahuan yang diperoleh
di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
Manfaat dari praktik kerja lapang ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mahasiswa di lapangan serta memahami
permasalahan yang timbul dalam teknik pemeliharaan larva udang windu
sehingga nantinya diharapkan dapat melakukan pembenihan udang windu
dengan baik.

II.

METODE PRAKTIK

II.1 Waktu dan Tempat


Praktik lapang ini dilaksanakan pada bulan Oktober-Desember 2015,
bertempat di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan Mallusettasi,
Kabupaten Barru.
III.2 Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan pada pembenihan udang windu dapat
dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Alat yang digunakan selama kegiatan praktik.
No
Alat
Kegunaan
1
Bak induk
Wadah pemeliharaan induk
2
Bak penetasan
Wadah penetasan telur
3
Bak larva
Wadah pemeliharaan larva
4
Bak kultur pakan alami
Wadah pengkulturan pakan alami
5
Bak air laut
Wadah penampungan air laut
6
Pipa sifon
Menyipon kotoran udang
7
Filter bag
Filter/saringan air
8
Jaring
Alat memanen larva
9
Selang
Penyalur air
10
Lampu
Sumber cahaya
11
Senter
Sumber cahaya
12
Tabung oksigen
Sumber oksigen
13
Blower keong
Sumber oksigen
14
Seser
Untuk mengambil larva
15
Peralatan aerasi
Penyalur oksigen
16
Ember pakan
Wadah pakan gosok dan alami
17
Galon
Wadah mengkultur artemia
18
Ember
Wadah pupuk chlorella
19
Baskom
Wadah menghitung larva
20
Saringan
Menyaring pakan alami
21
Termometer
Mengukur suhu air
22
Hand refractometer
Mengukur salinitas
23
Pompa air laut
Memompa air laut
24
Pompa air tawar
Memompa air tawar
25
Terpal
Penutup bak
26
pH meter
Mengukur pH

27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41

Sikat
Gayung
Timbangan
Objek glass
Beaker glass
Mikroskop
Pipet tetes
Dissolved oxygen meter
Kantong panen plastik
Karet gelang
Lakban
Tali
Kardus
Karung
Ember

Menyikat bak
Mengambil air
Menimbang pakan
Meletakkan objek yang diamati
Untuk mengukur dan mencampur cairan
Mengamati larva
Mengambil cairan
Mengukur Oksigen
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Wadah penampungan air laut dan air tawar

Tabel 2. Bahan yang digunakan selama kegiatan praktik.


No Bahan
Kegunaan
1
Larva udang windu
Objek pemeliharaan
2
Air laut
Media pemeliharaan
3
Air tawar
Media sterilisasi
4
Skeletonema costatum
Pakan alami larva
5
Artemia salina
Pakan alami larva
6
EDTA
Sterilisasi
7
Pakan buatan
Pakan untuk larva udang windu
8
Deterjen
Bahan untuk membersihkan bak
9
Elbazin
Antibiotik
10
Alkohol
Sterilisasi
II.3 Metode Praktik
Metode praktik yang digunakan selama Praktik Kerja Lapang (PKL) ini
adalah sebagai berikut :
1. Observasi
Metode observasi merupakan pengamatan yang dilakukan untuk
memahami kegiatan-kegiatan yang dilakukan secara langsung dalam teknik
pemeliharaan larva udang windu di lokasi praktik.
2. Wawancara
Wawancara merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh data
berupa mekanisme prosedur kerja dan info keadaan lokasi langsung dari pemilik,
teknisi, dan karyawan.

3. Praktik langsung
Praktik langsung merupakan suatu tindakan atau aktivitas dari mahasiswa
untuk melakukan segala bentuk tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada
di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan Mallusettasi, Kabupaten
Barru. Kegiatan yang dilakukan selama PKL dapat dilihat pada Lampiran 2.
4. Pencatatan data
Pencatatan data dapat dilakukan dengan dua metode pengambilan data
yakni :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan kegiatan yang
dilakukan selama melakukan PKL. Data foto kegitan, alat dan bahan dapat
dilihat pada lampiran 1.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan terhadap pemilik, teknisi, dan karyawan untuk
melengkapi data primer.
II.4. Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada di lokasi PKL, yakni
persiapan wadah dan media pemeliharaan, penyiapan pakan, pemeliharaan
larva, pengendalian penyakit, pengelolaan kualitas air dan panen.

III. KEADAAN UMUM LOKASI PRAKTIK KERJA LAPANG


III.1 Sejarah

Backyard Pendidikan UNHAS terletak di Desa Bojo, Kecamatan


Mallusettasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan. Keadan umum lokasi
PKL dapat dilihat pada Lampiran 3 dan 4. Seluruh kegiatan operasional Backyard
UNHAS bekerjasama dengan CV Rapid Ady Farm. CV Rapid Ady Farm disingkat
RAF adalah perusahaaan yang bergerak dalam bidang industri budidaya
kepiting. Perusahaaan ini didirikan pada tanggal 8 Februari 2011 dengan akta
pendirian No.8 pada notaris di Makassar Betsy Sirua SH. CV. RAF memiliki lahan
budidaya seluas 5 Ha di Kabupaten Barru dan 5 Ha di Kabupaten Maros.
III.2 Visi dan Misi

Visi Perusahaan : Menjadi perusahaan terkemuka di Indonesia.

Misi Perusahaan :
1. Menyelenggarakan kegiatan produksi yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan
2. Mengaplikasikan solusi-solusi inovatif berbasis riset dalam
meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi
3. Menjadi mitra petani/pembudidaya kepiting yang mengayomi.

III.3. Struktur Organisasi


Struktur organisasi Backyard Pendidikan UNHAS adalah sebagai berikut:
DIREKTUR

KEUANGAN

MANAGER
PRODUKSI

PEMASARAN

LOGISTIK

QUALITY
CONTROL

KELOMPOK
BUDIDAYA

KELOMPOK

KELOMPOK
BUDIDAYA
Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Backyard Pendidikan UNHAS.
III.4 Sarana dan Prasarana

Sarana dan prasarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS


dapat dilihat pada pada Tabel 3 dan 4.
Tabel 3. Sarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS.
No Sarana
Spesifikasi
1
Bak pemeliharaan induk
8,5 m2
2
Bak pemeliharaan larva
5,6 X 4 X 1,5 m
3
Bak penampungan air laut 7 X 3 X 1 m
4
Bak kultur Skeletonema c. 5 X 4,5 X 1,1 m
5
Bak kultur Artemia s.
0,1256 m2
6
Pompa air laut
Merk NHP
7
Pompa air tawar
Shimizu
8
Blower
Model keong
9
Genset
Merk iiangoong

Jumlah
1
8
1
32
13
1
1
1
1

Tabel 4. Prasarana yang terdapat di Backyard Pendidikan UNHAS.


No Prasarana
Jumlah
.
1
Mes karyawan
1
2
Gudang
1
3
Motor
1
III.5

Sistem Pengadaan Air Laut


Air laut merupakan media pemeliharaan yang harus ada dalam kegiatan

pembenihan. Sistem pengadaan air laut pada Backyard Pendidikan UNHAS


yakni air laut yang berada disekitar lokasi Backyard Pendidikan UNHAS dipompa

dengan menggunakan pipa dengan ukuran 5 inci (Gambar 2). Air laut yang
dipompa akan melewati filter fisik (Gambar 3) berupa sand filter yang tersusun
atas pasir halus, kerikil, dan saringan, dimana air yang masuk (dalam keadaan
keruh) akan disaring dengan pasir halus, kemudian tersaring lagi oleh kerikil
ukuran 2-8 mm, lalu disaring dengan kerikil ukuran 8-16 mm, dan terakhir
disaring dengan kerikil ukuran 16-32 mm. Kemudian air yang sudah bersih
masuk ke dalam bak penampungan air laut (Gambar 4). Selanjutnya air yang
berasal dari bak penampungan air laut dialirkan ke bak-bak pemeliharaan larva.

Gambar 2. Pompa air laut.

Gambar 3. Sand filter .

Gambar 4. Bak penampungan air laut.


III.6 Pengadaan Air Tawar
Sistem pengadaan air tawar diperoleh dari sumur bor yang dibantu
dengan mesin pompa air tawar (Gambar 5). Air tawar digunakan untuk
kebutuhan hidup karyawan dan keperluan pembenihan. Untuk keperluan
pembenihan digunakan untuk dicampurkan pada air laut (media pemeliharaan),
mencuci bak dan peralatan pembenihan.

Gambar 5. Pompa air tawar.


III.7 Sistem aerasi
Sistem aerasi untuk suplai oksigen dalam pembenihan udang windu
menggunakan blower model keong (Gambar 6). Selain itu, sistem aerasi juga

10

dilengkapi dengan selang dan batu aerasi (Gambar 7). Selang aerasi yang
digunakan di Backyard UNHAS terbuat dari plastik yang tidak mudah pecah,
lentur dan juga tahan panas. Batu aerasi berfungsi untuk memperhalus
gelembung udara yang keluar dan diletakkan pada ujung selang aerasi.

Gambar 6. Blower.

Gambar 7. Peralatan aerasi.


III.8 Sumber Listrik
Pasokan listrik disuplai dari dua sumber, yaitu suplai listrik dari
Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan sumber listrik dari Generator set (Genset)

11

(Gambar 8). Suplai listrik dari PLN memiliki daya 2200 watt sedangkan suplai
listrik dari genset digunakan sebagai cadangan saat listrik padam.

Gambar 8. Genset.

IV. HASIL PELAKSANAAN PRAKTIK KERJA LAPANG


IV.1 Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan
Wadah atau bak pemeliharaan terlebih dahulu dibersihkan. Bak dicuci
dengan menggunakan deterjen dan disikat. Setelah itu dibilas dengan air bersih
dan dibiarkan sampai kering. Selain itu juga dilakukan pembersihan peralatan
aerasi dengan mencuci peralatan tersebut kemudian dibilas dengan air bersih dan
dikeringkan. Setelah itu dipasang selang dan batu aerasinya dan dinyalakan pada
bak pemeliharaan larva.
Air laut yang digunakan adalah air laut yang telah di filter dengan sand
filter. Kemudian dialirkan ke bak bak pemeliharaan larva dengan perbandingan air
laut dan tawar 7:3. Sebelum pemeliharaan larva dilakukan, air laut yang telah

12

dicampur air tawar diberikan EDTA yang berguna untuk melarutkan noda-noda
hasil pembersihan, diberikan sebanyak 30 gr/bak dengan kapasitas bak 10 ton dan
tinggi air 70 cm.
IV.2 Penyiapan Pakan
Pada dasarnya pakan yang di berikan pada larva dan post larva ada dua
jenis pakan yakni pakan alami dan pakan buatan. Jenis pakan yang di berikan
tergantung pada fase larva. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada
fase nauplius, larva belum di beri pakan karena belum memiliki sistem
pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning
telur yang di kandung dalam tubuhnya sehingga larva belum membutuhkan
makanan dari luar. Pemberian pakan baru diberikan pada fase zoea sampai post
larva.

1. Pakan alami
Pakan

alami

merupakan

salah

satu

komponen

utama

yang

mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan larva. Menurut Suryati (2002),


pakan yang sesuai untuk stadia larva adalah pakan alami karena pakan alami
mengandung enzim yang berperan dalam autolisis, ukurannya sesuai dengan
bukaan

mulut

larva,

gerakannya

yang

aktif

merangsang

larva

untuk

memakannya, mudah diperkaya dengan sumber nutrisi eksternal dan tidak


mencemari media pemeliharaan. Penyedian pakan alami dalam kegiatan ini
harus sudah tersedia minimal sehari sebelum larva diberi pakan alami
(memasuki fase zoea). Oleh karena itu penyiapan pakan alami harus sudah

13

tersedia sejak 2 minggu sebelum pemeliharaan larva. Ada jenis pakan alami
yang digunakan yakni Skeletonema costatum dan Artemia salina.
a. Skeletonema costatum
Pakan alami sketo yang digunakan berasal dari kultur massal pada bak
beton bervolume 4000 Liter. Sebelum melakukan kultur, terlebih dahulu disiapkan
media pemeliharaan berupa air laut sebanyak 2500 Liter dan air tawar sebanyak
1500 Liter, dengan salinitas 28 ppt dan nyalakan aerasi untuk menghomogenkan
air. Untuk volume diperlukan bibit 5-10% dari volume total. Kemudian disiapkan
juga pupuk untuk menumbuhkan sketo berupa urea dan NPK (Pupuk NPK
Phonska) dengan komposisi nitrogen 15%, fosfat 15%, kalium 15%, sulfur 10%,
dan air 2% memakai konsentrasi perbandingan 1 : 2. Lalu pupuk tersebut
dicampur air sebanyak 500 mL setelah itu dihomogenkan dengan bantuan
aerasi. Setelah pupuknya homogen dan dimasukkan ke dalam bak kultur sketo,
bibit sketo sdh bisa dimasukkan ke dalam bak kultur sketo juga. Ada beberapa
faktor yang mendukung keberhasilan pertumbuhan Skeletonema costatum yaitu
faktor biologis, kimia, fisika dan kebersihan lingkungan kultur. Faktor biologi
meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlahnya yang mencukupi. Bibit
yang dipakai untuk kultur berasal dari PT. Esa Putli. Faktor fisika yang
mempengaruhi antara lain suhu (25C-27C), salinitas (25-30 ppt), pH (7,9-8,5),
dan intensitas cahaya (10000-50000 lux). Faktor kimia yaitu unsure hara
(Nitrogen, Fosfor, Besi, Sulfat, Magnesium, Kalsium, dan Kalium) dalam media
pemeliharaan harus terpenuhi sesuai dengan kebutuhan jenis plankton yang
akan dikultur. Selain faktor diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu
kebersihan dari alat-alat kultur agar tidak terkontaminasi dengan organisme lain
yang akan menggangu pertumbuhan (Ruth dan Charles, 1966 dalam
Munazir,2013). Menurut Lamadi (2009) Perkembangan Skeletonema mulai

14

Nampak setelah 24 jam bibit ditebar, sebab pada saat itu Skeletonema telah
mencapai puncak populasi yang ditandai dengan warna coklat mudah dan
semakin lama warna itu semakin pekat. Pada warna tersebut Skeletonema
sudah dapat dipanen dan diberikan pada bak-bak pemeliharaan larva.

Gambar 13. Skeletonema costatum siap dipanen.


b. Proses penetasan artemia tanpa dekapsulasi
Adapun proses kerja penetasan artemia sebagai berikut:
1. Menimbang kista yang akan ditetaskan sebanyak 5 gram/L air dengan
menggunakan timbangan elektrik.
2. Menyiapkan wadah penetasan yang berupa gallon yang telah dilubangi
bagian bawahnya dan diberi selang aerasi dan spuyer dibagian tutupnya,
kemudian

galon

tersebut

ditutupi

bagian

sisinya

menggunakan

lakban/plastik hitam agar mempermudah untuk panen. Lalu letakkan


galon pada penyangga dengan posisi tutup galon berada dibagian bawah.
3. Isi galon dengan air laut 32 ppt sebanyak 18 L.
4. Kemudian kista dihidrasi menggunakan air tawar selama 10 menit.
5. Setelah itu masukkan kedalam wadah tadi, lalu berikan aerasi.
6. Media penetasan diberi sinar yang berasal dari lampu TL dengan suhu
ruangan 27oC

15

7. Kemudian kista Artemia menetas 48 jam, kemudian melepas aerasi yang


ada didalam wadah penetasan. Selanjutnya dilakukan penutupan wadah
penetasan pada bagian atas dengan menggunakan plastik hitam agar
Artemia

yang menetas akan berkumpul pada bagian bawah wadah

penetasan.

Artemia

mempunyai sifat fototaksis positif yang akan

bergerak menuju sumber cahaya.


8. Selanjutnya didiamkan beberapa lama (kurang lebih 15 30 menit)
sampai seluruh kista yang telah menetas berkumpul didasar wadah.
9. Melakukan penyedotan dengan selang untuk mengambil Artemia yang
telah menetas dan menampung dalam wadah penampungan.
10. Naupli Artemia yang sudah disaring kemudian dicuci menggunakan air
laut, lalu kemudian ditempatkan di dalam ember baru yang berisi air laut
dan diaerasi hingga siap untuk diberikan pada larva udang windu.

2. Pakan Buatan
Pakan buatan merupakan pakan tambahan yang diformulasikan dari
bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan hewan (Yuwono dan Purnama,
2001).

Pakan

buatan

merupakan

salah

satu

komponen

utama

yang

mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan larva. Kandungan nutrisi pada


pakan buatan dapat diatur sesuai dengan kebutuhan nutrisi kultivan selain itu,
pakan buatan mudah didapatkan dan dapat dibeli ketika diperlukan karena tidak
membutuhkan pemeliharaan ataupun penumbuhan dalam waktu yang cukup
lama (Nachdatullah, 2015). Pakan buatan mulai diperlukan ketika larva
memasuki fase zoea Jenis pakan buatan yang digunakan pada pemeliharaan
larva yakni Japonicus, Flake Top, GAP, dan sedikit tambahan vitamin.

16

Pemberian pakan buatan yang diberikan pada fase Zoea adalah


Japonicus, GAP, dan sedikit tambahan vitamin. Pakan buatan yang diberikan
pada fase Mysis dan Post Larva adalah Japonicus, Flake Top, dan sedikit
tambahan vitamin.

Gambar 14. Pakan buatan.

IV.3 Pemeliharaan Larva Udang Windu (Stadia Nauplius-Post Larva)


Pada backyard UNHAS, tidak memiliki induk udang, baik itu jenis
Vannamei maupun Windu. Ditempat ini larva dibeli dari berbagai tempat di

17

daerah sekitar Mallawa, Barru dan hasil pembenihan induk udang berasal dari
Aceh.
Naupli yang telah didapatkan selanjutnya ditebar ke dalam bak-bak
pemeliharaan, Setiap bak masing-masing ditebar sekitar 1.000.000 ekor/70 ton.
Penebaran dilakukan pada pagi hari unutk menghindari perubahan suhu yang
terlalu tinggi. Sebelum ditebar, tak lupa dilakukan aklimatisasi salinitas untuk
mencegah terjadinya fluktuasi/perbedaan kondisi lingkungan yang berlebihan.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara bungkusan yang berisi naupli sebelum
dibuka karet gelangnya di simpan didalam bak pemeliharaan. Maka posisinya
akan mengapung di permukaan bak pemeliharaan. Keadaan tersebut dilakukan
sekitar 15 menit. Setelah itu, bungkusan yang berisi naupli dibuka karet
gelangnya dan dituang ke dalam bak pemeliharaan secara perlahan hingga
naupli tersebut menyatu dengan air. Untuk mencegah larva berkumpul pada
satu tempat dan meminimalkan gangguan terhadap media pemeliharaan maka
permukaan bak ditutup dengan terpal yang dilapaisi plastik bening agar dapat
mempertahankan suhu dalam bak pemeliharaan.
Naupli tersebut belum langsung diberikan pakan sebab pada fase ini
naupli belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki
cadangan makanan berupa kuning telur sehingga naupli masih belum
membutuhkan makanan dari luar. Pada fase ini, naupli mengalami 6 kali
metamorfosa/pergantian kulit dengan interval waktu 4650 jam sesuai keadaan
suhu sebelum masuk fase zoea (Amri, 2003).

18

Gambar 9. Fase naupli.


Fase zoea merupakan fase kedua dalam pemeliharaan larva. Pada fase
ini mulai membutuhkan makanan dari luar, karena persediaan cadangan
makanannya

sudah

mulai

habis,

sehingga

memerlukan

nutrisi

untuk

pertumbuhan dan perkembangannya. Pakan yang diberikan dalam pemeliharaan


fase zoea ada 2 jenis, yaitu pakan buatan dan pakan alami (Skeletonema
costatum). . Pakan alami ini diberikan karena sesuai dengan bukaan mulut larva
yang berukuran sangat kecil. Plankton jenis Skeletonema costatum memiliki
dinding yang lebih tipis sehingga mudah dicerna oleh Larva. Pakan alami
diberikan 3 kali sehari, sedangkan pakan buatan diberikan 6 kali sehari. Fase
zoea memerlukan waktu 96-120 jam dan 3 kali pergantian kulit sebelum berubah
menjadi mysis (Amri, 2003).

Gambar 10. Fase zoea.


Fase mysis merupakan fase ketiga dalam pemeliharaan larva. Fase ini
membutuhkan

asupan

nutrisi

dari

luar

untuk

pertumbuhan

dan

perkembangannya, karena persediaan cadangan makanannya telah habis. Fase

19

mysis hampir mirip dengan udang dewasa namun bersifat planktonis dan
bergerak mundur dengan cara membengkokan badannya dan lebih kuat
berenang sehingga dapat mencapai makanannya. Pakan yang diberikan pada
fase ini yaitu pakan buatan sebanyak 6 kali sehari dan pakan alami Skeletonema
costatum sebanyak 3 kali sehari. Pada fase mysis III dapat diberikan pakan alami
berupa Artemia salina. Fase mysis memerlukan waktu 96-120 jam dan 3 kali
pergantian kulit sebelum berubah menjadi post larva (Amri, 2003).

Gambar 11. Fase mysis.


Fase post larva merupakan fase keempat atau fase terakhir dalam
pemeliharaan larva. Setelah lepas dari stadia Mysis III maka dinamakan post
larva I sampai seterusnya hingga PL yang siap dimana biasanya dipanen setelah
menjadi PL 5-10. Perubahan bentuk pada fase ini yang paling akhir dan paling
sempurna dari seluruh metamorfosa, tetapi larva ini tidak mengalami perubahan
bentuk, karena seluruh bagian tubuh sudah lengkap dan sempurna seperti udang
windu. Fase ini memiliki ciri-ciri yaitu mempunyai pleopoda yang berambut (stea)
untuk berenang. Pakan yang digunakan untuk fase post larva yakni pakan
buatan yang diberikan sebanyak 6 kali sehari dan pakan alami (Artemia salina)
diberikan sebanyak 3 kali sehari (Amri, 2003).

20

Gambar 12. Fase post larva.


Dalam setiap fase larva, membutuhkan penangan yang berbeda-beda.
Kesalahan dalam penanganan dapat mengakibatkan kematian larva. Sesekali
juga dicek kesehatannya dan diberikan pula probiotik untuk menghindari
serangan penyakit.
IV.4 Pengelolaan kualitas air
Pengeloaan kualitas air merupakan suatu kegiatan yang harus dilakukan
untuk menunjang keberhasilan proses pemeliharaan larva. Pengelolaan kualitas
air berupa penyiponan dan pergantian air. Penyiponan dilakukan pada saat larva
berada di fase post larva hari ke-5 atau PL-5 karena larva dianggap sudah
memiliki daya tahan tubuh yang baik sehingga pada saat penyiponan dapat
bertahan terhadap tekanan air dan juga ukurannya yang mendukung ketika
disipon tidak terikut dengan air dan kotoran. Penyiponan ini dilakukan untuk
membersihkan bagian dasar bak, sehingga tidak merusak kualitas air dengan
menggunakan alat berupa pipa saluran pembuangan yang dilengkapi dengan
saringan. Setelah penyiponan, maka dilakukan pengisian air kembali untuk
mengganti air yang telah terbuang pada bak.
Pengontrolan kualitas air dilakukan setiap hari terhadap perubahan
salinitas, pH, suhu, sedangkan DO dilakukan setiap 3 hari sekali. Parameter
kualitas air selama pemeliharaan larva udang windu dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Parameter kualitas air selama pemeliharaan larva udang windu.

21

Parameter
Salinitas (ppt)
Suhu (0C)
pH
DO (ppm)

Nilai Kisaran
23 30
31 35
6 7,5
46

Pustaka
28-34 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)
2834 (Juwana 1997)
7,5-8,5 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)
4 (Kasry, 1996)

Dari Tabel 5 menunjukan bahwa nilai kisaran kualitas air antara lain:
salinitas, suhu, pH, dan DO ini cukup layak digunakan dalam kegiatan
pembenihan.
IV.5 Panen
Panen merupakan salah satu tahap akhir dari pemeliharaan,

dimana

pemaneman dilakukan pada saat udang memasuki PL 10, waktu panen


dilakukan pada pagi atau malam hari. Larva yang dipanen harus sehat dan
mempunyai organ tubuh yang lengkap. Cara pemanenan cukup mudah yaitu air
media diturunkan sampai volume air dalam bak 30%. Lalu pasang kelambu
panen di ujung pipa pengeluaran kemudian kran pengeluaran mulai dibuka.
Setelah terlihat padat, benur di ambil dengan menggunakan seser dan
dipindahkan kedalam baskom untuk wadah penampungan. Kemudian Benur di
tampung dan dipasangi aerasi. Setelah itu benur ditakar dangan menggunakan
sendok takar dan dimasukan kedalam kantong panen.

Gambar 15. Panen benur.

22

V. PENUTUP
V.1. Rangkuman
Berdasarkan hasil praktik kerja lapang yang dilaksanakan di Backyard
Pendidikan UNHAS Desa Bojo, dapat diperoleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Masa pemeliharaan larva udang windu yaitu 21 hari, adapun tahapan
perkembangan larva udang windu yaitu naupli, zoea, mysis, dan post
larva.
2. Beberapa tahapan dalam pemeliharaan larva udang windu yaitu
persiapan

wadah

dan

media

pemeliharaan,

penyiapan

pakan,

pemeliharaan larva, pengelolaan kualitas air dan panen.


3. Pakan yang diberikan saat pemeliharaan yaitu pakan alami dan pakan
buatan. Pakan alami berupa Skeletonema costatum dan Artemia salina.
Sedangkan pemberian pakan buatan yang diberikan pada fase Zoea
adalah Japonicus, GAP, dan sedikit tambahan vitamin. Pakan buatan
yang diberikan pada fase Mysis dan Post Larva adalah Japonicus, Flake
Top, dan sedikit tambahan vitamin.
4. Panen dilakukan pada saat larva memasuki fase post larva 10/PL10.
Panen dilakukan dengan cara menguras air bak pemeliharaan lalu
menyaring benur. Kemudian dilakukan penghitungan. Hasil produksi
benur di Backyard Hatchery ini kemudian dijual kepada petani tambak.
V. 2. Saran
Sebaiknya di Backyard Hatchery Unhas ini memiliki induk udang sendiri
sehingga mahasiswa yang melakukan PKL di tempat ini juga bisa mempelajari
cara merawat sampai pemijahkan induk udang. Kemudian tak lupa pula
sebaiknya dalam pemeliharaan larva udang windu (Penaeus monodon) ini harus
lebih memperhatikan kualitas airnya, sehingga pemeliharaan larva dapat berhasil

23

sampai panen. Selain itu juga alat-alat di tempat ini perlu ditambah dan dilakukan
pemeliharaan agar dapat dipakai kedepannya lagi.

24

DAFTAR PUSTAKA
Arshad, A., Efrizal., Kamarudin, MS., dan Saad, CR. 2006. Study on fecundity,
embryology and larval development of blue swimming crab Portunus
Pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Research
Journal of Fisheries and Hydrobiology 1(1):35-44.
Fujaya, Y. 2011. Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di Backyard. Artikel.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hastuti, S., Syamsul, A., dan Darimiyya, H. 2012. Pemanfaatan Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Agroteknik 6(2) :
88-96.
Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya
Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI 22: 1-12.
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan Perikanan, Cara Budidaya
dan Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.47 hal.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.
Jakarta. 105 hal.
Ruliaty,L.,

Maskur, M., Abidin, M., dan Rudi, P. 2005. Backyard


HatcheryRajungan; Suatu Alternatif Usaha Budidaya. Makalah. Pra
lintas UPT Payau dan Laut Lingkup Dirjen Perikanan Budidaya DKP.

Suryanti.

2002.
Perkembangan
Aktivitas
Enzim Pencernaan
dan
Hubungannya dengan Kemampuan Pemanfaatan Pakan Buatan
pada Ikan Bbaung (Mystus nemurus C.V.) [Tesis]. Program
Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. 46 Hal.

Zaidin, M. Z., Irwan, J. E., dan Kadir, S. 2013. Sintasan Larva Rajungan
(Portunus pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan
Alami Artemia salina dan Brachionus plicatilis Jurnal Mina Laut
Indonesia 1 (1):112-121.

You might also like