Professional Documents
Culture Documents
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Udang windu (Penaeus monodon) merupakan salah satu komoditas
unggulan Indonesia dalam upaya menghasilkan devisa negara yang berasal dari
kelompok non migas. Kondisi laut yang luas dan iklim tropis di Indonesia
mendukung pertumbuhan dan perkembangan udang windu (Penaeus monodon).
Sekarang ini, udang windu semakin sulit untuk didapat secara alami. Penyebab
utama adalah ketersediaan benih yang kurang serta adanya bakteri yang
menghambat pertumbuhan udang khususnya pada larva. Sehingga dilakukan
berbagai cara agar produksi udang windu tetap berjalan. Salah satunya adalah
penerapan sistem budidaya atau pembenihan udang windu secara intensif yang
dimulai sejak pertengahan tahun 1986 (Agustina, 2013).
Benur udang windu merupakan salah satu faktor bagi usaha pembenihan
yang tidak tergantung pada benur alam yang terdapat disekitar. Oleh sebab itu
penyediaan benur mendapatkan perhatian yang utama untuk memudahkan
budidaya udang windu. Untuk menunjang usaha budidaya, yang harus dilakukan
adalah dengan mendirikan balai-balai pembenihan.
Keberhasilan usaha
pembenihan udang windu merupakan langkah awal dalam sistem mata rantai
budidaya. Keberhasilan pembenihan tersebut pada akhirnya akan mendukung
usaha penyediaan benih udang windu yang berkualitas (Agustina, 2013).
Salah satu yang dapat diterapkan dalam pembenihan udang windu
adalah usaha pembenihan skala rumah tangga. Usaha pembenihan skala rumah
tangga ini sudah menjadi usaha alternatif bagi para pengusaha benur, akan
tetapi karena kasus kematian masih tetap tinggi, sehingga perlu penerapan
teknologi-teknologi
pemeliharaan
yang
benar
untuk
meningkatkan
hasil
pembenihan udang skala rumah tangga adalah adanya serangan penyakit dan
penyediaan kualitas air agar kandungan oksigen dalam bak pembenihan dapat
optimal. Untuk mengatasi kendala tersebut perlu dilakukan suatu upaya agar
larva udang yang dipelihara di panti pembenihan tahan terhadap lingkungan
yang kurang sesuai dan tahan terhadap serangan penyakit (Mahasri dkk., 2014).
Berdasarkan latar belakang diatas, kegiatan pembenihan udang windu
sangat perlu untuk dipelajari dan diketahui. Maka dari itu dilakukan kegiatan
Praktek Kerja Lapang yang berjudul Teknik Pemeliharaan Larva Udang Windu
(Penaeus monodon) di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan
Mallusettasi, Kabupaten Barru, Provinsi Sulawesi Selatan.
I.2 Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari Praktik Kerja Lapang ini, yakni untuk mendapatkan
pengetahuan, pengalaman dan keterampilan kerja serta gambaran secara
langsung mengenai teknik pemeliharaan larva udang windu (P. monodon) di
Backyard Pendidikan UNHAS dengan memadukan pengetahuan yang diperoleh
di bangku kuliah dengan kenyataan di lapangan.
Manfaat dari praktik kerja lapang ini adalah untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan mahasiswa di lapangan serta memahami
permasalahan yang timbul dalam teknik pemeliharaan larva udang windu
sehingga nantinya diharapkan dapat melakukan pembenihan udang windu
dengan baik.
II.
METODE PRAKTIK
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
Sikat
Gayung
Timbangan
Objek glass
Beaker glass
Mikroskop
Pipet tetes
Dissolved oxygen meter
Kantong panen plastik
Karet gelang
Lakban
Tali
Kardus
Karung
Ember
Menyikat bak
Mengambil air
Menimbang pakan
Meletakkan objek yang diamati
Untuk mengukur dan mencampur cairan
Mengamati larva
Mengambil cairan
Mengukur Oksigen
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Pengepakan
Wadah penampungan air laut dan air tawar
3. Praktik langsung
Praktik langsung merupakan suatu tindakan atau aktivitas dari mahasiswa
untuk melakukan segala bentuk tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada
di Backyard Pendidikan UNHAS, Desa Bojo, Kecamatan Mallusettasi, Kabupaten
Barru. Kegiatan yang dilakukan selama PKL dapat dilihat pada Lampiran 2.
4. Pencatatan data
Pencatatan data dapat dilakukan dengan dua metode pengambilan data
yakni :
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh berdasarkan kegiatan yang
dilakukan selama melakukan PKL. Data foto kegitan, alat dan bahan dapat
dilihat pada lampiran 1.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakan data yang diperoleh berdasarkan hasil
wawancara yang dilakukan terhadap pemilik, teknisi, dan karyawan untuk
melengkapi data primer.
II.4. Tahapan Kegiatan
Tahapan kegiatan yang dilakukan selama berada di lokasi PKL, yakni
persiapan wadah dan media pemeliharaan, penyiapan pakan, pemeliharaan
larva, pengendalian penyakit, pengelolaan kualitas air dan panen.
Misi Perusahaan :
1. Menyelenggarakan kegiatan produksi yang ramah lingkungan dan
berkesinambungan
2. Mengaplikasikan solusi-solusi inovatif berbasis riset dalam
meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi
3. Menjadi mitra petani/pembudidaya kepiting yang mengayomi.
KEUANGAN
MANAGER
PRODUKSI
PEMASARAN
LOGISTIK
QUALITY
CONTROL
KELOMPOK
BUDIDAYA
KELOMPOK
KELOMPOK
BUDIDAYA
Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi Backyard Pendidikan UNHAS.
III.4 Sarana dan Prasarana
Jumlah
1
8
1
32
13
1
1
1
1
dengan menggunakan pipa dengan ukuran 5 inci (Gambar 2). Air laut yang
dipompa akan melewati filter fisik (Gambar 3) berupa sand filter yang tersusun
atas pasir halus, kerikil, dan saringan, dimana air yang masuk (dalam keadaan
keruh) akan disaring dengan pasir halus, kemudian tersaring lagi oleh kerikil
ukuran 2-8 mm, lalu disaring dengan kerikil ukuran 8-16 mm, dan terakhir
disaring dengan kerikil ukuran 16-32 mm. Kemudian air yang sudah bersih
masuk ke dalam bak penampungan air laut (Gambar 4). Selanjutnya air yang
berasal dari bak penampungan air laut dialirkan ke bak-bak pemeliharaan larva.
10
dilengkapi dengan selang dan batu aerasi (Gambar 7). Selang aerasi yang
digunakan di Backyard UNHAS terbuat dari plastik yang tidak mudah pecah,
lentur dan juga tahan panas. Batu aerasi berfungsi untuk memperhalus
gelembung udara yang keluar dan diletakkan pada ujung selang aerasi.
Gambar 6. Blower.
11
(Gambar 8). Suplai listrik dari PLN memiliki daya 2200 watt sedangkan suplai
listrik dari genset digunakan sebagai cadangan saat listrik padam.
Gambar 8. Genset.
12
dicampur air tawar diberikan EDTA yang berguna untuk melarutkan noda-noda
hasil pembersihan, diberikan sebanyak 30 gr/bak dengan kapasitas bak 10 ton dan
tinggi air 70 cm.
IV.2 Penyiapan Pakan
Pada dasarnya pakan yang di berikan pada larva dan post larva ada dua
jenis pakan yakni pakan alami dan pakan buatan. Jenis pakan yang di berikan
tergantung pada fase larva. Menurut Haliman, R.W dan Adijaya, D.S (2005) pada
fase nauplius, larva belum di beri pakan karena belum memiliki sistem
pencernaan sempurna dan masih memiliki cadangan makanan berupa kuning
telur yang di kandung dalam tubuhnya sehingga larva belum membutuhkan
makanan dari luar. Pemberian pakan baru diberikan pada fase zoea sampai post
larva.
1. Pakan alami
Pakan
alami
merupakan
salah
satu
komponen
utama
yang
mulut
larva,
gerakannya
yang
aktif
merangsang
larva
untuk
13
tersedia sejak 2 minggu sebelum pemeliharaan larva. Ada jenis pakan alami
yang digunakan yakni Skeletonema costatum dan Artemia salina.
a. Skeletonema costatum
Pakan alami sketo yang digunakan berasal dari kultur massal pada bak
beton bervolume 4000 Liter. Sebelum melakukan kultur, terlebih dahulu disiapkan
media pemeliharaan berupa air laut sebanyak 2500 Liter dan air tawar sebanyak
1500 Liter, dengan salinitas 28 ppt dan nyalakan aerasi untuk menghomogenkan
air. Untuk volume diperlukan bibit 5-10% dari volume total. Kemudian disiapkan
juga pupuk untuk menumbuhkan sketo berupa urea dan NPK (Pupuk NPK
Phonska) dengan komposisi nitrogen 15%, fosfat 15%, kalium 15%, sulfur 10%,
dan air 2% memakai konsentrasi perbandingan 1 : 2. Lalu pupuk tersebut
dicampur air sebanyak 500 mL setelah itu dihomogenkan dengan bantuan
aerasi. Setelah pupuknya homogen dan dimasukkan ke dalam bak kultur sketo,
bibit sketo sdh bisa dimasukkan ke dalam bak kultur sketo juga. Ada beberapa
faktor yang mendukung keberhasilan pertumbuhan Skeletonema costatum yaitu
faktor biologis, kimia, fisika dan kebersihan lingkungan kultur. Faktor biologi
meliputi penyediaan bibit yang bermutu dan jumlahnya yang mencukupi. Bibit
yang dipakai untuk kultur berasal dari PT. Esa Putli. Faktor fisika yang
mempengaruhi antara lain suhu (25C-27C), salinitas (25-30 ppt), pH (7,9-8,5),
dan intensitas cahaya (10000-50000 lux). Faktor kimia yaitu unsure hara
(Nitrogen, Fosfor, Besi, Sulfat, Magnesium, Kalsium, dan Kalium) dalam media
pemeliharaan harus terpenuhi sesuai dengan kebutuhan jenis plankton yang
akan dikultur. Selain faktor diatas, faktor lain yang perlu diperhatikan yaitu
kebersihan dari alat-alat kultur agar tidak terkontaminasi dengan organisme lain
yang akan menggangu pertumbuhan (Ruth dan Charles, 1966 dalam
Munazir,2013). Menurut Lamadi (2009) Perkembangan Skeletonema mulai
14
Nampak setelah 24 jam bibit ditebar, sebab pada saat itu Skeletonema telah
mencapai puncak populasi yang ditandai dengan warna coklat mudah dan
semakin lama warna itu semakin pekat. Pada warna tersebut Skeletonema
sudah dapat dipanen dan diberikan pada bak-bak pemeliharaan larva.
galon
tersebut
ditutupi
bagian
sisinya
menggunakan
15
penetasan.
Artemia
2. Pakan Buatan
Pakan buatan merupakan pakan tambahan yang diformulasikan dari
bahan-bahan yang sesuai dengan kebutuhan hewan (Yuwono dan Purnama,
2001).
Pakan
buatan
merupakan
salah
satu
komponen
utama
yang
16
17
daerah sekitar Mallawa, Barru dan hasil pembenihan induk udang berasal dari
Aceh.
Naupli yang telah didapatkan selanjutnya ditebar ke dalam bak-bak
pemeliharaan, Setiap bak masing-masing ditebar sekitar 1.000.000 ekor/70 ton.
Penebaran dilakukan pada pagi hari unutk menghindari perubahan suhu yang
terlalu tinggi. Sebelum ditebar, tak lupa dilakukan aklimatisasi salinitas untuk
mencegah terjadinya fluktuasi/perbedaan kondisi lingkungan yang berlebihan.
Aklimatisasi dilakukan dengan cara bungkusan yang berisi naupli sebelum
dibuka karet gelangnya di simpan didalam bak pemeliharaan. Maka posisinya
akan mengapung di permukaan bak pemeliharaan. Keadaan tersebut dilakukan
sekitar 15 menit. Setelah itu, bungkusan yang berisi naupli dibuka karet
gelangnya dan dituang ke dalam bak pemeliharaan secara perlahan hingga
naupli tersebut menyatu dengan air. Untuk mencegah larva berkumpul pada
satu tempat dan meminimalkan gangguan terhadap media pemeliharaan maka
permukaan bak ditutup dengan terpal yang dilapaisi plastik bening agar dapat
mempertahankan suhu dalam bak pemeliharaan.
Naupli tersebut belum langsung diberikan pakan sebab pada fase ini
naupli belum memiliki sistem pencernaan sempurna dan masih memiliki
cadangan makanan berupa kuning telur sehingga naupli masih belum
membutuhkan makanan dari luar. Pada fase ini, naupli mengalami 6 kali
metamorfosa/pergantian kulit dengan interval waktu 4650 jam sesuai keadaan
suhu sebelum masuk fase zoea (Amri, 2003).
18
sudah
mulai
habis,
sehingga
memerlukan
nutrisi
untuk
asupan
nutrisi
dari
luar
untuk
pertumbuhan
dan
19
mysis hampir mirip dengan udang dewasa namun bersifat planktonis dan
bergerak mundur dengan cara membengkokan badannya dan lebih kuat
berenang sehingga dapat mencapai makanannya. Pakan yang diberikan pada
fase ini yaitu pakan buatan sebanyak 6 kali sehari dan pakan alami Skeletonema
costatum sebanyak 3 kali sehari. Pada fase mysis III dapat diberikan pakan alami
berupa Artemia salina. Fase mysis memerlukan waktu 96-120 jam dan 3 kali
pergantian kulit sebelum berubah menjadi post larva (Amri, 2003).
20
21
Parameter
Salinitas (ppt)
Suhu (0C)
pH
DO (ppm)
Nilai Kisaran
23 30
31 35
6 7,5
46
Pustaka
28-34 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)
2834 (Juwana 1997)
7,5-8,5 (Juwana dan Romimohtarto, 2000)
4 (Kasry, 1996)
Dari Tabel 5 menunjukan bahwa nilai kisaran kualitas air antara lain:
salinitas, suhu, pH, dan DO ini cukup layak digunakan dalam kegiatan
pembenihan.
IV.5 Panen
Panen merupakan salah satu tahap akhir dari pemeliharaan,
dimana
22
V. PENUTUP
V.1. Rangkuman
Berdasarkan hasil praktik kerja lapang yang dilaksanakan di Backyard
Pendidikan UNHAS Desa Bojo, dapat diperoleh beberapa hal sebagai berikut :
1. Masa pemeliharaan larva udang windu yaitu 21 hari, adapun tahapan
perkembangan larva udang windu yaitu naupli, zoea, mysis, dan post
larva.
2. Beberapa tahapan dalam pemeliharaan larva udang windu yaitu
persiapan
wadah
dan
media
pemeliharaan,
penyiapan
pakan,
23
sampai panen. Selain itu juga alat-alat di tempat ini perlu ditambah dan dilakukan
pemeliharaan agar dapat dipakai kedepannya lagi.
24
DAFTAR PUSTAKA
Arshad, A., Efrizal., Kamarudin, MS., dan Saad, CR. 2006. Study on fecundity,
embryology and larval development of blue swimming crab Portunus
Pelagicus (Linnaeus, 1758) under laboratory conditions. Research
Journal of Fisheries and Hydrobiology 1(1):35-44.
Fujaya, Y. 2011. Pembenihan Rajungan (Portunus pelagicus) di Backyard. Artikel.
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Hastuti, S., Syamsul, A., dan Darimiyya, H. 2012. Pemanfaatan Limbah
Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Agroteknik 6(2) :
88-96.
Juwana, S. 1997. Tinjauan Tentang Perkembangan Penelitian Budidaya
Rajungan (Portunus pelagicus). Jurnal Oseanografi LIPI 22: 1-12.
Juwana, S. dan K. Romimohtarto. 2000. Rajungan Perikanan, Cara Budidaya
dan Menu Masakan. Djambatan, Jakarta.47 hal.
Kasry, A. 1996. Budidaya Kepiting Bakau dan Biologi Ringkas. Penerbit Bharata.
Jakarta. 105 hal.
Ruliaty,L.,
Suryanti.
2002.
Perkembangan
Aktivitas
Enzim Pencernaan
dan
Hubungannya dengan Kemampuan Pemanfaatan Pakan Buatan
pada Ikan Bbaung (Mystus nemurus C.V.) [Tesis]. Program
Pascasarjan Institut Pertanian Bogor. 46 Hal.
Zaidin, M. Z., Irwan, J. E., dan Kadir, S. 2013. Sintasan Larva Rajungan
(Portunus pelagicus) Stadia Megalopa Melalui Kombinasi Pakan
Alami Artemia salina dan Brachionus plicatilis Jurnal Mina Laut
Indonesia 1 (1):112-121.