Professional Documents
Culture Documents
ALERGI MAKANAN
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan
Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Alergi makanan didefinisikan sebagai salah satu bentuk reaksi simpang yang terjadi dari respon imun
spesifik yang timbul secara reproduktif akibat paparan dari suatu bahan makanan.
Reaksi simpang terhadap makanan sendiri dapat terjadi baik melalui proses imunologik maupun non
imunologik.
Intoleransi makanan merupakan reaksi terhadap makanan yang bukan reaksi imunologik, misalnya reaksi
toksik, reaksi metabolik, dan reaksi indiosinkrasi.
Gejala yang timbul disebabkan alergi makanan bisa terjadi pada berbagai organ sasaran dan dapat dibagi
sesuai waktu. Gejala immediate timbul dalam waktu menit sampai jam setelah mengkonsumsi bahan
makanan, sedangkan gejala delayed terjadi dalam waktu beberapa jam sampai hari.
Kejadian berulang dengan paparan alergen makanan yang sama.
Organ sasaran bisa berpindah-pindah, gejala sering kali sudah dijumpai pada masa bayi.
Adanya riwayat keluarga yang menderita alergi
Kulit
Eritema, Gatal, Urtikaria, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Flushing, Erupsi morbiliformis, Angioedem, Eksim
Mata
Gatal, Eritema konjungtiva, Produksi air mata berlebihan, Edem periorbita, Edem periorbita
Saluran nafas atas
Nasal kongestif, Gatal, Hidung berair, Bersin, Edem laring, Suara sengau, Batuk kering
Saluran nafas bawah
Batuk, Dada terasa menyempit, Sesak, Wheezing, Retraksi interkostal, Pemakaian otot nafas tambahan
Mulut
Angioedem (lidah, palatum, bibir), Mulut gatal, Lidah bengkak
Saluran cerna bawah
Nausea, Kolik abdomen, Refluks, Muntah, Diare, Nyeri perut, Hematochezia, Iritabel dan penolakan makanan
dengan penurunan berat badan
Kardiovaskular
Takikardi, Hipotensi, Pusing, Lemas, Penurunan kesadaran
Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring sensitisasi terhadap suatu alergen (misalnya dengan alergen
hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan seperti
susu, telur, kacang, ikan) dengan positive predictive value (PPV) > 95%.
Darah tepi : bila eosinofilia 5% atau 500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit 5000/ml disertai
neutropenia 3% sering ditemukan pada alergi makanan.
IgE total dan spesifik: harga normal IgE total adalah 1000u/l sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari
30u/ml pada umumnya menunjukkan bahwa penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit atau
keadaan depresi imun seluler. Sedangkan IgE spesifik untuk menentukan spesifikasi terhadap suatu
alergen bahan makanan tertentu.
Endoskopi dan biopsi: prosedur pemeriksaan untuk saluran cerna untuk mengetahui organ sasaran
secara histologis.
1.
Anamnesa
2.
Pemeriksaan fisik
3.
Pemeriksaan penunjang
4.
Food challenge
1.
Anamnesa: berdasarkan waktu, paparan berulang, target organ, riwayat atopi
2.
Pemeriksaan fisik sesuai organ yang terkena
3.
Pemeriksaan penunjang: uji kulit, darah tepi, IgE total/spesifik endoskopi dan biopsi
4.
Food challenge: Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1 bahan
makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi pada provokasi ini dicatat. Disebut
alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Waktunya tidak perlu berturut-turut.
Jika dengan salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar,
maka diberikan regimen yang lain. Selanjutnya diet yang berikutnya juga dilakukan selama 3 minggu
sebelum dilakukan provokasi.
1. Gangguan saluran cerna dengan diare dan atau mual muntah
2. Reaksi karena kontaminan dan bahan-bahan aditif
3. Reaksi karena gangguan psikologis
Identifikasi alergen dan eliminasi (Penghindaran)
Alergen harus dihindari sebaik mungkin dan makanan-makanan yang tergolong hipoalergenik dipakai sebagai
pengganti.
Pengobatan
Kromolin, Nedokromil.
Glukokortikoid.
Beta adrenergic agonist
Metil Xantin
Simpatomimetika
Leukotrien antagonis
H1-Reseptor antagonis
Probotik
ALERGI MAKANAN
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
3.
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1.
Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK
2.
DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3.
Zahrah Hikmah,dr,SpA
4.
Azwin Mengindra Putera,dr,SpA
Kekambuhan dan beratnya gejala (tingkat kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 7 hari.
1.
Boyce A. J, et al. Guidelines for the diagnosis and management of food allergy in the United States:
report of the NAID sponsored expert panel.J Allergy Clin Imunol 2010;126(6): S5-58
2.
Burks A. W, et al. NIAID Sponsored 2010 Guidelines for managing food allergy: applications in the
pediatric population. Pediatrics 2011;128;955-65
3.
Dupont C. Food Allergy: Recent advances in pathophysiology and diagnosis. Ann Nutr Metab
2011;59(suppl 1):818.
4.
Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J
2010; 51(1): 4-9
5.
Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
6.
Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati. Penyunting.Buku
Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 270-84.
7.
Wang j, Sampson H. A. Food allergy: recent advances in pathophysiology and treatment. Allergy
Asthma Immunol Res. 2009 October;1(1):19-29.
Surabaya,
ALERGI OBAT
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis banding
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Suatu respon abnormal yang terkait secara imunologis terhadap suatu obat pada seorang individu yang telah
tersensitisasi.
Gambaran terperinci gejala reaksi obat
Outcome
Hubungan antara waktu pemberian obat dan gejala
Apakah penderita sudah pernah mendapatkan obat yang sama sebelum terapi sekarang?
Apa efeknya?
Keterangan keluarga atau dokter yang merawat
Apakah ada foto pasien saat mengalami reaksi?
Apakah ada penyakit lain yang menyertai?
Daftar obat yang diminum pada waktu yang sama
Riwayat sebelumnya
Alergi lainnya
Penyakit lainnya
Gejala sistemik:
Anafilaksis, serum sickness, SLE like, scleroderma like, drug rash with eosinophilia systemic symptoms
(DRESS), nekrolisis epidermal toksik, sindroma steven johnson, mikroskopik polyangitis
Gejala spesifik pada organ:
Kulit: Urtikaria/angioedema, pemphigus, purpura, ruam makulopapular, dermatitis kontak, foto dermatitis, acute
generalized exanthematouspustulosis (AGEP), fixed drug eruption (FDE), eritema multiformis, fibrosis sistemik
nefrogenik
Paru: Asma, batuk, pnemoni interstitial, organizing pneumoni
Hati: hepatitis kolestatik, hepatitis hepatoseluler
Ginjal: nefritis interstitial, nefritis membraneous
Darah:Anemia hemolitik, trombositopenia, netropenia
Jantung: Valvular diseases
Muskuloskeletal/neurological: polymiositis. meningitis aseptik, myasthenia gravis
Uji in vivo
Uji kulit
IgE RAST
Anamnesa
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan penunjang
1.
Anamnesa
2.
Pemeriksaan fisik.
3.
Pemeriksaan penunjang: in vivo dan in vitro
1.
Alergi makanan
2.
Infeksi
Penghentian obat yang dicurigai
Pengobatan
Antihistamin
Adrenalin
Pengobatan suportif
Kortikosteroid
1.
Penghentian obat
2.
Memberitahu riwayat obat penyebab alergi pada tenaga kesehatan saat berobat
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1.
Prof.DR.Ariyanto harsono,dr,SpAK
2.
DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3.
Zahrah Hikmah,dr,SpAK
ALERGI OBAT
4.
Tingkat kekambuhan gejala alergi (kepatuhan penderita). 80% Pasien sembuh dalam waktu 10 hari.
1.
Akib AAP, Takumansang DS, Sumadiono, Satria CD. Alergi obat. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin
Munasir, Nia Kurniati. Penyunting. Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak
Indonesia,2007.h 295-307.
2.
Alergi obat.Dalam: Antonius H. Pudjiaadi, Badriul Hegar, Setyo Handryastuti, Nikmah Salamia Idris,
Ellen P. Gndaputra, Eva Devita Harmoniati. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Jakarta: Pengurus Pusat Ikatan Dokter Indonesia,2010.h 1-4
3.
Mirakian R, et al. BSACI guidelines for management of drug allergy. J Clin Exp Allergy 2008,39,43-61
4.
Dowling P.J, et al. Drug allergy: an updated practice parameter. Ann Allergy Asthma Immunol.
2010;105: 1-78
Surabaya,
RINITIS ALERGI
1.
Pengertian (Definisi)
Gangguan fungsi pernafasan akibat inflamasi pada saluran hidung diakibatkan paparan alergen yang
diperantarai IgE.
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis banding
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Keluhan pilek berulang atau menetap, rinorea, gatal hidung, bersin-bersin, sumbatan hidung, sering bernafas
melalui mulut pada penderita dengan riwayat keluarga atopi. Bila parah terdapat gangguan tidur, gangguan
sekolah.
Rhinorea, adenoid face, maloklusi gigi, allergic gape, allergic shiners, transverse nasal crease, edema
konjungtiva, mata gatal dan kemerahan.
Sekret hidung jernih, membrane mukosa edema, basah dan kebiru-biruan (boggy and bluish).
1.
Uji kulit goresan
2.
IgE total, IgE spesifik,
3.
Eosinofil hapusan mukosa hidung.
1.
Anamnesa
2.
Pemeriksaan fisik
3.
Penunjang
1.
Anamnesa: pilek berulang dengan riwayat atopi
2.
Pemeriksaan fisik: seperti dijelaskan di atas
3.
Pemeriksaan penunjang: Uji kulit, IgE total/spesifik, eosinofil pada hapusan mukosa hidung
1.
Rinitis vasomotorik
2.
Rinitis bakterial
3.
Rinitis virus
4.
Abnormalitas anatomis kongenital terutama diketahui sejak lahir
5.
Benda asing
Penghindaran alergen
Farmakoterapi
Kortikosteroid intranasal
Antikolinergik
Antilekotrien
Imunoterapi
1.
Penghindaran Alergen
2.
Pengobatan memerlukan waktu yang lama
3.
Pendidikan penggunaan obat harus benar (kortikosteroid hirupan atau semprotan)
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1.
Prof.DR.Ariyanto Harsono,dr,SpAK
2.
DR.Anang Endaryanto,dr,SpAK
3.
Zahrah Hikmah,dr,SpA
4.
Azwin Mengindra Putera,dr,SpA
Gejala semakin memberat atau tidak sehingga mempengaruhi kualitas hidup (sekolah, sosial). 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 5 hari.
1.
Ashaaari A Z A, et al. Comparison of Serum Specific IgE with Skin Prick Test in the Diagnosis of
Allergy in Malaysia. Med J Malaysia 2011:6(3):202-6
2.
Bousquet J, et al. Allergic rhinitis management pocket reference 2008. Allergy 2008: 63: 990996
3.
Gerez I F A, Shek L P C, Chng H H, Lee B W. Diagnostic tests for food allergy. Singapore Med J 2010;
51(1): 4-9
4.
Gourbeyre P, Denery S, Bodinier M.Probiotics,prebiotics, and synbiotics: impact on the gut immune
system and allergic reaction J.Leukoc.Biol. 2011;89:685-95.
5.
Lim M Y, Leong J L. Allergic rhinitis: evidence-based practice. Singapore Med J 2010; 51(7) : 542
6.
Munasir Z, Rakun M.W. Rinitis Alergik. Dalam: Arwin AP Akib, Zakiudin Munasir, Nia Kurniati.
Penyunting.Buku Ajar Alergi-Imunologi Anak.Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,2007.h 246-52.
7.
Oliver P, Raapc U, Holza M, Hrmannb K, Klimeka L. Pathophysiology of itching and sneezing in
allergic rhinitis. Swiss Med Wkly 2009;139(34):35 40
Surabaya,
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7. PemeriksaanPenunjang
Arthritis Idiopatik Juvenile(AIJ) adalah radang sendi tanpa penyebab yang jelas (idiopatik) dengan durasi
penyakit paling sedikit 6 minggu serta pada anak berusia kurang dari 16 tahun.
Gejala morning stiffness atau fenomena gel (kekakuan setelah duduk atau tidak aktif dalam jangka waktu
lama). Keluhan atralgia yang sering terjadi di siang hari. Gejala lainya itu anak mendadak lemas di pagi
hari ataupun setelah tidur siang dan membaik selang beberapa waktu tanpa diobati.
Keluhan nyeri sendi mungkin tidak dominan tetapi anak sering berhenti menggunakan sendi secara
normal (misal: terjadi kontraktur atau lemas) tanpa mengeluh sakit. Anak AIJ sering absen dari kegitan
sekolah dan olahraga, ini juga mencerminkan keparahan penyakit atau kekambuhan AIJ.
AIJ subtipesistemik ditandai dengan demam yang spiking dan terjadi 1-2 kali setiap hari, pada waktu
yang sama, dengan suhu yang dapat kembali normal ataupun di bawah normal. Pola demam ini sangat
khas dan tidak didapatkan pada penyakit infeksi, keganasan ataupun Kawasaki. AIJ subtipesistemik
biasanya disertai ruam berwarna salmon pada tubuh dan ektremitas.
Sedangkan yang tipe psoriasis arthritis dapat menunjukkan gejala psoriasis yang khas tetapi kadang
manifestasinya juga tidak jelas. Yang harus diperhatikan adalah adanya gejala dactylis pada kuku anak.
Subtipeentesitis sering kali muncul dengan rasa sakit setelah latihan ataupun pada malam hari.
Perhatian harus diberikan bila anak merasa nyeri pada pantatdan punggung yang membaik dengan
aktivitas. Anak-anak ini tidak bisa berbaring di tempat tidur sepanjang pagi tapi harus bangun karena
sakit punggung.
Klinis
Diagnosis terutama berdasarkan klinis. Penyakit ini paling sering terjadi pada umur 1-3 tahun. Nyeri
ekstremitas seringkali menjadi keluhan utama pada awal penyakit. Gejala klinis yang menyokong kecurigaan
ke arah AIJ yaitu kekakuan sendi pada pagi hari, ruam rematoid, demam intermiten, perikarditis, uveitis
kronik, spondilitis servikal, nodul rematoid, tenosinovitis. Dan tanda-tanda penyakit lain penyebab nyeri sendi
dapat disingkirkan.
Berdasarkan :
1. GejalaKlinis
2. Pemeriksaan lab
3. Pemerikasaanthoraksfoto
Maka AIJ dibagi dalam beberapa golongan:
1. Sistemik
2. Oligoarthritis
a) Persisten
b) Extended
3. Poliarthritis (factor reumatoid negative)
4. Poliarthritis (faktor rheumatoid positif)
5. Artritis psoriatic
6. Artritisterkaitentesitis
7. Artritis lain-lain
a) Tidak memenuhi katergori
b) Memenuhi lebih dari satu kategori
ARTHRITIS INDIOPATIK JUVENIL
1. GonitisTuberkulosis
2. Keganasan tulang
3. Keganasan darah (leukemia, neuroblastoma)
4. Growing pain
1. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dipakai sebagai penunjang diagosis. Bila diketemukan Anti Nuclear
Antibody (ANA), Faktor Reumatoid (RF) dan peningkatan C3 dan C4 maka diagnosis AIJ menjadi
lebih sempurna.
Biasanya ditemukan anemia ringan, Hb antara 7-10 g/dl disertai leukositosis yang didominasi
netrofil.
Trombositopenia terdapat pada tipe poliartritis dan sistemik, seringkali dipakai sebagai petanda
reaktivasi penyakit.
Peningkatan LED dan CRP, gammaglobulin dipakai sebagai tanda penyakit yang aktif. Beberapa
peneliti mengemukakan peningkatan IgM dan IgG sebagai petunjuk aktifitas penyakit. Pengkatan
IgM merupakan karakteristik tersendiri dari AIJ, sedangkan peningkatan IgE lebih sering pada anak
yang lebih besar dan tidak dihubungkan dengan aktivitas penyakit. Berbeda dengan orang dewasa
C3 dan C4 dijumpai lebih tinggi.
Faktor Reumatoid lebih sering pada dewasa dibanding pada anak. Bila positif, sering kali pada AIJ
poliartritis, anak yang lebih besar, nodul subkutan, erosi tulang atau keadaan umum yang buruk.
Faktor Reumathoid adalah kompleks IgM-anti IgG pada dewasa dan mudah dideteksi, sedangkan
pada AIJ lebih sering IgG-anti IgG yang lebih sukar dideteksi laboratorium.
Anti-Nuclear Antibody (ANA) lebih sering dijumpai pada AIJ. Kekerapannya lebih tinggi pada
penderita wanita muda dengan oligoartritis dengan komplikasi uveitis. Pemeriksaan imunogenetik
menunjukkan bahwa HLA B27 lebih sering pada tipe oligoartritis yang kemudian menjadi spondilitis
ankilosa. HLA B5 B8 dan BW35 lebih sering ditemukan di Australia.
2. Pada pemeriksaan radiologis biasanya terlihat adanya pembengkaan jaringan lunak sekitar sendi,
pelebaran ruang sendi, osteoporosis. Kelainan yang lebih jarang adalah pembentukan tulang baru
8.
Terapi
9.
Edukasi
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis
15. Kepustakaan
IV
C
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
periostal. Pada stadium lanjut, biasanya setelah 2 tahun, dapat terlihat adanya erosi tulang persendian
dan penyempitan daerah tulang rawan. Ankilosis dapat ditemukan terutama di daerah sendi karpal dan
tarsal. Pada tipe oligoartritis dapat ditemukan gambaran yang lebih khas yaitu erosi, pengecilan diameter
tulang panjang dan atropi jaringan lunak regional sekunder. Hal ini terutama terdapat pada fase lanjut.
Pada tipe sistemik Kauffman dan Lovel menemukan gambaran radiologis yang khas yaitu ditemukannya
fragmentasi tidak teratur epifisis pada fase awal yang kemudian secara bertahap bergabung ke dalam
metafisis.
NSAID (obat anti inflamasi non steroid) : aspirin, ibuprofen, meloxicam
Steroid: oral atau intra artikular
Obat-obat yang dapat memodifikasi perjalanan penyakit (DMARDs): hidroxychloroquine, methotreksat
Imunosupresan
Rehabilistasimedis
AIJ adalah penyakit kronis yang sebagianbesartidaksembuh total tetapidapatdikontrol
Penderita AIJ harus minum obat secara teratur serta control rutin ke poli rematologi anak.
Prognosis tergantung dari jenis AIJ serta keteraturan pengobatann.
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
DERMATITIS ATOPI
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3. PemeriksaanFisik
4.
5.
6.
7.
Kriteria Diagnosis
Dermatitis Atopik (DA) adalah keradangan kronis dari kulit yang didasari oleh faktor herediter dan faktor
lingkungan, bersifat kronik residif dengan gejala eritema, papula, vesikel, kusta, skuama dan pruritus
yang hebat.
Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi lebih banyak didapatkan pada anak-anak. Bila residif
biasanya disertai infeksi, atau alergi, faktor psikologik, atau akibat bahan kimia atau iritan.
1. Berulangdenganpenyebab yang sama
2. Rasa gatal
3. Keluargadenganriwayatalergi
4. Disertaidengangejalaalergilainnya
Onset
Sekitar 50% gejala muncul pata tahun pertama kehidupan. Sekitar 30% terdiagnosa pada usia 1-5 tahun.
Macam-macam lesi
Lesi akut, sub-akut atau kronik. Lesi akut ditandai oleh papula dan papula-vesikula yang sangat gatal dengan
eksudat serosa yang dilatarbelakangi eritema. Lesi kronik ditandai likenifikasi (penebalan kulit dan penonjolan
pola permukaan kulit) dan prurigo nodularis (papula fibrotik).
Bentuk klinis
Bentuk infantil
Berlangsung sampai 2 tahun, predileksi pada daerah muka terutama pada pipi lebih sering pada bayi yang
lebih muda.
Bentuk anak
Lanjutan dari bentuk infantil, berupa kulit kering dengan predileksi daerah fleksura antikubiti, poplitea, tangan,
kaki dan periorbita.
Bentuk dewasa
Terjadi pada usia 20 tahun, umumnya berlokasi di daerah lipatan, muka, leher, badan bagian atas, dan
ekstremitas.
Untuk Bayi :
Modifikasi Kriteria Hanifin and Rajka pada bayi:
Kriteria mayor :
1. Riwayat keluarga DA
2. Dermatitis dengan tanda gatal
3. Dermatitis yang typical facial atau eczematous ekstensor atau dermatitis likenifikasi
Kriteria minor :
1. Xerosis/iktiosis/hyperlinear palms
2. Perifollicular accentuation
3. Chronic scalp scaling
4. Periauricular fissures
Untuk Anak :
Kriteria Hanifin untuk anak :
Krireria mayor (harus punya 3)
1. Pruritus
2. Morfologi dan distribusi typical
3. Lesi yang melibatkan muka dan ekstensor selama bayi dan masa anak
4. Flexural lichenification dan linearity by adolescence
5. Dermatitis kronik atau dermatitis kronik kambuhan
Kriteria minor
1. Xerosis
2. Iktiosis/palmar hyperlinearity/keratosis pilaris
3. IgE reactivity (increased serum IgE, RAST, or prick test positivity)
4. Hand/foot dermatitis
5. Cheilitis
6. Dermatitis kulit kepala (e.g., cradle cap)
7. Kepekaan terhadap infeksi kulit (khususnya S. aureus dan herpes simplex)
8. Perifollicular accentuation (especially in pigmented races)
Diagnosa bisa ditegakkan bila ada sedikitnya 2 gambaran pada kriteria mayor atau 1 gambaran pada
kriteria mayor plus 1 gambaran pada kriteria minor.
DERMATITIS ATOPI
Diagnosis
1.
Dermatitis Kontak Alergi
Diagnosis Banding
2.
Dermatophytosisataur dermatophytids
3.
Sindrom defesiensi imun
4.
Sindrom Wiskott-Aldrich
5.
Sindrom Hyper-IgE
6.
Penyakit Neoplastik
7.
Langerhans' cell histiocytosis
8.
Penyakit Hodgkin
9.
Dermatitis Numularis
10.
Skabies
Dermatitis Seborrheic
PemeriksaanPenunjang Diagnosis DA berdasarkanpadaklinis, pemeriksaanpenunjangtidakterlaludibutuhkan:
DERMATITIS ATOPI
8.
Terapi
9.
Edukasi
1. IgEspesifik
2. Tesujikulit
Penatalaksanaan dasar diberikan untuk semua kasus baik yang ringan, sedang maupun berat, berupa berupa
perawatan kulit, hidrasi, kortikosteroid topikal, antihistamin, tars, antibiotik bila perlu, identifikasi dan eliminasi
faktor-faktor pencetus kekambuhan.
Perawatan Kulit
Hidrasi adalah terapi DA yang esensial. Dasar hidrasi yang adekuat adalah peningkatan kandungan air
pada kulit dengan cara mandi dan menerapkan sawar hidrofobik. untuk mencegah evaporasi. Mandi
selama 15-20 menit 2 kali sehari tidak menggunakan air panas dan tidak menambahkan oil (minyak)
karena mempengaruhi penetrasi air. Sabun dengan moisturizers disarankan Setelah mandi
memberihkan sisa air dengan handuk yang lembut. Bila perlu pengobatan topikal paling baik setelah
mandi karena penetrasi obat jauh lebih baik.Pada pasien kronik diberikan 3-4 kali sehari dengan waterin-oil moisturizers sediaan lactic acid.
Kortikosteroids topikal
Kortikosteroid topikal mempunyai efek antiinflamasi, antipruritus, dan efek vasokonstriktor. Yang perlu
diperhatikan pada penggunaan kortikosteroid topikal adalah: segera setelah mandi dan diikuti berselimut
untuk meningkatkan penetrasi; tidak lebih dari 2 kali sehari; bentuk salep untuk kulit lembab bisa
menyebabkan folikulitis; bentuk krim toleransinya cukup baik; bentuk lotion dan spray untuk daerah yang
berambut; pilihannya adalah obat yang efektif tetapi potensinya terendah; efek samping yang harus
diperhatikan adalah: atropi, depigmentasi, steroid acne dan kadang-kadang terjadi absorbsi sistemik
dengan supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis; bila kasus membaik, frekuensi pemakaian
diturunkan dan diganti dengan yang potensinya lebih rendah; bila kasus sudah terkontrol, dihentikan dan
terapi difokuskan pada hidrasi.
Antihistamin
Merupakan terapi standar, tetapi belum tentu efektif untuk menghilangkan rasa gatal karena rasa gatal
pada DA bisa tak terkait dengan histamin.
Tars
Mempunyai efek anti-inflamasi dan sangat berguna untuk mengganti kortikosteroid topikal pada
manajemen penyakit kronik. Efek samping dari tar adalah folikulitis, fotosensitisasi dan dermatitis
kontak.
Antibiotik sistemik
Kadang-kadang diperlukan karena infeksi sekunder dapat menyebabkan kekambuhan dan penyulit.
Infeksi di curigai bila adakrusta yang luas, folikulits, pioderma dan furunkulosis. S. aureus yang resisten
penisilin merupakan penyebab tersering dari flare akut. Bila diduga ada resistensi penisilin, dicloxacillin
atau sefalexin dapat digunakan sebagai terapi oral lini pertama. Bila alergi penisilin, eritromisin adalah
terapi pilihan utama, dengan perhatian pada pasien asma karena bersama eritromisin, teofilin akan
menurunkan metabolismenya. Pilihan lain bila eritomisin resisten adalah klindamisin.
DERMATITIS ATOPI
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis
15. Kepustakaan
3.
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1. Prof. DR. dr. AriyantoHarsonoSpA(K)
2. DR. dr. AnangEndaryantoSpA(K)
3. dr. ZahrahHikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
1. Rasa gatal
2. Kulitkering
3. Ruam
4. Infeksisekunder
5. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 5 hari.
1. Callard RE, Harper JI. The skin barrier, atopic dermatitis and allergy: a role for Langerhans cells?.Trends
Immunol. Jul 2007;28(7):294-8.
2. Haeck IM, Rouwen TJ, Timmer-de Mik L, et al. Topical corticosteroids in atopic dermatitis and the risk of
glaucoma and cataracts. J Am AcadDermatol. Feb 2011;64(2):275-81.
3. Huang JT, Abrams M, Tlougan B, Rademaker A, Paller AS. Treatment of Staphylococcus aureus
colonization in atopic dermatitis decreases disease severity. Pediatrics. May 2009;123(5):e808-14.
4. Irvine AD. Fleshing out filaggrin phenotypes. J Invest Dermatol. Mar 2007;127(3):504-7.
5. Leung DYM. Atopic Dermatitis. In : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds) : Textbook of
Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004. pp.774-777.
6.
Sandilands A, Smith FJ, Irvine AD, McLean WH. Filaggrin's fuller figure: a glimpse into the genetic
architecture of atopic dermatitis. J Invest Dermatol. Jun 2007;127(6):1282-4.
Surabaya,
10
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
PemeriksaanPenunja
ng
8.
Terapi
9.
Edukasi
10.
Prognosis
Sindroma Stevens Johnson (SSJ) adalah suatu manifestasi eritema multiforme yang berat, fatal dan jarang
terjadi, sehingga seringkali disebut eritema eksudativum multiform mayor, Reaksi hipersensitivitas yang terjadi
pada SSJ melibatkan kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata dan menyebabkan gangguan sistemik
yang berat, bahkan dapat menyebabkan kematian.
Sinonimnya antara lain: sindroma de Friessinger-Rendu, eritema poliform bulosa, sindromamuko-kutaneo-okular,
dermatostomatitis.
Gejala prodromal berkisarantara 1-14 hari berupa demam, lesu, batuk, pilek, nyerimenelan, nyeri dada, muntah,
pegalototdanatralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut.
Setelah itu akan timbul lesi di kulit, mukosa mulut, mukosa mata.
Bisa didahului dengan riwayat minum obat, makanan atau infeksi.
Kulit: Manifestasi di kulit bias berupa ruam yang awalnya macula kemudian menjadi papula, vesikel, bula
dan kadang eritema. Yang khas adalah didapatkan lesi target (target lesion). Bila bula kurang dari 10%
disebut Steven Johnson Syndrome, 10-30% disebut Steven Johnson Syndrome-Toxic Epidermolysis
Necroticans (SSJ-TEN), lebihdari 30% Toxic Epidermolysis Necroticans (TEN). Sekitar 80% penyebab TEN
adalahobat.
Mukosa (mulut, tenggorokan dan genital); berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan krusta
berwarna merah,
Mata; berupa konjungtivitis kataralis, blefaro konjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema dan sulit
dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasikornea.
Mukosa lain yang juga sering terkena gastrointestinal sehingga terjadi gangguan proses menelan makanan
dan menyebabkan dehidrasi dan kekurangan asupan, sehingga penting dilakukan alimentasi asupan secara
panenteral.
90 % diagnosis SSJberdasarkan
1. Anamnesis &gejalaklinik.
2. Adanya trias kelainan kulit, mukosa & mata.
3. Hubungan faktor penyebab
90 SINDROMA STEVEN JOHNSON
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson:
1. Toxic EpidermolysisNecroticans. Sindroma Steven Johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih
dari 30% disebut TEN. Seringkali diagnosis SSj overlap dengan TEN (SSJ-TEN)
2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta
yang mengelupas pada seluruh kulit. Biasanya mukosa tidak terkena.
Sampai saat ini tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik dalam mendukung diagnosis SSJ kecuali
biopsy kulit.(tidak rutin dilakukan). Pada pemeriksaan laboratorium bias didapatkan anemia, lekosit yang normal
atau sedikit meningkat, peningkatan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat
peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat
dideteksi adanya circulating immune complex. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dari biopsy kulit
dapat mendukung ditegakkannya diagnosis.
Penatalaksanaan utama adalah menghentikan obat yang diduga sebagai penyebab SSJ, sementara itu
kemungkinan infeksi herpes simplex dan Mycoplasma pneumonia harus disingkirkan. Selanjutnya perawatan
lebih bersifat suportif dan simptomatik:
1. Pasien dengan SSJ harus diperlakukan seperti pasien luka bakar dengan pengawasan special terhadap
hemodinamik, keseimbangan cairan dan elektrolit, serta control terhadap nyeri (jangan menggunakan
NSAID karena beresiko tinggi).
2. Bila telah terjadi dehidrasi ataupun gangguan elektrolit maka dilakukan rehidrasi dan koreksi.
3. Blister kulit bias dikompres basah dengan larutan larutan burowi ataupun cairan saline (perawatan kulit
seperti perawatan luka bakar).
4. Alimentasi kalori dan protein secara parenteral. Lesi pada saluran cerna menyebabkan kesulitan asupan
makanan dan minuman.
5. Bila telah terjadi infeksi sekunder maka diberikan antibiotika. Antibiotika yang paling beresiko tinggi adalah
-lactam dan sulfa jangan digunakan. Untuk terapi awal dapat diberikan antibiotika spectrum luas,
selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Terapi
infeksi sekunder menggunakan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat
bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin 8-16 mg/kg/hari secara intravena, diberikan 2
kali/hari.
6. Kortikosteroid: deksametasondosisawal 1mg/kg BB bolus intravena, kemudian dilanjutkan 0,2-0,5 mg/kg BB
intravena tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
7. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0.5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah
sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi
FAS.
8. Konsultasi kebagian opthalmologi bila didapatkan kelainan mata, kebagian kulit dan kelamin untuk
perawatan bersama, dan kebagian bedah plastic sehubungan dengan perawatan lesi kulit terbuka yang
biasanya dirawat sebagaimana luka bakar.
1. Perawatan pasien
2. Prognosis pasien
3. Penyebab terjadinya SSJ
Prognosis dapat diperkirakan dengan menggunakan skor SCORTEN, dengan variable sebagai berikut: usia> 40
tahun, keganasan, denyut jantung> 120 x/m, epidermal detachment>10%, BUN > 10 mmol/L, kadar gula darah>
11
11.
12.
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
13.
PenelaahKritis
14.
IndikatorMedis
15.
Kepustakaan
14mmol/L, bikarbonat< 20mmol/L (masing-masing diberikan nilai 1, kemudian dijumlah). Perkiraan mortalitas
sebagai berikut:
SCORTEN 0-1 => 3.2%
SCORTEN 2 => 12.1%
SCORTEN 3 => 35.3%
SCORTEN 4 => 58.3%
SCORTEN 5 or more => 90%
IV
C
1. Prof. DR. dr. Ariyanto HarsonoSpA(K)
2. DR. dr. Anang Endaryanto SpA(K)
3. dr. Zahrah Hikmah
4. dr. Azwin M. Lubis
Lesikulit
Lesimata
Lesimukosa lain
Infeksisekunder
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 21 hari.
1. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients.
Pediatrics 2001;108:48592.
2. Darmstadt GL, Sidbury R. Steven Johnson Syndrome. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB (eds):
Textbook of Pediatrics. 17th Ed Philadelphia, WB Saunders 2004; 2181-4.
3. Gruchalla R: Understanding drug allergies. J Allergy ClinImmunol 2000;105:S63744.
4. Metry DW, Jung P, Levy ML. Use of Intravenous Immunoglobuline in children with Steven Johnson
Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis: Seven cases and review of literature. Pediatrics 2003;112:14306.
5. Reilly TP, Lash LH, Doll MA. A role for bioactivation and covalent binding within epidermal keratinocytes in
sulfonamide-induced cutaneous drug reactions. J Invest Dermatol 2000;114:116473.
6. Volcheck GW. Clinical evaluation and management of drug hypersensitivity. Immunol Allergy Clin N Am
2004;24:357-71.
Surabaya,
12
HIPOGLIKEMIA
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Pada anak kadar glukosa plasma < 40 mg/dl dikategorikan sebagai hipoglikemia
-
4.
Pemeriksaan
Penunjang
Darah : kadar gula, kadar insulin, kortisol, growth hormone, non esertified fatty acid, acetoacetate, 3
hydroxybutirate, carnitine( free dan total) blood spot acyl carnitine, ammonia, lactate
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Penyulit
8.
Terapi
1.
Penurunan kesadaran
2.
Kematian
Berikan glukosa oral , misal jus jeruk, minum manis. Untuk berat 30 kg diperlukan 10 gram glukosa,
dan >30 kg diperlukan 15 gram glukosa.
2.
Cek kadar glukosa 10-15menit dan ulang jika diperlukan. Pastikan kadar gula darah normal.
Pasang infuse dextrose (n0,5g/kg selama 5 menit) atau 2-3 ml/kg D10% atau 1ml/kg D25%)
2.
3.
Recek kadar gula 10menit kemudian ( D12,5 kadar dextrose paling tinggi yang diberikan melalui
infuse perifer)
4.
Apabila akses iv sulit, maka glukosa dapat diberikan melalui nasogastric tube. Maintenans infuse pada
hipoglikemia bayi dapat dilakukan dengan GIR ( glucose infusion rate ) 6-8 mg/kg/menit.
Glukagon membantu dalam pemecahan glikogen. Pada kondisi cadangan glikogen masih cukup (mis.insulin
overdose) 1 mg glucagon im atau sc (0,5mg untuk neonates) dapat meningkatkan kadar gula darah. Glucagon
tidak akan meningkatkan kadar glukosa
9.
Edukasi
1.
2.
10. Prognosis
IV
a.
Nur Rochmah,dr,SpA
b.
c.
d.
13
HIPOGLIKEMIA
80% Pasien Hipoglikemia tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 3 hari
15. Kepustakaan
1.
Zimmerman D, habiby RL, Brickman WJ. Diabetes Mellitus and Hypoglycemia. In: Green T, Franklin
W, Tanz RR. Paediatrics. 2005.Mc Graw Hill.Singapore.hal.263-78.
2.
Oberfield SE, Hale DE. Endocrinology. Dalam: Polin RA, Ditmar MF. Pediatric secrets. Edisi 4.
Elsevier Mosby. Phiadelphia.hal 191-21.
3.
14
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Congenital Adrenal Hyperplasia (CAH) merujuk grup defisiensi enzim pada sintesis steroid di korteks adrenal.
-
Bisa didapatkan genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih
besar dari pada anak seusia ( pubertas prekoks perifer)
genital yang ambigus ataupun ukuran genital laki-laki (penis dan skrotum) yang lebih besar dari pada
anak seusia ( pubertas prekoks perifer)
Salt loosing crisis dapat terjadi pada usia dua minggu dengan gejala muntah, diare, dehidrasi,
hiperkalemia, dan hiponatremia.
CAH laki-laki simple virilized sering datang pada usia 3-7 tahun, dengan pubertas awitan awal, advanced
bone age, dan prepubertal testis.
Remaja dan dewasa wanita non klasik CAH sering datang dengan keluhan virilisasi, hirsutisme,
abnormal menstruasi, infertilitas, atau akne.
Pemeriksaan
Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
46 XY DSD
8.
Terapi
1. Terapi medikamentosa
4.
Pada tipe defisiensi 21OH lase yaitu 95% tipe CAH akan didapatkan kenaikan dari 17 OHP
Pada tipe yang salt wasting dapat diberikan replacement therapy dengan glukokortikoid dan
mineralokortikoid. Terapi glukokortikoid dapat doberikan dengan hydrocortisone 10-20 mg/m2. Pada
pasien yang baru terdiagnosis, utamanya pada bayi baru lahir, memerlukan dosis yang lebih tinggi.
Terapi mineralokortikoid dengan diberikan fludrokortisone (9 fluoro-cortisol) 0,1mg oral.Tidak tergantung
berat badan. Pada sakit berat diberikan hydrocortisone iv dan sodium chloride, misalnya pada operasi,
sakit, sakit berat. Dosis 20 mg hydrocortisone mempunyai efek mineralokortikoid setara 0,1 mg.
Terapi mineralokortikoid pada bayi diperlukan dosis lebih tinggi yaitu 0,150,30mg/hari, tergantung
suplementasi sodium oleh karena bayi insensitive terhadap mineralokortikoid..sehingga perlu dosis lebih
besar.
Suplementasi garam 1-2 g NaCl/hari. Salt loosing CAH dapat menghentikan terapi mineralokortikoid dan
suplementasi garam pada saat dewasa, oleh karena pada deasa lebih sensitive terhadap
mineralokortikoid.
Evaluasi pertumbuhan dilakukan tiap 3 bulan dan evaluasi bone age tiap tahun. Plasma 17OHP tidak
digunakan untuk monitor terapi oleh karena dapat terjadi variasi diurnal dan hyperresponsive terhadap
stres.
Pada anak besar terapi glukokortikoid dapat diberikan dexametasone atau prednisone.
2. Terapi bedah : klitororeduksi, vaginoplasti
3. Terapi suportif
9.
Edukasi
10. Prognosis
Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
IV
a.
Nur Rochmah,dr,SpA
b.
c.
d.
1.
Pertumbuhan dan perkembangan optimal sesuai usia, bone age sesuai usia, tidak terjadi krisis adrenal
15
15. Kepustakaan
2.
80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia simple case akan sembuh dalam waktu 3 hari
3.
80% Pasien Congenital Adrenal Hyperplasia dengan tindakan operasi akan sembuh dalam waktu 7 hari
1. Saroj Nimkarn, Karen Lin Su, Maria I New. Steroid 21 Hydroylase Deficiency Congenital Adrenal
Hyperplasia. Pediatr Clin N Am 58: 2011:1281-1300.
2. Maria I New, Lucia Ghizzoni, Karen Lin Su. An Update of Congenital Adrenal Hyperplasia. Fima Lifshift,
ed. 2007. New York.
3. Miller L Walter, Achermann JC, Fluck CE. The Adrenal Corteks and Its Disorders. Dalam : Pediatric
Endocrinology, Third Edition. Philadelphia. 444-512.
4. Pediatric Endocrinology. Dalam: Styne DM, ed. Guide To Pediatric Endocrine Emergencies. Lippincolt
Williams & Wilkins. Philadelphia. 2004. 295-7.
5. Raine JE. Adrenal Disorders. Dalam Practical Endocrinology and Diabetes In Children. 2nd ed. 137-42.
2006.
Surabaya,
16
Pengertian (Definisi)
Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang dapat disebabkan berbagai macam etiologi, disertai
dengan adanya hiperglikemia kronis akibat gangguan sekresi insulin atau gangguan kerja dari insulin, atau
keduanya.
Sedangkan Diabetes Mellitus tipe-1 lebih diakibatkan oleh karena berkurangnya sekresi insulin akibat kerusakan
sel -pankreas yang didasari proses autoimun
2.
3.
4.
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Penunjang
1. Adanya gejala klinis ditambah kadar glukosa acak/sewaktu> 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL).*
Acak/sewaktu dimaksudkan setiap saat tanpa memperhatikan saat makan terakhir.
atau
2. Kadar glukosa darah puasa > 7.0 mmol/L (> 126 mg/dL).**
Puasa dimaksudkan tanpa asupan kalori paling cepat 8 jam.
atau
3. Kadar glukosa darah postprandial > 11.1 mmol/L (> 200 mg/dL) selama uji toleransi glukosa.
Sesuai WHO, menggunakan glukosa yang setara 75 g (anhydrous glucose) yang dilarutkan dalam air atau
1,75 g/kg berat badan sampai dengan maksimum 75 g.
4. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5.
Kriteria Diagnosis
1. Gejala Klinis
2. Hyperglikemia
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
Feokromositoma
Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa ketosis, yang
disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
- Renal glukosuria.
Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis.
8.
Terapi
Medikamentosa
-
Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih. Gejala hipoglikemia
dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase honeymoon. Pada keadaan ini, dosis insulin
harus diturunkan bahkan sampai kurang dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama
sekali.
Diet
o
Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas dapat juga ditentukan
dengan rumus sebagai berikut :
Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat, 10-15% protein (semakin
menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35% lemak.
Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali makanan kecil sebagai berikut
:
17
9.
Edukasi
10. Prognosis
Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
IV
a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c.
Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia, komplikasi DM tipe 1 dapat dicegah. 80% Pasien akan
sembuh dalam waktu 4 hari.
15. Kepustakaan
1. Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children and
adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
2. Wolfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
3. APEG. Clinical Practice Guidelines: Type-1 Diabetes in Children and Adolescents. 2005.
4. Drash AL. Management of the Child with Diabetes Mellitus-Clinical Course, Therapeutic Stategies, and
Monitoring Techniques. In: Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York: Marcel Dekker ; 1996:617-29.
5. International Society for Pediatric and Adolescent Diabetes. Consensus Guidelines 2000-ISPAD Consensus
Guidelines for Management of Type 1 Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. Zeist, Netherlands:
ISPAD, 2000.
6. Netty EP, Faizi M. Diabetes Mellitus pada Anak dan Remaja. In: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
No 32. Surabaya: Oktober 2002; 11-22.
7. Netty EP. Diabetes Mellitus Tipe I dan Penerapan Terapi Insulin Flexibel pada Anak dan Remaja. Diajukan
pada Forum Komunikasi Ilmiah (FKI) Lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR/RSUD Dr. Soetomo
Surabaya. February 13, 2002.
8. UKK Endokrinologi. Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Mellitus Tipe-1 Di Indonesia. Jakarta: PP
IDAI, 2000.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
18
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
4.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Penunjang
Kondisi yang mengancam jiwa yang disebabkan penurunan kadar insulin efektif didalam tubuh, atau berkaitan
dengan resistensi insulin, dan disertai peningkatan produksi hormon-hormon kontra regulator yakni : glukagon,
katekolamin, kortisol dan growth hormon.
-
Tanda-tanda sesak
1. Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL); Asidosis, bila pH darah < 7,3 dan
kadar bikarbonat < 15 mmol/L).
2. penurunan kadar insulin atau C-peptide, serta adanya antibodi ICA, GAD, IA2, dan IAA sebagai marker
proses otoimun
5.
Kriteria Diagnosis
Hiperglikemia, bila kadar glukosa darah > 11 mmol/L (> 200 mg/dL).
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
8.
Terapi
9.
Edukasi
1.
Injeksi insulin
10. Prognosis
Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
IV
a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)
Klinis baik, HbA1c dalam rentang normal sesuai usia. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 hari (1 minggu)
15. Kepustakaan
1.
Christos D. Kussmaul breathing 2009 [updated 26 February 2013 at 05:49; cited 2013 March, 3rd 2013].
Available from: http://en.wikipedia.org/wiki/Kussmaul_breathing.
2.
3.
Maria E. Craig AHA, Kim C. Donaghue. Definition, epidemiology and classification of diabetes in children
and adolescents. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl. 12):3-12.
19
KETOASIDOSIS DIABETIKUM
4.
Stu Brink, Lori Laffel, Supawadee Likitmaskul, Li Liu, Ann M Maguire, Birthe Olse, et al. Sick day
management in children and adolescents with diabetes. Pediatric Diabetes. 2009;10(Suppl.12):146-53.
5.
Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A review of pathogenesis.
Indian journal of endocrinology and metabolism. 2012 Mar;16 Suppl 1:S27-36.
6.
Craig ME, Twigg SM, Donaghue KC, Cheung NW, Cameron FJ, Conn J, et al. Acute complications
diabetic ketoacidosis and sick-day management. In: Maria Craig, Twigg S, editors. National EvidenceBased Clinical Care Guidelines for Type 1 Diabetes in Children, Adolescents and Adults. Canberra:
Australian Paediatric Endocrine Group and Australian Diabetes Society; 2011. p. 123-35.
7.
Glaser N. Pediatric Diabetic Ketoacidosis and Hyperglycemic Hyperosmolar State. Pediatric Clinics of
North America. 2005;52(6):1611-35.
8.
Wallace TM, Matthews DR. Recent advances in the monitoring and management of diabetic ketoacidosis.
QJM : monthly journal of the Association of Physicians. 2004 Dec;97(12):773-80.
9.
lfsdorf J. Diabetic Ketoacidosis in Infants, Children, and Adolescents: A consensus statement from the
American Diabetes Association. Diabetes care. 2006;29(5):1150-9.
10. Wright J, Ruck K, Rabbitts R, Charlton M, De P, Barrett T, et al. Diabetic ketoacidosis (DKA) in
Birmingham, UK, 2000--2009: an evaluation of risk factors for recurrence and mortality. The British Journal
of Diabetes & Vascular Disease. 2009;9(6):278-82.
11. Abbas E. Kitabchi, Nyenwe EA. Hyperglycemic Crises in Diabetes Mellitus: Diabetic Ketoacidosis and
Hyperglycemic Hyperosmolar State. Endocrinol Metab Clin N Am. 2006;2006:725-51.
12. Michael J. Haller, Mark A. Atkinson, Schatz D. Type 1 Diabetes Mellitus: Etiology, Presentation, and
Management. Pediatric Clinics of North America. 2005;52(6):1553-78.
13. American Diabetes A. Diagnosis and classification of diabetes mellitus. Diabetes care. 2009 Jan;32 Suppl
1:S62-7.
14. Association AD. Type 2 Diabetes in Children and Adolescents. Pediatrics. 2000;105(3):671-80.
15. Wolfsdorf J, Craig ME, Daneman D, Dunger D, Edge J, Lee W, et al. Diabetic ketoacidosis in children and
adolescents with diabetes. Pediatr Diabetes. 2009 Sep;10 Suppl 12:118-33.
16. Muhammad Faizi, Netty EP, AY Heryana, Rochmah N. Data Instalasi Rawat Inap Ilmu Kesehatan Anak
RSU Dr. Soetomo Surabaya Tahun 2002-2012. [Unpublished]
17. Pulungan AB, Mansyoer R, Batubara JRL, B T. Gambaran Klinis dan Laboratoris Diabetes Mellitus tipe-1
pada Anak Saat Pertama kali datang ke Bagian IKA-RSCM Jakarta. Sari Pediatri. 2002;4:26-30.
18. Piva JP, Czepielewski M, Garcia PCR, Machado D. Current perspectives for treating children with diabetic
ketoacidosis. Jornal de Pediatria. 2007;83(5 Suppl):S119-27.
19. Niyutchai Chaithongdi JSS, Christian A. Koch, Stephen A. Geraci. Diagnosis and management of
hyperglycemic emergencies. Hormones. 2011;10(4):250-60.
20. Chua HR, Schneider A, Bellomo R. Bicarbonate in diabetic ketoacidosis - a systematic review. Annals of
intensive care. 2011;1(1):1-12.
21. Dunger DB. ESPE/LWPES consensus statement on diabetic ketoacidosis in children and adolescents.
Archives of Disease in Childhood. 2004;89(2):188-94.
22. Association AD. Hyperglycemic
2002;25(Supplement 1):S100-8.
Crises
in
Patients
With
Diabetes
Mellitus.
Diabetes
care.
23. Glaser NS, Wootton-Gorges SL, Marcin JP, Buonocore MH, Dicarlo J, Neely EK, et al. Mechanism of
cerebral edema in children with diabetic ketoacidosis. The Journal of pediatrics. 2004 Aug;145(2):164-71.
24. Bruno Guerci, Muriel Benichou, Michele Foriot, Philip Bohme, Sebastien Fougnot, Patricia Franck, et al.
Accuracy of an Electrochemical Sensor for Measuring Capillary Blood Ketones by Fingerstick Samples
During Metabolic Deterioration After Continuous Subcutaneous Insulin Infusion Interruption in Type 1
Diabetic Patients. Diabetes care. 2003;26:1137-41.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
20
HIPOTIROID KONGENITAL
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
4.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
Penunjang
Hipotiroid adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan pada salah satu tingkat dari aksis
hipotalamus-hipofisis-tiroid-end organ, dengan akibat terjadinya defisiensi hormon tiroid, ataupun gangguan
respon jaringan terhadap hormon tiroid. Hipotiroid kongenital disebabkan kurang atau tidak adanya hormone
tiroid sejak dalam kandungan.
-
Hipotiroid kongenital dapat disertai adanya prolonged physiological jaundice, poor feeding, lethargi,
hipotermia, konstipasi dan perkembangan yang terlambat.
Riwayat ibu atau keluarga dengan sakit yang sama. Jika ibu sakit tiroid ditanyakan juga riwayat
pengobatan selama hamil
At Birth : postmaturity, makrosomia, large head, open posterior fontanella, maturasi tulang terlambat
During early infancy : prolongen physiological jaundice, poor feeding, lethargy, somnolence, hypothermia,
constipasi, makroglossia, hoarse cry, umbilical hernia, dry, mottled skin, goitre
1. TSH , FT4
2. Ultrasonografi ginjal (USG) tiroid
3. Congenital Hipothyroid newborn screening: Bila kadar TSH tinggi > 40 U/ml dan T4 rendah, < 6 g/ml,
bayi diberi terapi tiroksin dan dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Bayi dengan kadar TSH diantara 25-50
U/ml, dilakukan pemeriksaan ulang 2-3 minggu kemudian.
5.
Kriteria Diagnosis
1. Gejala Klinis
2. FT4 rendah dan TSH yang tinggi
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Medikamentosa
Sodium L-Thyroxine, diberikan sedini mungkin.
Umur
0-3 bulan
10-15
3-6 bulan
8-10
6-12 bulan
6-8
1-5 tahun
5-6
2-12 tahun
4-5
> 12 tahun
2-3
9.
Edukasi
10. Prognosis
Semakin awal dideteksi dan mendapatkan terapi dengan kepatuhan yang baik maka prognosis akan lebih baik
IV
15. Kepustakaan
1. Fisher DA. Disorders of the Thyroid in the Newborn and Infant. In : Sperling MA, ed. Pediatric
Endocrinology. Philadelphia : Saunders, 2002 : 161-82.
21
HIPOTIROID KONGENITAL
2. Styne DM. Disorders of the Thyroid Gland. In: Core Handbooks in Pediatrics Pediatric Endocrinology.
Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2004 : 83-108.
3. Rossi WC, Caplin N, Alter CA. Thyroid Disorders in Children. In: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinology
The Requisites in Pediatrics. St Louis, Missouri: Elsevier Mosby, 2005 : 171-90.
4. Fort PF, Brown RS.Thyroid Disorders in Infancy. In : Lifshitz F, ed. Pediatric Endocrinology. New York :
Marcel Dekker, 1996 : 369-81.
5. Batubara Jose RL, Tridjaja B, Pulungan A. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Cetakan Pertama. UKK
Endokrinologi Anak dan Remaja IDAI 2010.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
22
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Kelainan bentuk genitalia eksterna/ fenotip yang jelas antara laki-laki atau perempuan
-
4.
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium: Serum elektrolit, kadar gula darah, 17-OH Progesteron, LH, FSH, DHEA, rasio
Testoteron/DHT, estradiol
2. USG/CT-scan/MRI
3. Karyotiping
4. Genitografi
5. Laparoskopi/Biopsi gonad
6. Pemeriksaan Psikologi/Psikiatri
5.
Kriteria Diagnosis
Pemeriksaan Karyotiping menunjukkan kelainan atau normal namun dengan tampilan fenotip
yang berbeda dengan hasil karyotiping
6.
Diagnosis
7.
Penyulit
1.
Krisis adrenal
2.
Depresi
3.
4.
Keganasan
8.
Terapi
Penentuan jenis kelamin (sex assessment), pola asuh seksual (sex rearing), pengobatan hormonal,
koreksi secara pembedahan, dan psikologis
23
Multi-disiplin ilmu meliputi: Ilmu Kesehatan Anak, Bedah Urologi, Bedah Plastik, Kandungan & Kebidanan,
Psikiatri, Genetika Klinik, Rehabilitasi Medik, Patologi Klinik, Patologi Anatomi, dan Bagian Hukum Rumah
Sakit/ Kedokteran Forensik
9.
Edukasi
3.
Potensi fertilitas
4.
5.
Fungsi endokrin
6.
7.
8.
9.
Aspek kultural
10. Prognosis
IV
a.
Nur Rochmah,dr,SpA
b.
c.
d.
15. Kepustakaan
1.
Madhusmita M, Lee MM. Intersex Disorder. Dalam: Moshang T, ed. Pediatric Endocrinologi. New
York: Elsevier Mosby, 2005; 103-122.
2.
Witchel SF, Lee PA. Ambiguous Genitalia. Dalam: Sperling MA, Eds. Pediatric Endocrinology. USA:
Saunders, 2002; 111-33.
3.
Hyun Grace, TF Kolon. Apractical approach to intersex in the newborn period. Pediatr Ur Clin of
Nort Am 2004; 31 (3): 435-43.
4.
Conte FA, Grumbach MM. Abnormalities of Sexual Determination & Differentiation. Dalam:
Greenspan FS, Gardner DG, eds. Basic & Clinical Endocrinology. New York: Lange Medical
Books/McGraw-Hill, 2001; 511-46.
5.
Zemel S, Slover RH. Disorders of Sexual Differentiation. Dalam: McDermot MT, ed. Endocrine
Secrets. Philadelphia: Hanley & Belfus, Inc, 2002; 325-33.
6.
Lee PA, Houk CP, Ahmed SF, Hughes IA. Consensus Statement on Management of Intersex
Disorders. Pediatrics 2006; 118:e488-500.
7.
Ono M, Harley VR. Disorders of sex development: new genes, new concepts. Nature Review
Endocrinology 2013; 9:79-91
Surabaya,
24
TURNER SYNDROME
1.
Pengertian (Definisi)
Kelainan genetik yang disebabkan delesi sebagian atau semua bagian dari seks kromosom X
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
Manifestasi klinis yang paling sering dijumpai adalah perawakan pendek dan pubertas terlambat (90%),
gejala lain dapat dilihat pada gambar :
Manifestasi klinis lain dapa tjuga dijumpai lymphedema, anomaly jantung, anomaly ginjal, proses
autoimun : hipo/hipertiroid, rheumatic
4.
PemeriksaanPenunjang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
pemeriksaan karyo typing 45,X ; 46,X,i(Xq) ; 46,X,r(X) ; 46,XXq2 ; 46,XXp2 ; 47,XXX ; 46,X,t(X;15)
7.
Diagnosis Banding
Sindroma Noonan
8.
Terapi
TERAPI MEDIKAMENTOSA
1.
2.
3.
Induksi pubertas dengan estrogen usia lebih kurang 13 tahun. Pengaturan siklus withdrawal bleeding
dengan estrogen dan progesteron
9.
Edukasi
1.
Konseling psikologis
2.
Pengaturan diet
3.
25
TURNER SYNDROME
10. Prognosis
1.
2.
3.
IV
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis
15. Kepustakaan
a.
Nur Rochmah,dr,SpA
b.
c.
d.
FT4, TSH, BUN, kreatinin. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 3 hari.
1. Nelly E Kirk, Fechner PY, Rosenfeld RG. Turner Syndrome. Dalam Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol2.
FimaLifshift,ed. New York. 2007: 305-19.
2. Saenger P. Turner Syndrome. Chapter 15. Dalam : Pediatric Endocrinology, Third Edition. Philadelphia.
2008.610-52.
Surabaya,
26
GRAVES DISEASE
1.
Pengertian (Definisi)
Kelainan imunogenetik yang memiliki karakteristik klinis yaitu tiromegali, hipertiroidism dan oph thalmopati
infiltrative
2.
Anamnesis
Sulit tidur, mudah lelah saat aktivitas, cemas, dada berdebar, peningkatan nafsu makan, kehilangan berat
badan, tidak tahan udara panas,peningkatan frekuensi buang air besar. Riwayat keluarga (+) pada 60% kasus
3.
PemeriksaanFisik
Struma difus, takikardi, wide pulse pressure, proptosis, tremor, keringatberlebih, kelemahanototproksimal
4.
PemeriksaanPenunjang
FT 4 , TSH, antibody tiroid (terutamaTSH receptor antibodies / TRAbs), ambil anyodium radioaktif
5.
Kriteria Diagnosis
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
Adenoma tiroid, , Toxic multinodular goiter, sindroma McCune Albright, tumor pituitari
8.
Terapi
ObatAntitiroid
Namaobat
Dosis/hari
Pemberian
Propiltiourasil
5-10 mg/kg
Dalam 3 dosis
Metimazol
0.25-1.0 mg/kg
Propanolol
0.5-2.0 mg/kg
Dalam 3 dosis
Yodiumradioaktif
Indikasi : pasien Graves relaps dengan pengobatan anti tiroid jangka lama
: pasien dengan penyakit tiro kardiak berat
: pasien dengan multi nodulartoksik
: pasien yang hipersensitif terhadap obatan titiroid
Pembedahan
Indikasi : struma yang sangat besar dan resisten terhadap radio aktif
: ibu hamil dengan struma nodular yang alergi obatan titiroid
: pasien yang alergi obatan titiroid dan tidak ingin diterapi dengan Yodium radioaktif
9.
Edukasi
10. Prognosis
IV
a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)
27
GRAVES DISEASE
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
1.
Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2.
Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brooks Clinical Pediatric
Endocrinology. 6th edition. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009;250-82.
3.
Dallas J, Foley T. Hyperthyroidism. Dalam: Lifshitz F, penyunting. Pediatric Endocrinology 5th edition
Volume 2Growth, Adrenal, Sexual, Thyroid, Calcium, and Fluid Balance Disorders. New York: Informa
Healthcare USA, Inc. 2007; 415-42.
Surabaya,
28
HASHIMOTOS TYROIDITIS
1. Pengertian (Definisi)
2. Anamnesis
Usia > 6 tahun, pembesaran kelenjar tiroid, rasa tekanan di leher / kesulitan menelan, anak pendek dan gemuk
(disbanding teman sebaya), tidak tahan dingin, konstipasi, prestasi sekolah terganggu.
3. Pemeriksaan Fisik
4. Pemeriksaan
Penunjang
Thyroid anti peroxidase antibodies (TPOAbs), Thyrotropin receptor-blocking antibodies (TRBAbs), FT 4 , TSH,
USG, skintigrafi, biopsy jarum halus bila antibody anti tiroid negatif
5. Kriteria Diagnosis
6. Diagnosis
7. Diagnosis Banding
8. Terapi
9. Edukasi
1.
2.
Dapat terjadi krisis tiroid yang menyebabkan kematian (gelisah, lekas marah, berkeringat banyak,
hiperaktivitas delirium, koma).
10. Prognosis
Prognosis baik bila terapi ade kuat. Konsekuensi paling berat adalah retardasi pertumbuhan
IV
a.
Nur Rochmah,dr,SpA
b.
c.
d.
15. Kepustakaan
1.
Susanto R, Julia M, Hakimi. Gangguan Kelenjar Tiroid. Dalam: Batubara J, Tridjaja B, Pulungan A,
penyunting. Buku Ajar Endokrinologi Anak. Edisi 1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI 2010; 205-47.
2.
Brown RS. The Thyroid. Dalam: Charles C, Clayton P, Brown R, penyunting. Brooks Clinical Pediatric
Endocrinology. Edisi 6. Boston: A John Wiley & Sons, Ltd., Publication 2009; 250-82.
3.
Fisher D, grueters A. Thyroid Disorders in Childhood and Adolescence. Dalam: Sperling M, penyunting.
Pediatric endocrinology, 3rd edition. Philadelphia: Elsevier Inc. 2008; 227-53.
Surabaya,
29
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
Perawakan pendek
4.
Pemeriksaan Penunjang
IGF-1
bone age
5.
Kriteria Diagnosis
IGF-1 rendah
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Hormon pertumbuhan
9.
Edukasi
10. Prognosis
Tergantung etiologi
IV
a. Nur Rochmah,dr,SpA
b. Muhammad Faizi, dr, SpA(K)
c. A Yuniari Heryana, dr, SpA
d. Netty Harjantien EP, dr, SpA(K)
Rosen bloom AL, Connor EL. Hypopituitarism and Other Disorders of the Growth Hormone Insulin Like
Growth Factor 1 Axis. In Pediatric Endocrinology 5th ed. Vol 2. Hal 65-90.
Surabaya,
30
DIARE BERKEPANJANGAN
1. Pengertian (Definisi)
Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare berkepanjangan adalah diare akut yang berlangsung lebih dari 7 hari
Diare kronik adalah diare dengan atau tanpa disertai darah yang berlangsung 14 hari bukan disebabkan oleh
infeksi
2. Anamnesis
Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
3. Pemeriksaan Fisik
4. Pemeriksaan
Penunjang
Analisa feses
Test malabsorbsi: clini test,floating test
Darah lengkap
Kultur feses, Kultur urine.Pemeriksaan serum elektrolit, pemeriksaan gas darah tidak rutin dilakukan.
5. Kriteria Diagnosis
Gejala Klinis
Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)
6. Diagnosis
Diare berkepanjangan
osis Banding
Apendisitis akut
Intussusepsi
Infeksi saluran kemih
Resusitasi cairan dan elektrolit bila ada gangguan sesuai derajat dehidrasi
Identifikasi Penyebab diare
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6 bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas
6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Penatalaksanaan sesuai penyebab
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
Pengelolaan diit yang rasional
9. Edukasi
31
DIARE BERKEPANJANGAN
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
IV
15. Kepustakaan
32
2. Anamnesis
3. Pemeriksaan Fisik
Diare adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam.
Diare akut: Diare yang berlangsung paling lama 14 hari. Diare berdarah adalah episode diare akut dengan darah
dalam tinja
Dehidrasi berat: dehidrasi >10% untuk bayi dan >9% untuk anak dan menunjukkan tanda gangguan alat vital tubuh
(somnolen, koma, Kussmaul, gangguan dinamik sirkulasi) dan memerlukan pemberian cairan-elektrolit parenteral.
Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah (adanya darah,
bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan gangguan
kesadaran
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
4. Pemeriksaan Penunjang
5. Kriteria Diagnosis
Gejala Klinis
Derajat dehidrasi
Komplikasi (apabila terjadi)
6. Diagnosis
7. Diagnosis Banding
Apendisitis akut
Intussusepsi
Infeksi saluran kemih
8. Terapi
Rehidrasi : beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat / Ringer Asetat (atau bila tidak tersedia, dapat diberikan NaCl
0.9%) yang dibagi sebagai berikut
Usia <12 bulan : 30 ml/kg dalam 1 jam dilanjutkan 70 ml/kg dalam 5 jam berikutnya
Usia 12 bulan : 30 ml/kg dalam 30 menit dilanjutkan 70 ml/kg dalam 2 jam berikutnya
Dapat diulang jika denyut nadi masih sangat lemah / tidak teraba
Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika status hidrasi belum membaik, beri tetesan intravena lebih cepat.
Juga beri oralit (5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum ; biasanya setelah 3-4jam (bayi) atau 1-2 jam
(anak).
Makanan tetap diberikan, ASI maupun formula diteruskan.
Zinc selama 10-14 hari dengan dosis 10mg/hari (untuk anak di bawah 6
bulan) dan 20mg/hari (untuk anak di atas 6 bulan).
Antibiotika diberikan pada kasus tertentu
Vitamin A 100.000 IU IM (untuk anak di atas 1 tahun); 50.000 IU (untuk anak di bawah 1 Tahun).
Probiotik : 1 kapsul/1 bungkus per hari.
Pengobatan problem penyerta (gangguan elektrolit, keseimbangan asam basa)
Obat-obat antidiare tidak dianjurkan.
33
Edukasi
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
IV
15. Kepustakaan
34
DIARE KRONIK
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
Diare Kronik adalah keluarnya tinja cair lebih dari tiga kali/24 jam dengan atau tanpa disertai darah yang
berlangsung 14 hari
-
Onset, frekuensi, kuantitas dan karakter diare (cair, adanya lendir dan atau darah) dan muntah
(adanya darah, bilious).
Panas
Kembung
Adanya dehidrasi : mata cowong, air mata kering, buang air kecil berkurang, sesak, kejang, dan
gangguan kesadaran
Adanya pemyakit penyerta lain
Riwayat penyakit dan pengobatan sebelumnya
Intake
Adanya intoleransi laktosa yang ditandai dengan diare cair, kembung, iritasi pada pantat
3.
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Kesadaran
Tanda vital
Derajat dehidrasi
Bising usus
Pemeriksaan anorectal
Extremitias (perfusi, capillary refill time)
Ada gagal tumbuh
Ada malnutrisi
Gejala lain yang menyertai
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
1.
2.
3.
6.
Diagnosis
Diare Kronik
7.
Diagnosis Banding
Apendisitis akut
Intussusepsi
Infeksi saluran kemih
8.
Terapi
9.
Edukasi
1.
2.
3.
Gejala Klinis
Derajat dehidrasi
Komplikasi : sepsis , malnutrisi, gangguan tumbuh kembang
35
DIARE KRONIK
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
IV
C
a.
b.
c.
d.
14.
Indikator Medis
Tidak dehidrasi
Diare berkurang
Tidak malnutrisi
Tidak gagal tumbuh
15.
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
36
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
4.
5.
Darah lengkap
Pemantauan pH esofagus
Endoskopi
Biopsi jaringan esofagus
Barium meal : mendeteksi kelainan anatomi saluran cerna atas
Kesadaran
Tanda vital
Anemia
Sesak (stridor, wheezing)
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
1.
2.
3.
4.
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
Akalasia
Gastroparesis
Gastroenteritis
Ulkus peptik
Esophagitis/gastroenteritis eosinofilik
Alergi makanan
Pankreatitis
Appendisitis
8.
Terapi
1. RGE fisiologis :
Yakinkan orangtua bahwa regurgitasi adalah fisiologis
ASI diteruskan
Jika frekuensi berlebih (>4 kali sehari) dan bayi sudah mendapat susu formula, dapat diberikan
thickening milk modifikasi
Posisi bayi setelah minum, terlentang dengan sudut 45-60 derajat antara pinggang dengan tempat tidur
Prokinetik (cisaprid) 0,2 mg/kg/kali, 3 kali sehari, bila tatalaksana di atas tidak memberikan respon
2. RGE patologis (terbukti penyakit RGE) :
H2 antagonis (ranitidin) 2 mg/kg/BB/hari, 2 kali sehari, atau
Proton pump inhibitor (PPI), omeprazole 1-2 mg/kgBB/hari, sekali sehari
Diberikan selama 1-2 bulan bergantungh respon klinis
Bedah dilakukan bila tidak respon terapi atau RGE yang mengancam jiwa
9.
Edukasi
1.
2.
3.
Anamnesa
Gejala Klinis
Endoskopi
Biopsi
Tanda-tanda kegawatan
Gangguan susunan saraf pusat
Tetap memberikan ASI
37
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
11.
Tingkat Evidens
IV
12.
Tingkat Rekomendasi
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
1.
2.
3.
a.
b.
c.
d.
4.
38
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Penyakit Hirschprung adalah penyakit yang ditandai dengan tidak adanya sel ganglion di dalam pleksus
mienterikus dan submukosa. Panjang segmen aganglionik bervariasi mulai dari segmen yang pendek yang
hanya mengenai daerah sfingter anal sampai daerah yang meliputi seluruh kolon bahkan usus kecil.
Pada bayi:
Pada anak:
-
Pemeriksaan rektal
4.
5.
Kriteria Diagnosis
1.
2.
3.
6.
Diagnosis
Penyakit Hirschprung
7.
Diagnosis Banding
Konstipasi idiopatik
8.
Terapi
1. Penanganan umum:
- Stabilisasi Penderita
- Antibiotik bila terjadi enterokolitis
- Evakuasi kolon dengan enema
2. Penanganan khusus:
- Kolostomi
- Dilanjutkan bedah definitif
9.
Edukasi
1.
2.
Gejala Klinis
Pemeriksaan radiologis
Komplikasi (apabila terjadi)
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
IV
a.
b.
c.
d.
39
PENYAKIT HIRSCHPRUNG
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
1.
2.
Imseis, E. And C.E. Gariepy (2004). Hirschprungs disease. Pediatric Gastrointestinal Disease. Walker.,
Goulet., Kleinman.et al.Ontario, BC Decker Inc.1 : 1031-1043
O;Neill.(2004).Hirscphrungs Disease, 2006, from www.APSA Resources for parents Hirschprungs Disease
Pt_1.htm.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
40
Pengertian (Definisi)
Perdarahan gastrointestinal dapat terjadi dimana saja pada traktus digestivus dari mulut sampai dengan anus.
Darah dapat terlihat pada tinja atau muntahan atau dapat saja perdarahan tersembunyi yang hanya dapat dilihat
dengan pemeriksaan laboratorium.
Perdarahan Gastrointestinal dibagi menjadi:
1. Perdarahan gastrointestinal atas ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna bagian proksimal dari
ligamentum Treitz
2. Perdarahan gastrointestinal bawah ialah perdarahan yang terjadi pada saluran cerna dibawah ligamentum
Treitz
2.
Anamnesis
Konfirmasi darah yang keluar benar- benar keluar dari traktus digestivus
Jumlah darah yang keluar dan karakteristiknya
Anak tampak sakit akut atau kronis
Apakah perdarahan masih berlangsung
Riwayat pemberian obat (antikoagulan, aspirin,dll)
Riwayat penyakit terdahulu (epitaksis, penyakit hati, perdarahan)
Riwayat muntah hebat kemudian disusul muntah darah
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
1.
2.
3.
Gejala Klinis
Derajat perdarahan
Komplikasi (apabila terjadi)
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
Hipertensi Portal
Tifus Abdominalis
Megakolon toksik
Tumor colon
NEC
8.
Terapi
1.
2.
3.
4.
9.
Edukasi
1.
2.
Resusitasi cairan
Kumbah lambung dengan menggunakan normal saline
Perdarahan dari pembuluh darah (varises, kelainan vaskuler) yang persisten:
Vasopresin 20 unit/1,73m2 selama 20 menit atau ocreotide 25-30 g/m2/jam, keduanya dapat
diberikan selama 24 jam apabila diperlukan
Skleroterapi
Tanda-tanda syok
Tanda-tanda perdarahan
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
IV
41
C
a.
b.
c.
d.
Tidak anemia
Perdarahan berhenti
15. Kepustakaan
1.
2.
42
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Anemia yang disebabkan karena kekurangan zat besi untuk sintesis hemoglobin.
kebutuhan besi meningkat (masa pertumbuhan yang cepat, menstruasi, infeksi kronis)
kekurangan besi yang diserap (pola makan dan jenis makanan yang dikonsumsi sehari-hari)
menderita perdarahan saluran cerna (tukak lambung, penyakit Crohn, colitis ulserativa)
gangguan pertumbuhan
Hemoglobin, Hematokrit dan Indeks Eritrosit (MCV, MCH, MCHC) menurun, RDW meningkat
kadar besi serum (SI) menurun dan TIBC meningkat, saturasi besi menurun
HbA 2 meningkat
Anemia sideroblastik
kadar feritin
1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian preparat besi (ferro sulphate/ferro fumarate/ferro gluconate) dosis 4-6 mg besi
elemental/kgBB/hari dibagi 3 dosis, diberikan di antara waktu makan. Preparat besi ini diberikan
sampai 2-3 bulan setelah kadar hemoglobin normal. Ascorbic acid 100 mg/15 mg besi elemental (untuk
meningkatkan absorbsi besi).
2. BEDAH
Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti perdarahan karena diverticulum Meckel.
3. SUPORTIF
Makanan gizi seimbang terutama yang mengandung kadar besi tinggi yang bersumber dari hewani
(limpa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-kacangan)
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
Ke sub bagian terkait dengan etiologi dan komplikasi (Gizi, Infeksi, Respirologi, Gastro-Hepatologi,
Kardiologi)
1.
Terapi
daya konsentrasi dan kemampuan belajar anak usia sekolah, konsultasi ahli psikologi
aktivitas motorik
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
2.
3.
43
4.
Maria C Shanty Larasati dr, SpA
Pemberian preparat besi selama 2-3 bulan dan respon pemberian preparat besi dievaluasi dengan peningkatan
kadar retikulosit setiap 2 minggu dan hemoglobin setiap 4 minggu.
1. Hilmann RS, Ault KA. Iron Deficiency Anemia. Hematology in Clinical Practice. A Guide to Diagnosis and
Management. New York; Mc Graw Hill, 1995: 72-85.
2. Lanzkowsky P. Iron Deficiency Anemia. Pediatric Hematology and Oncology. 2nd ed. New York; Churchill
Livingstone Inc, 1995: 35-50.
3. Nathan DG, Oski FA. Iron Deficiency Anemia. Hematology of Infancy and Childhood. 1st ed. Philadelphia;
Saunders, 1974: 103-25.
4. Recht M, Pearson HA. Iron Deficiency Anemia. In: Mc Millan JA, De Angelis CD, Feigin RD, Warshaw JB,
penyunting. Oskis Pediatrics: Principles and Practice. 3rd ed. Philadelphia; Lippincott William & Wilkins,
1999: 1447-8.
5. Anemia Defisiensi Besi. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 10-3.
6. Suplementasi Besi pada Bayi dan Anak. Dalam: Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2011: 1-6.
Surabaya,
44
THALASSEMIA
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
Suatu kelompok anemia hemolitik kongenital herediter yang diturunkan secara autosomal, disebabkan oleh
kekurangan sintesis rantai polipeptida yang menyusun molekul globin dalam hemoglobin.
pucat
perut membesar
anemia
gangguan pertumbuhan
darah tepi
Hb rendah dapat mencapai 2-3 g%
gambaran morfologi eritrosit
mikrositik hipokromik, sel target, anisositosis berat dengan
makroovalositosis, mikrosferosit, polikromasi, basophilic stippling, benda Howell-Jolly, poikilositosis dan
sel target. Gambaran ini lebih kurang khas.
Retikulosit meningkat
pemeriksaan khusus
HbF meningkat: 20-90% Hb total
Elektroforesis Hb: hemoglobinopati lain dan mengukur kadar HbF.
pemeriksaan pedigree: kedua orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (carrier) dengan HbA 2
meningkat (>3,5% dari Hb total).
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala: gambaran hair on end, korteks menipis, diploe melebar dengan trabekula tegak
lurus pada korteks
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang: perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
THALASSEMIA
anemia sideroblastik
pemeriksaan khusus
Elektroforesis Hb
pemeriksaan pedigree
pemeriksaan lain
foto Ro tulang kepala
foto tulang pipih dan ujung tulang panjang
1. MEDIKAMENTOSA
Pemberian iron chelating agent: diberikan setelah kadar feritin serum sudah mencapai 1000 g/l atau saturasi
transferin lebih 50% atau sekitar 10-20 kali transfusi darah.
Desferoxamine, dosis 25-50 mg/kgBB/hari subkutan melalui pompa infus dalam waktu 8-12 jam dengan minimal
selama 5 hari berturut-turut setiap selesai transfusi darah.
Deferiprone, dosis 50-75 mg/kgBB/hari, 3x/hari peroral, setiap hari.
Deferasirox, dosis 20-30 mg/kgBB/hari, 1x/hari peroral, setiap hari.
Vitamin C 100-250 mg/hari selama pemberian khelat besi, untuk meningkatkan efek kelasi besi.
Folic acid 2-5 mg/hari untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat.
Vitamin E 200-400 IU setiap hari sebagai antioksidan dapat memperpanjang umur sel darah merah.
2. BEDAH
Splenektomi dengan indikasi: Limpa yang terlalu besar, sehingga membatasi gerak penderita, menimbulkan
peningkatan tekanan intraabdominal dan bahaya ruptur. Hipersplenisme ditandai dengan peningkatan
kebutuhan transfusi darah atau kebutuhan suspensi eritrosit (Packed Red Cell/PRC) melebihi 250 ml/kgBB
dalam satu tahun.
3. SUPORTIF
Transfusi darah:
Diberikan pada Hb 8 g/dL sampai kadar Hb 10-11 g/dL. Dengan keadaan ini akan memberikan supresi
sumsum tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat mempertahankan pertumbuhan
dan perkembangan penderita. Pemberian darah dalam bentuk PRC 10 ml/kgBB/hari.
4. Lain-lain (rujukan sub spesialis, rujukan spesialisasi lainnya)
tumbuh kembang, kardiologi, gizi, endokrinologi, radiologi, gigi
1. Terapi
Pemeriksaan kadar feritin setiap 1-3 bulan, karena kecenderungan kelebihan besi sebagai akibat absorbsi
besi meningkat dan transfusi darah berulang.
Kepatuhan orang tua dalam memberikan obat.
Efek samping kelasi besi yang dipantau: demam, sakit perut, sakit kepala, gatal, sukar bernafas. Bila hal ini
terjadi kelasi besi dihentikan.
45
THALASSEMIA
2.
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Tumbuh kembang
Anemia kronis memberikan dampak pada proses tumbuh kembang, sehingga diperlukan perhatian dan
pemantauan tumbuh kembang penderita.
3. Gangguan jantung, hepar dan endokrin
Anemia kronis dan kelebihan zat besi dapat menimbulkan gangguan fungsi jantung (gagal jantung), hepar
(gagal hepar), gangguan endokrin (diabetes mellitus, hipoparatiroid) dan fraktur patologis.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2.
DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3.
Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4.
Maria C Shanty Larasati dr, SpA
Kadar hemoglobin dipertahankan rata-rata 9,5 g/dL
1. Brozovic M, Henthorn J. Investigation of abnormal hemoglobins and thalassemia. In; Dacie JV, Lewis
SM, eds. Practical Hematology. 8th ed. Churchill Livingstone Edinburgh, 1995: 249.
2. Cappellini N, Cohen A, Eleftheriou A, Piga A, Porter J. Guidelines for the Clinical Management of
Thalassemia. Thalassemia International Federation, April 2000.
3. Eleftheriou A. Clinical Management of Thalassemia. In: Compliance to Iron Chelation Therapy with
Desferrosamine. Thalassemia International Federation 2000: 14-6.
4. Miller DR, Baehner RL, Mc Millan CW, Miller LP. Blood Disease of Infancy and Childhood. 5th ed. St.
Louis; Mosby Co, 1997: 619.
5. Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood. 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000:
979.
6. Wahidiyat I, Thalassemia dan Permasalahannya di Indonesia. Naskah lengkap Kongres Nasional Ilmu
Kesehatan Anak (KONIKA) Jakarta, 1999: 293-6.
7. Talasemia. Dalam: Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 299-302.
Surabaya,
46
Pengertian
(Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Suatu keganasan primer organ pembuat darah, sehingga sumsum tulang sebagai pembuat darah didominasi
oleh sel klon maligna limfositik dan terjadi penyebaran sel-sel ganas tersebut melalui darah ke semua organ
tubuh.
pucat
sering demam
perdarahan
anoreksia
nyeri tulang
anemia dan tanda perdarahan: perdarahan kulit (ptekie, atraumatik ekimose), perdarahan gusi,
hematuria, perdarahan saluran cerna, dan perdarahan otak
leukemia sistem saraf pusat: nyeri kepala, muntah (tekanan intra kranial meningkat), perubahan
status mental, kelumpuhan saraf otak terutama saraf VI dan VII, kelainan neurologic fokal
pada hitung jenis terdapat limfositosis dan atau limfoblas. Jumlah limfoblas dapat mencapai 100%
pemeriksaan darah lengkap: lekosit bisa menurun, normal, atau meningkat atau hiperlekositosis
(>100.000/mm3). Trombositopenia, uji tourniquet positif dan waktu perdarahan memanjang.
retikulositopenia
kepastian diagnostik: pungsi sumsum tulang. Terdapat pendesakan eritropoiesis, trombopoesis, dan
granulopoesis. Sumsum tulang didominasi oleh limfoblas. Dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan
immunophenotyping.
Anemia aplastik
lumbal pungsi
1. Protokol pengobatan
Protokol pengobatan menurut UKK Hemato-Onkologi ada 2 macam yaitu:
a. Protokol middle dose Metothrexate (Jakarta 1994) lihat lampiran
b. Protokol Nasional LLA 2006 lihat lampiran
2. Pengobatan suportif
Terapi suportif misalnya transfusi komponen darah, pemberian antibiotika, nutrisi, dan psikososial
1. Terapi
Komplikasi terapi adalah alopesia, depresi sumsum tulang, agranulositosis. Sepsis merupakan
komplikasi selama pengobatan sitostatik.
Pada pemberian kortikosteroid dapat terjadi perubahan perilaku, misalnya marah dan nafsu makan
yang berlebihan.
2. Tumbuh kembang
Pasien secepatnya masuk sekolah. Dalam jangka lama perlu diobservasi fungsi hormonal dan tumbuh
kembang anak.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
Remisi komplit dicapai setelah pengobatan selama 108-118 minggu.
1.
Bagemann, Rastetter J. Atlas of Acute Leukemia. In: Clinical Hematology 3rd ed. Thieme, Stuttgart.
1986: 243-8.
47
Margolin JF, Robin KR, Steuber CP. Acute Lymphoblastic Leukemia in Principle and Practice of
Pediatric Oncology, 6th ed. Lipincott. 2011: 518-65.
Munker R and Sakhalkar V. Acute Lymphoblastic Leukemia in Modern Hematology, Biology and
Clinical Management, 2nd ed. Munker R, Hiller E, Glass J, Paqutte R edsd.en Press. 2007: 173-93.
Nathan DB, Oski FA. Hematology of Infancy and Childhood 2nd ed. Philadelphia: WB Saunders, 2000:
979.
Saha V and Chessells J. Childhood Lymphoblastic Leukemia in Evidence Based Pediatric Oncology,
2nd . Pinkerton Rshankar AG and Matthay K eds, Blackwell. 2007: 267-78.
Sandlund J, Harrison PL, Rivers G, Behm FG, Head D, Boyett J, Rubritz JE, et all. Persistence of
Lymphoblasts in Bone Marrow on Day 15 and Day 22 to 25 of Remission Induction Predicts a Dismal
Treatment Outcome in Children with Acute Lymphoblastic Leukemia. Blood, 2002: 100: 43-6.
Surabaya,
48
Pengertian
(Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Kelainan perdarahan pada anak usia 2-4 tahun, dengan insiden 4-8 kasus per 100.000 anak per tahun. Terjadi
akut, sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi pada usia <1 tahun atau >10 tahun, kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.
riwayat infeksi saluran nafas atas atau saluran cerna 1-3 minggu sebelumnya
riwayat perdarahan, gejala dan tipe perdarahan, lama perdarahan, riwayat sebelum perdarahan
riwayat ibu menderita HIV, riwayat keluarga yang menderita trombositopenia atau kelainan hematologi
manifestasi perdarahan, tipe perdarahan termasuk perdarahan retina, derajat berat perdarahan
infeksi
gambaran dismorfik yang diduga kelainan kongenital termasuk kelainan tulang, kehilangan
pendengaran
manifestasi perdarahan
trombositopenia
Anemia aplastik
Leukemia
Septikemia
Penyakit imunologik
I/II/III/IV
A/B/C
1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
PTI akut sembuh sendiri dalam 6 bulan dan jika PTI terjadi lebih dari 6 bulan akan menjadi kronis dan
dihubungkan dengan kelainan imunitas.
49
1.
2.
3.
4.
Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 202-3.
Lillyman JS. Disorders of Platellets. Thrombocytopenia and Thrombocytosis. Dalam: Lillyman JS,
Hann IM, penyunting. Paediatric Hematology. Edisi ke 1. Edinburgh: Churchill Livingstone; 1992: 12968.
Beardsky DS. Platelet Abnormalities in Infancy and Childhood. Edisi ke 4. Philadelphia: Saunders;
1993: 1561-604.
Grabowski EF, Corrigan JJ. Hemostasis: General Considerations. Dalam: Miller DR, Baehner RL,
Miller LP, penyunting. Blood Diseases of Infancy and Childhood. Edisi ke 7. St. Louis: Mosby; 1995:
849-923.
Surabaya,
50
HEMOFILIA
1.
Pengertian
(Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Penyakit kongenital herediter yang disebabkan karena gangguan sintesis faktor pembekuan darah.
Ada 3 jenis hemofilia:
Hemofilia A: defek faktor VIII
Hemofilia B: defek faktor IX
(prevalensi Hemofilia A:B=5-8:1)
Hemofilia C: defek faktor XI (jarang)
Klasifikasi derajat hemofilia berdasarkan kadar FVIII/FIX:
Ringan: 5-25% (5-25 U/dL)
Sedang: 1-5% (1-5 U/dL)
Berat: <1% (<1 U/dL)
riwayat perdarahan yang terjadi spontan atau paska trauma/operasi, seperti: perdarahan lewat tali pusat saat
lahir, perdarahan sendi karena jatuh saat belajar berjalan, riwayat timbul biru-biru bila terbentur
nyeri/bengkak pada sendi
riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan yang sama
Ada perdarahan yang dapat berupa:
hematom di kepala atau tungkai atas/bawah
hemarthrosis (sendi bengkak, hangat pada perabaan, nyeri dan gerak terbatas)
sering dijumpai perdarahan interstitial yang akan menyebabkan atrofi otot, pergerakan terganggu dan terjadi
kontraktur sendi. Sendi yang sering terkena adalah siku, lutut, pergelangan kaki, paha dan sendi bahu
perdarahan intrakranial, dapat ditemukan pucat, syok, sesak napas dan/atau penurunan kesadaran
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
APTT memanjang
PPT normal
Serum Prothrombin Time pendek
kadar fibrinogen normal
Retraksi bekuan baik
kadar Faktor VIII/IX
HEMOFILIA
Von Willebrands disease
Defisiensi Vitamin K
APTT
PPT
Serum Prothrombin Time
Kadar fibrinogen
Retraksi bekuan
kadar Faktor VIII/IX
Hemofilia A
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian
diikuti pemberian FVIII hingga mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk
mencegah reaksi transfusi hemolitik. Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FVIII
Hemofilia B
1. Darah segar
Darah segar diberikan bila terjadi perdarahan yang mencapai 20-40% kemudian diikuti pemberian FIX hingga
mencapai kadar hemostatik
2. Plasma segar beku
Pemberiannya harus disesuaikan dengan golongan darah dan faktor rhesus untuk mencegah reaksi transfusi
hemolitik.
Dosis 10-15 ml/kgBB dengan interval 8-12 jam.
3. Kriopresipitat
4. Konsentrat FIX
Pedoman dosis Anti Hemophilic Factor
Indikasi
FVIII (IU/kg) FIX (IU/kg) Durasi (hari)
Epistaksis
10-15
20-30
1-2
Perdarahan oral
10-15
20-30
1-2
mukosa
Hemarthrosis
15-25
30-50
1-2
Hematoma
15-25
30-50
1-2
Hematuria persisten 15-25
30-50
1-2
Perdarahan GI
15-25
30-50
1-2 hari
setelah perdarahan stop
Perdarahan
15-25
30-50
min.3 hari
51
HEMOFILIA
retroperitoneal
Trauma tanpa
perdarahan
Perdarahan lidah/
retrofaring
Trauma dengan
perdarahan,bedah
Perdarahan
intrakranial
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
20-25
40-50
2-3
20-25
40-50
3-4
50
100
10-14
50
100
10-14
1.
2.
3.
Menghindari trauma
RICE (Rest, Ice, Compression, Elevation)
Pemantauan efek samping terapi
Pemeriksaan fungsi hati setiap 6 bulan
4. Tumbuh kembang
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi bila terdapat komplikasi kontraktur sendi. Hal ini dapat
dicegah dengan penanganan secara komprehensif.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1. Prof. Bambang Permono dr, SpAK
2. DR. IDG Ugrasena dr, SpAK
3. Mia Ratwita Andarsini dr, SpAK
4. Maria C Shanty Larasati dr, SpA
Keluhan klinis berkurang (tidak didapatkan bengkak dan perdarahan) setelah pemberian AHF
1. Higartner MW, Corrigan JJ. Coagulation disorders. Dalam: Miller DR, Baehner RL, Miller LP,
penyunting Blood diseases of infancy and childhood; edisi ke 7. St. Louis Mosby; 1995: 924-86.
2. Lanzkowsky P. Manual of Pediatric Hematology and Oncology. Edisi ke 2. New York: Churchill
Livingstone; 1995: 254-62.
3. Montgomery RR, Gill JC, Scott JP. Hereditary Clotting Factor Deficiencies (Bleeding Disorders).
Dalam: Nelson WE, Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM, penyunting Nelson Text Book of Pediatric;
edisi ke 16. Philadelphia: WB Saunders Co.2000: 1508-11.
4. Rickard KA. Guidelines for therapy and optimal dosages of coagulation factors for treatment of
bleeding and surgery in haemophilia. Haemophilia; 1995 (suppl 1): 8-13.
Surabaya,
52
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
4.
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Perdarahan akibat gangguan proses koagulasi yang disebabkan oleh kekurangan vitamin K atau dikenal dengan
Vitamin K Deficiency Bleeding (VKDB)
onset perdarahan
lokasi perdarahan
ada perdarahan di saluran cerna, umbilikus, hidung, bekas sirkumsisi dan lain sebagainya
APPT memanjang
PTT memanjang
waktu pembekuan
APPT
PTT
Thrombin Time
53
ANEMIA APLASTIK
1.
Pengertian
(Definisi)
Suatu kelainan yang ditandai oleh pansitopenia pada darah tepi dan penurunan selularitas sumsum tulang.
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
8.
Pemeriksaan
Penunjang
Terapi
9.
Edukasi
tanda-tanda infeksi
perdarahan
Gejala klinis bervariasi, dapat berupa:
anemia
febris
perdarahan
hepatosplenomegali dan limfadenopati tidak lazim ditemukan pada anemia aplastik
riwayat penyakit dan pemeriksaan fisik
darah tepi
granulosit <500/mm3
trombosit <20.000/mm3
retikulosit <1.0%
sumsum tulang
hiposeluler <25%
ANEMIA APLASTIK
Leukemia akut
Diskeratosis kongenital
pemeriksaan rektal
Prednison 2 mg/kgBB/24 jam dibagi 3 dosis, untuk mengurangi fragilitas pembuluh kapiler,
diberikan selama 4-6 minggu
Siklosporin
virilisme, hirsutisme, akne hebat, perubahan suara (reversible sebagian bila obat dihentikan)
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
3.
4.
54
ANEMIA APLASTIK
14. Indikator Medis
Klinis membaik dan didapatkan parameter hematologi: granulosit >500/mm3, trombosit >20.000/mm3, retikulosit
<1.0%
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
Epstein FH. The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. N Eng. J. Med 1997, 336: 1365-72.
Young NS. Bone Marrow Aplasia: The Pathophysiology of Acquired Aplastic Anemia. Education
Programme of The 26th Congress of The International Society of Hematology, Singapore: ISH, 1996.
Young NS. Pathogenesis and Pathophysiology of Aplastic Anemia. Dalam: Hoffman R, Benz EJ, Shattil SJ
dkk. Penyunting. Hematology: Basic Principles and Practice, edisi ke 2. New York: Churchill Livingstone,
1995: 299-325.
Surabaya,
55
HIPERLEUKOSITOSIS
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Target produksi urin 100 ml/m2/jam dan berat jenis urin <1.010
Dapat diberikan Furosemid 0,5-1 mg/kgBB/kali atau Mannitol 25% 0,5 g/kgBB selama 5-10
menit jika pasien mengalami oligouria, dapat diulang setiap 6 jam bila perlu
Tunda transfusi suspensi darah merah (PRC) karena dapat meningkatkan viskositas darah, terutama jika
lekosit > 300.0000/mm3
Monitor
a. elektrolit : Na, K, Ca, P, ureum, kreatinin
b. darah lengkap
c. urin output, pH, berat jenis urin setiap 6 jam
d. tanda-tanda vital: respirasi, jantung dan susunan saraf pusat terutama bila terdapat
hiperkalemia atau hipokalsemia
Kemungkinan terjadi komplikasi : sindroma lisis tumor, lekostasis, perdarahan, trombosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
2.
3.
4.
56
HIPERLEUKOSITOSIS
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
57
Pengertian
(Definisi)
Keganasan primer jaringan limfoid yang bersifat padat yang pada dasarnya merupakan keganasan sel limfosit.
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
pembesaran perut
pembesaran kelenjar
sesak napas
nyeri
kesulitan menelan
massa intraabdominal dan intratorakal (massa mediastinum) sering disertai efusi pleura
nyeri, disfagi, sesak napas, pembengkakan daerah leher, muka, dan sekitar leher
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG
abdomen, scanning tulang
LIMFOMA NON HODGKIN
Neuroblastoma
pemeriksaan darah lengkap, fungsi hati, fungsi ginjal, cairan serebrospinal, asam urat, LDH, USG
abdomen, scanning tulang
Kemoterapi dengan protocol COMP
Fase induksi
Prednison 60 mg/m2 po (hari ke 3 sampai 30 kemudian diturunkan bertahap sampai hari ke 40)
Fase rumatan
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Patte C. Non Hodgkins Lymphoma. Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting. Paediatric
Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 278-95.
Oberlin O, Mc Dowell HP. Hodgkins Disease. . Dalam Pinkerton CR and Plowman PN penyunting.
Paediatric Oncology. Edisi ke 2. London; Chapman and Hall Medical; 1997: 296-319.
Hudson MM, Donaldson SS. Dalam Poplack DG, Pizzo PZ penyunting. Principles and Practice of
Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Philadelphia; Lippincott Williams and Wilkins; 2002: 661-705.
58
5.
59
TUMOR WILMS
1.
Pengertian
(Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Tumor ganas embrional ginjal yang berasal dari metanefros. Nama lain tumor ini adalah nefroblastoma atau
embrioma renal.
LDH, VMA
Neuroblastoma
Limfoma
LDH, VMA
Breslow N, Olsham A, Beckwith JB, Green DM. Epidemiology of Wilms Tumor. MPO, 1993; 21: 17281.
De Camargo B, Weitzman S. Nephroblastoma. Dalam: Voute PA, Kalifa C, Barret A, penyunting.
Cancer in children: clinical management. Edisi ke 4. New York: Oxford; 1998: 259-73.
Lanzkowsky P. Wilms tumor. Dalam: Manual of pediatric hematology and oncology. Edisi ke 2. New
York: Churchill Livingstone; 1995: 437-51.
Madden SL, Cook DM, Morris JF, Gashler A, Sukhatme VP, Rauscher FJ. Transcriptional repression
mediated by the WT1 Wilms tumor gene product. Science, 1991; 253: 1550-3.
60
TUMOR WILMS
5.
Schwartz CE, Haber DE, Stanton VP, Strong LC, Skolnick MH, Housman DE. Familial predisposition
to Wilms tumor does not segregate with the WT1 gene. Genomics, 1991; 10: 927-30.
Surabaya,
61
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
4.
5.
Diagnosis
Diagnosis Banding
6.
PemeriksaanPenunjang
7.
Terapi
Kolestasis adalah gangguan pembentukan, sekresi dan pengaliran empedu mulai dari hepatosit, saluran
empedu intrasel, ekstrasel dan ekstra-hepatal. Hal ini dapat menyebabkan perubahan indikator biokimia,
fisiologis, morfologis, dan klinis karena terjadi retensi bahan-bahan larut dalam empedu. Dikatakan kolestasis
apabila kadar bilirubin direk melebihi 2.0 mg/dl atau 20% dari bilirubin total.
Riwayat kehamilan dan kelahiran: infeksi ibu pada saat hamil atau melahirkan, berat lahir, lingkar kepala,
pertumbuhan janin (kolestasis intrahepatik umumnya berat lahirnya < 3000 g dan pertumbuhan janin
terganggu)
Riwayat keluarga: riwayat kuning, tumor hati, hepatitis B, hepatitis C, hemokro-matosis, perkawinan antar
keluarga.
Resiko hepatitis virus B/C (transfusi darah, operasi, dll) paparan terhadap toksin/obat-obat
1. Pertumbuhan (berat badan, lingkar kepala)
2. Kulit: ikterus, spider angiomata, eritema palmaris, edema
3. Abdomen:
a. Liver : pembesaran/ukuran, konsistensi, permukaan.
b. Splenomegali.
c. Vena kolateral, asites.
4.
Mata: ikterik
5. Lain-lain: jari tabuh, asteriksis, foetor hepaticus
Kolestasispadabayi
Anatomi
: atresia bilier, kista koledokal, hipoplasia bilier
Infeksi
: toksoplasma, rubella, sitomegalovirus, simplek herpes, sipilis
Metabolik
: galaktosemi, tirosinemi
Endokrin
: hipotiroit, hipokortisol
Genetik
: sindrom Alagille, PFIC
Lain-lain
: infeksi bakteri
1. Gambaran darah tepi
2. Biokimia darah
ALT(SGPT), AST(SGOT)
Masa protrombin
Albumin, globulin
Kolesterol, trigliserida
Ureum, kreatinin
Asam empedu
3.Urin: rutin (leukosit urin, bilirubin, urobilinogen, reduksi) dan kultur urin
4.DAT(aspirasi cairan duodenum)
5.Pemeriksaan etiologi: TORCH (toksoplasma, rubella, CMV, herpes simpleks), hepatitis virus B, C,
skrining sederhana penyakit metabolik (gula darah, trigliserida).
6.Pencitraan:
T scan, MRI
kintigrafi
7. Kolangiografi intraoperatif untuk kasus kolestasis ekstrahepatik
8. Biopsi hati
A.Terapi operasi Kasai Porto-Hepatic-Enterostomy untuk kolestasis ekstrahepatik
B. Terapi medikamentosa untuk kolestasis intrahepatik yang diketahui penyebabnya
C. Terapi suportif
1. Asam ursodeoksikolat 10-20 mg/kg dalam 2-3 dosis
2. Kebutuhan kalori mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal dan mengandung lemak rantai sedang
(Medium chain trigliseride-MCT), misalnya panenteral, progrestimil
3. Vitamin yang larut dalam lemak
- A 5000-25.000 IU
- D: calcitriol 0,05-0,2 ug/kg/hari
- E 25-200 IU/kk/hari
- K1 2,5-5 mg: 2-7 x/ minggu
4. Mineral dan trace element : Ca, P, Mn, Zn, Se,Fe
5. Terapi komplikasi lain: misalnya hiperlipidemia/xantelasma: Obat HMG-coA reductase inhibitor
contohnya kolestipol, simvastatin
6. Pruritus:
- Atihistamin: difenhidramin 5-10 mg/kg/hati, hidroksisin 2-5 mg/kg/hati
- Rifampisin 10 mg/kg/hari
- Kolestiramin 0,25-0,5g/kg/hari
62
Pemantauan
9.
Edukasi
10.
11.
12.
13.
Prognosis
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
A. Terapi
Dilihat progresifitas kondisi klinis seperti ikterus (berkurang, tetap, semakin kuning), besarnya hati, limpa,
asites, vena kolateral. Kadar bilirubin direk dan indirek, ALT, AST, GGT, albumin, tes koagulasi dan
pencitraan.
B. Tumbuh Kembang
Pertumbuhan pasien dengan kolestasis intrahepatik menunjukkan perlambatan sejak awal. Pada pasien
dengan kolestasis ekstrahepatik umumnya bertumbuh dengan baik pada awalnya tetapi kemudian akan
mengalami gangguan pertumbuhan sesuai dengan perkembangan penyakit. Pasien dengan kolestasis
perlu dipantau pertumbuhannya dengan membuat kurva pertumbuhan berat badan dan tinggi badan
bayi/anak.
Penjelasan terutama pada perjalanan penyakit yg lama, dan prognosis yang kurang baik
Untukkolestasis extra hepatic survival setelahoperasi Kasai 20%, sedang untuk intra hepatic sekitar 60%
IV
C
Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)
Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
1. Kamath BM, Munoz PS, Bab N, Baker A, Chen Z, Spinner NB, et al. A longitudinal study to identify
laboratory predictors of liver disease outcome in Alagille syndrome. J Pediatr Gastroenterol Nutr
2010;50(5):526-30.
2. Santos JL, Choquette M, Bezerra JA. Cholestatic liver disease in children. Curr Gastroenterol Rep
2010;12(1):30-9.
3. Liu X, Invernizzi P, Lu Y, Kosoy R, Bianchi I, Podda M, et al. Genome-wide meta-analyses identify three loci
associated with primary biliary cirrhosis. Nat Genet 2010;42(8):658-60.
4. Davit-Spraul A, Gonzales E, Baussan C, Jacquemin E. Progressive familial intrahepatic cholestasis.
Orphanet J Rare Dis 2009;4:1.
5. Tamura S, Sugawara Y, Kaneko J, Togashi J, Matsui Y, Yamashiki N, et al. Recurrence of cholestatic liver
disease after living donor liver transplantation. World J Gastroenterol 2008;14(33):5105-9.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
63
HEPATITIS AKUT
1.
Pengertian (Definisi)
Hepatitis adalah suatu keadaan inflamasi dan atau nekrosis hati.Hepatitis A merupakan penyebab terbanyak
hepatitis virus tetapi tidak menimbulkan kronisitas. Hepatitis B dan C karena bisa menjadi kronis akan
dibicarakan dalam bab tersendiri. Penyebab non virus kurang sering dijumpai tetapi perlu dipikirkan sebagai
diagnosis banding.
2.
Anamnesis
Gejala non spesifik (prodromal) yaitu anoreksia, mual, muntah dan demam. Dalam beberapa hari - minggu
timbul ikterus, tinja pucat dan urin yang berwarna gelap. Saat ini, gejala prodromal berkurang. Perlu ditanyakan
riwayat kontak dengan penderita hepatitis sebelumnya dan riwayat pemakaian obat-obat hepatotoksik.
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
5.
Diagnosis
Diagnosis Banding
6.
Pemeriksaan
Penunjang
7.
Terapi
8.
Pemantauan
9.
10.
11.
12.
Edukasi
Prognosis
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Carotenemi
Hemolytic-uremic syndrome
Reye syndrome
Batu empedu
Wilsons disease, Cystic fibrosis, Systemic Lupus Erythremotasus (SLE). Keracunan obat seperti
acetaminofean,asam valproat, kombinasi obat anti tuberkulosa.
1. Darah tepi: dapat ditemukan pansitopenia: infeksi virus, eosinofilia: infestasi cacing, leukositosis: infeksi
bakteri.
2. Urin: bilirubin urin
3. Biokimia:
a. Serum bilirubin direk dan indirek
b. ALT(SGPT) dan AST (SGOT)
c. Albumin, globulin
d. Glukosa darah
e. Koagulasi: faal hemostasis terutama waktu protrombin
4. Petanda serologis:
a. IgM antiHAV, HbsAg, IgM anti HBc, Anti HDV, Anti HCV, IgM Leptospira, kultur urin untuk
leptospira, kultur darah-empedu (Gal)
5. USG hati dan saluran empedu: Apakah terdapat kista duktus koledokus, batu saluran empedu,
kolesistitis; parenkim hati, besar limpa.
a. Terapi suportif: pembatasan aktivitas, pemberian makanan terutama harus cukup kalori. Hindari obat
hepatotoksik seperti parasetamol, INH, Rifampisin.
b. Medikamentosa:
Ursedeoksikolikasid (UDCA)
Obat anti virus: interferon, lamivudin, ribavirin.
Prednison khusus untuk VHA bentuk kolestatik.
Kolestasis berkepanjangan diberi vitamin larut dalam lemak dan terapi simptomatis untuk
menghilangkan rasa gatal yaitu kolestiramin.
Hepatitis fulminan dirawat intensif.
Konsultasi kepada ahli gastrohepatologi diperlukan bila
Kesadaran menurun, terdapat gejala perdarahan, ALT dan AST lebih dari 1000 iu/l, serum bilirubin
lebih dari 10 mg/dl, pemanjangan waktu protrombin lebih dari 3 detik dari nilai normal.
Laboratorium:
Bilirubin direk, indirek, ALT dan AST, glukosa, albumin, PT diulang tiap 3-7 hari tergantung
perkembangan penyakit.
Tentang perjalanan penyakit serta kemungkinan menjadi
kronis pada infeksi HBV dan HCV
Pada umumnya baik, angka kematian kurang dari 2%
IV
C
64
HEPATITIS AKUT
3. Rapti IN, Hadziyannis SJ. Treatment of special populations with chronic hepatitis B infection. Expert Rev
Gastroenterol Hepatol 2011;5(3):323-39.
4. Selimoglu MA, Ertekin V, Karabiber H, Turgut A, Gursan N. Treatment results of chronic hepatitis B in
children: a retrospective study. Turk J Pediatr 2010;52(4):360-6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
65
Pengertian (Definisi)
Asites adalah peningkatan jumlah cairan intra peritoneal. Penyebab asites terbanyak adalah gangguan hati
kronis tetapi dapat pula disebabkan penyakit lain.
2.
Patogenesis
Penurunantekananosmotikkoloid:
Penyakit hati stadium lanjut dengan gangguan sintesis protein, sindrom nefrotik, malnutrisi, proteinlossing enteropathy
Peningkatanpermeabilitaskapiler peritoneal:
Peritonitis TB, peritonitis bakteri, penyakit keganasan pada peritonium
Micellanous:
Myxedema, ovarian disease (Meigs' syndrome), chronic hemodialysis
3.
Gejala Klinis
Distensi abdomen
Bulging flanks
Fluid wave
Shifting dulness
Puddle sign
Foto thorax dan foto polos abdomen (BOF)
Elevasi diaphragma, pada 80% pasien dengan asites, tepi lateral hepar terdorong ke sisi medial
dinding abdomen (Hellmer sign). Terdapat akumulasi cairan dalam rongga rectovesical dan menyebar
pada fossa paravesikal, menghasilkan densitas yang sama pada kedua sisi kandung kemih.
Gambaran ini disebut dogs ear atau "Mickey Mouse" appearance. Caecum dan colon ascenden
tampak terletak lebih ke medial dan properitoneal fat line terdorong lebih ke lateral merupakan
gambaran yang tampak pada lebih dari 90% pasien dengan asites.
Ultrasonografi
Dapat membedakan penyebab asites oleh karena infeksi, inflamasi atau keganasan.
CT scan
4. Pemeriksaan Fisik
5. Pemeriksaan
Penunjang
6. Kriteria Diagnosis
7. Diagnosis
8. Diagnosis Banding
Asites minimal dapat diketahui dengan jelas pada pemeriksaan CT scan. Cairan asites dalam jumlah
sedikit akan terkumpul di ruang perihepatik sebelah kanan. Ruang subhepatic bagian posterior
(kantung Morison), dan kantung Douglas.
Parasentesis abdomen
Analisiscairanasitesdilakukanpada onset awalasites,
tindakantersebutmemerlukanrawatinapuntukobservasi.
Analisiscairanasites
1. Perbedaan kadar albumin serum-asites (SAAG)
2. Kadar amilase, meningkat pada asites gangguan pankreas.
3. Kadar trigliserida meningkat pada chylous asites.
4. Lekosit lebih dari 350/mikroliter merupakan tanda infeksi. Dominasi polimorfonuklear, kemungkinan
infeksi bakteri. Dominasi mononuklear, kemungkinan infeksi tuberkulosis atau jamur.
5. Eritrosit lebih dari 50.000/mikroliter menimbulkan dugaan malignancy, tuberkulosis atau trauma.
6. Pengecatan gram dan pembiakan untuk konfirmasi infeksi bakterial.
7. Apabila pH < 7: tanda suatu infeksi bakterial.
8. Pemeriksaan sitologis pada keganasan
SAAG (perbedaan kadar albumin serum kadar albumin asites)berhubungan langsung dengan tekanan portal:
bila lebih besar atau sebesar 1.1 g/dl, hipertensi portal (transudative ascites); SAAG kurang dari 1.1 g/dl bukan
hipertensi portal (exudative ascites).
1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
Komplikasi (apabilaterjadi)
Ascites
Tipe asites sesuai dengan SAAG
66
9. Terapi
10.Monitoring
11.Diet
12. Edukasi
13. Prognosis
14. Tingkat Evidens
15. Tingkat Rekomendasi
16. Penelaah Kritis
17. Indikator Medis
18. Kepustakaan
67
Pengertian (Definisi)
Gagal hati fulminan adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh nekrosis sel hati yang luas, diikuti
kegagalan fungsi hati secara mendadak, yang ditandai dengan ensefalopati yang timbul dalam waktu kurang
dari 8 minggu setelah gejala pertama penyakit hati.
2.
Patofisiologi
Berdasar interval waktu antara timbulnya ikterus dan ensefalopati, gagal hati dibagi menjadi 3 kategori : hiper
akut, akut, dan sub akut.
KlasifikasiGagalHatiAkut
Hiper-akut
3.
PemeriksaanFisik
Interval
jaundiceEnsefalopati
Edema
Otak
Prognosis
<7 hari
Sering
Sedang
Penyebab
Virus A,B
Acetaminophen
Non-A/B/C;obat
Non-A/B/C;obat
Akut
8-28 hari
Sering
Jelek
Sub-akut
29 hari - 12 mg
Sering
Jelek
Gejala klinis sangat bervariasi, merupakan gabungan antara gejala kelainan hati dan ensefalopati, mulai yang
ringan sampai koma. Pada bayi perjalanan penyakit progresif dan bayi meninggal sebelum ikterus tampak.
Gejala hepatitis : lemah, panas, anoreksia, muntah, nyeri perut, ikterus, kencing keruh, tinja akolis.
Gejala neurologi : gangguan tingkah laku, pusing, sakit kepala, perubahan irama tidur, gangguan koordinasi
dengan flapping tremor, refleks tendon yang meningkat, dan refleks Babinsky positif, hingga fase akhir terjadi
hipotoni dan refleks-refleks menghilang.
Gradasi koma hepatikum yang terjadi adalah sebagai berikut:
Gradasi
0
Sub-klinis
1
Tingkat
kesadaran
Normal
Normal
Gangguan pola
tidur
Gelisah
4.
PemeriksaanPenunjan
g
Lupa
Tanda
Neurologi
Tidakada
Gangguantesps
ikometrik
Tremor
Bingung
Apraksia
Agitasi
Inkordinasi
Iritabel
Tidakbisamenul
is
Asteriksis
Disarthria
Ataksia
Refleks
hipoaktif
Normal
Normal
Confusion
Disorientasi
waktu
Hilang
hambatan
Kelakuan tak
terkontrol
Disorientasitem
pat
Agresif
Koma
Tidakada
Lethargy
Respons
lambat
Kejiwaan
Somnolence
Asteriksis
Kekakuan otot
Tanda
Babinsky
Refleks
hiperaktif
Deserebrasi
Gangguan
EEG
Tidakada
Tidakada
Gelombang
tigafase
(5 Hz)
Gelombang
tigafase
(5 Hz)
Gelombang
tigafase
(5 Hz)
Aktifitasgelo
mbang
Delta/
lambat
Pemeriksaanlaboratorium
a. Serum transaminase : meningkat 70 100 kali
b. Bilirubin direk dan total : bilirubin > 4 mg/dl menunjukkan prognosis buruk
c. Alkali fosfatase : normal atau meningkat
d. Faal hemostasis : memanjang
e. Albumin serum :faseawal normal danmenurunpadafaselanjut. Kadar albumin rendahmenunjukkan
prognosis buruk
f.
Hipoglikemia, khususnyapadabayi
68
5. Kriteria Diagnosis
6. Diagnosis
7. Terapi
8. Pemantauan
9. Edukasi
10. Prognosis
Pemeriksaaanpenunjang lain
a. EEG
b. USG hati (Doppler)
c. CT scan atau MRI abdomen.
d. CT scan kepala
e. Biopsihati
1. GejalaKlinis
2. Derajatdehidrasi
3. Komplikasi (apabilaterjadi)
Gagal Hati Fulminan
Tujuan pengobatan adalah mempertahankan fungsi otak, ginjal, pernafasan sampai terjadi regenerasi hati serta
mencegah terjadi komplikasi, dengan pengawasan yang intensif dan berkesinambungan, meliputi :
a. Mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pemberiancairanintravena.
Vitamin K
Plasma segarbeku
Faktor pembekuan diberikan bila waktu protrombin memanjang lebih dari 10 detik
Antasiddanantagonisreseptor H 2 20 mg/kgBB/hari
Bilaterjadiperdarahandiberikandarahsegar
d. Pengobatanterhadapensefalopati
Kortikosteroitmasihkontroversi
Intubasiendotrakhealdanventilasimekanikbilaterjadigagalnafas
AsidosisdiberiNatriumBicarbonatkarenadapatmemperbaikikesadarandanmeningkatkanalirandara
hdanoksigenkeotak
j.
Usaha untukmenunjangfungsihati
Dialisis
peritoneal
padapenyakitWilsonuntukmembuangtembagadenganmenambah
Dpenicillaminekedalamdialysate
Transplantasihati
Tekanan darah, nadi, suhu tubuh, produksi urine dan jika memungkinkan dengan tekanan vena sentral.
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan fungsi hati, serum elektrolit, albumin, analisa gas
darah dan urine lengkap
Mortalitas pada anak-anak sebesar 80-90% disebabkan edema serebri, sepsis, dan kerusakan multi organ.
69
Angka keberhasilan hidup adalah sebesar 10-20%. Dipengaruhi oleh derajat koma, macam pengobatan, umur
penderita, dan tergantung pada kemampuan regenerasi hati serta komplikasi yang terjadi
IV
C
Dr.Sjamsul Arief, MARS SpA(K)
Dr.Bagus Setyoboedi, SpA(K)
Penderita akan dirawat selama 14 hari
a.
b.
c.
d.
e.
Narkewicz MR, Olio DD, Karpen SJ, et al: Pattern of diagnostic evaluation for the causes of pediatric
acuteliver failure: an opportunity for quality improvement. J Pediatr 2009; 155:801-806.
Suchy FJ,Fulminant Hepatic Failure. In: Kliegman RM, Behrman RE, Stanton BF, editors. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:4999-5008.
Bravo LC, Gregorio GV, Shafi F, Bock HL, Boudville I, Liu Y, et al. Etiology, Icidence And Outcomes of
Acute Hepatic Failure in 0-18 Year Old Filipino Children. SoutheaSt aSian J trop Med public health
2012;43(3):764-72.
Ranganathan SS, Sathiadas MG, Sumanasena S, Fernandopulle M, Lamabadusuriya SP,
Fernandopulle BMR. Fulminant Hepatic Failure and Paracetamol Overuse with Therapeutic Intent in
Febrile Children Indian J Pediatr 2006;73(10):871-5.
ZTRK Y, Berkta S, SOYLU B, KARADEM S, ASTARCIOLU H, ARSLAN N, et al. Fulminant
hepatic failure and serum phosphorus levels in children from the western part of Turkey. Turk J
Gastroenterol 2010;21(3):270-4.
Surabaya,
70
HIPERTENSI PORTAL
1.
Pengertian (Definisi)
Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan aliran darah portal diatas 10-12 mmHg yang menetap,
dimana tekanan dalam keadaan normal berkisar 4 8 mmHg.
Hipertensi portal juga didefinisikan sebagai sekumpulan gejala yang terjadi karena peningkatan
tekanan vena portal yang kronis. Merupakan salah satu penyebab morbiditas dan mortalitas pada
anak dengan penyakit hati.
2.
Anamnesis
- Riwayat kuning
- Riwayat transfusi (penularan hepatitis B dan C)
- Riwayat penyakit hati dalam keluarga (hemochromatosis, Wilson disease)
3.
PemeriksaanFisik
4.
PemeriksaanPenunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
Pengukuranberatbadan
Kesadaran
Tanda vital
Hematemesis
Melena
Ensefalopati akibat fungsi hati yang buruk
Asites
Hepatomegali
Splenomegali
Pelebaran vena dinding perut dan caput medusa
Ikterus
Laboratorium:darah lengkap, tes fungsi hati, faal hemostasis, albumin, serologi hepatitis, defisiensi
alfa-1 antitripsin
- Radiologi: foto polos abdomen, USG Doppler, CT scan, MRI, CT-angiografi
- Endoskopi
- Biopsi hati
1. GejalaKlinis
2. Intrahepatikatauekstrahepatik
3. Komplikasi
Hipertensi portal
Ekstrahepatik:
- Obstruksi vena porta: trombosis vena porta
- Peningkatan aliran porta: arteriovenousfistula
Intrahepatik:
- Penyakit hepatoseluler: hepatitis virus (akuit/kronis), sirosis, fibrosis hepar kongenital,
penyakit Wilson, defisiensi 1 - antitripsin, penyakit glycogen storage tipe IV, hepatotoksisitas
(methotrexate, nutrisi parenteral)
- Penyakit traktus bilier: atresia bilier ekstrahepatik, cystic fibrosis, kista duktus koledokus,
kolangitis sklerosis, gangguan saluran empedu intrahepatik
Hipertensi portal idiopatik
Obstruksi postsinusoidal: sindrom Budd-Chiari, penyakit veno-occlusive (trombosis dan
malformasi kongenital segmen toraks vena cava inferior, perikarditis konstriktif, gangguan
katup trikuspid, miokardiopati kongestif berat)
Terapi perdarahan varises esofagus:
Resusitasi cairan (cairan kristaloid maupun darah)
Koreksi koagulopati: vitamin K, transfusi trombosit dan Fresh Frozen Plasma
Pasang sonde lambung: monitor perdarahan
Reseptor H 2 bloker (ranitidin)
Medikamentosa:
- Octreotide / Somatostatin: 1 mcg/KgBB/jam sampai 12 jam setelah perdarahan berhenti
- Vasopressin: 0,33 U/KgBB selama 20 menit dan dilanjutkan dengan dosis yang sama tiap
jam
Skleroterapi endoskopik
Terapi preventif perdarahanvarises esofagus:
-blocker: propanolol 0,5 mg/KgBB/12 jam
Skleroterapi preventif
Ligasi Varises endoskopik (jarang)
Transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS)
Splenektomi
Devaskularisasi
Transplantasi hati
1.
GejalaKlinis
2.
Komplikasi
3 Nutrisi
Dengantatalaksanaadekwat, 5YSR 80%
IV
-
71
HIPERTENSI PORTAL
12. Tingkat Rekomendasi
13. PenelaahKritis
14. IndikatorMedis
15. Kepustakaan
C
Sjamsul Arief, dr, MARS Sp.A(K)
Bagus Setyoboedi, dr, Sp.A(K)
Persentase kesembuhan ditentukan oleh fungsi hati, sumbatan vena porta (ekstrahepatal), episode
perdarahan serta usia dan kondisi fisik penderita. 80% Pasien akan sembuh dalam waktu 14 hari
1. Bosch J, Carlos J. Pathophysiology of portal hypertension and its complications. Dalam:
Bircher J, Benhamou JP, McIntyre, Rizzetto M, Rodes J, eds. Oxford textbook of Clinical
Hepatology. Edisi ke-2. New York: 1999;1:653-9
2. Dite P, Labrecque D, Fried M, et al. Esophageal varices. Dalam: World
Gastroenterology Organisation practice guideline. Munich, 2008.
Tersedia di http://guideline.gov/content.aspx?id=13000.
3.
de Franchis R. Updating consensus in portal hypertension: Report of the
Baveno V Consensus Workshop on definitions, methodology and therapeutic strategies in portal
hypertension. J Hepatol 2010;53:762-8
4.
McIntyre, N. & Burroughs, A. Cirrhosis, portal hypertension and ascites. Dalam:
J.G.G. Ledingham & D.A. Warrell, eds. Concise Oxford textbook of medicine. Oxford: Oxford
University Press, 2000;5:36
5.
Shneider BL. Portal hypertention. Dalam: Suchy FJ, Sokol RJ, Balistreri WF,
eds. Liver disease in children. Edisi ke-2. Philadelphia: LWW.com, 2001;129-51
6.
Suchy FJ. Portal Hypertension and Varises. Dalam: Behrman RE, Kliegman
RM, Jenson HB, eds. Nelson textbook of Pediatrics. Edisike-18. Philadelphia: WB Saunders Co,
2007; 1709-1711
Surabaya,
72
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
4.
PemeriksaanPenunjan
g
5.
Kriteria Diagnosis
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Massa padahati, dapat bersifat jinak maupun ganas (kanker), dan bisa primer atau merupakan metastase dari
organ lain.
Masa abdomen yang besar, atau pembesaran perut
Nyeri perut kanan
Nafsu makan menurun, penurunan berat badan
Muntah
Ikterus
Panas
Gatal-gatal pada kulit
Anemia
Nyeri punggung akibat penekanan tumor
Dapat juga terjadi krisis akut abdominal disertai pecahnya tumor dan hemoperitonium (biasanya pada
karsinoma hepatoseluler)
Pengukuranberatbadan
Kesadaran
Tanda vital
Status lokalis : ukuran,konsistensi,tepidanpermukaanhati
Laboratorium: darah lengkap, kimia darah, tes fungsi hati dan ginjal, serologi hepatitis B dan C, fetoprotein / AFP (juga untuk monitoring terapi)
Biopsi hati untuk pemeriksaan histopatologi
Radiologi: Foto polos dada, USG / USG Doppler, CT-scan / MRI
Selain menentukan diagnosa tumor hati perlu juga dilakukan penentuan stadium dari tumor tersebut
terutama pada tipe ganas
Metode penentuan stadium tumor hati pada anak, salah satunya sebagai berikut:
- Stadium I : tumor dapat diangkat lengkap dengan pembedahan
- Stadium II : tumor dapat diangkat dengan pembedahan tapi masihmeninggalkan sedikit sisa
- Stadium III : tumor tidak dapat diangkat secara lengkap dengan pembedahan dan didapatkan
penyebaran pada kelenjar getah bening disekitarnya
- Stadium IV : tumor telah menyebar ke organ tubuh lain
- Kambuhan : tumor muncul lagi setelah pengobatan baik dihati maupun organ lain
Tumor hati
Abses hati
Neuroblastoma
Tumor Wilms
Kolestasis/sirosis hati
Penatalaksanaan tumor hati pada anak bergantung pada jenis dan stadium tumor, serta usia dan kondisi
fisik penderita.
Pada tumor jinak biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat tumor tanpa disertai pengobatan yang
lainnya.
Pada tumor ganas diperlukan kerjasama dengan dokter bedah anak dan ahli onkologi anak. Pengobatan
biasanya merupakan kombinasi antara :
- Pembedahan
- Kemoterapi
- Radioterapi
- Transplantasi hati
Pengobatan berdasarkan jenis dan stadium tumor:
- Hepatoblastoma stadium I dan II :
Pengangkatan tumor dan diikuti kemoterapi 4 seri menggunakan cisplatin, vincristine, dan fluorouracil.
- Karsinoma hepatoseluler stadium I dan II
Pengangkatan tumor diikuti kemoterapi cisplatin dan atau doxorubicin
- Hepatoblastoma stadium III dan IV:
Beberapa alternatif pengobatan yang dapat dilakukan :
1. Kemoterapi untuk mengurangi ukuran tumor dilanjutkan pengangkatan sebanyak mungkin tumor
dan ditutup kemoterapi lagi
2. Pembedahan metastase tumor di paru
3. Kemoterapi
4. Radioterapi diikuti pembedahan
5. Penyuntikan obat kemoterapi langsung ke pembuluh darah hati
6. Kemoterapi dan kemoembolisasi
7. Transplantasi hati
- Karsinoma hepatoseluler stadium III dan IV
- Pengurangan ukuran tumor dengan menggunakan kemoterapi cisplatin dengan vincristine / fluorouracil
atau doxorubicin dilanjutkan pengangkatan tumor sebanyak mungkin
- Kambuhan
Dilakukan pengobatan ulang berdasarkan pengobatan sebelumnya
73
9.
Edukasi
10. Prognosis
11.
Tingkat Evidens
12.
Tingkat
Rekomendasi
13.
PenelaahKritis
14.
IndikatorMedis
15.
Kepustakaan
Selain pengobatan terhadap tumornya perlu juga dilakukan pengobatan suportif dengan mencegah dan
mengobati infeksi, efek samping pengobatan dan komplikasinya, serta memberikan rasa nyaman pada
penderita selama pengobatan. Perlu dilakukan pengamatan secara berkala untuk memonitor respon
terhadap pengobatan dan mewaspadai efek samping jangka panjang dari pengobatan.
1. GejalaKlinis
2. Stadium tumor
3. Komplikasi
4. Metastase
5. Nutrisi
UntukHepatoblastoma 5YSR dibawah 20%
IV
C
a. Sjamsul Arief, dr, MARS SpA(K)
b. Bagus Setyoboedi, dr, SpA(K)
Persentase kesembuhan ditentukan oleh jenis, stadium tumor, serta usia dan kondisi fisik penderita.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 30 hari
1. Bektas H, Schrem H, Kleine M, et al. Primary liver tumours presentation, diagnosis and surgical
treatment. Dalam: Liver Tumours Epidemiology, Diagnosis, Prevention and Treatment. InTech, 2013;
(5):91-111.
2. Cynthia EH. Neoplasm of the liver. Dalam: Behrman RE, Kleigman RM. Nelson Textbook of Pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: WB Saunders Co, 2007; 1564
3. Czauderna P, Mackinlay G, Perilongo G, et al. Hepatocellular carcinoma in children: results of the first
prospective study of the International Society of Pediatric Oncology group. J ClinOncol, 2002; 20(12): 2798804.
4. Jacobson DR, 2004. Hepatocellular Carcinoma. Last Updated: June 23, 2004.
Tersedia di: http://www.emedicine.com/radio/topic332.htm
5. Katzenstein HM, Krailo MD, Malogolowkin MH, et al. Hepatocellular carcinoma in children and adolescents:
results from the Pediatric Oncology Group and the Children's Cancer Group intergroup study. J Clin Oncol
2002; 20(12): 2789-97
6. Malogolowkin MH, Stanley P, Steele DA, et al. Feasibility and toxicity of chemoembolization for children
with liver tumors. J ClinOncol2000; 18(6): 1279-84
7. Ortega JA, Douglas EC, Feusner JH, et al. Randomized comparison of cisplatin/vincristine/fluorouracil and
cisplatin/ continous infusion doxorubicin for treatment of pediatric hepatoblastoma: A report from the Childs
Cancer Group and the Pediatric Oncology Group. J Clin Oncol, 2000; 18(14):2665-75
Surabaya,
74
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
adalah pembuluh darah yang menghubungkan arteria pulmonalis dengan bagian aorta distal dari arteria
subklavia, yang akan mengalami perubahan setelah bayi lahir
1. Tidak biru
2. Tidak mau menetek
3. Nafas cepat (takipnea)
4. Berkeringat
5. Infeksi saluran pernafasan bagian bawah berulang
1. bising sistolik di sela iga kedua kiri atau
2. bising sistolik kresendo dan bising diastolik dekresendo (bising kontinu), dan
3. bising diastolik di apeks (karena stenosis mitral relatif)
1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis di atas
2. Memenuhi minimal1 kriteria pemeriksaan fisik di atas
3. Ekokardiografi : dilatasi atrium kiri (perbandingan dengan aorta lebih dari 1,2)
Duktus Arteriosus Persisten
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
1. Foto thorax
2. EKG
3. Ekokardiografi
1. ibuprofen oral hari pertama 10 mg/kgBB , hari kedua dan ketiga 5 mg/kgBB bila belum menutup bisa
diulang satu seri lagi
2. Tindakan pembedahan dilakukan secara elektif (sebelum masuk sekolah)
3. Kateterisasi intervensi, penutupan PDA dengan :
* koil Gianturco pada PDA kecil,
* Amplatzer Ductal Occluder (ADO) pada PDA sedang-besar
1. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
2. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
3. Tanda-tanda gagal jantung
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
90% pasien sembuh tanpa komplikasi dalam waktu 4 hari.
1. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis :
Mosby, 2002. h. 141145.
2. Moore P, Brook MM, Heyman MA. Patent Ductus Arteriosus. Dalam: Allen HD, Gutgesell HP, Clark EB,
Driscoll DJ. Ed. Moss and AdamsHeart Disease In Infants, Children, and Adolescents Including The
Fetus and Young Adult. Edisi ke-6. Philadelphia : Lippincott Williams & Wilkins, 2001. h. 652-669.
3. Friedman WF, Silverman N. 2001.Congenital Heart Disease in Infancy and Childhood. In Heart Disease A
Textbook of Cardiovascular Medicine..6th ed. Ed By Braunwald, Zipes, Libby. WB Saunders Company
Philadelphia London New York StLouis Sydney Toronto. pp 1505-1591.
Surabaya,
75
GAGAL JANTUNG
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8. Terapi
Sindroma klinis disebabkan oleh karena Jantung tidak dapat memompa darah yang diperlukan untuk memasok
oksigen dan nutrien yang diperlukan sel di seluruh jaringan tubuh sehingga terjadi ketidakseimbangan antara
pasokan dan kebutuhan oksigen di dalam sel.
1. Tanda-tanda dari kongesti paru-paru : "tachypnea",
"dyspnea d'effort", batuk, sianosis.
2. Tanda-tanda dari kongesti vena sistemik : sembab perifer
edema palpebra sering pada bayi.
1. Kardiomegali
2. takikardia
3. irama gallop
4. perubahan pada pulsus perifer termasuk Pulsus
paradoxus dan alternans
5. "tachypnea"
6. ronkhi basah
7. wheezing
8. Dyspneu sampai dengan sianosis
9. hepatomegali
10. bendungan vena leher
11. sembab perifer
12. edema palpebra sering pada bayi.
1. Memenuhi minimal 1 kriteria anamnesis diatas
2. Memenuhi minimal 5 kriteria pemeriksaan fisik diatas
Gagal jantung
1 Efusi pericardial
2. Pada bayi dengan infeksi saluran pernafasan bagian
bawah : (bronkiolitis, pneumonia)
1. Foto thorax
2. EKG
15. Kepustakaan
1.
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
2.
3.
4.
Colucci WS and Braunwald E. 2001. Pathophysiology of Heart Failure. In: Braunwald E, Zipes DP and
Libby P. Ed. Heart Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine. WB Saunders Co. 6th.ed 503 599.
Gessner IH. Congestive heart failure. Dalam : Gessner IH, Victoria BE. Pediatric cardiology a problem
oriented approach. Philadelphia : WB Saunders Company, 1993. h. 117-129.
Jordan SL, Scoot O. Heart Disease in Pediatrics. Edisi ke 3. London : Butterworth & Co.Ltd, 1989.h. 23439, 249-53.
Nelson. Congestive Heart Failure. In : Behrman RE, Vaughan VC, eds Nelson Textbook of Pediatrics.
76
GAGAL JANTUNG
198312th Tokyo : Igaku Shoin/WB Saunders, Co.1187.
Ontoseno T. 2002. Konsep terbaru mengenai Gagal Jantung pada Anak. Dalam : Noer MS, Ismoedijanto
dan Untario MC. Penyunting. Bunga Rampai Pediatri. Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair RSUD DR
Sutomo Surabaya. Hal : 122 142.
6. Ontoseno T.2004 . Diagnosis dan tatalaksana penyakit jantung bawan yang kritis pada neonatus.
Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak. FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya. Hal:
166- 184.
7. Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis : Mosby, 2002. h. 399-407.
8. Astasari D, Ontoseno T. Rahman M. Utamayasa A. Perubahan dimensi dan fungsi ventrikel kiri secara
ekokardiografi pada pasien dengan gagal jantung akibat pirau krir ke kanan setelah pemberian Carvedilol.
Karya Akhir, 2012.
9. Hoeper MM, Galie N, Simonneau G, Rubin LJ, 2002. New treatments for pulmonary arterial hypertension.
Am J Respir Crit Care Med;165:1209-16.
10. Humbert M, Sitbon O, Simonneau G, 2004. Treatment of pulmonary arterial hypertension. N Engl J
Med;351:1425-36
5.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
77
Pengertian (Definisi)
adalah defek pada septum yang menghubungkan antara ventrikel kanan dan kiri jantung yang disertai adanya
infeksi/peumonia
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
1. Dyspneu
2. Bising akhir sistole tepat sebelum S2, pada sela iga
3-4 Ips kiri.
3. Bising pansistolik derajat 3 atau lebih skala 6, nada tinggi kasar pm sela iga lps kiri
4. Bising pansistolik derajat 3-4 sekala 6, nada tinggi kasar pm sela iga 3-4 Ips kiri disertai bising diastolik
derajat 2/6 pendek nada rendah, pm sela iga 4 Imk kiri.
5. Bising sistolik lemah tipe ejeksi, pm Ips kiri bawah dengan S1 mengeras, setelah S1 terdengar klik sistolik
(pembuka katup pulmonal), S2 mengeras/sangat keras dan tunggal
6. panas
7. adanya suara nafas tambahan: ronchi basah halus
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
a. Foto thorax
b. EKG
c. Ekokardiografi
8.
Terapi
Terapi konservatif
1. Tatalaksana gagal jantung kalau ada (lihat : Gagal jantung)
2. Tatalaksana kelainan lain (infeksi, kurang gisi).
3. Pencegahan endokarditis infeksiosa
Operatif :
- VSD kecil : biasanya tidak perlu, kadang-kadang
menutup spontan.
- VSD sedang: kalau tidak ada gagal jantung dapat
ditunggu sampai anak berusia 2-4 tahun dengan berat
badan minimal 10 kg, sekarang operasi dapat
dipertimbangkan pada umur yang lebih muda.
- VSD besar dengan hipertensi pulmonal yang belum
menetap: dikerjakan operasi paliatif setelah gagal
menangani gagal jantungnya (operasi tidak langsung
menutup defek, tetapi dengan operasi pengikatan
batang a. pulmonalis), setelah umur 4-6 tahun defek
belum menutup, dikerjakan koreksi total.
9.
Edukasi
10. Prognosis
78
IV
C
1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
15. Kepustakaan
1. William RV, Tani LY, Shaddy RE, 2001. Intermediate effects of treatment with metoprolol or carvedilol in
children with left ventricular systolic dysfunction. The journal of heart and lung transplantation; 21: 906-9
2. Van der Linde D, Konings E, Slager MA, et al, 2011. Birth Prevalence of Congenital Heart Disease Worldwide.
JACC; 58: 2242-7
3. Vaidyanathan B, 2009. Is there a role for carvedilol in the management of pediatric heart failure. A meta
analysis and e-mail survey of expert opinion. Annuals Pediatric Cardiol; 2: 74-8
4. Hawkins A, Tulloh R, 2009. Treatment of pediatric pumonary hypertension. Vasc Health Risk Management;
5:509-24.
5. Humbert M, Morrel NW, Archer SL, Stenmark KR, MacLean MR, Lang IM, et al, 2004. Cellular and molecular
pathobiology of pulmonary hypertension. J Am Coll Cardiol ; 43:13-24
6. Landzberg MJ, 2007. Congenital heart disease associated pulmonary arterial hypertension. Clin Chest
Med;28: 243-53
7. Limsuwan A, Pienvichit P, Khowsathit P, 2005. Beraprost therapy in children with pulmonary hypertension
secondary to congenital heart disease. Pediatr Cardiol; 26: 787-91
Surabaya,
79
RENJATAN KARDIOGENIK
1.
Pengertian (Definisi)
adalah ketidak mampuan jantung akibat gangguan fungsi memompa untuk memasok darah yang cukup ke
jaringan agar kebutuhan metabolismenya terpenuhi
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
1.
2.
5.
Diagnosis
Renjatan kardiogenik
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
1. Renjatan hipovolemik
2. Renjatan sepsis
3. Renjatan neurogenik
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Darah lengkap
Serum elektrolit (Natrium, Kalium, Calsium, Klorida)
Analisa gas darah
EKG
Pemeriksaan serial kadar laktat, menggambarkan hipoperfusi dan prognosis
foto polos dada
ekokardiografi
Resusitasi cairan, kristaloid adalah pilihan utama,tahap kegawatan dan replacement disusul tahap
rumatan . Idealnya dengan pemasangan CVP, atau fluid challenge (pemberian cairan 200 ml atau 20
ml/kgBB iv dalam 30 menit), bila ada perbaikan perfusi selama/setelah pemberian, berarti hipovolemia,
pemberian diteruskan dengan rumatan. Tetapi, bila tampak sesak dengan hepatomegali progresif tanpa
ada perbaikan perfusi, cairan segera dihentikan, beri lasix sampai gejala sesak berkurang dilanjutkan
pemberian Dopamin dan Dobutamin seperti kalau menghadapi gagal jantung (dalam hal ini renjatan
kardiogenik). Kalau perlu diberikan norepineprin dengan dosis 0,5 mcg/kg/min dengan titrasi.
2. Meningkatkan curah jantung (koreksi disritmia, optimalisasi preload, meningkatkan kontraktilitas miokard,
menurunkan afterload)
3. Mengurangi beban jantung (sedasi, mempertahankan suhu tubuh tetap normal, intubasi dan ventilasi
mekanik, koreksi anemia)
1.
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
C
80
RENJATAN KARDIOGENIK
15. Kepustakaan
1.
Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis :
145.
2.
Bernstein D. Cardiac Therapeutics: Heart Failure. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Eds.
Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi ke 17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1586-1587
3.
Emmanouilides GC, Allen HD, Riemenschneider TA, Gutgesel HP. Clinical synopsis of Moss and Adams
Heart Disease in Infants, Children and Adolencents including the Fetus and Young Adult. Baltimore:
Williams & Wilkins, 2002. H. 814-827
Surabaya,
81
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
Tetralogy of Fallot
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Foto thorax
EKG
Ekokardiografi
Darah lengkap
82
9.
1.
2.
3.
4.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
IV
C
1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
15. Kepustakaan
1.
Anderson RH, Mc Carthey FJ, Shinebourne EA, Tunan M. 1997. Tetralogy of Fallot. Pediatric Cardiology.
Vol. 2 Churchill Livingstone. London. Pp 774-775.
2. Kliegman RM,. Tetralogy of Fallot. In: Textbook of Pediatrics.Eds. Nelson WE, Behrman RE. 4rd ed. WB
Saunders Co. Philadelphia. 1992, p. 1149-1153.
3. Rutkowski. Common Complication in Infant wth Cyanotic Congenital Heart Disease.p 166-167.2009
4. Teddy Ontoseno. Serangan Sianosis. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak ke XXIII. Ed:
Soebijanto P, Erwin S, Bambang P.dkk. FK Unair. Surabaya,1991; hal.91.
5. Cicha I, Suzuki Y, Tateishi N, Maeda N. 1999 Rheological changes in human red blood cells under
oxydative stress. Pathophysiology 6 : 103-110.
6. Behrman RE. 2000. Tetralogy of Fallot.. In : Behrman RE, Kliegman RM, eds. Nelson Textbooks of
Pediatrics, 15th ed. Philadelphia : WB Saunders co. 1149-53.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
83
DEMAM REUMATIK
1.
Pengertian (Definisi)
adalah penyakit multisistem terutama mengenai jantung, sendi, otak, jaringan kutan dan subkutan, timbul
setelah infeksi tenggorokan oleh Group A beta hemolytic streptococcal Rheumatogenic strain (GABHS)
dengan penyulit serius berupa gejala sisa pada katup jantung dan disebut penyakit jantung rematik yang
cenderung kambuh, akibat respons autoimun
2.
Anamnesis
Gejala mayor:
1. Karditis: takikardia, sesak, berdebar
2. Poli artritis: nyeri sendi hebat umumnya asimetris sehingga anak tidak mau jalan, sering nyeri berpindahpindah, bengkak, demam
3. Korea Sydenham: gerakan yang tidak disengaja dan tidak bertujuan, inkoordinasi muskular, serta emosi
yang labil. Manifestasi ini lebih nyata apabila pasien dalam keadaan stres, lidah dapat terjulur keluar dan
masuk mulut dengan cepat, pasien berbicara tertahan-tahan dan meledak-ledak, koordinasi otot halus
sukar. Tulisan tangannya buruk, yang ditandai oleh coretan ke atas yang tidak mantap. Bila disuruh
membuka dan menutup kancing baju pasien menunjukkan inkoordinasi yang jelas, dan ia menjadi mudah
kecewa. Kelabilan emosinya khas, pasien sangat mudah menangis, dan menunjukkan reaksi yang tidak
sesuai, kehilangan perhatian, gelisah, serta tidak koperatif.
4. Eritema marginatum: ruam tidak gatal, makular, dengan tepi eritema yang menjalar dari bagian satu ke
bagian lain mengelilingi kulit yang tampak normal. Lesi ini berdiameter sekitar 2,5 cm, tersering pada
batang tubuh dan tungkai proksimal, dan tidak melibatkan wajah.
5. Nodulus subkutan
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Atralgia: nyeri sendi ringan, biasanya sendi besar
3. Riwayat demam reumatik atau penyakit jantung reumatik
Manifestasi mayor:
a. Karditis
b. Poliartritis
c. Korea
d. Eritema marginatum
e. Nodul subkutan
3.
4.
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Manifestasi minor:
1. Demam
2. Arthralgia
a. Memenuhi minimal 2 kriteria mayor di atas atau
b. Memenuhi minimal1 kriteria mayor ditamabh 2 kriteria minor, ditambah adanya gejala infeksi streptokokus
beta hemolitikus golongan A sebelumnya.
Demam Reumatik
1. Artritis reumatoid
2. Artrids bakterial.
3. Artritis virus.
4. Reaksi alergi.
5. Bising fungsionil.
6. Kelainan jantung bawaan.
7. Miokarditis virus
8. Miokarditis bakterial lain.
9. Lupus eritematosus sistemik
a. Darah lengkap
b. LED
c. C-Reactive Protein
d. ASO
e. Kultur hapusan tenggorok
f. Foto thorax
g. EKG
h. Ekokardiografi
1. Iirah baring:
Tanpa Karditis:
Tirah baring selama 2 minggu dan mobilisasi bertahap selama 2 minggu
Karditis tanpa Kardiomegali:
Tirah baring selama 4 minggudan mobilisasi bertahap selama 4 minggu
Karditis dengan Kardiomegali:
Tirah baring selama 6 minggu dan mobilisasi bertahap selama 6 minggu
Karditis dengan gagal jantung:
Tirah baring selama dalam keadaan gagal jantung dan mobilisasi
2. Pemusnahan GABHS dan Pencegahan Sekunder
Penisilin Benzatin 600.000 U untuk anak dengan berat badan kurang dari 30 kg dan l,2juta U bila
berat badan lebih dari 30 kg, diberikan sekali.
84
DEMAM REUMATIK
-
3.
9.
Edukasi
Penisilin oral 4 x 250 mg/hari untuk anak besar dan 4 x 125 mg/hari bila berat badan kurang dari 20
kg, diberikan selama 10 hari.
Pada penderita yang alergi terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin 5Q mg/kg BB/hari selama
10 hari
Analgesik dan anti-inflamasi
Artralgia: Salisilat saja 75-100 mg/kg BB/hari
Artritis saja, dan/atau karditis tanpa kardiomegali:
Salisilat saja 100 mg/kg BB/hari 2 minggu
dilanjutkan dengan 75 mg/kg BB 4-6 minggu
Karditis dengan kardiomegali atau gagal
jantung: Prednison 2 mg/kg/ BB/hari selama 2
minggu,dikurangi bertahap selama 2 minggu
ditambah salisilat 75 mg/kg BB selama 6 minggu.
a. Penjelasan perjalanan penyakit dan komplikasi
b. Penjelasan pemberian medikamentosa & tindakan yang akan dilakukan
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
1. Prof. Dr Teddy Ontoseno, dr SpAK, SpJP, FIHA
2. Mahrus A. Rahman, dr SpAK
3. Alit Utamayasa, da SpAK
85
KARDIAK SIANOSIS
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
1.
2.
3.
Sianosis bibir, kuku, mukosa mulut, konjunctiva, ujung hidung bila saturasi O2 arteri 85 %. (Newborn
90%)
Tes hiperoksia positip
Pemasangan pulse oxymetri pada tangan kanan dan kaki. (adanya duktus yang masih terbuka
mengakibatkan aliran darah aorta asenden dan disenden berasal dari ventrikel yang tidak sama).
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
Kardiak sianosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10.
Prognosis
11.
12.
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
13.
Penelaah Kritis
86
KARDIAK SIANOSIS
3. Alit Utamayasa, da SpAK
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
1.
Gaiha M, Sethi HPS, Sudah R, Arora, Acharya NR. 1993. A clinico-Hematological study of Iron deficiency
anemia and its correlation withHyperviscosity Symptoms in Cyanotic Congenital Heart Disease. Indian
Heart Journal 45 (1). 53-55.
2.
Lany LT. 1997. Uji Penapisan Anemia Relatif Pada Penderita Tetralogy Fallot. Penelitian Karya Akhir
Untuk memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kesehatan Anak.
Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair-RSUD Dr Sutomo Surabaya.
3.
HH and Risau W. 1998. Systemic hypoxia changes the organ-specific distribution of vascular endothelial
growth factor and its receptors. Proc. Natl. Acad. Sci. USA. 95: 15809-15814.
4. Neches WH, Park SC, Ettedguy JA. 1997.Tetralogy of Fallot and Tetralogy of Fallot with Pulmonary Atresia.
In : The Science and Practice of Pediatric Cardiology. Ed : Garson A, Bricker JT, Fisher DJ, Neish SR.2
ed. Williams & Wilkins A Waferly C. Baltimore*Philadelphia*London*Paris*Bangkok. Vol I : 1383-1411.
5. Ontoseno T. 2002a. Pattern of Tetralogy Fallot patients in Dr Soetomo Hospital, Surabaya. Folia Medica
Indonesiana. (2) : 133-135
Surabaya,
Ketua Komite Medik
87
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
1.
Pengertian (Definisi)
adalah peningkatan frekuensi denyut jantung, antara 180-300 kali per menit, dengan bentuk
kompleks QRS yang seluruhnya normal.
2.
Anamnesis
1. Fetal takikardia
2. hydrops
3. penurunan curah jantung: mendadak gelisah, tidak mau menetek, bernafas cepat dan tampak
pucat, muntah-muntah, nadi sangat cepat (200-300/menit) dan sering disertai gejala gagal
jantung atau renjatan.
4. Pada bentuk akut: pucat, gelisah, takipneu, sukar minum
3.
Pemeriksaan Fisik
1. Takipneu
2. Denyut jantung 180-300 kali per menit (mungkin sulit dihitung)
3. Tanda-tanda gagal jantung
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
1. Foto thorax
2. EKG
8.
Terapi
9.
Edukasi
1. 'Venous Hum'
2. Ruptur sinus Valsava
3. Insufisiensi Aorta + VSD
4. Trunkus Arteriosus
5. 'Aortico-pulmonary window'
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
C
88
TAKIKARDIA SUPRAVENTRIKULAR
15. Kepustakaan
1.
Park MK, Troxler RG. Pediatric Cardiology for Practitioners. Edisi ke 4. St Louis :
2002. h.338-341.
Mosby,
2.
Van Hare GF, Supraventricular Tachycardia. Dalam: Gillette PC, Garson A Jr, Ed. Clinical
Pediatric Arrithmias. Edisi ke-2. Philadelpia: W.B. Saunders Company, 1999. h.97-120.
3.
Deal BJ. Supraventricular Tachycardia Mecanisms and Natural History. Dalam: Deal BJ, Woff
GS., Gelband H. Ed. Current Concepts in Diagnosis and Management of Arrithmias in Infants
and Children. New York: Futura Publishing Company, 1998. H. 117-143
Surabaya,
Ketua Komite Medik
89
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan Penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Supportif
Pemberian nutrisi adekwat, kebersihan urogenital, mencegah konstipasi
ISK bawah
Medikamentosa
Antibiotik peroral
Amoksisilin klavulanat
20 40 mg/kg/hari dibagi 3 dosis
Trimethoprim-sulfamethoxasol 6-12 mg/kg trimethoprim & 30-60 mg/kg sulfamethoxasole dibagi 2 dosis
Infeksi saluran kemih adalah ditemukan mikroba bermakna pada saluran air kemih dari sampel urin
suprapubik berapapun jumlah kuman
kateterisasi uretra 5x10 4
porsi tengah 10 5
Gejala klinis tidak spesifik
Infeksi saluran kemih atas gejala panas tinggi, disertai gejala sistemik
Gejala infeksi saluran kemih berdasarkan umur penderita adalah sebagai berikut :
0-1bulan
: Panas/hipotermi, gejala sistemik,ikterus (sepsis).
1 bln-2 thn
: panas/hipotermia, gejala sistemik, nyeri perut/ pinggang.
2-6 thn
: Panas, gejala sistemik, tidak dapat menahan kencing, polakisuria, disuria, ngompol.
6-18 thn
: Nyeri perut/pinggang, panas, tak dapat menahan kencing.
Tidak spesifik tergantung usia dan lokasi infeksi saluran kemih :
Panas/hipotermia
Nyeri ketok pinggang
1.
Antibiotik parentral
1. neonatus : gentamisin 7,5 mg/kg sekali sehari dan ampisilin 100 mg/kg/hari diberikan 3 kali sehari.
9.
10. Prognosis
1.
2
3
4
5
1.
2.
3.
4.
90
15. Kepustakaan
1.
Barbara J, Kher K. Urinary tract infection. In Kher K, Schnaper HW, Makker SP Eds. Clinical Pediatric
Nephrology 2nd.Chennai.Replika Press.2007. 553-74.
2. Bensman A, Dunand O, Ulinski T. Urinaru tract infection. In Avner ED, Harmon WE,Niaudet P,
Yoshikawa N Eds. Pediatric Nephrology 6th ed. Berlin Heidelberg.Springer Verlag.2009:1229-310
3. Hoberman A, Charron M, Hickey RW et al, 2003. Imaging studies after febrile urinary tract infection in
young children. N Engl J Med ; 348 :195-202.
4. Nan wong S. Urinary tract infection. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Pediatric
Nephrology.Hongkong.Medcom Limited.2005:160-70
5. Newman TB. The new American Academy of Pediatrics Urinary tract infection Guideline. Pediatrics
2011;128:595-610
6. Rusdidjas, Ramayati R. Infeksi saluran kemih. In Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO Eds.
Buku ajar Nefrologi Anak. 2nd
ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2009: 142163.
7. Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP. Konsensus infeksi saluran kemih pada anak.Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:1-34
8. Pecile P, Miorin E, Romanello C, Vidal E, Contrado M, Valent F dkk. Age related renal parenchymal
lesions in children with first febrile urinary tract infections. Pediatric 2009;124:23-9.
9. Yap HK, Resontoc LPR. Management of childhood urinary tract infection. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds.
Pediatric nephrology. Singapore. 391-402.
10. Yilmaz A, Sevketoglu E, Gedikbasi A, Karyagar S, Kiyak A, Mulazimoglu M dkk. Prediction urinary tract
infection with urinary neuthrophil gelatinase associated lipocalsin. Pediatr Nephrol 2009;124:2387-92.
Surabaya,
91
Pengertian (Definisi)
Pada Penyakit Ginjal Kronik (PGK) terjadi kerusakan ginjal atau penurunan fungsi ginjal dengan laju filtrasi
glomerulus (LFG) <60 ml/menit/1.73m2 3 bulan
2.
Anamnesis
Riwayat PGK tergantung penyakit yang mendasari dan beratnya penurunan fungsi ginjal
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan Penunjang
1. Darah lengkap
2. Urinalisis
3. Kimia darah: ureum, kreatinin, kadar hormone paratiroid, serum elektrolit, asam urat, serum albumin, protein
total, kolesterol (lipid profile)
4. Gas darah bila diperlukan
5. Laju filtrasi glomerulus yang ditentukan dengan rumus Haycock-Schwartz
6. Foto tangan kiri dan pelvis untuk pemeriksaan bone age.
7. Pencitraan: Thorax foto, USG ginjal/buli-buli, serta pemeriksaan lain bila diperlukan
5.
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Pemeriksaan penunjang
6.
Diagnosis
7.
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Nutrisi dengan kalori adekuat, protein dibatasi 1,8-2 g/kg BB/ hari.
Koreksi Anemia
- Hb< 10 g/dl, Ht< 30% terapi recombinant eritropoietin sub kutan seminggu dua kali, dosis: 50 unit/ kg
BB
- Asam folat: 1-5 mg/hari selama 3-4 minggu diberikan bila terjadi defisiensi asam folat
3. Terapi pengganti ginjal
Cangkok ginjal
9.
Edukasi
10. Prognosis
11.
12.
IV
C
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
92
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
a.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d.
M Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita akan membaik dalam waktu 4 minggu
Penderita dengan PGK Stadium I sampai dengan IV, LFG stabil
Penderita dengan PGK stadium V, gejala uremia membaik
1.
Yap HK, Aragon ET. Chronic kidney disease staging. In Yap HK, Liu ID, Tay W Eds. Pediatric Nephrology.
Children Kidney Centre. Singapore.2012:19-25.
2. Rigden SPA. The management of chronic and end stage renal failure in children. In Webb N, Postlethwaite
Eds. Clinical Paediatric Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 427-46.
3. K/DOQI Clinical Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease:Evaluation, Classification, and Stratification, 2000
4. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Gagal Ginjal Kronik. Dalam Alatas H, Tambunan , Trihono PP,
Pardede SO Eds. Buku Ajar Nefrologi Anak 2nd ed. Bali penerbit FKUI Jakarta, 2002; 509-30.
5. Fogo AB, Kon V. Pathophysiology of progressive renal disease. In Avner ED, Harmon WE, Niaudet P Eds.
Pediatric Nephrology. Lippincott Williams & Wilkins USA, 2004; 1269-85.
6. Kei-Chiu TN, Chiu MC. Pre-Renal Replacement Program : Conservative Management of Chronic Kidney
Disease. In Chiu MC, Yap HK Eds. Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 24752.
7. Yap HK. Anemia, Renal Osteodystrophy, Growth Failure in Chronic Renal Failure. In Chiu MC, Yap HK Eds.
Practical Paediatric Nephrology. Medcom Limited Hongkong, 2005; 253-61.
8. Winearls CG. Clinical Evaluation and Manifestation of chronic Renal Failure. In Johnson RJ, Feecally J Eds.
Comprehensive Clinical Nephrology. Harcourt Publishers Limited London, 2000; section 14. 68 : 1-14.
9. Fine RN, Whyte DA, Baydstrun II. Conservative management of chronic renal insuffi-ciency. In Avner ED,
Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology. Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
10. Kuizon BD, Sausky IB. Renal Osteodistrophy. In Avner ED, Harmon WE, Naudet P Eds. Pediatric Nephrology.
Lippincott Williams and Wilkins USA, 2004; 1291-305.
11. Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. In Webb N, Postlethwaite Eds. Clinical Paediatric
Nephrology 3rd ed. Oxford University Press Inc, 2003; 151-61.
Surabaya,
93
Pengertian (Definisi)
2.
Indikasi
3.
Kontraindikasi
4.
5.
Persiapan
Obat-obatan dan
peralatan
Suatu tindakan pemeriksaan jaringan ginjal yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis histologik, membantu
menentukan strategi terapi dan untuk memastikan derajat perubahan aktif (reversibel) atau kronis (ireversibel)
dalam menentukan prognosis dan kemungkinan respon terhadap terapi. Biopsi ginjal juga dapat digunakan
untuk membantu penilaian penyakit genetik.
Indikasi pasti:
Sindrom nefrotik resisten steroid atau dependen steroid
Glomerulonefritis progresif cepat
Glomerulonefritis akut atipikal atau yang tidak membaik
Kecurigaan nefritis tubulointerstisial akut
Sindrom hematuria rekuren
Proteinuria persisten non-ortostatik
Diagnosis penolakan alograf ginjal
Keterlibatan ginjal dalam penyakit sistemik (lupus eritematosus sistemik, Henoch-Schonlein purpura,
sindrom vaskulitis, penyakit Fabry)
Indikasi meragukan:
Penyakit ginjal kronik dengan etiologi tidak diketahui
Gangguan ginjal akut bukan akibat penyakit glomerulus atau tubulointerstisial
Evaluasi respon ginjal terhadap pengobatan
Kontraindikasi absolut:
Ginjal tunggal (kecuali ginjal transplan)
Gangguan koagulasi
Hipertensi berat yang tidak terkontrol
Pasien tidak kooperatif atau tanpa sedasi yang adekuat
Pielonefritis akut
Kontraindikasi relatif:
Gagal ginjal terminal
Kelainan ukuran, bentuk, dan/atau posisi ginjal
Pielonefritis kronis
Hidronefrosis
Neoplasma intrarenal (risiko penyebaran tumor intraabdominal)
Nefrokalsinosis
Anemia berat
Obesitas
Kondisi dimana biopsi ginjal mempunyai nilai diagnostik minimal:
Penyakit kistik ginjal
Kelainan tubulus ginjal
Proteinuria postural
Penjadwalan:
Penjadwalan dilakukan sesuai jadwal operator (Nefrologi Anak) dengan konsultan radiologi selambatlambatnya 1 (satu) minggu sebelum acara biopsi ginjal.
Bila sudah didapatkan jadwal yang pasti, diberitahukan kepada asisten operator (perawat Poli Nefrologi
Anak) untuk persiapan alat dan prosedur pengiriman bahan selambat-lambatnya 1 (satu) minggu sebelum
acara biopsi ginjal.
Persiapan:
Surat persetujuan orang tua atau keluarga penderita (informed consent).
Pemeriksaan laboratorium: darah lengkap, fungsi ginjal dan uji faal hemostasis.
Penderita diberikan Vitamin K 5 mg im 3 hari berturut-turut, mulai H-1, H0 dan H+1.
Penderita dipuasakan sejak 6 jam sebelum biopsi dimulai.
Sebelum berangkat ke tempat biopsi dengan menggunakan tempat tidur beroda, iv line sudah harus
terpasang pada tangan penderita.
Kassa dan desinfektan (povidon-iodine dan alkohol 70%) untuk desinfeksi lapangan biopsi
2 ampul Lidokain
2 atau 3 vial Midazolam (Dormicum) kemasan 5 mg/5 ml
2 buah disposable syringe 2,5 ml
2 buah disposable syringe 5,0 ml
1 buah mess kecil 15 G
1 set peralatan biopsi ginjal perkutan:
o Biopsy gun Magnum Bard
o Disposable core needle biopsy 16 G atau 18 G
atau
o Jarum Vim-Silverman
Plastik pembungkus USG probe (kondom Sutra merah)
Sarung tangan steril untuk semua operator
Penutup hidung dan mulut (masker) untuk semua operator dan yang hadir di ruang biopsi
94
6.
Pelaksanaan
7.
8.
Edukasi
9.
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita biopsi ginjal anak akan dapat dipulangkan pada 1 hari sesudah prosedur
1. Chao SM, Tan PY, Chiang GSC. Renal biopsy and renal pathology. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds.
Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
95
3.
4.
96
Pengertian (Definisi)
2.
Indikasi
3.
Kontraindikasi
4.
Persiapan
5.
Pelaksanaan
6.
Edukasi
7.
Prognosis
8.
9.
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Suatu proses untuk mengeluarkan zat-zat yang menumpuk di dalam darah seperti ureum, kreatinin, fosfat,
kalium, air, dan lain-lain akibat kegagalan fungsi ginjal. Penumpukan zat-zat tersebut dalam darah dikeluarkan
ke dalam cairan dialisat yang berada di dalam rongga peritoneum.
Dapat dilakukan sebagai prosedur akut maupun kronik (continuous ambulatory peritoneal dialysis/CAPD atau
dialisis peritoneal mandiri berkesinambungan)
Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif)
Hipertensif refrakter
Asidosis berat dan persisten
Hiperkalemia (kalium >7 mEq/l) yang tidak dapat diatasi secara konservatif
Toksin berupa uremia dengan gejala pruritus, pleuritis, perikarditis, dan susunan saraf pusat
Toksin eksogen seperti litium, salisilat, etanol, methanol, bromide ethylene glycol, dan aminoglikosida
Azotemia berat (BUN >50 mg/dl, ureum >200 mg/dl, atau kreatinin >15 mg/dl), klirens kreatinin <15
ml/menit/1,73 m2
Pasca operasi bedah jantung dengan oliguria/anuria
Defek dinding perut atau infeksi
Distensi abdomen
Perforasi usus
Adesi atau reseksi usus
Ada hubungan antara rongga dada dan rongga perut
Persiapan dan evaluasi pasien:
Tanyakan dan periksa pasien tentang operasi abdomen sebelumnya, adakah hernia, organomegali,
distensi usus, ileus, dan tumor usus. Bila terdapat, kateterisasi harus dipasang lewat pembedahan dan
visualisasi langsung
Jelaskan prosedur dan komplikasinya kepada pasien/keluarga pasien serta dapatkan izin tertulis (informed
consent)
Konsultasi ke Bedah Urologi untuk pelaksanaan prosedur pemasangan kateter Tenckhoff.
Keberhasilan dialisis peritoneal ditentukan oleh pemasangan akses dialisis. Pada anak lebih disukai doublecuffed, sedangkan pada bayi kurang dari 3 kg dengan single cuffed. Kateter yang paling disukai adalah kateter
double cuffed Tenckhoff.
Periksa patensi dan kemungkinan kebocoran kateter Tenckhoff di ruang operasi dengan melakukan
pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat 1,5%.
Volume dialisis (fill volume) berdasarkan periode pasca insersi kateter Tenckhoff:
o Hari ke-1: 300 ml/m2 (anak >12 bulan), 200 ml/m2 atau 10 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-4: 500 ml/m2 (anak >12 bulan), 300 ml/m2 atau 15 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-8: 800 ml/m2 (anak >12 bulan), 400 ml/m2 atau 20 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Hari ke-10: 900 ml/m2 (anak >12 bulan), 500 ml/m2 atau 25 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-2: 1000 ml/m2 (anak >12 bulan), 600 ml/m2 atau 30 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-3: 1100 ml/m2 (anak >12 bulan), 700 ml/m2 atau 35 ml/kg (anak usia <12 bulan)
o Minggu ke-4: 1200 ml/m2 (anak >12 bulan), 800 ml/m2 atau 40 ml/kg (anak usia <12 bulan)
Frekuensi dialisis:
o Lakukan pertukaran cairan sebanyak 10 ml/kg secara cepat dengan menggunakan cairan dialisat
1,5% sebanyak 5 kali segera sesudah dilakukan insersi kateter Tenckhoff
o Lakukan pertukaran cairan setiap 1 jam selama 24-48 jam sampai cairan dialisat tidak menunjukkan
darah
Berikan antibiotika Cefazolin intraperitoneal 125 mg/L selama maksimal 3 hari.
Bila didapatkan kebocoran, jangan menggunakan kateter selama 2 minggu. Lakukan dialisis volume rendah
(300 ml/m2) selama 2 minggu bila sangat diperlukan untuk memulai dialisis. Berikan antibiotika Cefazolin
intraperitoneal atau intravena selama minimal 5 hari.
Heparin intraperitoneal:
o Tambahkan heparin 250 U/L selama minimal 3 hari
o Naikkan dosis menjadi 500-1000 U/L bila cairan dialisat effluent masih bercampur darah
o Hentikan heparin bila cairan dialisat effluent sudah jernih dan tidak ada fibrin.
Periksa jumlah sel (cell count), Gram dan kultur cairan dialisat saat antibiotika dihentikan. Berikan terapi
sebagai peritonitis bila didapatkan peningkatan jumlah sel dalam cairan dialisat.
Pada anak 2 tahun, volume dialisis dapat ditingkatkan sampai 1400 ml/m2 untuk meningkatkan adekuasi
dialisis.
Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh
kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan
sekuele.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
97
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
50% penderita dengan dialisis peritoneal akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
1. Damanik MP. Dialisis peritoneal. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:594-606.
2. Ha IS, Lai WM. Continuous ambulatory peritoneal dialysis (CAPD) and Automated peritoneal dialysis
(APD). Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current
Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 267-71.
3. Sekarwana N. Dialisis peritoneal. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:232-8.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1822-6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Verrina E. Peritoneal dialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1785-816.
7. Yap HK, Aragon ET. Peritoneal dialysis orders post Tenckhoff insertion. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay
WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 281-2.
Surabaya,
98
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4. Kriteria Diagnosis
5. Diagnosis
6. Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
Keadaan dimana terjadi gangguan fungsi ginjal secara akut yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi
ginjal (LFG) dan atau penurunan produksi urine yang bersifat reversibel. Gangguan ginjal ini
menyebabkan regulasi cairan, elektrolit, asam basa dan tekanan darah menjadi terganggu.
Definisi GgGA ini mencakup gangguan fungsi ginjal ringan sampai kegagalan fungsi ginjal tahap akhir
yang didasarkan pada suatu kriteria RIFLE (Risk, Injury, Failure, Loss, End-stage) yang disesuaikan untuk
anak menjadi suatu kriteria pediatric RIFLE (gambar 1). Kriteria Risk, Injury, Failure menggambarkan
beratnya penurunan fungsi ginjal berdasarkan penurunan estimasi klirens kreatinin anak (melalui
perhitungan LFG anak) dan produksi urine (sensitivity factors); sedangkan kriteria Loss dan End-stage
menentukan prognosis fungsi ginjal selanjutnya dengan menggambarkan prognosis gangguan ginjal
(specificity factors).
99
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Terapi
ginjal, sel torak tubuler atau torak dengan granular kasar dapat merupakan suatu nekrosis tubuler akut.
Piuria dapat merupakan suatu pielonefritis atau gangguan tubulointerstisial (piuria steril). Terdapatnya
eosinofil dapat merupakan suatu nefritis alergi interstisial akut. Kristal urin dapat menjadi suatu indikator
etiologi dasar pada tampilan klinis yang sesuai untuk GgGA seperti kristal asam urat pada sindrom
tumor lisis dan kistal kalsium oksalat pada keracunan etilen glikol. Jika tidak ditemukan kelainan maka
dapat merupakan GgGA pre renal atau karena obstruksi.
Darah lengkap untuk melihat adanya anemia, trombositopenia dan reticulositosis, yang dapat menjadi
suatu sindrom hemolitik uremik atau GN terkait vaskulitis. Hapusan darah tepi untuk melihat adanya
skistosit pada sindrom hemolitik uremik, atau sferosit pada nefritis lupus.
Pemeriksaan hemoglobin dalam urin atau mioglobin serum untuk menyingkirkan suatu nefropati pigmen,
jika riwayat penyakit menunjukkan suatu proses hemolisis intra vaskular atau rabdomiolisis.
Pemeriksaan kadar komplemen serum (C3 dan C4), anti-nuclear antibodies antibodi sitoplasmik anti
neutrofil, dan anti-glomerular
basement membrane antibodies untuk membedakan berbagai jenis
penyakit glomerular. Komplemen serum C3 didapatkan rendah pada GN paska infeksi, Nefritis Lupus,
GN membranoproliferatif dan beberapa bentuk sindrom hemolitik uremik familial.
Pola khusus abnormalitas biokimiawi dapat terlihat pada beberapa penyebab khusus dari GgGA. Kadar
laktat dehidrogenase pada sindrom hemolitik uremik atau penyebab lain dari hemolisis. Hipokalsemia,
hiperfosfatemia dan hiperurikemia dapat timbul pada sindrom tumor lisis. Peningkatan kadar kreatin
kinase serum pada rabdomiolisis. Peningkatan pada gap anion dan osmolar dengan adanya GgGA,
dapat merupakan suatu keracunan glikol etilen.
Pencitraan
Ultrasonografi merupakan modalitas pencitraan awal untuk mendeteksi obstruksi saluran kemih atas
bilateral, obstruksi outlet vesica urinari atau obstruksi dari ginjal yang berfungsi tunggal. Dilatasi sistem
pelvikaliseal dapat dideteksi dalam 24 hingga 36 jam etelah onset terjadinya obstruksi saluran kemih
akut. Dilatasi saluran kemih atas dapat terlihat pada tahap awal obstruksi ureter jika didapatkan adanya
penurunan produksi urin. Pada obstruksi saluran kemih bagian bawah, dilatasi ureter, hipertropi ukuran
dan dinding vesica urinaria, dan adanya lesi terkait seperti ureterocele dapat terlihat melalui
ultrasonografi. Suatu peningkatan ekogenisitas dapat terlihat pada penyakit ginjal akut dan kronis. Pada
neonatus dengan trombosis vena renalis, pemindaian aliran doppler dapat menunjukkan suatu
penurunan aliran darah.
CT scan abdomen tanpa kontras dapat memperlihatkan kondisi pelvis renalis dan ureter proksimal, dan
sangat membantu dalam mengindetifikasi lokasi obsturksi ureteral, batu, tumor atau kondisi
abnormalitas kongenital. Pemindaian yang dengan kontras sebaiknya dihindari oleh karena risiko
terjadinya nefropati kontras.
Magnetic resonance urogram (MRU) statik berguna untuk mengidentifikasi morfologi sistem collecting
pada uropati obstruktif, tanpa memperhatikan fungsi ekskresi. Risiko fibrosis sistemik nefrogenik setelah
agen kontras gadolinium pada pasien dengan gagal ginjal membatasi penggunaan pemindaian dinamik
pada GgGA.
Biopsi ginjal diindikasikan jika dicurigai suatu rapidly progressive GN atau nefritis alergi interstisial
akut, etiologi yang tidak jelas dan GgGA yang memanjang untuk menilai tingkat kerusakan, untuk
membedakan antara nekrosis tubuler akut dan nekrosis kortikal akut.
Tujuan utama tata laksana GgGA adalah untuk menjaga homeostasis, sembari menunggu perbaikan
fungsi ginjal, yang dapat terjadi secara spontan atau menunggu penyebab dasar tertangani.
Adanya sarana dan efikasi dialisis menyebabkan perburukan pasien dengan GgGA umumnya bukan
karena kondisi GgGA tetapi karena faktor komorbid lainnya.
Terapi konservatif
1. Mempertahankan perfusi ginjal yang adekuat
o Pada pasien yang menderita sakit berat yang berisiko mengalami GgGA iskemia, perbaikan
faktor pre renal seperti, dehidrasi, curah jantung yang buruk, hipovolemia dan abnormalitas
elektrolit dan asam basa, sangat penting untuk mencegah perburukan GgGA.
o Kecuali terdapat kontraindikasi karena cairan berlebihan atau gagal jantung, seorang anak
dengan bukti klinis hipovolemia dan oliguria, sebaiknya diberikan cairan intravena selama 2030 menit, cairan kristaloid seperti normal salin (10 hingga 20 ml/kg) atau cairan koloid seperti
albumin 5%, jika hipotensif.
o Pemberian ini dapat diulang jika anak masih hipovolemik.
o Perbaikan aliran urin yang adekuat dan perbaikan fungsi ginjal melalui resusitasi cairan adalah
sesuai dengan kondisi penyakit pre renal.
o Namun, jika produksi urin tidak meningkat dan fungsi ginjal gagal untuk membaik dengan
kembalinya volume intra vaskular, pengawasan invasif mungkin diperlukan sehingga status
cairan anak dapat dinilai dengan baik dan membantu dalam tata laksana selanjutnya.
o Jika oliguria menetap setelah koreksi faktor pre renal yang adekuat, pemberian loop diuretic
dapat merangsang timbulnya diuresis: furosemid intravena 2-5 mg/kg/dosis (maksimum 240 mg
bolus) atau furosemid kontinyu 0.1-1 mg/kg/jam.
2. Mencegah cairan berlebih dan hipertensi
o
Volume cairan sebaiknya dibatasi dengan memberikan cairan sesuai dengan insensible water
2
per hari atau 30 ml/100 kcal), s e l a i n m e n g g a n t i k e h i l a n g a n
loss (400 ml/m
cairan melalui urin, sistem gastrontestinal dan lainnya.
100
Terapi sebaiknya ditujukan pada penurunan berat badan sebanyak 0,5 hingga 1 % per hari.
Kelebihan cairan dapat memperberat hipertensi pada pasien dengan glomerulonefritis,
berakibat pada hiperternsi urgensi atau emergensi.
Hipertensi emergensi penting untuk ditangani secara adekuat dengan agen anti hipertensi
intravena untuk mengontrol penurunan tekanan darah dalam menghindari perburukan edema
3.
4.
5.
6.
9.
Edukasi
Dialisis dilakukan sejak awal pada anak yang sakit berat dengan GgGA dengan tujuan
mempertahankan homeostasis dan memberikan cukup ruang untuk kebutuhan pengobatan dan
nutrisi yang diharapkan, karena restriksi cairan yang berat dapat berakibat pada nutrisi yang
inadekuat, kecenderungan menjadi hipoglikemia, memberikan volume ruang yang cukup untuk
transfusi darah, kesulitan dalam pemberian obat, seperti pemberian inotropik dan antibiotik
intravena.
Pentingnya deteksi dini GgGA pada anak untuk menyelamatkan fungsi ginjal
101
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Pentingnya mengenali penyebab GgGA supaya dapat dilakukan tata laksana yang cepat dan tepat.
Pentingnya melakukan tata laksana GgGA sesuai stadium klinis dengan cepat dan tepat, baik konservatif
maupun terapi pengganti ginjal.
Beratnya komplikasi GgGA yang dapat terjadi pada jangka pendek maupun jangka panjang.
Pentingnya monitoring jangka panjang terhadap fungsi ginjal.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
a.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
b.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
c.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
d.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita GgGA anak akan membaik setelah 3 minggu perawatan
1. Andreoli SP. Clinical evaluation of acute kidney injury in children. Dalam: Avner E, Harmon W,
Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Edisi 6. Berlin: Springer Verlag; 2009: 1603-1618.
2. Alatas H. Gagal ginjal akut. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, Eds. Buku ajar
nefrologi anak. Edisi 2. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2002: 490-508.
3. Bellomo R, Kellum JA, Ronco C. Defining and classifying acute renal failure: from advocacy to
consensus and validation of the RIFLE criteria. Intensive Care Med 2007; 33:409-413.
4. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, Mehta RL, Palevsky P; Acute Dialysis Quality Initiative workgroup.
Acute renal failure - definition, outcome measures, animal models, fluid therapy and information
technology needs: the Second International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality
Initiative (ADQI) Group. Crit Care 2004; 8:R204-212.
5. Himmelfarb J, Ikizler TA. Acute kidney injury: changing lexicography, definitions, and epidemiology.
Kidney Int 2007; 10:971-976.
6. Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and classification: time for change? J Am Soc
Nephrol 2003; 14:2176-2177.
7. Kellum JA, Bellomo R, Ronco C. The concept of acute kidney injury and the RIFLE criteria. Dalam:
Ronco C, Bellomo R, Kellum JA, eds. Acute kidney injury. Basel: Karger, 2007: 10-16.
8. Roesli RMA. Diagnosis dan pengelolaan gangguan ginjal akut. Edisi kedua. Bandung: Pusat Penerbitan
Ilmiah Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran UNPAD/RS dr.Hasan Sadikin Bandung dan
Puspa Swara, 2011: 1-142.
9. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR. Management of acute kidney injury. Dalam: Yap HK, Liu ID, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology On-The-Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 1-13.
Surabaya,
102
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Suatu bentuk peradangan non-supuratif di glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi dan
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik di
tempat lain dan ditandai dengan gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, dan oliguria yang terjadi
secara akut.
Sembab periorbita pada pagi hari (75%)
Malaise, sakit kepala, muntah, panas dan anoreksia
Air kemih kemerahan seperti air daging
Menderita infeksi saluran nafas atas 8-14 hari sebelumnya atau infeksi kulit 3 minggu sebelumnya
Edema periorbita
Asites (kadang-kadang)
Takikardia, takipnea, rales pada paru, dan cairan dalam rongga pleura
Hipertensi (tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 menurut umur, jenis kelamin
dan tinggi badan) pada > 50% penderita
Air kemih merah seperti air daging, oliguria, kadang-kadang anuria
1.
Sembab
2.
Hematuria
3.
Hipertensi
4.
Azotemia
5.
ASTO positif
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus
1.
Penyakit-penyakit ginjal:
Glomerulonefritis kronis eksaserbasi akut
Glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati, hematuria berulang
ringan
Glomerulonefritis progresif
2.
Penyakit-penyakit sistemik:
Purpura Henoch-Schnlein
Lupus eritematosus sistemik
Endokarditis bacterial subakut
3.
Penyakit-penyakit infeksi:
Infeksi virus (morbili, parotitis, varisela, Echo)
Infeksi bakteri lain.
Urinalisis: proteinuria ringan (pemeriksaan urine rebus), hematuria makroskopis atau mikroskopis, torak
granular, torak eritrosit
Laboratorium darah: BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali, ASTO >100 Satuan Todd, komplemen
C3 <50 mg/dl pada 4 minggu pertama, LED meningkat pada fase akut, kemudian menurun setelah gejala
klinis menghilang
Radiologi: tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura, dan kardiomegali
1. Tirah baring pada minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS (misalnya kesadaran menurun, hipertensi,
edema).
2. Antibiotika untuk eradikasi kuman:
Amoksisilin 50 mg/kgBB dibagi 3 dosis selama 10 hari
Jika alergi penisilin: Eritromisin 30 mg/kg BB/hari selama 10 hari
3. Diuretik: Furosemid 1-2 mg/kg/dosis (2-3 kali sehari) selama 3-10 hari (sesuai status edema dan hipertensi)
4. Anti-hipertensi (kombinasi dan durasi diberikan sesuai status hipertensi):
Amlodipin 0,05-0,2 mg/kg/hari
Captopril 0,3-2 mg/kg/dosis (3 kali sehari)
Losartan 0,5-1,4 mg/kg/hari
Carvedilol 0,08-0,75 mg/kg/dosis (2 kali sehari)
5. Diet nefritis (rendah garam dengan 2 g garam/hari).
6. Tata laksana komplikasi seperti gagal ginjal, krisis hipertensi, gagal jantung, edema paru.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2.
Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3.
Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
103
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita GNAPS akan sembuh dalam waktu 1 minggu perawatan
1. Kumar GV. Clinical study of post Streptococcal acute glomerulonephritis in children with special
reference to presentation. Curr Pediatr Res 2011;15(2):89-92.
2. Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:323-61.
3. Pan CG, Avner ED. Acute poststreptococcal glomerulonephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF,
Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1783-5.
4. Rauf S, Albar H, Aras J. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. Konsensus
glomerulonefritis akut pasca Streptokokus. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2012.
5. Rodriguez-Iturbe A, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:74353.
6. Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritic syndrome. Dalam: Webb NJA,
Postlethwaite RJ, Eds. Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press,
2003:197-225.
7. Srivastava RN, Bagga A. Acute glomerulonephritis. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 106-23.
8. Tasic V. Postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Geary DF, Schaefer F, Eds. Comprehensive
Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008:309-17.
9. Tse NK. Acute glomerulonephritis and rapidly progressive glomerulonephritis. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 103-8.
10. Yap HK, Lau PYW, Resontoc LPR, Thong WY. Management of acute glomerulonephritis. Dalam:
Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National
University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 113-9.
Surabaya,
104
Pengertian (Definisi)
2.
Indikasi
3.
Prosedur pelaksanaan
Suatu proses pemisahan zat-zat tertentu (toksin uremik) dari darah melalui membran semipermeabel di dalam
ginjal buatan (dializer), dan selanjutnya dibuang melalui cairan dialisis (dialisat).
Gangguan ginjal akut:
Kelebihan cairan (edema paru, gagal jantung kongestif, hipertensi yang resisten terhadap antihipertensi,
dan membantu pengeluaran cairan pada pasien oliguria/anuria untuk memenuhi tunjangan nutrisi yang
meningkat serta memerlukan darah dan produk darat
Keadaan serius yang mengancam hidup pasien, atau gangguan metabolik yang tidak dapat dikontrol
dengan obat seperti hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperurisemia, hiperfosfatemia
Keracunan atau kelebihan dosis obat (salisilat, glikol etilen, lithium)
Penyakit ginjal kronik:
Osteodistrofi ginjal
Komplikasi: hiperkalemia tidak terkontrol, kelebihan cairan, gagal jantung, perikarditis, ensefalopati
uremik, neuropati uremik)
Periksa berat badan sebelum dan sesudah hemodialisis dengan menggunakan timbangan yang sama.
Usahakan mencapai target berat badan kering setiap selesai hemodialisis.
Laboratorium sebelum dan sesudah hemodialisis:
o darah lengkap
o fungsi ginjal (BUN, kreatinin)
o elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium, fosfat)
o analisis gas darah
Premedikasi untuk mencegah sindrom disekuilibrium dialysis:
o Fenobarbital intravena 3-5 mg/kg
o Manitol 0,5-1 g/kg
o dapat dihentikan bertahap bila sudah mencapai durasi maksimal hemodialisis (4 jam)
Akses vaskular dengan kateter double lumen:
o Neonatus: 5-7 F
o 3-6 kg: 7 F
o 6-15 kg: 8F
o >15 kg: 9 F
o 15-30 kg: 10 F
o >30 kg: 11.5 F
Blood line:
o anak = 60 ml
o dewasa = 120 ml
Dialyzer/hemofilter berdasarkan luas permukaan tubuh (LPT):
o LPT 0,5 m2 (10-20 kg) FB 50 (volume 35 ml)
o LPT 0,7 m2 (20-30 kg) FB 70 (volume 45 ml)
o LPT 0,9 m2 (30-40 kg) FB 90 (volume 55 ml)
o LPT 1,1 m2 (>40 kg) FB 110 (volume 65 ml)
Volume ekstrakorporal:
o tidak melebihi 10-30% volume darah
o <10 kg: volume darah = 80 ml/kg
>10 kg: volume darah = 70 ml/kg
o Volume Ekstrakorporal = Volume Dialyzer + Volume Blood Line
o bila melebihi 10% volume darah, dapat dilakukan priming blood transfusion pada saat memulai
hemodialisis untuk menambah volume darah
Dialisat: bikarbonat
Blood flow untuk anak:
o 150-200 ml/m2/menit
o 5-7 ml/kg/menit
o BB <10 kg: 100 ml/menit
o BB 10-40 kg: 2,5 x BB (kg) + 100 ml/menit
o BB >40 kg: maksimal 250 ml/menit
Dialysate flow: 500 ml/menit (300-800 ml/menit)
Durasi (time/t):
105
Luas
Permuka
an Tubuh
2
(m2)/Blood
flow
4.
Edukasi
75
100
125
150
200
250
300
0.4
49
71
89
103
114
130
141
149
0.7
50
96
130
154
171
184
1.0
50
97
133
159
178
192
1.3
50
98
137
166
188
203
1.6
50
99
141
173
197
215
setelah memasukkan nilai K, V, dan ln C 1 /C 0, maka nilai t (durasi hemodialisis) dapat ditentukan,
dengan maksimal durasi 4 jam (sesuai jadwal rutin unit dialisis).
Ultrafiltrasi (UF):
o pertimbangkan berat badan, adanya kelebihan cairan, hipertensi, dan hemokonsentrasi
o maksimal 1,50,5 % BB/jam atau 5% berat badan untuk mencegah hipotensi berat selama dialisis
o 0,2 ml/kg/menit selama 4 jam dialisis
o pada gangguan ginjal akut, maksimal 0,2 ml/kg/menit
o lakukan sequential UF bila terjadi kelebihan cairan berat
Heparin (hentikan 1 jam sebelum hemodialisis selesai):
o Loading dose: regular = 50 U/kg (dewasa 1500 U)
dosis rendah = 15 kg: 5-10 U/kg (dewasa 1000 U)
>15 kg: 10-20 U/kg
o Dosis rumatan: regular = 50 U/kg/jam (dewasa 750 U/jam)
dosis rendah = 5-10 U/kg/jam (dewasa 500 U/jam)
Suport tekanan darah:
o Infus normal salin 0,9% 10-20 ml/kg
o Infus albumin 5% 10 ml/kg
o Infus albumin 20% 1 g/kg atau 5 ml/kg
Perlunya menjaga kebersihan dalam melakukan pertukaran cairan dialisat, baik kebersihan personal
maupun lingkungan, untuk mencegah infeksi peritonitis.
Perlunya kepatuhan dalam jangka panjang untuk pengobatan dan monitoring kondisi klinis.
106
5.
Prognosis
6.
7.
8.
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
9. Indikator Medis
10. Kepustakaan
Penyakit ginjal stadium terminal sebagai penyakit yang mendasari mempunyai pengaruh terhadap tumbuh
kembang dan aspek sosial serta psikologis anak, terutama jika terdapat komplikasi yang menimbulkan
sekuele.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
50% penderita dengan hemodialisis akan bertahan hidup dalam waktu 1 tahun pengobatan
1. Lau SC. Hemodialysis. Dalam: Chiu MC, Yap HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update
Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 280-6.
2. Reese L. Hemodialysis. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1817-34.
3. Sekarwana N. Hemodialisis. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV, Alatas
H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:223-31.
4. Sreedharan R, Avner ED. Chronic kidney disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1822-6.
5. Srivastava RN, Bagga A. Renal replacement therapy. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds.
Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 330-45.
6. Sudjatmiko S, Oesman O. Hemodialisis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:615-27.
7. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Prasetyo RV. Continuous venovenous hemodialysis (CVVHD)
or hemodialfiltration (CVVHDF) protocol. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 249-59.
8. Yap HK, Kanitkar M. Hemodialysis orders. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric
Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical Institute, National
University Hospital, 2012: 260-4.
Surabaya,
107
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
Suatu vaskulitis sistemik pembuluh darah kecil dengan mediasi imunologis yang secara primer
menyerang kulit, saluran cerna, sendi dan ginjal. Gangguan ginjal diklasifikasikan oleh International
Study on Kidney Diseases in Children (ISKDC) menjadi 6 grup berdasarkan biopsi ginjal.
Gejala sistemik: ruam kulit (di pantat, tungkai bawah dan pergelangan kaki), artralgia, artritis, nyeri
perut, kencing berwarna seperti teh, gangguan ginjal akut, nyeri kepala, kejang, perdarahan paru
Ruam makuloeritematosa kemudian menjadi makulopapular dan purpura yang simetris di pantat,
tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan, wajah, dan telinga
Artralgia dan artritis di tangan, kaki, pergelangan kaki dan lutut
Gangguan gastrointestinal: kolik abdomen, muntah, berak darah, melena, ileus, intususepsi
Gangguan ginjal: Hematuria mikroskopis dan makroskopis, sindrom nefrotik dan gangguan ginjal
akut
Gangguan saraf: nyeri kepala, ensefalopati ringan, kejang
Gangguan paru: perdarahan alveolar
Berdasarkan The European League Against Rheumatism (EULAR) dan Pediatric Rheumatology
European Society (PReS):
Ruam makulopapular dan purpura (harus ada) di pantat, tungkai bawah, pergelangan kaki, lengan,
wajah, dan telinga
Disertai minimal 1 dari:
o
Artralgia dan artritis
o
Gangguan gastrointestinal
o
Gangguan ginjal (harus ada)
o
Deposisi IgA pada biopsi organ
Nefritis Henoch-Schnlein Purpura
1.
2.
1.
2.
3.
4.
8.
Terapi
Nefropati IgA
Nefritis lupus
Urinalisis: hematuria, proteinuria, torak.
Darah: darah lengkap, laju endap darah, fungsi ginjal, fungsi liver, elektrolit, asam urat,
bikarbonat, IgA serum, C3, C4, ANA, anti-dsDNA, ASTO, ANCA
USG abdomen untuk eksklusi intususepsi.
Biopsi ginjal dan kulit.
I. Terapi imunosupresan
Indikasi:
Proteinuria ringan-sedang:
o Proteinuria 1 g/hari/1,73m2
o Sindrom nefrotik
o Proteinuria persisten antara 0,5-<1 g/hari/1,73m2 sesudah diterapi selama 3-6 bulan
, khususnya jika ada 1 gambaran:
Nyeri perut yang hebat
Ruam berulang
Hematuria makroskopis berulang
Penyakit berat:
o Sindrom nefritik-nefrotik
o Penurunan fungsi ginjal secara akut yang bukan oleh karena nekrosis tubular akut
o Gambaran crescents pada biopsi ginjal
Tanpa nefritis:
o Nyeri perut hebat
o Nyeri sendi berat yang menghalangi mobilisasi sehari-hari
o Artritis berulang
o Purpura berulang.
a. Proteinuria ringan-sedang, diberikan kombinasi imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n
dan MMF:
Predniso(lo)n oral 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi selama 2 minggu sampai ruam dan
nyeri perut menghilang, kemudian diubah ke dosis harian. Dosis seharusnya secara
bertahap di turunkan 5 mg/hari setiap 2 minggu, tergantung pada hasil pemeriksaan urine.
Dosis bisa diubah menjadi alternate saat proteinuria turun menjadi <0,3 g/hari/1,73 m2 dan
diturunkan sampai minimal dosis untuk mengontrol penyakit.
Ekivalensi dengan Metilprednisolon oral:
Prednison 5 mg = Metilprednisolon 4 mg
(catatan: Metilprednisolon oral tersedia dalam sediaan tablet
4 mg, 8 mg dan 16 mg)
Mycophenolate mofetil (MMF) bisa ditambahkan dengan dosis 600 mg/m2/dosis tiap 12
jam sebagai steroid sparring agent.
b. Penyakit berat, diberikan kombinasi antara imunosupresan Metilprednisolon/Predniso(lo)n dan
108
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
109
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita Henoch-Schnlein purpura nefritis anak akan terkontrol setelah 3 bulan pengobatan
1.
Albar H. Nefritis Henoch-Schnlein. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo
RV, Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011:102-11.
2.
Bagga A, Menon S. Henoch-Schnlein purpura. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical
Paediatric Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited,
2005: 137-41.
3.
Coppo R, Amore A. Henoch-Schnlein purpura. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1111-26.
4.
Davian JC. Henoch-Schnlein purpura nephritis: pathophysiology treatment, and future
strategy. Clin J Am Soc Nephrol 2011;6:679-89.
5.
Kidney Disease: Improving Global Outcome (KDIGO) Glomerulonephritis Work Group. KDIGO
Clinical Practice Guideline for Glomerulonephritis. Kidney Int Suppl. 2012; 2: 231-2.
6.
Liu DI, Yap HK. Management of Henoch-Schnlein purpura nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI,
Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University
Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 160-6.
7.
Noer MS. Glomerulonefritis. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2002:323-61.
8.
Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam:
Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.
9.
Van Why SK, Avner ED. Henoch-Schnlein purpura nephritis. Dalam: Kliegman RM, Stanton
BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19.
Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1789.
Surabaya,
110
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Suatu keadaan nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan
umur, jenis kelamin dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
Hipertensi ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala.
Gejala-gejala dapat berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, anoreksia, gelisah, berat badan turun,
keringat berlebihan, murmur, epistaksis, palpitasi, poliuri, proteinuri, hematuri, atau retardasi pertumbuhan.
Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran
dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat
ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil
atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
Nilai rata-rata tekanan darah sistolik dan atau diastolik lebih dari persentil ke-95 berdasarkan umur, jenis kelamin
dan tinggi badan pada pengukuran 3 kali berturut-turut.
Hipertensi
1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
1. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer dibagi dalam 2 tahap. Pemeriksaan tahap 2
dilakukan bila pada pemeriksaan tahap 1 didapatkan kelainan, dan jenis pemeriksaan yang dilakukan
disesuaikan dengan kelainan yang didapat.
2. Pemeriksaan tahap 1 meliputi pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal (urinalisis, biakan urin,
kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum, kreatinin, darah lengkap dan USG ginjal); pemeriksaan
untuk mendeteksi penyakit endokrin (elektrolit serum, aktivitas renin plasma dan aldosteron, katekolamin
plasma, katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin, aldosteron dan metabolit steroid dalam urin (17
ketosteroid dan 17 hidrokortikosteroid)); dan evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target meliputi EKG
dan ekokardiografi yang dapat menunjukkan pembesaran ventrikel kiri; foto toraks yang dapat
menunjukkan adanya pembesaran jantung dengan edema paru; funduskopi dapat dilihat adanya kelainan
retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina; dan CT
scan kepala yang dapat menemukan atrofi otak yang bila segera ditangani gejala dapat menghilang tanpa
gejala sisa.
3. Pemeriksaan tahap 2 dilakukan untuk evaluasi diagnostik ke arah penyebab hipertensi sekunder seperti
anti Streptolisin O (ASTO), komplemen 3 (C3), kultur hapusan tenggorok/keropeng infeksi kulit, sel LE, uji
serologi untuk SLE, miksio sistouretrografi (MSU), biopsi ginjal, CT ginjal, Tc 99m DTPA atau DMSA scan,
renografi, arteriografi, Digital Subtraction Angiography (DSA), CT kelenjar adrenal atau abdomen, scanning
adrenal dengan l131 meta-iodobenzilguanidin, katekolamin vena kava, analisis aldosteron dan elektrolit
urin, uji supresi dengan deksametason, renin vena renalis.
Tujuan pengobatan hipertensi pada anak adalah mengurangi risiko jangka pendek maupun panjang terhadap
penyakit kardiovaskular dan kerusakan organ target. Selain menurunkan tekanan darah dan meredakan
gejala klinis, perlu diperhatikan faktor-faktor lain seperti kerusakan organ target, faktor komorbid, obesitas,
hiperlipidemia, kebiasaan merokok dan intoleransi glukosa.
Tujuan akhir pengobatan hipertensi adalah menurunkan tekanan darah hingga di bawah persentil ke-95
berdasarkan usia, jenis kelamin dan tinggi badan anak. Pada anak dengan hipertensi kronik, dianjurkan untuk
menurunkan tekanan darah sebesar 20-30% dalam waktu 60-90 menit.
Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dimulai bila tekanan darah berada 10 mmHg di atas persentil ke95 untuk umur dan jenis kelamin. Langkah pengobatan, macam dan dosis obat antihipertensi adalah sebagai
berikut:
Golonga
n obat
Angiotens
in
convertin
g enzyme
inhibitor
(ACE-I)
Jenis
obat
Kaptopril
Lisinopril
Dosis dan
interval
0,1
mg/kg/kali,
tiap 8 jam
Neonatus:
0,03
mg/kg/hari
0,1
mg/kg/hari
Dosis maksimal
Anak
Dewasa
6
50 mg tiap 8
mg/kg/hari,
jam
tiap 8 jam
450 mg/hari
Neonatus:
2 mg/kg/hari
0,2-1
mg/kg/hari
5 mg/hari
atau 10-20
Efek samping
Teratogenik.
Pemeriksaan serum
kreatinin dan kalium
berkala.
Dapat dibuat
suspensi.
Hati-hati pemakaian
pada penyakit ginjal
111
dengan proteinuria
dan diabetes
mellitus.
Teratogenik.
Pemeriksaan kadar
serum kreatinin dan
kalium.
Losartan dapat
dibuat suspensi.
FDA membatasi
pemakaian losartan
hanya untuk anak 6
tahun dan kreatinin
klirens 30
ml/menit/1,73 m2.
Dapat menyebabkan
takikardi dan
edema.
Angiotens
in
receptor
blocker
(ARB)
Losartan
0,5-0,7
mg/kg/kali,
tiap 24
jam
1,4
mg/kg/kali,
tiap 24 jam
100 mg/hari
Calcium
channel
blocker
(CCB)
Amlodipi
n
0,05
mg/kg/hari
,
tiap 24
jam
0,25
mg/kg/kali,
tiap 6-8
jam
0,25-0,5
mg/kg/kali,
tiap 12-24
jam
1-2
mg/kg/kali,
tiap 12
jam
0,2
mg/kg/hari
0,6
mg/kg/hari
20 mg/hari
0,5
mg/kg/kali,
tiap 6-8 jam
20 mg,
tiap 6-8 jam
3 mg/kg/kali,
tiap 12-24
jam
120 mg/hari
10
mg/kg/kali,
tiap 6 jam
600 mg/kali,
tiap 6 jam
0,08
mg/kg/kali,
tiap 12
jam
(naikkan
0,08
mg/kg/kali
tiap 1-2
minggu)
0,5-1
mg/kg/hari
,
tiap 12-24
jam
0,2-0,5
mg/kg/kali,
tiap 6-12
jam
5-10
mcg/kg/ha
ri,
tiap 8-12
jam
(naikkan
sampai
5-25
mcg/kg/ha
ri,
tiap 6 jam)
Test dose:
0,005
mg/kg
(maksimu
m 0,25
0,75
mg/kg/kali,
tiap 12 jam
25 mg tiap
12 jam
8
mg/kg/hari,
tiap 12-24
jam
100 mg/hari
2 mg/kg/kali,
tiap 6-12
jam
80 mg/kali,
tiap 6-12
jam
0,9 mg/hari
2,4 mg/hari
0,5
mg/kg/hari,
tiap 6-12
jam
5 mg
tiap 6-12
jam
Dapat menyebabkan
hipotensi atau
sinkop, terutama
seteleh dosis
pertama
Nifedipin
Alpha and
beta
blocker
Extende
d
release
Nifedipin
Labetalo
l
Carvedil
ol
Beta
blocker
Atenolol
Propano
lol
Central
alpha
blocker
Klonidin
Periphera
l alpha
antagonis
ts
Prazosin
Kontraindikasi pada
penderita asma dan
gagal jantung,
diabetes mellitus
yang tergantung
insulin.
Non-cardioselective
agents.
Tidak digunakan
pada penderita
diabetes mellitus,
asma, gagal
jantung.
112
Diuretik
Hidroklo
rotiazid
Furosem
id
Spironol
akton
mg)
0,025-0,1
mg/kg/kali,
tiap 8-12
jam
1-1,5
mg/kg/kali,
tiap 12-24
jam
0,5-1
mg/kg/kali,
tiap 6-24
jam
1
mg/kg/hari
,
tiap 12-24
jam
4 mg/kg/hari
50 mg
tiap 12-24
jam
12
mg/kg/hari
240 mg
tiap 4-6 jam,
maksimal 2
g/kali
100 mg/hari
3,3
mg/kg/hari,
tiap 6-12
jam
Harus dimonitor
kadar elektrolit
secara periodik
Berguna sebagai
terapi tambahan
pada penyakit ginjal
Hiperkalemia berat,
terutama bila
dikombinasi dengan
ACE-I atau ARB
dosis
obat
diturunkan
setiap minggu
dan
Anak / Remaja
Tekanan darah terkontrol dalam batas normal untuk 6 bulan sampai 1 tahun. Kontrol tekanan darah
dengan interval waktu 6-8 minggu.
Ubah menjadi monoterapi.
Setelah terkontrol berlangsung kira-kira 6 minggu, turunkan monoterapi setiap minggu dan bila
memungkinkan berangsur-angsur dihentikan.
9.
10.
Edukasi
Prognosis
14.
15.
Indikator Medis
Kepustakaan
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
IV. Lain-lain (rujukan subspesialis, rujukan spesialisasi lainnya dll)
Rujukan ke Bagian Mata untuk melihat keterlibatan retina.
Rujuk ke konsultan nefrologi anak bila tidak berhasil dengan pengobatan atau terjadi komplikasi.
1. Pentingnya arti pengobatan non-farmakologik untuk pengontrolan tekanan darah.
2. Pentingnya memonitor tekanan darah secara terus menerus, dan bahwa terapi farmakologik dapat
dibutuhkan pada setiap waktu.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
1.
Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2.
Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3.
Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
113
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
114
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Suatu keadaan peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
yang meliputi:
Hipertensi urgensi: peningkatan tekanan darah tanpa kerusakan organ target dengan gejala klinis (sakit
kepala, mual, pandangan kabur)
Hipertensi emergensi: peningkatan tekanan darah dengan kerusakan organ target (otak, jantung, mata, ginjal)
dan gejala klinis
Pada krisis hipertensi dapat timbul ensefalopati hipertensif, hemiplegi, gangguan penglihatan dan
pendengaran, parese nervus fasialis, penurunan kesadaran, bahkan sampai koma. Dekompensasi kordis
dengan edema paru yang ditandai dengan gejala oleh gejala edema, dispnea, sianosis, takikardi, ronki,
kardiomegali, suara bising jantung, dan hepatomegali.
Riwayat penggunaan obat-obat seperti kortikosteroid, atau obat-obat golongan simpatomimetik (misalnya
efedrin). Riwayat penyakit dalam keluarga, misalnya hipertensi, stroke, gagal ginjal, dan lain-lain.
Dilakukan pengukuran tekanan darah pada empat ekstremitas untuk mencari koarktasio aorta. Kesadaran
dapat menurun sampai koma, tekanan sistolik dan diastolik meningkat, denyut jantung meningkat. Dapat
ditemukan bunyi murmur dan bruit, tanda gagal jantung, dan tanda ensefalopati.
Pada pemeriksaan funduskopi dapat ditemukan kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil
atau penyempitan pembuluh darah arteriol retina.
Peningkatan akut tekanan darah sistolik atau diastolik melebihi persentil 99 ditambah 5 mmHg
Dengan atau tanpa kerusakan target organ (otak, jantung, mata, ginjal)
Krisis Hipertensi
1. Hipertensi akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis akut pasca streptokokus, sindrom hemolitik uremik,
lupus eritematosus sistemik, dan purpura Henoch-Schnlein. Pemeriksaan air kemih, kadar elektrolit, IgG,
IgM, IgA, C3, ASTO, ANA, sel LE, BUN, kreatinin serum, dan hematologi, dapat membedakan penyebab
hipertensi tersebut.
2. Hipertensi kronis dapat disebabkan oleh glomerulonefritis kronis, pielonefritis kronis, uropati obstruktif,
penyempitan pembuluh darah ginjal, dan gagal ginjal tahap akhir. Hipertensi sekunder pada anak dapat pula
disebabkan oleh hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing, feokromositoma, hipertiroid, hiperparatiroid,
pengobatan steroid jangka panjang, neurofibromatosis, sindrom Guillain-Barre, dan luka bakar.
7.
Pemeriksaan
Penunjang
1. Funduskopi: kelainan retina berupa perdarahan, eksudat, edema papil, atau penyempitan pembuluh darah
arteriol retina.
5. Pemeriksaan penunjang untuk mencari penyakit primer seperti pada protokol Hipertensi pada Anak.
8.
Terapi
Pada krisis hipertensi, tekanan darah harus diturunkan secara bertahap dalam waktu 24 jam, dengan
penurunan awal sebesar 25% dalam 8 jam pertama.
Seringkali diperlukan kombinasi beberapa antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah dengan prinsip
menggunakan obat-obatan dengan tempat dan mekanisme kerja yang berbeda.
I. Medikamentosa
Penggunaan obat antihipertensi pada anak dengan krisis hipertensi adalah sebagai berikut:
Obat
Cara
pemberian
Dosis awal
Nifedipin
Oral atau
sublingual
0,25-0,5 mg/kg,
tiap 30 menit,
maks. 20 mg
1-3 mg/kg bolus,
kemudian
2-5 mg/kg/kali tiap
6 jam, maks.150
mg
Diazoksid
Intravena
cepat
(1-2 menit)
Natrium
nitroprusid
Pompa infus
kontinyu
0,25-8
mcg/kg/menit,
naikkan 25% tiap
5-10 menit, maks.
konsentrasi final =
Respo
n awal
Lamany
a
respon
15
menit
4-24 jam
2
menit
1-10
menit
Efek samping/
Komentar
Hanya pada
penderita yang
sadar baik
Nausea,
hiperglikemia,
retensi natrium,
takikardia,
hipotensi bila
bersama antihipertensi lain,
gangguan
gastrointestinal,
hiperurisemia,
trombositopenia
Membutuhkan
pengawasan
terus menerus,
risiko keracunan
tiosianat
115
Furosemid
Klonidin
Intravena
Pompa infus
kontinyu
Intravena,
intramuskular
1-5 mg/kg/kali,
tiap 6 jam,
maks.240 mg
0,1-1 mg/kg/jam
2-5
menit
2 jam
0,002 mg/kg/kali,
ulangi tiap 4-6
jam, dosis bisa
dinaikkan 3x lipat
IV: 5
menit
IM:
lebih
lama
menit
Beberap
a jam
1-2
jam
2-4 jam
Gliseril
trinitrit
Pompa infus
kontinyu
1-10
mcg/kg/menit,
maks. 400
mcg/menit
Nikardipin
Pompa infus
kontinyu
1-3 mcg/kg/menit,
maks. 250
mcg/menit
menit
(terutama pada
gangguan ginjal
dan hati).
Kontraindikasi:
koarktasio aorta,
tekanan
intrakranial
meningkat,
perdarahan
intrakranial.
Hiponatremia,
hipokalemia
Mengantuk,
mulut kering,
rebound
hypertension
Bradikardia,
takikardia, sakit
kepala, muntah,
methemoglobine
mia
Keuntungan:
awitan dan
hilangnya efek
cepat,
mengurangi
spasme koroner,
afterload dan
preload
Peningkatan
tekanan
intracranial,
reflex
tachycardia,
flushing, sakit
kepala,
hipotensi,
edema perifer,
gangguan
gastrointestinal
II. Bedah
Sesuai dengan kelainan yang ditemukan.
III. Suportif
Restriksi cairan.
Pada anak dan remaja, dianjurkan untuk mengubah gaya hidup: penurunan berat badan, diet rendah lemak
dan garam, olahraga teratur, menghentikan rokok dan kebiasaan minum alkohol.
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
3.
116
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita krisis hipertensi anak akan membaik setelah 2 minggu perawatan
1.
Arafat M, Mattoo TK. Measurement of blood pressure in children : recommendation and prescriptions on cuff
selection. Pediatrics 1999;104:e30-4.
2.
Bahrun D. Hipertensi sistemik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor. Buku
Ajar Nefrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002:242-90.
3.
Batisky DL, Robinson RF, Mahan JD. Treatment of childhood hypertension. Dalam: Geary DF, Schaefer F,
editor. Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 677-94.
4.
Beevers G, Lip GYH, OBrien E. Blood pressure measurement p art-1 sphygmomanometry:
factors common to all techniques. Br Med J 2001;322 : 981-5.
5.
Beevers G, Lip GYH, OBrien E, 2001. Blood pressure measurement part-2 conventional sphygmomanometry:
technique of auscultatory blood pressure measurement. Br Med J 2001;322:1043-7.
6.
Brewer ED. Evaluation of hypertension in childhood diseases. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P,
Yoshikawa N, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1519-40.
7.
Ellis D. Management of the hypertensive child. Dalam: Avner ED, Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N,
editor. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag, 2009:1541-76.
8.
Goonasekera CDA, Dillon MJ. The child with hypertension. Dalam: Webb NJA, Postlethwaite RJ, editor.
Clinical Paediatric Nephrology. Edisi 3. London: Oxford University Press, 2003:151-62.
9.
Hadtstein C, Whl E. Investigation of hypertension in childhood. Dalam: Geary DF, Schaefer F, editor.
Comprehensive Pediatric Nephrology. Philadelphia: Mosby Elsevier, 2008: 645-64.
10. Lande MB. Systemic hypertension. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW,
Behrman RE, editor. Nelson textbook of pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:163947.
11. Lestari E, Zarlina I. Hipertensi pada anak. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Komepndium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia, 2011:45-9.
12. Leung LC. Hypertension: diagnosis and evaluation. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 80-8.
13. Li SP, Wong S. Treatment of hypertension.. Dalam: Chiu MC, Yap HK, editor. Practical Paediatric
Nephrology-An Update of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom Limited, 2005: 89-95.
14. National High Blood Pressure Education Program Working Group on High Blood Pressure in Children and
Adolescents. The fourth report on the diagnosis, evaluation and treatment of high blood pressure in
children and adolescents. Pediatrics 2004;114:555-76.
15. Sekarwana N, Rachmadi D, Hilmanto D. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Konsensus Tata Laksana Hipertensi Pada Anak. Jakarta: Balai Penerbit IDAI, 2011.
16. Srivastava RN, Bagga A. Hypertension. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology.
Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 292-314.
17. Task Force on the Blood Pressure in Children National Heart, Lung and Blood Institute, Bethesda,
Maryland. Report on the second task force blood pressure control. Pediatrics 1987;79:1-25.
18. Yap HK, Aragon ET, Ng KH. Approach to diagnosis of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 201-25.
19. Yap HK, Ng KH, Resontoc LPR, Quek T. Treatment of hypertension. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 227-39.
Surabaya,
117
Pengertian (Definisi)
Indikasi
3.
Persiapan
4.
Prosedur pelaksanaan
5.
Prognosis
6.
7.
8.
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
9. Indikator Medis
10. Kepustakaan
118
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
4.
Pemeriksaan Fisik
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
Suatu penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan inflamasi multisystem dan adanya circulating
autoantibodies terhadap self-antigens dengan keterlibatan ginjal yang diklasifikasikan berdasarkan
kriteria International Society of Nephrology/Renal Pathology Society menjadi 6 kelas melalui biopsi
ginjal.
Gejala sistemik: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitivitas, nyeri sendi, nyeri pleuritik, bengkak,
kencing berbusa atau berwarna seperti teh, kejang, psikosis, pucat.
Dilakukan pemeriksaan organ sistemik dan pengukuran tekanan darah.
Adanya 4 dari 11 kriteria dari American College of Rheumatology 1997:
1. Ruam malar
2. Ruam discoid
3. Fotosensitivitas
4. Ulkus oral
5. Artritis
6. Pleuritis atau perikarditis
7. Gangguan ginjal (harus ada) berupa proteinuria persisten atau torak seluler
8. Gangguan neurologi
9. Gangguan hematologi
10. Gangguan imunologi
11. Antinuclear antibody (ANA) positif
Nefritis Lupus
1.
Drug-induced lupus
1. Diagnostik: komplemen C3 dan C4, anti-dsDNA, ANA, lupus anticoagulant, IgG dan IgM anticardiolipin, IgG dan IgM anti-beta 2 glikoprotein, anti-ENA (bila memungkinkan) yaitu anti-Ro,
anti-La, anti-Sm, anti-RNP, anti-SCL70, anti-Jo1.
2. Keterlibatan organ sistemik: darah lengkap, retikulosit, hapusan darah tepi, direct Coombs test,
8.
Terapi
laju endap darah, CRP, sedimen urine, protein urine, BUN, kreatinin, elektrolit (natrium, kalium,
kalsium, fosfat, klorida), bikarbonat, asam urat, alkali fosfatase, albumin, SGOT, SGPT, bilirubin,
kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, foto toraks, ekokardiografi.
I. Terapi imunosupresan berupa kortikosteroid dan cortisteroid sparing agents
Steroid perlu dikombinasi dengan sparring agents (mycophenolate mofetil atau MMF,
calcineurin inhibitor atau CNI, cyclophosphamide atau CPA) untuk meminimalkan efek
samping steroid jangka panjang. Kombinasi yang disarankan adalah:
- Steroid + MMF CNI
- Steroid + CPA
119
Fase rumatan:
Predniso(lo)n oral diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
MMF oral di diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis terendah yang tetap
mempertahankan kondisi remisi, dan sebaiknya tidak dihentikan
CsA dan Tac diturunkan dosisnya perlahan sampai dosis mencapai remisi, kemudian dapat
dipertimbangkan untuk dihentikan
CPA puls diberikan setiap 3 bulan selama 24 bulan (total masa pengobatan adalah 30
bulan), kemudian dihentikan.
120
9. Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
3.
4.
121
9.
10.
2009:1127-53.
Pan CG, Avner ED. Glomerulonephritis associated with systemic lupus erythematosus. Dalam:
Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson textbook of
pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier Saunders, 2011:1788-9.
Sng A, Lau PYW, Liu DI, Yap HK. Management of lupus nephritis. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay
WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University
Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 136-53.
Srivastava RN, Bagga A. Renal vasculitis and systemic lupus erythematosus. Dalam:
Srivastava RN, Bagga A, editor. Pediatric Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) Ltd, 2005:124-39.
Surabaya,
122
Pengertian (Definisi)
2.
Faktor Risiko
3.
Indikasi
4.
Tindakan Pencegahan
5.
Edukasi
6.
Prognosis
7.
8.
9.
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
Suatu keadaan dimana didapatkan gangguan fungsi ginjal dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) sebesar 25% dari harga dasar (baseline) dalam waktu 3 hari sesudah pemberian media
kontras secara intravaskular tanpa penyebab lain. Biasanya peningkatan kreatinin serum mencapai
puncak dalam 3-5 hari sesudah pemberian media kontras dan akan kembali ke baseline dalam waktu
1-3 minggu.
Faktor pasien:
o Penyakit ginjal kronik (PGK)
o Nefropati diabetik
o Hipovolemia
o Hipotensi
o Anemia
o Curah jantung menurun
o Penggunaan obat-obatan nefrotoksik
Faktor teknis prosedural:
o Dosis media kontras
Injeksi kontras multipel dalam 72 jam
Volume media kontras
o Rute media kontras
Intraarterial
o Jenis media kontras
Osmolalitas
Viskositas
Pasien yang akan menjalani prosedur pemeriksaan dan/atau intervensi radiologis dengan kontras,
dengan kondisi klinis:
LFG <60 ml/menit/1,73 m2
Gangguan ginjal yang mendapatkan obat anti-inflamasi non-steroid (OAINS) dalam 24 jam
sebelum/sesudah prosedur
Hipovolemia yang berisiko mengalami nekrosis tubular akut
1. Gunakan metode pemeriksaan alternatif yang tidak memerlukan media kontras
2. Gunakan dosis media kontras yang lebih rendah
3. Hindari pelaksanaan prosedur berulang dalam waktu berdekatan antara 48-72 jam (minimal
interval ideal adalah 2 minggu)
4. Hindari hipovolemia
5. Hentikan penggunaan obat-obatan nefrotoksik (seperti OAINS, diuretika, aminoglikosida)
minimal 24 jam sebelum pemberian media kontras
6. Pemberian hidrasi:
Normal salin 0,9% dengan kecepatan 1 ml/kg/jam yang dimulai 12 jam sebelum prosedur
dan diteruskan sampai 12 jam sesudah prosedur (total waktu pemberian 24 jam)
Natrium bikarbonat 8,4% dengan kecepatan 3 ml/kg/jam selama 1 jam sebelum prosedur,
dilanjutkan dengan 1 ml/kg/jam selama 6 jam sesudah prosedur
N-acetylcysteine oral:
o 1 bulan-2 tahun: 400 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
o >2 tahun: 600 mg tiap 12 jam, 1 hari sebelum dan pada hari prosedur dilakukan
7. Monitor fungsi ginjal (BUN, kreatinin), elektrolit serum (natrium, kalium, klorida) dan bikarbonat:
Baseline sebelum prosedur
Sesudah prosedur: 2 jam, 24 jam, 48 jam
8. Monitor produksi urine sebelum dan sesudah prosedur.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal
minggu kedua. Bila didapatkan peningkatan serum kreatinin yang menetap, sebaiknya perlu
dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 3 bulan
pertama.
2.
Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan
terhadap komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian.
Pada kasus yang berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau
kemajuan pengobatan dan bila perlu dapat dilakukan dialisis.
3.
Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika
terdapat komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
123
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita nefropati kontras akan membaik dalam waktu 2 minggu perawatan
1. ACT investigators. Acetylcysteine for prevention of renal outcomes in patients undergoing
coronary and peripheral vascular angiography: main results from the randomized
Acetylcysteine
for Contrast-Induced Nephropathy Trial (ACT). Circulation 2011; August
22 [Epub ahead of print].
2. Marenzi G, Assanelli E, Marana I, Lauri G, Campodonico J, Grazi M, et al. N- Acetylcysteine
and contrast-induced nephropathy in primary angioplasty. N Engl J Med 2006; 354:277382.
3. Solomon R. The role of osmolality in the incidence of contrast-induced nephropathy: a
systematic review of angiographic contrast media in high risk patients. Kidney Int 2005;
68:2556-63.
4. Stacul F, van der Molen AJ, Reimer P, Webb JAW, Thomsen HS, Morcos SK, et al.
Contrast induced nephropathy:
updated ESUR Contrast Media Safety Committee
guidelines. Eur Radiol 2011; August 25 [Epub ahead of print].
5. Yap HK, Resontoc LPR. Preventing contrast nephropathy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 14-7.
Surabaya,
124
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Suatu keadaan dimana didapatkan penurunan jumlah sel darah merah akibat penyakit ginjal kronik (PGK)
dengan sebab multifaktorial, terutama defisiensi eritropoeitin.
Pucat
Lemah atau malaise, mudah lelah
Nyeri seluruh tubuh (mialgia)
Gejala ortostatik
Sinkop
Nyeri dada, jantung berdebar
Gangguan tidur, sulit konsentrasi
Nafsu makan menurun
Riwayat PGK
Konjungtiva anemis
Hipotensi ortostatik, takiaritmia
Takipnea
Hepatosplenomegali
1. Gejala klinis anemia
2. Pemeriksaan laboratorium didapatkan anemia:
Pada anak <1 tahun bila kadar Hb kurang dari -2SD sesuai umur, yaitu:
o Lahir: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 1-3 hari: Hb 18,5 g/dl (rerata); Hb 14,5 g/dl (-2SD)
o 1 minggu: Hb 17,5 g/dl (rerata); Hb 13,5 g/dl (-2SD)
o 2 minggu: Hb 16,5 g/dl (rerata); Hb 12,5 g/dl (-2SD)
o 1 bulan: Hb 14,0 g/dl (rerata); Hb 10,0 g/dl (-2SD)
o 2 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,0 g/dl (-2SD)
o 3-6 bulan: Hb 11,5 g/dl (rerata); Hb 9,5 g/dl (-2SD)
o 6-24 bulan: Hb 12,0 g/dl (rerata); Hb 10,5 g/dl (-2SD)
Pada anak >1 tahun bila Hb kurang dari persentil ke-5 sesuai umur dan jenis kelamin, yaitu:
o 1-2 tahun: Hb 10,7 g/dl (laki-laki); Hb 10,8 g/dl (perempuan)
o 3-5 tahun: Hb 11,2 g/dl (laki-laki); Hb 11,1 g/dl (perempuan)
o 6-8 tahun: Hb 11,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
o 9-11 tahun: Hb 12,0 g/dl (laki-laki); Hb 11,9 g/dl (perempuan)
o 12-14 tahun: Hb 12,4 g/dl (laki-laki); Hb 11,7 g/dl (perempuan)
o 15-19 tahun: Hb 13,5 g/dl (laki-laki); Hb 11,5 g/dl (perempuan)
3.
PGK
Anemia Renal
1.
Anemia aplastik
2.
Sirosis hati
3.
Gangguan endokrin (hipertiroid, hipotiroid, hipoadrenal, hiperparatiroid).
Pemeriksaan darah tepi: indeks sel darah merah, hapusan darah tepi, hitung retikulosit
Pemeriksaan darah: panel besi (serum iron, ferritin, transferrin saturation, total iron-binding capacity (TIBC),
iron saturation), kadar vitamin B12 dan asam folat, fungsi hati (bilirubin, SGOT, SGPT), TSH, fungsi ginjal
(BUN, kreatinin), elektrolit dan bikarbonat
Biopsi sumsum tulang
Pemeriksaan radiologik didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, dan kardiomegali
Pertimbangkan untuk mulai terapi bila Hb <11 g/dl.
Target terapi:
Hb 11-12 g/dl
Hct 33%.
1. Medikamentosa
rhEPO-alfa intravena (Eprex atau Hemapo)
o direkomendasikan untuk pasien dengan hemodialisis
o dosis awal: 50-75 U/kg 3x/minggu, periksa Hb/Hct tiap 1-2 minggu hingga target Hb/Hct
tercapai. Dosis dinaikkan hingga mencapai dosis maksimal 240 U/kg/dosis 3x/minggu
o dosis rumatan: 100-300 U/kg/minggu
o monitor tekanan darah untuk melihat perburukan hipertensi yang memerlukan terapi.
rhEPO-beta subcutan (Recormon)
o direkomendasikan pada pasien pra-dialisis dan dengan dialisis peritoneal
o gunakan untuk pemberian secara subkutan bila terjadi aplasia sel darah merah murni pada
pemakaian rhEPO-alfa
o dosis: 75-150 U/kg/minggu. Dosis dinaikkan 25-50 U/kg/minggu tiap bulan hingga mencapai
dosis maksimal 240 U/kg/minggu. Target Hb/Hct seharusnya dapat dicapai dalam waktu 3
bulan.
Darbepoietin-alfa (Aranesp)
o merupakan recombinant erythropoiesis stimulating protein terbaru (analog dengan rhEPO)
dengan 2 rantai oligosakarida tambahan, yang memberikan efek lebih lama, sehingga
membutuhkan frekuensi pemakaian lebih sedikit dibandingkan rhEPO
o diberikan secara subkutan atau intravena pada anak usia 7-16 tahun, dengan waktu paruh 21
125
jam (12-25 jam) bila diberikan intravena dan 33 jam (16-44 jam) bila diberikan subkutan.
Bioavailabilitas pemberian subkutan 52%(32-70%)
dosis awal: 0,45 mcg/kg/minggu subkutan atau intravena (diperkirakan setara dengan rhEPO
100 U/kg/minggu). Oleh karena Aranesp tersedia dalam prefilled syringe (Singapur) berisi 20
dan 40 mcg, dan akurasi dosis dipertanyakan bila sebagian isinya terbuang, maka penting
untuk menyesuaikan interval dosis sehingga lebih tepat bagi pasien dengan ukuran tubuh
berbeda (tabel 1)
126
o
2.
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Suportif
Pemberian nutrisi yang adekuat
Koreksi hiperparatiroid sekunder
Hindari toksisitas aluminium
Atasi infeksi atau inflamasi kronis
Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau hipokomplementemia yang menetap,
sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama.
2.
Terapi
Meskipun umumnya pengobatan bersifat suportif, tetapi pemantauan pengobatan dilakukan terhadap
komplikasi yang terjadi karena komplikasi tersebut dapat mengakibatkan kematian. Pada kasus yang
berat, pemantauan tanda vital secara berkala diperlukan untuk memantau kemajuan pengobatan.
3.
Tumbuh Kembang
Penyakit ini tidak mempunyai pengaruh terhadap tumbuh kembang anak, kecuali jika terdapat
komplikasi yang menimbulkan sekuele.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
50% penderita anemia renal akan membaik dalam waktu 3 bulan pengobatan
1. Cano F, Alarcon C, Azocar M, Lizama C, Lillo AM, Delucchi A, et al. Continuous EPO receptor
activator therapy of anemia in children under peritoneal dialysis. Pediatr Nephrol 2011; 26:1303-10.
2. Lerner NB. Anemia of chronic disease and renal disease. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor
NF, St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia:
Elsevier Saunders, 2011:1653.
3. Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. III. Clinical
practice
recommendations for anemia in chronic kidney disease in children. Am J Kidney Dis 2006; 47(Suppl
3): S86-109.
4.
Kidney Disease Outcomes Quality Initiative (KDOQI). KDOQI Clinical practice guidelines and clinical
practice recommendations for anemia in chronic kidney disease. 2007 update of hemoglobin target.
Am J Kidney Dis 2007; 50:471-530.
5. Sekarwana N. Gagal ginjal kronik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO,
editor. Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:509-30.
6. Srivastava RN, Bagga A. Chronic renal failure. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 315-29.
7. VanDeVoorde RG, Warady BA. Management of chronic kidney disease. Dalam: Avner ED, Harmon
WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:1661-92.
8. Yap HK. Anemia, renal osteodystrophy, growth failure in chronic renal failure. Dalam: Chiu MC, Yap
HK, Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong:
Medcom Limited, 2005: 253-61.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Lau PYW. Renal anemia. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 32-40.
Surabaya,
127
Pengertian (Definisi)
Indikasi
3.
Prosedur pelaksanaan
4.
Efek samping
Suatu tindakan pemberian terapi siklofosfamid secara puls pada anak dengan penyakit ginjal.
Vaskulitis terkait anti-neutrophil cytoplasmic antibodies (ANCA) dengan necrotizing
glomerulonephritis atau glomerulonefritis kresentik:
o Induksi dengan metilprednisolon puls intravena 10-30 mg/kg/hari selama 3 hari berturut-turut
dan diberikan tiap bulan selama 6 bulan bersama dengan siklofosfamid intravena 500-1000
mg/m2 tiap bulan selama 6 bulan.
o Predniso(lo)n oral 0,5-1 mg/kg/hari, dosis diturunkan bertahap sesuai respon.
o Fase rumatan: mikofenolat mofetil 600 mg/m2/dosis, diberikan 2 kali sehari selama 6 bulan.
Nefritis lupus ISN/RPS kelas III dan IV (terapi standar):
o Siklofosfamid puls intravena diberikan tiap bulan selama 6 bulan, lalu tiap 3 bulan selama 2
tahun.
o Predniso(lo)n oral 0,5 mg/kg/hari, diturunkan bertahap 0,25 mg/kg alternating setelah tercapai
remisi.
Periksa berat badan dan tinggi badan, hitung luas permukaan tubuh saat masuk rumah sakit.
Pastikan pasien tidak ada tanda infeksi atau riwayat kontak dengan varisela zoster.
Pemeriksaan laboratorium :
o Darah lengkap
o Fungsi ginjal (BUN,kreatinin), elektrolit (natrium, kalium, klorida, kalsium, fosfat, magnesium),
bikarbonat, asam urat
o Urinalisis.
Pemberian dosis siklofosfamid puls jika:
o Jumlah lekosit total >4,0x109/L atau
o Absolute neutrophil count >2,5x109/L.
Leukosit nadir (nilai terendah) terjadi 10-14 hari setelah pemberian puls:
o Pemeriksaan darah lengkap ulang pada hari ke- 7,10 dan 14.
o Jika leukosit nadir <1,0x109/L, turunkan dosis siklofosfamid berikutnya sebanyak 20%.
Pastikan hidrasi secara adekuat untuk mencegah terjadinya sistitis hemoragik :
o Kebutuhan cairan intravena 0,45% salin sebanyak 2 L/m2/hari.
o Tambahkan 10 ml KCl 7,45% per 500 ml kecuali pasien dengan gagal ginjal atau kalium
serum 4 mmol/L.
o Berikan furosemid intravena jika pasien mengalami oliguria.
Monitor:
o Suhu badan, denyut nadi, laju nafas setiap jam dan tekanan darah setiap 4 jam
o Intake/output secara ketat
o Pastikan anak kencing setiap 2 jam saat terbangun dan setiap 3 jam saat tertidur untuk
mencegah terjadinya sistitis hemoragik.
Mulai siklofosfamid intravena dan diikuti Mesna setelah 2 jam hidrasi intravena:
o Menit ke-0 Prometazin oral 0,5 mg/kg/dosis (maksimal 25 mg)
o Menit ke-15 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
(dilarutkan sebanyak 20 mg/ml dalam Dekstrosa 5%)
o Menit ke-30 Siklofosfamid intravena
Dosis = 500 mg/m2, 750 mg/m2, 1000 mg/m2
(dosis dapat dinaikkan tiap bulan sampai dosis
optimal tercapai untuk tiap pasien)
Dilarutkan dalam 100-150 ml Dekstrosa 5% atau
0,45% salin selama 1 jam.
Furosemid intravena 1 mg/kg (maksimal 2 mg/kg).
o Menit ke-90 Mulai kembali cairan intravena pra-siklofosfamid
o Jam ke-4 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-8 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-12 Timbang berat badan pasien:
Bila BB naik >1 kg : beri furosemid intravena 1 mg/kg
(maksimal 2 mg)
Bila pasien nefrotik berat atau oliguria:
ulangi laboratorium (BUN, kreatinin, natrium, kalium, klorida, magnesium
dan bikarbonat)
o Jam ke-12 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-16 Mesna intravena (mg) = 0,2 x dosis siklofosfamid
o Jam ke-24 Periksa pasien. Hentikan hidrasi bila klinis pasien
baik.
Supresi sumsum tulang dengan netropenia.
Alopesia.
Toksisitas kandung kemih dengan sistitis hemoragik.
Kegagalan gonad: gagal ovarium pada 13% pasien <20 tahun dan pada 100% pasien >30 tahun.
Iritasi gastrointestinal: mual, muntah.
Gangguan elektrolit: hiponatremia, hipomagnesemia.
128
Prognosis
6.
7.
8.
Tingkat Evidens
Tingkat Rekomendasi
Penelaah Kritis
9. Indikator Medis
10. Kepustakaan
Risiko keganasan.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita yang mendapatkan terapi siklofosfamid puls tidak didapatkan komplikasi
1. Bosch X, Guilabert A, Espinosa G, Mirapeix E. Treatment of antineutrophil cytoplasmic
antibody-associated vasculitis. JAMA 2007;298:655-69.
2. Lehman TJ, Sherry DD, Wagner-Weiner L, McCurdy DK, Emery HM, Magilavy DB, et al.
Intermittent intravenous cyclophosphamide therapy for lupus nephritis. J Pediatr
1989;114:1055-60.
3. Yap HK, Resontoc LPR. Methylprednisolon pulse therapy. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens
Medical Institute, National University Hospital, 2012: 190-2.
Surabaya,
129
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh 2 kali berturutan selama pengobatan steroid atau dalam 14 hari sesudah dosis steroid
dihentikan
Sindrom Nefrotik Dependen Steroid
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
9.
Terapi
Edukasi
Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 2 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh
sering dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2.
Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.
130
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
50% penderita sindrom nefrotik dependen steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
3. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
4. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
5. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
6. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
7. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
8. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
9. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
131
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh kurang dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
Sindrom Nefrotik Kambuh Jarang
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) pada pagi hari minimal selama 4 minggu, kemudian dosis diturunkan perlahan selama
4-16 minggu (masa pengobatan total 3-6 bulan)
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Bila didapatkan hematuria atau proteinuria atau
hipokomplementemia yang menetap, sebaiknya perlu dilakukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama.
2.
Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid jangka panjang. Bila kemudian
didapatkan serangan berulang sering, diperlukan biopsi ginjal dan kombinasi dengan obat-obatan
lainnya.
3.
Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
80% penderita sindrom nefrotik kambuh jarang akan remisi dalam waktu 3 bulan pengobatan
1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
132
4.
5.
6.
7.
8.
Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
133
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang kambuh berulang lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Kambuh lebih dari 2 kali dalam 6 bulan atau 4 kali dalam setahun
Sindrom Nefrotik Kambuh Sering
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
9.
Terapi
Edukasi
10. Prognosis
Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
o Diberikan predniso(lo)n sebagai dosis tunggal pagi hari setiap hari selama mengalami infeksi saluran
nafas atas atau infeksi lain pada saat sudah dalam fase rumatan (dosis sesuai dengan dosis selang
sehari) untuk mencegah serangan kambuh sindrom nefrotik
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklofosfamid 2 mg/kg/hari sebagai dosis tunggal selama 8-12 minggu (dosis kumulatif maksimal 168
mg/kg). Hanya aman diberikan dalam 1 seri pengobatan.
o Levamisol 2,5 mg/kg sebagai dosis alternate (selang sehari) selama minimal 12 bulan.
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar takrolimus dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas.
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak,
rendah gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan
dengan komplikasi yang terjadi.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2.
Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka
panjang.
3.
Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
134
135
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang terjadi sejak lahir (kongenital) atau pada usia 4 bulan sampai 1 tahun (infantil)
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Usia: sejak lahir (kongenital), 4-12 bulan (infantil)
Sindrom Nefrotik Kongenital atau Infantil
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
136
5.
6.
7.
8.
2009:667-702.
Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
137
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia
yang tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
5. Tidak mengalami remisi setelah 6-8 minggu pengobatan steroid
Sindrom Nefrotik Resisten Steroid
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Predniso(lo)n:
o Fase induksi: 2 mg/kg/hari atau 60 mg/m2/hari (dosis maksimal 60 mg/hari) sebagai dosis tunggal pagi
hari sampai proteinuria negatif selama 3 hari berturut-turut atau maksimal selama 3 minggu
o Fase rumatan: 1,5 mg/kg/hari atau 40 mg/m2/hari (dosis maksimal 40 mg/hari) sebagai dosis alternate
(selang sehari) yang diturunkan perlahan dan diminum pada pagi hari selama 12-21 minggu (masa
pengobatan total 4-6 bulan)
Kombinasi dengan corticosteroid-sparing agent yang dimulai saat sudah mengalami remisi, pilihannya:
o Siklosporin A dosis awal 4-5 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan
dengan pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari
nefrotoksisitas. Bila menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Mikofenolat mofetil 1200 mg/m2/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 12 bulan.
o Takrolimus dosis awal 0,1 mg/kg/hari dalam dosis terbagi (tiap 12 jam) selama minimal 6 bulan dengan
pemantauan fungsi ginjal dan kadar siklosporin A dalam darah untuk menghindari nefrotoksisitas. Bila
menunjukkan remisi parsial, dapat dilanjutkan sampai 12 bulan.
o Rituksimab 375 mg/m2 tiap 2 minggu sebanyak 4 seri pengobatan, bila tetap mengalami kambuh sering
dengan kombinasi optimal steroid dan obat lainnya.
Bila tetap mengalami serangan:
o Metilprednisolon intravena 30 mg/kg (maksimal 1 gram) atau deksametason intravena 5 mg/kg
(maksimal 150 mg), diberikan selang sehari sebanyak 6 dosis; bergantian dengan predniso(lo)n oral 2
mg/kg/hari secara selang sehari.
Kontrol edema: transfusi albumin 20% 1 g/kg selama 4 jam dengan Furosemide intravena 1-2 mg/kg saat
transfusi berlangsung dan sesudah transfusi selesai
Anti-proteinuria:
o Captopril 0,1-2 mg/kg/hari (tiap 8 jam)
o Losartan 0,5-2 mg/kg/hari (maksimal 100 mg)
Suportif:
o Pemberian nutrisi yang adekuat dengan kalori normal sesuai usia, cukup protein, rendah lemak, rendah
gula, rendah garam (bila masih edema)
o Atasi infeksi atau inflamasi
o Jika terdapat komplikasi seperti gagal jantung atau renjatan, maka tatalaksananya disesuaikan dengan
komplikasi yang terjadi.
1.
Gejala klinis
Pada umumnya gejala-gejala klinis akan menghilang pada akhir minggu pertama atau awal minggu
kedua dan mencapai remisi sebelum 4 minggu. Diperlukan biopsi ginjal. Dianjurkan untuk
pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan.
2.
Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan steroid dan obat lainnya dalam jangka panjang.
3.
Tumbuh Kembang
Penggunaan steroid jangka panjang bila terjadi kekambuhan atau serangan berulang dapat
mempengaruhi tumbuh kembang anak.
Ad vitam
: dubia ad bonam/malam
Ad sanationam : dubia ad bonam/malam
Ad fungsionam : dubia ad bonam/malam
138
I/II/III/IV
A/B/C
1.
Prof. Mohammad Sjaifullah Noer, dr, SpA(K)
2.
Dr. Ninik Asmaningsih Soemyarso, dr, MMPaed, SpA(K)
3.
Risky Vitria Prasetyo, dr, SpA(K)
4.
Muhammad Riza Kurniawan, dr, SpA
30% penderita sindrom nefrotik resisten steroid akan remisi dalam waktu 6 bulan pengobatan
1. Bagga A, Menon S. Idiopathic nephrotic syndrome: initial management. Dalam: Chiu MC, Yap HK,
Eds. Practical Paediatric Nephrology-An Update Of Current Practices. Edisi 1. Hong Kong: Medcom
Limited, 2005: 109-15.
2. Hari P, Bagga A, Mantan M. Short term efficacy of intravenous dexamethasone and
methylprednisolone therapy in steroid resistant nephrotic syndrome. Indian Pediatr 2004; 41:993
1000.
3. Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
4. Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
5. Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
6. Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
7. Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
8. Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
9. Yap HK, Aragon ET. Rituximab protocol for nephrotic syndrome. Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC,
editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore: National University Childrens Medical
Institute, National University Hospital, 2012: 187-9.
10. Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
139
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Suatu kumpulan gejala yang terdiri dari sembab, hipoalbuminemia, proteinuria masif dan hiperkolesterolemia.
Sembab (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Oliguria
Gejala infeksi (saluran nafas atas, eksantema virus)
Nafsu makan menurun
Diare
Nyeri perut
Atopi
Riwayat keluarga sindrom nefrotik
Edema (palpebra, pretibia, asites, efusi pleura, skrotum)
Gejala akut abdomen pada peritonitis
1. Sembab
2. Albumin darah <2,5 g/dL
3. Proteinuria masif (>50 mg/kg/24 jam atau >40 mg/m2/jam)
4. Kolesterol darah >200 mg/dL
Sindrom Nefrotik
1.
Gagal jantung
2.
Kwashiorkor
Pemeriksaan darah: darah lengkap, albumin serum, kolesterol total serum, fungsi ginjal (BUN, kreatinin),
elektrolit (kalium, natrium, klorida, kalsium)
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
140
4.
5.
6.
7.
8.
Lombel RM, Gipson DS, Hodson EM. Treatment of steroid-sensitive nephrotic syndrome: new
guidelines from KDIGO. Pediatr Nephrol 2013;28:415-26.
Niaudet P, Boyer O. Idiopathic nephrotic syndrome in children: clinical aspects. Dalam: Avner ED,
Harmon WE, Niaudet P, Yoshikawa N, Eds. Pediatric Nephrology. Edisi 6. Berlin: Springer-Verlag,
2009:667-702.
Noer MS. Sindrom nefrotik idiopatik. Dalam: Noer MS, Soemyarso NA, Subandiyah K, Prasetyo RV,
Alatas H, Tambunan T, et al, editor. Kompendium nefrologi anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia, 2011:72-90.
Pais P, Avner ED. Idiopathic nephrotic syndrome. Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, editor. Nelson Textbook of Pediatrics. Edisi 19. Philadelphia: Elsevier
Saunders, 2011:1804-6.
Srivastava RN, Bagga A. Nephrotic syndrome. Dalam: Srivastava RN, Bagga A, Eds. Pediatric
Nephrology. Edisi 4. New Delhi: Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd, 2005: 161-200.
Wirya IGNW. Sindrom nefrotik. Dalam: Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO, editor.
Buku Ajar N efrologi Anak. E d i s i 2 . Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia,
2002:381-426.
Yap HK, Aragon ET, Resontoc LPR, Yeo WS. Management of childhood nephrotic syndrome.
Dalam: Yap HK, Liu DI, Tay WC, editor. Pediatric Nephrology-On The Go. Edisi 1. Singapore:
National University Childrens Medical Institute, National University Hospital, 2012: 122-35.
Surabaya,
141
ASFIKSIA NEONATORUM
1.
Pengertian
(Definisi)
Asfiksia neonatorum adalah kondisi gangguan pertukaran gas karbondioksida dengan oksigen yang
menyebabkan terjadinya hipoksemia dan hiperkarbia pada janin sehingga menyebabkan asidosis.
2.
Anamnesis
Bayi tidak bernapas spontan dan adekuat setelah lahir atau sesaat setelah lahir.
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
1.
Adanya asidosis metabolik atau mixed acidemia (pH <7.00) pada darah arteri umbilikus atau analisa gas
darah arteri apabila fasilitas tersedia
Adanya persisten nilai apgar 0-3 selama >5 menit
Manifestasi neurologis segera pada waktu perinatal dengan gejala kejang, hipotonia, koma, ensefalopati
hipoksik iskemik
Adanya gangguan fungsi multiorgan segera pada waktu perinatal
2.
3.
4.
5.
Diagnosis
Asfiksia
6.
Diagnosis Banding
Pengaruh sedasi, pemberian anestesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Resusitasi
Terapi medikamentosa :
Epinefrin :
Indikasi :
- Denyut jantung bayi <60 x/m setelah paling tidak 30 detik dilakukan ventilasi adekuat dan kompresi dada
- Asistolik
Dosis :
- 0,1-0,3 mL/kg BB dalam larutan 1:10.000 (0,01 mg-0,03 mg/kg BB) diberikan i.v, dibilas dengan 0,5-1
mL normal salin
- 0,3-1 mL/kg BB larutan 1:10.000 bila diberikan endotrakeal
- Dapat diulang setiap 3-5 menit bila perlu.
Volume ekspander :
Indikasi :
- Hipovolemia
- Tidak ada respon dengan resusitasi
Jenis cairan :
- Larutan kristaloid yang isotonis (NaCl 0,9%)
- Transfusi darah golongan O negatif jika diduga kehilangan darah banyak
Dosis :
- Dosis awal 10 mL/kg BB i.v pelan selama 5-10 menit. Dapat diulang sampai menunjukkan respon klinis.
Bikarbonat :
Indikasi :
- Asidosis metabolik. Diberikan bila ventilasi dan sirkulasi sudah baik.
- Penggunaan bikarbonat pada keadaan asidosis metabolik dan hiperkalemia harus disertai dengan
pemeriksaan analisa gas darah dan kimiawi.
Dosis : 1-2 mEq/kg BB atau 2 mL/kg BB (4,2%) atau 1 mL/kg BB (8,4%)
Cara :
- Diencerkan dengan aquabides atau dekstrose 5% sama banyak diberikan secara intravena dengan
142
ASFIKSIA NEONATORUM
kecepatan minimal 2 menit.
Efek samping :
- Pada keadaan hiperosmolaritas dan kandungan CO 2 dari bikarbonat merusak fungsi miokardium dan
otak.
9.
Edukasi
10. Prognosis
Jaga kehangatan.
Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam
IV
12. Tingkat
Level C
: dubia ad malam
: dubia ad malam
: dubia ad malam
Rekomendasi
Bayi bernapas, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Sebagian besar bayi baru lahir (90%) tidak memerlukan bantuan pernapasan
Sekitar 10% bayi baru lahir memerlukan bantuan pernapasan dan 1 % memerlukan bantuan resusitasi
lengkap (intubasi, kompresi dada, pemberian obat) untuk kelangsungan hidupnya
80 % Pasien sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Kattwinkel J, McGowan JE, Zaichkin J. Textbook of neonatal resuscitation; edisi ke-6. AAP & AHA, 2011; 1302
American Academy of Pediatrics. Special report- neonatal resuscitation: 2010 Amaerican Heart Association
guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care. Pediatrics 2010; 126(5):
e1400-11.
Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemia encephalopathy. Dalam: Cloherty JP, Stark
AR, eds. Manual of neonatal care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 711-28.
Ringer SA. Resuscitation in the delivery room. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 47-62.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease
and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 624-35.
Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 31-41.
Surabaya,
143
1.
Pengertian
(Definisi)
Kondisi hipoglikemia beserta segala akibatnya pada bayi baru lahir dari ibu penderita diabetes.
Kelainan spesifik yang sering ditemukan pada IDM :
Kelainan metabolisme
o
Hipoglikemia
o
Hipokalsemia
o
Hipomagnesemia
Kelainan kardiorespirasi
o
Asfiksia perinatal
o
Hyaline membrane disease
o
Kardiomiopati hipertropik
o
Takipnea sementara pada neonatus
Kelainan hematologis
o
Polisitemia dan hiperviskositas
o
Hiperbilirubinemia
o
Trombosis vena ginjal
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Hipoglikemia
Mungkin ditemui bersama dengan letargi, menyusu yang buruk, apnea, jitteriness pada 6-12 jam pertama
setelah kelahiran
Penyakit jantung mungkin ditemui. Penyakit ini didiagnosis dengan rasio kardio-timus yang membesar pada
film rontgen dada atau melaui bukti fisik adanya gagal jantung
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Hipotermia
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung, paru, saluran cerna, dan renal
Penyakit neuromuskular
Kelainan metabolisme bawaan
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Darah lengkap
Hematokrit
o
Pada saat lahir pada usia 4 sampai 24 jam
Kadar glukosa serum
o
Diperiksa dengan menggunakan dextrostix pada saat lahir, tiap 6 jam selama 24 jam, dan selanjutnya
pada usia 36 dan 48 jam
o
Pembacaan <45 mg/dL dengan menggunakan dextrostix harus diverifikasi oleh pengukuran glukosa
serum
Kadar kalsium serum bila terdapat gejala kejang
o
Jika kadar kalsium rendah, kadar magnesium serum harus diukur
Kadar bilirubin serum
o
Seperti yang diindikasikan oleh pemeriksaan fisik
Pemeriksaan radiologi
o
Tidak diperlukan kecuali terdapat bukti adanya masalah jantung, pernapasan, atau skeletal
Elektrokardiografi dan ekokardiografi : jika terdapat kardiomiopati hipertropik atau kelainan pembentukan
jantung
USG kepala
MRI kepala
Anamnesis
Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang
144
8.
Terapi
Hipoglikemia
Dosis awal 1-2 mL/kg/dosis glukonat kalsium 10% IV, diberikan secara perlahan selama 10 menit
9.
Edukasi
Kontrol yang baik terhadap diabetes ibu merupakan faktor kunci dalam menentukan hasil akhir fetus
Angka morbiditas dan mortalitas perinatal pada anak dari wanita penderita diabetes mellitus telah membaik
sejalan dengan diterapkannya tata laksana diet dan terapi insulin
10. Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam
IV
12. Tingkat
Level C
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
Rekomendasi
Bayi sadar, gejala klinis hipoglikemia tidak ada, hasil glukosa serum normal
15.
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 534-40.
Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 171-9.
Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
145
Pengertian
(Definisi)
Ensefalopati hipoksik iskemik perinatal adalah suatu sindroma yang ditandai dengan adanya kelainan klinis dan
laboratorium yang timbul karena adanya cedera pada otak yang akut yang disebabkan karena asfiksia.
2.
Anamnesis
Dari anamnesis didapatkan riwayat asfiksia, usia gestasi, kesulitan saat lahir, adanya kejang dan gangguan
kesadaran.
3.
Pemeriksaan Fisik
Menurut Sarnat dan Sarnat, ensefalopati iskemik hipoksik (HIE) dapat diklasifikasikan menjadi 3 tingkatan :
HIE Tingkat I
Tonus otot meningkat, refleks tendon dalam berlebihan, refleks Moro berlebihan dan/ atau spontan
Eksitasi simpatik terbukti oleh peningkatan denyut jantung dan pupil dilatasi
Letargi
Hipotonia
Koma
Flasidisitas
4.
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang
5.
Diagnosis
HIE Tingkat I
HIE Tingkat II
HIE Tingkat III
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Pengaruh sedasi, pemberian anastesia dan analgesia lainnya pada ibu waktu persalinan
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat, jantung dan paru
Penyakit neuromuskular
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
Darah lengkap
Gula darah
Pemeriksaan urine lengkap, produksi urine, dan osmollaritas.
Serum elektrolit (Na, Ka, Ca, P, dan Mg)
BUN dan serum kreatinin
Faal pembekuan darah
Faal hati
Analisa gas darah
Foto torak
Pungsi lumbal
EEG
USG kepala
MRI kepala
8.
Terapi
a.
b.
146
d.
Jaga kehangatan.
Jaga saluran napas agar tetap bersih dan terbuka.
Koreksi gangguan metabolik (cairan, glukosa darah dan elektrolit)
c.
9.
Edukasi
10. Prognosis
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
Level C
Bayi bernapas spontan, denyut jantung >100 kali/ menit, tidak sianosis, tonus otot baik
Tidak didapatkan kejang
80% pasien akan sembuh dalam waktu 3 minggu
15. Kepustakaan
1.
Hansen AR, Soul JS. Perinatal asphyxia and hypoxic-ischemic encephalopathy. In: Cloherty JP, Eichenwald
EC, Stark AR, eds. Manual of Neonatal Care, 7th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 71128.
Volpe JJ. Hypoxic-Ischemic Encephalopathy. In: Volpe JJ, eds.,Neurology of the Newborn,4th
ed.Philadelphia:WB.Saunders Co, 2001;217-394.
Levene M,Evans DJ. Hypoxic-ischemic brain injury. In: Rennie JM eds. Roberton's Textbook of
Neonatology 4th ed. Philadelphia, Elsevier Limited, 2005; 1128-48.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Perinatal Asphyxia. In: Gomella TL, Cunningham MD,
Eyal FG, Zenk KE, eds. Neonatology Management, Procedures, On-Call Problems, Diseases, and Drugs 6th
ed. New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2009; 624-35.
Stoll BJ, Kliegman RM. Nervous System Disorders. In: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, eds. Nelson
Textbook of Pediatrics 17th ed. Philadelphia, WB Saunders Co., 2004; 559-68.
Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 283-9.
2.
3.
4.
5.
6.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
147
Pengertian
(definisi)
Hiperbilirubinemia adalah terjadinya peningkatan kadar serum bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang
diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Sedangkan ikterus neonatorum adalah keadaan
klinis bayi yang ditandai oleh pewarnaan kuning pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi
yang berlebih. Ikterus tampak secara klinis bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL.
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Umum :
Keadaan umum (gangguan nafas, apnea, instabilitas suhu, dll)
Khusus :
Dengan cara menekan kulit ringan dengan memakai jari tangan dan dilakukan pada pencahayaan yang
memadai.
Derajat
ikterus
I
II
III
IV
V
4.
Kriteria Diagnosis
Daerah ikterus
Kepala dan leher
Sampai badan atas (di atas umbilikus)
Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga tungkai
atas (di atas lutut)
Sampai lengan, tungkai bawah lutut
Sampai telapak tangan dan kaki
Hiperbilirubinemia fisiologis
Terjadi peningkatan bilirubin indirek pada cukup bulan dengan puncak 6-8 mg/dL pada usia 3 hari
Pada bayi prematur dapat meningkat 10-12 mg/dL pada usia 5 hari
Hiperbilirubinemia non fisiologis
Total bilirubin serum >15 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi susu formula
Total bilirubin serum >17 mg/dL pada bayi cukup bulan dan diberi ASI
Ikterus klinis >8 hari pada bayi cukup bulan dan >14 hari pada bayi kurang bulan
Peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi
atau lebih dari persentil 90.
Gambar 1. Nomogram untuk penentuan risiko berdasarkan kadar bilirubin serum spesifik berdasarkan waktu pada
saat bayi pulang
148
Hiperbilirubinemia fisiologis
Hiperbilirubinemia non fisiologis
Infeksi virus, sepsis atau meningitis
Kelainan kongenital susunan syaraf pusat
Trauma persalinan
Kelainan metabolisme bawaan
Pemeriksaan
Penunjang
Bilirubin total
Bilirubin direk dan indirek
Faal hati
Albumin
Golongan darah (ABO dan Rhesus) ibu dan anak
Darah rutin
Hapusan darah
Retikulosit
Coomb test
Kadar enzim G6PD (pada riwayat keluarga dengan defisiensi G6PD)
USG abdomen (pada ikterus berkepanjangan)
Terapi
a.
b.
Fototerapi
Fototerapi dilakukan bila kadar total serum bilirubin (TSB) melebihi batas yang diharapkan sesuai pada
gambar 2.
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis
Banding
7.
8.
Gambar 2. Guideline fototerapi pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih.
c.
Penghentian fototerapi
Tergantung dari usia saat fototerapi dan penyebab hiperbilirubinemia. Pada bayi yang masuk rumah sakit
(TSB 18 mg/dl), fototerapi dapat dihentikan bila TSB <13 mg/dL atau 14 mg/dL.
d.
Tranfusi tukar
Dilakukan bila kadar total serum bilirubin melampaui garis seperti pada gambar 3
149
Gambar 3. Guideline tranfusi tukar pada bayi usia gestasi 35 minggu atau lebih. Tranfusi tukar segera bila bayi
menunjukkan tanda ensefalopati bilirubin akut (hipertonia, opistotonus, panas, menangis melengking) atau TSB 5
di atas garis. Faktor risiko : isoimun hemolitik, defisiensi G6PD, asfiksia, letargi, instabilitas temperatur, sepsis
asidosis
Tabel 1. Rekomendasi manajemen hiperbilirubinemia pada bayi kurang bulan (sehat dan sakit) dan bayi cukup
bulan (sakit)
Total serum bilirubin (mg/dL)
Bayi sehat
Bayi sakit
BB (g)
Fototerapi
Tranfusi tukar
Fototerapi
Tranfusi tukar
Kurang bulan
<1000
5-7
Bervariasi
4-6
Bervariasi
1000-1500
7-10
Bervariasi
6-8
Bervariasi
1501-2000
10-12
Bervariasi
8-10
Bervariasi
2001-2500
12-15
Bervariasi
10-12
Bervariasi
Cukup bulan
>2500
15-18
20-25
12-15
18-20
9.
Edukasi
Kunci tata laksana hiperbilirubinemia adalah mengidentifikasi proses non fisiologis yang menjadi penyebab
dasar meningkatnya kadar bilirubin serum
Fasilitas yang tidak dilengkapi dengan instrumen atau teknik diagnostik yang diperlukan harus merujuk
neonatus ke fasilitas yang tingkatannya lebih tinggi
Terapi sinar tidak boleh digunakan pada kasus hiperbilirubinemia direk
10. Prognosis
Hiperbilirubinemia fisiologis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam
: dubia ad bonam
Ad fungsionam
: dubia ad bonam
Hiperbilirubinemia non fisiologis
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam
: dubia ad malam
Ad fungsionam
: dubia ad malam
12. Tingkat
Rekomendasi
Level C
150
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems disease and
drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 288-300.
Martin CR, Cloherty JP. Neonatal hyperbilirubinemia. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 304-339.
Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk dokter,
bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 42-8.
Sukadi A. Hiperbilirubinemia. Dalam: Kosim MS, Yunanto A, Dewi R, Santosa GI, Usman A, eds. Buku ajar
neonatologi, edisi ke-1. Jakarta: Badan Penerbit IDAI, 2008; 147-69.
American Academic of Pediatrics. Management of hyperbilirubinemia in the newborn infant 35 or more weeks
of gestation. Pediatrics 2004; 114; 297-316.
Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri dan
neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 181-91.
Surabaya,
151
1.
Pengertian (definisi)
Hipoglikemi adalah keadaan hasil pengukuran kadar glukosa darah kurang dari 45 mg/dL (2.6 mmol/L).
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Gejala Hipoglikemi : tremor, jittery, keringat dingin, letargi, kejang, distress nafas
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
Hipoglikemia
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
a.
Gula darah
Darah lengkap
Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
Faal pembekuan darah
Pungsi lumbal
USG kepala
MRI kepala
Monitor
Pada bayi yang beresiko (BBLR, BMK, bayi dengan ibu DM) perlu dimonitor dalam 3 hari pertama :
Periksa kadar glukosa saat bayi datang/ umur 3 jam
Ulangi tiap 6 jam selama 24 jam atau sampai pemeriksaan glukosa normal dalam 2 kali pemeriksaan
Kadar glukosa 45 mg/dL atau gejala positif tangani hipoglikemia
Pemeriksaan kadar glukosa baik, pulangkan setelah 3 hari penanganan hipoglikemia selesai
b.
Konsentrasi glukosa tertinggi untuk infus perifer adalah 12,5%, bila lebih dari 12,5% digunakan vena
sentral.
Periksa glukosa darah pada : 1 jam setelah bolus dan tiap 4 jam
Bila kadar glukosa masih <25 mg/dL, dengan atau tanpa gejala, ulangi seperti diatas
Bila kadar 25-45 mg/dL, tanpa gejala klinis :
- Infus D10 diteruskan
- Periksa kadar glukosa tiap 3 jam
- ASI diberikan bila bayi dapat minum
Bila kadar glukosa 45 mg/dL dalam 2 kali pemeriksaan
-
c.
152
e.
9.
Edukasi
Pemantauan glukosa bisa dihentikan setelah bayi mulai menerima asupan dengan penuh atau
mendapatkan infus glukosa terus menerus secara teratur dan 3 kali pemeriksaan yang dilakukan setiap
jam hasilnya >45 mg/ dL
Jika tanda kembali timbul dan pemberian asupan tidak bisa ditoleransi, mulai lagi dari awal
10.
Prognosis
Ad vitam
Ad sanationam
Ad fungsionam
11.
Tingkat Evidens
IV
12.
Tingkat Rekomendasi
Level C
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
: dubia ad bonam
Tidak didapatkan gejala klinis hipoglikemia dan kadar gula darah normal
80% membaik dalam 24 jam
80% pasien sembuh dalam waktu 7 hari
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG, Zenk KE. Neonatology, management, procedures, on call
problems disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 313-7.
Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri Neonatal
Emergensi Dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 56-7.
Wilker RE. Hypoglycemia and hyperglycemia Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 284-96.
Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 35-6.
Surabaya,
153
Pengertian (definisi)
Gangguan sementara fungsi otak dengan manifestasi gangguan kesadaran episodik disertai abnormalitas
sistem motorik atau otonomik
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Subtle (samar) : kedipan mata, gerakan seperti mengayuh, apnea lebih dari 20 detik dengan detak
jantung normal, tangisan melengking, mulut seperti mengunyah/ menghisap
Tonik (fokal dan general) : gerakan tonik seluruh ekstremitas, fleksi ekstremitas atas disertai ekstensi
ekstremitas bawah
Klonik (fokal dan multifokal). Fokal : gerakan ritmis, pelan, menghentak klonik. Multifokal : gerakan
klonik beralih dari ekstremitas yang satu ke ekstremits yang lain tanpa pola spesifik.
Mioklonik (fokal, multifokal, general) : gerakan menghentak multipel dari ekstremitas atas dan bawah.
Anamnesis
Gejala klinis
Pemeriksaan penunjang : laboratorium, USG kepala, EEG
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
Neonatal seizures
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Jitteriness
Gerakan tidur mioklonus
Apnea pada saat tidur
Gerakan mengisap yang terputus
Darah lengkap
Gula darah
Serum elektrolit (natrium, kalsium, fosfat, dan magnesium)
Faal pembekuan darah
Kadar billirubin dan faal hati
Pemeriksaan TORCH
Analisa gas darah
Pungsi lumbal
USG kepala
MRI kepala
EEG
Pertahankan homeostasis sistemik (pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi)
Terapi etiologi spesifik
o
Dekstrose 10% 2 mL/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
o
Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 mL/kg BB) diencerkan aquades sama banyak
diberikan secara intra vena dalam 30 menit (bila diduga hipokalsemia)
o
Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
o
Piridoksin 50-100 mg/kg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang akan berhenti
dalam beberapa menit
Terapi antikejang
o
Fenobarbital: Loading dose 20 mg/kg BB intravena dalam 15 menit, jika tidak berhenti dapat
diulang dengan dosis 5 mg/kg BB tiap 5 menit sampai total 40 mg/kg atau kejang berhenti.
o
Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 20 mg/kg BB intra vena kecepatan 1
mg/kg/menit
o
Bila masih kejang dapat diberikan :
Diazepam 0,3 mg/kg/jam (dengan support ventilasi mekanik)
Midazolam 0,2 mg/kg iv kemudian 0,1-0,4 mg/kg/jam
o
Rumatan
fenobarbital
dosis
3-5
mg/kg
BB/hari
dapat
diberikan
secara
intravena/intramuskuler/peroral , dimulai 24 jam setelah loading dose
o
Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena dimulai dalam 12 jam setelah loading dose
Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu setelah bebas kejang dan penghentian obat anti
kejang sebaiknya dilakukan sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
154
9.
Edukasi
Bayi yang mengalami kejang mungkin mempunyai lebih dari satu penyebab, misalnya HIE dengan
hipokalsemia, atau sepsis dengan hipoglikemia
Klinisi seharusnya tidak hanya mendiagnosis kejang saja tanpa mengetahui penyebab dasarnya
10.
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
11.
Tingkat Evidens
IV
12.
Tingkat Rekomendasi
Level C
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
155
SEPSIS NEONATORUM
1.
Pengertian (Definisi)
Suatu sindroma respon inflamasi janin / FIRS disertai gejala klinis infeksi yang diakibatkan adanya kuman di
dalam darah pada neonatus.
Laboratorium :
o
Leukositosis (> 34.000 x 109/L)
o
Leukopenia (< 4.000 x 109/L)
o
Netrofil muda >10%
o
Perbandingan netrofil immatur (stab) dibanding total (stab+segmen) atau I/T ratio > 0,2
o
Trombositopenia < 100.000 x 109/L)
o
CRP > 10 mg/dl atau 2 SD dari normal
Klasifikasi :
1.
Early Onset (dini): terjadi pada 5 hari pertama setelah lahir dengan manifestasi klinis yang
timbulnya mendadak, dengan gejala sistemik yang berat, terutama mengenai sistem saluran
pernafasan, progresif dan akhirnya syok
2. Late Onset (lambat): timbul setelah umur 5 hari dengan manifestasi klinis sering disertai adanya
kelainan sistem susunan saraf pusat
3. Infeksi nosokomial yaitu infeksi yang terjadi pada neonatus tanpa resiko infeksi yang timbul lebih
dari 48 jam saat dirawat di rumah sakit
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Antenatal: paparan terhadap mikroorganisme dari ibu (Infeksi ascending melalui cairan amnion, adanya
paparan terhadap mikroorganisme dari traktur urogenitalis ibu atau melalui penularan transplasental)
Selama persalinan: trauma kulit dan pembuluh darah selama persalinan, atau tindakan obstetri yang
invasif
Postnatal: adanya paparan yang meningkat postnatal (mikroorganisme dari satu bayi ke bayi yang lain,
ruangan yang terlalu penuh dan jumlah perawat yang kurang), adanya portal kolonisasi dan invasi kuman
melalui umbilikus, permukaan mukosa, mata, kulit
4.
Kriteria Diagnosis
Anamnesis
Gejala klinis
Kultur darah positif
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
Darah rutin
Hapusan darah tepi
Kadar C-reactive protein (CRP)
Kultur darah
Pungsi lumbal dan kultur cairan serebrospinal
Foto polos dada
8.
Terapi
1.
Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 50 mg/kg BB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk
neonatus umur 7 hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari), dan gentamisin 4-5 mg/kg/dosis tiap
24 jam. Dosis Ampisilin untuk meningitis adalah 100 mg/kgBB/dosis i.v (tiap 12 jam untuk neonatus umur
7hari, dan tiap 8 jam untuk neonatus umur >7 hari).
Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan : darah lengkap, urine lengkap, feses lengkap,
kultur darah, kultur cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal dengan analisa
2.
156
SEPSIS NEONATORUM
3.
4.
5.
6.
7.
cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada, pemeriksaan CRP kuantitatif.
Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa gas darah, foto
abdomen, USG kepala dan lain-lain.
Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan darah dan CRP
normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
Bila kultur positif antibiotika disesuaikan dengan hasil kultur.
Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP tetap abnormal,
maka diberikan Meropenem i.v. dengan dosis 20 mg/kg BB/dosis tiap 12 jam i.v .Lama pemberian
antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21 hari.
Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi asidosis metabolik, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar, imunoglobulin.
9.
Edukasi
10.
Prognosis
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
11.
Tingkat Evidens
IV
12.
Tingkat
Rekomendasi
Level C
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
1.
2.
Haque KN. Definitions of bloodstream infection in the newborn. Pediatr crit Care Med 2005; 6(3): 45-9.
Gomella TL, Cunningham MD, Eyal FG. Neonatology, management, procedures, on call problems
disease and drugs; edisi ke-6. New York: Lange Books/Mc Graw-Hill, 2009; 665-72.
Khosim S, Indarso F, Irawan G, Hendrarto TW. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri neonatal
emergensi dasar. Jakarta: Depkes RI, 2006; 92-7.
Puopolo KM. Bacterial and fungal infections. Dalam: Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal care;
edisi ke-7. Boston: Lippincott Williams & Wilkins, 2012; 624-55.
Khosim MS, Surjono A, Setyowireni D, et al. Buku panduan manajemen masalah bayi baru lahir untuk
dokter, bidan dan perawat di rumah sakit. Jakarta: IDAI, MNH-JHPIEGO, Depkes RI, 2004; 19-20.
Indrasanto E, Dharmasetiawani N, Rohsiswatmo R, Kaban RK. Buku acuan pelatihan pelayanan obstetri
dan neonatal emergensi komprehensif. Jakarta: Depkes RI, 2008; 213-20.
3.
4.
5.
6.
Pada sepsis yang didiagnosis secara klinis, jangka waktu terapi 10-14 hari
Pada meningitis, jangka waktu terapi 14-21 hari
Surabaya,
Ketua Komite Medik
157
ABSES OTAK
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Proses peradangan purulen yang terisolir di antara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau
tidak
Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70-90%).
Adanya riwayat penyakit jantung bawaan sianotik, infeksi sinus atau mastoid
Adanya riwayat prosedur bedah saraf, trauma kepala maupun kondisi imunosupresi
Panas tidak terlalu tinggi.
Kejang biasanya bersifat fokal.
Gangguan kesadaran mulai dari perubahan kepribadian, apatis sampai koma.
Apabila dijumpai papil edema menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut.
Dapat dijumpai hemiparese dan disfagia.
Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di sekitar abses.
1. Anamnesis dan gejala klinis yang spesifik
2. Hasil neuro imaging (CT Scan atau MRI dengan kontras)
Abses otak
1. Tumor di daerah serebropontin
2. Abses ekstradural
3. Empiema subdural
1. Pemeriksaan laboratorium :
o Darah : jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit meningkat dan laju endap darah
meningkat pada 60% kasus
o
Cairan Serebro Spinal (CSS) : dilakukan bila tidak ada tanda-tanda peningkatan tekanan intra
kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi herniasi
2. Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT-scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan diagnosis.
Stadium serebritis awal (1-3 hari), serebritis lanjut (4-9 hari), formasi kapsul dini (10-14 hari) dan
formasi kapsul lanjut (>14 hari)
Stadium awal hanya didapatkan daerah hipodens dan daerah irreguler yang tidak menyerap kontras.
Pada stadium lanjut didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras.
Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium serebritis, abses
multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis atau Ceftriaxone 100 mg/kgBB/hari IV dibagi
dalam 2 dosis
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5 mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6
jam hari (maksimal 4 g/hari).
Antibiotik diberikan selama kurang lebih 6 minggu.
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 3 dosis atau Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan
dosis rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam. Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada
hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan menghambat
pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah pecah dan terjadi meningitis.
Penatalaksanaan bedah:
Aspirasi stereotactic
Kraniotomi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
Neuroendoskopi
Penjelasan tentang komplikasi dan prognosis penderita. Sebelum era antibiotik mortalitas mencapai
40-60%.
2.
Banyaknya komplikasi dan kematian disebabkan karena abses serebri yang multiple, adanya GCS
yang turun dan meningitis.
3.
Penjelasan terhadap adanya rekurensi.
4.
Keterlambatan diagnosis mempunyai kontribusi terhadap derajat berat penyakit.
Angka mortalitas mencapai 4-12 %.
Kejang bersifat kronis cukup sering didapatkan dan terkadang bermanifestasi setelah beberapa tahun
pasca abses serebri
4
C
1.
158
ABSES OTAK
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
Pengobatan dengan cefotaxime menunjukkkan angka kesembuhan 76 % pada kasus abses otak
Tingkat mortalitas setelah pasien menjalani tindakan bedah adalah sebesar 15%.
80% Pasien akan sembuh dalam waktu 6 minggu
1. Helweg-Larsen J, Astradsson A, Richhall H, Erdal J, Laursen A, Brennum J. Pyogenic brain abscess, a 15
year survey. BMC Infect Dis 2012;12:332.
2. Shachor-Meyouhas Y, Bar-Joseph G, Guilburd JN, Lorber A, Hadash A, Kassis I. Brain abscess in
children - epidemiology, predisposing factors and management in the modern medicine era. Acta Paediatr
2010;99(8):1163-7.
3. Jansson AK, Enblad P, Sjolin J. Efficacy and safety of cefotaxime in combination with metronidazole for
empirical treatment of brain abscess in clinical practice: a retrospective study of 66 consecutive cases. Eur
J Clin Microbiol Infect Dis 2004;23(1):7-14.
4. Kao PT, Tseng HK, Liu CP, Su SC, Lee CM. Brain abscess: clinical analisys of 53 cases. J Microbiol
Immunol Infect;36:129-136
5. Tauber MG, Schaad UB. Bacterial infections of the nervous system. Dalam Swaiman KF. Ashwal S,
Ferriero DM, Schor NF ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier;
2012. Hal 1241-61.
Surabaya,
159
BELLS PALSY
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10.
Prognosis
11.
12.
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
13.
Penelaah Kritis
Suatu paralisis nervus fasialis unilateral yang bersifat mendadak, tidak diketahui sebabnya (idiopatik) yang
mengakibatkan ketidakmampuan pengontrolan otot wajah pada sisi yang terkena
Nyeri telinga didekat mastoid
Kesulitan menutup mata
Kesulitan menggunakan otot wajah secara normal
Kesulitan minum dan makan karena gangguan mulut pada sisi yang terkena
Riwayat infeksi saluran pernafasan sebelumnya
Bells palsy ditegakkan setelah kondisi-kondisi infeksi, inflamasi, injuri, neoplasma, penyakit metabolik,
dan kelainan kongenital dapat disingkirkan.
Drooling
Gangguan pengecapan
Gangguan pendengaran
160
BELLS PALSY
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
Angka kesembuhan dengan terapi steroid 88,2%, sedangkan dengan kombinasi steroid dan anti virus sekitar
91,2%
1. Eudocia CQ,Shafali SJ, Rajeev HM, Manveen KB, Anton YP. The benefits of steroids versus steroids
plus antivirals for treatment of Bells palsy: a meta-analysis. BMJ. 2009; 339
2. Evangelos P, Anastasia G, M Arampatzi. Facial nerve palsy in childhood. The Japanese Society of Child
Neurology. 2010; 33. 644-650
3. Smith SA, Quvrier R. Peripheral neuropathies. Dalam Swaiman KF. Ashwal S, Ferriero DM, Schor NF
ed. Pediatric neurology principles and practice. Edisi kelima. Philadelphia: Elsevier; 2012. Hal 1503-8.
Surabaya,
161
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
15. Kepustakaan
Infeksi yang terjadi pada bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan
Mayoritas bayi yang lahir dengan infeksi CMV congenital adalah asimtomatik.
Pada bayi baru lahir, didapatkan IUGR, ikterus, bercak perdarahan dibawah kulit (ptekie sampai purpura),
bayi tidak bergerak aktif dan malas minum.
Letargi, hiper/hipotoni, ikterus, hepatomegaly, splenomegali,
Gejala neurologi: mikrosefali, chorioretinitis, kejang, tuli neural sensorik dan perubahan tonus otot
1.
Gejala klinis yang spesifik
2.
Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
3.
IgM anti CMV positif
4.
CT-Scan kepala tampak leukomalacia atau atrofi kortikal atau efusi subdural atau perdarahan otak
Infeksi CMV kongenital
1.
Infeksi rubella kongenital
2.
Toksoplasmosis congenital
1.
Deteksi virus (identifikasi CMV-DNA) dengan PCR pada sampel urine, saliva, darah atau cairan
serebrospinal sebelum 3 minggu pertama usia
2.
Deteksi antigen atau IgM CMV di darah
3.
Pada ibu: serokonversi IgG diantara 2 sampel serum yang diambil dengan jark 2-3 minggu adalah
diagnosis yang nyata adanya infeksi primer.
4.
Pemeriksaan SGOT meningkat > 300 IU, bilirubin direct > 30 mg/dl, dan trombositopenia 20.000125.000/mm3
5.
CT Scan kepala: tampak leukomalasia periventrikular, atrofi kortikal, pembesaran ventrikel
unilateral/ bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak
Gansiklovir 6 mg/kgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan tiap 12 jam selama 6 minggu atau
Valgansiclovir oral dengan dosis 15 mg/kg BB setiap 12 jam selama 6 minggu
Terapi suportif
1.
Menjelaskan pengobatan yang akan diberikan, jangka waktu pengobatan, cara pemberian dan efek
samping pengobatan ganciclovir yakni granulocytopenia, anemia, tromobositopenia.
2.
Menjelaskan prognosis infeksi CMV sesuai dengan kelainan yang terjadi pada penderita
3.
Jika infeksi CMV sudah dikonfirmasi, klasifikasikan simtomatik atau asimtimatik dan dilakukan
monitoring 1,3,6 dan 12 bulan dan secara periodik sampai usia sekolah dengan tujuan mendeteksi
sekuele dengan onset lambat.
4.
Konseling orang tua apabila merencanakan memiliki anak lagi untuk berkonsultasi pada dokter agar
tidak terjadi penularan pada bayinya
Bayi dengan congenital CMV 90% mengalami sekuele tumbuh kembang sperti palsi serebral, epilepsi,
gangguan sensori-neural, retardasi mental, gangguan tingkah laku dan kebutaan
Angka mortalitas mencapai 5-30%
Lesi intracranial pada neuroimaging berhubungan dengan gangguan intelektual >80% kasus
IV
C
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
1.
10-15% penderita dengan pengobatan gancyclovir mengalami sensorineural sekuele
2.
Netropenia terjadi pada pada 63% anak yang sedang menjalani terapi gansiklovir dan 38% anak
yang menjalani terapi valgansiklovir
3.
Pasien akan sembuh dalam waktu 2-3 minggu perawatan
1.
Buosenso D, Seranti D, Gargiullo L, Ceccareli M, Ranno O, Valentini P. Congenital cytomegalovirus
infection: current strategies and future perspectives. Eur Rev Med Pharmacol Sci. 2012; 16:919-35
2.
Cheeran MC, Lokensgard JR, Schleiss MR. Neuropathogenesis of congenital Cytomegalovirus
infection: disease mechanism and prospects for intervention. Clin Microbiol Rev. 2009; 22: 99-126
3.
Nasetta L, Kimberlin D, Whitley R. Treatment of congenital cytomegalovirus infection: implications
for future therapeutic strategies. JAC . 2009; 63: 862-7
4.
Kenneson A, Cannon MJ. Review and meta-analysis of the epidemiology of congenital
cytomegalovirus (CMV) infection. Rev Med Virol. 2007; 17: 253-76
5.
Maria BL, Bale JF. Infections of the nervous system. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 457-8.
Surabaya,
162
163
PALSI SEREBRAL
1.
2.
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
Terlambat bicara
Kaki gemetar
Mata juling.
Atetosis;
Koreoatetosis;
Distonia/atonia;
Tremor;
Rigiditas;
Ataksia;
Kelainan bahasa;
Hiperkinesis/hipokinesis.
Drooling
Malnutrisi
Gangguan pendengaran
163
PALSI SEREBRAL
2. CP spastik Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan traktus
kortikospinalis unilateral. 30% kasus.
3. CP spastic kuadriplegi
Gejala peningkatan tonus otot menyeluruh, spastisitas yang nyata disertai tanda-tanda keterlibatan
traktus kortikospinal. Disertai gangguan menelan dan artikulasi dan inkordinasi otit faring. Terkadang
bisa dijumpai gangguan visus maupun auditori.
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Keterlibatan entrapiramidal, dijumpai gerakan abnormal involunter dengan amplitude tinggi, tremor,
balismus maupun mioklonus.
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala utama.
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
164
PALSI SEREBRAL
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
165
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
Kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis.
Semiologi kejang:
Biasanya berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran, dengan atau tanpa aura, dan
dapat berupa kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran.
Aura yang timbul dapat berupa gejala penciuman, ilusi, halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran.
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Fenomena psikis yang dapat timbul adalah dejavu, depersonalisasi dan derealisasi, juga dapat disertai
dengan perasaan cemas dan takut.
Otomatisasi gerak bibir, gerakan mengecap, mengunyah atau menelan berulang
Postur distonik unilateral tungkai
Penderita menjadi diam, mata melebar, pupil dilatasi
1.
Gejala klinis Kejang dengan semiologi khas aktivasi lobus temporalis
2.
EEG: gelombang paku atau tajam regio temporal anterior, mid-temporal atau temporal posterior,
ataupun TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta activity)
3.
MRI: abnormalitas regio temporalis atau Hipocampal mesial sclerosis
Epilepsi lobus temporalis
1. Epilepsi lobus frontalis
2. Epilepsi Rolandic
3. Continous spike wave during slow wave sleep
4. Landau Klefner syndrome
Pemeriksaan radiologi :
MRI : dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita
Pemeriksaan EEG :
Gelombang paku dan gelombang tajam yang diikuti dengan gelombang lambat pada regio temporal
anterior, mid-temporal atau regio temporal posterior atau TIRDA (temporal intermittent rhythmic delta
activity)
Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan 15-20
mg/KgBB/hari PO, atau
Asam valproat dosis awal 15 mg/kgBB/hari terbagi 2-3 dosis PO selama 2 tahun bebas kejang
Bila tidak ada respons dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau pembedahan lobektomi temporal anterior.
Gejala klinis
Pemahaman terhadap adanya kejang atau tidak
Terapi
Diperlukan kepatuhan terhadap protokol pengobatan OAE jangka panjang
Pendidikan penanganan kejang akut
Pemahaman terhadap efek samping obat
Tumbuh Kembang
Banyak terkait gangguan motorik, speech, tingkah laku maupun problem belajar
Anak dengan abnormal imaging termasuk tumor, cortical dysplasia atau mesial temporal sclerosis
mempunyai kemungkinan menjadi intraktabel cukup tinggi dan dipertimbangkan untuk operasi resektif.
Rata-rata bebas kejang pasca temporal lobektomi dengan mesial temporal sclerosis adalah 86%.
Anak dengan epilepsy mempunyain resiko tinggi untuk komorbiditas dengan penyakit psikiatri
IV
C
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
Anak dengan OAE pertama yang gagal, 51% respon terhadap OAE kedua
Remisi mencapai 29% bila gagal diterapi dengan 2 macam obat dan 10% bila gagal diterapi dengan 3
obat
1. Nickels KC, Kisiel LC, Moseley BD, Wirell EC. Temporal lobe epilepsy in children. Ep Research and Treat
2011;2012:1-16.
2. Sillanpaa M, Haalaja L, Tomson T, Svern I. Carbamazepine. Dalam Shorvon S, Perucca E, Engel J ed.
Treatment of epilepsy 3rd ed. Oxford: Wiley-Blackwell; 2009. Hal 459-74.
3. Fernando C, Kahare P, Brode M, Anderman F. The Mesio-temporal lobe epilepsy syndrome. Dalam Roger
J, Bureau M, Dravet C ed. Epileptic syndrome in infancy, childhood and adolescence 4th ed. Hal 565-75.
Surabaya,
166
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10.
Prognosis
11.
12.
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
Suatu acute immune mediated polineuropathy yang mengenai system syaraf perifer, bersifat ascending
paralysis, kelemahan motorik yang progresif dan arefleksi dalam 4 minggu, dimulai dari tungkai dan lengan
ke tubuh. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas batang otak. Timbulnya didahului
oleh infeksi virus.
Kelemahan motorik yang progresif dan arefleksia dimulai dari tungkai dan lengan ke tubuh pada sebagian
besar kasus, dan perubahan sensasi nyeri seiring hilangnya system syaraf otonom pada sebagian kasus.
Komplikasi SGB dapat mengancam hidup terutama apabila mengenai otot-otot pernafasan dan system
syaraf otonom.
Sering didahului infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya, sulit kencing (10-15%), nyeri (50%), sehingga anak
menjadi rewel dan iritabel
Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas SGB) yang simetris.
Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama, dan kelemahan ini dapat mengenai otot-otot
pernafasan hingga membutuhkan respirator.
Instabilitas otonom (26%), berupa neuropati otonomik yang mengenai sistim simpatis dan parasimpatis
dengan manifestasi klinis berupa hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan
takikardia.
Ataksia (23%)
Gangguan saraf kranial (35-50%)
Kelemahan motorik progresif dan asending
Pemeriksaan neurologi: kelemahan motorik dan arefleksia
Pemeriksaan neurofisiologi EMG-NCV spesifik
Sindroma Guillain Barre
1. Poliomyelitis
2. Myositis akut
3. Lesi medulla spinalis
1. Analisa LCS
48 jam I
: normal
Minggu II : diikuti kenaikan kadar protein, tanpa/ disertai kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation)
2. Pemeriksaan elektrofisiologi
EMG dan NCV (Nerve Conduction Velocity)
Minggu I : terjadi pemanjangan / hilangnya F-response (88%), prolonge distal latencies (75%), blok pada
konduksi (50%)
Minggu II : terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal latencies (92%) dan penurunan
kecepatan konduksi (84%)
3. Pemeriksaan radiologi
MRI sebaiknya dilakukan pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala SGB. Pemeriksaan dengan
menggunakan kontras gadolinium memberikan gambaran peningkatan penyerapan kontras
1.
IVIG (Intravenous Imunoglobulin) 0,4 g/kgBB/hari, iv, selama 5 hari. Perbaikan klinis
mulai tampak setelah hari ke 2-3.
Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi hiperkalsemia,
perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan otonom).
2.
Steroid
3.
Dexamethasone 0,5 mg/ kgBB/ hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial)
4.
Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama
5.
Alat bantu pernafasan (respirator) apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot pernafasan
25 % memerlukan ventilator
5% meninggal
Perbaikan pada pemberian steroid iv 60,6%, pada steroid oral 47,1%, plasma exchange + IVIG 61%, IVIG
167
15.
Kepustakaan
168
HIDROSEFALUS
1.
Pengertian (Definisi)
Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis,
disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah disertai
tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan
serebrospinalis. Terdapat 2 tipe: komunikan dan non komunikan.
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Pada anak :
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial :
M untah proyektil
Nyeri kepala
Kejang
Kesadaran menurun
Anak :
Papiledema
Bayi :
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
Kepala makin membesar
Vena-vena kepala prominen
Ubun-ubun melebar dan tegang
Sutura melebar
Cracked-pot sign, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah semangka pada perkusi kepala
Perkembangan motorik terlambat
Perkembangan mental terlambat
Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
Cerebral cry, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
Nistagmus horizontal
Sunset phenomena, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang tulang supraorbita,
sklera tampak di atas iris, sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
169
HIDROSEFALUS
170
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
Inflamasi parenkim otak yang disebabkan infeksi virus Herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2 (HSV-2).
Demam
Nyeri kepala
Gejala psikiatrik
Kejang
Muntah
Kelemahan otot fokal
Hilangnya memori
Gangguan status mental
Fotofobia
Kelainan gerakan
Pada neonatus gejala mulai tampak pada usia 4-11 hari berupa letargik, malas minum, iritabel dan kejang
Gangguan kesadaran
Demam
Disfasia
Ataxia
Kejang fokal > general
Hemiparesis
Gangguan saraf otak
Hilangnya lapangan pandang dan papiledema.
Pada neonatus :
temperatur tidak stabil
Ubun-ubun besar menonjol
Tanda traktus piramidalis
Ikterus
Renjatan
Perdarahan
Distres nafas
Lesi kulit yang khas.
1.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang spesifik
2.
EEG spesifik
3.
PCR CSS pada minggu pertama sakit
4.
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala dengan kontras)
5.
Biopsi otak
Ensefalitis herpes simpleks
Meningitis aseptic
1.
Analisis CSS : Pada minggu pertama dapat normal, pleositosis mononuklear, peningkatan ringan
protein, kadar glukose normal/menurun ringan, jumlah sel normal. Kultur CSS dapat positif pada
neonates
2.
PCR : sensitif dan spesifik
3.
MRI : Merupakan pilihan utama, lesi bermakna pada lobus temporalis bagian medial dan bagian
inferior lobus frontalis
4.
EEG: Cukup sensitif tapi tidak spesifik
5.
Biopsi otak: Merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis
1. Acylovir 10-20mg/KgBB/dosis setiap 8 jam IV drip dalam 1 jam selama 10 hari.
2. Terapi suportif lainnya (anti kejang, obat penurun panas, oksigenasi, nutrisi parenteral dan enteral).
1.
Infeksi SSP HSV harus selalu dipertimbangkan pada anak-anak yang mengalami kejang parsial dengan
febris dan penurunan kesadaran.
2.
Perlunya pemantauan jangka panjang terhadap komplikasi yang ditimbulkan pasca HSE.
3.
Outcome neurologis yang buruk dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi aciclovir
Jika tidak diterapi mortalitas HSE mencapai 70% dan jika hidup maka defisit neurologi yang berarti mencapai
97%
IV
C
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
Gejala sisa neurologis serta cacat berat dikaitkan dengan keterlambatan inisiasi terapi acyclovir. 80% Pasien
akan sembuh dalam waktu 14 hari
1.
Kelly C, Sohal A, Michael BD, Riordan A, Solomon T, Kneen R. Suboptimal management of central
nervous system infections in children: a multi-centre retrospective study. BMC Pediatrics
2012;12:145-52.
2.
Ward KN, Ohrling A, Bryant NJ, Bowley JS, Ross EM, Verity CM. Herpes simplex serious
171
neurological disease in young children: incidence and long-term outcome. Arch Dis Child
2012;97:162-165.
James SH, Kimberlin DW, Whitley RJ. Antiviral therapy for herpesvirus central nervous system
infections: neonatal herpes simplex virus infection, herpes simplex encephalitis, and congenital
cytomegalovirus infection. Antiviral Res. 2009; 83(3): 207213.
Surabaya,
172
KEJANG DEMAM
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (di atas 38C), yang
disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium. Dibagi menjadi 2 yakni kejang demam sederhana dan kejang
demam kompleks
- Didapatkan riwayat panas disertai kejang
- Biasanya didapatkan riwayat kejang demam pada anggota keluarga yang lain
Tidak spesifik
Pemeriksaan neurologi dalam batas normal
Kejang Demam Sederhana (KDS) :
Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
Kejang umum tonik dan atau klonik
Tanpa gerakan fokal
Tidak berulang dalam 24 jam
Kejang Demam kompleks (KDK) :
Kejang lama > 15 menit
Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial
Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam.
Kejang Demam
Diagnosis banding untuk kejang demam pertama kali:
1.
Meningitis
2.
Ensefalitis
3.
Abses otak
1. Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi atau
mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah).
2. X-ray kepala, CT-Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas indikasi adanya kejang
fokal atau hemiparese.
3. Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan atau menyingkirkan
kemungkinan meningitis. Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut :
1. Bayi < 12 bulan : diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan : dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan : tidak rutin, kecuali bila ada tanda menigitis.
4. EEG tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya kejang demam
komplikata pada anak usia > 6 tahun atau kejang demam fokal).
1. Penanganan Pada Saat Kejang
Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV (perlahan-lahan) atau 0,40,6mg/KgBB/dosis rektal suppositoria. Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis
yang sama 20 menit kemudian.
Turunkan demam :
Kompres : suhu >39C : air hangat; suhu > 38C : air biasa
Pengobatan penyebab : antibiotik diberikan sesuai indikasi dengan penyakit dasarnya.
2.
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
Pencegahan Kejang
Pencegahan berkala (intermiten) untuk KDS
dengan Diazepam 0,1 m g/KgBB/dosis PO dan
antipiretik pada saat anak menderita penyakit
yang disertai demam.
1.
Meyakinkan penderita bahwa kejang demam mempunyai prognosis yang baik
2.
Memberikan cara penanganan kejang yang benar
3.
Memberikan informasi kemungkinan kejang kembali
4.
Tidak ada kontra indikasi pemberian vaksinasi pada penderita kejang demam
5.
Pemberian obat untuk mencegah frekuensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping obat
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
173
KEJANG DEMAM
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
1.
2.
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
174
MATI OTAK
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu diagnosis klinis berdasarkan hilangnya fungsi neurologis akibat
suatu koma ireversibel. Koma dan apnea merupakan persyaratan untuk mendiagnosa mati otak.
Koma dan apnea harus ada untuk mendiagnosis mati otak
Keadaan yang harus diperhatikan sebelum menentukan mati otak:
Hipotensi, hipotermi, dan gangguan metabolik yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi
harus dikoreksi
Sedatif, analgesik, agen blokade neuromuscular, dan antikejang seharusnya dihentikan dalam
jangka waktu tertentu berdasarkan eliminasi half-life dari setiap obat untuk meyakinkan bahwa obatobat tersebut tidak mempengaruhi pemeriksaan fisik
Pemeriksaan mati otak direkomendasikan untuk dilakukan 2 orang dokter berbeda yang terlibat dalam
perawatan anak dipisah dalam suatu periode observasi.
Rekomendasi periode observasi untuk neonatus (37 minggu usia gestasi sampai usia 30 hari) adalah 24
jam dan 12 jam untuk bayi dan anak (>30 hari sampai usia 18 tahun). Pemeriksaan pertama adalah untuk
menentukan mati otak dan pemeriksaan kedua untuk mengkonfirmasi kondisi mati otak berdasarkan
kondisi yang tetap dan ireversibel.
Tahap 1
a. Identifikasi kausa koma
Traumatic brain injury
Anoxic brain injury
Penyakit metabolik yang diketahui
Penyakit lain yang harus dispesifikasikan
b. Koreksi dari faktor yang dapat mempengaruhi pemeriksaan neurologi:
Tekanan sistolik atau MAP dalam batas normal (tekanan sistolik tidak kurang dari 2 SD sesuai usia)
6.
membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan
jarak pemeriksaan antara 2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung
terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
Tidak didapatkan usaha bernafas sewaktu dalam ventilasi mekanik
Jika ada elemen yang tidak bisa dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Tahap 3
Tes apnea :
Tidak didapatkan usaha bernafas meskipun PaCO 2
60 mmHg dan a 20mmHg peningkatan diatas garis dasar PaCO 2 .
Jika tes apnea merupakan kontra indikasi atau tidak dapat dilakukan maka langsung ke tahap 4.
Prasyarat : penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi yang stabil
175
MATI OTAK
Tahap 4
Tes tambahan
Diperlukan bila:
1. Jika ada komponen dari pemeriksaan atau tes apnea tidak dapat dilakukan
2. Jika ada ketidakjelasan hasil dari pemeriksan fisik
3. Jika ada efek medikasi yang nyata
Tes tambahan yakni:
1. EEG yang menyatakan electroserebral silence
2. Pemeriksaan Cerebral Blood Flow (CBF) yang menyatakan tidak ada perfusi cerebral
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
176
MENINGITIS BAKTERI
1.
Pengertian (Definisi)
Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan selaput yang
membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang menimbulkan eksudasi berupa pus atau
serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non spesifik atau virus.
2.
Anamnesis
Neonatus
Panas
Bayi tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Kejang
Gangguan kesadaran
Neonatus
Gram stain
Positive
Pemeriksaan radiologi :
o X-foto dada : untuk mencari kausa meningitis
o CT- Scan/MRI kepala dengan kontras: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan
tekanan intrakranial dan lateralisasi
Pemeriksan lain:
Farmakologis :
a. Rekomendasi obat anti infeksi empiris :
Pasien
Antibiotik
Dosis (iv)
Neonatus/
Ampicillin +
50-100 mg/kg tiap 6-8 jam
bayi<3bulan
Cefotaxime/
100 mg/kg tiap 8-12 jam
Gentamicin
2,5 mg/kg tiap 8 jam
Neonatus
Vancomycin +
15 mg/kg tiap 8-24 jam
prematur
Ceftazidime
100 mg/kg tiap 8-12 jam
Bayi usia > 3
Ceftriaxone /
100 mg/kg tiap 24 jam (max 4g)
bulan
Cefotaxime
100 mg/kg tiap 8jam (max 12 g)
Durasi terapi antibiotik:
177
MENINGITIS BAKTERI
Mikroorganisme
Neisseria meningitides
Haemophilus influenza
Streptocccus pneumonia
Streptococus agalactiae
Basilus aerob gram negative
Listeria monocytogenes
b. Pengobatan simptomatis
Menghentikan kejang :
Cairan intravena
2. Perawatan :
Pada waktu kejang :
Hisap lendir
Merubah posisi penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
Pemantauan ketat :
Tekanan darah
Pernafasan
9.
Edukasi
1.
2.
3.
10. Prognosis
Nadi
Produksi air kemih
Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
Streptococcus pnenumonia
178
MENINGITIS BAKTERI
15. Kepustakaan
Koma
Gangguan kardiovaskular
179
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
Kelainan neurodegenerative otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan progresif lower motor neuron
(LMN) yang disebabkan oleh delesi homozygote dari Survival Motor Neuron 1 (SMN 1).
Kelemahan progresif tergantung pada tipe ASM.
Tipe I didapatkan kelemahan otot, kesulitan menghisap, menelan dan bernafas, riwayat sianosis
berkepanjangan saat lahir.
Tipe II didapatkan gangguan tumbuh kembang terutama gangguan motorik (belum bisa berdiri atau duduk),
tremor jari-jari.
Tipe III didapatkan kelemahan otot proksimal yang progresif lambat, kesulitan melakukan gerakan motorik
khusus misal naik tangga dan mendaki
Tipe IV gejala mirip tipe III
Sesuai dengan lesi LMN :
1.Kelemahan flaksid
2.Hipotonia
3.Refleks tendon menurun atau tidak ada
4.Fasikulasi
5.Atropi otot
1.
Kelemahan otot tipe LMN yang progresif
2.
NCV normal
3.
CMAPs rendah
4.
SMN 1 gen absen homozigote
Atropi spinal muscular
1.
Distropi muscular kongenital
2.
Miopati kongenital
3.
Miastenia gravis
4.
Gangguan metabolism karbohidrat
1.
Kadar craetinin kinase (CK) normal pada ASM tipe I dan sedikit meningkat pada 3 tipe lainnya
2.
Analisa cairan serebro-spinal normal
3.
Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q
4.
NCV normal
5.
Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) dapat rendah normal atau menurun (tergantung tingkat
keparahan penyakitnya), pada kelemahan kronis, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi
reinervasi dan kolateral
6.
Biopsi otot pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut otot dan hipertropi kompensasi.
Tampak degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik pada morfologi otot
1.
Penatalaksanaan bersifat suportif, bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien dan meminimalkan
kecacatan
2.
Ventilasi non mekanik dapat diberikan pada penderita yang mengalami kelemahan otot pernafasan
3.
Percutaneous gastrostomy diberikan pada penderita dengan kelemahan otot menelan untuk mencegah
komplikasi dan memperbaiki nutrisi
4.
Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila didapatkan
kemungkinan harapan hidup yang lama
1.
Penjelasan bahwa atrapi spinal muscular adalah kelainan yang disebabkan genetik
2.
Menjelaskan tipe dari atrapi spinal muscular yang berhubungan dengan tingkat keparahan dan
prognosisnya
3.
Terapi yang diberikan hanya bersifat suportif untuk meningkatkan kulitas hidup penderita
4.
Genetik konseling dilakukan pada orangtua penderita atrapi spinal muscular yang merencanakan
untuk kehamilan berikut.
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
IV
C
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
1.
2.
3.
15. Kepustakaan
4.
1.
2.
3.
Angka harapan hidup pada ASM tipe I usia 2 tahun adalah 32%, kebanyakan meninggal sebelum
usia 18 bulan
Pada ASM tipe II, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 77%
Pada ASM tipe III, angka harapan hidup tergantung onset penyakit. Bila onset < 3tahun angka
harapan usia 2 tahun 98% dan 20 tahun 34%. Bila onset > 3 tahun, angka harapan usia 2 tahun
100% dan 20 tahun 67%
Pada ASM tipe IV, angka harapan hidup usia 2 tahun adalah 100% dan usia 20 tahun 100%
Lewelt A, Newcomb TM, Swoboda KJ. New therapeutic approaches to spinal muscular atrophy. Curr
Neurol Neurosci Rep. 2012; 1: 42-53
Wadman RI, Bosboom WM, Van den Berg LH, Wokke JH, Lannaccone ST, Vrancken AF. Drug
treatment for spinal muscular atrophy types II and III. Cochrane Database Syst Rev. 2011; 7: 12
Stavarchi M, Apostol P, Toma M, Cimponeiru D, Gavrila L. Spinal muscular atrophy disease: a
literature review for teurapeutic strategies. Journal of Medicine and Life. 2010; 1: 3-9
180
Montes J, Gordon AM, Pandya S, Devivo DC, Kafmann P. Clinical outcome measures in spinal
muscular atrophy. J Child Neurol, 2009; 24: 968-78
Sarnat HB, Menkes JH. Disease of the motor unit. Dalam Menkes Jh, Sarnat HB, Maria BL editor.
Child Neurology. Edisi ketujuh. Philadelphia: Lippincott William and Wilkins; 2006. Hal 969-78.
Surabaya,
181
STATUS EPILEPTIKUS
1.
Pengertian (Definisi)
Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus menerus atau berulang
tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang. Teridiri dari 2 fase yakni fase I mekanisme terkompensasi
dan fase II mekanisme tidak terkompensasi. Terdiri dari 2 kategori yakni konvulsif satus epileptikus dan nonkonvulsif status epileptikus.
2.
Anamnesis
Panas,
Trauma kepala
Riwayat persalinan,
Tumbuh kembang
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
8.
Terapi
Kejang berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang selama durasi 30 menit atau lebih
Status epileptikus
1.
Reaksi konversi
2.
Syncope
1.
Pemeriksaan darah ( darah tepi, elektrolit, gula darah, fungsi ginjal, fungsi hati, analisa gas darah)
dianjurkan untuk evaluasi penyebab
2.
CT Scan kepala bila ada indikasi perdarahan otak, tumor atau infeksi intrakranial
1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai dalam 10 menit
pertama), yaitu ABC :
Airway : Bebaskan jalan nafas
Breathing : Pemberian pernafasan
buatan/bantuan nafas
Circulation : Pertahankan/perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus atau transfusi jika terjadi renjatan.
2. Hentikan kejang secepatnya.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut (harus tercapai dalam 30
menit pertama) :
Rute intravena:
1. Pilihan I : Golongan Benzodiazepin
(Diazepam dosis 0.15/mg/kgBB )
2. Pilihan II : Phenytoin loading 20 mg/kgbb
dilanjutkan maintenance
3. Pilihan III : Phenobarbital loading dengan dosis 20 mg/kgBB dilanjutkan maintenance
Rute intranasal:
Midazolam intranasal dosis 0.2 mg/kgBB
Rute intramuscular:
Midazolam intramuscular 0.2 mg/kgBB
3. Pemberian obat anti kejang lanjutan
4. Mencari penyebab status epileptikus
5. Penatalaksanaan penyakit dasar
182
STATUS EPILEPTIKUS
9.
Edukasi
10. Prognosis
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi
dengan :
Midazolam, atau
Barbiturat (thiopental, phenobarbital,
pentobarbital)
1.
Menjelaskan komplikasi status epileptikus termasuk gejala neurologis fokal, gangguan kognitif
maupun gangguan tingkah laku.
2.
Keterlambatan penanganan akan berhubungan dengan respon terapi yang terlambat,
farmakoresistensi dan mortalitas.
3.
Resiko berulangnya status epileptikus tahun I 11-16% dan 2 tahun pertama 18%.
Tergantung pada :
Penyakit dasar
Kecepatan penanganan kejang
Komplikasi
Angka mortalitas konvulsif status epileptikus mencapai 3-11%
IV
C
1.
Prof. Darto Saharso SpA(K)
2.
dr Prastiya Indra Gunawan SpA
Kegagalan untuk mendiagnosis dan manajemen terapi status epileptikus secara akurat akan
menghasilkan mortalitas sebesar 3-7% dan morbiditas neurologi 9-28%.
183
Pengertian (Definisi)
Failure to thrive (FTT) merupakan suatu keadaan yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak sesuai
dengan seharusnya, tidak naik (flat growth) atau turun dibandingkan dengan pengukuran sebelumnya (diketahui
dari grafik pertumbuhan), terutama pada usia dibawah 3 tahun. Istilah yang lebih tepat adalah fail to gain weight
bukan diterjemahkan sebagai gagal tumbuh, karena dalam hal ini yang dinilai hanyalah berat badan terhadap
umur pada minimal 2 periode pengukuran (dapat memakai berat badan pada saat lahir). Tinggi badan dan lingkar
kepala yang juga merupakan parameter pertumbuhan mungkin masih normal.
Perpindahan posisi berat badan terhadap umur yang melewati lebih dari 2 persentil utama atau 2 standar
deviasi ke bawah jika diplot pada grafik BB menurut umur. FTT juga belum tentu gizi kurang atau gizi buruk
2.
Anamnesis
Masa neonatal : FTT dapat disebabkan oleh manajemen ASI yang salah, cara pemberian susu formula yang
salah (jumlah, cara pengenceran), kelainan metabolik, kelainan kromosom dan kelainan anatomis (rongga mulut,
gastrointestinal, dll)
Usia 3-6 bulan: kemungkinan penyebab antara lain underfeeding (karena kemiskinan), cara pembuatan formula
yang salah, intoleransi protein susu, disfungsi motorik oral, refluks gastroesofagus,kelainan anatomis sal
pencernaan atau gangguan malabsorbsi dan penyakit jantung bawaan.
Usia 7-12 bulan : keterlambatan pemberian makanan padat, intoleransi makanan, penyakit infeksi, disfungsi
motor oral, dan orang tua yang protektif.
Diatas usia 12 bulan: masalah seperti usia diatas ditambah dengan masalah psikososial
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Dilakukan pengukuran BB, TB, dan lingkaran kepala. Kemudian ditentukan status gizi anak tersebut.
Pada pasien yang gizinya masih cukup, tidak ditemukan gejala yang khas, sedangkan anak dengan gizi kurang
anak tampak kurus tanpa disertai kelainan fisis lain.
Pasien yang mengalami gizi buruk terlihat cengeng, kurus sekali, ditemukan wasting, ekstremitas hipo/atrofi,
crazy pavement dermatosis.
Pasien FTT akibat kelainan kromosom atau genetik dapat terlihat dismorfik.
Cari adanya kelainan fungsional atau kelainan anatomis,tanda infeksi.
Perhatikan terhadap kemungkinan adanya child abuse.
Pemeriksaan antropometris
Gejala Klinis
Pemeriksaan penunjang
Diagnosis ditegakkan berdasar :
1. Pemeriksaan antropometris
2. Pemeriksaan klinis
3. Pemerisaan penunjang
Bayi Prematur
Bayi dengan intra uterin growth restriction
Kelainan anatomis tulang: osteogenesis imperfecta,achondroplasia
Darah tepi lengkap
Urinalisis dan feses lengkap
Kultur darah, urine
Uji tuberculin
Pemeriksaan lain dilakukan atas indikasi sesuai penyakit dasar yang dicurigai (misal:analisis gas darah bila
curiga adanya tubulopati, elektrolit, pemeriksaan laktat dan amoniak bila dicurigai penyakit inborn error, dll)
Pemeriksan radiologis bila dicurigai adanya kelainan anatomis
Mencari dan mengobati penyakit dasarnya apakah merupakan kelainan organik atau non organik
Terapi Medikamentosa
Diberikan bila ditemukan penyakit yang mendasari (underlying disease)
Terapi Nutrisi
Berikan menurut tahapan Asuhan Nutrisi Pediatri (Pediatric Nutrition Care)
-
Hitung kebutuhan kalori serta protein menggunakan prinsip BB ideal menurut PB atau TB saat ini
dikalikan RDA kalori /protein sesuai dengan height age (PB atau TB saat ini ideal untuk usia berapa?),
dimulai dengan kalori BB aktual dan dinaikkan bertahap sampai kalori BB ideal atau dimulai 50-60 %
dari kalori BB ideal untuk menghindari refeeding syndrome
184
9.
Edukasi
10. Prognosis
FTT sederhana
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
FTT dengan kelainan kompleks
Ad vitam
: dubia ad malam
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fumgsionam : dubia ad malam
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
a.
b.
c.
d.
Berat badan naik, panjang /tinggi badan bertambah, lingkar kepala normal
1.
Gahagan S. Failure to thrive: A consequences of undernutrition. Pediatr Rev. 2006;27:e-11.
2.
Krugman SD,Dubowitz H. Failure to thrive. AAFP 2003: 68:879-84
3.
Olsen OM, Petersen J, Skovgaard AM. Failure to thrive: the prevalence and concurrence of anthropometric
criteria in a general infant population. Arch Dis Child 2007: 92; 109-114
4.
Khoshoo V, Reifen R.Use of energy-dense formula for treating infants with non-organic failure to thrive.
European Journal of Clinical Nutrition 2002:56;921-24
5.
UKK NPM IDAI. Gagal Tumbuh. Dalam Standar Pelayanan Medis IDAI 2007
Surabaya,
185
Pengertian (Definisi)
KEP adalah penyakit atau keadaan klinis yang diakibatkan tidak terpenuhinya kebutuhan protein dan energi,
dapat karena asupan yang kurang atau kebutuhan /keluaran yang meningkat atau keduanya secara bersama.
Sering disertai dengan kekurangan zat gizi lain.
Berdasarkan lama dan beratnya kekurangan energi dan protein, KEP diklasifikasikan menjadi KEP derajat
ringan-sedang (gizi kurang) dan KEP derajat berat (gizi buruk). Gizi kurang belum menunjukkan gejala klinis
yang khas, hanya dijumpai gangguan pertumbuhan dan anak tampak kurus.Pada gizi buruk secara klinis
didapatkan 3 bentuk ,yaitu : kwashiorkor, marasmus, dan marasmik-kwashiorkor, walaupun demikian dalam
penatalaksanaannya hampir sama
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
KEP berat
Secara klinis terdapat 3 tipe, yaitu
Kwashiorkor: Perubahan mental sampai apatis, anemia, rambut tipis kemerahan mudah dicabut /
rontok, gangguan sistem gastrointestinal, pembesaran hati, bercak merah kecoklatan di kulit dan
mudah terkelupas (crazy pavement dermtosis), atrofi otot, edema simetris pada kedua punggung kaki,
dapat sampai seluruh tubuh
4.
5.
Kriteria Diagnosis
Diagnosis
Marasmus: Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus, perubahan mental, cengeng,
kulit kering, dingin dan mengendor, keriput, lemak subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang,
otot atrofi hingga kontur tulang terlihat jelas (iga gambang), kadang terdapat bradikardi, tekanan darah
lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya
Marasmik-kwashiorkor: Didapatkan tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor bersamaan.
Kondisi tersebut sering disertai penyakit infeksi seperti diare, TB paru, infeksi HIV
KLINIS
ANTROPOMETRIS (< 5 th : kurva WHO 2007, > 5 th : kurva CDC 2000)
186
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Adanya edem maupun asites pada kwashiorkor atau marasmik-kwasiorkor perlu dibedakan dengan :
Sindroma nefrotik
Sirosis hepatis
Gagal jantung kongestif
Pellagra Infantil
1.
2.
3.
4.
Kadar gula darah, darah tepi lengkap, urin lengkap, feses lengkap, elektrolit serum, protein
serum (albumin, globulin), feritin.
Tes mantoux
Radiologi (dada, AP dan Lateral )
EKG
KEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi) dengan 10 langkah tindakan seperti
pada tabel di bawah ini:
Tabel 2. Sepuluh langkah tata laksana KEP berat
No FASE
STABILISASI
TRANSISI
REHABILITASI
Hari ke 1-2
1
Hipoglikemia
Hipotermia
Dehidrasi
Elektrolit
Infeksi
Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
Pemberian Makana
utk Tumbuh kejar
(F-100)
Mikronutrien
Stimulasi
Hari ke 2-7
Minggu ke-2
Tanpa Fe
Minggu ke 3-7
dengan Fe
10 Tindak lanjut
Medikamentosa
-
187
100ml/kg CRO harus diberikan dalam 8-12 jam. Jika anak muntah, rehidrasi dapat ditunda selama 3060 menit, kemudian dicoba kembali. Bila anak menolak minum atau tidak dapat minum, pasang sonde
lambung. Bila dehidrasi membaik, diat pemberian susu dapat dimulai walaupun rehidrasi dengan CRO
belum selesai. Jangan menggunakan rute intravena untuk rehidrasi kecuali untuk syok.
Bila didapatkan tanda syok, berikan larutan dekstrose 5% : NaCl 0,9% (1:1) atau Ringer-Dekstrose 5%
sebanyak 15 ml/kgBB dalam 1 jam pertama
Evaluasi setelah 1 jam
Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan pernapasan
dan status hidrasi ulangi pemberian cairan seperti diatas untuk 1 jam berikutnya kemudian
lanjutkan dengan pemberian Resomal/mineral mix per oral/nasogastrik 10 ml/kgBB/jam
selama 10 jam, selanjutnya mulai berikan formula F-75
Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok septik. Dalam hal ini berikan
cairan rumat sebanyak 4ml/kgBB/jam dan berikan darah sebanyak 10ml/kgBB/jam secara
perlahan (dalam 3 jam). Kemudian mulailah pemberian F-75 bila syok sudah taratasi
Bila terdapat anemia berat dengan Hb <4g/dl, Hb 4-6g/dl disertai distress pernapasan atau
tanda gagal jantung, berikan transfusi darah segar 10ml/kgBB dalam 3 jam. Bila ada tanda
gagal jantung berikan transfusi packed red cell untuk transfusi dengan jumlah yang sama.
Berikan furosemid 1mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi transfusi (demam, gatal, Hb-uria,syok).Bila pada anak dengan
distress napas setelah transfusi Hb tetap <4g/dl atau antara
4-6g/dl, jangan diulangi
pemberian darah.
a. Antibiotik
- Infeksi tidak nyata: kotrimoxazol (4mg/kg/hari trimetoprim dan 20 mg/kg/hari
sulfametoxazol, dibagi 2 dosis) selama 5 hari.
- Infeksi nyata : ampicillin IV 100 mg/kg/hari, dibagi 4 dosis selama 2 hari,
dilanjutkan per oral (ampicillin/amokisisilin) dan gentamicin 7,5 mg/kg IV/IM
sekali sehari selama 7 hari.
b. Vitamin-mineral
- Vit A (dosis sesuai usia,yaitu <6 bulan : 50.000 SI,6-12 bulan: 100.000 SI,
> 1 tahun :200.000 SI) IM atau oral diberikan pada hari 1 & 2 kemudian diulang
pada hari ke 15 atau sebelum pulang
- Asam folat: 5 mg pada hari pertama, selanjutnya 1 mg/hari, selama 2 minggu
- MgSO4 40%: 0,25 ml/kg/hari maksimal 2ml,IM, selama 10 hari
- Seng sulfat ; 2-4 mg/kg/hari, selama 2 minggu
- Pemberian MgSO4 dan Seng bisa diganti dengan mineral mix
- Sulfas ferrosus : 3 mg/kg/hari, baru diberikan pada fase rehabilitasi.
Pengobatan penyakit penyerta seperti TB, diare akut,kronik, penyakit jantung
bawaan,dll
B. DIETETIK
- Oral atau enteral
Gizi kurang : kebutuhan energi dihitung sesuai RDA untuk umur TB (height-age) dikalikan
berat badan ideal (target berat badan)
Tabel 3. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
tabilisasi (F75)
Rehabilitasi (F100)
Energi
80-100 kkal/kgbb/hr
100-150 kkal/kgbb/hr
150-220/kgbb/hr
Protein
1-1.5 g/kgbb/hr
2-3 g/kgbb/hr
4-6 g/kgbb/hr
188
100-130 ml/kgbb/hr
Tabel 4. Komposisi F75, F100, dan F135 beserta nilai kalori dan osmolaritas formula
Bahan makanan
Formula WHO
Susu skim bubuk
Gula pasir
Minyak sayur
Larutan elektrolit
Tambahan air s/d
Nilai Gizi
Energi
Protein
Laktosa
Kalium
Natrium
Magnesium
Seng
Tembaga (Cu)
% Energi Protein
% Energi Lemak
Osmolaritas
9.
Edukasi
10. Prognosis
Per 1000 ml
F 75
F100
F135
g
g
g
ml
ml
25
100
30
20
1000
85
50
60
20
1000
90
65
75
27
1000
Kkal
g
g
mmol
mmol
mmol
mg
mg
mosm/l
750
9
13
36
6
4,3
20
2,5
5
36
413
1000
29
42
59
19
7,3
23
2,5
12
53
419
1350
33
48
63
22
8
30
3,4
10
57
508
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
1.
2.
3.
4.
Berat badan naik 50 gram/kg BB/ minggu, gejala klinis hilang atau berkurang
1.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Petunjuk teknis tatalaksana anak gizi buruk:
buku I,II. Jakarta: Departemen Kesehatan. 2003
2.
WHO. Management of severe malnutrition: a manual for physicians and other senior health
workers. Geneva: World Health Organization. 1999.
3.
WHO Indonesia. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit rujukan tingkat pertama di
kabupaten/kota. Jakarta: WHO Indonesia. 2009.
4.
Penny ME. Protein-Energy Malnutrition.In: Walker WA, Watkins JB, Duggan C, eds.
Nutrition in Pediatrics, Basic Science and Clinical Applications.3rd ed. BC Decker Inc
189
5.
6.
7.
8.
9.
10.
2003.p174-90
World Health Organization. Integrated Management of Childhood Illness. Management of
the Child with a Serious Infection or Severe Malnutrition. Guidelines for Care in the FirstReferral Level in Developing Countries. Geneva: World Health Organization. 2000
Buku Ajar Nutrisi Pediatrik dan Penyakit Metabolik. Malnutrisi Akut Berat dan Terapi Nutrisi
Berbasis Komunitas.IDAI 2011
Mann MD, Hiil ID, Peat GM. Protein and Fat absorption in prolonged diarrhea in
infancyArchives of Disease in Childhood, 1982, 57, 268-73
Clifford W, Walker A. Chronic Protracted Diarrhea of Infancy: A Nutritional Disease.
Pediatrics 1983;72;786
Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Dietary management of persistent diarrhoea:
Comparison of a traditional rice-lentil based diet with soy formula. Pediatrics,
1991;88:1010-18.
Bhutta, Z.A., Molla, AM.. Issani, Z. et al. Nutrient absorption and weight gain in persistent
diarrhoea: Comparison of a rice- lentil/yogurt/milk diet with soy formula. J. Pediatr.
Gastroenterol.Nutr., 1994; 18:45-52.
Surabaya,
190
OBESITAS
1.
Pengertian (Definisi)
Obesitas adalah keadaan penimbunan jaringan lemak tubuh yang berlebihan dan ditandai dengan adanya
gambaran klinis yang khas. Kelainan ini sering disertai komplikasi hiperlipidemia, obstructive sleep apnea
syndrome (OSAS), dan non alcoholic steato hepatitis (NASH)
Obesitas terjadi bila asupan energI total melebihi pengeluaran energi total. Ketidakseimbangan energI ini dapat
disebabkan oleh asupan energi yang berlebih dan atau pengurangan pengeluaran energi, baik untuk
metabolisme, termoregulasi dan aktivitas fisik.
Peningkatan asupan energi ditemukan pada sindrom genetik, sedang pengurangan energi dijumpai pada
defisiensi hormon. Namun kelainan genetik dan hormonal tersebut ternyata tidak dapat menjelaskan peningkatan
berlebih berat badan pada kebanyakan pasien. Kebanyakan obesitas dipengaruhi oleh faktor genetik dan
lingkungan misalnya pola makan, olah raga, jenis aktifitas sehari hari
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
Obesitas endogen
>90% kasus
<10% kasus
Perawakan tinggi (umumnya persentil ke-50 Perawakan pendek (umumnya persentil ke-5 TB/U
TB/U)
Umumnya didapatkan riwayat obesitas pada Umumnya tidak didapatkan riwayat obesitas pada keluarga
keluarga
Fungsi mental normal
Fungsi mental sering retardasi
Usia tulang : normal atau advanced
Usia tulang : terlambat (delayed)
Pemeriksaan fisik umumnya normal
Terdapat stigmata pada pemeriksaan fisik
Pengukuran TB, BB, BB/TB, body mass index (BMI) dan tekanan darah
Peningkatan berat badan di luar karakter keluarga
Obesitas pada anak yang pendek
Peningkatan berat badan progresif yang tidak disertai dengan peningkatan pertumbuhan linear yang sebanding
Muka tembem, dagu rangkap, leher pendek
Tonsil/adenoid
Kulit kering, intoleransi terhadap dingin, konstipasi, cepat lelah
Akumulasi lemak di leher dan badan, tetapi tidak pada ekstremitas
Striae ungu
Hipertensi
Rambut wajah yang berlebihan, jerawat, menstruasi irregular pada remaja perempuan
Perkembangan seksual yang tidak sesuai usianya
Payudara tampak besar
Perut membuncit, pendular
Ekstremitas, jari meruncing
Kaki bentuk X dan O
Genitalia, buried penis
Kriteria diagnosis
1. Untuk usia 2 tahun menggunakan kurva WHO 2006. Berdasarkan kurva WHO Z score bila terletak
diatas +3SD disebut obesitas, diatas +2SD hingga +3SD disebut gizi lebih (overweight ).
2. Usia 2 tahun menggunakan kurva index massa tubuh (BMI) CDC 2000. Bila BMI terletak diatas
persentil 95 disebut obesitas. Sedangkan bila BMI terletak antara diatas persentil 85 (antara 85-95)
dikatakan gizi lebih (overweight).
Ditegakkan berdasarkan:
Tanda klinis/Pemeriksaan Fisik
191
OBESITAS
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Antropometris
Prader-Willis Syndrome
Precoccius Puberty
Polycistis ovary syndrome
Dilakukan sesuai indikasi:
Darah perifer lengkap
Tes toleransi glukosa oral
Fungsi tiroid
Profil lipid
Sekresi dan fungsi growth hormone
Kalsium, fosfat dan kadar hormon paratiroid bila dicurigai pseudohipoparatiroidisme
Fungsi hati : SGOT, SGPT
Foto orofaring AP dan Lat
USG hati
MRI otak dengan fokus hipotalamus dan hipofisis, bila terindikasi secara klinis
Sleep studies untuk mendeteksi sleep apnea
Tata laksana komprehensif obesitas mencakup penanganan obesitas dan dampak yang terjadi. Tujuan utama
tata laksana obesitas adalah perbaikan kesehatan fisik jangka panjang melalui kebiasaan hidup yang sehat
secara permanen. Untuk mencapai tujuan tersebut, terdapat empat tahap tata laksana dengan intensitas yang
meningkat. Prinsip tata laksana obesitas adalah mengurangi asupan energi serta meningkatkan keluaran energi.
Tahap I: Pencegahan Plus
Pada tahap ini, pasien overweight dan obesitas serta keluarga memfokuskan diri pada kebiasaan makan yang
sehat dan aktivitas fisik sebagai strategi pencegahan obesitas. Kebiasaan makan dan beraktivitas yang sehat
adalah sebagai berikut:
1. Mengonsumsi 5 porsi buah-buahan dan sayur-sayuran setiap hari. Setiap keluarga dapat meningkatkan
jumlah porsi menjadi 9 porsi per hari
2. Kurangi meminum minuman manis, seperti soda, punch.
3. Kurangi kebiasaan menonton televisi (ataupun bentuk lain menonton) hingga 2 jam per hari. Jika anak
berusia < 2 tahun maka sebaiknya tidak menonton sama sekali. Untuk membantu anak beradaptasi, maka
televisi sebaiknya dipindahkan dari kamar tidur anak.
4. Tingkatkan aktivitas fisik, 1 jam per hari. Bermain adalah aktivitas fisik yang tepat untuk anak-anak yang
masih kecil, sedangkan pada anak yang lebih besar dapat melakukan kegiatan yang mereka sukai seperti
olahraga atau menari, bela diri, naik sepeda dan berjalan kaki.
5. Persiapkan makanan rumah lebih banyak ketimbang membeli makanan dari restoran.
6. Biasakan makan di meja makan bersama keluarga minimal 5 atau 6 kali per minggu.
7. Mengonsumsi sarapan bergizi setiap hari
8. Libatkan seluruh anggota keluarga dalam perubahan gaya hidup
9. Biarkan anak untuk mengatur sendiri makanannya dan hindari terlalu mengekang perilaku makan anak,
terutama pada anak < 12 tahun.
10. Bantu keluarga mengatur perilaku sesuai kultur masing-masing
Tahap II: Manajemen Berat Badan Terstruktur
Tahap ini berbeda dari tahap I dalam hal lebih sedikitnya target perilaku dan lebih banyak dukungan kepada
anak dalam mencapai perubahan perilaku. Beberapa tujuan yang hendak dicapai, di samping tujuan-tujuan pada
tahap I adalah sebagai berikut:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Diet terencana atau rencana makan harian dengan makronutrien seimbang sebanding dengan rekomendasi
pada Dietary Reference Intake, diutamakan pada makanan berdensitas energi rendah.
Jadwal makan terencana beserta snack (3 kali makan disertai 2 kali snack, tanpa makanan ataupun
minuman mengandung kalori lainnya di luar jadwal)
Pengurangan waktu menonton televisi dan kegiatan menonton lainnya hingga 1 jam per hari.
Aktivitas fisik atau bermain aktif yang terencana dan terpantau selama 60 menit per hari.
Pemantauan perilaku ini sebaiknya tercatat
Reinforcement terencana untuk mencapai target perilaku
Program modifikasi perilaku dilaksanakan terstruktur, meliputi pemantauan makanan, diet jangka pendek,
dan penetapan target aktivitas fisik
Pengaturan keseimbangan energi negatif, hasil dari perubahan diet dan aktivitas fisik
Partisipasi orang tua dalam teknik modifikasi perilaku dibutuhkan oleh anak < 12 tahun
Orang tua harus dilatih untuk memperbaiki lingkungan rumah
Evaluasi sistemik, meliputi pengukuran tubuh, diet, aktivitas fisik harus dilakukan pada awal program dan
dipantau pada interval tertentu
192
OBESITAS
6.
Tim multidisipliner yang berpengalaman dalam hal obesitas anak saling bekerja sama, meliputi pekerja
sosial, psikologi, perawat terlatih, dietiesien, physicial therapist, dokter spesialis anak dengan berbagai
subspesialisasi seperti nutrisi, endokrin, pulmonologi, kardiologi, hepatologi, dan tumbuh kembang, ahli gizi,
dokter spesialis olah raga, psikolog, guru, dokter spesialis bedah ortopedi, dan ahli kesehatan masyarakat.
7. Kunjungan ke dokter yang reguler harus dijadwalkan, tiap minggu selama minimum 8-12 minggu paling
efektif
8. Kunjungan secara berkelompok lebih efektif dalam hal biaya dan bermanfaat terapeutik.
Tahap IV: Intervensi pelayanan tersier
Intervensi tahap IV ditujukan untuk anak remaja yang obesitas berat. Intervensi ini adalah tahap lanjutan dari
tahap III. Anak-anak yang mengikuti tahap ini harus sudah mencoba tahap III dan memiliki pemahaman tentang
risiko yang muncul akibat obesitas dan mau melakukan aktivitas fisik berkesinambungan serta diet bergizi
dengan pemantauan.
Diet sangat rendah kalori, yaitu pada tahap awal dilakukan pembatasan kalori secara ekstrim lalu
dilanjutkan dengan pembatasan kalori secara moderat. Terapi ini tidak dianjurkan untuk anak dan remaja.
Obat-obatan: yang telah dipakai pada remaja adalah sibutramine yaitu suatu inhibitor re-uptake serotonin
dan orlistat yang menyebabkan malabsorpsi lemak melalui inhibisi lipase usus. Food and Drug
Administration (FDA) menyetujui penggunaan sibutramine untuk pasien >16 tahun dan orlistat untuk pasien
>12 tahun.
Bedah: mengingat semakin meningkatnya jumlah remaja dengan obesitas berat yang tidak berespons
terhadap intervensi perilaku, terdapat beberapa pilihan terapi bedah, baik gastric bypass atau gastric
banding. Tata laksana ini hanya dilakukan dengan indikasi yang ketat karena terdapat risiko perioperatif,
2
pascaprosedur, dan perlunya komitmen pasien seumur hidup. Kriteria seleksi meliputi 40
BMI kg/m
dengan masalah medis atau 50 kg/ m2, maturitas fisik (remaja perempuan berusia 13 tahun dan anak
remaja laki-laki berusia 15 ta hun, m a turita s e m os iona l da n kognitif, da n s uda h be rus a ha m e nurunka n
berat badan selama 6 bula n m e la lui progra m m odifika s i pe rila ku).
9.
Edukasi
10. Prognosis
Pemantauan pertumbuhan
Pendidikan / penjelasan bahaya atau komplikasi
Melibatkan orang tua dan keluarga dalam program kepatuhan
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fumgsionam : dubia ad bonam
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
a.
b.
c.
d.
9.
Kavey REW, Allada Y, Daniels SR, Hayman LL, McCrindle BW, Newburger JW, et al. Cardiovascular risk
reduction in high-risk pediatric patients: a scientific statement from the American Heart Association
Expert Panel on Population and Prevention Science; the Councils on Cardiovascular Disease in the
193
OBESITAS
10.
11.
12.
13.
14.
Young, Epidemiology and Prevention, Nutrition, Physical Activity and Metabolism, High Blood
Pressure Research, Cardiovascular Nursing, and the Kidney in Heart Disease; and the
Interdisciplinary Working Group on Quality of Care and Outcomes Research: Endorsed by the
American Academy of Pediatrics. Circulation. 2006 December 12; 114: 2710-38.
American Heart Association, Gidding SS, Dennison BA, Birch LL, Daniels SR, Gilman MW, Lichtenstein
AH, et al. Dietary recommendations for children and adolescents: a guide for practitioners. Pediatrics.
2006; 117: 544-59.
Sjarif DR. Obesitas. Dalam: Trihono PP, penyunting. Hot Topics in Pediatrics II. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2002.
WHO Multicentre Growth Reference Study Group. WHO Child Growth Standards: Length/height-for-age,
weight-for-age, weight-for-length, weight-for-height and body mass index-for-age: methods and
development. Geneva: World Health Organization; 2006.
Jolliffe C, Janssen I. Vascular Risk and Management of Obesity in Children and Adolescents, Vascular
Health and Risk Management. 2006 ;2:171-87.
Freedman D. Childhood Obesity and Coronary Heart Disease. In: Marcus K, Wabitsch M, eds. Obesity in
Childhood and Adolescence. Pediatr Adolesc Med.Basel, Karger.
2004 ;9:160-69.
Surabaya,
Ketua Komite Medik
194
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
PemeriksaanFisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
PemeriksaanPenunj
ang
8.
Terapi
9.
Xeroftalmia adalah penyakit akibat defisiensi vitamin A yang bermanifestasi pada mata. Terdapat beberapa
stadium klinis defisiensi vitain A pada mata, yakni :
Butasenja / hemeralopia (XN)
BercakBitot
Xerosiskonyungtiva (X1)
Xerosiskornea (X2)
Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3A)
Ulkuskornea< 1/3 luaspermukaankornea (X3B)
Keratomalacea / Prolaptustridis
Corneal scar (XS)
XeroftalmiaseringkalimenyertaiKurangEnergi Protein (KEP)
Sejakkapanterjadinyakelainanpadamata
Bagaimanamulainya
Obat yang sudahdiberikan
Bagaimanamasukanmakanansehari-hari
Apakahpasienmenderitacampakataudiarekroniksebelumnya
Bercakbitot
Kekeringanpadakonjungtivabulbi
Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
Tanda-tandamalnutrisi
Bercakbitot
Kekeringanpadakonjungtivabulbi
Kekeringan/kekeruhan/ulkuspadakornea
Terdapatnyaprolaps/keratomalasea
Tanda-tandaKEP berat
Berdasarkan Anamnesa
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Laboratorium
Edukasi
10. Prognosis
yang
A
karoten
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
13. PenelaahKritis
a.
b.
c.
195
14. IndikatorMedis
15. Kepustakaan
196
KERACUNAN
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
Keracunan adalah terpaparnya seseorang dengan suatu zat yang menimbulkan gejala dan tanda disfungsi organ
serta dapat menimbulkan kerusakan atau kematian.
-
Kondisi saat pasien ditemukan (benda yang ada di dekat pasien, seperti obat-obatan atau bahan kimia)
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
1.
2.
3.
Anamnesis
Gejala klinis
Pemeriksaan fisik
Diagnosis keracunan di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Syok anafilaksis
1. Darah rutin
2. Analisa gas darah
3. Serum elektrolit
4. Gula darah sewaktu
Tindakan emergensi :
Airway
: Bebaskan jalan nafas, kalau perlu lakukan intubasi.
Breathing
: Berikan pernafasan buatan bila penderita tidak bernafas spontan atau pernafasan tidak
adekwat
Circulation
: Pasang infus bila keadaan penderita gawat dan perbaiki perfusi jaringan.
Identifikasi penyebab keracunan.
Bila mungkin lakukan identifikasi penyebab keracunan, tapi hendaknya usaha mencari penyebab keracunan ini
tidak sampai menunda usaha-usaha penyelamatan penderita yang harus segera dilakukan.
Eliminasi racun.
A. Racun yang ditelan
Rangsang muntah
Akan sangat bermanfaat bila dilakukan dalam 1 jam pertama sesudah menelan bahan beracun,
bila sudah lebih dari 1 jam tidak perlu dilakukan rangsang muntah kecuali bila bahan beracun
tersebut mempunyai efek yang menghambat motilitas ( memperpanjang pengosongan )
lambung.
Rangsang muntah dapat dilakukan secara mekanis dengan merangsang palatum mole atau
dinding belakang faring,atau dapat dilakukan dengan pemberian obat-obatan :
Sirup Ipecac
Dapat diberikan pada anak diatas 6 bulan.
Pada anak usia 6 - 12 bulan 10 ml
1 - 12 tahun 15 ml
> 12 tahun 30 ml
Pemberian sirup ipecac diikuti dengan pemberian 200 ml air putih. Bila sesudah 20 menit tidak
terjadi muntah pada anak diatas 1 tahun pemberian ipecac dapat diulangi.
Apomorphine
Sangat efektif dengan tingkat keberhasilan hampir 100%, dapat menyebabkan muntah dalam 2 5 menit.
Dapat diberikan dengan dosis 0,07 mg/kg BB secara subkutan.
Kontraindikasi rangsang muntah :
1. Keracunan hidrokarbon,kecuali bila hidrokarbon tersebut mengandung bahan-bahan
berbahaya seperti camphor, produk-produk yang mengandung halogenat atau aromatik,
logam berat dan pestisida.
2. Keracunan bahan korossif
3. Keracunan CNS stimulant ( seperti strichnin )
4. Penderita kejang
5. Penderita dengan gangguan kesadaran
Kumbah lambung
Kumbah lambung akan berguna bila dilakukan dalam 1-2 jam sesudah
menelan bahan
197
KERACUNAN
beracun,kecuali bila menelan bahan yang dapat menghambat pengosongan lambung.
Kumbah lambung seperti pada rangsang muntah tidak boleh dilakukan pada :
- Keracunan bahan korosif
- Keracunan hidrokarbon
- Kejang
Pada penderita dengan gangguan kesadaran atau penderita-penderita dengan resiko aspirasi
jalan nafas harus dilindungi dengan cara pemasangan pipa endotracheal.
Penderita diletakkan dalam posisi trendelenburg dan miring kekiri, kemudian dimasukkan pipa
orogastrik dengan ukuran 24 - 36 Fr,pencucian lambung dilakukan dengan cairan garam
fisiologis ( normal saline/ PZ ) atau 1/2 normal saline 100 ml atau kurang berulang-ulang
sampai bersih.
Pemberian Norit ( activated charcoal )
Jangan diberikan bersama obat muntah, pemberian norit harus menunggu paling tidak 30 - 60
menit sesudah emesis.
Dosis 1 gram/kg BB dan bisa diulang tiap 2 - 4 jam bila diperlukan,diberikan per oral atau
melalui pipa nasogastrik.
Indikasi pemberian norit untuk keracunan :
1. Obat2 analgesik/antiinflammasi : acetamenophen, salisilat, antiinflamasi non steroid,
morphine, propoxyphene.
2. Anticonvulsants/sedative : barbiturat, carbamazepine, chlordiazepoxide, diazepam,
phenytoin, sodium valproate.
3. Lain-lain: amphetamine, chlorpheniramine, cocaine, digitalis, quinine, theophylline, cyclic
anti depressants
4. Norit tidak efektif pada keracunan Fe, lithium, cyanida,a sam basa kuat dan alkohol.
Catharsis
Efektivitasnya masih dipertanyakan.
Jangan diberikan bila ada gagal ginjal, diare berat, ileus paralitik atau trauma abdomen
Diuretika paksa ( Forced diuretic )
Diberikan pada keracunan salisilat dan phenobarbital ( alkalinisasi urine ).
Tujuan adalah untuk mendapatkan produksi urine 5,0 ml/kg/jam, hati-hati jangan sampai
terjadi overload cairan.
Harus dilakukan monitor dari elektrolit serum pada pemberian diuresis paksa.
Kontraindikasi : udema otak dan gagal ginjal
Dialysis
Hanya dilakukan bila usaha-usaha lain sudah tidak membawa hasil. Bermanfaat hanya pada
bahan beracun yang bisa melewati filter dialisis ( dialysable toxin ) seperti phenobarbital,
salisilat, theophylline, methanol, ethylene glycol dan lithium.
Dialysis dilakukan bila : Asidosis berat
Gagal ginjal
Ada gejala gangguan visus
Tidak ada respon terhadap tindakan pengobatan.
Hemoperfusi masih merupakan kontroversi dan jarang digunakan.
B.
C.
D.
E.
F.
198
KERACUNAN
9.
Edukasi
Memberikan informasi secara intensif kepada orang tua atau orang yang bertanggung jawab dalam perawatan
anak dan kepada masyarakat mengenai :
Keracunan pada anak, bagaimana terjadinya, akibat yang terjadi serta bagaimana mencegahnya.
Bahan-bahan yang potensial dapat menyebabkan keracunan yang terdapat didalam atau sekitar rumah yang
seringkali tidak diketahui oleh orang tua.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi keracunan.
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
199
SYOK ANAFILAKSIS
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
Syok anafilaksis adalah suatu reaksi anafilaksis berat yang disertai dengan insufisiensi sirkulasi.
Penyebab anaphylaksis pada anak
1.
Makanan: kacang, telur, susu, ikan laut, buah.
2.
Alergen imunoterapi.
3.
Gigitan atau sengatan serangga.
4.
Obat-obatan: penisilin, sulfa, immunoglobin (IVIG), serum, NSAID.
5.
Latex.
6.
Vaksin.
7.
Exercise induce.
8.
Anafilaksis idiopatik: anafilaksis yang terjadi berulang tanpa diketahui penyebabnya meskipun sudah
dilakukan evaluasi/observasi dan challenge test, diduga karena kelainan pada sel mast yang menyebabkan
pengeluaran histamin.
Reaksi timbul dalam beberapa detik atau menit sesudah paparan alergen.
Gejala kardiovaskular
: hipotensi/renjatan.
Gejala saluran nafas
: sekret hidung yang encer, hidung gatal, edema hipofaring/
laring, gejala asma.
Gejala kulit
: pruritus, eritema, urtikaria dan angioedema.
Gejala intestinal
: kolik abdomen, kadang-kadang disertai muntah dan diare.
Gejala SSP
: pusing, sincope, gangguan kesadaran sampai koma.
1. Anamnesis
2. Gejala klinis
3. Pemeriksaan fisik
Diagnosis syok anafilaksis di tegakkan berdasarkan : anamnesa dan manifestasi klinis yang ada
Keracunan
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
9.
Edukasi
Darah rutin
Analisa gas darah
Serum elektrolit
Gula darah sewaktu
Life support: Airway, Breathing, Circulation.
Hentikan obat/bahan yang diduga sebagai penyebab.
Adrenalin (1:1000) 0,01ml/kg BB, berikan sc (ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa
diulang 2-3 kali selang 10 15 menit.
Infus RL/NaCl/ cairan koloid 10-20 ml/kg/10 menit bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan
perfusi jaringan.
Bronkodilator pada penderita yang menunjukkan gejala seperti asma: Aminofilin intravena atau adrenergik
bronkodilator (albuterol, terbutalin) parenteral atau nebulizer.
Antihistamin:Diphenhidranin 1-2 mg/kg BB i.m. atau i.v. atau 5 mg/kg BB per oral. Chlortrimeton untuk
gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus.
Kortikosteroid: Hidrokortison 6 - 8 mg/kg BB/6-8 jam. Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter,
urtikaria persisten, atau angioedema yang masih menetap setelah fase akut teratasi.
Pengetahuan sederhana bagaimana memberikan pertolongan pertama bila terjadi syok anafilaksis
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
1.
Gejala yang timbul akibat allergen membaik dalam waktu 10-15 menit setelah diberi Adrenalin sc
(ringan)/im (sedang)/iv (berat). Bila tidak ada perbaikan bisa diulang 2-3 kali selang 10 15 menit.
200
SYOK ANAFILAKSIS
2.
3.
4.
5.
6.
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Infus RL/NaCl/ cairan koloid bila dengan adrenalin belum menunjukkan perbaikan perfusi jaringan.
Tanda-tanda perbaikan perfusi jaringan bila nadi teraba kuat, Tensi terukur, Capillary refill time < 2
detik, akral hangat.
Hilangnya gejala asma ( wheezing, sesak, retraksi) setelah pemberian bronkodilator pada penderita
yang menunjukkan gejala seperti asma
Gejala-gejala kulit seperti urtikaria, angioedema, pruritus menghilang setelah pemberian Antihistamin
(dalaw waktu 48 jam)
Kortikosteroid hanya diberikan pada renjatan refrakter, urtikaria persisten, atau angioedema yang
masih menetap setelah fase akut teratasi (>12 jam)
80% Pasien tanpa komplikasi akan sembuh dalam waktu 1 hari
Abraham D, Grammer L. Idiophathic anaphylaxis. Immunol Allergy Clin North Am 2001; 21(4): 783 94.
Asthma & Allergy Information Research ( AAIR ). Anaphylaxis Life threatening
allergy. http://www.users.globalnet.co.uk/~aair/anaphylaxis.htm.
Terr A I. Anaphylaxis. Dalam : Stites DP, Stobo JD, Wlls JV eds. Basic and Clinical Immunology 6th ed.
Connecticut: Prentice Hall Inc, 1987; 44952.
Linzer J. Pediatric anaphylaxis. http://www.emedicine.com/emerg/topic360.htm
Rusznak C, Peeble RS. Anaphylaxis and anaphylactoid reactions. Post grade medicine2002; III (5): 10114.
Ownby DR. Pediatric anaphylaxis, insect stings and bite. Immunol Allergy Clin North Am 1999; 19(2): 347
61.
Burk AW, Jones SM, Wheeler JG, Sampson HA. Anaphylaxis and food hypersensitivity. Immunol Allergy
Clin North Am 1999; 19(3): 533 53.
Surabaya,
201
SYOK HIPOVOLEMIK
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
Diagnosis
6.
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
Syok adalah sindroma klinis akut yang disebabkan kegagalan fungsi kardiovaskuler dalam menyediakan
kecukupan oksigen dan nutrien lain untuk metabolisme jaringan, yang disebabkan karena kekurangan cairan.
-
Produksi urin
10. Prognosis
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
12. Tingkat
Rekomendasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Pengisian kapiler harus tercapai dalam waktu 60 menit dengan tanda waktu pengisian kapiler < 2 detik,
denyut nadi normal tanpa perbedaan kualitas nadi perifer dan sentral, produski urin > 1mL/kgBB/jam,
kesadaran normal, tekanan darah normal sesuai usia dan saturasin oksigen > 95%.
202
SYOK HIPOVOLEMIK
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
203
BRONKIOLITIS
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan
penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
Bronkiolitis adalah penyakit obstruktif saluran nafas akibat inflamasi yang terjadi pada saluran nafas kecil
(bronkiolus)
Etiologi terbanyak (50%) adalah Respiratory Synctitial Virus (RSV) Etiologi lain adalah influenza,
adenovirus, rhinovirus dan mycoplasma.
Biasanya menyerang anak usia 2 bulan-2 tahun terutama 2-6 bulan
Seringkali didahului dengan infeksi saluran nafas akut bagian atas dengan gejala batuk pilek, dapat disertai demam
atau hanya subfebris.
Keluhan sesak nafas yang ditandai dengan nafas dangkal dan cepat akan timbul setelahnya. Pada keadaan yang
berat bisa didapatkan cyanosis.
Biasanya tidak didapatkan riwayat atopi pada keluarga maupun penderita.
Faktor resiko lainnya: anak laki-laki. Tidak mendapatkan ASI, tinggal di pemukiman yang padat, waktu hamil ibu
merokok/terpapar asap rokok
Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Ekspiratory effort yang ditandai dengan ekspirium yang memanjang dan disertai retraksi dinding dada, dan nafas
cuping hidung.
Suara perkusi paru hipersonor. Pada auskultasi paru dapat terdengar suara nafas tambahan terutama berupa
wheezing, sedang ronki basah halus dapat terdengar pada akhir atau awal inspirasi. Pada obstruksi yang berat
suara nafas nyaris tidak terdengar, wheezing bahkan dapat menghilang.
Tanda lainnya adalah demam, sianosis pada keadaan sesak yang berat, dan biasanya anak tampak gelisah.
1.
Foto polos dada AP dan lateral
2.
Analisa Gas Darah
3.
Pemeriksaan untuk mendeteksi Antigen RSV
1.
Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas. Untuk menentukan berat ringannya
sesak pada bronkiolitis dapat dilakukan skoring dengan RDAI (Respiratory Distress Assessment
Instrument)
2.
Pada foto polos dada dapat terlihat gambaran hiperinflasi baru dengan diameter anteroposterior yang melebar pada
foto lateral. Dapat pula disertai bercak konsolidasi yang tersebar.
3.
Analisa Gas Darah dapat menunjukkan keadaan hiperkarbia (PaCO 2 yang tinggi), asidosis respiratorik,
dan pada keadaan lanjut dapat terjadi asidosis metabolic dan gagal nafas.
4.
Bila tersedia pemeriksaan deteksi cepat antigen RSV sebagai penyebab utama bronkiolitis dapat
dilakukan
Bronkiolitis
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
204
BRONKIOLITIS
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
C
1.
2.
3.
1.
2.
1.
2.
3.
4.
205
PNEUMONIA
1.
2.
Pengertian
(Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan
Fisik
4.
Pemeriksaan
penunjang
5.
Kriteria
Diagnosis
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis
Banding
8.
Terapi
Pneumonia adalah penyakit peradangan parenkim paru yang disebabkan oleh berbagai macam etiologi.
Terbanyak adalah virus atau bakteri. Etiologi lain parasit dan aspirasi zat tertentu
Gejala yang timbul biasanya mendadak.
Dapat didahului denganinfeksi saluran nafas akut bagian atas.
Gejala umum: batuk, demam tinggi, nafas cepat dan sesak nafas.
Pada keadaan yang berat bisa didapatkan cyanosis
Pada anak yang besar bisa didapatkan nyeri dada.
Pada bayi muda sering menunjukkan gejala yang tidak khas seperti hipotermi, penurunan kesadaran, kejang, sulit
minum, dan perut kembung
Takipnea dengan laju respirasi untuk anak <2 bulan 60x/menit, 2-12 bulan50x/menit, 1-5 tahun40x/menit.
Inspiratory effort ditandai dengan retraksi dinding dada, nafas cuping hidung
Gerakan dinding toraks dapat tertinggal pada daerah yang terkena infeksi, perkusi normal atau redup, auskultasi
paru dapat terdengar terdengar suara nafas tambahan berupa ronki basah halus di lapangan paru yang terkena.
Tanda lainnya adalah demam tinggi, sianosis, dan dapat ditemukan tanda dehidrasi.
Pada infeksi oleh kuman atipik (mycoplasma, chlamydia) gejalanya tidak jelas maupun memberikan onset
akut seperti diatas. Panas seringkali tidak tinggi, batuk tidak produktif, tidak sesak, dan seringkali disertai sakit kepala
dan malaise.
1.
Foto polos dada
2.
Analisa Gas Darah
3.
Hitung Leukosit dan differerential count
4.
Laju Endap Darah (LED)
5.
C-Reactive Protein (CRP)
6.
Procalcitonin
7.
Kultur darah, sputum, swab oropharyngeal
1.
Gejala Fisik sesuai dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik diatas
2.
Pada foto polos dada terlihat infiltrat alveolar maupun interstitial yang dapat ditemukan di seluruh lapangan paru.
Kelainan gambaran radiologis biasa sebanding dengan derajat klinis penyakit, kecuali pada infeksi oleh kuman
atipikal yang gambaran radiologis lebih berat daripada keadaan klinis. Gambaran lain yang dapat dijumpai
berupa konsolidasi pada satu atau beberapa segmen atau lobus paru, penebalan pleura pada pleuritis, atau
adanya komplikasi pneumonia berupa atelektasis, efusi pleura, abses paru, pneumothorak,
pneumomediastinum dan pneumatokel
3.
Analisa Gas Darah menunjukkan keadaan asidosis respiratorik, hipoksemia, sedang PaCO 2 dapat rendah,
normal atau meningkat tergantung kompensasi yang terjadi. Dalam keadaan lanjut bisa terjadi asidosis
metabolik, dan gagal nafas.
4.
Peningkatan hitung leukosit dengan hitung jenis bergeser ke kiri pada infeksi bakterial
5.
LED, CRP, dan procalcitonin meningkat pada infeksi bakterial
6.
Pemeriksaan kultur darah dapat menunjang menentukan etiologi terutama pada kasus nasokomial. Sedang
kultur sputum dan swab oropharyngeal sering terkontaminasi flora normal
Pneumonia
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
206
PNEUMONIA
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat
Evidens
12. Tingkat
Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
14. Indikator Medis
15. Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
207
Pengertian (Definisi)
Gangguan penyesuaian diri perkembangan perhatian (inatensi), aktivitas (hiperaktivitas) dan kontrol
perilaku kurang (impulsif) yang telah berlangsung 6 bulan atau lebih dan terjadi sebelum usia 7 tahun
pada tingkat sampai menganggu penyesuaian diri dan tidak sesuai dengan tingkat perkembangan
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan Penunjang
1.
2.
3.
4.
8.
Terapi
1. Terapi Perilaku
2. Metilfenidat :
-Short acting : 5-20 mg ( 2-3x/hari).
-Intermediate-acting : 20-40 mg ( pagi 20 mg, sore 20 mg)
-Long-acting : 18-72mg (1 kali/hari)
3. Amfetamin
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
Darah lengkap
Pemeriksaan pendengaran
Pemeriksaan IQ
Bila perlu MRI kepala
208
Surabaya,
Ketua Komite Medik
209
CAMPAK
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
Campak, measles, atau rubeola adalah penyakit virus akut yang disebabkan oleh virus campak. Penyakit
ini sangat menular sejak awal masa prodromal sampai lebih kurang 4 hari setelah munculnya ruam.
Penularan secara droplet (airborne).
Campak mempunyai gejala klinis yang khas, terdiri dari 3 stadium, yaitu :
1. (Stadium masa tunas 10-12 hari)
2. Stadium prodromal 2-4 hari
3. Stadium erupsi 5-7 hari
4. Stadium konvalesen
Stadium prodromal diawali dengan demam yang makin tinggi disertai batuk, pilek, nyeri telan, konjungtivitis
dan silau bila kena cahaya (fotofobia), seringkali diikuti muntah dan diare. Pada masa ini dapat ditemukan
tanda patognomonis adanya bercak Kopliks, yaitu enantema di mukosa pipi di depan dari molar 3, yang
biasanya muncul 2 hari sebelum timbulnya ruam.
Pada hari ke 4-5 demam, timbul ruam makulopapular pada kulit, yang dimulai dari belakang telinga, batas
antara rambut dan kulit, kemudian menyebar ke wajah, dada, perut, lengan dan kaki secara bersamaan.
Suhu akan mulai turun pada hari ke 2-3 ruam, dan ruam kemudian mengalami hiperpigmentasi dan
deskuamasi.
Pada stadium konvalesen ruam akan berangsur menghilang sesuai dengan urutan timbulnya.
Pada anak dengan gizi buruk gejala muntah dan diare bisa sangat berat.
Bisa timbul komplikasi berupa otitits media, bronkopneumoni, mastoiditis, laryngitis akut, ensefalitis,
gastroenteritis, adenitis servikal, SSPE (subacute sclerosing panencephalitis), aktivasi tuberculosis, dan
gangguan gizi sampai kwashiorkor.
Stadium prodromal didapatkan panas disertai 3C dan 1 K (cough, coryza, conjunctivitis, dan kopliks spot)
Stadium erupsi ditandai timbulnya ruam makulopapular yang bertahan 5-6 hari, yang dimulai dari batas
telinga kemudian menyebar ke wajah dan seluruh tubuh. Sekitar 2-3 hari setelah ruam muncul biasanya
panas akan menghilang.
Stadium konvalesen setelah 3 hari ruam akan menjadi kehitaman dan mengelupas, dan menghilang
setelah 1-2 minggu sesuai urutan timbulnya.
Penentuan status gizi penderita penting karena gizi buruk mempunyai komplikasi yang berat
Gejala fisik lainnya ditemukan sesuai dengan timbulnya komplikasi yang terjadi.
A. diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksan tambahan
1. Anamnesa :
Panas, batuk pilek dan konjuntivitis serta ditemukannya bercak Kopliks (patognomonik)
2. Pemeriksaan fisik :
Adanya ruam makulopapular yang timbul pertama dari belakang telinga kemudian menyebar ke wajah,
dada dan seluruh tangan dan kaki.
3. Pemeriksaan Ig M spesifik campak (+) dan pemeriksaan virologi
4. kultur virus dari swab ginggiva atau urine
B. Untuk campak dengan komplikasi :
Ensefalitis
Pneumonia
5.
Pemeriksaan penunjang
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Diagnosis
Campak
Campak dengan komplikasi (ICD 10: B05.1,2,3,4)
7. Diagnosis Banding
8. Terapi
Pemeriksaan darah lengkap : jumlah leukosit normal atau meningkat apabila ada komplikasi
Pemeriksaan serologi : Ig M spesifik campak
Feses lengkap jika diare
Pemeriksaan penunjang untuk komplikasi : pungsi lumbal, foto polos dada, CT scan/MRI kepala.
Analisa gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak sesuai indikasi
1. Rubela
2. Infeksi Adenovirus
3. Infeksi Enterovirus
4. Scarlet fever
5. Infeksius mononukleosus
6. Penyakit Kawasaki
7. Erupsi obat
8. Roseola infantum (eksantema subitum)
210
CAMPAK
9.
Edukasi
10. Prognosis
15. Kepustakaan
Antibiotika bila diperlukan, antivirus dan lainya sesuai dengan PPK ensefalitis
Kebutuhan jumlah cairan disesuaikan dengan kebutuhan serta koreksi terhadap gangguan
elektrolit
1.
2.
3.
211
CAMPAK
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Joklik WK. Paramyxovirus in Joklik WK, Virology, 3rd ed. London, Prentice-Hall International Inc., 1988;
hal. 204-219.
Redd SC, Markowitz LE, Katz SL, Measles vaccine in Plotkin and Orenstein (eds), Vaccines, 3rd ed,
Philadelphia, WB Saunders, 1999 : 222-266.
Toit DR, Ward KN, Brown DWG, Mirev E. Measles and rubella misdiagnosed as exanthema subitum
(roseola infantum) Br Med J, 1996; 312 : 101-2.
WHO. Manual for the laboratory diagnosis of measles virus infection. Geneva, 2000. WHO/V&B/00. 16.
Heifand RF, Health JL, Anderson LJ, Gonus D, Bellini WJ. Diagnosis of measles with an IgM-captured EIA
: the optimal timing of specimen collection after rash onset. J Infect Dis, 1997; 175 : 195-7.
Shann F. Meta analysis of trials of prophylactic antibiotics for children with measles : inadequate evidence
Br Med J, 1997; 314 : 334.
Surabaya,
212
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis disertai/disusul dengan kebocoran plasma/ plasma
leakage dan gangguan hemostatik berupa munculnya perdarahan yang lebih prominen serta
trombositopenia 100.000
1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
3. Perdarahan pada kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit flushing, ruam seperti
morbili. Pada periode recovery dapat timbul convalescence rash berupa ruam seperti morbili dengan
lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua ekstremitas atas
(handglove like appearance)
5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau gejala
saluran cerna berupa diare ringan.
6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
7. Jika saat datang syok penderita akan mengeluh anyep dan loyo namun panas tidak lagi dijumpai
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
1.
2.
3.
4.
Diagnosis
6)
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan Penunjang
Gejala klinik
Gejala plasma leakage berupa peningkatan hematokrit 20 %, atau ditemukan adanya ascites dan efusi
pleura, sedangkan untuk DHF grade 3 dan DHF grade 4 berupa gangguan sirkulasi/syok
Gangguan hemostatik berupa trombositopenia 100.000 dan adanya tanda perdarahan mulai dari
perdarahan ringan sampai perdarahan masif yang mengancam nyawa.
Dapat ditunjang dengan hasil NS1 dan atau Ig M dan atau Ig G dengue positif
Dengue fever
Trombositopenik purpura
Infeksi virus lain seprti morbili, rubella, chikungunya
Sepsis
ITP, leukemia, anemia aplastik
Syok karena sebab lain
Malaria, demam tifoid.
a. Darah lengkap, dijumpai adanya trombositopenia ( 100.000, dan peningkatan hematokrit 20 % ,
leukopenia, hasil hitung jenis menunjukkan limfopenia pada awal sakit dan netropenia pada akhir
perjalanan sakit
b. Photo / USG thorax didapatkan efusi pleura dextra
USG abdomen dijumpai adanya ascites
c. Pemeriksaan SGOT dan SGPT biasanya ada penignkatan walau tidak sampai 10 x harga normal,
dalam prosentasi kecil SGOT dan SGPT dapat meningkat > 10 x harga normal
d. Pemeriksaan Ig M dan Ig G Dengue
e. NS1
f.
Elektrolit serum, gula darah acak, dan albumin
g. PPT dan APTT atas indikasi
213
Terapi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9)
Edukasi
10) Prognosis
214
15) Kepustakaan
5.
6.
7.
8.
9.
10.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
215
DEMAM TYPHOID
1.
2.
Pengertian (Definisi)
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Pemeriksaan penunjang
5.
Kriteria Diagnosis
6.
7.
Diagnosis
Diagnosis Banding
8.
Terapi
Penyakit infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan S. paratyphi
Pada bayi tidak khas, bisa berupa diare yang ringan sampai berat.
Bisa disertai panas tinggi. Bisa disertai ikterus.
Pada anak juga tidak khas, spektrum keluhannya luas, tetapi didapatkan 3 komponen keluhan,
yaitu demam, gangguan saluaran cerna dan dapat disertai gangguan syaraf
Demam bersifat stepladder, pada hari ke 5 sakit biasanya demam terus menerus tinggi, diberi
antipiretik turun sebentar kemudian naik lagi. Malam hari demam dirasakan lebih tinggi daripada
siang hari.
Gangguan saluran cerna berupa nyeri perut, muntah, diare, obstipasi dan kembung
Gangguan syaraf kalau ada dapat berupa delirium atau penurunan kesadaran
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi infeksi saluran kemih atau otitis media akut, yang
biasanya terjadi pada minggu ke-2 sakit ditandai dengan panas yang tidak mau turun walau
sudah mendapat antibiotika
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi pneumonia, yang biasanya terjadi pada minggu
ke-2 sakit didapati panas yang tidak turun walau diberi antibiotika dan juga disertai sesak nafas.
Pada demam typhoid yang disertai komplikasi ensefalopati yang biasanya terjadi pada akhir
minggu pertama atau awal minggu ke-2 sakit, dijumpai kesadaran delirium/obtundasi, dan
penderita bisa gaduh gelisah.
Pada demam typhoid yang disertai perforasi usus, yang biasanya terjadi pada akhir minggu ke-2
sakit atau awal minggu ke-3,, didapati nyeri abdomen yang disusul dengan tanda perforasi usus
dan peritonitis
Pada bayi tidak khas, dapat dijumpai febris tinggi, hepatomegali, splenomegali, ikterus
Pada anak dapat dijumpai febris 5 hari, dengan kesadaran mulai komposmentis hingga
delirium atau penurunan kesadaran, bibir pecah-pecah, lidah kotor, meteorismus, hepatomegali
dan splenomegali
216
DEMAM TYPHOID
4.
9.
Edukasi
10. Prognosis
11. Tingkat Evidens
12. Tingkat Rekomendasi
13. Penelaah Kritis
15. Kepustakaan
Kortikosteroid dosis tinggi (metode Hoffman) diberikan pada penderita demam tifoid yang disertai
komplikasi ensefalopati
5. Pada anak besar, diet menghindari serat serta mobilisasi bertahap sebaiknya diberlakukan
6. Antipiretika sesuai kebutuhan
7. Tindakan bedah mungkin diperlukan juka ada perforasi/peritonitis
1) Perjalanan klinik infeksi demam typhoid secara umum, dan posisi penderita dalam
perjalanan klinik tersebut (natural course)
2) Penanganan yang sedang dilakukan
3) Prognosis penderita
4) Isolasi dan menghindari penularan secara fekal-oral
5) Imunisasi
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
C
a.
Widodo Darmowandowo, dr, SpA (K)
b.
Dominicus Husada, dr, SpA(K)
c.
Dwiyanti Puspitasari, dr, SpA
d.
Leny Kartina, dr, SpA
e.
Prof. Parwati Setiono Basuki, dr, SpA(K), MSc (CTM)
f.
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
1. Bebeas demam 2x24 jam
2. Nafsu makan dan minum membaik
3. Perbaikan kondisi klinis penderita
4. Tidak ada komplikasi atau sudah membaik
5. Pemeriksaan darah lengkap
6. Setelah 7 hari perawatan
1.
American Academy of Pediatrics. Salmonella infections. Dalam: Pickering LK, Baker CJ,
Long SS,McMillan JA, penyunting. Red Book: 2006 report of the committee in infectious
diseases. Edisi ke-27.Elk Grove Village, IL. American Academy of Pediatrics; 2006, h.57984.
2.
Cleary TG. Salmonella species. Dalam: Dalam : Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting. Principles and Practice of Pediatric Infectious Diseases. Edisi ke- 2.
Philadelphia, PA: Elsevier Science; 2003. h. 830-5.
3.
Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson
textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders; 2004, h. 912-9.
4.
Pickering LK dan Cleary TG. Infections of the gastrointestinal tract. Dalam: Anne AG, Peter
JH, Samuel LK, penyunting. Krugmans infectious diseases of children. Edisi ke-11.
Philadelphia; 2004, h. 212-3
Surabaya,
217
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
1)
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
Infeksi virus dengue yang saat memasuki periode kritis tanpa disertai plasma leakage/kebocoran
plasma, tetapi didapatkan adanya trombositopenia
1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari dan disertai tidak mau bermain
2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timbul
rewel yg tak jelas penyebabnya
3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, muntah darah, dan hypermenorrhea
4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit flushing, ruam
seperti morbili. Pada periode recovery dapat timbul convalescence rash berupa ruam seperti
morbili dengan lokasi pada kedua extremitas bawah ( shoe like appearance) atau pada kedua
ekstremitas atas (handglove like appearance)
5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan
atau gejala saluran cerna berupa diare ringan.
6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
6)
Diagnosis
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan Penunjang
8)
Terapi
9)
Edukasi
10) Prognosis
11) Tingkat Evidens
1.
2.
3.
218
DEMAM DENGUE
( DENGUE FEVER )
12) Tingkat Rekomendasi
13) Penelaah Kritis
15) Kepustakaan
A
a.
b.
c.
d.
e.
f.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
219
DIPHTHERIA
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
Kriteria Diagnosis
suatu penyakit infeksi toksik akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan/atau mukosa. Di negara lain penyebab juga
melibatkan C. Ulcerans dan C. Pseudotuberculosis..
Difteri Hidung
Pada permulaan mirip common cold, yaitu pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Sekret
hidung berangsur menjadi serosanguinous dan kemudian mukopurulen, disertai lecet pada nares dan bibir
atas. Dapat terjadi epistaxis Difteri Tonsil-Faring
Gejala anoreksia, malaise, demam ringan, nyeri menelan ..
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi, kelainan cenderung menahun.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telingaDifteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah. Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret
purulen dan berbau. Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah
perineum dan anal.
Perlu anamnesis tambahan tentang status imunisasi difteri
Ditanyakan adanya kontak atau adanya kasus difteri di sekitar penderita
Pada umumnya penderita tidak panas tinggi. Gejala dan tanda bergantung pada lokasi difteri.
Difteri Hidung
Pada pemeriksaan tampak membran putih pada daerah septum nasi. gejala sistemik yang timbul tidak nyata
Difteri Tonsil-Faring
Membran yang melekat, berwarna putih-kelabu dapat menutup tonsil dan dinding faring, meluas ke uvula dan
palatum molle atau ke distal menuju laring dan trachea.
Usaha melepas membran akan mengakibatkan perdarahan. Dapat terjadi lymphadenitis servikalis dan
submandibularis bila bersamaan dengan edema jaringan lunak leher yang luas timbul bullneck. Gejala
selanjutnya tergantung derajat elaborasi toksin dan luas membran. Bila kasus berat, bisa terjadi kegagalan
pernafasan atau sirkulasi. Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni- maupun bilateral, disertai
kesulitan menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi dalam satu minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit pada jantung
atau saraf. Pada kasus ringan membran terlepas dalam 7-10 hari; biasanya terjadi penyembuhan sempurna.
Difteri Laring
Biasanya merupakan perluasan difteri faring, pada difteri laring primer gejala toksik kurang nyata, tetapi lebih
berupa gejala obstruksi saluran nafas atas. Gejala sukar dibedakan dari tipe infectious croup yang lain
seperti nafas berbunyi, stridor progresif, suara parau, batuk kering dan pada obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, subcostal dan supraclavicular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat, membran meluas ke percabangan
tracheobronchial. Dalam hal difteri laring sebagai perluasan difteri faring, gejala merupakan campuran gejala
obstruksi dan toksemia.
Difteri Kulit
Berupa tukak di kulit, tepi jelas, dengan membran pada dasarnya.
Unusual types - konjungtiva, vulvovaginal, anal, telingaDifteri pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan, edema dan membran pada konjungtiva
palpebra, dapat disertai air mata bercampur darah
Pada telinga berupa otitis eksterna dengan sekret purulen dan berbau
Pada daerah vulvovaginal berupa tukak yang bergerombol, dapat meluas ke daerah perineum dan anal.
1. Untuk memperkirakan kemungkinan penderita difteri perlu dikenali definisi klinis kasus difteri dengan
klasikasi kasus suspected, probable, dan confirmed. Confirmed terdiri dari indigenous atau imported.
Termasuk suspected case adalah laringitis, atau nasofaringitis, atau tonsilitis disertai pseudomembran.
Probable case bila suspected case disertai satu di antara kriteria-kriteria sebagai berikut:
-kontak dalam waktu pendek (kurang dari 2 minggu) dengan kasus confirmed
-pada saat bersamaan terdapat epidemi difteri di area tersebut
-stridor
-pembengkakan/edema leher
-perdarahan submukosa atau petekie di kulit
-toxic circulatory collapse
-insufisiensi renal akut
-miokarditis dan/atau kelumpuhan motorik 1-6
minggu awitan sakit
-meninggal
Confirmed case bila probable case disertai isolasi strain toksigenik C diphtheriae dari lokasi tipikal (hidung,
tenggorok, ulkus kulit, luka, konjungtiva, telinga, vagina) atau 4X kenaikan serum antitoksin, tetapi hanya
bila kedua sampel serum diambil sebelum pemberian toksoid atau antitoksin difteri.
220
DIPHTHERIA
2.
5.
6.
Diagnosis
Diagnosis Banding
7.
Pemeriksaan
Penunjang
8.
Terapi
9.
Edukasi
10. Prognosis
Diagnosis harus dibuat atas dasar pemeriksaan klinis oleh karena penundaan pengobatan akan
membahayakan jiwa penderita.
3. Penentuan kuman difteri dengan sediaan langsung kurang dapat dipercaya. Cara yang lebih akurat
adalah dengan identifikasi secara fluorescent antibody technique, namun untuk ini diperlukan seorang ahli.
4. Diagnosis pasti bila diisolasi C. diphtheriae dengan pembiakan pada media Loeffler dilanjutkan tes
toksinogenesitas secara vivo (marmut) dan vitro (tes Elek). (di BBLK Surabaya pembiakan dilakukan
menggunakan media transport Amies, ditanam pada media Hoyle, kemudian ditapis (skrin) untuk
menentukan toksigenisitas), Cara Polymerase Chain Reaction (PCR) dapat membantu menegakkan
diagnosis difteri dengan cepat, namun pemeriksaan ini mahal dan masih memerlukan penjajagan lebih
lanjut untuk penggunaan secara luas. Cara lain adalah dengan pemeriksaan serologi untuk mendeteksi
antibodi terhadap difteri.
Difteria (ICD10: A36.9)
Difteri Hidung :
1. Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis)
2. Benda asing dalam hidung
3. Snuffles (lues congenita) .
Diteri faring :
. Tonsilitis membranosa akuta oleh karena
streptokokus (tonsillitis akuta/septic sore throat)
2. Mononucleosis infectiosa
3. Tonsilitis membranosa non bakterial
4. Tonsillitis herpetika primer
5. Moniliasis
6. Blood dyscrasia
7. Pasca tonsilektomi
Difteri Laring :
1. Infectious croup yang lain
2. Spasmodic croup
3. Angioneurotic edema pada laring
4. Benda asing dalam laring
Difteri Kulit :
1. Impetigo
2. Infeksi oleh karena. streptokokus /stafilokokus
Difteri konjungtiva :
. Konjungtivitis karena virus atau bakteri lain
a.
Darah lengkap
b.
Kultur hapusan hidung dan tenggorok, lesi kulit, konjungtiva palpebra untuk difteri dan kuman lain
c.
Pengecatan gram
d.
Urin lengkap
e.
elektrokardiografi
f.
bila perlu foto dada
g.
Pada keadaan berat ditambahkan analisis gas darah, elektrolit serum, dan gula darah acak
1.Isolasi dan Karantina
Penderita diisolasi sampai biakan negatif 3 kali berturut-turut setelah masa akut terlampaui, masing-masing
dengan selang waktu 24 jam. Pada umumnya isolasi dilakukan sedikitnya 10 hari
2.Tatalaksana medikamentosa
Tujuan mengobati penderita difteri adalah
menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya,
mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi
minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah
penularan serta mengobati infeksi penyerta
dan penyulit difteri
a.
Serum antidifteri. Untuk difteri berat (tonsil-faring, dengan atau tanpa komplikasi) 100.000 iu, pada
difteri sedang (misalnya difteri tonsil saja) 40.000 iu, dan pada difteri ringan (nasal, kulit, konjungtiva)
20.000 iu.
b.
Antibiotik penisilin prokain im (50.000-100.000 iu/kg/hari) atau eritromisin po (50 mg/kg/hari, dibagi 3).
Jika didapatkan infeksi sekunder dapat ditambahkan kloksasilin iv (30 mg/kg/hari, dibagi 3)
c.
Imunisasi DPT, DT, atau Td tergantung usia. Diberikan sedikitnya 2 minggu setelah ADS.
d.
Pengobatan penyulit yang pada umumnya berupa miokarditis, nefritis, dan neuritis.
a.
Difteri adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi. Jadi perlu diperhatikan imunisasi
sesuai usia
b.
Difteri penyakit menular yang memerlukan isolasi ketat
c.
Kontak erat penderita memerlukan penanganan epidemiologis khusus
d.
Perlu follow-up untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya komplikasi lambat yang memerlukan
pengobatan suportif karena biasanya bersifat reversibel. Yang dapat muncul lambat biasanya adalah
neuritis seperti paralisis palatum molle (hingga minggu keenam)
Difteri berat :
Ad vitam
: dubia ad malam
221
DIPHTHERIA
Ad sanationam : dubia ad malam
Ad fungsionam : dubia ad malam
Difteri lain :
Pada umumnya dubia ad bonam
15. Kepustakaan
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
I/II/III/IV
A/B/C
Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
Bebas demam
Bisa makan dan minum
Membran menghilang
Hasil kultur hapusan tengorok dan hidung negatif
Komplikasi jika ada- sudah membaik.
Setelah 14 hari perawatan
American Academy of Pediatrics. Diphtheria. In: Pickering LK, Baker CJ, Long SS, et al, eds Red
book: 2006 Report of the committee on infectious diseases 27th ed. Elk Grove Village, IL: American
Academy of Pediatrics; 2006: 277
Buescher ES. Diphtheria (Corynebacterium diphtheriae) in: Kliegman RM, Stenton BF, Schor NF,
St.Geme III JW, Behrman RE, eds. Nelson Textbook of Pediatrics. 19th ed Philadelphia: WB
Saunders, 2011; 929.
Christie AB, ed. Diphtheria. Infectious Diseases: Epidemiology and clinical practice. Edinburgh
London New York : Churchill Livingstone, 1987; 1183-209.
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur. Pedoman Penanggulangan KLB Diphteri di Jawa Timur. 2011.
Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Diphtheria. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, Demmler-Harrison
GJ, Kaplan SL, eds. Feigin & Cherrys Textbook of Pediatric Infectious Diseases 6th ed 2009:13931402
Guilfoile PG. Diphtheria. Dalam: Babcock H, Heyman D, eds. Deadly diseases and epidemics:
Diphtheria. New York, Chelsea House 2009
Halsey NA, Smith MHD. Diphtheria. Dalam: Warren KS, Mahmoud AAF, eds. Tropical and
Geographical Medicine. International Student Edition. New York : Mc Graw-Hill, 1990, 860-6.
Hodes HL. Diphtheria. Ped. Clin.North America 1979; 26 : 445.
McCloskey RV. Corynebacterium diphtheriae (Diphtheria). Dalam : Mandel GL, Douglas RG,
Bennett JE, eds. Principles and practice of Infectious Diseases. Churchill Living stone : John Wiley
& Sons inc. 1985; 1171-4.
Top FH, Wehrle PF,eds. Diphtheria. Communicable and Infectious Disease. St. Louis. The CV Mosby
Co. 1976 : 223-38.
Wharton M. Diphtheria. Dalam: Gershon AA, Hotez PJ, Katz SL, eds. Krugmans Infectious Diseases
of Children. 11th ed St. Louis : The Mosby Co, 2004 : 85-96.
Surabaya,
222
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
Diagnosis
6)
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan Penunjang
8)
Terapi
Penyakit akut sistemik dan dinamis yang disebabkan oleh virus dengue, ditandai dengan febris yang
imbul mendadak, disusul dengan periode kritis dan periode recovery.
1. Panas tinggi yang timbul mendadak selama 2-7 hari disertai tidak mau bermain
2. Nyeri seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri kepala, nyeri retroorbital, pada bayi timul rewel yg tak
jelas peyebabnya
3. Perdarahan kulit, mimisan, perdarahan gusi, hypermenorrhea
4. Pada awal sakit dapat timbul kemerahan pada muka, kemerahan pada kulit flushing, ruam seperti
morbili
5. Dapat dijumpai gejala saluran nafas atas berupa nyeri tenggorokan, atau pilek, batuk ringan atau
gejala saluran cerna berupa diare ringan.
6. Sering disertai keluhan anoreksia, nausea dan vomiting
Penderita dapat tampak sakit ringan, sedang, sampai berat. Pada penderita bayi dapat tampil rewel
sekali
Panas, temperature dapat tinggi sampai 39 bahkan 40oC saat awal sakit, atau mulai menurun
sekitar 37-38oC saat mau memasuki periode kritis.
Pada awal sakit dapat dijumpai adanya kemerahan pada muka atau kemerahan pada kulit
(flushing), atau berupa ruam seperti morbili
Tanda perdarahan tidak selalu ada, dapat dilakukan tes Rumpel Leede, atau dijumpai gejala
perdarahan spontan berupa petekiae, ekimosis, perdarahan gusi, atau hypermenorhoea
Dapat dijumpai gejala pilek, batuk ringan atau pharyng sedikit hiperemia atau gejala diare ringan
Antipiretik
Parasetamol sebagai pilihan dengan dosis 10 mg/kgbb/kali, tidak lebih dari 4 kali
Makan dan minum disesuaikan dengan kondisi nafsu makan dan kemauan minumnya
Kebutuhan cairan harus dipenuhi. Pemberian cairan dapat peroral, akan tetapi apabila penderita
tidak mau minum, muntah terus, maka pemberian cairan intra vena pilihannya (sesuai Formula
Halliday Segar yang dikenal sebagai formula cairan rumatan)
Berat badan ( kg )
Vol cairan rumatan 24 jam
10
100 cc / Kg BB
10 20
1000 cc + 50 cc / Kg BB > 10 Kg
20
1500 cc + 20 cc / Kg BB > 20 Kg
Setiap derajat kenaikan temperatur, cairan ditambah 12 % kebutuhan 1 hari
223
9)
Edukasi
10) Prognosis
11) Tingkat Evidens
12) Tingkat Rekomendasi
13) Penelaah Kritis
2. Apabila penderita ditetapkan berobat jalan, kalau dalam perjalanan sakitnya didapatkan keluhan dan tanda
klinik sebagai berikut, penderita segera dibawa ke ruamah sakit terdekat.
Gejala dan tanda klini yang dimaksud adalah :
Nyeri abdomen
Muntah persisten
Perdarahan
Panas yang tidak terkontrol dengan antipiretik
Lethargi/restlessness
Hepatomegali > 2 cm
Laboraturium ada peningkatan hematokrit disertai penurunan trombosit secara cepat
224
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
5)
6)
Diagnosis kerja
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan Penunjang
8)
Terapi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang disebabkan oleh satu atau lebih spesies
Plasmodium, ditandai dengan panas tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepato-splenomegali.
a)
Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian ke daerah endemismalaria.
b)
Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri daerah perut, pucat, mialgia,
dan atralgia.
c)
Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa serangan demamdengan interval
tertentu (paroksisme), diselingi periode bebas demam. Sebelum demampasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
d)
Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis -- Plasmodium atauinfeksi ber
ulang dari satu jenis Plasmodium), demam dapat berlangsung terus menerus (tanpa interval),
e)
Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
f)
Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium demam (hotstage), dan stadium
berkeringat (sweating stage).
g)
Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali bermanifestasisebagai kejang
h)
Pada sebagian kasus akan didapatkan kesadaran yang menurun, atau urine berwarna coklat, atau
ikterus.
a)
Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah , diare, ikterus, dan hepato-splenomegali.
b)
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P.falciparum, disertai satu atau lebih kelainan
sebagai berikut:
Gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis <400 ml/24jam
Hiperpireksia
Edem paru
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan pemberian oralatau
parenteral
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgbb atau whole blood 20 ml/kgbb apabila anemia
dengan Hb <7,1g/dl
225
Apabila terjadi gagal napas perlu pemasangan ventilator mekanik (bila mungkin)
c)
Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb per-iv sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya
diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Pengobatan dilanjutkan
dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
Kemasan dan cara pemberian artemeter
Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. Artemeter
diberikan dengan dosis 1,6mg/kgbb intramuskular dan diulang setelah 12 jam. Selanjutnya artemeter diberikan
1,6 mg/kgbb intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat. Bila penderita sudah dapat
minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan regimen dihydroartemisinin-piperakuin ( ACT lainnya)+ primakuin.
9)
Edukasi
10) Prognosis
11) Tingkat Evidens
12) Tingkat Rekomendasi
13) Penelaah Kritis
Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan
kematian.
Pada penderita dengan gagal ginjal, dosis rumatan kina diturunkan 1/3 - 1/2 nya.
Pada hari pertama pemberian kina oral, berikan primakuin dengan dosis 0,75 mg/kgbb.
Dosis kina maksimum : 2.000 mg/hari.
Hipoglikemia dapat terjadi pada pemberian kina parenteral oleh karena itu dianjurkan pemberiannya
dalam Dextrose 5%
Klorokuin tidak lagi dapat digunakan untuk semua jenis malaria di Indonesia
a)
Pemakaian kelambu saat tidur
b)
Penggunaan losion anti nyamuk
c)
Minum obat malaria pencegahan apabila bepergian kedaerah endemis malaria
Ad vitam
: dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
IV
C
a)
Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b)
Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c)
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d)
Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e)
Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
226
15) Kepustakaan
1.
2.
3.
4.
5.
1.
2.
3.
4.
5.
227
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
a)
b)
c)
d)
e)
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
5)
6)
Diagnosis kerja
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan Penunjang
8)
Terapi
Sepsis atau septicemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat,
disertai dengan ditemukannya respons sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardia,
hiperventilasi dan letargi. Dari hasil biakan dapat ditemukan mikroorganisme penyebab
Adanya faktor risiko untuk sepsis, infeksi primer atau dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari
timbulnya sepsis. Faktor resiko juga mencakup :
Riwayat luka bakar luas
Diketahui immunokompromais atau immunosupresi
Riwayat tindakan pembedahan/ prosedur invasif/ rawat inap
Menggunakan IVCD, VP shunt, invasive airway
Adanya tanda awal sepsis yang dapat berupa demam, hiperventilasi, takikardia, vasodilatasi yang
disusul dengan hipotensi
Gelisah dan agitasi
Letargi
Muntah
Metronidazol atau klindamisin dapat diberikan bersama obat di atas bila didapatkan
kecurigaan bakteri anaerob.
Setelah ada hasil biakan dan uji resistensi, antibiotik diberikan secara definitif.
b)
c)
d)
e)
f)
g)
228
9)
Edukasi
10) Prognosis
11) Tingkat Evidens
12) Tingkat Rekomendasi
13) Penelaah Kritis
15) Kepustakaan
h)
Parasetamol
i)
Transfusi PRC/ TC/ FFP/ Cryo
j)
Inhalasi
k)
Obat anti kejang: diazepam, fenobarbital, fenitoin; atas indikasi
l)
Antagonis H2 atau penghambat pompa proton
a)
Tirah baring
b)
Imunisasi
c)
Perbaiki nutrisi
d)
Perbaiki higiene pribadi dan lingkungan
e)
Edukasi prognosis kepada pasien dan keluarganya
Ad vitam
: dubia
Ad sanationam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia
IV
C
a)
Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b)
Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c)
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d)
Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e)
Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
1.
Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2.
Perbaikan klinis
3.
Hemodinamik stabil
4.
Tidak terjadi komplikasi atau sudah membaik
5.
Hasil kultur negative
6.
Setelah 14 hari perawatan
a)
Sepsis dan Syok Sepsis. Dalam: Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Penyunting.
Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis edisi ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2008. h358-63
b)
Feigin RD. Bacteremia and Septicemia. Dalam: Behreman RE, Vaughn VC and Nelson WE.
Penyunting) Nelson textbook of pediatrics, edisi ke 13. Philadelphia: WB Saunders. Co, 1987: 568
c)
Moffet HL. Sepsis and bacteremia. Moffet pediatric infectious disease, edisi ke-3 Philadelphia: JB
Lippincott, 1989. H 292-9
d)
Jaffari NS, McCracken Jr MD. Sepsis and septic shock: a review for clinicians. Pediat Infect Dis
Journ, 1992; 11: 739-49
Surabaya,
229
TETANUS
1.
Pengertian (Definisi)
2.
Anamnesis
3.
Pemeriksaan Fisik
4.
5.
6.
7.
8.
Tetanus adalah suatu penyakit toksemik akut dan fatal yang disebabkan oleh Clostridium tetani dengan tanda
utama spasme tanpa gangguan kesadaran.
Riwayat mendapat trauma (terutama luka tusuk), pemotongan tali pusat yang tidak steril, riwayat keluar
cairan dari telinga (otitis media supurativa kronik), atau adanya gangren gigi sebagai port dentree
Riwayat anak tidak diimunisasi/imunisasi tidak lengkap, dan tidak ada imunisasi tetanus pada
BUMIL/WUS.
Gejala awal, pada anak besar didapatkan trismus (tidak bisa membuka mulut) atau sulit menelan (disfagia)
karena kekakuan otot masseter
Anak atau bayi sadar
Selain kekakuan bisa didapatkan kejang, baik kejang rangsang maupun kejang spontan
Ditanyakan waktu antara terjadinya trauma sampai munculnya gejala, atau ditanyakan waktu saat sulit
membuka mulut sampai terjadinya kejang
Penderita sadar
Gejala kinik didominasi dengan kekakuan otot bergaris lokal, gejala awal biasanya bayi tidak dapat
menetek, mulut mencucu atau sulit menelan pada anak yang lebih besar.
Adanya kaku kuduk, risus sardonicus, opistotonus (ada sela antara punggung pasien dengan alas, sat
pasien ditidurkan), perut seperti papan disusul dengan timbulnya kejang karena adanya rangsangan atau
kejang spontan
Kekakuan ekstremitas yang khas : flexi pada tangan dan ekstensi pada kaki (anggota gerak
spastik/boxing position)
Adanya penyulit : gangguan saraf otonom (hipertensi, takikardi, hiperpireksia, hiperhidrosis, gangguan
irama jantung sampai gangguan hemodinamika.
Derajat/Severitas penyakit Tetanus (Kriteria Surabaya):
Derajat I (tetanus ringan)
Trismus
Trismus sedang
Trismus berat
Takipnea, takikardi
Apneic spell
Derajat IIIb (Tetanus dengan gangguan saraf otonom)
Metronidasol loading dose 15 mg/kgbb/dalam 1 jam selanjutnya 7,5 mg/kgbb/x tiap 6 jam
Bila ada sepsis/pneumonia dapat ditambahkan antibiotika yang sesuai.
2. Imunisasi aktif-pasif
230
TETANUS
Anti tetanus serum (ATS) 5.000-10.000 IU, diberikan intramuskular. Untuk neonatus bisa diberikan iv;
apabila tersedia dapat diberikan Human tetanus immunoglobulin (HTIG) 3000-6000 IU i.m.
Dilakukan imunisasi DT/TT/DTP pada sisi yang lain, pada saat bersamaan.
3. Anti konvulsi
Pada dasarnya kejang diatasi dengan diazepam, dosis disesuaikan dengan respon klinik (titrasi) :
Apabila datang tidak dalam keadaan kejang hanya diberikan diazepam rumatan dengan menggunakan
syringe pump dengan dosis:
Tetanus ringan : 0,8 cc/jam
Tetanus sedang : 1,2 cc/jam
Tetanus berat : 1,6 cc/jam
Bila dengan dosis 240 mg/24 jam masih kejang (tetanus sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan
ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/24 jam, dengan atau tanpa
kurarisasi .
Diazepam sebaiknya diberikan dengan syringe pump, jangan dicampur dalam botol cairan infus.
Dapat dipertimbangkan penggunaan anti konvulsan lain, seperti magnesium sulfat, bilamana ada
gangguan saraf otonom. Magnesium sulfat diberikan dengan dosis 100mg /kg BB/hari dalam drip dan bial
perlu dinaikkan secara titrasi sampai kejang berhenti. Tanda intoksikasi yang penting adalah hilangnya
reflex patella dan penurunan tekanan darah pada anak besar
4.
Perawatan luka atau port dentre
Dilakukan setelah pemberian antitoksin dan antikonvusan
5.
Terapi suportif
Hindarkan aspirasi dengan menghisap lendir perlahan-lahan & memindah-mindahkan posisi pasien)
Pemberian oksigen
Pemberian cairan dan nutrisi adekuat, bila perlu dapat dipasang sonde nasogastrik, asal tidak
memperkuat kejang
9.
Edukasi
10. Prognosis
Perhatian khusus pada keadaan jalan nafas (akibat kejang dan aspirasi)
Apabila spasme sangat hebat, berikan pankuronium bromide 0,02 mg/kg IV, diikuti 0,05 mg/kg/kali
tiap 2-3 jam
Apabila terjadi aktifitas simpatis berlebihan, berikan blocker seperti propanolol/ blocker labetalol
Pencegahan
1.
Imunisasi aktif
a) Imunisasi dasar DPT diberikan 3 kali sejak usia 2 bulan dengan interval 4-6 minggu,
diberikan ulangan pada usia 18 bulan dan 5 tahun
b) Eliminasi tetanus neonatorum dengan memberikan imunisasi TT pada ibu hamil dan
wanita usia subur minimal 5x suntikan toksoid (untuk mencapai tingkat TT lifelong card)
2.
Pencegahan pada luka
231
TETANUS
11.
12.
Tingkat Evidens
Tingkat
Rekomendasi
13.
Penelaah Kritis
14.
Indikator Medis
15.
Kepustakaan
232
Pengertian (Definisi)
2)
Anamnesis
3)
Pemeriksaan Fisik
4)
Kriteria Diagnosis
5)
6)
Diagnosis kerja
Diagnosis Banding
7)
Pemeriksaan
Penunjang
8)
Terapi
Demam tanpa penyebab yang jelas adalah gejala demam akut dengan penyebab yang tidak jelas sesudah
anamnesis dan pemeriksaan fisis secara teliti dalam periode demam kurang dari 7 hari.
a)
Riwayat imunisasi
b)
Adanya paparan terhadap infeksi
c)
Adanya tanda-tanda keganasan seperti nyeri, pembesaran organ dan perdarahan
d)
Adanya gejala:
nyeri menelan
nyeri telinga
muntah, diare
Kualitas tangis
Tingkat kesadaran
Derajat hidrasi
Interaksi
a)
Sesuai dengan anamnesis
b)
Sesuai dengan pemeriksaan fisik
Demam Tanpa Penyebab yang Jelas (ICD 10: R 50)
a)
Dengue
b)
Otitis media
c)
Abses
d)
Osteomielitis
e)
Riketsia
f)
Chlamydia
g)
HIV
h)
Infeksi HSV
i)
Infeksi jamur
j)
Keganasan
k)
Autoimun dan penyakit kolagen
l)
Infeksi Saluran Kemih
m)
Pneumonia
n)
Gastroenteritis bakterial
o)
Meningitis
p)
Endokarditis
a)
Darah lengkap, LED
b)
Hitung jenis
Leukosit > 15.000/l meningkatkan risiko bakteremia menjadi 3-5%, bila > 20.000/ l risiko
menjadi 8-10%
Untuk mendeteksi bakteremia tersembunyi hitung neutrofil absolut lebih sensitif dari hitung
leukosit atau batang absolut
Hitung absolut neutrofil > 10.000/l meningkatkan risiko bakteremia menjadi 8-10%
c)
Urinalisis
d)
Procalsitonin
e)
Biakan urin dan feses
f)
Pemeriksaan biakan darah dianjurkan karena 6-10% anak dengan bakteremia dapat berkembang
menjadi infeksi bakteri
g)
Biakan darah dan urin jamur
h)
Tes mantoux
i)
Rontgen toraks
j)
Ekokardiografi
k)
USG/CT-scan kepala
l)
USG/
m)
Hapusan darah tebal dan tipis
n)
ANA dan anti ds-DNA
o)
IgG,A,M,E
p)
CD4 dan CD8
q)
BMP
r)
Jika tersedia IgM dan IgG untuk penyakit riketsia seperti scrub typhus
a)
Berdasarkan kecurigaan temuan klinis
b)
Suportif
c)
Paracetamol
233
9)
Edukasi
10) Prognosis
11) Tingkat Evidens
12) Tingkat Rekomendasi
13) Penelaah Kritis
15) Kepustakaan
a)
Cairan parenteral
Antibiotika Empirik dapat digunakan :
Bila alergi terhadap kedua obat tersebut, pilih obat lain sesuai dengan hasil ujiresistensi
Nutrisi dan istirahat cukup
Ad vitam
: bonam
Ad sanationam : bonam
Ad fungsionam : bonam
IV
C
a)
Dominicus Husada, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
b)
Dwiyanti Puspitasari, dr., SpA(K), DTM&H, MCTM (TP)
c)
Prof. Dr. Ismoedijanto, dr., SpA(K), DTM&H
d)
Prof. Parwati S. Basuki, dr., SpA(K), MSc (CTM)
e)
Widodo Darmowandowo, dr., SpA(K)
1.
Bebas demam 2x24 jam tanpa antipretik
2.
Nafsu makan membaik
3.
Perbaikan klinis
4.
Tidak dijumpai komplikasi atau sudah membaik
5.
Setelah 10 hari perawatan
1.
Bannister BA, Begg NT, Gillespie SH. Pyrexia of unknown origin. Oxford: Blackwell Science; 1996.
h.414-27.
2.
Lorin MI, Feigin RD. Fever of unknown origin. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 1012-22
3.
Lorin MI. Fever: pathogenesis and treatment. Dalam: Feigin RD, Cherry JD, penyunting. Textbook
ofpediatric infectious disease. Edisi ke-3. Philadelphia: Saunders; 1992. h. 148-52.
4.
Miller ML, Szer L, Yogev R, Bernstein B. Fever of unknown origin. Pediatr Clin North Am. 1995;9991015.
5.
Radhi AS, Carroll JE. Fever in pediatric practice. Edisi ke-1. London: Blackwell Scientific
Publications;1994, h. 15-236.
6.
Shapiro ED. Fever without localizing signs. Dalam: Long SS, Pickering LK, Prober CG,
penyunting.Principles and practice of pediatric infectious diseases. Edisi ke- 2. Philadelphia, PA:
Elsevier Science;2003, h. 110-4.
Surabaya,
234