You are on page 1of 28

SGD 11 MODUL TROPIS

Shivering Fever
SGD1
STEP 1
STEP 2
1. Patofisiologi dari demam?
2. Macam-macam jenis demam ?
3. Mengapa demamnya naik turun ?
4. Apa etiologi dari splenomegali ?
5. Hubungan Papua dengan penyakit yang di derita pasien ?
6. Etiologi ikterik pada sclera?
7. Mengapa di dapatkan palpebra conjungtiva yang pucat ?
8. Pemeriksaan penunjang apa selain rapid test yang dapat
dilakukan untuk menegakan diagnosis?
9. Penatalaksanaan apa yang tepat untuk gejala klinis yang
ditimbulkan ?
10.
DD ?
STEP 3
1. Patofisiologi dari demam?
Pirogen (eksogen(dari luar tubuh manusia),endogen(dari
dalam tubuh manusia)) dalam tubuh --> IL1 (dihasilkan oleh
proses inflamasi) berjalan di sirkulasi sistemik IL1
sampai di hipotalamus bagian anterior mengakibatkan
pengeluaran asam arakidonat masuk ke siklooksigenase
menjadi prostaglandin2 peningkatan set point di
hipotalamus
Normalnya : 37 derajat , jika terjadi peningkatan suhu lebih
dari 37 derajat maka ada gangguan atau masuknya pirogen
contohnya naik menjadi 38 derajat

(referensi : Human Physiology ; Termo Regulation hal 47 ;


guyton(volume 11) thn 2011 & ganong(volume 5) tahun
2005)
Variable biologis : secara biologis organ viscera melakukan
kegiatan di suhu tetap yaitu 37 derajat
Demam terjadi karena pelepasan pirogen dari dalam leukosit yang sebelumnya
telah terangsang oleh pirogen eksogen yang dapat berasal dari mikroorganisme
atau merupakan suatu hasil reaksi imunologis yang tidak berdasarkan suatu
infeksi.Pirogen diduga sebagai suatu protein yang identik dengan interleukin1.Di dalam Hipotalamus zat ini merangsang penglepasan asam arakidonat serta
mengakibatkan peningkatan sintesis prostalglandin E2 yang langsung dapat
menyebabkan suatu pireksia.
Pengaruh pengaturan otonomvasokonstriksi periferpengeluaran (dissipation)
panas menurundemam
Peningkatan aktivitas metabolismepenambahan produksi panaspenyaluran ke
permukaaan tubuh inadekuatrasa demam bertambah pada pasien
IPD FKUI jilid 3 edisi 4

2. Macam-macam jenis demam ?


Etiologi dari demam :
Infeksi dari plasmodium
Darah kotor (toksemia)
Terjadinya keganansan
Pemakaian obat-obatan tertentu
Gangguan pada set point
Perdarahan internal
Continue : demam dalam 3 hari yang tidak pernah
kembali ke suhu normal utamanya pada malam hari
(ex: demam thypoid)
Intermiten :demam naik turun dalam beberapa jam
satu hari dan juga ada fase bebas demam 2 hari
Remiten : demam naik turun tapi tidak ada fase bebas
demam
Cyclic : suhu badan naik beberapa hari , ada periode
bebas demam , dan kemudian naik lagi (ex: penyakit
malaria)
Septic : hipertermi pada malam hari dan normal pada
pagi hari, sring disertai keluhan menggigil dan
berkeringat (ex: Sepsis atau bakteriemia)
(Referensi : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 3 FKUI
edisi 4 tahun 2006)
Tipe Demam
Demam septic, Suhu badan berangsur naik ke tingkat tinggi pada malam
hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Sering di
sertai keluhan menggil dna berkerngat. Bila demam turun ke suhu normal di
sebut demam heptik.
Demam remiten, Demam dengan suhu badan yang dapat turun setiap hari
namun tidak mencapai suhu normal. Perbedaan suhu sekitar 2 oC.
Demam intermiten, Suhu badan turun ke tingkat normal selama beberapa
jam daolam satu hari. Bila demam ini terjadi setiap 2 hari sekali di sebut
Tertiana. Bila terjadi 2 hari bebas diikuti 2 hari demam di sebut Kuartana.

Demam kontinyu, Terjadi variasi suhu sepanjang hari tidak lebih dari 1 oC.
Pada demam yang terus menerus meninggi tiap hari di sebut hiperpireksia.
Demam siklik, Terjadi kenaikan suhu selama beberapa hari yang diikuti
periode bebas demam selama bebrapa hari kemudian diikuti kenaiakan suhu
seperti semua.

( Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV )

Pola demam

Penyakit

Kontinyu

Demam tifoid, malaria falciparum malignan

Remitten

Sebagian besar penyakit virus dan bakteri

Intermiten

Malaria, limfoma, endokarditis

Hektik atau septik

Penyakit Kawasaki, infeksi pyogenik

Quotidian

Malaria karena P.vivax

Double quotidian

Kala azar, arthritis gonococcal, juvenile


rheumathoid arthritis, beberapa drug fever (contoh
karbamazepin)

Relapsing atau

Malaria tertiana atau kuartana, brucellosis

periodik
Demam rekuren

Familial Mediterranean fever

Penilaian pola demam meliputi tipe awitan (perlahan-lahan atau tiba-tiba), variasi
derajat suhu selama periode 24 jam dan selama episode kesakitan, siklus demam,
dan respons terapi. Gambaran pola demam klasik meliputi: 1,2,6-8

Demam kontinyu (Gambar 1.) atau sustained fever ditandai oleh


peningkatan suhu tubuh yang menetap dengan fluktuasi maksimal 0,4 oC selama
periode 24 jam. Fluktuasi diurnal suhu normal biasanya tidak terjadi atau tidak
signifikan.

Gambar 1. Pola demam pada demam tifoid (memperlihatkan bradikardi relatif)

Demam remiten ditandai oleh penurunan suhu tiap hari tetapi tidak mencapai
normal dengan fluktuasi melebihi 0,5oC per 24 jam. Pola ini merupakan tipe
demam yang paling sering ditemukan dalam praktek pediatri dan tidak spesifik
untuk penyakit tertentu (Gambar 2.). Variasi diurnal biasanya terjadi,
khususnya bila demam disebabkan oleh proses infeksi.

Gambar 2. Demam remiten

Pada demam intermiten suhu kembali normal setiap hari, umumnya pada pagi
hari, dan puncaknya pada siang hari (Gambar 3.). Pola ini merupakan jenis
demam terbanyak kedua yang ditemukan di praktek klinis.

Gambar 3. Demam intermiten

Demam septik atau hektik terjadi saat demam remiten atau intermiten
menunjukkan perbedaan antara puncak dan titik terendah suhu yang sangat
besar.
Demam quotidian, disebabkan oleh P. Vivax, ditandai dengan paroksisme
demam yang terjadi setiap hari.
Demam quotidian ganda (Gambar 4.)memiliki dua puncak dalam 12 jam
(siklus 12 jam)

Gambar 4. Demam quotidian

Undulant fever menggambarkan peningkatan suhu secara perlahan dan


menetap tinggi selama beberapa hari, kemudian secara perlahan turun menjadi
normal.
Demam lama (prolonged fever) menggambarkan satu penyakit dengan lama
demam melebihi yang diharapkan untuk penyakitnya, contohnya > 10 hari
untuk infeksi saluran nafas atas.
Demam rekuren adalah demam yang timbul kembali dengan interval irregular
pada satu penyakit yang melibatkan organ yang sama (contohnya traktus
urinarius) atau sistem organ multipel.
Demam bifasik menunjukkan satu penyakit dengan 2 episode demam yang
berbeda (camelback fever pattern, atau saddleback fever). Poliomielitis
merupakan contoh klasik dari pola demam ini. Gambaran bifasik juga khas untuk
leptospirosis, demam dengue, demam kuning, Colorado tick fever, spirillary ratbite fever (Spirillum minus), dan African hemorrhagic fever (Marburg, Ebola, dan
demam Lassa).
Relapsing fever dan demam periodik:
o Demam periodik ditandai oleh episode demam berulang dengan interval
regular atau irregular. Tiap episode diikuti satu sampai beberapa hari,
beberapa minggu atau beberapa bulan suhu normal. Contoh yang dapat
dilihat adalah malaria (istilah tertiana digunakan bila demam terjadi setiap
hari ke-3, kuartana bila demam terjadi setiap hari ke-4) (Gambar 5.)dan
brucellosis.

Gambar 5. Pola demam malaria

Relapsing fever adalah istilah yang biasa dipakai untuk demam rekuren
yang disebabkan oleh sejumlah spesies Borrelia (Gambar 6.)dan
ditularkan oleh kutu (louse-borne RF) atau tick (tick-borne RF).

Gambar 6. Pola demam Borreliosis (pola demam relapsing)

Penyakit ini ditandai oleh demam tinggi mendadak, yang berulang secara
tiba-tiba berlangsung selama 3 6 hari, diikuti oleh periode bebas demam
dengan durasi yang hampir sama. Suhu maksimal dapat mencapai 40,6 oC
pada tick-borne fever dan 39,5oC pada louse-borne. Gejala penyerta
meliputi myalgia, sakit kepala, nyeri perut, dan perubahan kesadaran.
Resolusi tiap episode demam dapat disertai Jarish-Herxheimer reaction
(JHR) selama beberapa jam (6 8 jam), yang umumnya mengikuti
pengobatan antibiotik. Reaksi ini disebabkan oleh pelepasan endotoxin
saat organisme dihancurkan oleh antibiotik. JHR sangat sering ditemukan
setelah mengobati pasien syphillis. Reaksi ini lebih jarang terlihat pada
kasus leptospirosis, Lyme disease, dan brucellosis. Gejala bervariasi dari
demam ringan dan fatigue sampai reaksi anafilaktik full-blown.
o

Contoh lain adalah rat-bite fever yang disebabkan oleh Spirillum minus
dan Streptobacillus moniliformis. Riwayat gigitan tikus 1 10 minggu
sebelum awitan gejala merupakan petunjuk diagnosis.

Demam Pel-Ebstein (Gambar 7.), digambarkan oleh Pel dan Ebstein pada
1887, pada awalnya dipikirkan khas untuk limfoma Hodgkin (LH). Hanya
sedikit pasien dengan penyakit Hodgkin mengalami pola ini, tetapi bila
ada, sugestif untuk LH. Pola terdiri dari episode rekuren dari demam yang
berlangsung 3 10 hari, diikuti oleh periode afebril dalam durasi yang
serupa. Penyebab jenis demam ini mungkin berhubungan dengan
destruksi jaringan atau berhubungan dengan anemia hemolitik.

Gambar 7. Pola demam penyakit Hodgkin (pola Pel-Ebstein).

. Klasifikasi demam

Klasifikasi demam diperlukan dalam melakukan pendekatan berbasis masalah. 2


Untuk kepentingan diagnostik, demam dapat dibedakan atas akut, subakut, atau
kronis, dan dengan atau tanpa localizing signs.7 Tabel 3. dan Tabel 4.
memperlihatkan tiga kelompok utama demam yang ditemukan di praktek pediatrik
beserta definisi istilah yang digunakan.1

Tabel 3. Tiga kelompok utama demam yang dijumpai pada praktek pediatrik

Klasifikasi
Demam dengan
localizing signs

Penyebab tersering

Infeksi saluran nafas atas

Demam tanpa localizing

Infeksi virus, infeksi saluran

signs

kemih

Fever of unknown origin

Infeksi, juvenile idiopathic

Lama demam
pada
umumnya
<1 minggu

<1minggu
>1 minggu

arthritis

Tabel 4. Definisi istilah yang digunakan

Istilah

Definisi

Demam dengan
localization

Penyakit demam akut dengan fokus infeksi, yang


dapat didiagnosis setelah anamnesis dan
pemeriksaan fisik

Demam tanpa
localization

Penyakit demam akut tanpa penyebab demam


yang jelas setelah anamnesis dan pemeriksaan
fisik

Letargi

Kontak mata tidak ada atau buruk, tidak ada


interaksi dengan pemeriksa atau orang tua, tidak
tertarik dengan sekitarnya

Toxic appearance

Gejala klinis yang ditandai dengan letargi, perfusi


buruk, cyanosis, hipo atau hiperventilasi

Infeksi bakteri serius

Menandakan penyakit yang serius, yang dapat


mengancam jiwa. Contohnya adalah meningitis,
sepsis, infeksi tulang dan sendi, enteritis, infeksi
saluran kemih, pneumonia

Bakteremia dan
septikemia

Bakteremia menunjukkan adanya bakteri dalam


darah, dibuktikan dengan biakan darah yang
positif, septikemia menunjukkan adanya invasi
bakteri ke jaringan, menyebabkan hipoperfusi
jaringan dan disfungsi organ

Demam dengan localizing signs


Penyakit demam yang paling sering ditemukan pada praktek pediatrik berada
pada kategori ini (Tabel 5.). Demam biasanya berlangsung singkat, baik karena
mereda secara spontan atau karena pengobatan spesifik seperti pemberian

antibiotik. Diagnosis dapat ditegakkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik


dan dipastikan dengan pemeriksaan sederhana seperti pemeriksaan foto
rontgen dada.1

3. Mengapa demamnya naik turun ?


Demam didasarkan siklus hidup antigen
Daya tahan tubuh (sistem imun) yang menurun

Tergantung etiologinya yang menyebabkan naik turunnya


demam!
4. Apa etiologi dari splenomegali ?
Splenomegali : pembesaran Lien
Karena ada antigen masuk (plasmodium) eritrosit pecah
(kematian cell) kompensasi lien untuk memfagosit
eritrosit yang rusak
(proliferasi:

BARRY!!

Limfa

merupakan

organ

retikuloendotelial,

dimana

plasmodium

dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limfosit. Penambahan sel-sel


radang ini menyebabkan limfa membesar.
Malaria, Dr.M.JUFRI MAKMUR.SpPD
www.fk.unja.ac.id
Nyamuk Anopheles betina menggigit manusia
Melepaskan sporozoit dari air liurnya ke pemblh darah
jam 1 jam sebagian sporozoit msk ke hati dan sisanya mati karena proses fagositosis
Msk ke sel parenkim hati ( perkembangan aseksual )
Terbentuk skizont hati
skizont pecah
Mengeluarkan merozoit ke sirkulasi darah
Merozoit menyerang eritrosit
Tropozoit (dlm)
Eritrosit berparasit ( EP )
Stadium I :
24 jam I tropozoit berubah menjadi bentuk ring / stadium cincin
( P. Falciparum = bentuk stereo headphone )
Stadium II :
24 jam II stadium matur
Sitoadhe ren
EP matur

Sekuestrasi

Rosetting
Sitokin
Il 1,il 6,il 10,il 12 dan TNF alfa
Membentuk skizont
eritrosit / skizont pecah
Mengeluarkan merozoit dan menginfeksi eritrosit lain
Sebagian merozoit tumbuh mjd bentuk seksual dlm darah
( mikrogametosit & makrogametosit )
Nyamuk lain menggigit penderita
Terjadi siklus seksual dlm tubuh nyamuk
Fertilisasi
Zigot
Ookinet ( lebih bergerak )
Menembus dinding lambung
Ookista
Mengeluarkan Sporozoit
Migrasi ke kelenjar ludah

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, Edisi IV, 2006.Parasitologi Kedokteran
Patogenesis malaria akibat dari interaksi kompleks antara parasit , inang dan lingkungan.
Patogenesis lebih ditekankan pada terjadinya peningkatan permeabilitas pembuluh darah.

Oleh karena skizogoni menyebabkan kerusakan eritrosit maka akan menyebabkan anemia.
Beratnya anemia tidak sebanding dengan parasitemia, hal ini menunjukkan adanya kelainan
eritrosit selain yang mengandung parasit. Diduga terdapat toksin malaria yang menyebabkan
gangguan fungsi eritrosit dan sebagian eritrosit pecah saat melalui limpa sehingga parasit
keluar. Faktor lain yang menyebabkan anemia mungkin karena terbentuknya antibodi
terhadap eritrosit 7.
Limpa mengalami pembesaran dan pembendungan serta pigmentasi sehingga mudah
pecah. Dalam limpa dijumpai banyak parasit dalam makrofag dan sering terjadi fagositosis
dari eritrosit yang terinfeksi maupun yang tidak terinfeksi. Pada malaria kronis terjadi
hiperplasi dari retikulum disertai peningkatan makrofag 7.
Pada malaria berat mekanisme patogenesisnya berkaitan dengan invasi merozoit ke
dalam eritrosit sehingga menyebabkan eritrosit yang mengandung parasit mengalami
perubahan struktur dan biomolekuler sel untuk mempertahankan kehidupan parasit.
Perubahan tersebut meliputi mekanisme transpor membran sel, penurunan deformabilitas,
pembentukan knob, ekspresi varian non antigen di permukaan sel, sitoadherensi,

sekuestrasi dan rosetting, peranan sitokin dan NO (Nitrik Oksida) 8.


Menurut pendapat ahli lain patogenesis malaria berat atau malaria falciparum
dipengaruhi oleh faktor parasit dan faktor penjamu ( host). Yang termasuk ke dalam faktor
parasit adalah intensitas transmisi, densitas parasit dan virulensi parasit. Sedangkan yang
termasuk ke dalam faktor penjamu adalah tingkat endemisitas daerah tempat tinggal,
genetik, usia, status nutrisi, dan status imunologi. Parasit dalam eritrosit (EP) secara garis
besar mengalami 2 stadium, yaitu stadium cincin pada 24 jam pertama dan stadium matur
pada 24 jam kedua. Permukaan EP stadium cincin akan menampilkan antigen RESA ( Ring

Erytrocite Suirgace Antigen) yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
Permukaan membran EP stadium matur akan mengalami penonjolan dan membentuk knob
dengan Histidin Rich Protein-1 (HRP-1) sebagai komponen utamanya. Selanjutnya bila EP

tersebut mengalami merogoni, akan dilepaskan toksin malaria berupa

GPI yaitu

Glikosilfosfatidilinositol yang merangsang pelepasan TNF dan Interleukin 1 (IL-1) dari


makrofag

5,8

Sitoadherensi adalah peristiwa perlekatan eritrosit yang telah terinfeksi P.falsiparum


pada reseptor di bagian endotelium venule dan kapiler. Selain itu eritrosit juga dapat
melekat pada eritrosit yang tidak terinfeksi sehingga terbentuk roset

5,8

Sitoadherensi menyebabkan eritrosit matur tidak beredar kembali dalam sirkulasi.


Parasit dalam eritrosit matur yang tinggal dalam jaringan mikrovaskuler disebut eritrosit
matur yang mengalami sekuestrasi. Hanya P.falsiparum yang mengalami sekuestrasi, karena
pada plasmodium lainnya seluruh siklus terjadi pada pembuluh darah perifer. Sekuestrasi
terjadi pada organ-organ vital dan hampir semua jaringan dalm tubuh. Sekustrasi tertinggi
terdapat di otak, diikuti dengan hepar dan ginjal, paru, jantung dan usus. Sekuestrasi ini
memegang peranan utama dalam patofisiologi malaria berat

5,8

Rosseting adalah suatu fenomena perlekatan antara satu buah eritrosit yang
mengandung merozoit matang yang di selubungi oleh sekitar 10 atau lebih eritrosit non
parasit sehingga berbentuk seperti bunga. Salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya

rosseting adalah golongan darah dimana terdapatnya antigen golongan darah A dan B yang
bertindak sebagai reseptor pada permukaan eritrosit yang tidak terinfeksi parasit.

Rosseting menyebabkan obstruksi aliran darah lokal atau dalam jaringan sehingga
mempermudah terjadinya sitoadherensi 5,8.
Sitokin terbentuk dari sel endotel, monosit dan makrofag setelah mendapat stimulasi
dari toksin malaria. Sitokin ini antara lain TNF alfa (TNF ), interleukin 1 (IL-1), IL-6, IL3,

lymphotoxin (LT) dan interferon gamma (INF ). Dari beberapa penelitian dibuktikan bahwa
penderita malaria serebral yang meninggal atau dengan komplikasi berat seperti
hipoglikemia mempunyai kadar TNF yang tinggi. Demikian juga malaria tanpa komplikasi
kadar TNF, IL-1, IL-6 lebih rendah dari malaria serebral. Walaupun demikian hasil ini

tidak konsisten karena juga dijumpai penderita malaria yang mati dengan TNF normal atau
rendah atau pada malaria serebral yang hidup dengan sitokin yang tinggi. Oleh karenanya
diduga adanya peran dari neurotransmiter yang lain sebagai free radical dalam kaskade ini
seperti NO sebagai faktor yang penting dalam patogenesa malaria berat

5,8

Menurut pendapat ahli lain, patogenesis malaria adalah mulitifaktorial dan berhubungan
dengan hal-hal berikut:
1. Penghancuran eritrosit
Fagositosis tidak hanya pada eritrosit yang mengandung parasit tapi juga terhadap
eritrosit yang tidak mengandung parasit sehingga menimbulkan anemia dan anoksia jaringan.
Pada hemolisis intravaskuler yang berat dapat terjadi hemoglobinuria ( black water fever)
dan dapat menyebabkan gagal ginjal 9.
1. Mediator endotoksin-makrofag
Pada saat skizogoni, eritrosit yang mengandung parasit memicu makrofag yang sensitif
endotoksin untuk melepaskan berbagai mediator. Endotoksin mungkin berasal dari saluran
pencernaan dan parasit malaria sendiri dapat melepaskan faktor nekrosis tumor (TNF).
TNF adalah suatu monokin yang ditemukan dalam peredaran darah manusia dan hewan yang
terinfeksi parasit malaria. TNF dan sitokin lainnya menimbulkan demam, hipoglikemia dan
sindrom penyakit pernafasan pada orang dewasa 9.
1. Sekuestrasi eritrosit yang terinfeksi
Eritrosit yang terinfeksi dengan stadium lanjut P.falciparum dapat membentuk tonjolantonjolan (knobs) pada permukaannya. Tonjolan tersebut mengandung antigen dan bereaksi
dengan antibodi malaria dan berhubungan dengan afinitas eritrosit yang mengandung

P.falciparum terhadap endotelium kapiler darah alat dalam, sehingga skizogoni berlangsung
di sirkulasi alat dalam. Eritrosit yang terinfeksi menempel pada endotelium dan membentuk

gumpalan yang membendung kapiler yang bocor dan menimbulkan anoksia dan edema
jaringan

Manson-Bahr PEC dan Bell DR (1987), Mansons Tropical Disease ed. ke-19, London,
English Language PEC dan Bell DR (1987). Manson tropical disease ed. ke-19, London,
English language book society/Balliere Tyndall.

a. Manifestasi Klinis
Manifestasi umum malaria
Demam periodik, anemia dan splenomegali. Keluhan prodromal dapat terjadi sebelum
terjadinya demam berupa kelesuan, malaise, sakit kepala, sakit belakang, merasa dingin
di punggung, nyeri sendi & tulang, demam ringan, anoreksia, perut tak enak, diare ringan
& kadang kadang dingin. Keluhan prodromal terjadi pada Plasmodium vivax & ovale,
sedang pada Plasmodium falciparum & malariae keluhan prodromal tidak jelas bahkan
gejala dapat mendadak.

5. Hubungan Papua dengan penyakit yang di derita pasien ?


Hubungan endemisitas malaria yang tinggi di beberapa
daerah di Indonesia salah satunya papua.
P. falcifarum dan P. Malariae umumnya di jumpai pada semua negara
dengan malaria; di Afrika, Haiti dan Papua Nuguni umunya P. Falcifarum;
P. Vivax banyak di Amerika Latin.
Buku Ajar IPD Jilid III, halaman 2814, Interna Publishing.

6. Etiologi ikterik pada sclera?

(BARRY !!)
Anemi:

terjadi karena pecahnya sel darah merah yg terinfeksi maupun yg tidak


terinfeksi.
P. falciparum: menginfeksi semuajenis sel darah merah, sehingga
anemi dpt terjadi pada infeksi akut maupunkronis.
P. vivax/ovale: menginfeksi sel darah merah yg masih muda (2%),
sehingga anemi terjadi pada infeksi kronis.
P.Malariae: menginfeksi sel darah merah yg sudah tua (1%), sehingga
anemi terjadi pada infeksi kronis.
Malaria, Dr.M.JUFRI MAKMUR.SpPD
www.fk.unja.ac.id

7. Mengapa di dapatkan palpebra conjungtiva yang pucat ?


Karena Anemia hemolitik , sehingga pada conjungtiva yang
mempunyai mukosa tipis akan semakin terlihat pucat
Anemia. Pada malaria dapat terjadi anemia. Derajat anemia tergantung
pada spesies parasit yang menyebabkannya. Anemia terutama tampak
jelas pada malaria falsiparum dengan penghancuran eritrosit yang cepat
dan hebat dan pada malaria menahun. Jenis anemia pada malaria adalah
hemolitik,

normokrom

dan

normositik.

Pada

serangan

akut

kadar

hemoglobin turun secara mendadak.


Anemia disebabkan beberapa faktor :
a. Penghancuran eritrosit yang mengandung parasit dan yang tidak
mengandung parasit terjadi di dalam limpa, dalam hal ini faktor auto imun
memegang peran.
b. Reduced survival time, maksudnya eritrosit normal yang tidak
mengandung parasit tidak dapat hidup lama.
c. Diseritropoesis yakni gangguan dalam pembentukan eritrosit karena
depresi eritropoesis dalam sumsum tulang, retikulosit tidak dapat
dilepaskan dalam peredaran darah perifer.
http://malariana.com/2008/11/patologi-dan-gejala-klinis.html

8. Pemeriksaan penunjang apa selain rapid test yang dapat


dilakukan untuk menegakan diagnosis?
Repid test test serologis; test antigen untuk menilai
plasmodium falcifarum

(test ini mahal dan rumit!!!!)

Apusan darah tebal (melihat parasit index) dan


tipis(melihat eritrosit index)

(simple, murah dan

akurat :D)
9. Penatalaksanaan apa yang tepat untuk gejala klinis yang
ditimbulkan ?
Resusitasi cairan
Anemia : Transfusi PRC (packed red cell)
Etiologi : anti malaria (NAIM!!)

Pemeriksaan Lab:
1. Pemeriksaan dengan mikroskop:
Pemeriksaan
sediaan
darah

tebal

dantipis

di

puskesmas/lapangan/RS untukmenentukan:
1. ada tidaknya parasit malaria (+/-)
2. spesies dan stadium plasmodium
3. Kepadatan parasit
2. Pemeriksaan dengan test diagnostik cepat (Rapid diagnostik
test):
Berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dg menggunakan

metode imunokromatografi dlm bentuk dipstik


Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
1. Hb dan Ht
2. hitung jumlah lekosit dan trombosit
3.GD, Serum bilirubin, SGOT/SGPT, Alkali posfatase, Albumin/globulin,
ureum/kreatinin, Na, K, analisa gas darah
4. EKG
5. Foto toraks
6. Analisa cairan cerebrospinal
7. Biakan darah dan uji serologi
8. Urinalisis

10.

DD ?
MALARIA
Disebabkan plasmodium yang berada di nyamuk
anopheles
Jenisnya :

P. Vivax
P.Malariae
P.Falcifarum : dapat menyebabkan peyumbatan di otak ,
karena dia mempunyai 2 siklus (eritrositer &
exoeritositer(yang meyebabkan penyumbatan otak))
P. Ovale
THYPOID
DBD
ISK (infeksi saluran kencing)
Demam Klasik bisa karena virus, bakteri,parasit

Malaria
Definisi:
Malaria adalah Penyakit parasit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit yang ditandai dengan ditemukannya bentuk

aseksual didalam darah


Etiologi:
Plasmodium ini pada manusia menginfeksi eritrosit, dan mengalami
pembiakan aseksual di jaringan hati dan eritrosit
Pembiakan seksual terjadi pada tubuh nyamuk anopheles betina
Parasit Malaria yang terdapat di Indonesia:
1. Plasmodium Vivax (Malaria tertiana, Benign
Malaria)
2. Plasmodium Falciparum (Malaria tropika,
Malignan Malaria)
Patogenesis:
Siklus hidup plasmodium:

http://helpingpeopleideas.com/

Diagnosis:
1. Anamnesis:
1. Keluhan utama: demam, menggigil, berkeringat
dan dapat disertai sakit kepala, mual, muntah,
diare, nyeri otot, atau pegal.
Klasik: Trias Malaria, secara berurutan periode
dingin (15 - 60 menit), mengigil, diikuti periode
panas (beberapa jam), diikuti periode berkeringat,
temperatur turun dan merasa sehat
2. Riwayat berkunjung dan bermalam
1 - 4 minggu yg lalu ke daerah endemik
malaria
3. Riwayat tinggal di daerah endemik
malaria
4. Riwayat sakit malaria
5. Riwayat minum obat malaria satu bulan
terahir

6. Riwayat mendapat tranfusi darah


2. Pemeriksaan Fisik:
1. Demam ( t 37 C)
2. Konjungtiva atau telapak tangan
pucat
3. Pembesaran limfa (splenomegali)
4. Pembesaran hati (hepatomegali)
Pemeriksaan Fisik malaria berat:
1. t rektal 40 C
2. Nadi cepat dan lemah/kecil
3. TS < 70 mmHg (dewasa), < 50
(anak)
4. R > 35 x/menit,
5. Penurunan kesadaran (GCS < 11)
6. Manifestasi perdarahan (petekhiae, purpura,
hematom)
7. Tanda dehidrasi (mata cekung, turgor dan
elastisitas kulit berkurang, bibir kering, produksi air
seni berkurang)
8. Anemia berat
9. Ikterik
10. Ronkhi pada kedua paru
11. Pembesaran limfa dan hepar
12. Gagal ginjal (oliguri / anuri)
13. Gajala neurologik Kaku kuduk, reflak patologis
Pemeriksaan Lab:
1. Pemeriksaan dengan mikroskop:
Pemeriksaan
sediaan
darah
tebal
dantipis

di

puskesmas/lapangan/RS untukmenentukan:
1. ada tidaknya parasit malaria (+/-)
2. spesies dan stadium plasmodium
3. Kepadatan parasit
2. Pemeriksaan dengan test diagnostik cepat (Rapid diagnostik
test):
Berdasarkan deteksi antigen parasit malaria, dg menggunakan

metode imunokromatografi dlm bentuk dipstik


Pemeriksaan penunjang untuk malaria berat:
1. Hb dan Ht
2. hitung jumlah lekosit dan trombosit
3.GD, Serum bilirubin, SGOT/SGPT, Alkali posfatase, Albumin/globulin,
ureum/kreatinin, Na, K, analisa gas darah
4. EKG
5. Foto toraks
6. Analisa cairan cerebrospinal

7. Biakan darah dan uji serologi


8. Urinalisis
Pengobatan:
Pengobatan Lini I Malaria P.falciparum dengan ACT

*) Artesunate: 4 mg/KgBB per hari


**) Amodiaquine : 10 mg/KgBB per hari
Pengobatan
Lini
Kedua
Malaria

P.

falciparum

dosis Dewasa (BB > 60 Kg BB)

*) Bumil dan anak < 8 tahun tak diberikan tetrasiklin/doxysiklin


Pengobatan lini 1 Pvivax/ovale

Pengobatan lini 2 P. Vivax

*) Dosis berdasarkan berat badan : - Kina 30 mg/KgBB/hari (dibagi 3


dosis)
- Primakuin 0,75 mg/KgBB, dosis tunggal
Pengobatan Lini Pertama Malaria Klinis

Pengobatan Lini Kedua Malaria Klinis*)

*)

Apabila pada hari ke 4 setelah pengobatan lini pertama

penderita tetap demam, tidak memburuk (tidak berkembang


menjadi

malaria

berat),

di

daerah

yang

sulit

mendapatkan

pemeriksaan laboratorium maka pengobatan malaria klinis diulangi


dengan kina selama 7 hari dan primakuin 1 hari (pengobatan lini
kedua)
**) Dosis untuk bayi (0 11 bln) berdasarkan BB :
- kina 30 mg/KgBB/hr (dibagi 3 dosis)
- primakuin 0,75 mg/KgBB, dosis tunggal (tidak diberikan pd
bumil dan bayi).
Malaria, Dr.M.JUFRI MAKMUR.SpPD
www.fk.unja.ac.id
Komplikasi malaria:
Malaria otak (Cerebral Malaria)
Malaria otak sering timbul sebagai malaria berat yang menyebabkan
kematian. Gejala yang timbul dapat tampak sebagai penurunan

kesadaran dari somnolen sampai koma, kejang- kejang atau psikosis


organik

(Chipman

dkk,

1967).

Penyebab

malaria

otak

masih

merupakan hipotesa yaitu akibat eritrosit yang mengandung parasit


menjadi lebih mudah melekat pada dinding pembuluh kapiler (Miller,
1972).

Hal

ini

disebabkan

karena

menurunnya

muatan

listrik

permukaan eritrosit (Conrad, 1969) dan pembentukan tonjolantonjolan kecil dipermukaan eritrosit sehingga terjadi bendungan di
pembuluh darah otak kecil (Miller, 1972). Semakin matang parasit
dalam eritrosit semakin besar daya lekat eritrosit tersebut, terutama di
organ dalam tetapi tidak di peredaran darah, yang memungkinkan
penyakit menjadi berat walaupun konsentrasi eritrosit yang terinfeksidi
peredarandarah
terinfeksi

pada

rendah

(Hall,

pembuluh

1977).

darah

Melekatnya

kapiler

dapat

eritrosit

yang

mengakibatkan

terhambatnya aliran darah otak dan oedema (Maegraith, 1974).


Oedema otak ini sering ditemukan pada waktu otopsi, tetapi gejala
klinik dari peningkatan tekanan intrakranial jarang sekali ditemukan
(Harinasuta dkk, 1982) dan CT scan tidak menyokong oedema sebagai
gambaran primer dari malaria otak (Looareesuwan dkk, 1983).
Sedangkan Schmutzhard dkk (1984) menemukan gejala sisa saraf
yang cukup lama dari sindroma psikosaorganik, heminaresia atau
hemihipestesia dan epilepsi.
Kelainan darah
Hemolisis dapat disebabkan oleh malaria dan obat anti malaria.
Hemolisis dapat juga disebabkan karena meningkatnya fragilitas
osmotik dari eritrosit yang terinfeksi dan tidak terinfeksi, sehingga
umur eritrosit menurun (Fogel, 1966). Pada penderita dengan defisiensi
glukosa 6pospat dehidrogenase dan hemoglobin abnormal, hemolisis
yang terjadi meningkat dalam pengobatan dengan anti malaria
(Pinder, 1973). Sedangkan Black Water Fever yang sebenarnya yaitu
hemolisis tanpa adanya defisiensi G6PD, jarang terjadi dan selalu
disertai adanya hemoglobinuria, hemolisis intravaskuler, kegagalan

ginjal dan infeksi berat malaria (Bell, 1983). Anemia terjadi akibat
meningkatnya eritrosit yang rusak (hemolisis), fagositosis eritrosit dan
penurunan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang (Srichaikul dkk,
1967). Trombositopenia mungkin disebabkan oleh memendeknya umur
platelet (Skudowitz dkk, 1973), juga didga karena Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) akibat hemolisis (Fletcher dkk, 1972)
sehingga menimbulkan perdarahan pada kulit, mukosa dan kadangkadang pida retina (Harinasuta, dkk, 1982). Perdarahan dapat jugs
disebabkan karena kerusakan berat hati yang terinfeksi malaria
sehingga timbul gangguan koagulopati.
Edema paru
Edema paru merupakan komplikasi yang sering dan hampir selalu
menyebabkan

kematian.

Patogenesisnya

belum

jelas,

mungkin

berhubungan dengan menurunnya volume aliran darah yang efektif,


tidak

berfungsinya

aliran

pembuluh,

darah

kecil

paru-paru,

meningkatnya permeabilitas kapiler, volume cairan intravena yang


berlebihan (Brooks dkk, 1968) DIC atau uremia (Punyagupta dkk,
1974).
Kegagalan hati
Pembesaran hati, jaundice, dan kelainan fungsi hati sering terjadi pda
malaria falsiparum (Ramachandran dkk, 1976). Jaundice yang timbul
umumnya karena kelainan sel hati, biasanya ringan, kadang-kadang
berat. Transaminase yang meningkat jarang melebihi 200 IU (WHO,
1980). Peningkatan yang cukup tinggi dari beberapa kadar ensim
serum dan bilirubin mungkin sebagian disebabkan karena hemolisis
(Hall

dkk,

1975).

Sedangkan

perpanjangan

masa

protrombin

disebabkan karena DIC atau akibat efek dari kina (Pirk dkk, 1945).
Kegagalan ginjal
Kelainan fungsi ginjal sering ditemui pada malaria falsiparum berat
seperti proteinuria, oliguria, anuria dan uremia. Kegagalan ginjal
hampir selalu disebabkan oleh nekrosis tubulus akut yang diperkirakan

akibat kelainan perfusi ginjal karena hipovolemi atau berkurangnya


peredaran darah pada pembuluh darah kapiler ginjal (Sitprija dkk,
1967). Glomerulonefritis akut terjadi sebagai komplikasi malaria
falsiparum karena terjadi nefritis imun kompleks (Bhamarapravati dkk,
1973).
Diare
Kurang berfungsinya penyerapan usus pada malaria disebabkan
karena adanya kelainan mukosa berupa edema, kongesti, perdarahan
petechiae dan terdapat banyak eritrosit yang terinfeksi sehingga
terjadi

nekrosis

dan

ulserasi

usus

(Hall,

1977).

Malabsorpsi

diketemukan selama fase akut malaria falsiparum E oleh Karney dkk


(1972).
Hipoglikemia
Sering ditemukan pada penderita malaria falsiparum sedang, berat
dan tersering pada wanita hamil. Kemungkinan penyebab hipoglikemi
adalah

karena

konsumsi

glukosa

oleh

parasit

dan

iangsangan

pengeluaran insulin oleh obat anti malaria (White dkk, 1983).


Kelaparan yang timbul akibat tak mau makan dan muntah-muntah
serta

penggunaan

glikogen

hati

memungkinkan

terjadinya

hipoglikemia tersebut.
Abortus, kelahiran prematur, stillbirth dan bayi berat lahir
rendah
Keadaan-keadaan ini mungkin disebabkan karena berkurangnya aliran
darah plasenta akibat kongesti dan timbunan eritrosit yang terinfeksi
serta makrofag di dalam villus-villus plasenta dan sinus-sinus vena
(McGregor dkk, 1983). Eritrosit yang mengandung parasit banyak
terdapat pada aliran darah bagian maternal dan biasanya talc terlihat
pada bagian fetal (Hall, 1977). Menurut McGregor (1984) hiperpireksia
dapat juga mengakibatkan terjadinya abortus.
http://myluvlylynn.blog.uns.ac.id/2012/02/29/komplikasi-malaria/

You might also like