You are on page 1of 24

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai seorang muslim, sudah sepantasnya kita berusaha untuk menggali
ilmu-ilmu agama lebih mendalam agar kita lebih mengetahui hakikat seorang
muslim. Setelah mendalami Al-Quran yang merupakan kitab suci umat Islam,
kita bisa mendapatkan ilmu-ilmu agama yang lebih spesifik pada sunnah rasul dan
hadits.
Untuk mendapatkan ilmu agama Islam yang lebih mendalam, kita dapat
mempelajari sunnah rasul dan hadits. Baik sunnah rasul maupun hadits merupakan
sumber ajaran syariat Islam yang kedua setelah Al-Quran. Al-Quran dan sunnah
rasul mempunyai kaitan yang sangat dekat karena banyak ayat-ayat Al-Quran
yang tidak bisa diartikan dengan benar dan tepat tanpa bantuan keterangan dari
sunnah rasul.
Selain itu, kita juga diwajibkan untuk memahami hadits sebagaimana kita
memahami Al-Quran, yang mana keduanya mempunyai hubungan yang erat
dalam

syariat

Islam.

Umat

Islam

diwajibkan

untuk

mengikuti

dan

mengamalkannya seperti halnya dengan Al-Quran. Orang yang mempelajari


hadits mempunyai keistimewaan tersendiri sebagaimana dijanjikan oleh
Rasulullah SAW. dalam haditsnya bahwa orang yang mempelajari dan menghafal
hadits-haditsnya akan dianugerahi oleh Allah SWT. wajah yang bercahaya, penuh
dengan pancaran cahaya keimanan yang menandakan ketenangan hati dan
keteduhan batin.
Untuk itu, agar kita bisa menjadi manusia yang mulia di hadapan Allah
SWT., kita bisa mulai mempelajari dan mendalami ilmu agama dari sunnah rasul
dan hadits. Pada makalah ini, disajikan hakikat sunnah rasul dan hadits,
kedudukan serta fungsi sunnah rasul dan hadits, dan cara menyeleksi hadits.
Diharapkan makalah ini dapat memberikan pengertian yang baik dan bermanfaat
bagi pembaca.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa hakikat sunnah rasul dan hadits?
2. Bagaimana kedudukan sunnah rasul dan hadits?
3. Apa saja fungsi sunnah rasul dan hadits?
4. Bagaimana cara menyeleksi hadits?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Menentukan hakikat sunnah rasul dan hadits.
2. Menentukan kedudukan sunnah rasul dan hadits.
3. Menentukan fungsi sunnah rasul dan hadits.
4. Menentukan cara menyeleksi hadits.
1.4 Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan makalah ini yaitu agar pembaca dapat mengetahui dan
memaknai hakikat sunnah rasul dan hadits dalam kehidupan sehari-hari serta agar
pembaca dapat mengaplikasikan sunnah rasul dan hadits yang sesuai dalam kehidupan
sehari-hari.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Hakikat Sunnah dan Hadits


2.1.1

Hakikat Sunnah
Secara etimologi, sunnah berasal dari bahasa Arab yang berarti jalan yang

diikuti, jalan ini dapat berupa kebaikan maupun keburukan. Hal tersebut
tercantum seperti pada sabda Rasulullah SAW. berikut:

...
Artinya: Barang siapa berbuat (memberi contoh) yang baik, maka dia akan
mendapatkan pahala dan pahala dari orang yang mengikuti perbuatan baiknya
tersebut....
Sedangkan pengertian sunnah secara terminologi menurut beberapa ulama
yaitu antara lain:
a) Menurut Ulama Fiqih
Sunnah adalah anonim dari wajib dan dapat juga sebagai
anonim dari bidah. Dalam hal ini, ulama ahli fiqih
memandang perbuatan Rasulullah SAW. yang dipastikan
tidak keluar dari petunjuk terhadap adanya hukum shara'.
Tinjauan ulama ahli fiqih ini berhubungan dengan hukum
shar'i terhadap perbuatan hamba Allah SWT. dari segi
wajib, sunnah, haram, makruh, atau mubah.
b) Menurut Ulama Ahli Hadits
Sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW.
selain Al-Quran, yang meliputi qoul (perkataan), fiil
(perbuatan),

taqrir

(pengakuan),

dan

sifat

(termasuk

didalamnya akhlak dan jasmaninya). Dalam hal ini, ulama


3

ahli hadits memandang Rasulullah SAW. sebagai seorang


imam yang diberitakan oleh Allah SWT., bahwa beliau
sebagai suri teladan dan panutan bagi umat manusia.
Maka para perawi meriwayatkan segala yang berkaitan
dengan perilaku, akhlak, tabiat, berita-berita, perkataan,
dan perbuatan dari Rasulullah SAW., baik yang telah
ditetapkan sebagai hukum shar'i maupun tidak.
c) Menurut Ulama Ushul Fiqih
Sunnah adalah sesuatu yang lahir dari Rasulullah SAW.
selain Al-Quran, yang meliputi qoul (perkataan), fiil
(perbuatan), taqrir (pengakuan), tulisan, isyarat, sesuatu
yang

penting

dan

sesuatu

yang

ditinggalkan

oleh

Rasulullah SAW. Dalam hal ini ulama ahli ushul fiqih


memandang Rasulullah SAW. sebagai penyampai syariat
Allah SWT. dengan meletakkan kaidah-kaidah bagi para
mujtahid pada masa sesudahnya, juga menjelaskan kepada
manusia mengenai undang-undang kehidupan di dunia.
Maka mereka memperhatikan perkataan, perbuatan, serta
ketetapan Rasulullah SAW. dalam menetapkan hukum dan
memutuskannya pada suatu masalah hukum yang harus
segera

mendapatkan

kepastian

hukumnya.

Adapun

beberapa istilah yang erat kaitannya dengan pengertian


sunnah menurut beberapa ulama seperti sunnah qouliyah,
filiyah, dan taqririyah akan dijelaskan berikut ini.
Sunnah qouliyah adalah ucapan-ucapan Rasulullah
SAW. dalam tujuan dan hubungan yang berbedabeda, seperti:

dan

Sunnah filiyah adalah perbuatan-perbuatan yang


pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW., seperti cara

mengerjakan

shalat,

manasik

haji,

puasa,

dan

sebagainya.

Sunnah taqririyah adalah pengakuan Rasulullah SAW.


terhadap

perkataan

sahabat

secara

mengingkarinya

serta
terus

secara

perbuatan
terang

terus

sebagian

dan

terang.

tidak
Karena

Rasulullah SAW. diutus untuk menjelaskan syariat


Islam, dan jika ada sebagian sahabat beliau yang
berkata dan berbuat dalam sebuah masalah hukum
dan ketika itu Rasulullah SAW. mendiamkannya dan
tidak mengingkari sahabat tersebut, maka hal ini
merupakan keputusan dan penyataan dari Rasulullah
SAW.

Sunnah

taqririyah

ini

terkadang

berupa

diamnya Rasulullah SAW. tanpa mengingkarinya (dan


Rasulullah

SAW.

tidak

memberikan

pernyataan

sedikitpun dan beliau menyetujui perkataan dan


perbuatan sahabat tersebut), tetapi juga terkadang
Rasulullah

SAW.

memberikan

isyarat

untuk

menyetujuinya.
d) Sunnah adalah hikmah, seperti yang tercantum dalam
firman Allah SWT.:









()
Artinya: Sekiranya bukan karena karunia Allah dan
rahmat-Nya kepadamu, tentulah segolongan dari mereka
berkeinginan keras untuk menyesatkanmu. tetapi mereka
tidak menyesatkan melainkan dirinya sendiri, dan mereka

tidak dapat membahayakanmu sedikitpun kepadamu. Dan


(juga karena) Allah telah menurunkan kitab dan hikmah
kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang
belum kamu ketahui. Dan adalah karunia Allah sangat
besar atasmu.
2.1.2 Hakikat Hadits
Hadits

mempunyai

beberapa

sinonim

atau

muradif

menurut para pakar ilmu hadits, yaitu sunnah, khabar, dan atsar.
Sebelum berbicara pengertian hadits secara terminologi, terlebih
dahulu dibicarakan pengertian hadits dari segi etimologi. Kata
hadits berasal dari akar kata:

Kata hadits yang berasal dari akar kata di atas memiliki beberapa makna,
diantaranya:
a)

(al jiddah = baru), dalam arti sesuatu yang ada

setelah tidak ada atau sesuatu yang wujud setelah tidak


ada, lawan dari kata al qadim = terdahulu, misalnya:



/

yang berarti alam baru. Alam maksudnya
segala sesuatu selain Allah SWT., baru berarti diciptakan
setelah tidak ada. Makna etimologi ini mempunyai konteks
teologis, bahwa segala kalam selain kalam Allah SWT.
bersifat hadits (baru), sedangkan kalam Allah SWT. bersifat
qadim (terdahulu).

b)


( ath thari = lunak, lembut, dan baru). Misalnya:



yang berarti pemuda laki-laki. Ibnu Faris
mengatakan bahwa hadits berasal dari kata ini karena
berita atau kalam itu datang secara silih berganti bagaikan
perkembangan usia yang silih berganti dari masa ke masa.

c)


( al khabar = berita, pembicaraan, dan

perkataan). Oleh karena itu, ungkapan pemberitaan hadits
yang diungkapkan oleh para perawi yang menyampaikan
periwayatan

jika

bersambung

sanadnya

selalu

menggunakan ungkapan:
yang berarti memberitakan
kepada

kami,

atau

sesamanya

seperti

mengabarkan

kepada kami, dan menceritakan kepada kami. Hadits


dalam hal ini diartikan sama dengan al khabar dan annaba.
Dari

segi

(muhadditsin)

terminologi,

banyak

para

ahli

hadits

memberikan definisi yang berbeda mengenai

hadits, namun maknanya tetap sama. Adapun menurut Abu AlBaqa, hadits adalah kata benda dari kata at tahdist yang
diartikan sama dengan al ikhbar, yaitu pemberitaan, di mana
kemudian

pengertian

hadits

berkembang

menjadi

suatu

perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan kepada


Rasulullah SAW. Pemberitaan, yang merupakan makna dari kata
hadits sudah dikenal orang Arab sejak zaman jahiliyah, yaitu
untuk menunjuk hari-hari yang populer dengan nama al
ahadits.
Hadits mempunyai 3 komponen yakni:
1. Hadits perkataan yang disebut dengan hadits qawli.
2. Hadits perbuatan, disebut hadits fili, misalnya shalat, haji,
perang, dan lain-lain.
3. Hadits persetujuan, disebut hadits taqriri, yaitu suatu
perbuatan atau perkataan di antara para sahabat yang
disetujui oleh Rasulullah SAW.
Selain itu, terdapat pengertian lainnya mengenai hadits menurut istilah ahli
ushul dan istilah fuqaha seperti yang dijelaskan berikut ini:
7

a) Menurut Ahli Ushul




Hadits

yaitu

segala

sesuatu

yang

dikeluarkan

dari

Rasulullah SAW. selain Al-Quran, baik berupa perkataan,


perbuatan, maupun taqrir Rasulullah SAW.

yang terkait

dengan hukum syara.


b) Menurut Fuqaha


Hadits

adalah

segala

sesuatu

yang

ditetapkan

oleh

Rasulullah SAW., yang tidak terkait dengan masalahmasalah fardhu atau wajib.
c) Menurut Ulama Hadits


Hadits merupakan segala sesuatu yang diberitakan dari
Rasulullah SAW. baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir,
sifat-sifat, maupun hal ikhwal Rasulullah SAW.
d) Menurut

Jumhur Muhadisin,

sebagaimana

ditulis

oleh

Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:


Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada
Rasulullah

SAW.

baik

berupa

perkataan,

perbuatan,

pernyataan, dan yang sebagainya.


Para ahli ushul memberikan pengertian hadits seperti
demikian disebabkan karena mereka mendalami ilmu ushul yang
banyak

mempelajari

tentang

hukum

syariat

saja.

Dalam

pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara saja


yang merupakan hadits, sedangkan selain itu bukan hadits,
misalnya

urusan

berpakaian.

Sedangkan

para

fuqaha

mengartikan yang demikian dikarenakan segala hukum yang


berlabel wajib pasti datangnya dari Allah SWT. melalui kitab AlQuran. Oleh sebab itu, yang terdapat dalam hadits adalah
sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al-Quran
atau mungkin hanya penjelasannya saja.
Selain itu, adanya perbedaan pengertian antara ulama
ushul dan ulama hadits di atas disebabkan karena adanya
perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan
tujuan masing-masing. Ulama ushul membahas pribadi dan
perilaku Rasulullah SAW. sebagai peletak dasar hukum syara
yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid pada zaman
sesudah beliau. Sedangkan ulama hadits membahas pribadi dan
perilaku Rasulullah SAW. sebagai tokoh panutan (pemimpin)
yang telah diberi gelar oleh Allah SWT. sebagai Uswah wa
Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu, ulama hadits
mencatat semua yang terdapat dalam diri Rasulullah SAW., baik
yang berhubungan dengan hukum syara maupun tidak. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa hadits yang dikemukakan oleh
ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara saja,
adalah hadits sebagai sumber tasyri, sedangkan definisi hadits
yang dikemukan oleh ulama hadits mencakup hal-hal yang lebih
luas.
Jadi, hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasulullah SAW., baik berupa perkataan, perbuatan,
taqrir, sifat-sifat, keadaan, dan himmahnya.
2.2 Kedudukan Sunnah dan Hadits
Kedudukan sunnah dan hadits dalam ajaran Islam yaitu sebagai dasar
hukum Islam yang kedua. Apabila terjadi sebuah perkara dan hukumnya tidak
terdapat di dalam Al-Quran, maka yang harus dijadikan sumber berikutnya
adalah sunnah Rasulullah SAW. ataupun hadits. Kesimpulan itu diperoleh dari
9

dalil-dalil yang memberi petunjuk tentang kedudukan sunnah dan hadits itu
sendiri, sebagaimana Allah SWT. berfirman:










...
Artinya:
terimalah.

Apa
Dan

yang

diberikan

apa

yang

Rasul

kepadamu,

maka

bagimu,

maka

dilarangnya

tinggalkanlah (QS. Al-Hasyr: 7)

Keberlakuan As-Sunnah (sunnah atau hadits) sebagai


sumber hukum Islam yang kedua

diperkuat pula

dengan

kenyataan bahwa Al-Qur`an hanya memberikan garis-garis besar


dan petunjuk umum yang memerlukan penjelasan dan rincian
lebih lanjut untuk dapat dilaksanakan dalam kehidupan manusia.
Oleh karena itu, keabsahan As-Sunnah sebagai sumber hukum
kedua dalam ajaran Islam secara logika dapat diterima. Di antara
ayat-ayat yang menjadi bukti bahwa As-Sunnah merupakan
sumber hukum yang kedua dalam Islam, seperti yang tercantum
dalam Al-Quran QS. An-Nisa: 80.


Artinya: Barangsiapa yang mentaati Rasul, maka sesungguhnya
dia telah mentaati Allah (QS. An-Nisa: 80).
Selain itu, dalam ayat lain Allah SWT. berfirman sebagai
berikut:






Artinya: Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan
taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika

10

kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah


ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya) (QS. AnNisa: 59).
Dari beberapa ayat di atas, dapat disimpulkan bahwa
seseorang tidak cukup hanya berpedoman pada Al-Quran dalam
melaksanakan ajaran Islam, tetapi juga wajib berpedoman
kepada sunnah Rasulullah SAW maupun hadits.
2.3 Fungsi Sunnah dan Hadits
2.3.1

Fungsi Sunnah
Sunnah memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan Al-Qur'an,

diantaranya:
1. Sebagai pengukuh (takid) terhadap ayat-ayat Al-Quran
Sunnah dikaitkan sebagai pengukuh ayat-ayat Al-Quran apabila makna
yang terkandung didalamnya sesuai dengan dengan makna yang
terkandung di dalam ayat-ayat Al-Quran. Rasulullah SAW. bersabda:


Sesungguhnya Allah memanjangkan kesempatan kepada orang-orang
zalim,

apabila

Allah

menghukumnya

maka

Allah

tidak

akan

melepaskannya. Hadits tersebut sesuai dengan firman Allah SWT. yang


tercantum dalam ayat Al-Quran berikut:

Artinya: Dan begitulah azab Tuhanmu, apabila Dia mengazab penduduk
negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya azab-Nya itu adalah
sangat pedih lagi keras (QS. Al-Huud: 102). Sunnah yang berfungsi
sebagai pengukuh (takid) ayat-ayat Al-Quran jumlahnya banyak sekali,
seperti sunnah yang menunjukkan atas wajibnya shalat, zakat, haji, amal,
berbuat baik, memberi maaf, dan sebagainya.

11

2. Sebagai penjelas terhadap maksud ayat-ayat Al-Quran


Dalam fungsi ini terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu:
a) Menjelaskan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mujmal (global)
Dalam hal ini, sunnah berfungsi sebagai penjelas ayat-ayat Al-Quran
yang berhubungan dengan ibadah dan hukum-hukumnya, dari segi
praktiknya, syarat, waktu, dan tata caranya, seperti masalah shalat di
mana di dalam Al-Quran tidak disebutkan secara rinci tentang
bilangan rakaat, waktu, rukun, syarat, dan sebagainya. Tetapi semua itu
dijelaskan oleh sunnah.
b) Membatasi lafaz yang masih muthlaq dari ayat-ayat Al-Quran
Yang membatasi lafaz yang masih muthlaq dari ayat Al-Quran ini
ialah seperti hadits-hadits yang menjelaskan tentang lafaz Al-Yad
(tangan) yang terdapat dalam ayat Al-Quran berikut ini:



Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang
mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah
Maha Perkasa Lagi Maha Bijaksana" (QS. Al-Maidah: 38). Ayat di
atas dibatasi dengan sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi: "Potong
tangan itu untuk seperempat dinar atau lebih". Dengan demikian,
hukuman potong tangan bagi yang mencuri seperempat dinar atau
lebih saja.
c) Mengkhususkan ayat-ayat Al-Quran yang bersifat mujmal (global)
Hal ini sesuai dengan salah satu firman Allah SWT. berikut ini yang
mengkhususkan kata zalim:

Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman


mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat

12

keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat


petunjuk (QS. Al-Anam: 82). Bahwa yang dimaksud zalim pada ayat
tersebut adalah menyekutukan Allah SWT. Peristiwanya ialah sewaktu
ayat tersebut turun, sebagian sahabat Rasulullah SAW. mengira bahwa
yang dimaksud zalim pada ayat tersebut ialah zalim dalam arti umum,
sehingga dia berucap, Siapakah diantara kita yang tidak pernah
berbuat zalim? kemudian Rasulullah SAW. menjawab, Bukan itu
yang dimaksud, tetapi yang dimaksud zalim pada ayat itu ialah
menyekutukan Tuhan (syirik).
d) Menjelaskan makna lafaz yang masih kabur
Diantaranya ialah seperti dijelaskan mengenai makna dua lafaz Al
Khaithu dalam firman Allah SWT.:











"Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur
dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan
kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya
kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni
kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah
mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan
makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang
hitam, yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai
(datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang
kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah
kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepada manusia, supaya mereka bertakwa" (QS. Al-Baqarah: 187).
Peristiwanya ialah sebagian sahabat Rasulullah SAW. ada yang

13

mengira bahwa yang dimaksud dengan benang dalam ayat itu ialah tali
yang berwarna hitam dan putih. Kemudian Rasulullah SAW. bersabda,
bahwa yang dimaksud ialah terangnya siang dan gelapnya malam.

3. Menetapkan hukum yang tidak disebutkan dalam Al-Quran


Contoh sunnah semacam ini banyak sekali, seperti hadits-hadits yang
menetapkan hukum haram menikahi (poligami) seorang perempuan
beserta bibinya, riba fadhl, dan makan daging himar piaraan.
4. Menghapus ketentuan hukum dalam Al-Quran
Sebagian ulama ada yang memperbolehkan sunnah menghapus ketentuan
hukum dalam Al-Quran, diantaranya ialah seperti yang tercantum pada
hadits berikut:

:



:
:
Dari Syafii ra, ia mengabarkan kepada kami, ia berkata: telah
dikabarkan kepada kami uyainah dari Sulaiman Al-Ahwali dari Mujahid
ia berkata: bahwa Rasulullah SAW. bersabda: tidak boleh berwasiat
(memberikan harta peninggalan) kepada ahli waris. Hadits tersebut
menghapus ketentuan hukum dalam Al-Quran tentang diperbolehkannya
wasiat kepada ahli waris, baik kepada kedua orang tua, atau kerabatkerabat waris lainnya, sebagaimana firman Allah SWT.:



Artinya: Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu


kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini
adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa (QS. Al-Baqarah:
180).

14

2.3.2

Fungsi Hadits
Hadits memiliki beberapa fungsi dalam kaitannya dengan Al-Qur'an,

diantaranya:
1. Memberikan perincian (tafshil) terhadap ayat-ayat yang global (mujmal).
Misalnya ayat-ayat yang menunjukkan perintah shalat, zakat, haji di dalam
Al-Qur'an, yang disebutkan secara umum. Sunnah juga menjelaskan
syarat, rukun, waktu pelaksanaan, dan lain-lain secara rinci dan jelas
mengenai tata cara pelaksanaan ibadah shalat, zakat, dan haji. Contohnya
yaitu perintah untuk menunaikan ibadah haji yang dijelaskan dalam ayat
Al-Quran QS. Ali-Imran: 97 berikut ini:

Artinya: Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (diantaranya)


maqam Ibrahim; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi
amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap
Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah.

Barangsiapa

mengingkari

(kewajiban

haji),

maka

sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta


alam (QS. Ali Imran: 97).
2. Mengkhususkan (takhsis) dari makna umum yang disebutkan dalam AlQur'an. Contohnya seperti pada firman Allah SWT. pada QS. An-Nisa': 11.
Ayat tentang waris tersebut bersifat umum untuk semua bapak dan anak,
tetapi terdapat pengecualian yakni bagi orang (ahli waris) yang membunuh
dan berbeda agama sesuai dengan hadits Rasulullah SAW.: "Seorang
muslim tidak boleh mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak
boleh mewarisi harta orang muslim" (HR. Jama'ah). Selain itu, adapula

15

hadits pendukung lainnya yang berbunyi: "Pembunuh tidak mewarisi


harta orang yang dibunuh sedikit pun" (HR. Nasa'i).
3. Membatasi (men-taqyid-kan) makna yang muthlaq dalam ayat-ayat AlQur'an, seperti yang tercantum pada QS. Al-Maidah: 38 berikut ini:



Artinya: "Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri potonglah
tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan
dan sebagai siksaan dari Allah SWT. Dan Allah Maha Perkasa Lagi Maha
Bijaksana" (QS. Al-Maidah: 38).
Ayat di atas dibatasi dengan sabda Rasulullah SAW. yang berbunyi:
"Potong tangan itu untuk seperempat dinar atau lebih". Dengan demikian,
hukuman potong tangan bagi yang mencuri seperempat dinar atau lebih
saja.
4. Menetapkan dan memperkuat hukum yang telah ditentukan oleh AlQur'an, seperti yang tercantum dalam QS. Al-Hajj: 30 berikut ini:

Artinya: Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan


apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya
di sisi Tuhannya. Dan telah dihalalkan bagi kamu semua binatang ternak,
terkecuali yang diterangkan kepadamu keharamannya, maka jauhilah
olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta (QS. Al-Hajj: 30).
Kemudian Rasulullah SAW. menguatkan isi ayat Al-Quran tersebut
melalui sabdanya yang berbunyi: "Perhatikan! Aku akan memberitahukan
kepadamu sekalian sebesar-besarnya dosa besar! Sahut kami: "Baiklah
hai Rasulullah". Beliau meneruskan sabdanya: "1. Musyrik kepada Allah

16

SWT. 2. Menyakiti orang tua". Saat itu Rasulullah sedang bersandar, tibatiba duduk seraya bersabda lagi: "Awas berkata (bersaksi) palsu" (HR.
Bukhari dan Muslim).
5. Menetapkan hukum dan aturan yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an.
Misalnya di dalam Al-Qur'an tidak terdapat larangan untuk memadu
seorang perempuan dengan bibinya, larangan terdapat dalam hadits yang
berbunyi: "Tidak boleh seseorang memadu seorang perempuan dengan
'ammah (saudari bapak)nya dan seorang perempuan dengan khalah
(saudara ibu)nya" (HR. Bukhari dan Muslim).
6. Membuat hukum baru yang tidak terdapat dalam Al-Qur'an. Dalam hal ini,
hukum-hukum atau aturan itu hanya berasaskan pada sunnah/hadits
semata-mata. Contohnya larangan menikahi seorang wanita yang
sepersusuan, karena ia dianggap sebagai muhrim senasab. Hal tersebut
dijelaskan dalam hadits sebagai berikut:

-
Artinya: Sungguh Allah telah mengharamkan untuk menikahi seseorang
karena sepersusuan, sebagaimana halnya Allah telah mengharamkannya
karena senasab (HR. Bukhari dan Muslim).
7. Mengubah ketetapan hukum dalam Al-Qur'an. Contohnya seperti yang
tercantum pada QS. Al-Baqarah: 180 yang menjelaskan tentang kewajiban
berwasiat. Kemudian diubah dengan hadits yang berbunyi: .
Menurut sebagian ulama, ayat ini sudah dinasakh. Ada yang mengatakan
bahwa ayat ini dinasakh dengan hadits yang tersebut di atas. Akan tetapi
ada pula sebagian ulama yang berpendapat bahwa ayat ini masih tetap
muhkamah, artinya masih tetap berlaku. Menurut ulama mutaqaddimin,
bahwa terjadinya nasakh ini karena pembuat syariat menurunkan ayat
tersebut tidak diberlakukan untuk selama-lamanya. Ketentuan yang
terakhir menghapus ketentuan yang terdahulu karena yang terakhir
17

dipandang lebih luas dan lebih cocok dengan situasinya. Ini menurut
ulama yang menganggap adanya fungsi bayan nasakh.
Pada As-Sunnah, dikenal istilah bayan, yang erat kaitannya dengan AsSunnah, yang lebih dikenal sebagai bayan As-Sunnah. Bayan As-Sunnah terhadap
Al-Quran terdiri dari empat macam, yaitu:
1. Bayan taqrir, yaitu bayan yang berfungsi menguatkan Al-Quran. Sebuah
sunnah atau hadits dikatakan menguatkan Al-Quran apabila ia
mendatangkan suatu hal yang persis sama dengan apa yang telah
didatangkan oleh Al-Quran. Sebagian ulama menyebut bayan ini dengan
bayan takid.
2. Bayan tafsir, yaitu bayan yang berfungsi menjelaskan maksud Al-Quran.
Sebuah sunnah atau hadits dikatakan menjelaskan maksud Al-Quran
apabila ia menerangkan makna Al-Quran, mentafsil mujmal Al-Quran,
menta`yin musytarak Al-Quran, mentakhsis keumuman Al-Quran, atau
mentaqyid kemutlakan Al-Quran.
3. Bayan ziyadah atau bayan tasyri`, yaitu bayan yang berfungsi menambah
ketetapan Al-Quran. Bayan ini disebut juga dengan bayan tasyri`, yaitu
bayan yang berfungsi menetapkan hukum baru. Sebuah sunnah atau hadits
dikatakan menambah ketetapan Al-Quran, atau menetapkan hukum baru,
apabila ia menetapkan suatu hukum yang didiamkan atau tidak tersebut di
dalam Al-Quran.
4. Bayan nasakh atau bayan tabdil, yaitu bayan yang berfungsi menghapus
atau mengganti ayat tertentu di dalam Al-Quran. Sebuah sunnah atau
hadits dikatakan dapat menghapus atau mengganti ayat tertentu di dalam
Al- Quran apabila ia mendatangkan suatu hukum yang bertentangan
dengan hukum yang tersebut di dalam Al-Quran.
2.4 Cara Menyeleksi Hadits
Perbedaan antara hadits shahih dengan hadits palsu memang sangat tipis,
bahkan keduanya sering kali sulit dibedakan. Pada kenyataannya, telah banyak

18

ditemukan hadits-hadits yang sebenarnya palsu, namun dianggap dan diyakini


sebagai hadits sahih sehingga dijadikan sebagai pegangan (sumber) ajaran.
Namun demikian, memilah hadits shahih dan palsu bukan berarti tidak
bisa dilakukan. Para ahli hadits telah memberikan rambu-rambu yang dapat
digunakan untuk menyeleksi antara hadits shahih dan hadits yang dianggap palsu.
Palsu dan tidaknya sebuah hadits, seperti yang ditulis oleh Dr. Muhammad Ajaj
Al-Khatib, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek sanad dan aspek matan.
1. Aspek Sanad
a) Perawi yang mengakui kedustaannya, seperti yang dilakukan oleh
Abdul Karim al-Wadhdha. Maka hadits-hadits yang diriwayatkan oleh
orang ini layak dimasukkan dalam kategori hadits-hadits palsu.
b) Seseorang yang meriwayatkan hadits dari seseorang yang tidak jelas
sumbernya. Misalnya ia meriwayakan sebuah hadits dari seseorang
yang tidak pernah ia temui, sementara ia menggunakan redaksi yang
menunjukkan bahwa ia mendengar dan menatap, atau meriwayatkan
dari seorang guru di suatu tempat, padahal ia belum pernah ke tempat
itu, dan atau meriwayatkan dari seorang guru, padahal guru tersebut
telah wafat sebelum ia lahir.
c) Perawi yang memang dikenal sebagai pendusta dalam meriwayatkan
suatu hadits, kemudian ia meriwayatkan hadits seorang diri, dan tidak
ada perawi tsiqah yang meriwayatkannya.
2. Aspek Matan
a) Bertentangan dengan teks-teks Al-Quran dan As-Sunnah.
b) Kejanggalan redaksi hadits yang diriwayatkan, apabila dirasa tidak
mencerminkan sabda yang datang dari Nabi.
c) Kekacauan makna hadits, misalnya hadits-hadits yang memiliki unsur
dusta karena tidak sesuai dengan akal sehat, seperti ungkapan yang
berbunyi: terong merupakan obat segala penyakit.
d) Setiap hadits yang mendakwakan kesepakatan sahabat untuk
menyembunyikan sesuatu dan tidak menyebarkannya.
e) Hadits yang tidak memiliki relevansi dengan realitas historis pada
masa Nabi.
19

f) Hadits yang memiliki keterkaitan erat dengan latar belakang seorang


perawi, misalnya perawinya termasuk figure sangat ekstrem terhadap
aliran tertentu.
g) Hadits tersebut memuat kandungan sesuatu yang luar biasa, tetapi
hanya diriwayatkan oleh satu orang.
Pada bagian ini, penulis menganggap penting untuk menjadikan masalah
hadits palsu sebagai masalah yang serius untuk terus dikaji dan diteliti, karena
tidak menutup kemungkinan hadits-hadits palsu masih tetap ada dan lepas dari
penelitian yang telah dihasilkan oleh kalangan ulama hadits, terutama haditshadits yang memiliki kaitan dengan masalah keagamaan (fadlailul amal).
Hadits-hadits semacam ini sangat mengesankan memang berasal dari Nabi, karena
menggunakan materi yang akrab dengan apa yang menjadi kecenderungan umat
Islam sehingga bisa jadi akan mudah dianggap sebagai hadits asli, padahal
sebenarnya termasuk hadits palsu, tanpa sepengetahuan umat Islam.
Dalam konteks ini, untuk mengantisipasi kenyataan itu, menurut penulis
perlu dilakukan re-evaluasi terhadap posisi hadits yang terdapat dalam beberapa
kitab hadits, termasuk dalam hadits yang dikumpulkan oleh imam Bukhari dan
imam Muslim. Sebab, tidak menutup kemungkinan dalam kitab tersebut, masih
terdapat hadits-hadits yang perlu mendapatkan koreksi dan penelitian lebih serius
dari umat Islam. Artinya, sekalipun dalam kitab hadits Bukhari dan Muslim
diyakini sebagai kumpulan hadits paling sahih karena pendekatan penelitian yang
dianggap lebih akurat dan berhati-hati, tetapi hal tersebut pun merupakan usaha
manusia yang tidak menutup kemungkinan memunculkan kesalahan yang tanpa
disadari dapat terjadi.
Re-evaluasi secara kritis mutlak harus dilakukan sebagai salah satu upaya
untuk menyelamatkan hadits-hadits agar tetap searah dengan apa yang dikatakan,
dilakukan, dan yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW. dan Al-Quran. Re-evaluasi
tersebut bisa dilakukan dalam beberapa hal penting:
1. Pertama, evaluasi kritis terhadap sanad dan rijalul hadits-hadits. Aspek ini
telah menjadi mainstream penelitian para ulama hadits sehingga

20

melahirkan klasifikasi bentuk hadits, baik sahih, dhaif, hasan, dan lain
sebagainya. Sanad dan rawil hadits tetap harus menjadi obyek kritik,
terutama menyangkut latar belakang sosial budaya seorang periwayat
hadits, karena tidak menutup kemungkinan seorang periwayat hadits yang
sudah dinyatakan sebagai perawi tanpa cela oleh para ulama, masih
menyisakan satu masalah serius yang harus dikaji lebih obyektif lagi,
misalnya posisi Abu Hurairah sebagai salah seorang periwayat hadits yang
cukup spektakuler. Sebab, dalam kemelut konflik politik umat Islam pada
masa-masa Muawiyah, Abu Hurairah dianggap menjadi salah seorang
bagian penting dalam gerakan politik yang dilakukan oleh Muawiyah dan
dianggap sebagai pereka-perekayasa hadits (palsu) untuk menyudutkan
Ali, demi kepentingan kubu Muawiyah.
2. Kedua, evaluasi terhadap matan (isi) hadits dan relevansinya dengan AlQuran. Apabila ada hadits yang isinya berlawanan dengan apa yang
dijelaskan dalam Al-Quran sebaiknya harus diwaspadai dan dievalusi
sekritis mungkin, karena tidak menutup kemungkinan ada materi hadits
yang berlawanan dengan apa yang disampaikan oleh Al-Quran. Artinya,
sesahih apapun sebuah hadits, apabila tidak sejalan dengan isi yang ada di
dalam Al-Quran, keberadaannya pun harus tetap dipertimbangkan untuk
tidak diterima, karena setiap hadits (yang diduga) tidak sejalan dengan
kandungan Al-Quran sudah bisa dipastikan bukan hadits yang
sebenarnya, karena tidak mungkin Rasulullah SAW. akan bersabda dengan
sabda yang melenceng jauh dari ketentuan Al-Quran.

21

BAB II
SIMPULAN

1.

22

DAFTAR PUSTAKA

Ajaj Al-Khatib, Muhammad. 2007. Ushul Al-Hadits: Pokok-Pokok Ilmu Hadits.


Jakarta: Media Pratama. Halaman 368-371.
Al-Maliki, Muhammad Alawi. 2012. Ilmu Ushul Hadis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar. Halaman 8-13.
Al-Munawar, Said Agil Husain. 1996. Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya
Media Pratama.
Departemen Agama RI. 2004. Al-Quran dan Terjemahannya.
Surabaya: PT Mahkota.
Juynboll, G.H.A. 1999. Kontroversi Hadits di Mesir [1890-1960], terjemah Ilyas
Hasan. Bandung: Mizan. Halaman 141.

23

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadits. Jakarta: PT Raja Grafindo


Persada.

24

You might also like