You are on page 1of 21

BAB I

PENDAHULUAN

Fibrilasi Atrium merupakan aritmia yang paling sering dijumpai dalam


praktek sehari-hari. Prevalensi FA mencapai 1-2% dan akan terus meningkat dalam
50 tahun. Data dari studi observasional (MONICA multinational MONItoring of
trend and determinant in Cardiovascular disease) pada populasi urban di Jakarta
menemukan angka kejadian FA sebesar 0,2%, rasio laki-laki dan perempuan 3:2.
Fibrilasi atrium menyebabkan peningkatan mortalitas dan morbiditas,
termasuk stroke, gagal jantung serta penurunan kualitas hidup. Pasien dengan FA
memiliki risiko stroke 5 kali lebih tinggi dan risiko gagal jantung 3 kali lebih tinggi
dibanding pasien tanpa FA. Stroke merupakan salah satu komplikasi FA yang paling
dikhawatirkan, karena stroke yang diakibatkan oleh FA mempunyai risiko
kekambuhan yang lebih tinggi. Selain itu, stroke akibat FA ini mengakibatkan
kematian dua kali lipat dan biaya perawatan 1,5 kali lipat.
Gagal jantung simtomatik dengan kelas fungsional New York Heart
Association (NYHA) II sampai IV dapat terjadi pada 30% pasien FA, namun
sebaliknya FA dapat terjadi pada 30-40% pasien dengan gagal jantung tergantung dari
penyebab dari gagal jantung itu sendiri. Fibrilasi atrium dapat menyebabkan gagal
jantung melalui mekanisme peningkatan tekanan atrium, peningkatan beban volume
jantung, disfungsi katup dan stimulasi neurohormonal yang kronis.

BAB II
ISI

2.1 DEFINISI ARITMIA


Irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA yang datang
secara teratur dengan frekuensi antara 60-100 x/menit dan dengan hantaran tidak
mengalami hambatan pada tingkat manapun, maka irama jantung lainnya dapat
dikatakan sebagai aritmia. Jadi aritmia dapat didefinisikan sebagai berikut :
-

Irama yang bukan berasal dari nodus SA


Irama yang tidak teratur, sekalipun ia berasal dari nodus SA
Frekuensinya kurang dari 60 x/menit atau lebih dari 100 x/menit
Terdapatnya hambatan impuls dari supra atau intra ventrikular

2.2 MEKANISME TERJADINYA ARITMIA


Dalam jantung terdapat sel-sel yang mempunyai automatisitas, artinya dapat
dengan sendirinya secara teratur melepaskan rangsang (impuls). Sel-sel ini setelah
repolarisasi fase 1,2 dan 3 akan masuk ke fase 4 yang secara spontan perlahan-lahan
akan mengalami depolarisasi dan apabila telah melewati ambang batasnya akan
timbulah impuls. Impuls ini kemudian akan merangsang sel-sel sekitarnya,
selanjutnya disebarkan ke seluruh jantung sehingga menghasilkan denyut jantung
spontan.
Kelompok-kelompok sel yang memiliki automatisitas misalnya terdapat pada
nodus SA, kelompok sel-sel yang terdapat di atrium dan ventrikel, AV junction,
sepanjang berkas (bundle) His dan lain-lain. Pada keadaan normal yang paling
dominan adalah yang berada di nodus SA. Bila ia mengalami depresi dan tidak dapat
2

mengeluarkan impuls pada waktunya, maka fokus yang berada di tempat lain akan
mengambil alih pembentukan impuls sehingga terjadilah irama jantung yang baru
yang dikatakan sebagai aritmia. Kadang-kadang fokus lainnya secara aktif
mengambil alih dominasi nodus SA dan menentukan irama jantung tersebut, dengan
frekuensi yang lebih cepat, misalnya pada ventrikular atau supraventrikular takikardi.
2.3 ETIOLOGI
Aritmia dapat terjadi karena hal yang mempengaruhi kelompok sel-sel yang
mempunyai automatisitas dan sistem penghantarnya:
- Persarafan autonom dan obat-obat yang mempengaruhinya
- Lingkungan sekitarnya seperti beratnya iskemia, pH dan berbagai
-

elektrolit dalam serum atau obat-obatan


Kelainan jantung seperti fibrosis dan sikatriks, inflamasi, metabolit dan
jaringan

abnormal/degeneratif

dalam

jantung

seperti

amiloidosis,

kalsifikasi dan lain-lain


- Rangsangan dari luar jantung seperti pace maker
Berbagai etiologi ini dapat saling memberatkan, artinya bila telah ada
hipertofi otot jantung kemudian timbul iskemia dan gangguan keseimbangan
elektrolit maka aritmia akan lebih mudah timbul.
2.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi irama jantung dari mekanisme terjadinya:
1. Irama berasal dari nodus SA
Irama sinus normal
Sinus aritmia
Sinus takikardi, peningkatan aktivitas nodus SA 100 x/menit atau lebih
2. Aritmia Atrial
Fibrilasi Atrium dengan respon ventrikel cepat, normal atau lambat
Atrial Fluter

Atrial takikardi, biasanya paroksismal (PAT, Paroxysmal Atrial


Tachycardia). Ada juga yang disertai dengan blok hantarannya, dan

disebut sebagai PAT dengan blok


Ekstrasistol atrial yaitu bila denyut dari atrial tersebut hanya datang

satu persatu mungkin dari satu fokus (unifokal) atau lebih (multifokal)
3. Aritmia AV Jungsional
Ada yang timbul pasif, karena nodus SA kurang aktif sehingga diambil alih:
Irama AV Jungsional, biasanya bradikardi, bisa tinggi, sedang/rendah
AV Jungsional takikardia non paroksismal, yaitu irama dengan HR
yang cepat (70-130 x/menit). Tapi ada pula yang secara aktif
mendominasi nodus SA dan fokus-fokus lainnya:
AV Jungsional ekstrasistol (uni-multi fokal)
AV Jungsional takikardi paroksismal, seperti PAT
4. Aritmia Supra Ventrikular (SV) lainnya
Aritmia SV multifokal/ wandering pace maker
Multifokal SV takikardia
Multifokal SV takikardia dengan blok
SV ekstrasistol non conducted
5. Aritmia Ventrikular
Irama idio ventrikular, biasanya non paroksismal, dan idio ventrikular
takikardi/non paroksismal ventrikular takikardia (non PVT)
Paroksismal Ventrikular Takikardia (PVT)
Fluter ventrikular serta Fibrilasi ventrikular
Parasistol ventrikular
6. Gangguan hantaran pada sekitar berkas His dan percabangannya
Blok AV (AVB) derajat 1, 2 (tipe 1 wenkebach serta tipe 2) dan tipe 3
Bundle Branch Block (BBB), bisa RBBB atau LBBB, bisa partial
(incomplete) atau total (complete) dan bisa juga tergantung pada HR
sehingga disebut sebagai rate dependent Bundle Branch Block
2.5 FIBRILASI ATRIUM

Fibrilasi Atrium adalah takiaritmia supraventrikuler yang khas, dengan


aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis
atrium. Pada EKG diri FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan
oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitude, bentuk dan durasinya.
Ciri-ciri FA pada gambaran EKG:
- EKG permulaan menunjukkan pola interval RR yang ireguler
- Tidak dijumpai gelombang P yang jelas pada EKG permukaan. Kadangkadang dapat terlihat aktivitas atrium yang ireguler pada beberapa sadapan
-

EKG, paling sering pada sadapan V1


Interval antara dua gelombang aktivasi atrium tersebut biasanya bervariasi

Gambar 1. Irama sinus dan Fibrilasi Atrium


2.6 ETIOLOGI FIBRILASI ATRIUM
Untuk mengetahui kondisi yang kemungkinan berhubungan dengan Fibrilasi
Atrium harus dicari kondisi yang berhubungan dengan kelainan jantung maupun
kelainan di luar jantung. Kondisi yang berhubungan dengan kejadian FA:
1. Penyakit jantung yang berhubungan dengan FA
Penyakit Jantung Koroner
Kardiomiopati Dilatasi
Kardiomiopati Hipertrofik
Penyakit Katup Jantung : reumatik maupun non reumatik
Aritmia Jantung : takikardia atrial, fluter atrial, AVNRT, sindrom
WPW, sick sinus syndrome
Perikarditis
2. Penyakit di luar jantung yang berhubungan dengan FA
5

Hipertensi sistemik
Diabetes melitus
Hipertiroidisme
Penyakit paru : PPOK, hipertensi pulmonal primer, emboli paru akut
Neurogenik : sistem saraf autonom dapat mencetuskan FA pada pasien
yang sensitif melalui peninggian tonus vagal atau adrenergic

2.7 PATOFISIOLOGI FIBRILASI ATRIUM


Sampai saat ini patofisiologi terjadinya FA masih belum sepenuhnya dipahami
dan dipercaya bersifat multifaktorial. Dua konsep yang banyak dianut tentang
mekanisme FA adalah 1) adanya faktor pemicu (trigger) dan 2) faktor-faktor yang
melanggengkannya. Pada pasien dengan FA yang sering kambuh tetapi masih dapat
konversi secara spontan mekanisme utama yang mendasarinya biasanya karena
adanya faktor pemicu (trigger), sedangkan pada pasien FA yang tidak dapat konversi
secara spontan biasanya didominasi adanya faktor-faktor yang melanggengkan.
1. Perubahan patofisiologis yang mendahului terjadinya FA
Berbagai jenis penyakit jantung structural dapat memicu remodeling yang perlahan
tetapi progresif baik di ventrikel maupun di atrium. Proses remodeling yang terjadi di
atrium ditandai dengan proliferasi dan diferensiasi fibroblast menjadi miofibroblas
yang dapat meningkatkan deposisi jaringan ikat dan fibrosis di atrium. Proses
remodeling atrium menyebabkan gangguan elektris antara serabut otot dan serabut
konduksi di atrium, serta menjadi faktor pemicu sekaligus faktor yang
melanggengkan terjadinya FA. Substrat elektroanatomis ini memfasilitasi terjadinya
siklus reentri yang akan melanggengkan terjadinya aritmia.
System saraf simpatis maupun parasimpatis di dalam jantung juga memiliki peran
yang penting dalam patofisiologi FA, yaitu melalui peningkatan Ca 2+ intraseluler oleh

saraf simpatis dan pemendekan periode refrakter efektif atrium oleh system saraf
parasimpatis (vagal). Stimulasi pleksus ganglionik akan memudahkan terangsangnya
FA melalui vena pulmoner (VP), sehingga pleksus ganglionik dapat dipertimbangkan
sebagai salah satu target ablasi.
Gangguan fungsi kontraksi atrium juga terjadi pada beberapa hari setelah terjadinya
FA. Mekanisme yang mendasari gangguan ini adalah penurunan arus masuk kalsium,
hambatan pelepasan kalsium intraseluler dan perubahan pada energetika miofibril.
2. Mekanisme elektrofisiologis
Awitan dan keberlangsungan takiaritmia membutuhkan adanya pemicu (trigger) dan
substrat. Atas dasar itu mekanisme elektrofisiologis FA dapat dibedakan menjadi
mekanisme fokal karena adanya pemicu dan mekanisme reentri mikro (multiple
wavelet hypothesis) karena adanya substrat. Meskipun demikian, kedua hal ini dapat
berdiri sendiri atau muncul bersamaan.
Mekanisme fokal
Mekanisme fokal adalah mekanisme FA dengan pemicu daerah-daerah tertentu, yakni
72% di VP dan sisanya 28% bervariasi dari vena cava superior (37%), dinding
posterior atrium kiri (38,3%), Krista terminalis (3,7%), sinus koronarius (1,4%),
ligamentum Marshall (8,2%) dan septum interatrium. Mekanisme seluler dari
aktivitas fokal mungkin melibatkan mekanisme triggered activity dan reentri. Vena
pulmoner memiliki potensi yang kuat untuk memulai dan melanggengkan takiaritmia
atrium, karena VP memiliki periode refrakter yang lebih pendek serta adanya
perubahan drastis orientasi serat miosit.
Pada pasien dengan FA paroksismal untervensi ablasi di daerah pemicu yang
memiliki frekuensi tinggi dan dominan (umumnya berada pada atau dekat dengan
batas antara VP dan atrium kiri) akan menghasilkan perlambatan frekuensi FA secara
7

progresif dan selanjutnya terjadi konversi menjadi irama sinus. Sedangkan pada
pasien dengan FA persisten daerah yang memiliki frekuensi tinggi dan dominan
tersebar di seluruh atrium sehingga lebih sulit untuk melakukan tindakan ablasi atau
konversi ke irama sinus.
Mekanisme reentri mikro (multiple wavelet hypothesis)
Dalam mekanisme reentri mikro, FA dilanggengkan oleh adanya konduksi beberapa
wavelet independen secara kontinu yang menyebar melalui otot otot atrium dengan
cara yang kacau. FA dilanggengkan oleh banyaknya wavelet yang tersebar secara
acak dan bertabrakan satu sama lain dan kemudian padam, atau terbagi menjadi
banyak wavelet lain yang terus menerus merangsang atrium. Oleh karenanya siklus
reenter tidak stabil, beberapa menghilang sedangkan yang lain tumbuh lagi. Siklus
siklus ini memiliki panjang siklus yang bervariasi tapi pendek. Diperlukan setidaknya
4-6 wavelet mandiri untuk melanggengkan FA.

Gambar 2. Mekanisme elektrofisiologis FA. A) mekanisme fokal : fokus/pemicu


(tanda bintang) sering ditemukan di vena pulmoner. B) mekanisme reentri mikro :
banyak wavelet independen yang secara kontinu menyebar melalui otot-otot atrium
dengan cara yang kacau.

2.8 KLASIFIKASI FIBRILASI ATRIUM

1. FA yang pertama kali terdiagnosis. Pada pasien yang pertama kali datang
dengan manifestasi klinis FA tanpa memandang durasi atau berat ringannya
gejala yang muncul
2. FA paroksismal adalah FA yang mengalami terminasi spontan dalam 48 jam,
namun dapat berlanjut hingga 7 hari
3. FA persisten adalah FA dengan episode menetap hingga lebih dari 7 hari atau
FA yang memerlukan kardioversi dengan obat atau listrik
4. FA persisten lama (long standing persistent) adalah FA yang bertahan hingga
1 tahun, dan strategi kendali irama masih akan diterapkan
5. FA permanen merupakan FA yang ditetapkan sebagai permanen oleh dokter
sehingga strategi kendali irama sudah tidak digunakan lagi
2.9 MANIFESTASI KLINIS FIBRILASI ATRIUM
Manifestasi klinik pasien dengan Fibrilasi Atrium meliputi:
1. Anamnesis
Dapat diketahui tipe FA dengan mengetahui lama timbulnya (episode

pertama, paroksismal, persisten, permanen)


Menentukan beratnya gejala yang menyertai : berdebar-debar, lemah,
sesak nafas terutama saat aktivitas, pusing, gejala yang menunjukan

adanya iskemia atau gagal jantung kongestif


Penyakit jantung yang mendasari penyebab lain dari FA
2. Pemeriksaan Fisik
Tanda vital : denyut nadi (kecepatan dan regularitas), tekanan darah.

Pada pasien FA denyut nadi ireguler dan cepat sekitar 110-140x/menit.


Kepala dan leher dapat menunjukkan eksoftalmus, pembesaran
kelenjar tiroid, peningkatan tekanan vena jugularis atau sianosis. Bruit
pada arteri karotis mengindikasikan penyakit arteri perifer dan
kemungkinan adanya kormobiditas penyakit jantung koroner

Paru : Ronkhi menunjukan kemungkinan terdapat gagal jantung


kongestif. Wheezing atau pemanjangan ekspirasi mengindikasikan

adanya penyakit paru kronik yang mendasari terjadinya FA


Jantung : Irama gallop S3 pada auskultasi jantung mengindikasikan
pembesaran ventrikel dan peningkatan tekanan ventrikel kiri. Bunyi II
(P2) yang mengeras dapat menandakan adanya hipertensi pulmonal.

Pulsus deficit dapat ditemukan pada pasien FA.


Abdomen : Hepatomegali : kemungkinan terdapat gagal jantung kanan
Ektremitas bawah : sianosis, jari tabuh, edema. Ekstremitas dingin dan

tanpa nadi mengindikasikan penyakit arterial perifer/ curah jantung.


Neurologis : tanda-tanda TIA terkadang dapat ditemukan di pasien FA
3. Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium : darah lengkap (anemia, infeksi), elektrolit, ureum,

kreatini serum, TSH, enzim jantung seperti CKMB dan troponin


EKG
Foto rontgen thorax
Ekokardiografi : kelainan katup jantung, ukuran dari atrium, ventrikel,
hipertrofi dan fungsi ventrikel kiri, obstruksi outflow dan TEE (Trans

Esophago Echocardiography) untuk melihat trombus di atrium kiri


Uji latih/uji berjalan enam-menit : menilai apakah strategi kendali laju
sudah adekuat/belum (nadi 110x/menit setelah berjalan 6 menit). Dan
dapat menyingkirkan iskemia sebelum memberikan obat antiaritmia

kelas 1C dan untuk mereproduksi FA yang dicetuskan aktivitas fisik.


Holter monitoring dan studi elektrofisiologi

2.10 EVALUASI KLINIS ATAU RENCANA TINDAK LANJUT


Skor EHRA (European Heart Rhytm Association) adalah alat klinis sederhana
yang dapat digunakan untuk menilai perkembangan gejala selama penanganan FA.

10

Tabel 1. Klasifikasi simptom terkait FA (Skor ERHA)


Kelas EHRA
Penjelasan
EHRA I
Tanpa gejala
EHRA II
Gejala ringan, aktivitas harian normal tidak terpengaruh
EHRA III
Gejala berat, aktivitas harian terganggu
EHRA IV
Gejala melumpuhkan, aktivitas harian terhenti
-

Pertimbangan yang penting selama tindak lanjut dari pasien FA antara lain:
Apakah terdapat perubahan profil risiko? (misalnya DM atau hipertensi baru)
Apakah saat ini antikoagulan diperlukan (misalnya dengan kemunculan faktor
risiko baru) atau antikoagulan dapat dihentikan? (misalnya pascakardioversi

pada pasien dengan risiko tromboemboli rendah)


Apakah simtom pasien membaik dengan terapi? Bila tidak, apakah terapi lain

perlu dipertimbangkan?
Apakah terdapat tanda-tanda proaritmia atau risiko proaritmia, bila demikian

haruskah dosis antiaritmia dikurangi atau diganti dengan terapi lain?


Apakah pendekatan kendali atau laju bekerja dengan baik, apakah target nadi
saat istirahat dan saat aktivitas telah tercapai?
Pada kunjungan lanjutan, EKG 12 sadapan diambil untuk mendokumentasi

irama dan laju jantung dan untuk menyelidiki progresivitas penyakit. Untuk pasien
yang sudah diberikan terapi obat antiaritmia, penting untuk menilai tanda-tanda dari
EKG yang berpotensi proaritmia, seperti pemanjangan interval PR, QRS, atau QT,
takikardi ventrikuler atau jeda (pause).
2.11 KOMPLIKASI
Fibrilasi Atrium dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi yang
dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Pada pasien dengan
sindroma WPW dan konduksi yang cepat melalui jalur ekstranodal yang memintas
nodus atrioventrikular, dimana pada saat terjadi FA disertai preeksitasi ventrikular,

11

dapat berubah menjadi fibrilasi ventrikel dan menyebabkan kematian mendadak. FA


yang disertai dengan laju irama ventrikel yang cepat serta berhubungan dengan
keadaan obstruksi jalur keluar dari alur ventrikel atau terdapat stenosis mitral, dapat
menyebabkan terjadinya hipotensi dan perubahan keadaan klinis.
Beberapa komplikasi lain dapat terjadi pada fluter atrial dengan laju irama
ventrikel yang cepat. Laju irama ventrikel yang cepat ini bila tidak dapat terkontrol
dapat menyebabkan kardiomiopati akibat takikardia persisten. Diantara komplikasi
yang paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli terutama stroke.
2.12 PENATALAKSANAAN FIBRILASI ATRIUM
Tujuan penatalaksanaan Fibrilasi Atrium adalah mengembalikan ke irama
sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan komplikasi tromboemboli.
Dalam penatalaksanaan FA perlu diperhatikan apakah pada pasien tersebut
dapat dilakukan konversi ke irama sinus atau cukup dengan pengontrolan laju irama
ventrikel. Pada pasien yang masih dapat dikembalikan ke irama sinus perlu segera
dilakukan konversi, sedangkan pada FA permanen tidak mungkin dikembalikan ke
irama sinus, alternatif pengobatan dengan menurunkan laju irama ventrikel.
1. Tatalaksana pada Fase Akut
- Kendali laju fase akut
Pada pasien dengan hemodinamik stabil dapat diberikan obat yang dapat mengontrol
respon ventrikel. Pemberian penyekat beta atau antagonis kalsium non-dihidropiridin
oral dapat digunakan pada pasien dengan hemodinamik yang stabil. Antagonis kanal
kalsium non-dihidropiridin hanya boleh digunakan pada pasien dengan fungsi sistolik
ventrikel yang masih baik. Obat intravena mempunyai respon yang lebih cepat untuk
mengontrol respon irama ventrikel. Digoksin/amiodaron direkomendasikan untuk
mengontrol laju ventrikel pada pasien dengan FA dan gagal jantung atau adanya
12

hipotensi. Namun pada FA dengan preeksitasi obat terpilih adalah antiaritmia kelas I
(propafenon, disopiramid, mexiletine) atau amiodaron. Obat yang menghambat NAV
tidak boleh digunakan pada kondisi FA dengan preeksitasi karena dapat menyebabkan
aritmia letal. Pada fase akut target laju jantung adalah 80-100 kpm.
Pada layanan kesehatan primer yang jauh dari pusat rujukan, sementara
kendali laju dapat dilakukan dengan pemberian antiaritmia oral. Diharapkan laju
jantung akan menurun dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian antagonis kanal
kalsium (diltiazem 30 mg/verapamil 80 mg), penyekat beta (propanolol 20-40 mg,
bisoprolol 5 mg, atau metoprolol 50 mg). Penting untuk menyingkirkan adanya
riwayat dan gejala gagal jantung. Kendali laju jantung yang efektif harus dengan
pemberian obat antiaritmia iv di layanan kesehatan sekunder/tersier.
Fibrilasi atrium dengan respon irama yang lambat biasanya membaik dengan
pemberian atropin (mulai 0,5 mg iv). Bila dengan atropin pasien masih simtomatik,
dapat dilakukan tindakan kardioversi atau pemasangan pacu jantung sementara.
Tabel 2. Terapi intravena untuk kendali laju fase akut
Obat
Dosis
Sediaan
Risiko
Diltiazem
0,25 mg/kgBB bolus iv
125mg/5ml,
Hipotensi,
dalam 10 menit, dilanjutkan
50mg/10ml
bradikardi
0,35 mg/kgBB iv
Metoprolol
2,5-5 mg iv bolus dalam 2
5mg/5ml
Hipotensi,
menit sampai 3 kali dosis
bradikardi
Amiodaron
5mg/kgBB dalam satu jam
150mg/3ml,
Bradikardi,
pertama
dilanjutkan
1
450 mg/9ml,
phlebitis
mg/menit dalam 6 jam
900mg/18ml
kemudian 0,5 mg/menit
dalam 18 jam via vena
besar
Verapamil
0,075-0,15 mg/kgBB dalam
5mg/2ml,
Hipotensi,
2 menit
10mg/4ml
bradikardi
Digoksin
0,25 mg iv setiap 2 jam
0,5mg/2ml
Hipotensi,

13

sampai 1,5 mg

toksisitas digitalis

- Kendali irama fase akut


Respon irama ventrikel yang terlalu cepat akan menyebabkan gangguan
hemodinamik pada pasien FA. Pasien yang mengalami hemodinamik tidak stabil
akibat FA harus segera dilakukan kardioversi elektrik untuk mengembalikan irama
sinus. Pasien yang masih simtomatik dengan gangguan hemodinamik meskipun
strategi kendali laju telah optimal, dapat dilakukan kardioversi farmakologis dengan
obat antiaritmia iv atau kardioversi elektrik. Saat pemberian obat antiaritmia iv pasien
harus dimonitor untuk kemungkinan kejadian proaritmia akibat obat, disfungsi nodus
sinoatrial (henti sinus atau jeda sinus) atau blok atrioventrikuler. Obat intravena untuk
kardioversi farmakologis yang tersedia di Indonesia adalah amiodaron. Kardioversi
dengan amiodaron terjadi beberapa jam kemudian setelah pemberian.
2. Tatalaksana Jangka Panjang
- Kendali laju jangka panjang
Simtom akibat FA adalah hal penting untuk menentukan pemilihan kendali laju atau
irama. Faktor lain yang juga mempengaruhi adalah FA yang sudah lama, usia tua,
penyakit kardiovaskular berat, penyakit lain yang menyertai, dan besarnya atrium
kiri. Pada pasien dengan FA simtomatik yang sudah terjadi lama, terapi yang dipilih
adalah kendali laju. Namun, apabila pasien masih ada keluhan dengan strategi kendali
laju, kendali irama dapat menjadi strategi terapi selanjutnya. Kendali laju
dipertimbangkan sebagai terapi awal pada pasien usia tua dan keluhan minimal.
Kendali irama direkomendasikan pada pasien yang masih simtomatik meskipun telah
dilakukan kendali laju optimal.

14

Tabel 3. Indikasi kendali laju dan kendali irama pada persisten FA


Strategi kontrol laju dipilih sebagai
Strategi kontrol irama dipilih sebagai
penanganan awal pada
penanganan awal pada
Usia > 65 tahun
Usia > 65 tahun
Dengan penyakit arteri koroner
Simtom yang berhubungan dengan
aritmia dan tidak dapat ditoleransi
Kontraindikasi obat-obatan antiaritmia
Pertama kali mengalami FA
Tidak cocok untuk kardioversi
FA sekunder dengan penyerta yang
terobati/terkoreksi
Tanpa gagal jantung kongestif
Dengan gagal jantung kongestif
Kendali laju yang optimal dapat menyebabkan keluhan berkurang dan
memperbaiki hemodinamik dengan memperpanjang waktu pengisian ventrikel dan
mencegah kardiomiopati akibat takikardia. Kendali laju dapat dilakukan secara
longgar/ketat. Pada kendali laju longgar, target terapi adalah respon ventrikel <110
kpm saat istirahat. Apabila dengan target ini pasien masih merasakan keluhan,
dianjurkan melakukan kendali laju ketat, dengan target laju saat istirahat < 80 kpm.
Evaluasi monitor Holter dapat dilakukan untuk menilai terapi dan memantau
ada tidaknya bradikardia. Penyekat beta direkomendasikan sebagai terapi pilihan
pertama pada pasien FA dengan gagal jantung dan fraksi ejeksi yang rendah atau
pasien dengan riwayat infark miokard. Apabila monoterapi tidak cukup, dapat
ditambahkan digoksin untuk kendali laju. Digoksin tidak dianjurkan untuk terapi
awal pada pasien FA yang aktif, dan sebaiknya hanya diberikan pada pasien gagal
jantung sistolik yang tidak memiliki aktivitas tinggi. Hal ini disebabkan karena
digoksin hanya bekerja pada parasimpatis. Amiodaron untuk kendali laju hanya
diberikan apabila obat lain tidak optimal untuk pasien.

15

Tabel 4. Obat untuk kendali laju


Dosis
Penyekat beta
Metoprolol
2x50-100 mg po atau 2,5-5 mg bolus iv dalam 2
menit sampai 3xdosis
Bisoprolol
1-5x10 mg po
Atenolol
1x25-100 mg po
Propanolol
3x10-40 mg po atau 0,15 mg/kgBB dlm 1 menit
Carvedilol
2x3, 12,5-25 mg po
Antagonis kanal kalsium Verapamil
2x40 sampai 1x240 mg po (lepas lambat) atau
non-dihidropiridin
0,0375-0,15 mg/kgBB intravena dalam 2 menit
Diltiazem
3x30 smp 1x200 mg po (lepas lambat)
Lainnya
Digoksin
1x0,125-0,5 mg po atau 0,5-1 mg iv
Amiodaron
1x100-200 mg po atau 5 mg/kgBB dalam 1 jam
dan 50 mg/jam untuk rumatan
-

Kendali irama jangka panjang


Tujuan utama strategi kendali irama adalah mengurangi simtom. Strategi ini

dipilih pada pasien yang masih mengalami simtom meskipun terapi kendali laju telah
dilakukan secara optimal. Pilihan pertama untuk terapi dengan kendali irama adalah
memakai obat antiaritmia. Pengubahan irama FA ke irama sinus (kardioversi) dengan
menggunakan obat paling efektif dilakukan dalam 7 hari setelah terjadinya FA.
Kardioversi farmakologis kurang efektif pada FA persisten.
Terapi pengembalian irama ke sinus mempunyai kelebihan mengurangi risiko
tromboemboli, memperbaiki hemodinamik dengan mengembalikan atrial kick,
mencegah terjadinya respon ventrikel cepat yang dapat menginduksi kardiomiopati
akibat takikardia, serta mencegah remodelling atrium yang dapat meningkatkan
ukuran atrium dan menyebabkan kardiomiopati atrium.
Kendali irama harus dipertimbangkan pada pasien gagal jantung akibat FA
untuk memperbaiki keluhan, pasien muda yang simptomatik, atau FA sekunder akibat
kelainan yang telah dikoreksi (iskemia, hipertiroid).

16

Obat antiaritmia yang ada di Indonesia untuk kardioversi farmakologis adalah


amiodaron dan propafenon. Namun amiodaron dalam penggunaan jangka panjang
mempunyai efek toksik. Propafenon tidak boleh diberikan pada pasien dengan
penyakit jantung koroner atau gagal jantung sistolik. Efektivitas obat antiaritmia
untuk mengembalikan irama ke sinus hanyalah untuk mengurangi namun tidak
menghilangkan kekambuhan FA.

Gambar 3. Pilihan obat antiaritmia untuk kardioversi farmakologis


2.13 KARDIOVERSI ELEKTRIK
Pasien AF dengan hemodinamik yang tidak stabil akibat laju irama ventrikel
yang cepat disertai tanda iskemia, hipotensi, sinkop perlu segera dilakukan
kardioversi elektrik. Kardioversi elektrik dimulai dengan 200 Joule. Bila tidak

17

berhasil dapat dinaikan menjadi 300 Joule. Pasien dipuasakan dan dilakukan anestesi
dengan obat anestesi kerja pendek. Kardioversi elektrik adalah salah satu strategi
kendali irama. Keberhasilan tindakan ini pada FA persisten mencapai angka 80-96%,
dan sebanyak 23% pasien tetap sinus dalam waktu setahun dan 16% dalam waktu dua
tahun. Amiodaron adalah antiaritmia yang paling kuat mencegah terjadinya rekurensi
FA setelah keberhasilan kardioversi. Kebanyakan rekurensi FA terjadi dalam 3 bulan
pascakardioversi. Beberapa prediktor terjadinya kegagalan kardioversi atau rekurensi
FA adalah berat badan, durasi FA yang lebih lama (>1-2 tahun), gagal jantung dengan
penurunan fraksi ejeksi, peningkatan dimensi atrium kiri, penyakit jantung rematik,
dan tidak adanya pengobatan dengan antiaritmia.
Ekokardiografi transtorakal harus dilakukan untuk identifikasi adanya
trombus di ruang-ruang jantung. Bila trombus tidak terlihat dengan pemeriksaan
ekokardiografi transtorakal, maka ekokardiografi transesofagus harus dikerjakan
apabila FA diperkirakan berlangsung >48 jam sebelum dilakukan tindakan
kardioversi. Apabila tidak memungkinkan dilakukan ekokardiografi transesofagus,
dapat diberikan terapi antikoagulan (AVK atau dabigatran) selama 3 minggu
sebelumnya. Antikoagulan dilanjutkan sampai dengan 4 minggu pascakardioversi
(target INR 2-3 apabila menggunakan AVK). Kardioversi elektrik dengan arus bifasik
lebih dipilih dibandingkan arus monofasik karena membutuhkan energi yang lebih
rendah dan keberhasilan lebih tinggi. Posisi anteroposterior mempunyai keberhasilan
lebih tinggi dibanding posisi anterolateral. Komplikasi yang dapat terjadi adalah
tromboemboli (1-2%), aritmia pascakardioversi, dan risiko anestesi umum.
18

Pemberian obat antiaritmia sebelum kardioversi, misalnya obat amiodaron,


meningkatkan keberhasilan konversi irama FA ke irama sinus.

Gambar 5. Kardioversi pada pasien dengan FA

BAB III
KESIMPULAN
Irama jantung normal adalah irama yang berasal dari nodus SA yang datang
secara teratur dengan frekuensi antara 60-100 x/menit dan dengan hantaran tidak
mengalami hambatan pada tingkat manapun, maka irama jantung lainnya dapat

19

dikatakan sebagai aritmia. Salah satu contoh aritmia yang paling banyak terjadi yaitu
fibrilasi atrium.
Fibrilasi Atrium adalah takiaritmia supraventrikuler yang khas, dengan
aktivasi atrium yang tidak terkoordinasi mengakibatkan perburukan fungsi mekanis
atrium. Pada EKG diri FA adalah tiadanya konsistensi gelombang P, yang digantikan
oleh gelombang getar (fibrilasi) yang bervariasi amplitude, bentuk dan durasinya.
Fibrilasi Atrium dapat mengakibatkan terjadinya beberapa komplikasi yang
dapat meningkatkan angka morbiditas maupun mortalitas. Diantara komplikasi yang
paling sering muncul dan membahayakan adalah tromboemboli terutama stroke.
Tujuan yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan Fibrilasi Atrium adalah
mengembalikan ke irama sinus, mengontrol laju irama ventrikel dan pencegahan
komplikasi tromboemboli.

DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW, Atrial Fibrilasi. Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. 2009. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam: Jakarta.
2. Go AS, Hylek EM, Phillips KA, et al. Prevalence of diagnosed atrial fibrillation in
adults: national implications for rhythm management and stroke prevention: the
AnTicoagulation and Risk Factors in Atrial Fibrillation (ATRIA) Study. JAMA :
the journal of the American Medical Association 2001;285:2370-5.
3. Setianto B, Malik MS, Supari SF. Studi aritmia pada survei dasar MONICAJakarta di Jakarta Selatan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes
RI 1998.
4. Roy D, Talajic M, Dorian P, et al. Amiodarone to prevent recurrence of atrial
fibrillation. Canadian Trial of Atrial Fibrillation Investigators. The New England
journal of medicine. 2000;342:913-20.
5. Hylek EM, Skates SJ, Sheehan MA, Singer DE. An analysis of the lowest effective
intensity of prophylactic anticoagulation for patients with nonrheumatic atrial
fibrillation. The New England journal of medicine 1996;335:540-6.

20

6. Atrial
Fibrillation
(A
Fib)
Awareness.
2013.
at
http://www.hrsonline.org/News/Atrial-Fibrillation-AFib
Awareness#axzz2gHliCTk0.)
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tatalaksana
Fibrilasi Atrium. Edisi I. 2014: centra communications, Indonesia.

21

You might also like