You are on page 1of 48

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Bahasa adalah fungsi luhur yang paling utama bagi manusia selain fungsi
daya mengingat, persepsi, kognisi, dan emosi. Kerusakan atau kelainan di otak dapat
menimbulkan gangguan kemampuan berbahasa yang disebut afasia. Afasia adalah
gangguan kemampuan berbahasa seseorang (baik lisan maupun tulis) yang
disebabkan oleh gangguan atau kerusakan di otak . Kerusakan otak itu sendiri dapat
disebabkan oleh berbagai macam penyakit, tetapi yang paling sering oleh penyakit
gangguan peredaran darah di otak dan cedera otak (strok dan trauma) . Seringkali
orang mengira mereka mengalami gangguan kejiwaan, padahal menderita afasia. 1
Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia),
gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat
gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia. 1,2,3,4,5
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di
dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca
(alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya apraksia
(gangguan belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia), gangguan
menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti demensia dan
delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau muncul sendiri.1,2,3
Banyak orang mengalami frustasi saat berlibur di negara lain. Frustasi tersebut
berasal dari ketidakmampuan mengungkapkan dengan jelas apa yang mereka
maksudkan atau tidak sepenuhnya mengerti apa yang dikatakan orang lain. Pada
penderita afasia mengalami hal-hal seperti ini sehari-hari. Dengan demikian, afasia
adalah gangguan kemampuan berbahasa.4

Tidak ada dua penderita afasia yang persis sama. Afasia berbeda dari satu
orang dengan yang lain. Tingkat keparahan dan luasnya cakupan afasia tergantung
dari lokasi dan keparahan cedera otak, kemampuan berbahasa sebelum afasia, dan
kepribadian seseorang. Beberapa penderita afasia dapat mengerti bahasa dengan baik,
tetapi mengalami kesulitan untuk mendapatkan kata-kata yang tepat atau membuat
kalimat-kalimat. Penderita yang lain dapat berbicara panjang lebar, tetapi apa yang
diucapkan susah atau tidak dapat dimengerti oleh lawan bicaranya. Penderita seperti
ini sering mengalami masalah besar dalam memahami bahasa. Kemampuan
berbahasa dari kebanyakan penderita afasia berada diantara dua situasi tadi.4

BAB II
PEMBAHASAN
A.

Definisi
Afasia

merupakan

gangguan

berbahasa.

Dalam

hal

ini

pasien

menunjukkan gangguan dalam memproduksi atau memahami bahasa. Defek dasar


pada afasia ialah pada pemrosesan bahasa tingkat integratif yang lebih tinggi.
Gangguan artikulasi dan praksis mungkin ada sebagai gejala yang menyertai.3
Afasia adalah gangguan berbahasa akibat gangguan serebrovaskuler hemisfer
dominan, trauma kepala, atau proses penyakit. Terdapat beberapa tipe afasia, biasanya
digolongkan sesuai lokasi lesi. Semua penderita afasia memperlihatkan keterbatasan
dalam pemahaman, membaca, ekspresi verbal, dan menulis dalam derajat berbedabeda.2
B.

Etiologi
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul
akibat cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau
parietal yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan
jalur yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di
hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur.1,2,3,6,7,8
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh
stroke, cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat
muncul perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai
efek samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri
kronis.2,3

C.

Patofisiologi
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak pada
96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang dominan
tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar lesi terletak
pada hemisfer kiri.2,3,6,7,8
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.2,3
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas
pelaksanaan motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan
dalam artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.6,7,8,9
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.6,7,8,9
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di
atas. Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia
transkortikal. Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu
penghubung antara area Broca dan area Wernicke.6

D. Manifestasi Klinis
Gejala dan Gambaran klinik Afasia: 3,9
1.Afasia global.
Afasia global ialah bentuk afasia yang paling berat. Koadaan ini ditandai oleh
tidak adanya lagi bahasa spontan atau berkurang sekali dan menjadi beberapa patah
kata yang diucapkan secara stereotip (itu-itu saja, berulang), misalnya : "iiya, iiya,
iiya", atau: "baaah, baaaah, baaaaah" atau: "amaaang, amaaang, amaaang".

Komprehensi menghilang atau sangat terbatas, misalnya hanya mengenal namanya


saja atau satu atau dua patah kata. Repetisi (mengulangi) juga sama berat
gangguannya seperti bicara spontan. Membaca dan menulis juga terganggu berat. 3,9
Afasia global disebabkan oleh lesi luas yang merusak sebagian besar atau
semua daerah bahasa. Penyebab lesi yang paling sering ialah oklusi arteri karotis
interna atau arteri serebri media pada pangkalnya. Kemungkinan

pulih

ialah

buruk. Afasia global hampir selalu disertai hemiparese atau hemiplegia yang
menyebabkan invaliditas khronis yang parah. 3,9
2.Afasia Broca.
Bentuk afasia ini sering kita lihat di klinik dan ditandai oleh bicara yang tidak
lancar, dan disartria, serta tampak melakukan upaya bila berbicara. Pasien sering atau
paling banyak mengucapkan kata-benda dan kata-kerja. Bicaranya bergaya telegram
atau

tanpa

tata-bahasa

(tanpa

grammar).

"Saya....sembuh....rumah....kontrol....ya..kon..trol."

Contoh:

"Periksa...lagi...makan...

banyak.."3,9
Mengulang (repetisi) dan membaca kuat-kuat sama terganggunya seperti
berbicara spontan. Pemahaman auditif dan pemahaman membaca tampaknya tidak
terganggu, namun pemahaman kalimat dengan tatabahasa yang kompleks sering
terganggu (misalnya memahami kalimat: "Seandainya anda berupaya untuk tidak
gagal, bagaimana rencana anda untuk maksud ini").3,9
Ciri klinik afasia Broca:3

Bicara tidak lancar

Tampak sulit memulai bicara

Kalimatnya pendek (5 kata atau kurang per kalimat)

Pengulangan (repetisi) buruk

Kemampuan menamai buruk

Kesalahan parafasia

Pemahaman lumayan (namun mengalami kesulitan memahami kalimat


yang sintaktis kompleks)

Gramatika bahasa kurang, tidak kompleks

Irama kalimat dan irama bicara terganggu


Menamai (naming) dapat menunjukkan jawaban yang parafasik. Lesi yang

menyebabkan afasia Broca mencakup daerah Brodmann 44 dan sekitarnya. Lesi yang
mengakibatkan afasia Broca biasanya melibatkan operkulum frontal (area Brodmann
45 dan 44) dan massa alba frontal dalam (tidak melibatkan korteks motorik bawah
dan massa alba paraventrikular tengah). Selain itu, ada pasien dengan lesi dikorteks
peri-rolandik, terutama daerah Brodmann 4; ada pula yang terganggu di daerah perirolandik dengan kerusakan massa alba yang ekstensif. 3,9
Ada pakar yang menyatakan bahwa bila kerusakan terjadi hanya di area
Broca di korteks, tanpa melibatkan jaringan di sekitarnya, maka tidak akan terjadi
afasia. Penderita afasia Broca sering mengalami perubahan emosional. seperti
frustasi dan depresi. Apakah hal ini disebabkan oleh gangguan berbahasanya
atau merupakan gejala yang menyertai lesi di lobus frontal kiri belum dapat
dipastikan. 3,9
Pemulihan terhadap berbahasa (prognosis) umumnya lebih baik daripada
afasia global. Karena pemahaman relatif baik, pasien dapat lebih baik beradaptasi
dengan keadaannya.9

3.Afasia Wernicke.
Pada kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Di klinik, pasien afasia
Wernicke ditandai oleh ketidakmampuan memahami bahasa lisan, dan bila ia
menjawab iapun tidak mampu mengetahui apakah jawabannya salah. la tidak mampu
memahami kata yahg diucapkannya, dan tidak mampu mengetahui kata yang
diucapkannya, apakah benar atau salah. Maka terjadilah kalimat yang isinya kosong,
berisi parafasia, dan neologisme. Misalnya menjawab pertanyaan: Bagaimana
keadaan ibu sekarang ? Pasien mungkin menjawab: "Anal saya lalu sana sakit tanding
tak berabir". Pengulangan (repetisi) terganggu berat. Menamai (naming) umumnya
parafasik. Membaca dan menulis juga terganggu berat. 9
Gambaran klinik afasia Wernicke:3

Keluaran afasik yang lancar

Panjang kalimat normal

Artikulasi baik

Prosodi baik

Anomia (tidak dapat menamai)

Parafasia fonemik dan semantik

Komprehensi auditif dan membaca buruk

Repetisi terganggu

Menulis lancar tapi isinya "kosong"

Penderita afasia jenis Wernicke ada yang menderita hemiparese, ada pula
yang tidak. Penderita yang tanpa hemiparese, karena kelainannya hanya atau terutama
pada berbahasa, yaitu bicara yang kacau disertai banyak parafasia, dan neologisme,
bisa-bisa disangka menderita psikosis. 9
Lesi yang menyebabkan afasia jenis Wernicke terletak di daerah bahasa
bagian posterior. Semakin berat defek dalam komprehensi auditif, semakin besar
kemungkinan lesi mencakup bagian posterior dari girus temporal superior. Bila
pemahaman kata tunggal terpelihara, namun kata kompleks terganggu, lesi cenderung
mengenai daerah lobus parietal, ketimbang lobus temporal superior. Afasia jenis
Wernicke dapat juga dijumpai pada lesi subkortikal yang merusak isthmus temporal
memblokir signal aferen inferior ke korteks temporal. 9
Penderita

dengan

defisit

komprehensi

yang

berat,

pronosis

penyembuhannya buruk, walaupun diberikan terapi bicara yang intensif. Afasia


konduksi. Ini merupakan gangguan berbahasa yang lancar (fluent) yang ditandai oleh
gangguan yang berat pada repetisi, kesulitan dalam membaca kuat-kuat (namun
pemahaman dalam membaca baik), gangguan dalam menulis, parafasia yang jelas,
namun umumnya pemahaman bahasa lisan terpelihara. Anomianya berat. 9
Terputusnya hubungan antara area Wernicke dan Broca diduga
menyebabkan manifestasi klinik kelainan ini. Terlibatnya girus supramarginal
diimplikasikan pada beberapa pasien. Sering lesi ada di massa alba subkortikal dalam di korteks parietal inferior, dan mengenai fasikulus arkuatus yang
menghubungkan korteks temporal dan frontal. 9
4.Afasia transkortikal.
Afasia transkortikal ditandai oleh repetisi bahasa lisan yang baik (terpelihara),
namun fungsi bahasa lainnya terganggu. Ada pasien yang mengalami kesulitan dalam
memproduksi bahasa, namun komprehensinya lumayan.3,9
Ada pula pasien yang produksi bahasanya lancar, namun komprehensinya
buruk. Pasien dengan afasia motorik transkortikal mampu mengulang (repetisi),

memahami dan membaca, namun dalam bicara -spontan terbatas, seperti pasien
dengan afasia Broca. Sebaliknya, pasien dengan afasia sensorik transkortikal dapat
mengulang (repetisi) dengan baik, namun tidak memahami apa yang didengarnya
atau yang diulanginya. Bicara spontannya dan menamai lancar, tetapi parafasik
seperti afasia jenis Wernicke. Sesekali ada pasien yang menderita kombinasi dari
afasia transkortikal motorik dan sensorik. Pasien ini mampu mengulangi kalimat yang
panjang, juga dalam bahasa asing, dengan tepat. Mudah mencetuskan repetisi pada
pasien ini, dan mereka cenderung menjadi ekholalia (mengulang apa yang
didengarnya).
Gambaran klinik afasia sensorik transkortikal: 3,9

Keluaran (output) lancar (fluent)

Pemahaman buruk

Repetisi baik

Ekholalia

Komprehensi auditif dan membaca terganggu

Defisit motorik dan sensorik jarang dijumpai

Didapatkan defisit lapangan pandang di sebelah kanan.

Gambaran klinik afasia motorik transkortikal:3,9

Keluaran tidak lancar (non fluent)

Pemahaman (komprehensi) baik

Repetisi baik

Inisiasi ot/fpunerlambat

Ungkapan-ungkapan singkat

Parafasia semantik

Ekholalia

Gambaran klinik afasia transkortikal campuran: 3,9

Tidak lancar (nonfluent)

Komprehensi buruk

Repetisi baik

Ekholalia mencolok
Afasia transkortikal disebabkan oleh lesi yang luas, berupa infark

berbentuk bulan sabit, di dalam zona perbatasan antara pembuluh darah serebral
mayor (misalnya di lobus frontal antara daerah arteri serebri anterior dan media).
Afasia transkortikal motorik terlihat pada lesi di perbatasan anterior yang menyerupai
huruf C terbalik (gambar 9-1). Lesi ini tidak mengenai atau tidak melibatkan korteks
temporal superior dan frontal inferior (area 22 dan 44 dan lingkungan sekitar) dan
korteks peri sylvian parietal. Korteks peri sylvian yang utuh ini dibutuhkan untuk
kemampuan mengulang yang baik.3,9

Penyebab yang paling sering dari afasia transkortikal ialah:3

Anoksia sekunder terhadap sirkulasi darah yang menurun, seperti yang


dijumpai pada henti-jantung (cardiac arrest).

Oklusi atau stenosis berat arteri karotis.

Anoksia oleh keracunan karbon monoksida.

Demensia.

5.Afasia anomik.
Ada pasien afasia yang defek berbahasanya berupa kesulitan dalam menemukan
kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya. Keadaan ini
disebut sebagai afasia anomik, nominal atau amnestik. Berbicara spontan biasanya
lancar dan kaya dengan gramatika, namun sering tertegun mencari kata dan terdapat
parafasia mengenai nama objek. 3,9
Gambaran klinik afasia anomik:3

Keluaran lancar

Komprehensi baik

Repetisi baik

Gangguan (defisit) dalam menemukan kata.


Banyak tempat lesi di hemisfer dominan yang dapat menyebabkan afasia

anomik, dengan demikian nilai lokalisasi jenis afasia ini terbatas. Anomia dapat
demikian ringannya sehingga hampir tidak terdeteksi pada percakapan biasa atau
dapat pula demikian beratnya sehingga keluaran spontan tidak lancar dan isinya
kosong. Prognosis untuk penyembuhan bergantung kepada beratnya defek inisial.
Karena output bahasa relatif terpelihara dan komprehensi lumayan utuh, pasien
demikian dapat menyesuaikan diri dengan lebih baik daripada jenis afasia lain yang
lebih berat. 3,9

Afasia dapat juga terjadi oleh lesi subkortikal, bukan oleh lesi kortikal
saja. Lesi di talamus, putamen-kaudatus, atau di kapsula interna, misalnya oleh
perdarahan atau infark, dapat menyebabkan afasia anomik. Mekanisme terjadinya
afasia dalam hal ini belum jelas, mungkin antara lain oleh berubahnya input ke serta
fungsi korteks di sekitarnya. 9
Beberapa bentuk afasia mayor:

E.

Bentuk
Afasia
Ekspresi
(Broca)

Ekspre
si
Tak
lancar

Komprehensi
verbal
Relatif
terpelihara

Repetisi

Menamai

Terganggu

Terganggu

Komprehensi
membaca
Bervariasi

Reseptif
(Wermic
ke)

Lancar

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Global

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Terganggu

Konduksi

Tak
lancar
Lancar

Relatif
terpelihara

Terganggu

Terganggu

Bervariasi

Terganggu

Nominal

Lancar

Relatif
terpelihara

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Bervariasi

Transkort
ikal
motor
Transkort
ikal
sensorik

Tak
lancar

Relatif
terpelihara

Terpelihara

Terganggu

Bervariasi

Terganggu

Lancar

Terganggu

Terpelihara

Terganggu

Terganggu

Terganggu

DIAGNOSIS

Menulis

Lesi

Terganggu

Fronta
Inferio
poster
Tempo
Superi
Poster
(Area
Werni
Fronto
tempo
Fasiku
arkual
girus
supram
inal
Girus
angula
tempo
superi
poster
Peri
sylvia
anterio
Perisy
nPoste

Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan
pada pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya
dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.2,3
F. DIAGNOSIS BANDING2,3

Kelainan psikiatri
Kelainan perkembangan
Mutism

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya,
misalnya stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.2,3
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati afasia
adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. 1,2,3,10,11
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:

Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik
jika pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan
dengan melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang
lebih banyak pula.

Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai


bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik,
dan stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis

stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.

Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti sesi
terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan,
seperti diuraikan dalan situs about: (10,11)
Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponen-komponen
emosional bahasa. Sebagai contoh, beberapa latihan akan mengharuskan pasien untuk
menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan nada emosi yang berbeda-beda.
Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan arti kata seperti kata "gembira."
Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien mempraktekkan kemampuan
komprehensif sementara tetap fokus pada pemahaman komponen emosi dari bahasa.
Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori.
Termasuk gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat
kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada semantik
(arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang digunakan
selama terapi adalah stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu, peningkatan kemampuan
berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan pengulangan.
Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks
sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka pelajari
selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan balik dari para
terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan anggota keluarga.
Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi pasien dengan orangorang tercinta mereka.
PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan
bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan
AFASIA 9

sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis.
Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan
lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan digunakan
oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam percakapan. Pasien dan
terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan
mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan
kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak
tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang lebih
besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.
H.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan kelancaran berbicara. Seseorang disebut berbicara , lancar


bila bicara spontannya lancar, tanpa tertegun-tegun untuk mencari Kata yang
diinginkan. Kelancaran berbicara verbal merupakan refleksi dari efisiensi
menemukan kata. Bila kemampuan ini diperiksa secara khusus ilnpat dideteksi
masalah berbahasa yang ringan pada lesi otak yang ringan iiImii pada demensia dini.
Defek yang ringan dapat dideteksi melalui tes kelancaraan, menemukan kata yaitu
jumlah kata tertentu yang dapat diproduksi selama jangka waktu yang terbatas.
Misalnya menyebutkan sebanyak-banyaknya nama jenis hewan selama jangka waktu
satu menit, untuk menyebutkan kata-kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S atau huruf B dalam satu menit.
Menyebutkan nama hewan : Pasien disuruh menyebutkan sebanyak
mungkin nama hewan dalam waktu 60 detik. Kita catat jumlahnya serta kesalahan
yang ada, misalnya parafasia. Skor : Orang normal umumnya mampu menyebutkan
18 - 20 nama hewan selama 60 detik, dengan variasi I

5 - 7.

Usia merupakan faktor yang berpengaruh secara bermakna dalam tugas


ini. Orang normal yang berusia di bawah 69 tahun akan mampu menyebutkan 20
nama hewan dengan simpang baku 4,5.
Kemampuan ini menurun menjadi 17 (+ 2,8) pada usia 70-an, dan menjadi
15,5 ( 4,8) pada usia 80-an. Bila skor kurang dari 13 pada orang normal di bawah
usia 70 tahun, perlu dicurigai adanya gangguan dalam kelancaran berbicara verbal.
Skor yang dibawah 10 pada usia dibawah 80 tahun, sugestif bagi masalah penemuan
kata. Pada usia 85 tahun skor 10 mungkin merupakan batas normal bawah.
Menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu: Kepada pasien dapat
juga diberikan tugas menyebutkan kata yang mulai dengan huruf tertentu, misalnya
huruf S, A atau P. Tidak termasuk nama orang atau nama kota. Skor: Orang normal
umumnya dapat menyebutkan sebanyak 36 - 60 kata, tergantung pada usia, inteligensi
dan tingkat pendidikan. Kemampuan yang hanya sampai 12 kata atau kurang untuk
tiap huruf di atas merupakan petunjuk adanya penurunan kelancaran berbicara verbal.
Namun kita harus hati-hati monginterpretasi tes ini pada pasien dengan tingkat
pendidikan tidak melebihi tingkat Sekolah Menengah Pertama.
Pemeriksaan pemahaman (komprehensi) bahasa lisan
Kemampuan pasien yang afasia untuk memahami sering sulit dlnllal
Pemeriksaan klinis disisi-ranjang dan tes yang baku cenderung kurang cukup dan
dapat memberikan hasil yang menyesatkan. Langkah terakhir dapat digunakan untuk
mengevaluasi pemahaman (komprehensi) secara klinis, yaitu dengan cara konversasi,
suruhan, pilihan (ya atau tidak), dan menunjuk.
Konversasi. Dengan mengajak pasien bercakap-cakap dapat dinilai
kemampuannya memahami pertanyaan dan suruhan yang diberikan oleh pemeriksa.
Suruhan. Serentetan suruhan, mulai dari yang sederhana (Satu langkah)
sampai pada yang sulit (banyak langkah) dapat digunakan untuk menilai kemampuan
pasien memahami. Mula-mula suruh pasien bertepuk tangan, kemudian tingkatkan
kesulitannya, misalnya: mengambil pinsil, letakkan di kotak dan taruh kotak di atas

kursi (suruhan ini dapat gagal pada pasien dengan apraksia dan gangguan motorik,
walaupun pemahamannya baik; hal ini harus diperhatikan oleh pemeriksa).
Pemeriksa dapat pula mengeluarkan beberapa benda, misalnya kunci,
duit, arloji, pulpen. Suruh pasien menunjukkan salah satu benda tersebut, misalnya
arloji. Kemudian suruhan dapat dlpermilit, misalnya: tunjukkan jendela, setelah itu
arloji, kemudian pulpen. Pasien tanpa afasia dengan tingkat inteligensi yang rata-rata
mampu menunjukkan 4 atau lebih objek pada suruhan yang beruntun. Pasien dengan
Afasia mungkin hanya mampu menunjuk sampai 1 atau 2 objek saja. Jadi, pada
pemeriksaan ini pemeriksa (dokter) menambah jumlah objek yang hams ditunjuk,
sampai jumlah berapa pasien selalu gagal.
Ya atau tidak.

Kepada pasien dapat juga diberikan tugas berbentuk

pertanyaan yang dijawab dengan "ya" atau "tidak". Mengingat kemungkinan salah
ialah

50%, jumlah

pertanyaan

harus

banyak,

paling sedikit 6 pertanyaan,

misalnya :
"Andakah yang bernama Santoso?"
"Apakah AC dalam ruangan ini mati ?"
"Apakah ruangan ini kamar di hotel ?"
"Apakah diluar sedang hujan?"
"Apakah saat ini malam hari?"
Menunjuk. Kita mulai dengan suruhan yang mudah difahami dan
kemudian meningkat pada yang lebih sulit. Misalnya: "tunjukkan lampu", kemudian
"tunjukkan gelas yang ada disamping televisi".
Pemeriksaan sederhana ini, yang dapat dilakukan di sisi-ranjang, kurang
mampu menilai kemampuan pemahaman dengan baik sekali, namun dapat
memberikan gambaran kasar mengenai gangguan serta beratnya. Korelasi anatomis
dengan komprehensi adalah kompleks.
Pemeriksaan repetisi (mengulang)

Kemampuan mengulang dinilai dengan menyuruh pasien mengulang,


mula-mula kata yang sederhana (satu patah kata), kemudian ditingkatkan menjadi
banyak (satu kalimat). Jadi, kita ucapkan kata atau angka, dan kemudian pasien
disuruh mengulanginya.
Cara pemeriksaan
Pasien disuruh mengulang apa yang diucapkan oleh pemeriksa. Mula-mula sederhana
kemudian lebih sulit. Contoh:

Map

Bola

Kereta

Rumah Sakit

Sungai Barito

Lapangan Latihan

Kereta api malam

Besok aku pergi dinas

Rumah ini selalu rapi

Sukur anak itu naik kelas

Seandainya si Amat tidak kena influensa

Pemeriksa harus memperhatikan apakah pada tes repetisi ini didapatkan


parafasia, salah tatabahasa, kelupaan dan penambahan.
Orang normal umumnya mampu mengulang kalimat yang mengandung 19
suku-kata.
Banyak pasien afasia yang mengalami kesulitan dalam mengulang (repetisi),
namun ada juga yang menunjukkan kemampuan yang baik dalam hal mengulang, dan
sering lebih baik daripada berbicara spontan.
Umumnya dapat dikatakan bahwa pasien afasia dengan gangguan
kemampuan mengulang mempunyai kelainan patologis yang melibatkan daerah
peri-sylvian. Bila kemampuan mengulang terpelihara, maka daerah -sylvian bebas
dari kelainan patologis.
Umumnya daerah

ekstra-sylvian

yang terlibat dalam

kasus

afasia

tanpa defek repetisi terletak di daerah perbatasan vaskuler (area water-shed).


Pemeriksaan menamai dan menemukan kata
Kemampuan menamai objek merupakan salah satu dasar fungsi herbahasa. Hal ini
sedikit-banyak terganggu pada semua penderita afasia. Dengan demikian, semua tes
yang digunakan untuk menilai afasia mencakup penilaian terhadap kemampuan ini.
Kesulitan menemukan kata erat kaitannya dengan kemampuan menyebut nama
(menamai) dan hal ini disebut anomia.
Penilaian harus mencakup kemampuan pasien menyebutkan nama objek, bagian dari
objek, bagian tubuh, warna, dan bila perlu gambar geometrik, simbol matematik atau
nama suatu tindakan. Dalam hal ini, perlu digunakan aitem yang sering digunakan
(misalnya sisir, arloji) dan yang jarang ditemui atau digunakan (misalnya pedang).
Banyak penderita afasia yang masih mampu menamai objek yang sering ditemui atau
digunakan dengan cepat dan tepat, namun lamban dan tertegun, dengan sirkumlokusi
(misalnya, melukiskan kegunaannya) atau parafasia pada objek yang jarang
dijumpainya.

Bila pasien tidak mampu atau sulit menamai, ia dapat dibantu dengan memberikan
suku

kata

pemula

atau

dengan

menggunakan

kalimat

penuntun. Misalnya: pisau. Kita dapat membantu dengan suku kata pi


Atau dengan kalimat: "kita memotong daging dengan

". Yang penting kita nilai

ialah sampainya pasien pada kata yang dibutuhkan, kemampuannya (memberi nama
objek). Ada pula pasien yang mengenal objek dan mampu melukiskan kegunaannya
(sirkumlokusi) namun tidak dapat menamainya. Misalnya bila ditunjukkan kunci ia
mengatakan : "Anu ... itu...untuk masuk rumah...kita putar".
Cara pemeriksaan. Terangkan kepada pasien bahwa ia akan disuruh menyebutkan
nama beberapa objek juga warna dan

bagian dari

objek tersebut. Kita dapat

menilai dengan memperlihatkan misalnya arloji, bolpoin, kaca mata,

kemudian

bagian dari arloji (jarum menit, detik), lensa kaca mata. Objek atau gambar objek
berikut dapat digunakan:

Objek yang ada di ruangan: meja, kursi, lampu, pintu,

jendela. Bagian dari tubuh: mata, hidung, gigi, ibu jari, lutut
Warna: merah, biru, hijau, kuning, kelabu.
Bagian dari objek:

jarum jam, lensa kaca mata, sol sepatu, kepala ikat pinggang,

bingkai kaca mata.


Perhatikanlah apakah pasien dapat menyebutkan nama objek dengan cepat atau
lamban atau tertegun atau menggunakan sirkumlokusi, parafasia, neologisme dan
apakah ada perseverasi. Disamping menggunakan objek, dapat pula digunakan
gambar objek.
Bila pasien tidak mampu menyebutkan nama objek, dapatkah ia memilih nama objek
tersebut dari antara beberapa nama objek.
Gunakanlah sekitar 20 objek sebelum menentukan bahwa tidak didapatkan gangguan.
Area bahasa di posterior ialah area kortikal yang terutama bertugas memahami bahasa
lisan. Area ini biasa disebut area Wernicke; mengenai batasnya belum ada
kesepakatan. Area bahasa bagian frontal berfungsi untuk produksi bahasa. Area
Brodmann 44 merupakan area Broca.

Penelitian dengan PET (positron emission tomography) tentang meta-bolisme


glukosa pada penderita afasia, menyokong spesialisasi regional tugas ini. Namun
demikian, pada hampir semua bentuk afasia, tidak tergantung pada jenisnya, didapat
pula bukti adanya hipometabolisme di daerah temporal kiri. Penelitian ini memberi
kesan bahwa sistem bahasa sangat kompleks secara anatomi-fisiologi, dan bukan
merupakan kumpulan dari pusat-pusat kortikal dengan tugas-tugas terbatas atau
terpisah-pisah atau sendiri-sendiri.

Pemeriksaan sistem bahasa


Evaluasi sistem bahasa harus dilakukan secara sistematis. Perlu diperhatikan
bagaimana

pasien

berbicara

spontan,

komprehensi

(pemahaman),

repetisi

(mengulang) dan menamai (naming).


Membaca dan menulis harus dinilai pula setelah evaluasi bahasa lisan. Selain itu,
perlu pula diperiksa sisi otak mana yang dominan, dengan melihat penggunaan
tangan (kidal atau kandal).
Dengan melakukan penilaian yang sistematis biasanya dalam waktu yang singkat
dapat diidentifikasi adanya afasia serta jenisnya. Pasien yang afasia selalu agrafia dan
sering aleksia, dengan demikian pengetesan membaca dan menulis dapat
dipersingkat. Namun demikian, pada pasien yang tidak afasia, pemeriksaan membaca
dan menulis harus dilakukan sepenuhnya, karena aleksa atau agrafia atau keduanya
dapat terjadi terpisah (tanpa afasia).
Pemeriksaan penggunaan tangan (kidal atau kandal)
Penggunaan tangan dan sisi otak yang dominan mempunyai kaitan yang erat Sebelum
menilai bahasa perlu ditentukan sisi otak mana yang dominan, dengan melihat
penggunaan tangan. Mula-mula tanyakan kepadn p irsion apakah ia kandal (right
handed) atau kidal. Banyak orang kidal telah illnjarkan sejak kecil untuk menulis
dengan tangan kanan. Dengan ilcmikian, mengobservasi cara menulis saja tidak

cukup untuk menentukan npakah seseorang kandal atau kidal. Suruh pasien
memperagakan tangan mana yang digunakannya untuk memegang pisau, melempar
bola, dsb.
Tanyakan pula apakah ada juga kecenderungannya menggunakan tangan yang
lainnya. Spektrum penggunaan tangan bervariasi dari kandal yang kuat; kanan sedikit
lebih kuat dari kiri; kiri sedikit lebih kuat dan kanan dan kidal yang kuat. Ada
individu yang kecenderungan kandal dan kidalnya hampir sama (ambi-dextrous)
Pemeriksaan berbicara - spontan
Langkah pertama dalam menilai berbahasa ialah mendengarkan bagaimana pasien
berbicara spontan atau bercerita. Dengan mendengnrknn pasien berbicara spontan
atau bercerita, kita dapat memperoleh data yang sangat berharga mengenai
kemampuan pasien berbahasa. Cara Ini tidak kalah pentingnya dari tes-tes bahasa
yang formal.
Kita dapat mengajak pasien berbicara spontan atau berceritera melalui pertanyaan
berikut : Coba ceriterakan kenapa anda sampai dirawat di rumah sakit. Coba ceritakan
mengenai pekerjaan anda serta hobi anda.
Bila mendengarkan pasien berbicara spontan atau bercerita, perhatikan:
1. Apakah bicaranya pelo, cadel, tertegun-tegun, disprosodik (irama, ritme,
intonasi bicara terganggu).

Pada afasia sering ada gangguan ritme dan

irama (disprosodi).
2. Apakah

ada

(parafasia,

afasia,

kesalahan

sintaks,

neologisme), dan perseverasi.

salah

menggunakan

kata

Perseverasi sering dijumpai

pada afasia.
Parafasia. Parafasia ialah men-substitusi kata. Kita mengenai 2 jenis parafasia, yaitu
parafasia semantik (verbal) dan parafasia fonomik (literal). Parafasia semantik ialah

mensubstitusi satu kata dengan kata yang lain misalnya: "kucing" dengan "anjing".
Parafasia fonemik, ialah mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi yang lain, misalnya
bir dengan kir, balon dengan galon.
Afasia motorik yang berat biasanya mudah dideteksi. Pasien berbicaranya sangat
terbatas atau hampir tidak ada; mungkin ia hanya mengucapkan: "ayaa, ayaa, aaai,
Hi".
Sesekali ditemukan kasus dimana pasien sangat terbatas kemampuan bicaranya,
namun bila ia marah, beremosi tinggi, keluar ucapan makian yang cara
mengucapkannya cukup baik.
Afasia ialah kesulitan dalam memahami dan/atau memproduksi bahasa yang
disebabkan oleh gangguan (kelainan, penyakit) yang melibatkan hemisfer otak.
Didapatkan berbagai jenis afasia, masing-masing mempunyai pola abnormalitas yang
dapat dikenali, bila kita berbincang dengan pasien serta melakukan beberapa tes
sederhana.
Pada semua pasien dengan afasia didapatkan juga gangguan membaca dan
menulis (aleksia dan agrafia)
Pada afasia semua modalitas berbahasa sedikit-banyak terganggu, yaitu bicara
spontan, mengulang (repetisi), namai (naming), pemahaman bahasa, membaca dan
menulis.
Pada lesi di frontal, pasien tidak bicara atau sangat sedikit bicara, dan mengalami
kesulitan atau memerlukan banyak upaya dalam berbicara. Selain itu gramatikanya
miskin (sedikit) dan menyisipkan atau mengimbuh huruf atau bunyi yang salah, serta
terdapat perseverasi. Pasien sadar akan kekurangan atau kelemahannya. Pemahaman
terhadap bahasa lisan dan tulisan kurang terganggu dibandingkan dengan kemampuan
mengemukakan isi pikiran. Menulis sering tidak mungkin atau sangat terganggu, baik
motorik menulis maupun isi tulisan.
Pada lesi di temporo-parietal pasien justru bicara terlalu banyak, cara mengucapkan
baik dan irama kalimat juga baik, namun didapat gangguan berat pada, mem-

formulasi dan menamai sehingga kalimat yang diucapkan tidak mempunyai arti.
Bahasa fisan dan tulisan tidak atau kurang difahami, dan menulis secara motorik
terpelihara, namun isi tulisan tak menentu. Pasien tidak begitu sadar akan
kekurangannya.
Afasia jenis yang disebutkan pertama disebut afasia Broca, atau afasia motorik atau
afasia ekspresif. Afasia jenis ke dua disebut jenis Wernicke atau sensorik atau
reseptif.
Kadang dijumpai pasien dengan gangguan yang berat pada semua modalitas bahasa.
Pasien sama sekali tidak bicara atau hanya bicara sepatah kata atau frasa,
yang

selalu

diulang-ulang,

dengan

artikulasi

(pengucapan) dan irama yang

buruk dan tidak bermakna.


Hal ini disebut afasia global. Lesi biasanya melibatkan semua daerah bahasa di
sekitar fisura sylvii.
Kadang afasia ditandai oleh kesulitan menemukan nama, sedangkan modalitas
lainnya relatif utuh. Pasien mengalami kesulitan menamai sesuatu benda. Pada pasien
demikian kita dengar ungkapan seperti : "anu, itu, kau, kau tahu kan, ya anu itu".
Afasia amnestik ini sering merupakan sisa afasia yang hampir pulih, pada afasia yang
tersebut terdahulu, namun dapat juga dijumpai pada berbagai gangguan otak yang
difus. Afasia amnestik mempunyai nilai lokalisasi yang kecil.
Adakalanya digunakan kata afasia campuran. Sebetulnya kata ini kurang tepat, karena
di klinik semua jenis afasia adalah campuran, hanya bidang tertentu lebih menonjol
atau lebih berat.
Berbagai tes wawabcara, membaca, menulis, menggambar, ataupun melakukan tugastugas tertentu bias digunakan untuk mengetahui terjadinya kerusakan otak, dan
tinggal dicocokkan dengan pemeriksaan CT-Scan pada otak. Pemeriksaan ini sangat
penting untuk terapi dan rehabilitasi,pasien
I. PROGNOSA

Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu
tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil, sedangkan
afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat baik. Prognosis
hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada
ukuran lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia
Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit disembuhkan,
misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk

KLASIFIKASI

KELANCARAN

PEMAHAMAN

BAIK

PENGULANGAN

BAIK

BURUK
LANCAR
BAIK

ANONIK

KONDUKSI

TRANSKORTIKAL
SENSORIK

BURUK

BAIK

JENIS

BURUK

WERNICKE

BAIK

TRANSKORTIKAL
MOTORIK

BURUK
TAK LANCAR
BAIK
BURUK

BROCA

TRANSKORTIKAL
CAMP

BURUK

GLOBAL

Klasifikasi afasia (Marshall, 1997, Lumban Tobing, 2000)

AFASIA

Oleh :
Wendri Dewi Fitrianingrum
14710047

Pembimbing
dr.Supraptiningsih, Sp.S

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2016

A F A S I A AFASIA 1

--------------------------- AFASIA --------------------------DEFINISI


Afasia adalah suatu gangguan berbahasa yang diakibatkan oleh kerusakan otak.
Afasia tidak termasuk gangguan perkembangan bahasa (disebut juga disfasia),
gangguan bicara motorik murni, ataupun gangguan berbahasa sekunder akibat
gangguan pikiran primer, misalnya skizofrenia.(1,2,3,4,5)
Afasia mencakup gangguan berbahasa secara menyeluruh walaupun biasanya
terdapat gangguan yang lebih menonjol daripada gangguan lainnya. Tercakup di
dalam afasia adalah gangguan yang lebih selektif, misalnya gangguan membaca
(alexia) atau gangguan menulis (agrafia). Gangguan yang berkaitan misalnya
apraksia (gangguan belajar atau ketrampilan), gangguan mengenal (agnosia),
gangguan menghitung (akalkulias), serta defisit perilaku neurologis seperti
demensia dan delirium. Ini semua bisa muncul bersama-sama dengan afasia atau
muncul sendiri.(2,3)
ETIOLOGI
Afasia adalah suatu tanda klinis dan bukan penyakit. Afasia dapat timbul akibat
cedera otak atau proses patologik pada area lobus frontal, temporal atau parietal
yang mengatur kemampuan berbahasa, yaitu Area Broa, Area Wernicke, dan jalur
yang menghubungkan antara keduanya. Kedua area ini biasanya terletak di
hemisfer kiri otak dan pada kebanyakan orang, bagian hemisfer kiri merupakan
tempat kemampuan berbahasa diatur.(1,2,3,6,7,8)
Pada dasarnya kerusakan otak yang menimbulkan afasia disebabkan oleh stroke,
cedera otak traumatik, perdarahan otak aku dan sebagainya. Afasia dapat muncul
perlahan-lahan seperti pada kasus tumor otak. Afasia juga terdaftar sebagai efek
samping yang langka dari fentanyl, suatu opioid untuk penanganan nyeri kronis.
(2,3) AFASIA 2

PATOFISIOLOGI
Afasia terjadi akibat kerusakan pada area pengaturan bahasa di otak. Pada
manusia, fungsi pengaturan bahasa mengalami lateralisasi ke hemisfer kiri otak
pada 96-99% orang yang dominan tangan kanan (kinan) dan 60% orang yang
dominan tangan kiri (kidal). Pada pasien yang menderita afasia, sebagian besar
lesi terletak pada hemisfer kiri.(2,3,6,7,8)
Afasia paling sering muncul akibat stroke, cedera kepala, tumor otak, atau
penyakit degeneratif. Kerusakan ini terletak pada bagian otak yang mengatur
kemampuan berbahasa, yaitu area Broca dan area Wernicke.(2,3)
Area Broca atau area 44 dan 45 Broadmann, bertanggung jawab atas pelaksanaan
motorik berbicara. Lesi pada area ini akan mengakibatkan kersulitan dalam
artikulasi tetapi penderita bisa memahami bahasa dan tulisan.(6,7,8,9)
Area Wernicke atau area 41 dan 42 Broadmann, merupakan area sensorik
penerima untuk impuls pendengaran. Lesi pada area ini akan mengakibatkan
penurunan hebat kemampuan memahami serta mengerti suatu bahasa.(6,7,8,9)
Secara umum afasia muncul akibat lesi pada kedua area pengaturan bahasa di atas.
Selain itu lesi pada area disekitarnya juga dapat menyebabkan afasia transkortikal.
Afasia juga dapat muncul akibat lesi pada fasikulus arkuatus, yaitu penghubung
antara area Broca dan area Wernicke.(6)
KLASIFIKASI
Dasar untuk mengklasifikasi afasia beragam, diantaranya ada yang mendasarkan
kepada:
Manifestasi klinik
Distribusi anatomi dari lesi yang bertanggung jawab bagi defek
Gabungan pendekatan manifestasi klinik dengan lesi anatomik
AFASIA 3

Gambar 1. Area pengaturan bahasa pada otak. Lesi pada area ini akan
menyebabkan afasia
Berdasarkan manifestasi klinik, afasia dapat dibedakan atas: (1,2,3,4,5,6)
Afasia tidak lancar atau non-fluent
Afasia lancar atau fluent
Berdasarkan lesi anatomik, afasia dapat dibedakan berdasarkan: (1,2,3,4,5,6,7,8,9)
Sindrom afasia peri-silvian
Afasia Broca (motorik, ekspresif)
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif)
Afasia konduksi
Sindrom afasia daerah perbatasan (borderzone)
Afasia transkortikal motorik
Afasia transkortikal sensorik
Afasia transkortikal campuran
AFASIA 4

Sindrom afasia subkortikal


Afasia talamik
Afasia striatal
Sindrom afasia non-lokalisasi
Afasian anomik
Afasia global
Sebagai tambahan, ada yang disebut dengan parafasia. Parafasia ialah
mensubstitusi kata. Ada 2 jenis parafasia, yaitu parafasia semantik (verbal) dan
parafasia fonemik (literal). Parafasia semantik ialah mensubstitusi satu kata
dengan kata lain, misalnya kucing dengan anjing. Parafasia fonemik ialah
mensubstitusi suatu bunyi dengan bunyi lain, misalnya bir dengan kir.(6)
DIAGNOSIS
Diagnosis afasia ialah berdasarkan tanda dan gejala klinis yang ditemukan pada
pemeriksaan fisik dan kejiwaan. Sedangkan pemeriksaan tambahan lainnya
dilakukan untuk mengetahui penyebab kerusakan otaknya.(2,3)
Manifestasi Klinik
Afasia tidak lancar. Pada afasia ini, output atau keluaran bicara terbatas.
Penderita menggunakan kalimat pendek dan bicara dalam bentuk sederhana.
Sering disertai artikulasi dan irama bicara yang buruk.
Gambaran klinisnya ialah:
Pasien tampak sulit memulai bicara
Panjang kalimat sedikit (5 kata atau kurang per kalimat)
Gramatika bahasa berkurang dan tidak kompleks
Artikulasi umumnya terganggu
Irama bicara terganggu
Pemahaman cukup baik, tapi sulit memahami kalimat yang lebih kompleks
Pengulanan (repetisi) buruk
Kemampuan menamai, menyebut nama benda buruk

AFASIA 5

Afasia lancar. Pada afasia ini penderita bicara lancar, artikulasi dan irama
baik, tetapi isi bicara tidak bermakna dan tidak dapat dimengerti artinya. Penderita
tidak dapat mengerti bahasa sehingga tidak dapat berbicara kembali. Gambaran
klinisnya ialah:
Keluaran bicara yang lancar
Panjang kalimat normal
Artikulasi dan irama bicara baik
Terdapat parafasia
Kemampuan memahami pendengaran dan membaca buruk
Repetisis terganggu
Menulis lancar tadi tidak ada arti
Seorang afasia yang non-fluen mungkin akan mengatakan dengan tidak lancar dan
tertegun-tegun: mana rokok beli.
Sedangkan seorang afasia fluen mungkin akan mengatakan dengan lancar: rokok
beli tembakau kemana situ tadi gimana dia toko jalan
Afasia Broca (motorik, ekspresif). Disebabkan lesi di area Broca.
Pemahaman auditif dan membaca tidak terganggu, tetapi sulit mengungkapkan isi
pikiran. Gambaran klinis afasia Broca ialah bergaya afasia non-fluent.
Afasia Wernicke (sensorik, reseptif). Disebabkan lesi di area Wernicke. Pada
kelainan ini pemahaman bahasa terganggu. Penderita tidak mampu memahami
bahasa lisan dan tulisan sehingga ia juga tidak mampu menjawab dan tidak
mengerti apa yang dia sendiri katakan. Gambaran klinis afasia Wernicke ialah
bergaya afasia fluent.
Afasia Konduksi. Disebabkan lesi di area fasciculus arcuatus yaitu
penghubung antara area sensorik (wernicke) dan area motorik (broca). Lesi ini
menyebabkan kemampuan berbahasa dan pemahaman yang baik tetapi didapati
adanya gangguan repetisi atau pengulangan.

AFASIA 6

Afasia transkortikal. Disebabkan lesi di sekitar pinggiran area pengaturan


bahasa. Pada dasarnya afasia transkortikal ditandai oleh terganggunya fungsi
berbahasa tetapi didapati repetisi bahasa yang baik dan terpelihara.
Afasia transkortikal motorik, ditandai dengan tanda afasia Broca dengan
bicara non-fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan
terpelihara.
Afasia transkortikal sensorik, ditandai dengan tanda afasia Wernick dengan
bicara fluent, tetapi repetisi atau kemampuan mengulangnya baik dan terpelihara.
Afasia transkortikal campuran, ditandai dengan campuran tanda afasia
Broca dan Wernicke. penderita bicara non-fluent atau tidak lancar, tetapi juga
disertai kemampuan memahami bahasa yang buruk, sementara kemampuan
mengulang atau repetisi tetap baik.
Afasia talamik, disebabkan lesi pada talamus, dan afasia striatal disebabkan
lesi pada capsular-striatal, yang keduanya juga berperan dalam pengaturan bahasa.
Pada kedua afasia ini terdapat tanda afasia anomik
Afasia anomik, merupakan suatu afasia dimana penderita kesulitan
menemukan kata dan tidak mampu menamai benda yang dihadapkan kepadanya.
Bicara, gramatika dan irama lancar, tetapi sering tertegun ketika mencari kata dan
mengenal nama objek.
Afasia global, adalah bentuk afasia yang paling berat. Ini disebabkan lesi yang
luas yang merusak sebagian besar atau semua area bahasa pada otak. Keadaan ini
ditandai oleh tidak ada lagi atau berkurang sekali bahasa spontan dan menjadi
beberapa patah kata yang diucapkan secara berulang-ulang, misalnya baaah,

baaah, baaah atau maaa, maaa, maaa. Pemahaman bahasa hilang atau
berkurang. Repetisi, membaca dan menulis
AFASIA 7

juga terganggu berat. Afasia global hampir selalu disertai dengan hemiparese atau
hemiplegia.
Pemeriksaan tambahan
Pemeriksaan laboratorium, hanya diperlukan tergantung dari penyebab kerusakan
otaknya. Diagnosis afasia terutama berasal dari pemeriksaan klinik dan kejiwaan
karena afasia merupakan tanda klinis.(2)
Pemeriksaan radiologi, biasanya dilakukan dalam hal untuk melokalisasi lesi dan
mendiagnosa penyebab kerusakan otak. CT (Computed Tomography) Scan efektif
untuk mengetahui adanya perdarahan otak atau stroke iskemik yang sudah lebih
dari 48 jam. MRI (Magnetic Resonance Imaging) mampu mendeteksi stroke
sesegera mungkin sampai 1 jam setelah onset. Penggunaan kontras mungkin perlu
untuk mendeteksi tumor.(2)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan afasia terlebih dahulu didasarkan pada penyebabnya, misalnya
stroke, perdarahan akut, tumor otak, dan sebagainya.(2,3)
Tidak ada penanganan atau terapi untuk afasia yang benar-benar efektif dan
terbukti mengobati. Saat ini, penanganan yang paling efektif untuk mengobati
afasia adalah dengan melakukan terapi wicara/bina wicara. (1,2,3,10,11)
Prinsip umum dari terapi wicara adalah:
Terlepas dari jenis terapi afasia yang digunakan, hasilnya akan lebih baik jika
intensitas terapi ditingkatkan. Dengan kata lain, hasil terapi akan lebih baik jika
pasien melakukan beberapa sesi terapi selama beberapa hari dibandingkan dengan
melakukan banyak sesi terapi dalam sehari dengan jumlah hari yang lebih banyak
pula.
Efektivitas terapi afasia akan meningkat jika terapis menggunakan berbagai
bentuk stimulus sensori. Sebagai contoh, stimulus audio dalam bentuk musik, dan
stimulus visual dalam bentuk gambar-gambar, serta lukisan. Jenis
AFASIA 8

stimulus ini sebaiknya digunakan secara rutin selama mengikuti sesi terapi afasia.

Peningkatan kesulitan dalam praktek latihan tes berbahasa selama mengikuti


sesi terapi akan memberikan hasil yang lebih baik.
Berikut merupakan beberapa bentuk terapi afasia yang paling sering digunakan,
seperti diuraikan dalan situs about: (10,11)
Terapi kognitif linguistik. Bentuk terapi ini menekankan pada komponenkomponen

emosional

bahasa.

Sebagai

contoh,

beberapa

latihan

akan

mengharuskan pasien untuk menginterpretasikan karakteristik dari suara dengan


nada emosi yang berbeda-beda. Ada juga yang meminta pasien mendeskripsikan
arti kata seperti kata "gembira." Latihan-latihan seperti ini akan membantu pasien
mempraktekkan

kemampuan

komprehensif

sementara

tetap

fokus

pada

pemahaman komponen emosi dari bahasa.


Program stimulus. Jenis terapi ini menggunakan berbagai modalitas sensori.
Termasuk gambar-gambar dan musik. Program ini diperkenalkan denngan tingkat
kesukaran yang meningkat dari tingkat yang mudah ke tingkat yang sulit.
Stimulation-Fascilitation Therapy. Jeni terapi afasia ini lebih fokus pada
semantik (arti) dan sintaksis (sususan kalimat) dari bahasa. Stimulus utama yang
digunakan selama terapi adalah stimulus audio. Prinsip terapi ini yaitu,
peningkatan kemampuan berbahasa akan lebih baik jika dilakukan dengan
pengulangan.
Terapi kelompok (group therapy). Dalam terapi ini, pasien disediakan konteks
sosial untuk mempraktekkan kemampuan berkomunikasi yang telah mereka
pelajari selama sesi pribadi. Selain itu, mereka juga akan mendapatkan umpan
balik dari para terapis dan pasien lainnya. Hal ini bisa juga dilakukan dengan
anggota keluarga. Efeknya akan sama sekaligus juga mempererat komunikasi
pasien dengan orang-orang tercinta mereka.
PACE (Promoting Aphasic's Communicative Effectiveness). Ini merupakan
bentuk terapi pragmatik yang paling terkenal. Jenis terapi afasia ini bertujuan
meningkatkan kemampuan berkomunikasi dengan menggunakan percakapan
AFASIA 9

sebagai alatnya. Dalam terapi ini, pasien akan terlibat percakapan dengan terapis.
Untuk menstimulus komunikasi yang spontan, jenis terapi ini akan menggunakan
lukisan-lukisan, gambar, serta benda-benda visual. Benda-benda ini akan
digunakan oleh pasien sebagai sumber ide untuk dikomunikasikan dalam
percakapan. Pasien dan terapi secara bergiliran akan menyampaikan ide-ide
mereka.
Transcranial Magnetic Stimulation (TMS). Terapi ini dilakukan dengan
mendekatkan magnet langsung ke area otak yang diduga menghambat pemulihan
kemampuan berbahasa setelah stroke. Dengan menekan fungsi dari bagian otak
tersebut, maka pemulihan diharapakan akan semakin cepat. Beberapa studi telah
menunjukkan hasil yang menggembirakan. Tetapi, masih diperlukan studi yang
lebih besar untuk membuktikan efektivitas terapi ini.
PROGNOSA
Prognosa hidup untuk pendertia afasia tergantung pada penyebab afasia. Suatu
tumor otak dapat dihubungkan dengan angka harapan hidup yang kecil,
sedangkan afasia dengan stroke minor mungkin memiliki prognosis yang sangat
baik. Prognosis hidup ditentukan oleh penyebab afasia tersebut.(2)
Prognosis kesembuhan kemampuan berbahasa bervariasi, tergantung pada ukuran
lesi dan umur serta keadaan umum pasien. Secara umum, pasien dengan tanda
klinis yang lebih ringan memiliki kemungkinan sembuh yang lebih baik. Afasia
Broca secara fungsional memiliki prognosis yang lebih baik daripada afasia
Wernicke. Terakhir, afasia akibat penyakit yang tidak dapat atau sulit
disembuhkan, misalnya tumor otak, memiliki tingkat prognosis yang buruk.(2)
AFASIA 10

DAFTAR PUSTAKA

1. Sidiarto L, Kusumoputro S. 1999. Cermin Dunia Kedokteran, Afasia Sebagai


Gangguan Komunikasi Pada Kelainan Otak. Bagian Neurologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2. Kirshner HS, Jacobs DH. eMedicine Neurology Specialties: Aphasia. 2009.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/1135944-print
3. Bahrudin Mochamad, 2013, Neurologi Klinis, UMM Press: 98-121
4. Pennstate, Health & Disease Information. Aphasia. 2010 Available at:
http://www.hmc.psu.edu/healthinfo/a/aphasia.htm
5. National Institute On Deafness and Other Communication Disorders. Aphasia,
Voice,

Speech

and

Language

Health

Info.

2010.

Available

at:

http://www.nidcd.nih.gov/health/voice/aphasia.html
6. Lumbantobing SM, 2008. Neurologi Klinis, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Bab
XI: Berbahasa. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
7. Guyton AC, Hall JE. Bab 57: Korteks Serebri; Fungsi Intelektual Otak; dan Proses
Belajar dan Mengingat. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1997.
8. Price SA, Wilson LM. Bagian IX: Penyakit Neurologi, Pemeriksaan Neurologis,
Evaluasi Penderita Neurologis. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Penyakit Edisi
4. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 1995.
9. Suwono WJ. Afasia Sensorik atau Wernicke. Diagnosis Topik Neurologi:
Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala Edisi II. Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta. 1995.
10. Media Indonesia. Terapi Afasia Perbaiki Gangguan Bahasa. 2010 Available at:
http://www.mediaindonesia.com/mediahidupsehat/index.php/read/2009/04/28/110
9/13/Terapi Afasia-Perbaiki-Gangguan-Bahasa

11. About.com:

Aphasia

Treatment.

2010

http://stroke.about.com/od/caregiverresources/a/Aphasiarx.htm

Available

at:

You might also like