You are on page 1of 13

BAB 6

DISKRIPSI UNDANG UNDANG PRAKTIK KEDOKTERAN


Undang undang Praktik Kedokteran diundangkan pada tanggal 6 bulan Oktober 2004. Undang Undang Praktik Kedokteran dibuat
untuk memenuhi rasa keadilan dari seluruh pihak yang terkait dengan pemberi dan penerima pelayanan kesehatan.
Undang Undang Praktik Kedokteran terdiri atas 12 Bab dan 88 Pasal. Masing-masing bab tersebut adalah:
1. Bab l Ketentuan Umum (1)
2. Bab ll Asas Dan Tujuan (2,3)
3. Bab lll KKI (4 s/d 25)
4. Bab lV Standart Pendidikan Profesi K/KG (26)
5. Bab V Pendidikan dan Pelatihan K/KG (27, 28)
6. Bab Vl Registrasi (29, 35)
7. Bab VII Penyelenggaraan Praktik K (36 s/d 54)
8. Bab VIII Disiplin D/DG (55 s/d 70)
9. Bab lX Pembinaan Pengawasan (71 s/d74)
10. Bab X Ketentuan Pidana (75 s/d80)
11. Bab Xl Ketentuan Peralihan (81 s/d84)
12. Bab Xll Ketentuan Penutup (85 s/d 88)
Sebagaiman sudah disebutkan sebelumnya bahwa hukum kedokteran adalah hukum administrasi, artinya bahwa hukum kedoteran
sebagian besar berisi tata-aturan hukum yang bersifat umum yaitu aturan administrasi.
Hanya saja tetap tidak dapat ditinggalkan bahwa di dalam hukum kedokteran tersebut tetap ada aspek perdata dan pidananya
Kalau kita perhatikan dari pasal ke pasal maka akan dapat kita analisis, apakah pasal tersebut adalah pasal yang bersifat administratif,
atau perdata, atau pidana.
Dari 88 pasal yang terdapat di Undang Undang Praktik Kedokteran, maka tersusun atas 87,5 persen aspek administrasi, kemudian 5,7
persen aspek perdata, dan 6,8 persen aspek pidana administrasi.
aspek

pasal

Pidana,

Jml
pasal
6

75 s/d 80

6,8

Perdata,

39,50,51,52,53

5,7

Adm

77

selainnya

87,5

total

88

100

HAM sehat dalam Undang Undang Praktik Kedokteran


Pertimbangan hak asasi mausia dalam Undang Undang Praktik Kedokteran tampak di dalam patang tubuh dari Undang Undang
Praktik Kedokteran. Di dalam bagian menimbang point (b) disebutkan: Bahwa kesehatan sebagai hak asasi manusia harus
diwujudkan dalam bentuk pemberian berbagai upaya kesehatan kepada seluruh mayarakat melalui penyelenggaraan pembangunan
kesehatan yang berkualitas dan terjangkau oleh masyarakat.
Ketentuan umum
Di dalam Bab I. Ketentuan Umum, hanya ada satu pasal yang merangkan definisi dari beberapa istilah yang harus dimengerti secara
sama oleh setiap warga negara. Dalam pasal 1 ini disebutkan beberapa definisi yang harus dimengerti seperti pasien; profesi
kedokteran; dokter, dan lain-lainnya.
Pasien adalah setiap orang yang melakukan konsulatasi masalah kesehatannya untuk memperoleh pelayanan kesehatan yang
diperlukan baik secara langsung maupun tidak langsung kepada dokter atau dokter gigi.
Dokter adalah lulusan pendidikan kedokteran baik di dalam maupun diluar negeri yang diakui oleh pemerintah republik Indonesia
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Profesi kedokteran adalah pekerjaan kedokteran yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui
pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
Asas dan tujuan Undang Undang Praktik Kedokteran
Undang Undang Praktik Kedokteran ini dilaksanakan berasaskan Pancasila dan didasarkan pada
- nilai ilmiah,
- manfaat,
- keadilan,
- keseimbangan,
- serta perlindungan dan keselamatan pasien

Di dalam penjelasan Undang Undang Praktik Kedokteran pasal 2 diuraikan lebih lanjut masing-masing pengertian asas tersebut. 1
Di dalam pasal 3 disebutkanbaha tujuan dari adanya Undang Undang Praktik Kedokteran ini adalah:
a. memberikan perlindungan kepada pasien
b. mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi, dan
c. memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.
Secara umum hubungan yang terbentuk antara pasien dengan dokter atau tenaga kesehatan yang lain, atau hubungan antara pasien
dengan rumahsakit, maka posisi pasien selalu ada dalam posisi yang lebih lemah.
Posisi pasien ada dalam keadaan membutuhkan pertolongan, sementara posisi tenaga kesehatan atau sarana pelayanan kesehatan
adalah pihak yang menolong. Jadi,.. posisi tenaga kesehatan ada dalam posisi yang lebih kuat. Posisi pasien dengan tenaga kesehatan
yang tidak seimbang seperti itu, membuat pasien mudah untuk mendapat perlakuan tidak adil. Sehingga tepatlah jika di dalam
Undang Undang Praktik Kedokteran ini, posisi pasien perlu mendapat pengawalan, agar tidak mengalami kerugian atau dengan kata
lain, pasein perlu mendapat keadilan atau perlindungan.
Posisi tenaga kesehatan dengan keberadaan Undang Undang Praktik Kedokteran dalam hal ini adalah mendapatkan adanya kepastian
hukum, sehingga pasien tidak dapat semena-mena melakukan tuduhan kepada dokter atau tenaga kesehatan lain jika terjadi peristiwa
yang tidak diinginkan.
Konsil Kedokteran Indonesia
Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) diatur dalam Bab III Undang Undang Praktik Kedokteran. Di dalam bab III ini dimulai dari pasal
4 sampai dengan pasal 25. Bab III ini berisi segala hal terkait dengan KKI.
Konsil Kedokteran Indonsia adalah lembaga yang bertanggung jawab kepada presiden yang keberadaannya adalah untuk melindungi
masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan meningkatkan mutu pelayanan kesehatandari dokter dan dokter gigi. (pasal 4
Undang Undang Praktik Kedokteran).
Tugas sangat strategis dikaitkan dengan keberadaan dokter di indonesia. Di dalam pasal 7 disebutkan tugas konsil adalah:
a. melakukan registrasi dokter dan dokter gigi
b. mengesahkan standart pendidikan profesi dokter dan dokter gigi,
c. melakukan pembinaan terhadap penyelenggaraan praktik kedokteran yang dilaksanakan bersama lembaga terkait sesuai
dengan fungsi masing-masing.
Konsil Kedokteran Indonesia juga memiliki kewenangan sebagaimana diatur dalampasal 8 Undang Undang Praktik Kedokteran,
adalah sebagai berikut:
a. menyetujui dan menolak permohonan registrasi dokter dan dokter gigi;
b. menerbitkan dan mencabut surat tanda registrasi dokter dan dokter gigi;
c. mengesahkan standar kompetensi dokter dan dokter gigi;
d. melakukan pengujian terhadap persyaratan registrasi dokter dan dokter gigi;
e. mengesahkan penerapan cabang ilmu kedokteran dan kedokteran gigi;
f. melakukan pembinaan bersama terhadap dokter dan dokter gigi mengenai pelaksanaan etika profesi yang ditetapkan oleh
organisasi profesi; dan
g. melakukan pencatatan terhadap dokter dan dokter gigi yang dikenakan sanksi oleh organisasi profesi atau perangkatnya
karena melanggar ketentuan etika profesi.
Cara memperoleh Surat Tanda Registrasi (STR)
Konsil Kedokteran Indonesia mengatur cara memeperoleh STR. Seperti terdapat pada pasal 29(3) Undang Undang Praktik
Kedokteran
(3) Untuk memperoleh surat tanda registrasi dokter dan surat tanda registrasi dokter gigi harus memenuhi persyaratan :
a. memiliki ijazah dokter, dokter spesialis, dokter gigi, atau dokter gigi spesialis;
b. mempunyai surat pernyataan telah mengucapkan sumpah/janji dokter atau dokter gigi;
c. memiliki surat keterangan sehat fisik dan mental;
d. memiliki sertifikat kompetensi; dan
e. membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika profesi.
1

Pasal 2
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan:
a.
nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi yang diperoleh baik dalam
pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika profesi;
b.
manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat;
c.
keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada
setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan yang bermutu;
d.
kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang sama dengan tidak
membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras;
e.
keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian serta keselarasan antara
kepentingan individu dan masyarakat;
f.
perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak hanya memberikan pelayanan
kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan
dan keselamatan pasien.

Kewenangan dokter yang telah memilki STR


Di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran disebutkan (pasal 35) jika dokter sudah memiliki STR memiliki wewenang melakukan
praktik kedokteran sesuai dengan pendidikan dan kompetensi yang dimiliki, yang terdiri atas:
a. mewawancarai pasien;
b. memeriksa fisik dan mental pasien;
c. menentukan pemeriksaan penunjang;
d. menegakkan diagnosis;
e. menentukan penatalaksanaan dan pengobtan pasien;
f. melakukantindakan keodkteran atau kedokteran gigi;
g. menulis resep obat dan alat kesehatan;
h. menerbitkan surat keterangan dokter dan dokter gigi;
i. menyimpan obat dalam jumlah danj enis yang dizinkan; dan
j. meracik dan menyerahkan obat pada pasien, bagiyang praktik di daerah terpencil yang tidak ada apotik.
Selain kewenagan tersebut diatas, kewenagan lainnya diatur dalam Peraturan KKI.
Masalah praktik kedokteran.
Setiap dokter yang melakukan praktik kedokteran harus memiliki surat ijin praktik (pasal 36). Surat ijin praktik tersebut dikeluarkan
oleh pejabat kesehatan yang berwenang di kabupaten/kota tempat praktik kedoteran tersebut dilaksanakan. Surat izin praktik dokter
atau dokter gigi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan untuk paling banyak 3 (tiga) tempat. Satu surat izin praktik
hanya berlaku untuk 1 (satu) tempat praktik (pasal 37).
Memperhatikan pasal 37 dari Undang Undang Praktik Kedokteran, maka kesulitan akan terjadi pada daerah yang tidak memliki cukup
dokter. Jika pada pada satu daerah hanya memiliki seorag dokter spesialis anak misalnya. Sementara di daerah tersebut terdapat 5
buah rumahsakit, maka dokter tersebut tentu hanya dapat melayani pada tiga rumahsakit saja. Hal ini tentu akan merugikan
masyarakat yang memelurkan pelayanan dokter spesialis anak tersebut.
Memperhatikan hal ini maka sudah dilakukan pembicaran antara IDI (cabang dan wilayah) dengan dinas kesehatan untuk dapat
memberi tambahan SIP sebanyak dua tempat lagi sebagai upaya untuk memberi pelayanan yang lebih pada masyarakat. Lebih lanjut
masalah SIP ini diatur dengan Peraturan Menteri.
Pelaksanaan praktik
Dokter dalam memberikan pelayanan pada masyarakat/pasien dapat dilakukan berupa:
- pemeliharaan kesehatan;
- pencegahan penyakit;
- peningkatan kesehatan;
- pengobatan dan pemulihan kesehatan.
Secara umum bentuk pelayanan yang dapat dilakukan oleh dokter adalah mulai kegiatan pelayanan kesehatan yang bersifat promotof,
preventif, kuratif, dan rehabilitatif.
Hanya saja yang sering dilakukan dokter kebanyakan hanya memberikan pelayanan kuratif. Pertimbangan mengapa sebagian besar
dokter hanya memberikan pelayanan kuratif, karena pelayanan kuratif akan memberikan jumlah keuntungan yang lebih dan lebih
besar jika dokter menjadi yang bekerja di bidang promotif.
Mungkin ini gejala yang tidak baik. Dokter spesialispun harusnya ikut bertanggungjawab terhadap tindakan promotif danpreventif di
masyarakat. Memang halini beresiko dengan menurunya angka kesakitan. Tapi memang inilah tugas dokter sebenarnya.
Dokter tidak dapat praktik
Di dalam pasal 40 Undang Undang Praktik Kedokteran, dokter yang berhalangan praktik harus membuat pemberitahuan. Jika, dokter
tersebut berkeinginan untuk menggantikan praktiknya sementara ke dokter lain, maka dokter pengganti harus sudah memiliki SIP.
Dalam hal ini dokter pengganti harus menyampaikan posisinya sebagai dokter pengganti.
Keharusan memasang papan nama praktik
Di dalam pasal 41 Undang Undang Praktik Kedokteran, diatur keharusan dokter yang memiliki SIP untuk memasang papan nama
praktik kedokterannya.
Jika dokter tersebut bekerja di sarana pelayanan kesehatan, maka sarana pelayanan kesehatan tersebut harus membuat daftar dokter
yang melakukan praktik kedokteran.
Ketentuan ini mungkin ditujukan untuk mengantisipasi adanya dokter yang hanya dipakai namanya saja tetapi tidak pernah
melakukan praktik di sarana pelayanan tersebut. Atau juga berfungsi untuk mengontrol adanya doker yang praktik di lebih dari 3
tempat.
Adanya nama dokter tanpa disertai keberadaan dokter praktik di sarana pelayanan kesehatan tersebut dapat dikatakan sebagai
penipuan. Masyarakat yang tidak mengerti akan membuat pekiraan kalau di sarana pelayanan keseahatan tersebut terkesan memiliki
dokter yang lengkap. Padahal nama yang ada hanya sebagai pelengkap promosi sarana pelayanan kesehatan itu saja. Perbuatan
demikian tentu merugikan masyarakat.
Mengenai pasal 41 ayat 1 Undang Undang Praktik Kedokteran ini Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat keputusan tidak
mengikat lagi.
Larangan untuk mempekerjakan dokter yang tidak memiiki SIP
Sarana pelayanan ksehatan dilarang untuk mempekerjakan dokter yang tidak memiliki SIP. Pelanggaran dalam hal ini diberi ancaman
sanksi pidana.

Perihal standart pelayanan


Dokter dituntut bekerja dengan landasan ilmu yang dapat dipertanggungjawakan. Wujud dari penerpan ilmu yang dapat
dipertanggung jawabkan tersebut adalah bekerja sesuai dengan standart pelayanan kedokteran. Standart pelayanan yang telah
ditetapkan harus ditaati oleh dokter dan tenaga kesehatan yang lain.
Dalam Undang Undang Praktik Kedokteran dalam pasal 44 di sebutkanbahwa dokter dalam bekerja harus mengikuti standart
pelatyanan keodokteran. Oleh karena sarana pelayanan kedokteran berbeda-beda dalam keberadaan sarananya, makan standart
pelayanannya akan berbbeda-beda sesuai dengan strata pelayanan kesehatan tersebut.
Di rumah sakit, standart pelyanan tersebut dapat saja dibuat oleh rumahsakit tersebut sendiri. Komite medik sebagai komite yang
mengurusi masalaha pelayanan yang dilakukan dokter, berperanpenitng dalam membuat standaart pelayanan sesuai dengan kondisi
yang ada di rumasakit tersebut. Standart pelayanan yang sudah dibuat oleh komite medik harus mendapat penetapan oleh direktur
uantuk dijadikan pedoman dalam pelayanan medik. Seyogyanya standart pelayananmediktersebut selalu dilakukan evaluasi sevcara
rutin menginagt selalu adanya perkembangan iptek kedokteran. Lebih lanjut msalah standart pelyanan kedokteran ini akan diatur
dengan peraturan pemerintah
Persetujuan tindakan kedokteran
Di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran ini, informed consent dikenalkan dengan istilah persetujuan tindakan kedokteran.
Masalah persetujuan ttindakan kedokteran ini diatur dalam pasal 45 Undang Undang Praktik Kedokteran. Terdapat 6 ayat di dalam
ayat ini yang sudah menggambarkan secara umum tentang persetujuan tindakan kedokteran ini.
Pada prinsipnya seluruh tindakan kedokteran yang dilakukan dokter harus mendapat persetujuan pasien. Kemudian persetujuan itu
harus diperoleh setelah pasien mendapat informasi / pejelasan secara lengakp maksid dari tindkan yang akan dilakukan dokter
tersebut.
Di dalam ayat (3) terdapat 5 hal yang setidaknya harus disampaikna pada pasien:
1. diagnosis dan tata cara tindakan medis;
2. tujuan tindakan medis yang dilakukan;
3. alternatif tindakan lain dan resikonya;
4. resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
5. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Bentuk persetujuan tersebut dapat diberikan dalam bentuk lesan mapun tertulis. Hanya saja untuk tindakan yang beresiko tinggi maka
persetujuan tersebut harus disampaikan dalam bentuk tertulis, dan harus ditandatangani oleh yang berhak memberikan persetujuan.
Terkait masalah persetujuan tindakan medik ini KKI telah menerbitkan buku Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran.
Disebutkan dalam manusal tersebut pengertian dari persetujuan tindakan medik adalah
a. persetujuan pasien atau yang sah mewakilinya atas rencana tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang diajukan oleh
dokter atau dokter gigi, setelah menerima informasi yang cukup untuk dapat membuat persetujuan.
b. pernyataan sepihak dari pasien dan bukan perjanjian antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, sehingga dapat ditarik
kembali setiap saat.
c. merupakan proses sekaligus hasil dari suatu komunikasi yang efektif antara pasien dengan dokter atau dokter gigi, dan bukan
sekedar penandatanganan formulir persetujuan
Lebih lanjut disebutkan bahwa persetujuan tindakan medik itu penting karena, mengingat bahwa ilmu kedokteran atau kedokteran gigi
bukanlah ilmu pasti, maka keberhasilan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi bukan pula suatu kepastian, melainkan dipengaruhi
oleh banyak faktor yang dapat berbedabeda dari satu kasus ke kasus lainnya. Sebagai masyarakat yang beragama, perlu juga disadari
bahwa keberhasilan tersebut ditentukan oleh izin Tuhan Yang Maha Esa.
Dewasa ini pasien mempunyai pengetahuan yang semakin luas tentang bidang kedokteran, serta lebih ingin terlibat dalam pembuatan
keputusan perawatan terhadap diri mereka. Karena alasan tersebut, persetujuan yang diperoleh dengan baik dapat memfasilitasi
keinginan pasien tersebut, serta menjamin bahwa hubungan antara dokter dan pasien adalah berdasarkan keyakinan dan kepercayaan.
Jadi, proses persetujuan tindakan kedokteran merupakan manifestasi dari terpeliharanya hubungan saling menghormati dan
komunikatif antara dokter dengan pasien, yang bersama-sama menentukan pilihan tindakan yang terbaik bagi pasien demi mencapai
tujuan pelayanan kedokteran yang disepakati.
Masalah persetujuan ini dilihat dari aspek hukum mengandung dua aspek yaitu perdata dan pidana. Aspek perdatanya muncul karena
persetujuan itu muncul dari adanya ikatan. Sehingga, persetujuan itu merupakan bagian dari kontrak terapetik. Dari aspek pidana,
persetujuan itu dilatarbelakangi adanya informasi. Sehingga adanya penipuan dari informasi dapat merupakan tindakan pidana. Selain,
.. itu tidak melakukan persetjuan tindakan medik, maka juga diancam dengan pidana administrasi, karena dapat dikatakanmelanggar
hak asasi manusia untuk menentukan nasibnya sendiri, terkecuali jika tindakan itu dilakukan dalam kondisi darurat.
Keharusan dokter untuk membuat rekam medik
Dokter yang melakukan praktik kedokteran harus membuat rekan medik. Rekam medik dibuat untuk memnunjukkan dokter telah
melakukan danatau belummelakukan tindakan yang seharusnya dilakukan. Rekam mediksangat penting bagi evaluasi tindakan medik.
Bidang hukum hanya akan menganggap sudah dailakukan jika sudah ada bukti tercatat bahwa tindakan tresebut sudah dilakukan.
Masalah rekam medik di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran terdapat pada pasal 46 dan 47.
Di dalampasal 46 ayat (1) dsebutkan bahwa setiap dokter diwajibkan untuk membuat rekam medik, dan rekam medik harus segera
dibuat atau dilengkapi setelah pasien selesai mendapat pelayanan kesehatan.
Apa yang harus dicatat di dalam rekam medik? Pada pasal 46 ayat (3) disebutkan antara lain adalah:
a. nama yang memberikan tindakan
b. waktu melakukan tindakan,
c. proses tindakan mediknya

d.

tanda tangan petugas yang melakukan tindakan.

Di dalam pasal 47 Undang Undang Praktik Kedokteran ditekankan bahwa rekam tersebut adalah milik dokter atau sarana pelayanan
kesehatan, sedang isinya adalah milik pasien. Terdapat kesulitan memahami dalam pasal ini. Bagaimana suatu isi rekan medik dapat
dibawa pasien tanpa membawa rekam mediknya walaupun itu adalah duplikatnya. Karena sebenarnya yang dibawa adalah duplikat
atau kopi rekam medik, sedang isi rekam medik itu sendiri adalah bentuk perilaku. Sehingga jika pasien menginginkan isi rekan
medik, seharusnyalah dia mengerti tindakan prosedur tindakan dan hanya akan membawa ingatan dari apa yang tercatat dalam rekam
medik itu. Tidak membawa kopinya atau duplikatnya.
Jika kemudian ada pertanyaan, kemudian bagimana cara membewa isi rekan medik yang hendak dimiliki pasien itu? Memang
disinilah permasalahan yang terjadi jika memisahkan isi dan rekam mediknya.
Terkait masalah rekamedik terkait juga dengan maslah kerahasiaan kedokteran.
Kerahasiaan kedokteran
Rekam medis harus disimpan dan menjadi hal yang harus dirahasikan (pasal 47 (2).
Masalah kerahasiaan medik dalam Undang Undang Praktik Kedokteran diatur dalam pasal 48. Masalah kerahasiaan kedokteran ini
sudah menjadi kewajiban bagi seorang tenaga kesehatan. Sejak jaman hipokrates sampai sekarang masih menjadi hal yang layak
untuk dilaksanakan.
Apa yang harus dirahasiakan? Di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran tidak disebutkan scara rinci apa saja yang harus
dirahasiakan oleh dokter tersebut.
Rahasia kedokteran itu dapat dibuka jika terdapat beberapa pertimbangan, yaitu:
a. kepentingan kesehatan pasien
b. memenuhi permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum,
c. permintaanpasien sendiri, atau
d. berdasarkan ketentuan perundang-undangan.
Pada umumnya pembukaan informasi pasien kepada pihak lain memerlukan persetujuan pasien. Persetujuan tersebut harus diperoleh
dengan cara yang layak sebagaimana diuraikan di atas, yaitu melalui pemberian informasi tentang baik-buruknya pemberian informasi
tersebut bagi kepentingan pasien.
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur bahwa pembukaan informasi tidak memerlukan persetujuan pasien pada
keadaan-keadaan:
a. untuk kepentingan kesehatan pasien
b. memenuhi permintaan aparatur penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, misalnya dalam bentuk visum et repertum
c. atas permintaan pasien sendiri
d. berdasarkan ketentuan undang-undang, misalnya UU Wabah dan UU Karantina
Setelah memperoleh persetujuan pasien maka dokter tetap diharapkan memenuhi prinsip need to know, yaitu prinsip untuk
memberikan informasi kepada pihak ketiga tersebut hanya secukupnya yaitu sebanyak yang dibutuhkan oleh peminta informasi.
Peranan IDI dalam kendali mutu dan biaya
Dalam uupkini IDI mendapat amanatuntuk melakukan kendalimutu dankendali biaya. Ikatan Dokter Indoensia diperbolehkan
melakukan audit medis terhadap tindakan yang dilakukan dokter.
Di dalam pasal 49 Undang Undang Praktik Kedokteran, setiap dokter yang melaksanakan praktik kedokteran diwajibkan melakukan
kendali mutu dan biaya.
Pembinaan dokter oleh KKI dan IDI
Dokter yang telah lulus dari fakultas kedokteran dan kemudian memiliki ijazah, Surat Tanda Registrasi, sertifikat kompetensi, berhak
untuk melakukan praktik keodkteran.
Hanya saja, dengan berjalannya waktu, maka dokter tersebut juga harus terus melakukan pembaruan terhadap ilmu kedokteran yang
dimilikinya. Hal ini ditujukan untuk terselenggaranya praktik kedokteran yang bermutu dan terlindungi masyarakat.
Masalah pembinaan ini, sesuai pasal 54 Undang Undang Praktik Kedokteran, dibebankan kepada IDI dan KKI. Dalam hal ini IDI
telah membentuk semacam tim yang ditugaskan untuk mengevaluasi dokter dalam hal kendali mutu ini dengan mengharuskan dokter
untuk mendapatkan 250 sks dalam 5 tahun selama masa berlakunya STR.
Dokter diharuskan mendapatkan 250 sks tersebut sebagai syarat untuk mendapatkan kembali STR yang sudah habis masa berlakunya.
Majelis kehormatan disiplin kedokteran indonesia.
Berdasarkan Undang Undang Praktik Kedokteran ini maka didalam KKI terdapat lembaga otonom yang disebut Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI).Majelsi ini bertugas:
a.
menerima pengaduan,
b.
memeriksa kasus pelanggaran disiplin dokter, dan
c.
memutuskan kasus pelanggaran disiplin dokter yang diajukan; dan
d.
menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter.
Lebih lanjut terkait denganmasalah penegakan disiplin dokter, maka KKI telah membuat keputusan Nomor 17/Kki/Kep/Viii/2006,
Tentang, Pedoman Penegakan Disiplin Profesi Kedokteran.
Di dalam keputusan KKI tersebut tertuang 28 jenis kriteria yang menunjukkan adanya pelanggaran disiplin kedokteran. Kriteriakriteria tersebut adalah:
1. Melakukan praktik kedokteran dengan tidak kompeten.
Penjelasan:

Dalam menjalankan asuhan klinis kepada pasien, dokter atau dokter gigi harus bekerja dalam batas-batas kompetensinya,
baik dalam penegakan diagnosis maupun dalam penatalaksanaan pasien.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf d;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 22 ayat(1) dan ayat(3).
2. Tidak merujuk pasien kepada dokter atau dokter gigi lain yang memiliki kompetensi sesuai.
Penjelasan:
a. Dalam situasi dimana penyakit atau kondisi pasien di luar kompetensinya (karena keterbatasan pengetahuan, keterbatasan
keterampilan ataupun keterbatasan peralatan yang tersedia), maka dokter atau dokter gigi wajib menawarkan kepada
pasien untuk dirujuk atau dikonsultasikan kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana pelayanan kesehatan lain yang
lebih sesuai.
b. Upaya perujukan dapat tidak dilakukan, apabila situasi yang terjadi antara lain sebagai berikut:
1) kondisi pasien tidak memungkinkan untuk dirujuk;
2) keberadaan dokter atau dokter gigi lain atau sarana kesehatan yang lebih tepat, sulit dijangkau atau sulit didatangkan;
3) atas kehendak pasien.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf b.
3. Mendelegasikan pekerjaan kepada tenaga kesehatan tertentu yang tidak memiliki kompetensi untuk melaksanakan pekerjaan
tersebut.
Penjelasan:
a. Dokter atau dokter gigi dapat mendelegasikan tindakan atau prosedur kedokteran tertentu kepada tenaga kesehatan tertentu
yang sesuai dengan ruang lingkup keterampilan mereka.
b. Dokter atau dokter gigi harus yakin bahwa tenaga kesehatan yang menerima pendelegasian tersebut, memiliki kompetensi
untuk itu.
c. Dokter atau dokter gigi, tetap bertanggung jawab atas penatalaksanaan pasien yang bersangkutan.
Dasar :
1. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 22 ayat (1) dan ayat (3).
4. Menyediakan dokter atau dokter gigi pengganti sementara yang tidak memiliki kompetensi dan kewenangan yang sesuai, atau tidak
melakukan pemberitahuan perihal penggantian tersebut.
Penjelasan:
a. Bila dokter atau dokter gigi berhalangan menjalankan praktik kedokteran, maka dapat menyediakan dokter atau dokter gigi
pengganti yang memiliki kompetensi sama dan memiliki Surat Izin Praktik (SIP).
b. Dalam kondisi keterbatasan tenaga dokter atau dokter gigi dalam bidang tertentu sehingga tidak memungkinkan
tersedianya dokter atau dokter gigi pengganti yang memiliki kompetensi yang sama, maka dapat disediakan dokter atau
dokter gigi pengganti lainnya.
c. Surat Izin Praktik (SIP) dokter atau dokter gigi pengganti tidak harus SIP di tempat yang harus digantikan.
d. Ketidakhadiran dokter atau dokter gigi bersangkutan dan kehadiran dokter atau dokter gigi pengganti pada saat dokter atau
dokter gigi berhalangan praktik, harus diinformasikan kepada pasien secara lisan ataupun tertulis ditempat praktik
dokter.
e. Jangka waktu penggantian ditentukan dalam peraturan perundangan yang berlaku atau etika profesi.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 40;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 20 ayat (3) dan (4) dan Pasal 21.
5. Menjalankan praktik kedokteran dalam kondisi tingkat kesehatan fisik ataupun mental sedemikian rupa sehingga tidak kompeten
dan dapat membahayakan pasien.
Penjelasan:
a. Dokter atau dokter gigi yang menjalankan praktik kedokteran, harus berada pada kondisi fisik dan mental yang laik (fit).
b. Dokter atau dokter gigi yang mengalami gangguan kesehatan fisik atau gangguan kesehatan mental tertentu, dapat
dinyatakan tidak laik untuk melaksanakan praktik kedokteran (unfit to practice).
c. Dokter atau dokter gigi bersangkutan baru dapat dibenarkan untuk kembali melakukan praktik kedokteran atau kedokteran
gigi bilamana kesehatan fisik maupun mentalnya telah pulih untuk praktik (fit to practice).
d. Pernyatakan laik atau tidak laik untuk melaksanakan praktik kedokteran atau kedokteran gigi, diatur lebih lanjut oleh
Konsil Kedokteran Indonesia.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf c.

6. Dalam penatalaksanaan pasien, melakukan yang seharusnya tidak dilakukan atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan,
sesuai dengan tanggung jawab profesionalnya, tanpa alasan pembenar atau pemaaf yang sah, sehingga dapat membahayakan
pasien.
Penjelasan:
Dokter atau dokter gigi wajib melakukan penatalaksanaan pasien dengan teliti, tepat, hati-hati, etis dan penuh kepedulian
dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Anamnesis, pemeriksaan fisik dan mental, bilamana perlu pemeriksaan penunjang diagnostik.
b. Penilaian riwayat penyakit, gejala dan tanda-tanda pada kondisi pasien.
c. Tindakan dan pengobatan secara profesional.
d. Tindakan yang tepat dan cepat terhadap keadaan yang memerlukan intervensi kedokteran.
e. Kesiapan untuk berkonsultasi pada sejawat yang sesuai, bilamana diperlukan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 44 ayat (1) dan (2) dan Pasal 51 huruf a
7. Melakukan pemeriksaan atau pengobatan berlebihan yang tidak sesuai dengan kebutuhan pasien.
Penjelasan:
a. Dokter atau dokter gigi, melakukan pemeriksaan atau memberikan terapi, ditujukan hanya untuk kebutuhan medik pasien.
b. Pemeriksaan atau pemberian terapi yang berlebihan, dapat membebani pasien dari segi biaya maupun kenyamanan, dan
bahkan dapat menimbulkan bahaya bagi pasien.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52 huruf c.
8. Tidak memberikan penjelasan yang jujur, etis dan memadai (adequate information) kepada pasien atau keluarganya dalam
melakukan praktik kedokteran.
Penjelasan:
a. Pasien mempunyai hak atas informasi tentang kesehatannya (the right to information), dan oleh karenanya, dokter atau
dokter gigi wajib memberikan informasi dengan bahasa yang dipahami oleh pasien atau penterjemahnya, kecuali bila
informasi tersebut dapat membahayakan kesehatan pasien.
b. Informasi yang berkaitan dengan tindakan medik yang akan dilakukan meliputi: diagnosis medik, tata cara tindakan
medik, tujuan tindakan medik, alternatif tindakan medik lain, risiko tindakan medik, komplikasi yang mungkin terjadi
serta prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
c. Pasien juga berhak memperoleh informasi tentang biaya pelayanan kesehatan yang akan dijalaninya.
d. Keluarga pasien berhak memperoleh informasi tentang sebab-sebab kematian pasien, kecuali bila sebelum meninggal
pasien menyatakan agar penyakitnya tetap dirahasiakan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 ayat (2) dan (3) dan Pasal 52 huruf a, huruf
b, dan huruf e;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 17.
9. Melakukan tindakan medik tanpa memperoleh persetujuan dari pasien atau keluarga dekat atau wali atau pengampunya.
Penjelasan:
a. Untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif dalam rangka memperoleh persetujuan tindakan medik, baik dokter atau
dokter gigi maupun pasien mempunyai hak untuk didengar dan kewajiban untuk saling memberi informasi.
b. Setelah menerima informasi yang cukup dari dokter atau dokter gigi dan memahami maknanya (well informed), pasien
diharapkan dapat mengambil keputusan bagi dirinya sendiri (the right to self determination) untuk menyetujui (consent)
atau menolak (refuse) tindakan medik yang akan dilakukan kepadanya.
c. Setiap tindakan medik yang akan dilakukan kepada pasien, mensyaratkan persetujuan (otorisasi) dari yang bersangkutan.
Dalam kondisi dimana pasien tidak dapat memberikan persetujuan secara pribadi (dibawah umur atau keadaan
fisik/mental tidak memungkinkan), maka persetujuan dapat diberikan oleh keluarga yang berwenang (suami/istri,
bapak/ibu, anak atau saudara kandung) atau wali atau pengampunya (proxy).
d. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dapat dinyatakan secara tertulis atau lisan, termasuk dengan menggunakan
bahasa tubuh. Setiap tindakan medik yang mempunyai risiko tinggi mensyaratkan persetujuan tertulis.
e. Dalam kondisi dimana pasien tidak mampu memberikan persetujuan dan tidak memiliki pendamping, maka dengan tujuan
untuk penyelamatan hidup (life safing) atau mencegah kecacatan pasien yang berada dalam keadaan gawat darurat,
tindakan medik dapat dilakukan tanpa persetujuan pasien.
f. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kesehatan reproduksi, persetujuan harus diberikan oleh pasangannya
(suami/istri).
g. Dalam hal tindakan medik yang menyangkut kepentingan publik (misal: imunisasi massal dalam penanggulangan wabah),
tidak diperlukan persetujuan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 45 dan Pasal 52 huruf d;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 17.

10. Dengan sengaja, tidak membuat atau menyimpan rekam medik, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau
etika profesi.
Penjelasan:
a. Dalam melaksanakan praktik kedokteran, dokter atau dokter gigi wajib membuat rekam medik secara benar dan lengkap
serta menyimpan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam hal dokter berpraktik di sarana pelayanan kesehatan, maka penyimpanan rekam medik merupakan tanggung jawab
sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 46 dan Pasal 47;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter Gigi
Pasal 16.
11. Melakukan perbuatan yang bertujuan untuk menghentikan kehamilan yang tidak sesuai dengan ketentuan, sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
Penjelasan:
a. Penghentian (terminasi) kehamilan hanya dapat dilakukan atas indikasi medik yang mengharuskan tindakan tersebut.
b. Penentuan tindakan penghentian kehamilan pada pasien tertentu yang mengorbankan nyawa janinnya, dilakukan oleh
setidaknya dua orang dokter.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan Pasal 15.
12. Melakukan perbuatan yang dapat mengakhiri kehidupan pasien atas permintaan sendiri dan atau keluarganya .
Penjelasan:
a. Setiap dokter tidak dibenarkan melakukan perbuatan yang bertujuan mengakhiri kehidupan manusia, karena selain
bertentangan dengan sumpah kedokteran dan atau etika kedokteran dan atau tujuan profesi kedokteran, juga
bertentangan dengan aturan hukum pidana.
b. Pada kondisi sakit mencapai keadaan terminal, dimana upaya kedokteran kepada pasien merupakan kesia-siaan (futile)
menurut state of the art (SOTA) ilmu kedokteran, maka dengan persetujuan pasien dan atau keluarga dekatnya, dokter
dapat menghentikan pengobatan, akan tetapi dengan tetap memberikan perawatan yang layak (ordinary care). Dalam
keadaan tersebut, dokter dianjurkan untuk berkonsultasi dengan sejawatnya atau komite etik rumah sakit bersangkutan.
Dasar :
1. Fatwa IDI Nomor 231/PB/4/7/1990.
2. World Medical Association : Declaration of Euthanasia (Madrid, 1987).
13. Menjalankan praktik kedokteran dengan menerapkan pengetahuan atau keterampilan atau teknologi yang belum diterima atau di
luar tata cara praktik kedokteran yang layak.
Penjelasan:
a. Dalam rangka menjaga keselamatan pasien, setiap dokter atau dokter gigi wajib menggunakan pengetahuan, ketrampilan
dan tata cara praktik kedokteran yang telah diterima oleh profesi kedokteran atau kedokteran gigi .
b. Setiap pengetahuan, ketrampilan dan tata cara baru harus melalui penelitian/uji klinik tertentu sesuai dengan ketentuan
perundangundangan yang berlaku.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 51 huruf a.
14. Melakukan penelitian dalam praktik kedokteran dengan menggunakan manusia sebagai subjek penelitian, tanpa memperoleh
persetujuan etik (ethical clearance) dari lembaga yang diakui pemerintah.
Penjelasan :
Dalam praktik kedokteran, dimungkinkan untuk menggunakan pasien atau klien sebagai subjek penelitian sepanjang telah
memperoleh persetujuan etik (ethical clearance) dari komisi etik penelitian.
Dasar :
1. World Medical Association: Deklarasi Helsinki (1964) yang telah diamandemen di Venetia (1983).
15. Tidak melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, padahal tidak membahayakan dirinya, kecuali bila ia yakin ada
orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.
Penjelasan:
a. Menolong orang lain yang membutuhkan pertolongan adalah kewajiban yang mendasar bagi setiap manusia, utamanya
bagi profesi dokter atau dokter gigi di sarana pelayanan kesehatan.
b. Kewajiban tersebut dapat diabaikan apabila membahayakan dirinya atau apabila telah ada individu lain yang mau dan
mampu melakukannya atau karena ada ketentuan lain yang telah diatur oleh sarana pelayanan kesehatan tertentu.
Dasar:
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter
Gigi Pasal 22 ayat (2).

16. Menolak atau menghentikan tindakan pengobatan terhadap pasien tanpa alasan yang layak dan sah sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
Penjelasan:
a. Tugas dokter atau dokter gigi sebagai profesional medik adalah melakukan pelayanan kedokteran.
b. Beberapa alasan yang dibenarkan bagi dokter atau dokter gigi untuk menolak atau mengakhiri pelayanan kepada
pasiennya (memutuskan hubungan dokter pasien) adalah
1) pasien melakukan intimidasi terhadap dokter atau dokter gigi;
2) pasien melakukan kekerasan terhadap dokter atau dokter gigi;
3) pasien berperilaku merusak hubungan saling percaya tanpa alasan.
Dalam hal-hal diatas, dokter atau dokter gigi wajib memberitahu secara lisan atau tertulis kepada pasiennya dan
menjamin kelangsungan pengobatan pasien dengan cara merujuk ke dokter atau dokter gigi lain dengan menyertakan
keterangan mediknya.
c. Dokter atau dokter gigi tidak boleh melakukan penolakan atau memutuskan hubungan terapeutik dokter-pasien, sematamata karena alasan: keluhan pasien terhadap pelayanan dokter, finansial, suku, ras, jender, politik, agama atau
kepercayaan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf a dan Pasal 52 huruf c.
17. Membuka rahasia kedokteran, sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan atau etika profesi.
Penjelasan:
a. Dokter atau dokter gigi wajib menjaga rahasia pasiennya. Bila dipandang perlu untuk menyampaikan informasi tanpa
persetujuan pasien atau keluarga, maka dokter atau dokter gigi tersebut harus mempunyai alasan pembenaran.
b. Alasan pembenaran yang dimaksud adalah:
1) permintaan Majelis Pemeriksa MKDKI;
2) permintaan Majelis Hakim Sidang Pengadilan; dan
3) sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 48 dan Ps 51 huruf c;
2. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1419/Menkes/Per/X/2005 tentang Penyelenggaraan Praktik Dokter dan Dokter
Gigi Pasal 18;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran.
18. Membuat keterangan medik yang tidak didasarkan kepada hasil pemeriksaan yang diketahuinya secara benar dan patut.
Penjelasan:
a. Sebagai profesional medik, dokter atau dokter gigi harus jujur dan dapat dipercaya dalam memberikan keterangan medik,
baik dalam bentuk lisan maupun tulisan.
b. Dokter atau dokter gigi tidak dibenarkan membuat atau memberikan keterangan palsu.
c. Dalam hal membuat keterangan medik berbentuk tulisan (hardcopy), dokter wajib membaca secara teliti setiap dokumen
yang akan ditanda tangani, agar tidak terjadi kesalahan penjelasan yang dapat menyesatkan.
Dasar :
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7, dan Kode Etik Kedokteran Gigi.
19. Turut serta dalam perbuatan yang termasuk tindakan penyiksaan (torture) atau eksekusi hukuman mati.
Penjelasan:
Prinsip tugas mulia seorang profesional medik adalah memelihara kesehatan fisik, mental dan sosial penerima jasa pelayanan
kesehatan. Oleh karenanya, dokter atau dokter gigi tidak dibenarkan turut serta dalam pelaksanaan tindakan yang bertentangan dengan
tugas tersebut termasuk tindakan penyiksaan atau pelaksanaan hukuman mati.
Dasar :
1. Keputusan Muktamar IDI XXIII No 14/MUK XXIII/XII/97 tentang Tindakan Penyiksaan;
2. World Medical Association: Deklarasi Tokyo Tahun 2000.
20. Meresepkan atau memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya (NAPZA) yang tidak sesuai dengan
peraturan perundang-undangan dan etika profesi.
Penjelasan:
Dokter dibenarkan memberikan obat golongan narkotika, psikotropika dan zat adiktif lainnya sepanjang sesuai dengan
indikasi medis dan peraturan perundang-undangan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.
21. Melakukan pelecehan seksual, tindakan intimidasi atau tindakan kekerasan terhadap pasien, di tempat praktik.
Penjelasan:
Dalam hubungan terapeutik antara dokter-pasien, dokter atau dokter gigi tidak boleh menggunakan hubungan personal
(seperti hubungan seks atau emosional) yang dapat merusak hubungan dokter pasien.

Dasar :
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 7 huruf a,
2. Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf f)
22. Menggunakan gelar akademik atau sebutan profesi yang bukan haknya.
Penjelasan:
Dalam melaksanakan hubungan terapeutik dokter-pasien, dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan menggunakan gelar
akademik atau sebutan profesi sesuai dengan kemampuan, kewenangan dan ketentuan perundang-undangan. Penggunaan gelar dan
sebutan lain yang tidak sesuai, dinilai dapat menyesatkan masyarakat pengguna jasa pelayanan kesehatan.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional;
2. Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf e)
23. Menerima imbalan sebagai hasil dari merujuk atau meminta pemeriksaan atau memberikan resep obat/alat kesehatan.
Penjelasan:
Dalam melakukan rujukan (pasien, laboratorium, teknologi) kepada dokter atau dokter gigi lain atau sarana penunjang lain,
atau pembuatan resep/pemberian obat, seorang dokter atau dokter gigi hanya dibenarkan bekerja untuk kepentingan pasien. Oleh
karenanya, dokter atau dokter gigi tidak dibenarkan meminta atau menerima imbalan jasa atau membuat kesepakatan dengan pihak
lain diluar ketentuan etika profesi (kick-back atau fee-splitting) yang dapat mempengaruhi indepedensi dokter atau dokter gigi yang
bersangkutan.
Dasar :
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3;
2. Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d);
3. Keputusan Muktamar IDI XXIII Nomor 14/MUK XXIII/XII/97 tentang Promosi Obat, Kosmetika, Alat dan Sarana
Kesehatan, Makanan, Minuman dan Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga.

24. Mengiklankan kemampuan/pelayanan atau kelebihan kemampuan/ pelayanan yang dimiliki, baik lisan ataupun tulisan, yang tidak
benar atau menyesatkan.
Penjelasan:
a. Masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan medik, membutuhkan informasi tentang kemampuan/pelayanan seorang
dokter atau dokter gigi untuk kepentingan pengobatan dan rujukan. Oleh karenanya, dokter atau dokter gigi hanya
dibenarkan memberikan informasi yang memenuhi ketentuan umum yakni: sah, patut, jujur, akurat dan dapat dipercaya.
b. Melakukan penyuluhan kesehatan di media massa tidak termasuk pelanggaran disiplin.
c. Melakukan pengiklanan diri tentang kompetensi atau layanan yang benar merupakan pelanggaran etik, dan tidak termasuk
dalam pelanggaran disiplin.
Dasar :
1. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 4 dan Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf h).
25. Ketergantungan pada narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya.
Penjelasan:
Penggunaan narkotika, psikotropika, alkohol serta zat adiktif lainnya (NAPZA) dapat menurunkan kemampuan seorang
dokter/dokter gigi sehingga berpotensi membahayakan pengguna pelayanan medik.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
3. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 29 ayat (3) huruf c.
26. Berpraktik dengan menggunakan Surat Tanda Registrasi (STR) atau Surat Ijin Praktik (SIP) dan/atau sertifikat kompetensi yang
tidak sah.
Penjelasan:
Seorang dokter atau dokter gigi yang diduga memiliki STR dan/atau SIP dengan menggunakan persyaratan yang tidak sah,
dapat diajukan ke MKDKI. Apabila terbukti adanya pelanggaran tersebut, maka STR akan dicabut oleh Konsil Kedokteran Indonesia
(KKI) dan SIP akan dicabut oleh Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota berdasarkan rekomendasi MKDKI.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahu n 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 36.
27. Ketidakjujuran dalam menentukan jasa medik.
Penjelasan:
Dokter atau dokter gigi harus jujur dalam menentukan jasa medik sesuai dengan tindakan medik yang dilakukannya terhadap
pasien.
Dasar :
1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran Pasal 51 huruf d;
2. Kode Etik Kedokteran Indonesia Pasal 3; dan Kode Etik Kedokteran Gigi Pasal 4 (Penjelasan huruf d).
28. Tidak memberikan informasi, dokumen dan alat bukti lainnya yang diperlukan MKDKI untuk pemeriksaan atas pengaduan
dugaan pelanggaran disiplin.
Penjelasan:
Dalam rangka pemeriksaan terhadap dokter atau dokter gigi yang diadukan atas dugaan pelanggaran disiplin, MKDKI
berwenang meminta informasi, dokumen, dan alat bukti lainnya dari dokter atau dokter gigi yang diadukan dan dari pihak lain yang
terkait.
Dasar:
1. Perkonsil Nomor 16/KKI/PER/VIII/2006 Pasal 3 ayat (5) tentang Tata Cara Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh MKDKI dan MKDKI-P.
Pengaduan ke MKDKI
Siapa saja yang mersa dirugikan oleh tindakan dokter dalam rangka menjalankan praktik kedoktrannya, maka dapat mengujukan
pengaduan ke MKDKI.. tata cara pengduan secara umum disebutkan dalam pasal 66 Undang Undang Praktik Kedokteran, yaitu:
a. harus dilakukan secara tertulis.
b. Menyebutkan identitas pengadu,
c. Nama dan alamat tempat praktik dokter, dan waktu tindakan dilakukan,
d. Alasan pengaduan.
Selain ke MKDKI juga dapat diadukan ke Pengadilan
Masalah perilaku dokter selama menjalankan praktik kedokteran sekarang mendapat sorotan dari segala pihak. Dokter jika melakukan
tindkan yang dirasakanpsien merugikan dirinya,maka dapat disidang oleh beberapa lembaga. Jika melihat lembaga yang dapat
mensidang dokter, maka tidak hanya lembaga pengadilan saja yangberhak menyidang. Dokter dalamhal ini akan dapat disidang oleh::
1. MKDKI, untuk kasus pelanggaran disiplin (pasal 66, ayat 1)
2. IDI dalam MKEK untuk pelanggaran etik (pasal 68)
3. Pengadilan untuk kasus perdata dan pidana pasal 66, ayat 3).
Bahkan jika kesalahan dokter itu terjadi di rumahsakit, boleh jadi dokter akan disidang juga oleh:
1. Komite medik, untuk dievaluasi kesalahannya di prosedur yang mana
2. kolegium, jika pelanggarnya adalah dokter spesialis

3. juga secara sosiologis disidang oleh media masa, masyarakat.


Memperhatikan hal tersebut maka dokter dalam bekerja menjalankan praktik kedoktrannya harus berhati-hati dan berusaha bekerja
sesuai dengan standart pelayanan yang telah ditetapkan oleh sarana pelayanan kesehatan dimana dokter bekerja.
Bentuk keputusan dan sanksi dari MKDKI
Setelah MKDKImelakukansidang terhadap kasus yang diajukan oleh pengadu, maka MKDKI dapat membuat keputusan berupa:
a.
dinyatakan tidak bersalah atau
b.
pemberian sanksi disiplin.
Sanksi yang kemudian dapat dikeluarkan oleh MKDKI antara dapat berupa:
a.
pemberian peringatan tertulis;
b.
rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
c.
kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.
Keputusan MKDKI tersebut bersifat mengikat dokter, artinya dokter mau tidak mau harus mengikuti keputusan tersebut.
Rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik yang dimaksud dapat berupa:
a. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik sementara selama-lamanya 1 (satu) tahun, atau
b. rekomendasi pencabutan Surat Tanda Registrasi atau Surat Izin Praktik tetap atau selamanya;
Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi yang dimaksud dapat berupa :
a. pendidikan formal; atau
b. pelatihan dalam pengetahuan dan atau ketrampilan, magang di institusi pendidikan atau sarana pelayanan kesehatan
jejaringnya atau sarana pelayanan kesehatan yang ditunjuk, sekurang-kurangnya 3 (tiga) bulan dan paling lama 1 (satu)
tahun.
Pembinaan dan pengawasan praktik kedokteran
Praktik yang dilakukan oleh dokter ditujukan untuk membantu masyrakat dalam mempermudah memperoleh pelayanan kesehatan.
Untuk hal demikian itu maka tindakan dokter perlu dibina dan diaasi agar masyarakt terlindungi dari tindakan dokter yang tidak
benar.
Pembinaan dan pengawasan dilakukanoleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, KKI dan organisasi profesi, sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
Maalah pembinaan dan pengawasan ini diatur dalam pasal 71 sampai dengan pasal 74 Undang Undang Praktik Kedokteran.
Konsep adanya pengawasan dan pembinaan tersebut diarahkan untuk:
1. meningkatkan mutu pelayanan kesehatan;
2. melindungi masyarakat
3. memberikan kepastian hukum
Terkait dengan pembinaan dan pengawasan ini maka dokter yang menyelanggarakan praktik kedokteran dapat dilakukan audit medis.
Orang yang mengesankan diri sebagai dokter
Sekarang ini dengan perkembangan iptek kesehatan, maka pengobatan tidak lagi menjadi monopoli dokter. Masyarakat dapat
mengambil berbagai jenis kursus yang diadakan dimasyarakat untuk kemudian melakukan usaha praktik penyembuhan. Kebanyakan
dari praktik penyembuhan itu menggunakan alat-alat kesehatan serupa dengan alat untuk fisioterapi.
Selain itu perkembangan obat tradisonal dan sistem pemasaran obat tradional yang kuat aikmelalui media cetakdan elektronik, juga
pemsaran melalui multi level marketing, semakinbanyakorang mempelajari berbagai penyakit, gejala dan pengobatannya ala obat
tradisonal mereka.
Perkembangan tersebut dapat mengaburkan masyarakat terhadap peran dan fungsi dokter sebagai profesi kesehatan yang resmi.
Bahkan perkembangan lebih lanjut dengan adanya peningkatan kemampuan masyarakat menggunakan alat kesehatan seperti
tensimeter, pengukur nadi, alat ukur gula darah dan lain-lainnya, memudahkan orang untuk tertipu karena kesan yang mereka
munculkan seolah mereka juga seperti dokter yang mampu melakukan pemeriksaan fisik diagnostik, anamnesa, dan juga terapi.
Mengantisipasi hal ini maka dala Undang Undang Praktik Kedokteran pada pasal 73 melarang setiap orang yang berperilaku
danmengesankan diri sebagai dokter. Dan, pada mereka berbuat seperti itu akan dikenai sanksi pidana.sebagaimana disebutkan dalam
uupk pasal 77 dan 78 dengan sanksi berupa denda sebesar 150 juta rupiah atau kurungan paling lama 5 tahun.
Ketentuan pidana
Di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran, pelanggaran dari ketentuan yang ada jika dilanggar maka pelaku akan diancam dengan
sanksi pidana. Pidana ini disebut pidana administrasi. Sanksipidana ini dibuat untuk meningkatkan rasa jera dari masyarakat agar mau
menuruti aturan yang ada di dalam Undang Undang Praktik Kedokteran ini.
Ketentuan pidana dari Undang Undang Praktik Kedokteran ini terdapat dalam Bab X, pada pasal 75 sampai dengan pasal 80.

Keputusan Mahkamah Konstitusi


Hanya saja pada tahun 2007, dari hasil kajian Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada hari Selasa 19 Juni 2007, pasal 75 2, 763, dan
794 sudah tidak mengikat lagi.
Pasal 75 berkaitan dengan sanksi bagi dokter yang menjalankan praktik dengan sengaja tanpa memiliki STR. Pasal 76 berkaitan
dengan sanksi bagi dokter yang praktik tanpa memiliki SIP. Pasal 79 berkaitan dengan sanksi bagi dokter yang tidak memenuhi pasal
41 ayat(1)5, pasal 46 ayat (1)6, dan pasal 51 huruf a,b,c,d, dan e.
Pasal 51 dalam Undang Undang Praktik Kedokteran mengatur masalah pelaksanaan praktik dokter. Disebutkan dalam pasal 51, yaitu
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta kebutuhan medis pasien;
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak
mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan;
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu meninggal dunia;
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu
melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Keputusan MK tersebut dapat dipandang baik karena pada kenyataannya di masyarakat tidak memperhatikan, apakah dokter tersebut
secara formal sudah praktik atau belum, kalau tahu disitu ada dokter, maka masyarakat akan minta bantuan pada dokter tersebut,
untuk membantu mengatasi masalah kesehatannya. Sehingga dengan adanya keputusan MK tersebut kebutuhan masyarakat terhadap
keberadaan dokter tidak terhambat.

Pasal 75
(1)
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat tanda registrasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling
banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2)
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi sementara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(3)
Setiap dokter atau dokter gigi warga negara asing yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat
tanda registrasi bersyarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 76
Setiap dokter atau dokter gigi yang dengan sengaja melakukan praktik kedokteran tanpa memiliki surat izin praktik sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 36 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
Pasal 79
Dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah),
setiap dokter atau dokter gigi yang :
a.
dengan sengaja tidak memasang papan nama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1);
b.
dengan sengaja tidak membuat rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 ayat (1); atau
c.
dengan sengaja tidak memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 huruf a, huruf b,
huruf c, huruf d, atau huruf e.
5

Dokter atau dokter gigi yang telah mempunyai surat izin praktik dan menyelenggarakan praktik kedokteran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 36 wajib memasang papan nama praktik kedokteran.
6

Setiap dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran wajib membuat rekam medis.

You might also like