You are on page 1of 38

BAB I

PENDAHULUAN
Tuberkulosis , terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun
di negara maju. 1
Sejak akhir tahun 1990-an, dilakukan deteksi terhadap beberapa penyakit yang
kembali muncul dan menjadi masalah (re-emerging disease), terutama di negara maju.
Salah satu diantaranya adalah TB. WHO memperkirakan bahwa sepertiga penduduk dunia
(2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. Tuberculosis, dengan angka tertinggi di Afrika,
Asia, dan Amerika Latin. 3
Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah yang timbul tidak hanya di
negara berkembang, tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap merupakan salah satu
penyebab tingginya angka morbiditas dan mortalitas, baik di negara berkembang maupun
di negara maju. Ada tiga hal yang mempengaruhi epidemiologi TB setelah tahun 1990,
yaitu perubahan strategi pengendalian, infeksi HIV dan pertumbuhan populasi yang
cepat.3
Dengan meningkatnya kejadian TBC pada orang dewasa, maka jumlah anak yang
terinfeksi TBC akan meningkat dan jumlah anak dengan penyakit TBC juga meningkat.
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB pada anak seringkali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak sulit didapatkan spesimen
diagnostik yang dapat dipecaya. Seorang anak dapat terkena infeksi TBC tanpa menjadi
sakit TBC dimana terdapat uji tuberkulin positif tanpa ada kelainan klinis, radiologis dan
laboratoris.4
Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi overdiagnosis yang
diikuti overtreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah
orang dewasa dengan hasil sputum basil tahan asam positif, sehingga penanggulangan TB
ditekankan pada pengobatan TB dewasa. Akibatnya, penanganan TB anak kurang
diperhatikan.4
Tuberkulosis primer pada anak kurang membahayakan masyarakat karena
kebanyakan tidak menular, tetapi bagi anak itu sendiri cukup berbahaya oleh karena dapat
timbul TBC ekstra thorakal yang sering kali menjadi sebab kematian atau menimbulkan
cacat, Misal pada TBC Meningitis.
1

BAB II
PEMBAHASAN
II. 1 Definisi
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah
menular yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.4 Tuberkulosis merupakan
penyakit yang sudah sangat lama dikenal oleh manusia. Pada peninggalan Mesir
Kuno, ditemukan relief yang menggambarkan orang dengan gibbus. Kuman
Mycobacterium tuberculosis penyebab TB telah ditemukan oleh Robert Koch pada
tahun 1882, lebih dari 100 tahun yang lalu. Walaupun telah dikenal sekian lama dan
telah lama ditemukan obat-obat antituberkulosis yang poten hingga saat ini TB masih
merupakan masalah kesehatan utama di seluruh dunia. Di Indonesia sendiri TB masih
merupakan masalah yang menonjol. Bahkan secara global, Indonesia menduduki
peringkat ketiga sebagai penyumbang kasus terbanyak di dunia.3
II. 2 Morbiditas dan Mortalitas
Laporan mengenai TB anak jarang didapatkan. Diperkirakan jumlah kasus TB
anak per tahun adalah 5 6 % dari total kasus TB. Berdasarakan laporan tahun 1985,
dari 1261 kasus TB anak usia < 15 tahun, 63 % di antaranya berusia < 5 tahun. Di
negara berkembang, tuberkulosis pada anak berusia < 15 tahun adalah 15 % dari
seluruh kasus TB, sedangkan di negara maju, angkanya lebih rendah, yaitu 5-7 %.
Pada tahun 1989, WHO memperkirakan bahwa setiap tahun terdapat 1,3 juta kasus
baru TB anak dan 450.000 usia dibawah 15 tahun , meninggal dunia karena TB.
Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam jumlah kasus
baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta kasus) dan Cina (1,1 juta kasus).
Sebanyak 10 % dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia di bawah 15 tahun.
Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga disebabkan
oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat; (2) pengobatan yang tidak
adekuat ; (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat; (4) infeksi
endemik human immuno-deficiency virus (HIV); (5) migrasi penduduk; (6) mengobati
sendiri (self treatment); (7) meningkatnya kemiskinan; (8) pelayanan kesehatan yang
kurang memadai.3

II. 3 Etiologi
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Ada 2 macam
mycobacteria yang menyebabkan penyakit tuberculosis yaitu tipe human ( berada
dalam bercak ludah dan droplet ) dan tipe bovin yang berada dalam susu sapi. Agen
tuberculosis, Mycobacterium tuberculosa, Mycobacterium bovis, dan Mycobacterium
africanum, merupakan anggota ordo Actinomycetes dan famili Mycobacteriacea.2
Ciri ciri kuman berbentuk batang lengkung, gram positif lemah, pleiomorfik, tidak
bergerak, dengan ukuran panjang 1 4 m dan tebal 0.3 0.6 m, tidak berspora
sehingga mudah dibasmi dengan pemanasan sinar matahari dan ultra violet. Mereka
dapat tampak sendiri sendiri atau dalam kelompok pada spesimen klinis yang
diwarnai atau media biakan, tumbuh pada media sintetis yang mengandung gliserol
sumber karbon dan garam ammonium sebagai sumber nitrogen. Mikobakteria ini
tumbuh paling baik pada suhu 37 41C, menghasilkan niasin dan tidak ada
pigmentasi. Dinding sel kaya lipid menimbulkan resistensi terhadap daya bakterisid
antibodi dan komplemen.6,7 Tanda semua mikobakteria adalah ketahanan asamnya,
kapasitas membentuk kompleks mikolat stabil dengan pewarnaan aril metan seperti
kristal violet, karbol fuschin, auramin dan rodamin. Bila diwarnai mereka melawan,
perubahan warna dengan ethanol dan hidroklorida atau asam lain. Sifatnya aerob
obligat, hal ini menunjukan kuman lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan
oksigen nya, dan sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak, sehingga membuat
kuman lebih tahan terhadap asam dan merupakan faktor penyebab terjadinya fibrosis

dan terbentuknya sel epiteloid dan tuberkel. Selain itu kuman terdiri dari protein yang
menyebabkan nekrosis jaringan.
Kuman dapat tahan hidup dan tetap virulen beberapa minggu dalam keadaan udara
kering maupun dalam keadaan dingin, hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat
dormant. Tetapi dalam cairan mati pada suhu 60C dalam waktu 15 20 menit. 5,6 Di
dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian disenangi karena
banyak mengandung lipid.
II.4 Faktor Resiko
Terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya infeksi TB maupun
timbulnya penyakit TB pada anak. Faktor-faktor tresebut dibagi menjadi faktor risiko
infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit (risiko penyakit).3
1. Risiko Infeksi TB
Faktor risiko terjadinya infeksi TB antara lain adalah anak yang terpajan
dengan orang dewasa dengan TB aktif (kontak TB positif ), daerah endemis,
kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat (hygiene dan sanitasi tidak baik), dan
tempat penampungan umum (panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain),
yang banyak terdapat pasien TB dewasa aktif.
Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang
dewasa yang infeksius, terutama dengan BTA positif. Berarti bayi dari seorang
ibu dengan BTA sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin
erat bayi tersebut dengan ibunya, semakin besar pula kemungkinan bayi
tersebut terpajan percik renik (droplet nuclei ) yang infeksius. Risiko
timbulnya transmisi kuman dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika
pasien dewasa tersebut mempunyai BTA sputum postif, infiltrate luas atau
kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif
dan kuat, serta terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi
udara yang tidak baik. TB pada anak jarang meularkan kuman pada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang
ditemukan di dalam sekret endobronkial pasien anak. Ada beberapa hal yang
menjelaskan hal tersebut. Pertama, jumlah kuman TB pada anak biasanya
sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak masih lemah, jumlah
yang sedikit tersebut sudah menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi primer
yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di
daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi
4

sputum. Ketiga, tidak ada/sedikitnya produksi sputum dan tidak terdapatnya


reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala
batuk pada TB anak. 3
2. Risiko Sakit TB
Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB. Berikut
ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB
menjadi sakit TB.
a.
Usia : Anak berusia 5 tahun mempunyai risiko lebih besar mengalami
progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum
berkembang sempurna (imatur). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan
berkurang seiring secara bertahap seiring dengan pertambahan usia. Pada
bayi yang terinfeksi TB, 43 % nya akan menjadi sakit TB, pada anak usia
1 5 tahun, yang menjadi sakit hanya 24 %, pada usia remaja 15 %, dan
pada dewasa 5 10 %. Anak berusia < 5 tahun memiliki risiko tinggi
mengalami TB diseminata (seperti TB milier dan meningitis TB). Risiko
tertinggi terjadinya progresivitas dari infeksi menjadi sakit TB adalah
selama 1 tahun pertama setelah infeksi, terutama selama 6 bulan pertama.
Pada bayi, rentang waktu antara terjadinya infeksi dan timbulnya sakit TB
b.

c.

singkat (kurang dari 1 tahun) dan biasanya timbul gejala akut. 2


Infeksi baru : Infeksi baru yang ditandai dengan adanya konversi uji
tuberculin (dari negative menjadi positif) dalam 1 tahun terakhir.
Faktor risiko lainnya : Malnutrisi, imunokompromais (misalnya pada
infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan penobatan imunosupresi,

d.

e.

diabetes mellitus dan gagal ginjal kronik. 3


Faktor virulensi dari M. tuberculosis. Akan tetapi, secara klinis hal ini sulit
untuk dibuktikan. 3
Faktor epidemiologi TB : status sosioekonomi rendah, penghasilan kurang,
kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya
dana untuk pelayanan masyarakat. 3

II.5 Patogenesis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil (< 5 m), kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei)
yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan memfagosit kuman
TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi,

pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan
kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus
berkembang biak, akhirnya akan menyebabkan makrofag mengalami lisis, dan kuman
TB membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di
jaringan paru disebut fokus primer Ghon. 5
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju ke kelanjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus
primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe
(limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer
terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar
limfe parahilus, sedangan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat
adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar dan saluran limfe yang meradang. 5
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lenkap disebut masa inkubasi TB.6 Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yag diperlukan sejak masuknya
kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung
dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa
inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 1000-10.000, yaitu jumlah
yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. 5
Selama minggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman
TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberkulin,
mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer
inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh
terbentuknya hipersenitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaiu timbulnya respons
positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.
Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik,
begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun,
sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler
telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera
dimusnahkan.4
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami

fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus


primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahuntahun dalam kelenjar ini. 5
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus di paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi
nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui
bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe
hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan
membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi
parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi di segmen
distal paru. Obstruksi total dapat menyebabkan atelectasis. Kelenjar yang mengalami
inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau mebentuk fistula. Massa kiju
dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis dan atelectasis, yang disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. 4
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematoen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran
hematogen, kuman masuk ke sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya
penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit
sistemik. 5

Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya
sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak,
yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik.
Sebanyak 0,5-3 % penyebaran limfohematogen akan menjadi TB TB milier atau
meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis
endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat
terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat

bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempuna.
Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.

Catatan :
1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult hematogenic
spread) dapat juga secara akut dan menyeluruh. Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan vaskularisasi yang baik.
Fokus ini berpotensi mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari (1) fokus primer; (2) limfangitis; dan (3)
limfadenitis regional.
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. Sakit TB pada keadaan ini disebut TB pasca primer karena mekanismenya bisa
melalui proses reaktivasi fokus lama TB (endogen) biasanya pada orang
dewasa, TB dewasa juga dapat, karena infeksi baru.
II.6 Diagnosis
Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya M. tuberculosis pada
pemeriksaan sputum atau bilasan lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura, atau
pada biopsi jaringan. Pada anak, kesulitan menegakkan diagnosis pasti disebabkan
oleh 2 hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan
spesimen (sputum). Jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit
daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelanjar
limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim
paru tidak seberat pada dewasa. Kuman BTA baru dapat dilihat dengan mikroskop
bila jumlahnya paling sedikit 5.000 kuman dalam 1 ml dahak. Kesulitan kedua,
pengambilan sputum sulit dilakukan. Pada anak, walaupun batuknya berdahak,
biasanya dahak akan ditelan sehingga diperlukan bilasan lambung yang diambil
melalui NGT dan harus dilakukan oleh petugas berpengalaman. Dahak yang
representatif untuk dilakukan pemeriksaan mikroskopis adalah dahak yang kental dan
purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml. 3
Oleh karena berbagai alasan diatas, diagnosis TB anak bergantung pada penemuan
klinis dan radiologis, yang keduanya sering kali tidak spesifik. Kadang-kadang, TB
anak ditemukan karena ditemukannya TB dewasa di sekitarnya. Diagnosis TB anak
ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji
tuberkulin, pemeriksaan laboratorium, dan foto rontgen dada. Adanya riwayat kontak
dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, dan foto paru mengarah
pada TB (sugestif TB) merupakan bukti kuat yang menyatakan anak telah sakit TB. 3

Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa mendiagnosis TB anak sulit dilakukan


karena gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak
oleh beberapa pakar. Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak
secara luas. Sekarang digunakan sistem skoring yaitu pembobotan terhadap gejala
atau tanda klinis yang dijumpai. Penilaian atau skoring dapat dilihat pada tabel
dibawah ini. 3

10

Sumber::
World Health Organization (WHO). Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit: Pedoman bagi
Rumah Sakit Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota. 2009

Pada tabel, dapat dilihat bahwa pembobotan tertinggi ada pada uji tuberkulin dan
adanya kontak TB dengan BTA positif. Uji tuberkulin ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai uji tapis dan menunjang
diagnosis. Demikian pula adanya kontak dengan orang dewasa BTA positif dapat
menjadi sumber penularan yang berbahaya karena berdasarkan penelitian akan
menularkan sekitar 65 % orang di sekitarnya. 3
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakan oleh dokter. Jika dijumpai
skrofuloderma, pasien dapat langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang.
Foto rontgen toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.
Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring TB
anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor 6, (skor maksimal 13).
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut.
Pasien dengan jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 harus ditatalaksana
sebagai pasien TB dan mendapat OAT. Alur tatalaksana pasien TB anak dapat
dilihat di bawah ini.

11

II.7

Manifestasi Klinis
Oleh karena patogenesis TB sangat kompleks, sehingga manifestasi klinis TB
sangat bervariasi dan bergantung pada beberapa faktor. Faktor yang berperan adalah
kuman TB (jumlah dan virulensi), pejamu (usia, kompetensi imun, kerentanan pejamu
pada awal terjadinya infeksi) serta interaksi antara keduanya. Anak kecil seringkali
tidak menunjukkan gejala walaupun sudah tampak pembesaran kelenjar hilus pada
foto toraks. Permulaan tuberkulosis primer biasanya sukar diketahui secara klinis
karena penyakit mulai secara perlahanlahan. Kadangkadang tuberkulosa ditemukan
pada anakanak tanpa keluhan atau gejalagejala tuberkulosis primer, salah satu
gejala sistemik yang sering terjadi adalah demam. Temuan demam pada pasien TB
berkisar anatara 4080 % kasus. Demam biasanya tidak tinggi dan hilang timbul
dalam jangka waktu yang cukup lama. Manifestasi sistemik lainnya yang sering
dijumpai adalah anoreksia, BB tidak naik (turun, tetap atau naik namun tidak sesuai
dengan grafik tumbuh), malaise (letih, lesu, lemah, lelah). Keluhan ini sulit diukur

12

dan mungkin terkait dengan penyakit penyerta. Pada sebagian besar kasus TB paru
pada anak, tidak ada manifestasi respiratorik yang menonjol. Gejala batuk kronik
pada anak bukan merupakan gejala utama. Akan tetapi, gejala ini dapat timbul apabila
limfadenitis regional menekan bronkus sehingga merangsang reseptor batuk secara
kronik. Selain itu, batuk berulang dapat terjadi karena anak dengan TB mengalami
penurunan imunitas tubuh, sehingga mudah sekali mengalami infeksi respiratorik akut
(IRA) berulang. 3
II.8 Pemeriksaan Penunjang
Uji Tuberkulin
Perkembangan hipersensitivitas tipe lambat pada kebanyakan individu yang terinfeksi
dengan basil tuberkulosis membuat uji tuberkulin sangat dibutuhkan. Pemeriksaan ini
merupakan alat diagnosis yang penting dalam menegakkan diagnosis tuberkulosis. Uji
multi punksi tidak seakurat uji Mantoux karena dosis antigen tuberculin yang
dimasukkan ke dalam kulit tidak dapat di kontrol. Uji tuberkulin lebih penting lagi
artinya pada anak kecil bila diketahui adanya konvensi dari negatif. Pada anak
dibawah umur 5 tahun dengan uji tuberkulin positif, proses tuberkulosis biasanya
masih aktif meskipun tidak menunjukkan kelainan klinis dan radiologis. 3
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin yaitu dengan cara mono dengan salep,
dengan goresan disebut patch test cara von pirquet, cara mantoux dengan
menyuntikan intrakutan dan multiple puncture metode dengan 4 6 jarum
berdasarkan cara Heat and Tine. Uji kulit Mantoux adalah injeksi intradermal 0.1 mL
yang mengandung 5 unit tuberculin ( UT ) derivate protein yang dimurnikan (PPD)
yang distabilkan dengan Tween 80.Sampai sekarang cara Mantoux masih dianggap
sebagai cara yang paling dapat dipertanggung jawabkan karena jumlah tuberkulin
yang dimasukkan dapat diketahui banyaknya. 3
Reaksi lokal yang terdapat pada uji Mantoux terdiri atas :
1. Eritema karena vasodilatasi perifer
2. Edema karena reaksi antara antigen yang dimasukkan dengan antibodi
3. Indurasi yang dibentuk oleh sel mononukleus.
Pembacaan uji tuberculin dilakukan 48 72 jam. Setelah penyuntikan diukur diameter
melintang dari indurasi yang terjadi. Kadang kadang penderita akan mulai
berindurasi lebih dari 72 jam sesudah perlakuan uji, ini adalah hasil positif. Faktor
factor yang terkait hospes, termasuk umur yang amat muda, malnutrisi,
13

immunosupresi karena penyakit atau obat obat, infeksi virus, vaksin virus hidup,
dan tuberculosis yang berat, dapat menekan reaksi uji kulit pada anak yang terinfeksi
dengan M.tuberculosis.
Terapi kortikosteroid dapat menurunkan reaksi terhadap tuberkulin, dengan pengaruh
yang sangat bervariasi.
Interpretasi hasil test Mantoux :
1.

Indurasi 10 mm atau lebih reaksi positif . Arti klinis adalah sedang atau pernah
terinfeksi dengan kuman Mycobacterium tuberculosis.

2.

Indurasi 5 9 mm reaksi meragukan .Arti klinis adalah kesalahan teknik atau


memang ada infeksi dengan Mycobacterium atypis atau setelah BCG. Perlu diulang
dengan konsentrasi yang sama. Kalau reaksi kedua menjadi 10 mm atau lebih berarti
infeksi dengan Mycobacterium tuberculosis. Kalau tetap 6 9 mm berarti cross
reaction atau BCG, kalau tetap 6 9 mm tetapi ada tanda tanda lain dari tubeculosis
yang jelas maka harus dianggap sebagai mungkin sering kali infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis.

3.

Indurasi 0 4 mm reaksi negatif. Arti klinis adalah tidak ada infeksi dengan
Mycobacterium tuberculosis. Reaksi positif palsu terhadap tuberkulin dapat
disebabkan oleh sensitisasi silang terhadap antigen mikobakteria non tuberculosis.
Reaksi silang ini biasanya selama beberapa bulan sampai beberapa tahun dan
menghasilkan indurasi kurang dari 10 12 mm. Vaksinasi sebelumnya ( BCG ) juga
dapat menimbulkan reaksi terhadap uji kulit tuberkulin. Sekitar setengah dari bayi
yang mendapat vaksin BCG tidak pernah menimbulkan uji kulit tuberkulin reaktif,
dan reaktivitas akan berkurang 2 3 tahun kemudian pada penderita yang pada
mulanya memiliki uji kulit positif. 3
Pemeriksaan Radiologis
Pada saat ini pemeriksaan radiologis dada merupakan cara yang praktis untuk
menemukan lesi tuberkulosis. Pemeriksaan ini memang membutuhkan biaya lebih
dibanding pemeriksaan sputum, tapi dalam beberapa hal pemeriksaan radiologis
memberikan beberapa keuntungan seperti tuberkulosis pada anak anak dan
tuberkulosis millier. Pada kedua hal tersebut diagnosa dapat diperoleh melalui
pemeriksaan radiologi dada, sedangkan pemeriksaan sputum hampir selalu negatif.
Pada anak dengan uji tuberkulin positif dilakukan pemeriksaan radiologis. 1 Gambaran
14

radiologis paru yang biasanya dijumpai pada tuberkulosis paru:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Kompleks primer dengan atau tanpa pengapuran.


Pembesaran kelenjar paratrakeal.
Penyebaran milier.
Penyebaran bronkogen.
Atelektasis.
Pleuritis dengan efusi.

Pemeriksaan radiologis pun saja tidak dapat digunakan untuk membuat diagnosis
tuberkulosis, tetapi harus disertai data klinis lainnya.
Pemeriksaan Laboratorium
1. Darah
Pemeriksaan ini kurang mendapat perhatian karena hasilnya kadang kadang
meragukan. Pada saat tuberkulosis baru dimulai (aktif) akan didapatkan sedikit
leukosit yang sedikit meningkat. Jumlah limfosit masih normal. Laju Endap
Darah mulai meningkat. Bila penyakit mulai sembuh, jumlah leukosit kembali
normal dan laju endap darah mulai turun kearah normal lagi.

2. Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting karena dengan ditemukannya kuman
BTA, diagnosis tuberkulosis sudah dapat dipastikan. Disamping itu
pemeriksaan sputum juga dapat memberikan evaluasi terhadap pengobatan
yang sudah diberikan, tetapi kadang kadang tidak mudah untuk menemukan
sputum terutama penderita yang tidak batuk atau pada anak anak. Pada
pemeriksaan sputum kurang begitu berhasil karena pada umumnya sputum
langsung ditelan, untuk itu dibutuhkan fasilitas laboratorium berteknologi
yang cukup baik, yang berarti membutuhkan biaya yang banyak.
Adapun bahan bahan yang digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi adalah :

Bilasan lambung
Sekret bronkus
Sputum
Cairan pleura
Liquor cerebrospinalis
Cairan asites

15

Kriteria sputum BTA positif adalah bila sekurang kurang nya ditemukan tiga batang
kuman BTA pada suatu sediaan. Dengan kata lain diperlukan 5.000 kuman dalam 1 ml
sputum. 3
II. 9 PENATALAKSANAAN TB
9.1

Penatalaksanaan TB menurut IDAI dan DEPKES


Tatalakasana TB pada anak merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisahkan antara

pemberian medikamentosa, penanganan gizi, dan pengobatan penyakit penyerta. Selain itu,
penting untuk dilakukan pelacakan sumber infeksi, dan bila ditemukan sumber infeksi juga
harus mendapatkan pengobatan. Upaya perbaikan kesehatan lingkungan juga diperlukan
untuk menunjang keberhasilan pengobatan. Pemberian medikamentosa tidak terlepas dari
penyuluhan kesehatan kepada masyarakat atau kepada orang tua pasien mengenai pentingnya
menelan obat secara teratur dalam jangka waktu yang cukup lama, pengawasan terhadap
jadwal pemberian obat, keyakinan bahwa obat diminum, dan sebagainya. 3

Obat TB yang digunakan


Obat TB utama (first line) saat ini adalah rimfapisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z),
etambutol (Z), dan streptomisin (S). Rimfapisin dan Isoniazid merupakan obat pilihan utama
dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line)
adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone, ethinamide, prothionamide,
ofloxacin, levofloxacin, moxiflokxacin, gatifloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan
capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR. 3
ISONIAZID
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup
100mg/5ml. Sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil. Sehingga tidak dianjurkan
penggunaanya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 12 jam, dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid di metabolisme melalui asetilasi
di hati. Terdapat dua komplek pasien berdasarkan kemampuanya melakukan asetilasi, yaitu
asetilator cepat dan asetilator lambat. Asetilasi cepat lebih sering terjadi pada orang Afrika16

Amerika dan Asia dari pada orang kulit putih. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat
dari pada orang dewasa, sehingga memerlukan dosis mg/kgBB yang lebih tinggi dari pada
dewasa. Isoniazid terdapat pada air susu ibu (ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat
menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat yang mencapai janin/bayi tidak
membahayakan.
Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Tiga hingga sepuluh
persen pasien akan mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang cukup tinggi,
tetapi hepatotoksitas yang bermakna secara klinis sangat jarang terjadi. Idealnya perlu
pemantauan kadar transaminase pada dua bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala
dan tanda klinis. Hepatotoksisitas akan meningkat apabila isoniazid diberikan bersama
rimfapisin dan pirazinamid. Penggunaan isoniazid bersamaan dengan fenobarbital atau
fenitoin juga dapat meningkatkan risiko terjadinya hepatotoksik. Pemberian isoniazid tidak
dilanjutkan bila kadar transaminase serum naik lebih dari lima kali nilai normal, atau tiga kali
disertai ikterik dan atau manifestasi klnis hepatitis berupa mual, muntah dan nyeri perut.
Neuritis perifer timbul akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Manifestasi klinis neuritis perifer yang paling sering adalah mati rasa atau kesemutan pada
tangan dan kaki. Kadar piridoksin berkurang pada anak yang menggunakan isoniazid, tetapi
manifestasi klinisnya jarang sehingga tidak diperlukan tambahan piridoksin. Remaja dengan
diet yang tidak adekuat, anak-anak dengan asupan susu dan daging yang kurang, malnutrisi,
serta bayi yang hanya minum ASI, memerlukan piridoksin tambahan. Piridoksin diberikan
25-50mg satu kali seahri, atau 10 mg piridoksin setiap 100mg isoniazid.3
RIFAMPISIN
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rimfapisin diabsorpsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong ( 1
jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini rimfapisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis
17

rimfapisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10mg/kgBB/hari. Seperti


halnya isoniazid, rimfapisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan tubuh, termasuk CSS.
Distribusi rimfapisin ke dalam CSS lebih baik pada keadaan selaput otak yang sedang
mengalami peradangan daripada keadaan normal. Eksresi rimfapisin terutama terjadi melalui
traktus bilier. Kadar yang efektif juga dapat ditemukan di ginjal dan urin.
Efek samping rifampisin lebih sering terjadi daripada isoniazid. Efek samping yang
kurang menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan
air mata, menjadi warna oranye kemerahan. Sealin itu, efek samping rifampisin adalah
gangguan gastrointestinal (muntah dan mual),d an hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang
biasanya daitandai dengan peningkatan kadar transaminase yang asimptomatik. Jika
rifampisin diberikan bersamaan dengan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotoksisitas,
yang dapat diperkecil denagn cara menurunkan dosis harian isoniazid menajdi maksimal
10mg/kgBB/hari. Rifampisin tersedia dalam sediaan kapsul 150mg, 300mg, dan
450mg,sehingga kurang sesuai untuk digunakan pada anak-anak dengan berbagai kisaran BB.
Sebaiknya tidak diminum bersamaan dengan pemberian makanan karena dapat timbul
malabsorpsi. 3
PIRAZINAMID
Pirazinamid adalah derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan
cairan tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel pada suasana asam, dan diresorbsi
baik pada saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari
dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam, yang timbul akibat jumlah kuman
masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid aman pada anak. Pirazinamid tersedia dalam
bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan diberikan bersama dengan
makanan. 3
ETAMBUTOL
Dahulu etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata.
Obat ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid, jika diberikan
dengan dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini
dapat mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gram/hari, dengan dosis tunggal. Etambutol tersedia dalam

18

bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol ditoleransi dengan baik ileh anak-anak pada
pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari.
Eksresi terutama melalui ginjal dan saluran cerna. Kemungkinan toksisitas utama
adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaanya
dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam penglihatanya. Etambutol dapat
diberikan pada anak TB berat dan kecurigaan TB resistensi obat jika obat-obat lainya tidak
tersedia atau tidak dapat digunakan. 3
STREPTOMISIN
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraselular pada
basal atau netral. Sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraselular. Saat ini,
streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB, tetapi penggunaannya penting pada
pengobatan fase intesif meningitis TB dan MDR TB. Streptromisin diberikan secara
intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gram/hari, dan kadar puncak
40-50 Ug/ml dalam waktu 1-2 jam.
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranial VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran, dengan gejala berupa telinga berdengung, dan pusing.
Toksisitas ginjal sangat jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta sehingga perlu
berhati-hati dalam menentuka dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.3
Paduan Obat TB
Pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan
sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat
pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase
lanjutan (4 bulan atau lebih). Pemberian padauan obat ini bertujuan untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular.
Pemberian obat jangka panjang, selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi
kemungkinan terjadinya relaps. 3

19

Berbeda dengan orang dewasa, OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau
tigakali dalam seminggu. Hal ini bertujuan untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat
yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Saat ini paduan obat yang baku
untuk sebagian besar kaus TB pada anak adalah paduan rifampisin, isoniazid, dan
pirazinamid. Pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid,sedangkan
pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. 3
Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti pada TB
milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain-lain, pada fase intensif diberikan minimal
empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin).
Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB
tertentu yaitu meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial,
dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari,
dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah
2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1-2 minggu. 3

20

Untuk beberapa kasus TB anak, selain OAT perlu diberikan juga steroid berupa
prednison dengan dosis 1 mg/kgBB/hari dalam dosis terbagi 3. Untuk efusi pleura TB
dan peritonitis TB tipe asites, prednison diberikan selama 2 minggu dosis penuh,
dilanjutkan dengan 2 minggu penurunan dosis bertahap (tappering off). Untuk
meningitis TB, prednison diberikan selama 4 minggu dosis penuh dan 4 minggu
tappering off. 3
Kombinasi dosis tetap OAT (FDC)
Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum
obat, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket kombipak
dibuat untuk satu pasien untuk satu masa pengobatan. Kombipak untuk anak berisi
obat fase intensif, yaitu rifampisin (R) 75 mg, INH (H) 50 mg dan pirazinamid (PZA)
150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75 mg dan H 50 mg dalam satu paket. Di
tempat dengan sarana kesehatan yang lebih memadai, untuk meningkatkan kepatuhan
pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang
banyak, dalam program penanggulangan TB anak telah dibuat obat TB dalam bentuk

21

kombinasi dosis tetap (fixed dose combination = FDC). FDC ini dibuat dengan
komposisi rifampisin, INH, dan pirazinamid masing-masing 75 mg/50 mg/150 mg
untuk 2 bulan pertama, sedangkan untuk fase 4 bulan berikutnya terdiri dari
rifampisin dan iNH masing-masing 75 mg dan 50 mg. Dosis yang dianjurkan dapat
dilihat pada tabel berikut. 4,9

Keterangan :

Bila BB 33 g, dosis disesuaikan dengan dosis maksimal

Bila BB < 5kg, sebaiknya dirujuk ke RS

Perhitungan pemberian tablet di atas sudah mempehatikan dosis per kgBB

Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah

OAT KDT dapat diberikan dengan cara ditelan secara utuh atau digerus sesaat
sebelum diminum. 3,9

Evaluasi Hasil Pengobatan

22

Sebaiknya pasien kontrol setiap bulan. Evaluasi hasil pengobatan dilakukan setelah 2
bulan terapi. Evaluasi hasil pengobatan penting karena diagnosis TB pada anak sulit dan tidak
jarang terjadi salah diagnosis. evaluasi pengobatan dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi yang terpenting adalah
evaluasi klinis, yaitu menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada
pada awal pengobatan, misalnya penambahan BB yang bermkana, hilangnya demam,
hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain-lain. Apabila respons pengobatan baik
maka pengobatan dilanjutkan. Sedangkan apabila respons pengobatan kurang atau tidak baik
maka pengobatan TB tetap dilanjutkan sambil mencari penyebabnya. Sistem skoring hanya
digunakan untuk diagnosis, bukan untuk menilai hasil pengobatan. 3,9
Evaluasi radiologis dalam 2-3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin,
kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti TB milier, efusi pleura,
atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan
untuk evaluasi hasil pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto torkas
dilakukan setelah 2 minggu. LED dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal
pengobatan nilainya tinggi.3
Apabila respons setelah 2 bulan kurang baik, yaitu gejala masih ada dan tidak terjadi
penambahan BB, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lebih lanjut emngapa
tidak ada perbaikan. Kemungkinan yang terjadi adalah misdiagnosis, mistreatment, atau
resisten terhadap OAT. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis,
ketepatan dosis OAT, keteraturan menelan obat, kemungkinan adanya penyakit penyerta,
serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan 6-12 bulan dan terdapat perbaikan klinis,
pengobatan dapat dihentikan. Foto toraks ulang pada akhir pengobatan tidak perlu dilakukan
secara rutin. 3
Pengobatan selama 6 bulan bertujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi
persisten M.tuberculosis (tidak mati dengan obat-obatan) bertahan dalam tubuh, dan
mengurangi secara bermkana kemungkinan terjadinya relaps. Pengobatan lebih dari 6
bulangpada TB paru tanpa komplikasi menunjukkan angka relaps yang tidak berbeda
bermakna dengan pengobatan 6 bulan. 3
Evaluasi Efek Samping Pengobatan

23

OAT dapat menimbulkan berbagai efek samping. Efek samping yang cukup sering terjadi
pada pemebrian isoniazid dan rifampisin adalah gangguan gastrointestinal, heaptotoksisitas,
ruam dan gatal, serta demam. Salah satu efek samping yang perlu diperhatikan adalah
heaptotoksisitas.3
Hepatotoksisitas jarang terjadi pada pemebrian dosis isoniazid yang tidak melebihi
10mg/kgBB/hari dan dosis rifampisin yang tidak melebihi 15mg/kgBB/hari dalam kombinasi.
Hepatotoksisitas ditandai oleh peningkatan SGOT dan SGPT hingga 5 kali tanpa gejala,
atau 3 kali batas atas normal (40U/l) disertai dengan gejala, peningkatan bilirubin total > 1,5
mg/dl, serta peningkatan SGOT/SGPT dengan nilai berapapun yang disertai dengan ikterus,
anoreksia, nausea, dan muntah. 3
Pada anak dengan penyakit yang tidak berat dan dosis obat yang diberikan tidak
melebihi anjran, pemriksaan laboratorium tidak perlu dilakukan secara rutin. Pada keadaan
ini, hanya perlu dilakukan penapisan fungsi hati sebelum pemberian terapi serta pemantauan
terhadap gejala klinis hepatotoksisitas. 3,10
Tatalaksana heaptotoksistas bergantung pada beratnya kerusakan hati yang terjadi.
Anak dengan gangguan fungsi hati ringan mungkin tidak membutuhkan perubahan terapi.
Beberapa ahli berpendapat bahwa peningkatan enzim transaminase yang tidak terlalu tinggi
(moderate) dapat mengalami resolusi spontan tanpa penyesuaian dosis rifampisin. 3
Apabila peningkatan enzim transaminase 5 kali tanpa gejala atau 3 kali batas atas
normal disertai dengan gejala,maka semua OAT dihentikan, kemudian kadar enzim
transaminase diperiksa kembali setelah 1 minggu penghentian. Obat antituberkulosis
diberikan kembali apabila nilai laboratorium telah normal. Terapi berikutnya dilakukan
dengan cara memberikan isoniazid dan rifampisin dengan dosis yang dinaikkan secara
bertahap, dan harus dilakukan pemantauan klinis dan laboratorium dengan cermat.
Hepatotoksisitas dapat timbul kembali pada pemberian terapi berikutnya jika dosis yang
diberikan langsung secara penuh (full dose) dan pirazinamid digunakan dalam paduan
pengobatan. 3
Putus Obat
Pasien dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu.
Sikap selanjutnya untuk penanganan bergantung pada hasil evaluasi klinis saat pasien datang

24

kembali, sudah berapa lama menjalani pengobatan, dan berapa lama obat telah terputus.
Pasien tersebut perlu dirujuk untuk penanganan selanjutnya. 3
Multidrug Resistance TB
Multidrug resistance TB adalah isolat M.tuberculosis yang resisten terhadap dua atau
lebih OAT lini pertama, minimal terhadap isoniazid dan rifampisin. Kecurigaan adanya
MDR-TB adalah apabila secara klinis tidak ada perbaikan dengan pengobatan. Manajemen
TB semakin sulit dengan meningkatnya resistensi terhadap OAT yang biasa dipakai. Ada
beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT, yaitu pemakaian obat tunggal,
penggunaan paduan obat yang tidak memadai termasuk pencampuran obat yang tidak
dilakukan secara benar, dan kurangnya keteraturan menelan obat. 3
Pendekatan DOTS
Hal yang paling penting pada tata laksana TB adalah keteraturan menelan obat. Pasien
TB biasanya telah menunjukkan perbaikan bebrapa minggu setelah pengobatan, sehingga
merasa telah sembuh dan tidak memerlukan pengobatan. Nilai sosial dan budanyanya serta
pengertian yang kurang mengenai TB dari pasien serta keluarganya tidak menunjang
keteraturan pasien untuk menelan obat. 3
Sumber Penularan dan Case Finding
Apabila kita menemukan seorang anak dnegan TB, maka harus dicarisumber
penularan yang menyebabkan anak tersebut tertular TB. Sumber penularan adalah orang
dewasa yang menderita TB aktif dan kontak erat dengan anak tersebut. Pelacakan sumber
infeksi dilakukan dengan cara pemeriksaan radiologis dan BTA sputum (pelcakan
sentripetal). Bila telah ditemukan sumbernya, perlu pula dilakukan pelacakan sentrifugal,
yaitu mencari anak ain di sekitarnya yang mungkin juga tertular, dengan cara uji tuberkulin. 1
Sebaliknya jika ditemukan pasien TB dewasa aktif maka anak di sekitarnya atau yang
ontak erat harus ditelusuri ada atau tidaknya infeksi infeksi TB (pelacakan sentrifugal).
Pelacakan tersbeut dilakukand engan cara anmnesis, pemeriksaan fisis , dan pemeriksaan
penunjang yaitu uji tuberkulin.3
Aspek Edukasi dan Sosial Ekonomi

25

Pengobatan TB memerlukan kesinambungan pengobatan dalam jangka waktu yang


cukup lama, maka biaya yang diperlukan cukup besar. Selain itu, diperlukan juga penanganan
gizi yang baik, meliputi kecukupan asupan makanan, vitamin, dan mikronutrient. Tanpa
penanganan gizi yang baik, pengobatan dengan medikamentosa saja tidak akan mencapai
hasil hasul yang optimal. Edukasi ditujukan kepada pasien dan keluarganya agar mengetahui
mengenai TB. Pasien TB anak tidak perlu diisolasi karena sebagian besar TB pada anak tidak
menular keapada orang di sekitarnya. Aktfitas fisik pasien TB anak gtidak eprlu dibatasi,
kecuali pada TB berat.3
Pencegahan
1. Imunisasi BCG
Imunisasi BCG diberikan pada usia sebelum 2 bulan. Dosis untuk bayi sebesar 0,05
ml dan untuk anak 0,10 ml, diberikan secara inrakutan di daerah insersi otot deltoid kanan
(penyuntikan) lebih mudah dan lemak subkutan lebih tebal, ulkus tidak mengganggu struktur
otot dan sebagai tanda baku). Bila BCG diberikan pada usia >3 bulan, sebaiknya dilakukan
uji tuberkulin terlebih dahulu. Insidens TB anak yang mendapat BCG berhubungan dengan
kualitas vaksin yang digunakan, pemberian vaksin, jarak pemberian vaksin, dan intensitas
pemaparan infeksi. 3
Manfaat BCG telah dilaporkan oleh beberapa peneliti, yaitu 0-80%. Efek samping
yang sering ditemukan adalah ulserasi lokal dan limfadenitis (adenitis supuratif) dengan
insidens 0,1-1%. Kontraindikasi imunisasi BCG adalah kondisi imunokompromais, misalnya
defisiensi imun, infeksi berat, gizi buruk, dan gagal tumbuh. Pada bayi bayi prematur, BCG
ditunda hingga bayi mencapai BB optimal. 3

2. Kemoprofilaksis
Terdapat

dua

macam

kemoprofilaksis,

yaitu

kemoprofilaksis

primer

dan

kemoprofilaksis sekunder. Kemoprofilaksis primer bertujuan untuk mencegah terjadinya


infeksi TB, sedangkan kemoprofilaksis sekunder mencegah berkembangnya infeksi menjadi
sakit TB. Pada kemoprofilaksis primer diberikan isoniazid dengan dosis 5-10 mg/kgBB/hari
dengan dosis tunggal. Kemoprofilaksis ini diberikan pada anak yang kontak dengan TB
menular, terutama dengan BTA sputum positif, tetapi belum terinfeksi (uji tuberkulin negatif).
Obat ini diberikan selama 6 bulan. Pada akhir bulan ketiga pemberian profilaksis dilakukan

26

uji tuberkulin ulang. Jika tetap negatif, profilaksis dilanjutkan hingga 6 bulan. Jika terjadi
konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. Pada akhir bulan keenam
pemberian profilaksis, dilakukan lagi uji tuberculin, jika tetap negatif profilaksis dihentikan,
jika terjadi konversi tuberkulin menjadi positif, evaluasi status TB pasien. 3
Kemoprofilaksis sekunder diberikan pada anak yang telah terinfeksi, tetapi belum
sakit, ditandai dengan uji tuberculin positif, sedangkan klinis dan radiologis normal. Tidak
semua anak diberi kemoprofilaksis sekunder, tetapi hanya anak yang termasuk dalam
kelompok risiko tinggi untuk berkembang menajdi sakit TB, yaitu anak-anak pada keadaan
imunokompromais. Contoh anak-anak dengan imunokompromais adalah usia balita,
menderita morbili, varisela, atau pertusis, mendapat obat imunosupresif yang lama (sitostatik
dan kortikosteroid), usia remaja, dan infeksi TB baru (konversi uji tuberculin dalam waktu
kurang dari 12 bulan). Lama pemberian untuk kemoprofilaksis sekunder adalah 6-12
bulan.3,11
9.2

Penatalaksanaan TB menurut WHO

Prinsip pengobatan TB pada anak sama dengan TB dewasa, dengan tujuan utama dari
pemberian obat anti TB sebagai berikut:
1. Menyembuhkan pasien TB
2. Mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya
3. Mencegah TB relaps
4. Mencegah terjadinya dan transmisi resistensi obat
5. Menurunkan transmisi TB
6. Mencapai seluruh tujuan pengobatan dengan toksisitas seminimal mungkin
7. Mencegah reservasi sumber infeksi di masa yang akan datang
Beberapa hal penting dalam tata laksana TB Anak adalah:
Obat TB diberikan dalam paduan obat, tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
Pemberian gizi yang adekuat.

27

Mencari penyakit penyerta, jika ada ditata laksana secara bersamaan.


Mengingat tingginya risiko TB disseminata pada anak kurang dari 5 tahun, maka
terapi TB hendaknya diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan. Terdapat beberapa
perbedaan penting antara anak dengan dewasa, di antaranya adalah usia muda mempengaruhi
kecepatan metabolism obat sehingga anak terutama usia kurang dari 5 tahun memerlukan
dosis yang lebih tinggi (mg/kgBB) dibandingkan anak besar atau dewasa. Jenis anti TB lini
pertama dan dosisnya tercantum dalam tabel .3,11

Terapi TB pada anak dengan BTA negatif menggunakan paduan INH,


Rifampisin, dan Pirazinamid pada fase inisial 2 bulan pertama kemudian diikuti oleh
Rifampisin dan INH pada 4 bulan fase lanjutan. Kombinasi 3 obat tersebut memiliki success
rate lebih dari 95% dan efek samping obat kurang dari 2%. Pada table 2 disajikan paduan
obat anti TB pada anak. 11

28

Respons terapi dan pemantauan:


Idealnya setiap anak dipantau setidaknya: tiap 2 minggu pada fase intensif dan setiap 1
bulan pada fase lanjutan sampai terapi selesai
Penilaian meliputi: penilaian gejala, kepatuhan minum obat, efek samping, dan pengukuran
berat badan
Dosis obat mengikuti penambahan berat badan
Kepatuhan minum obat dicatat menggunakan kartu pemantauan pengobatan
Pemantauan sputum harus dilakukan pada anak dengan BTA (+) pada diagnosis awal, yaitu
pada akhir bulan ke-2, ke-5 dan ke-6.
Foto rontgen tidak rutin dilakukan karena perbaikan radiologis ditemukan dalam jangka
waktu yang lama, kecuali pada TB milier setelah pengobatan 1 bulan dan efusi pleura setelah
pengobatan 2 4 minggu.
Anak yang tidak menunjukkan perbaikan dengan terapi TB harus dirujuk untuk penilaian
dan terapi, anak mungkin mengalami resistensi obat, komplikasi TB yang tidak biasa,
penyebab paru lain atau masalah dengan keteraturan (adherence) minum obat. 10
Kortikosteroid .
Kortikosteroid dapat digunakan untuk TB dengan komplikasi seperti; meningitis TB,
sumbatan jalan napas akibat TB kelenjar, dan perikarditis TB. Pada kondisi meningitis TB
berat kortikosteroid meningkatkan survival dan menurunkan morbiditas, sehingga
kortiosteroid dianjurkan pada kasus meningitis TB. Steroid dapat pula diberikan pada TB
milier dengan gangguan napas yang berat, efusi pleura dan TB abdomen dengan asites. Obat
yang sering digunakan adalah prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari, sampai 4 mg/kg/hari
pada kasus sakit berat, dengan dosis maksimal 60 mg/hari selama 4 minggu, kemudian
tappering-off bertahap 1-2 minggu sebelum dilepas.
Nutrisi
Status gizi pasien sangat penting untuk bertahan terhadap penyakit TB, dan malnutrisi
berat berhubungan dengan mortalitas TB. Penilaian yang terus menerus dan cermat pada
pertumbuhan anak perlu dilakukan. Penilaian dilakukan dengan mengukur berat, tinggi,
29

lingkar lengan atas atau pengamatan gejala dan tanda malnutrisi seperti edema atau muscle
wasting. Pemberian air susu ibu tetap diberikan, jika masih dalam periode menyusui.
Pemberian makanan tambahan sebaiknya diberikan dengan makanan yang mudah diterima
anak dan bervariasi. Jika tidak memungkinkan dapat diberikan suplementasi nutrisi sampai
anak stabil dan TB dapat di atasi.

Keteraturan pasien dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis
yang ditentukan dalam paduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin
keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Salah satu upaya
untuk meningkatkan keteraturan adalah dengan melakukan pengawasan langsung terhadap
pengobatan (directly observed treatment). DOTS adalah strategi yang telah direkomendasikan
WHO dalam pentalaksanaan program penanggulangan TB, dan telah dilkasanakn di
Indonesia sejak tahun 1995. Penanggulangan TB dengan strategi DOTS dapat memeberikan
angka kesembuhan yang tinggi.3
Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas lima komponen, yaitu
sebagai berikut :
1.

Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana

2.

Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secaar mikroskopis

3.

Pengobatan dengan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh
pengawas menelan obat (PMO)

4.

Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin

5.

Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB. 2
Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khusunya pada

butir dua dan lima. Untuk diagnosis TB anak digunakan uji tuberkulin.3
Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan
pengawasan langsung, yaitu mengharuskan adanya sesorang yang bertanggung jawab
mengawsi menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien baru yang ditemukan harus
selalu didampingi seorang PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah dikenal, dipercaya, dan
30

disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, serta harus disegani dan dihormati oleh
pasien; bersedia membantu pasien dengan sukarela; bersedia dilatih atau mendapatkan
penyuluhan. Orang yang dapat menjadi PMO adalah petugas kesehatan keluarga pasien,
kader,pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit
kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS. Tugas PMO adalah mengawasi pasien
agar menelan obat secara teratur samapi selesai pengobatan, memberi dorongan kepada
pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa sputum ulang (pasien
dewasa), serta memberikan penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai
gejala-gejala tersangka TB untuk segera memaksakan diri ke unit pelayanan kesehatan. 3

9.3 Penatalaksnaan TB menurut beberapa penelitian.


A.

Penelitian yang dilakukan oleh Susanna E, Claudia T, di Pediatric Highly Intensive

Care Unit, Department of Pathophysiology and Transplantation, Universit degli Studi di


Milano, Fondazione IRCCS Ca Granda Ospedale Maggiore Policlinico, Milan, Italy. Pada
tahun 2013. Menyebutkan bahwa tujuan utama dari pengobatan TB berhasil menyembuhkan
pasien dan membatasi transmisi M. Tuberkulosis di masyarakat. Saat ini direkomendasikan
regimen pengobatan untuk orang dewasa dan anak-anak yang pada dasarnya sama.
Didasarkan pada kombinasi dari obat-obatan yang menghilangkan mikobakteri melalui

31

mekanisme yang berbeda untuk mencegah munculnya resistensi organisme dan juga
mengurangi toksisitas yang ditimbulkan.12
Isoniazid (INH) dan rifampicin (RIF) adalah obat bakterisida lini pertama yang
paling ampuh. Bekerja dengan membunuh bakteri dan dengan cepat menurunkan jumlah
mikroba, mempercepat perbaikan klinis serta menghambat perkembangan penyakit dan
transmisi. Selain itu, RIF dan pyrazinamide (PZA) adalah sterilisasi obat yang memberantas
lambat-replikasi organisme. Kombinasi bakterisida dengan obat-obatan mensterilisasi dan
penambahan keempat obat, seperti etambutol (EMB) atau Streptomisin (S), melindungi
terhadap munculnya resistensi dari M. TBC. Karena risiko tinggi menyebarkan TB pada bayi
dan anak-anak yang lebih muda dari 4 tahun, pengobatan TB harus dimulai segera setelah TB
diagnosis diduga. Untuk TB infeksi laten, INH diberikan setiap hari selama 6-9 bulan atau
RIF selama 4 bulan.12
Regimen obat dasar yang meliputi INH, RIF, PZA, dan EMB disarankan untuk
mengobati anak dengan TBC paru-paru. EMB tidak digunakan secara rutin pada anak-anak
kurang dari 8 tahun karena dapat menyebabkan neuritis optik, yang dapat menyebabkan
kebutaan ireversibel jika EMB tidak dihentikan ketika terjadi masalah-masalah visual.
Namun, karena toksisitas adalah berkaitan dengan dosis dan durasinya, EMB dapat
digunakan dengan aman di dosis yang dianjurkan untuk dua bulan awal pengobatan, bahkan
pada anak-anak terlalu muda untuk disarankan untuk rutin memeriksakan mata. 12
Sesuai rekomendasi, regimen masing-masing memiliki fase awal dua bulan dengan 3
atau 4 obat-obatan, diikuti oleh fase kelanjutan 4 atau 7 bulan dengan INH dan RIF. Secara
umum, TB extrapulmonal pada anak-anak dapat diobati dengan regimen yang sama sebagai
penyakit paru-paru. Pengecualian adalah TB ekstra pulmonal dan meningitis TB. Dalam
kasus ini, 9-12 bulan terapi yang direkomendasikan, dan steroid dalam minggu pertama
perawatan juga direkomendasikan.. pengobatan lini pertama adalah sebagi berikut12 :

32

B.

Penelitian yang dilakukan oleh Graham S M, Grzemska M dengan judul The

background and rationale for a new fixed-dose combination for first-line treatment of
tuberculosis in children di Centre for International Child Health, University of Melbourne
Department of Paediatrics, Royal Childrens Hospital, Flemington Rd, Parkville, Australia
,pada tahun 2015. Menyebutkan bahwa Kombinasi empat obat dianjurkan untuk 2-bulan fase
intensif, kombinasi selain pada obat INH, RMP dan PZA dalam kasus TB dengan jumlah
kuman basil tahan asam yang besar, seperti TB paru BTA positif atau meluas hingga
parenkim paru, dengan tujuan ialah untuk mengurangi risiko terjadinya resistensi obat. Obat
keempat yang saat ini direkomendasikan untuk tujuan ini, termasuk pada anak-anak, adalah
EMB. EMB juga sedang dianjurkan untuk dimasukkan dalam tahap intensif perawatan untuk
kasus TB baru pada anak-anak dengan 'prevalensi HIV yang tinggi atau pada anak yang
resisten terhadap INH atau keduanya'.13
WHO tidak melakukan pencatatan prevalensi tingkat resistensi terhadap INH,
melainkan diserahkan kepada kebijaksanaan dari program nasional TB (NTPs) di masingmasing negara. Ini adalah sebuah tantangan

implementasi, karena banyak TB-endemik

negara tidak memiliki data pengawasan resistensi obat. Hal ini juga diketahui bahwa TB
dengan INH resisten telah menjadi permasalahan dunia,

dan bahwa penambahan obat

keempat akan menurunkan risiko gagal pengobatan dengan menggunakan setidaknya tiga
obat-obatan yang efektif dalam fasa intensif. Saat ini TB dengan INH resisten sering juga
dijumpai pada anak-anak.13
Selama bertahun-tahun, EMB tidak dianjurkan, bahkan kontraindikasi untuk
digunakan pada anak-anak (, usia 5 tahun). Yang dikawatirkan adalah bahwa EMB mungkin
menyebabkan neuritis optik pada anak-anak yang terlalu muda, yang dengan demikian dapat
mengakibatkan kebutaan yang irreversible. Pertimbangan penggunaan EMB didasari oleh

33

epidemi HIV, yang membutuhkan menggantikan thioacetazone sebagai obat keempat


sebelumnya dianjurkan selama fase intensif. Thioacetazone menyebabkan reaksi yang sering,
parah dan sering fatal pada pasien yang terinfeksi HIV, dewasa dan anak-anak.13

Telah dilakukan banyak penelitian yang dilakukan WHO mengenai keamanan dari
farmakokinetik penggunaan EMB pada anak. Penggunaan EMB pada anak-anak dari segala
usia, termasuk bayi, menggunakan berbagai dosis dan mengevaluasi efek samping pada mata,
dilaporkan bahwa toksisitas yang terjadi terkait dosis dan berkaitan dengan lama dari
pengobatan. Disimpulkan bahwa risiko toksisitas ini tidak terjadi jika menggunakan dosis
yang direkomendasikan. Disimpulkan

bahwa masa pengobatan dengan EMB sebagai

pengobatan lini pertama dibatasi sampai 2 bulan. Dosis yang direkomendasikan oleh WHO
(15 20 mg/kg) mengakibatkan puncak serum konsentrasi EMB yang lebih rendah pada anak
dari pada dewasa, terlebih pada anak dibawah usia 5 tahun. Konsentrasi serum puncak pada
tingkat rendah tidak memadai untuk pengobatan yang efektif. Akibatnya, WHO menyarankan
bahwa dosis yang direkomendasikan untuk EMB ditingkatkan untuk anak-anak, dengan
memastikan bahwa batas atas kisaran dosis anjuran memiliki profil keamanan yang sangat
baik.13
FIX DOSE COMBINATION
Tablet FDC memiliki beberapa keunggulan dibandingkan obat-obatan individu, yaitu
mengurangi beban pil dan kemungkinan kesalahan resep. Sebagai FDCs juga menghindari
selektif nonadherence, mengurangi risiko munculnya resistensi obat, bahkan risiko ini lebih
rendah pada anak-anak. Tantangannya adalah bahwa FDCs lini pertama obat untuk anak-anak
yang paling mudah tersedia terdiri RHZ 60:30:150 untuk fase intensif dan RH 60:30 untuk

34

tahap lanjutan. Kombinasi ini adalah cocok untuk anak-anak muda yang menggunakan
sebelumnya dosis rekomendasi untuk INH 5 mg/kg dan RMP 10 mg/kg karena rasio
RMP:INH 2:1, yaitu, R:H 60:30. Namun, rasio R:H diperlukan untuk menggunakan dosis
yang direvisi 15 mg/kg RMP dan 10 mg/kg INH adalah sekarang 3:2.13
Pelaksanaan dosis yang telah direvisi lebih rumit oleh 2010 update dari pedoman,
yang direkomendasikan INH berbagai dosis 10-15 mg/kg. perubahan dalam rekomendasi
yang telah dibuat itu sangat sulit untuk menggunakan 60:30:150 FDCs RHZ saat ini untuk
fase intensif dan RH 60:30 untuk kelanjutan tahap dan secara bersamaan tetap dalam rentang
dosis yang dianjurkan untuk semua tigaobat lini pertama. Walaupun WHO mengembangkan
dosis sementara untuk memfasilitasi pelaksanaan, diperlukan tambahan INH dosis tunggal
persiapan Tablet 100 mg, dosing telah menjadi lebih rumit, menyebabkan kebingungan dan
risiko yang lebih tinggi dosis kesalahan.13

II.10 Penatalaksanaan TB anak di RSUD Budhi Asih


Penatalaksanaan TB di RSUD Budhi Asih mengikuti alur tatalaksana TB menurut IDAI dan
DEPKES sebagai berikut :
Saat pasien terdiagnosa menderita TB berdasarkan skoring TB, lalu dilakukan
Pemberian obat TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya
sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB yang diberikan juga sama yaitu tiga
macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) seperti : isoniazid dengan dosis 10-15kg/bb
dengan dosis maksimal 300mg/hari, Rimfapisin 10-20 mg/KgBB/hari dosis maksimal 600
mg/hari, Pirazinamid 15-30 mg/kgBB/hari dosis maksimal 2000mg/hari, dilanjutkan dengan
dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih) yaitu Isoniazid dan Rimfapisin. OAT
pada anak diberikan setiap hari, bertujuan untuk mengurangi ketidak teraturan menelan obat
yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari.
35

Pada keadaan TB berat, yang terjadi pada pasien meningits TB di bangsal, sesuai
dengan tatalaksana IDAI dan DEPKES, RSUD BUDHI ASIH juga memberikan minimal
empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin).
Pada fase lanjutan diberikan rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Dengan dosis 1-2
mg/KgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari.
Untuk DOTS sendiri RSUD BUDHI ASIH mempercayai orang tua sebagai PMO, dan
selanjutnya selalu kontrol ke poli ataupun puskesmas.

BAB III

36

KESIMPULAN
Tuberkulosis paru adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan bawah menular yang
disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosa.4 Menurut WHO (1994), Indonesia menduduki
peringkat ketiga dalam jumlah kasus baru TB (0,4 juta kasus baru), setelah India (2,1 juta
kasus) dan Cina (1,1 juta kasus). Sebanyak 10 % dari seluruh kasus terjadi pada anak berusia
di bawah 15 tahun. Peningkatan jumlah kasus TB di berbagai tempat pada saat ini, diduga
disebabkan oleh berbagai hal, yaitu (1) diagnosis yang tidak tepat; (2) pengobatan yang tidak
adekuat ; (3) program penanggulangan tidak dilaksanakan dengan tepat; (4) infeksi endemik
human immuno-deficiency virus (HIV); (5) migrasi penduduk; (6) mengobati sendiri (self
treatment); (7) meningkatnya kemiskinan; (8) pelayanan kesehatan yang kurang memadai.3
Untuk tatalaksana TB Paru di Indonesia masih menggunakan 3 regimen (INH,PZA,RIF),
namun berdasarkan literatur terbaru oleh Graham S M, Grzemska M tatalaksana TB paru
terbaru menggunakan 4 regimen oat (RIF,PZA,INH,EMB) dengan tujuan mencegah resistensi
terhadap obat TB.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
1. Nastiti N Rahajoe, Darfioes Basir, Makmuri MS, Cissy B Kartasasmita: Pedoman
Nasional Tuberkulosis Anak 2008, Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI.
2. Behrman, Kliegman, Arvin, editor Prof. Dr. dr. A. Samik Wahab, SpA(K) et al :

37

Nelson, Ilmu Kesehatan Anak, edisi 15, buku 2, EGC 2000, hal 1028 1042.
3. Cissy BK, Basir Darfices. Buku Ajar Respirologi Anak. Edisi pertama Jakarta : Badan
Penerbit IDAI; 2012.p.162-227.
4. Kelompok Kerja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta:
Depkes-IDAI; 2012.p. 1-23.
5. Rahajoe N Nastiti, Setyanto DB. Patogenesis dan perjalanan alamiah. Buku Ajar
Respirologi Anak. Edisi pertama Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2012.p.169-227.
6. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Sudoyo
AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Seyiati S, editors. Jakarta : Interna
Publishing; 2009. p. 2230-2.
7. Husein A,et al. Ilmu Kesehatan Anak. 7th ed. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 1997.p.573 761.
8. Behrman RE, Kliegman RM, Arvin AM. Nelson Ilmu Kesehatan Anak. 15 th ed.
Jakarta : EGC ; 2000.p.102842.
9. Depkes RI. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Departemen Kesehatan
Republik Indonesia 2002. Diakses tanggal 5 agustus 2015. Di kutip dari :
www.slideshare.net/mbagiansah

10. State of Lung Disease in Diverse Communities. Tuberculosis in the United States.
American
Lung
Association.
2010;1-800.
Di
kutip
dari
:
www.slideshare.net/mbagiansah
11. World Health Organization. Guidance for national tuberculosis programmes on
management of tuberculosis in children. Geneva: World Health Organization; 2011.
12. Esposito S,Tagliabue C, Bosis S. Tuberculosis in children. MEDITERRANEAN
JOURNAL OF HEMATOLOGY AND INFECTIOUS DISEASES.2013;5.
13. Graham S M, Grzemska M, Gie R P. The background and rationale for a new fixeddose combinationfor first-line treatment of tuberculosis in children. The International
Journal Tuberculosis and Lung Diseases..2015;S4-7.

38

You might also like