You are on page 1of 27

MAKALAH ILMU SOSIAL BUDAYA DASAR

KEBUDAYAAN
Studi Kasus: Folkor dan Masyarakat Modern Indonesia

Disusun Oleh :
Evi Novita Sari

3415133075

R. R. Nurul Wardhani

3415133081

Rivka Septiani

3415133054

JURUSAN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah yang b erjudul
Kebudayaan. Penulis juga berterima kasih kepada Bapak Andri Rivelino, SE selaku Dosen
mata kuliah Ilmu Sosial Budaya Dasar yang telah memberikan tugas ini kepada penulis.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan mengenai kebudayaan. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik dan saran demi
perbaikan makalah yang telah penulis buat, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sebelumnya
penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan penulisan maupun kata-kata yang kurang
berkenan.

Jakarta, 21 Februari 2015

Tim Penulis

DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...........................................................................................................ii
2

DAFTAR ISI........................................................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................................2
1.3 Tujuan.................................................................................................................2
BAB II. KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kebudayaan sebagai Konfigurasi Kepribadian...................................................3
2.2 Kebudayaan sebagai Sistem Nilai, Kognitif, Simbol, dan Adaptasi...................6
2.3 Substansi dan Ciri-Ciri Kebudayaan..................................................................11
BAB III. STUDI KASUS...................................................................................................15
BAB IV. KESIMPULAN...................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................25

BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebudayaan adalah hasil karya manusia dalam usahanya mempertahankan hidup,
mengembangkan keturunan dan meningkatkan taraf kesejahteraan dengan segala keterbatasan
kelengkapan jasmaninya serta sumber- sumber alam yang ada disekitarnya. Kebudayaan boleh
dikatakan sebagai perwujudan tanggapan manusia terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi
dalam proses penyesuaian diri mereka dengan lingkungan. Kebudayaan adalah keseluruhan
pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan
menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan bagi
mewujudkan dan mendorong terwujudnya kelakuan.
Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai mekanisme kontrol bagi kelakuan dan
tindakan-tindakan manusia (Geertz, 1973a), atau sebagai pola-pola bagi kelakuan manusia
(Keesing & Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturanaturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, yang terdiri atas
serangkaian model-model kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang
memilikinya sesuai dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).
Berbicara tentang kebudayaan sangat erat kaitannya dengan kepribadian seseorang.
Budaya dan keperibadian bagaikan dua sisi mata uang tidak bisa dipisahkan. Dimana budaya
yang baik selalu mempengaruhi pribadi yang baik, kemudian budaya buruk selalu mempengaruhi
pribadi yang buruk juga. Disamping itu kadang kala lingkungan menjadi hal utama yang dapat
mempengaruhi baik buruknya budaya seseorang.
Masalah yang timbul adalah era yang berkembang ini banyak masalah atau pengaruh
yang bisa terjadi disebabkan budaya yang tidak mendukung. Ketika pengaruh budaya buruk
mempengaruhi kepribadiaan seseorang maka dengan sendirinya berbagai masalah yang tidak di
inginkan akan terjadi secara terus-menerus. Masyarakat perlu selektif dalam menerima budaya
baru, bagaimana cara kita tidak menerapkan budaya-budaya yang telah nyata-nyata tidak sesuai
dengan norma-norma maupun adat istiadat.
Dilihat dari sisi kebudayaan, sangat disayangkan kalau kita memahami budaya hanya dari
sisi yang sempit. Oleh karena itu perlulah kita memandang budaya secara luas agar pemahan dan

pengertiannya pun tidak salah. Pada makalah ini akan dibahas mengenai konsep kebudayaan,
peran kebudayaan dalam membentuk kepribadian, dan contoh kasus yang terkait dengan
kebudayaan.
1.
2.
3.
4.
1.
2.
3.
4.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana pengaruh kebudayaan dalam konfigurasi kepribadian?
Jelakan konsep kebudayaan sebagai sistem nilai, kognitif, simbolik, dan adaptasi!
Sebutkan dan jelaskan substansi ciri-ciri kebudayaan!
Berikan contoh kasus terkait dengan kebudayaan!
1.3. Tujuan
Mengetahui dan menganalisis pengaruh kebudayaan terhadap konfigurasi
kepribadian
Mengetahui konsep-konsep kebudayaan
Mengetahui ciri-ciri kebudayaan
Menganalisis kasus terkait kebudayaan

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Kebudayaan sebagai Konfigurasi Kepribadian
2

Dalam pandangan penganut aliran konfigurasi kepribadian, pemahaman kebudayaan harus


dilihat dari emosi sebagai karakteristik setiap individu, kelompok atau masyarakat. Setiap
masyarakat mengmbangkan pola emosi dan sikapnya sendiri yang disebut sebagai konfigurasi
kepribadian, yang juga menentukan elemen-elemen kultural yang diambil, ditolak atau
dimodifikasi untuk diintegrasikan ke dalam pola kultural masyarakat tersebut (Miller and Weitz,
1979)
Setiap kelompok masyarakat mewariskan kebudayaannya kepada anggotanya. Akibatnya
timbul konfigurasi kepribadian yang khas dari anggota kelompok tersebut. Itulah sebabnya setiap
kelompok masyarakat tidak sama kepribadiannya. Sebabnya kepribadian erat kaitannya dengan
lingkungan sosial budaya yang mempengaruhinya. Sebagai contoh kepribadian bangsa Indonesia
tidak sama dengan kepribadian bangsa- bangsa lain di dunia. Bangsa Indonesia dikenal
mempunyai ciri- ciri kepribadian yang bersifat kekeluargaan, gotong royong, ramah tamah,
toleran dan sebagainya.
Aliran di atas mengembangkan istilah ethos (konfigurasi) yang diartikan sebagai watak
khas yang dipancarakan oleh suatu kebudayaan atau komuniti (kontjaraningrat, 1980). Sedang
istilah konfigurasi pertama kali dikemukakan oleh E. Sapir, ahli antropologi dan linguistik
Amerika, yang mengatakan bahwa kebudayaan merupakan konfigurasi abstrak dari gagasan dan
pola perilaku yang diartikan secara berbeda oleh individu-individu dalam masyarakat. Sapir
berargumen bahwa, dengan caranya sendiri, individu-individu aktif menginterpretasikan
konfigurasi dalam kebudayaan (Kontjaraningrat, 1980)
Sebagaiman telah diuraikan di atas bahwa kebudayaan merupakan bagian yang terintegrasi
di dalam konfigurasi kepribaduan. Namun, kebudayaan juga memiliki pertautan dengan dimensi
struktural kehidupan masyarakat. Sebagaimana orientasi teoritisi strukturalisme yang dipelopori
oleh C. Levi-Strauss meyakini bahwa, meskipun terdapat perbedaan dan variasi cara hidup antara
kebudayaan satu dan kebudayaan lain, perbedaan dan variasi tersebut digerakkan oleh prinsip
struktural dasar yang sama yang terdapat dalam pikiran.
Para strukturalis menyatakan bahwa jika seseorang telah memahami siste-sistem budaya
yang pada hakikatnya bersifat formal, segala macam hubungan logis antara fenomenal-fenomena
budaya pun dapat disingkapnya. Suatu struktur yang muncul pada suatu taraf tertentu
sehubungan dengan muatan tertentu, mungkin muncul kembali pada taraf lain dengan muatan
yang sama sekali berbeda (Kaplan and Manners, 1999). Kemudian terdapat perbedaan dalam
adat istiadat dan kebudayaan antara masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain.

Budaya merupakan salah satu unsur dasar dalam kehidupan sosial. Budaya mempunyai
peranan penting dalam membentuk pola berpikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang
berarti juga membentuk kepribadian dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya mencakup
perbuatan atau aktivitas sehari-hari yang dilakukan oleh suatu individu maupun masyarakat, pola
berpikir mereka, kepercayaan, dan ideologi yang mereka anut.
E.B. Tylor (1871) mendefinisikan kebudayaan sebagai berikut Kebudayaan adalah
kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat dan
kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai
anggota masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan dan hasil karya manusia berupa kebiasaan,kepercayaan,nilai-nilai, hukum dan moral
pada suatu kelompok masyarakat tertentu yang bersifat nyata dan dilaksanakan secara turun
temurun.
Sedangkan pengertian kepribadian (personality) menurut Kartini Kartono dan Dali Gulo
dalam Sjarkawim (2006) adalah sifat dan tingkah laku khas seseorang yang membedakannya
dengan orang lain; integrasi karakteristik dari struktur-struktur, pola tingkah laku, minat,
pendiriran, kemampuan dan potensi yang dimiliki seseorang; segala sesuatu mengenai diri
seseorang sebagaimana diketahui oleh orang lain. Dapat disimpulkan bahwa kepribadian
merupakan suatu susunan sistem psikofisik (psikis dan fisik yang berpadu dan saling
berinteraksi dalam mengarahkan tingkah laku) yang kompleks dan dinamis dalam diri seorang
individu, yang menentukan penyesuaian diri individu tersebut terhadap lingkungannya, sehingga
akan tampak dalam tingkah lakunya yang unik dan berbeda dengan orang lain.
Secara umum Kebudayaan dan Kepribadian saling memiliki keterkaitan dalam kehidupan
setiap manusia. Karena, pada hakekatnya manusia adalah makhluk sosial yang saling
berinteraksi satu dengan yang lainnya. Kepribadian berkembang apabila orang tadi berhubungan
dengan orang lain, karena kepribadian bukan terbentuk secara kodrati.
Kebudayaan itu dapat berbentuk norma dalam keluarga, lingkungan, teman dan kelompok
sosial. Budaya diwariskan melalui bahasa dan bermacam macam prilaku yang dapat
memungkinkan manusia untuk berinteraksi dalam bahasa yang sama dan hidup di zaman yang
sama. Setiap individu yang baru muncul akan mengikuti tatanan kebudayaan yang ada pada
masanya yang tentu akan mempengaruhi kepribadiannya.
Penerapan yang baik dari sebuah kebudayaan akan menghasilkan kepribadian yang baik
juga. Akan tetapi banyak hal yang tidak bisa dihindari adalah salah satunya masuknya
kebudayaan kebudayaan asing yang dapat menggeser kebudayaan yang di miliki serta
4

antusiasme masyarakat dengan budaya asing lebih besar dibandingkan dengan budaya nya
sendiri. Sehingga dapat menyebabkan kepribadian seseorang bisa berubah karena adannya
budaya asing tersebut. Datangnya budaya asing yang paling dominan adalah banyaknya turis
turis asing yang datang berkunjung kedaerah daerah dengan membawa kebudayaan asingnya.
Tidak ada kebudayaan yang statis, setiap kebudayaan pasti dinamis, kebudayaan pasti
berubah, gerak tersebut merupakan akibat dari gerak masyarakat yang menjadi wadah
kebudayaan. Selama masyarakat itu dinamis dalam perkembangannya, maka kebudayaan itupun
akan dinamis (mengalami perubahan). Kebudayaan akan mengalami perubahan akibat dari
akulturasi masyarakatnya. Seiring dengan perubahan kebudayaan tentu berpengaruh terhadap
kepribadian, baik kepribadian individu maupun kepribadian umum. Meski demikian, tidak
semua kebudayaan itu dapat dengan mudah diterima oleh setiap pribadi, apalagi bila menyangkut
kepercayaan, idiologi dan falsafah hidup.
Dalam menelaah pengaruh kebudayaan terhadap kepribadian, sebaiknya dibatasi pada
bagian kebudayaan yang secara langsung mempengaruhi kepribadian. Berikut tipe-tipe
kebudayaan khusus yang nyata mempengaruhi bentuk kepribadian yakni:
1. Kebudayaan-kebudayaan khusus atas dasar faktor kedaerahan. Di sini dijumpai kepribadian
yang saling berbeda antara individu-individu yang merupakan anggota suatu masyarakat
tertentu, karena masing-masing tinggal di daerah yang tidak sama dan dengan kebudayaankebudayaan khusus yang tidak sama pula.
2. Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda (urban dan rural ways of life). Contoh
perbedaan antara anak yang dibesarkan di kota dengan seorang anak yang dibesarkan di desa.
Anak kota terlihat lebih berani untuk menonjolkan diri di antara teman-temannya dan
sikapnya lebih terbuka untuk menyesuaikan diri dengan perubahan sosial dan kebudayaan
tertentu. Sedangkan seorang anak yang dibesarkan di desa lebih mempunyai sikap percaya
diri sendiri dan lebih banyak mempunyai sikap menilai (sense of value).
3. Kebudayaan khusus kelas sosial. Di dalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan sosial
karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu pula.
4. Kebudayaan khusus atas asas agama. Agama juga mempunyai pengaruh besar di dalam
membentuk kepribadian seorang individu. Bahkan adanya berbagai madzhab di dalam satu
agama pun melahirkan kepribadian yang berbeda-beda pula di kalangan umatnya.
5. Kebudayaan berdasarkan profesi. Pekerjaan atau keahlian juga memberi pengaruh besar pada
kepribadian seseorang. Kepribadian seorang dokter, misalnya, berbedadengan kepribadian

seorang pengacara, dan itu semua berpengaruh pada suasana kekeluargaan dan cara-cara
mereka bergaul.
.2. Kebudayaan Sebagai Sistem Nilai, Kognitif, Simbol, dan Adaptasi
Kebudayaan Sebagai Sistem Nilai
Theodorson dalam Pelly (1994) mengemukakan bahwa nilai merupakan sesuatu yang abstrak,
yang dijadikan pedoman serta prinsip prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku.
Pengertian sistem nilai budaya menurut ahli :
1. Koentjaraningrat
Nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebagian besar warga
masyarakat mengenai hal-hal yang mereka anggap sanggat mulia. Sistem nilai yang ada dalam
suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya
yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif, cara cara, alat alat,
dan tujuan tujuan pembuatan yang tersedia.
2. Clyde Kluckhohn dalam Pelly
Nilai budaya sebagai konsepsi umum yang terorganisasi, yang mempengaruhi perilaku yang
berhubungan dengan alam, kedudukan manusia dalam alam, hubungan orang dengan orang dan
tentang hal hal yang diingini dan tidak diingini yang mungkin bertalian dengan hubungan
orang dengan lingkungan dan sesama manusia.
3. Sumaatmadja dalam Marpaung
Sumaatmadja dalam Marpaung (2000) mengatakan bahwa pada perkembangaan,
pengembangaan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai nilai yang
melekat di masyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai
tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang dijadikan
pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual, kelompok atau
masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut atau tidak patut.
Sistem nilai itu menjadi pedoman yang melekat erat secara emosional pada diri seseorang atau
sekumpulan orang, malah merupakan tujuan hidup yang diperjuangkan. Oleh karena itu,
merubah sistem nilai manusia tidaklah mudah, dibutuhkan waktu. Sebab, nilai nilai tersebut
6

merupakan wujud ideal dari lingkungan sosialnya. Dapat pula dikatakan bahwa sistem
nilai budaya suatu masyarakat merupakan wujud konsepsional dari kebudayaan mereka,
yang seolah olah berada diluar dan di atas para individu warga masyarakat itu.
Budaya memiliki 2 peran dalam kehidupan social, yaitu :
1. Budaya berfungsi memberikan makna bagi sebagian besar manusia
2. Budaya berfungsi sebagai aturan yang mempengaruhi cara bertindak seseorang
Ada lima masalah pokok kehidupan manusia dalam setiap kebudayaan yang dapat ditemukan
secara universal.
Menurut Kluckhohn dalam Pelly (1994) kelima masalah pokok tersebut adalah: (1) masalah
hakekat hidup, (2) hakekat kerja atau karya manusia, (3) hakekat kedudukan manusia dalam
ruang dan waktu, (4) hakekat hubungan manusia dengan alam sekitar, dan (5) hakekat dari
hubungan manusia dengan manusia sesamanya.
Masalah pertama mengenai hakekat hidup yang dihadapi manusia dalam semua masyarakat
adalah bagaimana mereka memandang sesamanya, bagaimana mereka harus bekerja bersama
dan bergaul dalam suatu kesatuan sosial.
Masalah kedua mengenai hakekat kerja atau karya dalam kehidupan. Ada kebudayaan yang
memandang bahwa kerja itu sebagai usaha untuk kelangsungan hidup (survive) semata.
Kelompok ini kurang tertarik kepada kerja keras. Akan tetapi ada juga yang menganggap kerja
untuk mendapatkan status, jabatan dan kehormatan. Namun, ada yang berpendapat bahwa kerja
untuk mempertinggi prestasi. Mereka ini berorientasi kepada prestasi bukan kepada status.
Masalah ketiga mengenai orientasi manusia terhadap waktu. Ada budaya yang memandang
penting masa lampau, tetapi ada yang melihat masa kini sebagai focus usaha dalam
perjuangannya. Sebaliknya ada yang jauh melihat kedepan. Pandangan yang berbeda dalam
dimensi waktu ini sangat mempengaruhi perencanaan hidup masyarakatnya.
Masalah keempat berkaitan dengan kedudukan fungsional manusia terhadap alam. Ada yang
percaya bahwa alam itu dahsyat dan mengenai kehidupan manusia. Sebaliknya ada yang
menganggap alam sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa untuk dikuasai manusia. Akan tetapi,
ada juga kebudayaan ingin mencari harmoni dan keselarasan dengan alam. Cara pandang ini
akan berpengaruh terhadap pola aktivitas masyarakatnya.
Masalah kelima menyangkut hubungan antar manusia. Dalam banyak kebudayaan hubungan ini
tampak dalam bentuk orientasi berfikir, cara bermusyawarah, mengambil keputusan dan
7

bertindak. Kebudayaan yang menekankan hubungan horizontal (koleteral) antar individu,


cenderung untuk mementingkan hak azasi, kemerdekaan dan kemandirian seperti terlihat dalam
masyarakat masyarakat eligaterian. Sebaliknya kebudayaan yang menekankan hubungan
vertical cenderung untuk mengembangkan orientasi keatas (kepada senioritas, penguasa atau
pemimpin). Orientasi ini banyak terdapat dalam masyarakat paternalistic (kebapaan). Tentu saja
pandangan ini sangat mempengaruhi proses dinamika dan mobilitas social masyarakatnya.
Kerangka Kluckhohn mengenai lima masalah dasar dalam hidup yang menentukan orientasi nilai
budaya manusia.
Tabel 1. Skema Kluckhohn: Lima Masalah Dasar Yang Menentukan Orientasi
Masalah Dasar
Dalam Hidup
Hakekat Hidup

Orientasi Nilai Budaya


Konservatif
Hidup itu buruk

Hakekat Kerja/karya

Kelangsungan hidup

Transisi
Hidup itu baik

Kedudukan dan
kehormatan /
prestise
Orientasi ke masa
kini
Selaras dengan
alam
Horizontal/
kolekial

Hubungan Manusia
Orientasi ke masa lalu
Dengan Waktu
Hubungan Manusia
Tunduk kepada alam
Dengan Alam
Hubungan Manusia
Vertikal
Dengan Sesamanya
*) Dimodifikasi dari Pelly (1994:104)

Progresif
Hidup itu sukar
tetapi harus
diperjuangkan
Mempertinggi
prestise
Orientasi ke masa
depan
Menguasai alam
Individual/mandiri

Meskipun cara mengkonsepsikan lima masalah pokok dalam kehidupan manusia yang universal
itu sebagaimana yang tersebut diatas berbeda beda untuk tiap masyarakat dan kebudayaan,
namun dalam tiap lingkungan masyarakat dan kebudayaan tersebut lima hal tersebut di atas
selalu ada.
Kerangka Kluckhohn itu juga telah dipergunakan dalam penelitian dengan kuesioner untuk
mengetahui secara objektif cara berfikir dan bertindak suku suku di Indonesia umumnya yang
menguntungkan dan merugikan pembangunan.
Selain itu juga, penelitian variasi orientasi nilai budaya tersebut dimaksudkan disamping untuk
mendapatkan gambaran sistem nilai budaya kelompok kelompok etnik di Indonesia, tetapi juga
untuk menelusuri sejauhmana kelompok masyarakat itu memiliki system orientasi nilai budaya
yang sesuai dan menopang pelaksanaan pembangunan nasional.
8

Kebudayaan Sebagai Sistem Kognitif


Kognitif atau dapat dikatakan cognition yang berarti pengetahuan. Jadi sistem kognitif di
sini mencakup pengetahuan mengenai etnografi yang baru. Budaya dipandang sebagai sistem
pengetahuan menurut Ward Goodenough adalah :
a. Kebudayaan itu dimiliki oleh seseorang dengan maksud untuk berperilaku sesuai dengan
ketentuan dan aturan agar dapat diterima oleh masyarakat luas.
b. Budaya buka sesuatu yang berwujud material ataupun benda benda.
c. Budaya terdapat dalam pikiran manusia dan dapat diwujudkan dalam hal berorganisasi
sesama dalam masyarakat.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa Goodenough memandang budaya secara
epistemology berada dalam alam yang sama dengan bahasa sebagai aturan ideasional yang
berada diluar bidang yang dapat diamati dan di sentuh.
Kebudayaan Sebagai Sistem Simbol
Kebudayaan didefinisikan dengan berbagai cara. Bisa dimulai dengan sebuah definisi
yang tipikal, yaitu definisi yang diusulkan oleh Marvin Harris dalam buku The Rise of
Anthropological Theory (1968) : konsep kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah
laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (custom), atau
cara hidup masyarakat. Membatasi definisi kebudayaan dengan pengetahuan yang dimiliki
bersama, tidaklah menghilangkan perhatian pada tingkah laku, adat, objek, dan emosi. Terjadi
pengubahan penekanan dari berbagai fenomena ini menjadi penekanan pada makna berbagai
fenomena itu. Konsep kebudayaan ini (sebagai suatu sistem simbol yang mempunyai makna)
banyak mempunyai persamaan dengan interaksionalisme simbolik, sebuah teori yang berusaha
menjelaskan tingkah laku manusia dalam kaitannya dengan makna interaksionalisme simbolik
berakar dari karya para ahli sosiologi seperti Cooly, Mead, dan Thomas.
Blumer mengidentifikasikan tiga premis sebagai landasan teori ini sebagaimana yang
dikemukakannya dalam Simbolic Interactionalism:
Premis Pertama
Manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu
kepada mereka. Artinya, bahwa orang tidak bertindak terhadap berbagai hal ini, tetapi
terhadap makna yang dikandungnya.
Premis Kedua
9

Yang mendasari interaksionalisme simbolik adalah bahwa makna dari berbagai hal itu
berasal dari atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan,
sebagai suatu sistem makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan,
dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Budaya masing-masing
kelompok, tak dapat disangkal lagi, terikat dengan kehidupan sosial komunitas mereka
yang khas.
Premis Ketiga
Makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh
orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang ia hadapi. Menggunakan kebudayaan
untuk menginterpretasikan situasi. Aspek penafsiran ini dapat dilihat secara lebih jelas
apabila menganggap kebudayaan sebagai peta berulang-ulang dalam kehidupan seharihari. Peta kognitif berperan sebagai pedoman untuk bertindak dan menginterpretasikan
pengalaman. Peta kognitif tidak memaksa untuk mengikuti suatu urutan tertentu karena
kebanyakan kehidupan merupakan serangkaian kesempatan sosial yang tidak diketahui
sebelumnya. Walau suatu kebudayaan tidak mencakup suatu peta detail mengenai
berbagai kejadian, namun memberikan prinsip-prinsip untuk menginterpretasikan dan
memberi respon terhadap kebudayaan itu.

Kebudayaan Sebagai Sistem Adaptasi


Kajian yang ada dalamm ruang lingkup ini adalah evolusi makhluk hominid dan kajian
kajian tentang kehidupan social makhluk manusia yang telah berfikir untuk maju dan
berkembang dalam pola bentuk biologis yang lebih kompleks dalam proses pembelajaran
kultural. Pemikiran dari ahli antropologi ada yang mengatakan bahwa terdapat suatu hubungan
yang saling mempengaruhi antara komponen biologis dan komponen kultural dalam tingkah laku
keseharian manusia. Sampai sekarang topik ini masih sering diperbincangkan dan bahkan
menjadi perdebatan hebat misalnya mengenai gender.
Perkembangan penting muncul dari pendekatan evolusionari terhadap budaya sebagai
suatu sistem adaptif. Pokok-pokok pemikiran tentang kebudayaan sebagai sisten adaptif ialah :
1) Kebudayaan adalah sistem yang menghubungkan kelompok manusia ke setting
lingkungannya.
2) Perubahan kebudayaan sebagian besar merupakan sarana adaptasi dimana indivindu
memberikan respon terhadap kondisi yang berubah agar dapat tetap berfungsi di
tengah perubahan tersebut.
10

3) Faktor utama dalam adaptasi budaya adalah teknologi, kegiatan substansi dan sarana
pengorganisasian tujuan-tujuan adaptif.
Menurut Keesing, ia telah menyimpulkan makna dari budaya sebagai sistem adaptif, yaitu :
1.

Setiap pemikiran bahwa apabila kita menguliti lapisan konvensi kultural maka pada
akhirnya kita akan menemukan Primal man dan keadaan manusia yang bugil di dasarnya,
merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kita memerlukan satu model
interaksional yang kompleks, bukan satu lapisan yang sederhana seperti itu.(19,25) Jadi
yang dimaksud oleh Keesing ialah dalam meneliti tentang suatu budaya diperlukan
pemikiran yang sangat serius tidak bisa diungkapan dengan biasa biasa saja dan
sederhana sekali, apabila kita mencoba untuk meneliti dan mengamati secara lebih dalam
maka yang kita dapatkan ialah sesuatu yang murni, oleh itu dikatakan olehnya
.merupakan pemikiran yang steril dan berbahaya. Kebudayaan itu bersifat dinamis
namun sangat berhati hati dalam menentukan bagaimana kemudian kelanjutannya.

2.3. Substansi Kebudayaan


Substansi kebudayaan adalah isi yang menjadi inti suatu kebudayaan masyarakat. Substansi
kebudayaan berwujud abstrak dari segala macam ide dan gagasan manusia yang bermunculan di
dalam masyarakat. Substansi kebudayaan berupa sistem pengetahuan, nilai, pandangan hidup,
kepercayaan, persepsi, dan etos kebudayaan.
Sistem Pengetahuan. Salah satu upaya manusia untuk mempertahankan dan
mengembangkan kebudayaan adalah kemampuan mengembangkan sistem pengetahuan. Sistem
pengetahuan yang dimiliki manusia sebagai makhluk sosial merupakan suatu akumulasi dari
perjalanan hidupnya dalam hal berusaha memahami alam sekitar termasuk flora dan fauna yang
ada, zat-zat bahan mentah, tubuh manusia, sifat dan tingkah laku sesama manusia, serta ruang
dan waktu. Untuk memperoleh pengetahuan tersebut, manusia melakukan 3 cara, yaitu :
a. Melalui pengalaman dalam kehidupan sosial.
b. Berdasarkan pengalaman yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun non-formal.
c. Melalui petunjuk-petunjuk yang bersifat simbolis yang sering disebut sebagai komunikasi

simbolik.
Nilai. Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap
penting oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Karena itu, sesuatu dikatakan
memiliki nilai apabila berguna dan berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai
moral atau etis), religius (nilai agama). Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia untuk
menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk dijadikan pertimbangan dalam
mengambil keputusan. Keputusan nilai dapat menentukan sesuatu berguna atau tidak berguna,
11

benar atau salah, baik atau buruk, religius atau sekuler, sehubungan dengan cipta, rasa dan karsa
manusia. Prof. Dr. Notonagoro membagi nilai menjadi tiga bagian yaitu nilai material (segala
sesuatu (materi) yang berguna bagi manusia), nilai vital (segala sesuatu yang berguna bagi
manusia untuk dapat mengadakan kegiatan dan aktivitas), nilai kerohanian (segala sesuatu yang
bisa berguna bagi rohani manusia).
Pandangan Hidup. Pandangan hidup adalah suatu nilai-nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat dan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok atau suatu bangsa. Pandangan
hidup merupakan pedoman bagi suatu bangsa atau masyarakat dalam menjawab atau mengatasi
berbagai masalah yang dihadapinya. Oleh karena itu, pandangan hidup merupakan nilai-nilai
dianut oleh suatu masyarakat dengan dipilih secara selektif oleh individu, kelompok atau bangsa.
Kepercayaan. Pada dasarnya, manusia yang memiliki naluri untuk menghambakan diri
kepada Tuhan Yang Maha Esa, yaitu dimensi lain di luar diri dan lingkungannya, yang dianggap
mampu mengendalikan hidup manusia. Dorongan ini sebagai akibat atau refleksi
ketidakmampuan manusia dalam menghadapi tantangan-tantangan hidup, dan hanya Tuhan Yang
Maha Esa saja yang mampu memberikan kekuatan dalam mencari jalan keluar dari permasalahan
hidup dan kehidupan.
Persepsi. Persepsi adalah tanggapan seseorang terhadap suatu masalah, kejadian atau
gejala. Persepsi terdiri atas persepsi sensorik (persepsi yang terjadi dengan menggunakan salah
satu dari panca indera manusia), persepsi clairvoyance (kemampuan melihat peristiwa atau
kejadian di tempat lain, jauh dari tempat orang yang bersangkutan), dan persepsi telepati
(kemampuan mengetahui kegiatan mental individu).
Etos Kebudayaan. Etos memiliki arti jiwa kebudayaan dan watak khas. Etos kebudayaan
sering tampak pada gaya perilaku masyarakat. Misalnya, kegemaran-kegemaran warga
masyarakat, serta berbagai benda budaya hasil karya mereka dapat dilihat dari luar oleh orang
asing. Masing-masing suku mempunyai etos kebudayaan masing-masing, apa yang baik menurut
suku tertentu belum tentu baik menurut suku yang lain, oleh karenanya diperlukan sikap
kedewasaan dan toleransi yang tinggi untuk memahami kebudayaan lain.
2.4. Ciri-ciri kebudayaan
Sistem kebudayaan suatu daerah akan menghasilkan jenis kebudayaan yang berbeda-beda.
Jenis kebudayaan dapat dibagi menjadi kebudayaan material (kebudayaan berupa hasil cipta,
karsa yang berwujud benda) dan kebudayaan non material (kebudayaan berupa hasil karya cipta
berupa kebiasaan, adat istiadat, ilmu pengetahuan, norma, dan nilai).
12

Adapun ciri-ciri kebudayaan yaitu :


a. Bersifat sosial dan simbolik (mengekspresikan manusia dan segala upaya untuk
mewujudkan dirinya)
b. Diteruskan melalui proses belajar
c. Memenuhi berbagai kebutuhan manusia
d. Memiliki sifat kedaerahan tertentu dan adat istiadat yang khas Kebudayaan sebagai
pemenuh kebutuhan masyarakat memiliki peran sebagai pedoman hubungan antar manusia,
wadah untuk menyalurkan kemampuan dan perasaan manusia, pembimbing kehidupan,
pembeda antara manusia dengan hewan, dan sebagai modal dasar pembangunan Sumber
Daya Manusia. Seiring perkembangan zaman, kebudayaan dapat mengalami perubahan.
Pembangunan dan modernisasi merupakan perubahan dari kebudayaan.
Keragaman kebudayaan dihasilkan oleh sekelompok manusia dalam wilayah yang berbedabeda. Kebudayaan yang dimiliki sekelompok manusia membentuk ciri khas untuk pemenuhan
hidup. Selain itu, kebudayaan antar kelompok dapat saling memengaruhi. Suatu kelompok sosial
akan mengadopsi suatu kebudayaan tertentu bila kebudayaan tersebut memberikan manfaat guna
mengatasi masalah kehidupan.
Dengan adanya keragaman kebudayaan dan perubahan kebudayaan, diperlukan proses
pengembangan kebudayaan untuk mengendalikan perilaku para penganut kebudayaan (kontrol
sosial). Apabila perilaku yang ditampilkan bertolak belakang dengan prinsip kebudayaan, dapat
menimbulkan masalah berupa :
a. Konflik yang menggunakan simbol kebudayaan.
b. Program pembangunan menuntut perubahan sosial budaya, terhambat karena pandangan
hidup lama masih dianut
c. Sikap Etnosatrisme yaitu paham yang beranggapan bahwa kebudayaan sendiri lebih baik
dibanding kebudayaan lain
d. Sikap tradisionalisme yang berprasangka buruk terhadap hal baru
Permasalahan di atas merupakan gambaran dari perluasan kebudayaan, baik berupa budaya
global, budaya pop, maupun budaya massa. Budaya global merupakan proses pertukaran antar
seseorang ataupun kelompok atas pengetahuan maupun hasil alam dalam level global.
Globalisasi adalah proses kultural yang melibatkan silang budaya (cross culture). Saat ini,
Indonesia sedang dalam keadaan monoculture, dimana setiap unsur kebudayaan disatukan dalam
kesatuan budaya global yang menciptakan gaya hidup, identitas, dan pandangan hidup menjadi
homogen. Bentuk nyata dari globalisasi budaya adalah berkembangnya budaya populis (pop
13

culture) dan budaya masal (mass culture). Budaya popular merupakan gaya hidup bersumber
pada budaya barat. Ciri-ciri budaya popular yaitu budaya yang menjadi tren, keseragaman
bentuk, adaptabilitas, durabilitas, profitabilitas yang menghasilkan keuntungan, dan semua yang
menjadi ciri-ciri budaya massa masuk dalam ciri budaya popular.
Budaya massa adalah produk kebudayaan yang terus menerus direproduksi dan dikonsumsi
secara missal, sehingga menciptakan budaya yang berorientasi menciptakan keuntungan sebesarbesarnya. Berbeda dengan budaya tradisional yang berasal dari masyarakat dan tidak terikat pada
media massa. Budaya massa memiliki karakter berupa nontradisional, bersifat merakyat, budaya
massa dapat dimanfaatkan sebagai hiburan umum, budaya massa sangat berhubungan dengan
budaya popular sebagai sumber budaya massa, budaya massa diproduksi secara komersial

STUDI KASUS:
FOLKLOR DAN MASYARAKAT MODERN INDONESIA
Tidak sedikit masyarakat modern pada zaman ini memaknai kepercayaan rakyat atau
folklor hanyalah hal yang bersifat takhayul. Legenda, mitos, dongeng, atau kisah kepercayaan
rakyat memang akrab dengan kehidupan rakyat Indonesia sedari dulu. Nenek moyang negeri ini
memang dikenal sebagai pencerita. Melalui cerita, mereka sebenarnya mengajarkan nilai-nilai
tertentu tentang kehidupan yang mungkin sulit untuk dibahas secara ilmiah. Sayangnya banyak
masyarakat yang memahami hanya sepenggal saja. Akhirnya cerita itu berlalu turun menurun
tanpa ada perubahan dan penjelasan makna di dalamnya.

14

Di dalam kehidupan masyarakat, folklor hidup untuk dapat menggambarkan realitas


lingkungan yang seharusnya mengacu pada nilai-nilai baik yang pernah ada pada masyarakat di
suatu zaman tertentu Folklor dalam bentuk tradisi lisan yang berkembang pada masyarakat
Indonesia seharusnya dipertahankan (dilestarikan) dalam kehidupan dewasa ini sesuai dengan
perkembangan dan tuntutan zaman.
Terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, folklor memiliki nilai-nilai dan
norma-norma yang relevan untuk mendukung kehidupan masyarakat secara kolektif, dan
menjadi filter terhadap pengaruh-pengaruh negatif akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi atau era globalisasi. Ahmad Turmuzi (2011) menyatakan lebih lanjut bahwa nilai-nilai
dan norma-norma itu menjadi ciri khas dari kelompok masyarakat, mengatur tentang perilaku
dan hubungan antarindividu dalam kelompok tersebut. Nilai-nilai dan norma-norma kemudian
dikembangkan menjadi adat-istiadat dari suatu kelompok masyarakat pendukungnya. Adat
kebiasaan tidak selamanya mecerminkan kekolotan atau keterbelakangan suatu kelompok
masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat modern sekarang ini, adat-istiadat tersebut dapat menjadi
modal dasar dalam kehidupan kolektif. Nilai-nilai kearifan lokal suatu masyarakat dapat
memberikan keseimbangan dan ketertiban (keharmonisan) hidup, melestarikan alam atau
lingkungan hidup, dan lain-lainnya. Pewarisannya pada generasi penerus, juga sangat bermanfaat
dalam rangka memperkecil adanya kesenjangan budaya pada generasi muda. Pewarisan yang
efektif dapat dilakukan melalui pendidikan.
Pengertian Folklor dan Ciri-Ciri Folklor
Folklor berasal dari kata majemuk Inggris folklore yang terdiri dari kata folk dan lore. Folk yang
searti dengan kolektif, menurut Koentjaraningrat (1965: 106). Adapun lore adalah tradisi folk,
yakni sebagian kebudayaannya yang diwariskan turun-temurun secara lisan atau suatu contoh
yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 1- 2).
Secara keseluruhan. folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turuntemurun, di antara kolektif apa saja, secara tradisional dalam versi yang
berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonic device) (Danandjaja, 1985: 1-2).

15

Folklor berbeda dari kebudayaan lainnya, maka kita perlu mengetahui ciri-ciri pengenal utama
folklor pada umumnya. Adapun ciri-ciri pengenal utama folklor yang dimaksud adalah sebagai
berikut.
1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur
kata dari mulut ke mulut (atau 12 dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan
alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.
2) Folklor bersifat tradisional, yaitu disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk
standar. Itu disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit
dua generasi).
3) Folklor ada (exist) dalam versi-versi, bahkan varian-varian yang berbeda. Itu disebabkan
penyebarannya secara lisan, sehingga dapat dengan mudah mengalami perubahan. Perubahan
biasanya terletak pada bagian luarnya saja, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.
4) Folklor bersifat anonim, nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi.
5) Folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola, sebagaimana dalam cerita rakyat
atau permainan rakyat pada umumnya. Cerita rakyat misalnya, selalu mempergunakan katakata
klise seperti bulan 14 hari untuk menggambarkan kecantikan seorang gadis. Juga, seperti ular
berbelit-belit untuk menggambarkan kemarahan seseorang. Demikian pula, ungkapan-ungkapan
tradisional, ulangan-ulangan, dan kalimatkalimat atau kata-kata pembukaan dan penutup yang
baku, misalnya: sahibul hikayat...dan mereka pun hidup bahagia untuk seterusnya, atau
menurut empunya cerita...demikianlah konon. Dongeng Jawa misalnya, banyak yang dimulai
dengan kalimat Anuju sawijining dina dan ditutup dengan kalimat A lan B urip rukun
bebarengan kaya mimi lan mintuna.
6) Folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita
rakyat misalnya, mempunyai kegunaan sebagai alat/media pendidikan, pelipur lara, protes sosial,
dan proyeksi keinginan terpendam.
7) Folklor bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika tersendiri yang tidak sesuai dengan logika
umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan. 13
8) Folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Ini disebabkan penciptanya
tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif ybs. merasa memilikinya.

16

9) Folklor biasanya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu
spontan. Itu bisa dimengerti karena banyak folklor merupakan proyeksi emosi manusia yang
paling jujur manifestasinya.
Dapat ditambahkan di sini bahwa:
a) Folklor tidak berhenti sebagai folklor manakala telah diterbitkan dalam bentuk
cetakan/rekaman. Suatu folklor akan tetap memiliki identitas folklornya selama kita tahu bahwa
itu berasal dari peredaran lisan.
b) Folklor mengungkapkan secara sadar atau tidak bagaimana suatu kolektif masyarakat berpikir,
bertindak, berperilaku, dan memanifestasikan berbagai sikap mental, pola pikir, tata nilai, dan
mengabadikan hal-hal yang dirasa penting oleh folk kolektif pendukungnya. Misalnya,
bagaimana norma-norma hidup dan perilaku serta manifestasi pola pikir dan batiniah masyarakat
Minangkabau melalui pepatah, pantun, dan peribahasa.
Bentuk-Bentuk Folklor Indonesia
Foklor oleh Jan Harold Brunvard, seorang ahli foklor dari AS, digolongkan menjadi tiga
kelompok besar menurut tipenya (Danandjaja, 1994: 21), yaitu:
1. Foklor lisan (verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
2. Folklor sebagian lisan (partly verbal folklore)
3. Folklor bukan lisan (non verbal folklore) adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.
1) Folklor Lisan
James Danandjaja (1994:22) membagi folklor lisan pada beberapa kelompok, antara lain:
a. Bahasa rakyat
1) Logat (dialect)
2) Slang
3) Shop talk
4) Colloquial
5) Sirkumlokusi (circumlocution)
6) Cara pemberian nama pada seseorang
7) Gelar kebangsawanan atau jabatan tradisional
8) Bahasa bertingkat (speech level)
9) Onomatopuitik (onomatopoetic)
17

10) Onomastik (onomastic)


Berikut beberapa fungsi dari bahasa rakyat:

b.
c.
d.
e.

1) Untuk memperkokoh identitas


2) Melindungi folk pemilik folklor dari ancaman kolektif lain atau penguasa
3) Memperkokoh kedudukan folknya pada jenjang pelapisan masyarakat
4) Untuk memperkokoh kepercayaan rakyat dari folknya.
Ungkapan tradisional (peribahasa).
Pertanyaan tradisional (teka-teki).
Sajak dan puisi rakyat.
Cerita Prosa Rakyat.
Menurut William R. Bascom cerita prosa rakyat dapat dibagi dalam tiga golongan besar,

yaitu: mite (myth), legenda (legend), dan dongeng (folktale).


f. Nyanyian rakyat
2) Folklor sebagian Lisan
Folklor ini dikenal juga sebagai fakta sosial (sosiofact), meliputi sebagai beriku
1)
2)
3)
4)
5)
6)

permainan dan hiburan rakyat setempat;


teater rakyat, seperti lenong, ketoprak, dan ludruk;
tari rakyat, seperti tayuban, doger, jaran, kepang, dan ngibing, ronggeng;
adat kebiasaan, seperti pesta selamatan, dan khitanan;
upacara tradisional seperti tingkeban, turun tanah, dan temu manten;
pesta rakyat tradisional seperti bersih desa dan meruwat.

3) Folklor Bukan Lisan


Folklor ini juga dikenal sebagai artefak meliputi hal sebagai berikut.
1) arsitektur bangunan rumah yang tradisional, seperti Joglo di Jawa, Rumah Gadang di
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Minangkabau, Rumah Betang di Kalimantan, dan Honay di Papua;


seni kerajinan tangan tradisional,
pakaian tradisional;
obat-obatan rakyat;
alat-alat musik tradisional;
peralatan dan senjata yang khas tradisional;
makanan dan minuman khas daerah.

3.4 Analisis
Salah satu bentuk yang dapat diwariskan adalah folklor lisan dalam bentuk bahasa rakyat
yang dikenal sebagai sirkumlokusi. Bentuk bahasa rakyat ini berupa ungkapan tidak langsung
yang digunakan oleh masyarakat ketika menghadapi situasi tertentu yang diyakini akan
menyelamatkan keberadaannya pada situasi tersebut. Ungkapan tidak langsung ini tumbuh pada
18

masyarakat dan menjadi semacam acuan di dalam melakukan aktivitas kehidupan. Beberapa
daerah memiliki ungkapan tidak langsung tersebut dan kondisi ini dapat diwariskan secara
efektif melalui pendidikan.
Sirkumlokusi di dalam folklor dimaknai sebagai ungkapan tidak langsung yang fungsinya
sama yaitu sebuah kata sebagai pengganti gagasan yang sama atau sinonim dalam bentuk baru
dengan tujuan khusus. Ungkapan tidak langsung tersebut dapat dijelaskan dengan syarat-syarat,
yang terdiri dari tanda-tanda (sign) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan akan ada
akibatnya (result) (digunakan juga untuk menguraikan takhayul dalam Danandjaja, 1994: 154).
Beberapa ungkapan tak langsung menggambarkan situasi seseorang dalam situasi yang
tertekan dan memerlukan pengalihan agar ego manusia dapat bertahan ketika id manusia tidak
terpenuhi. Antara lain sebagai berikut.
1. Jika seseorang akan berjalan melintasi hutan dan diyakini bahwa hutan itu masih dihuni oleh
harimau, orang itu merasakan ketidaknyamanan, ketakutan, dan keraguan untuk melintas.
Lalu muncullah ungkapan tak langsung yang mengatakan Eyang/Nenek/Datuk/Moyang
cucumu mau melintas, mohon dijaga. Ungkapan tersebut menguatkan hati dan tekad orang
itu melintasi hutan belantara hingga ke tempat yang dituju. Ada kekuatan yang muncul saat
orang itu menyebut Eyang/Nenek/Datuk/Moyang untuk menggantikan harimau.
Kepercayaan yang mendasari orang itu bahwa jika harimau disebut dengan
eyang/nenek/datuk/moyang pasti tidak akan menyerang dan orang itu memosisikan dirinya
sebagai cucu. Sublimasi atau pengalihan konsep harimau ke eyang/nenek/datuk/moyang
berterima di masyarakat dan itu memperkokoh nilai-nilai yang telah ada di masyarakat.
Nilai-nilai tersebut antara lain, bahwa seorang eyang/nenek/datuk/moyang tidak akan
mencelakakan cucu sendiri. Ungkapan tidak langsung atau sirkumlokusi ini dapat kita
temukan di berbagai cerita yang bersumber dari cerita lisan. Cerita itu ditulis berdasarkan
fakta yang ada di dalam kehidupan masyarakat. Kepala kampung tak berani menyebut
harimau dengan kata harimau. Dia selalu mengatakan harimau dengan memakai kata
nenek atau datuk. (Berkelana dalam Rimba, 2002. Karya Mochtar Lubis, Gramedia).
2. Situasi ketika hujan deras lalu petir menggelegar sahut menyahut menyebabkan seseorang
harus berlari dalam hujan sambil mengatakan hal sebagai berikut. Aku putune Ki Ageng
Selo (Aku cucu Ki Ageng Selo).

19

Cerita tentang kesaktian Ki Ageng Selo yang bisa menangkap petir dengan tangan kosong
menuturkan tentang Ki Ageng Selo yang pada suatu hari sedang mencangkul di sawahnya
yang terbentang luas. Sebagai murid Sunan Kalijaga, sudah berulang kali Ki Ageng Selo
mengucap Subhanallah, agar petir yang menyambar itu berhenti. Namun petir tersebut
tetap menggelegar, bahkan ketika hujan sudah turun dengan derasnya. Hingga ketika petir
itu hendak menyambar kepalanya lagi, Ki Ageng Selo dengan sigap kemudian
menangkapnya. Terjadilah perkelahian hebat di tangah sawah dalam guyuran hujan. Hingga
akhirnya petir dapat dikalahkan, dan kemudian diikatkan pada sebatang pohon gandri, di
pinggiran persawahan.
Cerita itu dituturkan turun temurun dari kakek ke cucu setiap generasi di daerah Jawa
tentunya. Setelah mengisahkan dongeng itu, kakek kemudian berpesan pada cucunya, agar
ketika ada petir menggelegar ucapkanlah Aku ini cucu Ki Ageng Selo! Konon, dengan
meneriakkan ucapan itu petir akan berhenti menyambar. Kepercayaan itu masih berkembang
hingga sekarang. Ketika menyebut nama Ki Ageng Selo, maka yang teringat dalam benak
orang Jawa, adalah sosok sakti yang mampu menangkap petir. Kepercayaan masyarakat
Jawa perihal penangkapan petir oleh Ki Ageng Selo masih sangat lekat.
Penyapaan atau penyebutan diri yang berbeda dari fakta yang ada itu adalah sublimasi yang
dilakukan agar pelaku kegiatan dapat selamat dari bencana.
Pembangunan Karakter Masyarakat Modern Melalui Pemaknaan Sirkumlokusi
Bangsa kita saat ini dihadapkan pada sejumlah paradoks terkait dengan pembangunan
karakter bangsa. Di satu pihak, pembangunan bangsa ini telah mencatat sejumlah prestasi, seperti
pertumbuhan ekonomi yang membaik, kuota ekspor yang terus meningkat, cadangan devisa yang
semakin besar dan jumlah penduduk miskin juga telah semakin berkurang. Namun di pihak lain,
kita masih menghadapi sejumlah fenomena seperti kasus korupsi, saling memfitnah dalam
kehidupan bernegara dan sejumlah ekses lain yang tidak mencerminkan sifat-sifat karakter
unggul yang telah pernah dicontohkan oleh para pendiri bangsa ini.
Oleh karena itu merombak tatanan suatu bangsa di era globalisasi tidak cukup hanya
dengan menjadikan masyarakat bangsa tersebut berada dalam tatanan pola kehidupan demokratis
yang menghilangkan batas etnis, pluralitas budaya dan heterogenitas politik.

20

Menurut Hatta Rajasa (http://www.setneg.go.id), suatu tatanan masyarakat demokratis


terus melakukan pembelajaran dalam upaya untuk mencapai suatu peningkatan kapasitas
pengetahuan yang bersinambungan sehingga akan terbentuk suatu masyarakat madani yang
berdaya saing. Inilah bentuk masyarakat yang mendukung untuk tercapainya kemandirian dan
peningkatan martabat bangsa. Melalui tradisi, martabat itu akan meningkat jika tepat
penangannya.
Tradisi lisan adalah kegiatan budaya tradisional suatu komunitas yang diwariskan secara
turun-temurun dengan media lisan dari satu generasi ke generasi lain baik tradisi itu berupa
susunan kata-kata lisan (verbal) maupun tradisi lain yang bukan lisan (non-verbal). Pada
komunitas yang terbentuk dari beragam etnis yang mempunyai latar kehidupan beragam,
seharusnya muncul tradisi yang baru berdasar pada tradisi lama. Dongeng sudah jarang
dilakukan, apalagi pepatah, pemeo, apalagi mitos. Komunikasi di keluarga sudah jarang
dilakukan. Hampir setiap keluarga tersedot magnetis televisi yang menampilkan ikon-ikon
berupa kekerasan dan kemunafikan. Keruwetan dalam kehidupan masyarakat sepertinya susah
diurai. Setidaknya para pendidik dapat memulai langkah ini bekerja sama dengan orang tua
menata kembali kehidupan. Budaya lisan masih marak digunakan masyarakat Indonesia,
mengapa kita tidak memulai memasukkan kegiatan yang berdasar pada ungkapan-ungkapan tak
langsung yang pernah ada di dalam masyarakat.
Ungkapan-ungkapan tak langsung itu tercerap di dalam karya-karya sastra. Tinggal
masyarakat pendidik mencoba mengambilnya lalu diaplikasikan di dalam pengayaan mata ajar
pendidikan yang diberikan. Penguraian makna yang terdapat dalam ungkapan-ungkapan tersebut
dapat dijadikan bahan diskusi. Pada akhirnya generasi muda akan dapat memahami bahwa ada
yang harus dihormati, ada kata yang digunakan dalam situasi berbeda, ada kekuatan martabat
yang membentuk sikap ketika kita paham pada ungkapan yang digunakan pada waktu itu. Ada
nilai-nilai yang dapat dipahami sebagai bentuk nyata dari sikap yang dilakukan oleh moyang
mereka.
Pada Ungkapan tak langsung itu tergambar tanda-tanda (sign) atau sebab-sebab (causes), dan
yang diperkirakan akan ada akibatnya (result).

21

Eyang/datuk/nenek/moyang cucu mohon izin dan mohon dijaga untuk melintas


Tanda yang dapat dipahami adalah bahwa di wilayah itu ada kekuasaan yang harus kita hormati.
Dengan kesadaran tersebut, kita dapat menata sikap agar tidak menyinggung penguasa. Jika
penguasa tersinggung (sebab-sebab/cause), kita akan mendapatkan celaka yaitu diterkam
harimau (akibat/result). Banyak pemaknaan yang dapat mengeluarkan nilai-nilai positif dari
apresiasi kita terhadap salah satu bentuk folklor ini, yaitu ungkapan tak langsung atau
sirkumlokusi.
Pemahaman akan adanya tradisi lisan ini akan menciptakan kehidupan yang harmonis, saling
menghormati, bertindak sopan, dan tidak brutal. Generasi muda akan menempatkan diri pada
tempatnya. Penguasa juga akan bersikap bijaksana dalam melakukan tindakan.

BAB 4
KESIMPULAN
Kebudayaan sangat berpengaruh dalam membentuk kepribadian seseorang. Karena,
kepribadian terbentuk karena adanya faktor lingkungan yang berdasar pada kebudayaan.
Kebudayaan di setiap daerah berbeda-beda dan bermacam-macam, maka kepribadian yang ada
pada masyarakat nya pun berbeda-beda. Penerapan yang baik dari sebuah kebudayaan akan
menghasilkan kepribadian yang baik juga begitupun sebaliknya. Beragamnya kebudayaan
menyebabkan proses adopsi antar budaya. Proses ini memberikan dampak positif sebagai
komunikasi sosial dan dapat pula memberikan dampak yang negatif. Salah satu dampak negatif
adalah budaya monokuler yang menggabungkan beberapa budaya menjadi satu kesatuan budaya.
Budaya monokuler cenderung mencari keuntungan sebesar-besarnya, dengan begitu ditakutkan
nilai asli suatu budaya akan menghilang.

22

Folklor dalam bentuk tradisi lisan yang berkembang pada masyarakat Indonesia seharusnya
dipertahankan (dilestarikan) dalam kehidupan dewasa ini sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman. Terlepas dari unsur-unsur mistis yang ada di dalamnya, folklor memiliki nilainilai dan norma-norma yang relevan untuk mendukung kehidupan masyarakat secara kolektif,
dan menjadi filter terhadap pengaruh-pengaruh negatif akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi atau era globalisasi

DAFTAR PUSTAKA
Gulo, dali. 1982. Psikologi Umum. Jakarta : Erlangga.
Setiadi, Elly, Dra. M.Si. dkk., 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana.
Sitompul, A.A. 1993. Manusia dan Budaya. Jakarta: Gunung Mulia.
Timoera, Dwi Afrimetty, dkk. 2014. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Jakarta : Universitas Negeri
Jakarta.
Danandjaja, James. 1983. Folklor sebagai Bahan Penelitian Antropologi Psikologi, dalam
Analisa Kebudayaan. Th. IV No. 3 1983/1984. Jakarta : Depdikbud. Halaman 61-71.
Rajasa, M. Hatta. Memaknai Kemerdekaan Dari Perspektif Pembinaan Karakter Bangsa.
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=738&Itemid
=135

23

Turmuzi, Ahmad. 2011. Perspektif Folklor dalam Kehidupan Masyarakat Modern.


(Sumber:http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/05/perspektif-folklor-dalamkehidupan-masyarakat-modern/).
https://santimarlina.files.wordpress.com/2011/11/peran-kebudayaan-dalam-membentukkepribadian.pdf , diakses pada tanggal 21 Februari 2015.

24

You might also like