You are on page 1of 45

REFERAT

APENDISITIS AKUT

DISUSUN OLEH :
NURUL AZIZAH
030.08.186

PEMBIMBING :
DR. DEDDY SUBANDRIO, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT TNI AL DR. MINTOHARDJOJAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 10 JUNI 17 AGUSTUS 2013

LEMBAR PENGESAHAN

NamaMahasiswa

:Nurul Azizah

NIM

: 030.08.186

Bagian

:KepaniteraanKlinikIlmuPenyakitBedah
FK UniversitasTrisakti

JudulReferat

:Apendisitis Akut

Pembimbing

:dr. Deddy Subandrio, Sp.B

Jakarta, Juli 2013


Pembimbing

dr. Deddy Subandrio, Sp.B

KATA PENGANTAR

PujidansyukursayapanjatkankehadiratAllah

SWT

karenaatasrahmat

dan

hidayahNyalahsayadapatmenyelesaikantugasreferatdalamKepaniteraanKlinikIlmuBedah

di

RumahSakitAngkatanLaut dr. Mintohardjomengenai APENDISITIS AKUT.


Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang
dihadapi. Namun saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan semua pihak, sehingga kendalakendala yang saya hadapi dapat teratasi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini kami
mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada dr. Deddy Subandrio,
Sp.Bsebagaidokter

pembimbing

dalam

mengerjakan

laporan

kasus

ini,

sertakepadaseluruhdokter yang telahmembimbingsayaselama di kepaniteraan klinik


IlmuBedah di RSAL dr. Mintohardjo. Dan jugaucapanterimakasihkepada temanteman

seperjuangan

di

kepaniteraan

ini,

sertakepadasemuapihak

yang

telahmemberidukungandanbantuankepadapenyusun.
Semogalaporankasusinidapatbermanfaatbagisayadanparapembaca.
Sayamenyadaribahwamakalahinimasihjauh dari sempurna, olehkarena itu kritikdan
saran diharapkan dari parapembaca.

Jakarta, Juli 2013

Nurul Azizah

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI........................................................................................................
BAB. I PENDAHULUAN...................................................................................
BAB II. ANATOMI, FISIOLOGI DAN HISTOLOGI APPENDIKS................. 3
BAB III. APPENDISITIS AKUT
III.1 DEFINISI ..
III.2 EPIDEMIOLOGI ..
III.3 ETIOLOGI
III.4 KLASIFIKASI ..
III.5 PATOFISIOLOGI
III.6 MANIFESTASI KLINIS ..
III.7 DIAGNOSIS .
III.8 DIAGNOSIS BANDING ..
III.9 KOMPLIKASI ..
III.10 PENATALAKSANAAN ....
III.11 PROGNOSIS ..
BAB IV. KESIMPULAN...
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
Apendisitis merupakan kasus gawat bedah abdomen yang tersering dan
memerlukan tindakan bedah segera untuk menghindari komplikasi yang serius.
Apendisitis yang terlambat ditangani akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas
penderita. Untuk itu ketepatan diagnosa sangat dibutuhkan dalam pengambilan
keputusan tindakan. Ketepatan diagnosa tergantung dari kemampuan dokter
melakukan analisis pada data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium.(1)
Insiden Apendisitis akut di Indonesia dilaporkan menempati urutan tertinggi
diantara kasus-kasus gawat darurat, seperti halnya di negara barat. Walaupun
demikian, diagnosa serta keputusan bedah masih cukup sulit di tegakkan. Pada
beberapa keadaan Apendisitis akut agak sulit didiagnosis, misalnya pada fase awal
dari gejala Apendisitis akut dan tandanya masih sangat samar apalagi bila sudah
diberikan terapi antibiotika. Dengan pemeriksaan yang cermat dan teliti resiko
kesalahan diagnosis sekitar 15-20%. Bahkan pada wanita kesalahan diagnosis ini
mencapai 45-50%. Hal ini dapat disadari mengingat wanita sering timbul gangguan
organ lain dengan gejala yang serupa dengan Apendisitis akut.(1)
Mengingat

masalah

diatas

maka

perlu

diketahui

tanda,

gejala,

pemeriksaanlaboratoium sederhana mana yang berperan secara bermakna dalan


mendiagnosis Apendisitisakut, serta akurasi dan spesifitas modalitas diagnosa tersebut
untuk memudahkan dokter dalam mendiagnosa dan mengambil keputusan.(1,2)

BAB II
ANATOMI, FISIOLOGI DAN HISTOLOGI APPENDIKS
II.1 Anatomi Apperndiks (1)(2)

Gambar 1. Anatomi appendiks


Appendiks merupakan organ dengan struktur tubular yang rudimeter dan tanpa
fungsi yang jelas. Appendiks berkembang dari posteromedial caecum dengan panjang
yang bervariasi namun pada orang dewasa sekitar 5-15 cm dan diameter sekitar 0,50,8 cm. Appendiks merupakan derivat bagian dari midgut yang terdapat di antara
Ileum dan Colon ascendens. Caecum terlihat pada minggu ke-5 kehamilan dan
apppendiks terlihat pada minggu ke-8 kehamilan yaitu bagian ujung dari protuberans
caecum. Dalam proses perkembangannya, awalnya apendiks berada pada apeks
caecum, tetapi kemudian berotasi dan terletak lebih medial ekat Plica ileocaecalis.
Lumen apendiks sempit dibagian proksimal dan melebar di bagian distal. Hampir
seluruh permukaan apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks (mesenter
dari appendiks) yang merupakan lipatan peritoneum yang berjalan kontinyu sepanjang
appendiks dan berakhir di ujung appendiks.(1)

Gambar 2. Embriologi appendiks

Pada appendiks terdapat 3 taenia coli yang menyatu di persambungan caecum


dan bisa berguna dalam menandakan tempat untuk mendeteksi appendiks. Posisi
apendiks terbanyak adalah retrocaecal 65.28% baik intraperitoneal maupun
retroperitoneal dimana appendiks berputar ke atas di belakng caecum. Selain itu juga
terdapat posisi pelvic (panggul) 31,01% (appendiks menggantung ke arah pelvic
minor), subcaecal ( dibawah caecum) 2,26% retroileal (dibelakang usus halus) 0,4%,
retrokolika, dan pre-ileal. (1)

Gambar 3. Variasi Letak Appendiks

Vaskularisasi appendiks berasal dari arteri appendikularis yang berjalan di


sepanjang masoapendiks dan merupakan cabang dari arteri ileocolica dan yang
merupakan cabang trunkus mesenterik superior. Selain dari arteri apendikular yang
memperdarahi hampir seluruh apendiks, juga terdapat kontribusi dari arteri asesorius.

Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena ileocoli berjalan ke vena
mesentrik superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Persarafan parasimpatis dari apendiks berasal dari cabang nervus vagus yang
mengikuti a. Mesenterica superior dan a. Apendikularis, sedangkan persarafan
simpatis berasal dari n. Thorakalis X.(1)

II.2 Fisiologi Appendiks(3)


Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir itu secara normal
dicurahkan kedalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendisitis.
Awalnya, apendiks dianggap tidak memiliki fungsi. Namun akhir-akhir ini,
appendiks dikatakan sebagai organ imunologi yang secara aktif mensekresikan
Imunoglobulin A (IgA). Walaupun appendiks merupakan komponen integral dari
sistem Gut Associated Lymphoid Tissue (GALT), imunoglobulin ini sangat efektif
sebagai pelindung terhadap infeksi yaitu mengontrol proliferasi bakteri, netralisasi
virus, serta mencegah penetrasi enterotoksin dan antigen intestinal lainnya. Namun,
pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh sebab jumlah
jaringan sedikit sekali jika dibandingkan dengan jumlah di saluran cerna dan seluruh
tubuh.
II.3 Histologi
Komposisi histologi serupa dengan usus besar, terdiri dari empat lapisan yakni
mukosa, submukosa, muskularis eksterna, dan lapisan serosa. Permukaan dalam atau
mukosa secara umum sama seperti mukosa colon, berwarna kuning muda dengan
gambaran nodular, dan komponen limfoid yang prominen. Komponen limfoid ini
mengakibatkan lumen dari appendiks seringkali berbentuk irreguler (stelata) pada
potongan melintang.Dindingnya berstruktur sebagai berikut :(3)
A. Tunica mucosa
Tidak mempunyai villi intestinalis.

1. Epitel, berbentuk silindris selapis dengan sel piala. Banyak ditemukan


selargentafin dan kadang-kadang sel paneth.
2. Lamina propria, hampir seluruhnya terisi oleh jaringan limfoid dengan
adanya pula nodulus Lymmphaticus yang tersusun berderet-deret
sekeliling lumen. Diantaranya terdapat crypta lieberkuhn
3. Lamina muscularis mucosa, sangat tipis dan terdesak oleh jaringan
limfoid dan kadang-kadang terputus-putus
B. Tunica submucosa
Tebal, biasanya mengandung sel-sel lemak dan infiltrasi limfosit yang merata.
Di dalam jariangan tunica submucosa terdapat anyaman pembuluh darah dan
saraf.
C. Tunica muscularis
Walaupun tipis, tapi masih dapat dibedakan adanya lapisan dua lapisan.
D. Tunica serosa
Tunica serosanya mempunyai struktur yang tidak pada intestinum tenue.
Kadang-kadang pada potongan melintang dapat diikuti pula mesoappendix
yang

merupakan

alat

penggantung

sebagai

lanjutan

peritoneum

viserale.berbeda dengan yang terdapat

Gambar 4. Potongan melintang appendiks vermiformis normal

(1)

BAB III
APPENDISITIS AKUT
III.1 Definisi Apendisitis (4)

10

Appendisitis adalah peradangan pada organ appendiks vermiformis atau yang


di kenal juga sebagai usus buntu. Diklasifikasikan sebagai suatu kasus medical
emergency dan merupakan salah satu kasus akut abdomen yang paling sering ditemui.
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendisitis. Erosi membran mukosa
appendiks dapat terjadi karena parasit seperti Entamoeba histolytica, Trichuris
trichiura, dan Enterobius vermikularis.Penelitian Collin (1990) di Amerika Serikat
pada 3.400 kasus, 50% ditemukan adanya faktor obstruksi. Obstruksi yang
disebabkan hiperplasi jaringan limfoid submukosa 60%, fekalith 35%, benda asing
4%, dan sebab lainnya 1%.

Gambar 5. Inflamasi Appendiks


III.2 Epidemiologi Apendisitis(5)
Insidens apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang,

tetapi

beberapa

tahun

terakhir

angka

kejadiannya

menurun

bermakna.Hal ini disebabkan oleh meningkatnyapenggunaan makanan berserat dalam


menu sehari-hari.Apendisitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak
kurang dari satu tahun jarang dilaporkan.Insidens tertinggi pada kelompok umur 2030 tahun, setelah itu menurun.Insidens pada lelaki dan perempuan umumnya
sebanding, kecuali pada umur 20-30 tahun, insidens pada lelaki lebih tinggi.
Meskipun jarang, pernah dilaporkan kasus appendiks neonatal dan prenatal. Pasien

11

dengan usia yang lebih dari 60 tahun dilaporkan sebanyak 50% meninggal akibat
apendisitis.
III.3 Etiologi Apendisitis(4)(6)
Appendisitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks
sehingga terjadi kongesti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Appendisitis akut dapat disebabkan oleh proses radang bakteria yang dicetuskan oleh
beberapa faktor pencetus diantaranya hiperplasia jaringan limfa, fekalith, tumor
apendiks, dan cacing askaris yang menyumbat.
Beberapa faktor yang mempermudah terjadinya radang appendiks, diantaranya :
a. Faktor sumbatan
Faktor obstruksi merupakan faktor terpenting terjadinya
apendisitis (90%) yang diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi
disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoid submukosa,35% karena
stasis fekal, 4% karena benda asing dan sebab lainnya 1% diantaranya
sumbatan oleh parasit dan cacing. Obstruksi yang disebabkan oleh
fekalith dapat ditemui pada bermacam-macam apendisitis akut
diantaranya : 40% pada kasus apendisitis kasus sederhana, 65% pada
kasus apendisitis akut gangrenosa tanpa ruptur dan 90% pada kasus
apendisitis akut dengan ruptur.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor patogenesis primer pada
apendisitis akut. Adanya fekalith dalam lumen apendiks yang telah
terinfeksi memperburuk dan memperberat infeksi, karena terjadi
peningkatan stagnasi feses dalam lumen apendiks. Pada kultur
didapatkan terbanyak ditemukan adalah kombinasi antara Bacteriodes
fragilis

dan

E.coli,

Splanchicus,

Lacto-bacilus,

Pseudomonas,

Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi


adalah kuman anaerob sebesar 96% dan aerob <10%.
Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis
ialah erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. Histolytica.
12

Ulserasi mukosa merupakan tahap awal dari kebanyakan penyakit ini.


Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien apendisitis
yaitu :
Bakteri aerob fakultatif

Bakteri anaerob

Escherichia coli

Bacteroides fragilis

Viridans streptococci

Peptostreptococcus micros

Pesudomonas

Bilophila species

Lactobacillus species

aeruginosa

Enterococcus
Tabel 1. Spesies bakteri yang dapat diisolasi
c. Faktor konstipasi dan pemakaian laksatif
Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal yang berakibat
timbulnya

sumbatan

fungsional

apendiks

dan

meningkatkan

pertumbuhan kuman flora kolon biasa sehingga mempermudah


timbulnya apendisitis akut. Penggunaan laksatif yang terus-menerus
dan berlebihan memberikan efek merubah suasan flora usus dan
menyebabkan terjadinya hiperesi usus yang merupakan permulaan dari
proses inflamasi. Pemberian laksatif pada penderita apendisitis akan
merangsang peristaltik dan merupakan predisposisi terjadinya perforasi
dan peritonitis.
d. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang
herediter dari organ, appendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi
yang tidak baik dan letaknya yang mudah terjadi appendisitis. Hal ini
juga dihubungkan dengan kebiasaan makanan dalam keluarga terutama
denga diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya fekalith dan
mengakibatkan obstruksi lumen.
e. Faktor ras dan diet

13

Faktor ras berhubungan dengan kebiasaan dan pola makan


sehari-hari. Bangsa kulit putih yang dulunya pola makan rendah serat
mempunyai resiko lebih tinggi dari negara yang pola makannya
banyak serat. Namun saat sekarang, kejadiannya terbalik. Bangsa kulit
putih telah merubah pola makan mereka ke pola makan tinggi serat.
Justru negara berkembang, yang dulunya memiliki tinggi serat kini
beralih ke pola makan rendah serat, memiliki resiko appendisitis yang
lebih tinggi.
III.4 Klasifikasi/tipe appendisitis(6)(7)
Ada beberapa jenis apendisitis yang memiliki perubahan yang berbeda
berhubungan dengan apendisitis, sehingga ada perbedaan gejala, pengobatan dan
prognosis. Appendisitis diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Appendisitis akut
a. Appendisitis akut sederhana ( Cataral Appendicitis)
Proses peradangan baru terjadi di mukosa dan sub mukosa disebabkan
obstruksi. Sekresi mukosa menumpuk dalam lumen appendiks dan terjadi
peningkatan tekanan dalam lumen yang mengganggu aliran limfe, mukosa
appendiks jadi menebal, edema, dan kemerahan. Gejala diawali dengan
rasa nyeri di daerah umbilikus, mual, muntah, anoreksia, dan demam
ringan. Pada appendisitis cataral terjadi leukositosis dan appendiks terlihat
normal, hiperemia, edema, dan tidak ada eksudat serosa.
b. Appendisitis akut purulent (Supurative Appendicitis)
Tekanan dalam lumen terus bertambah disertai edema menyebabkan
terbendungnya aliran vena pada dinding appendiks dan menimbulkan
trombosis. Keadaan ini memperberat iskemik dan edema pada apendiks.
Mikroorganisme yang ada di usus besar berinvasi ke dalam dinding
appendiks menimbulkan infeksi serosa sehingga serosa menjadi suram
karena dilapisi eksudat dan fibrin. Pada appendiks dan mesoappendiks
terjadi edema, heperemia, dan di dalam lumen terdapat eksudat
fibrinopurulen.

14

Ditandai dengan rangsangan peritoneum lokal seperti nyeri tekan,


nyeri lepas di titik Mc Burney, defans muskuler, dan nyeri pada gerak aktif
dan pasif. Nyeri dan defans muskuler dapat terjadi pada seluruh perut
disertai dengan tanda-tanda peritonitis umum.
c. Appendisitis akut gangrenosa
Bila tekanan dalam lumen terus bertambah, aliran darah arteri mulai
terganggu sehingga terjadi infark dan gangren. Selain didapatkan tandatanda supuratif, appendiks mengalami gangren pada bagian tertentu.
Dinding appendiks berwarna ungu, hijau keabuan atau merah kehitaman.
Apada appendisitis akut gangrenosa terdapat mikroperforasi dan kenaikan
cairan peritoneal yang purulen.
2. Appendisitis infiltrat
Appendisitis infiltrat adalah proses radang appendiks yang penyebarannya
dapat dibatasi oleh omentum, usus halus, sekum, kolon dan peritoneum sehingga
membentuk gumpalan massa flegmon yang melekat erat satu dengan yang
lainnya.
3. Appendisitis abses
Terjadi bila massa lokal yang terbentuk berisi nanah (pus), biasanya di fossa
iliaka kanan, lateral dari sekum, retrocaecal, sucaecal, dan pelvic.
4. Appendisitis perforasi
Adalah pecahnya appendiks yang sudah gangren yang menyebabkan pus
masuk kedalam rongga perut sehingga terjadi peritonitis umum. Pada dinding
appendiks tampak daerah perforasi dikelilingi oleh jaringan nekrotik.
5. Appendisitis kronis
Merupakan lanjutan appendisitis akut supuratif sebagai proses radang yang
persisten akibat infeksi mikroorganisme dengan virulensi rendah, khususnya
obstruksi parsial terhadap lumen. Diagnosis appendisitis kronis baru dapat
ditegakkan jika ada riwayat serangan nyeri berulang di perut kanan bawah lebih
dari dua minggu, radang kronik appendiks secara makroskopik dan mikroskopik.
15

Secara histologi, dinding appendiks menebal, sub mukosa dan muskularis propia
mengalami fibrosis. Terdapat infiltrat sel radang limfosit dan eosinofil pada sub
mukosa, muskularis propia, dan serosa. Pembuluh darah serosa tampak dilatasi.
III.5 Patofisiologi Apendisitis(4)(6)
Sebagian besar appendiks disebabkan oleh sumbatan yang kemudian diikuti oleh
infeksi. Beberapa hal ini dpat menyebabkan sumbatan, yaitu hiperplasia jaringan
limfoid, fekalith, benda asing, striktur, kingking, perlengketan.
Bila bagian proksimal appendiks tersumbat, terjadi sekresi mukus yang tertimbun
dalam lumen appendiks, sehingga tekanan intra luminer tinggi. Tekanan ini akan
mengganggu aliran limfe sehingga terjadi edema dan terdapat luka pada mukosa,
stadium ini disebut Appendisitis Akut Ringan. Tekanan yang meninggi, edema dan
disertai inflamasi menyebabkan obstruksi aliran vena sehingga menyebabkan
trombosis yang memperberat iskemi dan edema. Pada lumen appendiks juga terdapat
bakteri, sehingga dalam keadaan tersebut suasana lumen appendiks cocok buat bakteri
untuk diapedesis dan invasi ke dinding dan membelah diri sehingga menimbulkan
infeksi dan menghasilkan pus. Stadium ini disebut Appendisitis Akut Purulenta.
Proses tersebut berlangsung terus sehingga pada suatu saat aliran darah arteri juga
terganggu, terutama bagian ante mesenterial yang mempunyai vaskularisasi minimal,
sehingga terjadi infark dan gangren, stadium ini disebut Appendisitis Gangrenosa.
Pada stadium ini sudah terjadi mikroperforasi, karena tekanan intraluminal yang
tinggi ditambah adanya bakteri dan mikroperforasi, mendorong pus serta produk
infeksi mengalir ke rongga abdomen. Stadium ini disebut Appendisitis Akut
Perforasi, dimana menimbulkan peritonitis umum dan abses sekunder. Tapi proses
perjalanan appendisitis tidak mulus seperti tersebut di atas, karena ada usaha tubuh
untuk melokalisir tempat infeksi dengan cara Walling Off oleh omentum, lengkung
usus halus, caecum, colon, dan peritoneum sehingga terjadi gumpalan massa plekmon
yang melekat erat. Keadaan ini disebut Appendisitis Infiltrate.
Appendisitis infiltrate adalah suatu plekmon yang berupa massa yang
membengkak dan terdiri dari appendiks, usus, omentum, dan peritoneum dengan
sedikit atau tanpa pengumpulan pus. Usaha tubuh untuk melokalisir infeksi bisa
sempurna atau tidak sempurna, baik karena infeksi yang berjalan terlalu cepat atau

16

kondisi penderita yang kurang baik, sehingga appendikular infiltrate dibagi menjadi
dua :
a. Appendikuler infiltrate mobile
b. Appendikuler infiltrate fixed
Perforasi mungkin masih terjadi pada walling off yang sempurna sehingga akan
terbentuk abses primer. Sedangkan pada walling off yang belum sempurna akan
terbentuk abses sekunder yang bisa menyebabkan peritonitis umum.
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi akan
membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan jaringan
sekitarnya dan menimbulkan obstruksi. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan
berulang di perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi
dan dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut. Appendisitis terjadi dari proses
inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36 jam setelah munculnya gejala,
kemudian diikuti dengan pembentukan abses setelah 2-3 hari.

Gambar 6 (a). Patofisiologi Appendisitis

17

Gambar 6 (b). Patofisiologi Appendisitis


18

III.6 Manifestasi Klinis Apendisitis(7)


a. Nyeri abdominal
Karena adanya kontraksi appendix, distensi dari lumen appendix
ataupun karena tarikan dinding appendx yang mengalami peradangan.
Mula-mula nyeri dirasakan samar-samar, tumpul dan hilang timbul yang
merupakan nyeri viseraldi daerah epigastrium atau sekitar umbilicuskarena
appendix dan usus halus mempunyai persarafan yang sama. Setelah
beberapa jam (4-6 jam) nyeri berpindah dan menetap di abdomen kanan
bawah (titik Mc Burney). Apabila terjadi inflamasi (>6 jam) akan
terjadinyeri somatik setempatyang berarti sudah terjadi rangsangan pada
peritoneum parietal dengan sifat nyeri yang lebih tajam, terlokalisir serta
nyeri akan lebih hebat bila batuk ataupun berjalan kaki.
Selain gejala klasik, ada beberapa gejala lain yang dapat timbul
sebagai akibat dari apendisitis. Timbulnya gejala ini bergantung pada letak
apendiks ketika meradang. Berikut gejala yang timbul tersebut :
o Bila letak apendiks retrosekal retroperitoneal, yaitu di belakang
sekum (terlindung oleh sekum), tanda nyeri perut kanan bawah
tidak begitu jelas dan tidak ada tanda rangsangan peritoneal. Rasa
nyeri lebih ke arah perut kanan atau nyeri timbul pada saat
melakukan gerakan seperti berjalan, bernafas dalam, batuk, dan
mengedan. Nyeri ini timbul karena adanya kontraksi m. psoas
mayor yang menegang dari dorsal.
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada rektum, akan
timbul gejala dan rangsangan sigmoid atau rektum, sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih
cepat dan berulang-ulang (diare).
o Bila apendiks terletak di dekat atau menempel pada kandung
kemih, dapat terjadi peningkatan frekuensi kemih, karena
rangsangan dindingnya.
b. Mual-muntah biasanya pada fase awal
19

Disebabkan karena rangsangan visceral akibat aktivasi nervus vagus.


Timbul

beberapa

jam

sesudah

rasa

nyeri

yang

timbul

saat

permulaan.Hampir 75% penderita disertai dengan vomitus, namun jarang


berlanjut menjadi berat dan kebanyakan vomitus hanya sekali atau dua
kali.
c. Nafsu makan menurun (anoreksia)
Timbul beberapa jam sesudahrasa nyeri yang timbul saat permulaan.
Keadaan anoreksia hampir selalu ada pada setiap penderita appendisitis
akut, bila hal in tidak ada maka diagnosis appendisitis akut perlu
dipertanyakan.
d. Obstipasi dan diare pada anak-anak.
Penderita appendisitis akut juga mengeluh obstipasi sebelum
datangnya rasa nyeri dan beberapa penderita mengalami diare. Hal tersebut
timbul biasanya pada letak appendix pelvikal yang merangsang daerah
rektum.
e. Demam
Demam yang tidak terlalu tinggi, yaitu suhu antara 37,5 0 38,50C
tetapi bila suhu lebih tinggi, diduga telah terjadi perforasi.
Kelainan patologi

Keluhan dan tanda

Peradangan awal

Kurang enak ulu hati/daerah pusat,


mungkin kolik.

Apenditis mukosa

Nyeri tekan kanan bawah


(rangsaganan automik).

Radang di seluruh ketebalan dinding

Nyeri sentral pindah ke kanan bawah,

20

mual dan muntah.


Apendisitiskomplet

radang Rangsangan

peritoneum parietale appendiks

peritoneum

lokal

(somatik), nyeri pada gerak aktif dan


pasif,defans muskuler lokal.
Genitalia

Radang alat/jaringan yang menempel

interna,

ureter,

m.psoas

mayor, kantung kemih, rektum.

pada appendiks
Demam sedang, takikardia,
Apendisitis gangrenosa
mulai toksik, leukositosis.
Nyeri dan defans muskuler seluruh
Perforasi

perut.
Demam tinggi, dehidrasi,

Pembungkusan tidak berhasil

syok, toksik
Massa perut kanan bawah, keadaan

Pembungkusan berhasil

umum berangsur membaik


Demam remiten, keadaan umum toksik,

Abses

keluhan dan tanda setempat

III.7 Diagnosis Apendisitis (8)


a. Anamnesis
Untuk menegakkan diagnosis pada apendisitis didasarkan atas anamnesis
ditambah dengan pemeriksaan laboratorium sarta pemeriksaan penunjang
lainnya. Gejala appendisitis ditegakkan dengan anamnesis, ada 4 hal penting
yaitu :

21

o Nyeri mula mula di epigastrium ( nyeri visceral ) yang beberapa


waktu kemudian menjalar ke perut kanan bawah.
o Muntah oleh karena nyeri visceral
o Demam
o Gejala lain adalah badan lemah dan kurang nafsu makan, penderita
nampak sakit, menghindarkan pergerakan pada daerah perut.
b. Pemeriksaan fisik
1) Inspeksi
Kadang sudah terlihat waktu penderita berjalan sambil bungkuk dan
memegang perut. Penderita tampak kesakitan. Pada inspeksi perut
tidak ditemukan gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada
penderita dengan komplikasi perforasi. Penonjolan perut kanan bawah
bisa dilihat pada massa atau abses appendikuler.
2) Auskultasi
Peristaltik

usus sering normal. Peristaltic dapat hilang pada ileus

paralitik karena peritonitis generalisata akibat appendisitis perforata.


3) Palpasi
Dengan palpasi di daerah titik Mc. Burney didapatkan tanda-tanda
peritonitis lokal yaitu:
o Nyeri tekan (+) Mc. Burney
Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran bawah atau titik
Mc Burney dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.
o Nyeri lepas (+)karena rangsangan peritoneum
Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) adalah rasa nyeri yang
hebat (dapat dengan melihat mimik wajah) di abdomen kanan
bawah saat tekanan secara tiba-tiba dilepaskan, setelah sebelumnya
dilakukan penekanan yang perlahan dan dalam dititik Mc Burney.
o Defens muskuler(+) karena rangsangan M.Rektus Abdominis
Defens muskuler adalah nyeri tekan seluruh lapangan abdomen
yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietal.Pada

22

appendiks letak retroperitoneal, defans muscular mungkin tidak


ada, yang ada nyeri pinggang.
Pemeriksaan Rectal Toucher
Akan didapatkan nyeri pada jam 9-12. Pada apendisitis pelvika akan
didapatkan nyeri terbatas sewaktu dilakukan colok dubur.
4) Perkusi : nyeri ketuk (+)
c. Pemeriksaan khusus/tanda khusus
Rovsing sign
Penekanan perut kiri bawah terjadi nyeri perut kanan bawah, karena
tekanan

merangsang

peristaltic

dan

udara

usus,

sehingga

menggerakkan peritoneum sekitar appendix yang meradang (somatic


pain)
Blumberg sign
Disebut juga dengan nyeri lepas. Palpasi pada kuadran kiri bawah atau
kolateral dari yang sakit kemudian dilepaskan tiba-tiba, akan terasa
nyeri pada kuadran kanan bawah karena iritasi peritoneal pada sisi
yang berlawanan.
Psoas sign
Dilakukan dengan rangsangan muskulus psoas. Ada 2 cara memeriksa:
1. Aktif : Pasien telentang, tungkai kanan lurus ditahan pemeriksa,
pasien memfleksikan articulation coxae kanan, psoas sign (+) bila
terasa nyeri perut kanan bawah.
2. Pasif: Pasien miring kekiri, paha kanan dihiperekstensikan
pemeriksa, psoas sign (+) bila terasa nyeri perut kanan bawah.

23

Gambar 7. Cara melakukan Psoas Sign

Obturator sign
Dilakukan dengan menyuruh pasien tidur telentang, lalu dilakukan
gerakan fleksi dan endorotasi sendi panggul atau articulation coxae.
Obturator sign (+) bila terasa nyeri di perut kanan bawah.

24

Gambar 8. Cara melakukan Obturator Sign

d. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan laboratorium

25

o Pemeriksaan darah : pada laboratorium darah terdapat leukositosi


ringan ( 10.000 18.000/mm3) yang didominasi >75% oleh sel
Polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to the left) dimana terjadi
pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan
akut appendisitis dan apendisitis tanpa komplikasi. Sedangkan
leukosit

>18.000/mm3meningkatkan

kemungkinan

terjadinya

perforasi apendiks dengan atau tanpa abses.


o Pemeriksaan urin : untuk melihat adanya eritrosit, leukosit, dan
bakteri dalam urin. Pemeriksaan ini sangat membantu dalam
menyingkirkan diagnosis banding seperti infeksi saluran kemih
atau batu ginjal yang mempunyai gejala klinis yang hampir sama
dengan appendisitis.
o Pemeriksaan

laboratorium

lain

yang

mendukung

diagnosa

appendisitis adalah C- reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase


akut terhadap infeksi bakteria yang dibentuk di hepar. Kadar serum
mulai meningkat pada 6-12 jam setelah inflamasi jaringan. Tetapi
pada umumnya, pemeriksaan ini jarang digunakan karena tidak
spesifik. Spesifitasnya hanya mencapai 50-87% dan hasil dari CRP
tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.
2) Foto polos abdomen
Radiologi polos tidak spesifik, umunya tidak efektif untuk
biaya, dan dapat menyesatkan dalam stuasi tertentu. Dalam <5%, suatu
fekalith buram mungkin tidak terlihat di kuadran kanan bawah. Foto
polos abdomen dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Pada appendisitis akut dapat terlihat abnormal gas pattern
dari usus, tapi hal ini tidak spesifik. Ditemukan fekalith dapat
mendukung diagnosis. Dapat ditemukan pula adanya local air fluid
level, peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan bawah,
perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang) bila terjadi
perforasi. Foto polos umumnya tidak dianjurkan kecuali kondisi
tertentu misalnya perforasi, obstruksi usus, saluran kemih kalkulus.

26

Walaupun demikian, foto polos abdomen bukanlah sesuatu yang rutin


atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri
abdomen yang akut.
3) USG
Merupakan pemeriksaan yang akurat untuk menentukan
diagnosis appendisitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan
cepat, tidak invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan
pada pasien yang sedang hamil karena tidak mengganggu paparan
radiasi. Secara sonografi, appendiks diidentifikasikan sebagai blind
end, tanpa peristaltik usus. Kriteria sonografi untuk mendiagnosis
appendisitis akut adalah adanya noncompressible appendiks sebesar 6
mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya appendicolith,
interupsi pada kontinuitas lapisan submukosa, dan cairan atau massa
periappendiceal. Temuan perforasi appendisitis termasuk cairan
pericecal loculated, phlegmon (sebuah definisi penyakit lapisan
struktur dinding appendiks) atau abses, lemak pericecal menonjol, dan
kehilangan keliling dari layer submukosa.
False (+) dapat ditemukan pada adanya dilatasi tuba falopii dan
pada pasien yang obese hasilnya bisa tidak akurat, divertikulum
Meckel, divertikulitis cecal, penyakit radang usus, penyakit radang
panggul, dan endometriosis. Sedangkan false (-) didapatkan pada
appendiks.
4) Barium enema
Yaitu suatu pemeriksaan X-Ray dengan memasukkan barium ke colon
melalui anus. Barium enema merupakan kontra indikasi pada suspek
appendisitis akut sebab pada apendisitis akut ada kemungkinan sudah
terjadi mikroperforasi sehingga kontras dapat masuk ke intraabdomen
menyebabkan penyebaran kuman ke intraabdomen. Barium enema
indikasi untuk apendisitis kronik. Apendikogram dilakukan dengan
cara pemberian kontras BaSO4 serbuk halus yang diencerkan dengan
perbandingan 1 : 3 secara peroral dan diminum sebelum kurang lebih 8

27

10 jam untuk anak anak atau 10 12 jam untuk dewasa.


Pemeriksaan ini dikatakan positif bila menunjukkan appendiks yang
non-filling dengan indentasi dari caecum menunjukkan adanya
appendisitis kronis. Hal ini menunjukkan adanya inflamasi pericaecal.
False negative (partial filling) didapatkan pada 10% kasus. Barium
enema ini sudah tidak lagi digunakan secara rutin dalam mengevaluasi
pasien yang dicurigai menderita appendisitis akut.
5) CT Scan
Sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses
inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk
appendisitis. Appendiks normal akan terlihat struktur tubular tipis pada
kuadran kanan bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras.
Appendicolith terlihat sebagai kalsifikasi homogenus berbentuk cincin
(halo sign), dan terlihat pada 25% populasi. (7)
Appendisitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-Scan
apabila didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada
periappendiceal. Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi
atau menebal dan membesar >5-7 mm. Sedangkan yang termasuk
inflamasi periappendiceal antara lain adalah abses, kumpulan cairan,
edema, dan phlegmon. Inflamasi periappendiceal atau edem terlihat
sebagai perkapuran dari lemak mesenterium (dirty fat), penebalan
fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran
kanan bawah. CT-Scan khususnya digunakan pada pasien yang
mengalami penanganan gejala klinis yang telat (48-72 jam) sehingga
dapat berkembang menjadi phlegmon atau abses. Fekalith dapat
dengan mudah terlihat, tetapi adanya fekalith bukan patognomonik
adanya appendisitis. Temuan penting adalah arrowhead sign yang
disebabkan penebalan dari caecum. (6)
Kekurangan dari CT-Scan termasuk mungkin iodinasi-kontrasmedia alergi, ketidaknyamanan pasien dari pemberian media kontras
(terutama jika media kontras rektal digunakan), paparan radiasi
pengion, biaya dan tidak dapat digunakan untuk wanita hamil. (6)
28

e. Scoring Appendisitis
Skor Alvarado(9)
Semua penderita dengan suspek appendisitis akut dibuat skor alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu : skor <6 dan skor >6.
Selanjutnya dilakukan apendiktomi, setelah operasi dilakukan pemeriksaan
PA terhadap jaringan apendiks dan hasilnya diklasifikasikan menjadi 2
kelompok yaitu : radang akut dan bukan radang akut.

Keterangan Alvarado score

Interpretasi dari Modified Alvarado Score :


14

sangat mungkin bukan appendisitis akut

57

sangat mungkin appendisitis akut

8 10 pasti appendisitis akut

Penanganan berdasarkan skor Alvarado


14

: observasi

57

: antibiotik

29

8 10 : operasi dini
Ohmann Score.U (9)
Sign/Symptom

Value

Pain on compression in the lower right quadrant

4,5

Rebound pain

2,5

Absence of urinary symptoms

2,0

Continuous pain

2,0

White blood cell count > 10000/mIL

1,5

Age under 50 years

1,5

Migration of pain to the right lower quadrant

1,0

Involuntary muscular tension (defense)

1,0

Low : < 5,

Moderate : 6 11,

High : 12 13

Skoring appendisitis pada anak anak(9)


Yang sering digunakan adalah Samuel Score. Sistem penilaian ini
meliputi 9 variabel untuk menilai appendisitis akut :
No
1.

Kriteria

Skoring

Gender
1) Laki-laki

2) Perempuan

2.
Intensitas Nyeri
1) Berat

2) Sedang

30

3.
Perpindahan nyeri
1) Ya

2) Tidak

4.
Nyeri perut kuadran kanan bawah
1) Ya

2) Tidak

5.
Muntah
1) Ya

2) Tidak

6.
Suhu badan
1) 37,50C

2) <37,50C

7.
Guarding
1) Ya

2) Tidak

8.
Bising Usus
1) Absent/meningkat

2) Normal

31

9.
Rebound tenderness

1) Ya

2) Tidak

Appendisitis akut mempunyai nilai 0 sampai nilai maksimal 32. Dan nilai
ini digunakan untuk mendiagnosa ada atu tidaknya appendisitis akut.

Nilai batas untuk appendisitis akut adalah >21 kemungkinan besar


appendisitis akut.

Jika nilai <15, kemungkinan untuk appendisitis akut adalah rendah.

III.8 Diagnosis Banding Apendisitis (4)(6)(7)


Diagnosis banding appendisitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin :
-

Pada anak anak dan balita : intususepsi, diverkulitis dan gastroenteritis


akut
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak anak berusia dibawah 3
tahun. Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan appendisitis. Nyeri
divertikulitis hampir sama dengan appendisitis, tetapi lokasinya berbeda,
yaitu pada daerah periumbilikal. Pada pencitraan dapat diketahui adanya
inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis banding yang
agak sulit ditegakkan adalah gatroenteritis akut, karena memiliki gejalagejala yang mirip dengan appendisitis, yakni diare, mual, muntah, dan
ditemukan leukosit pada feses.

Pada anak anak usia sekolah : gastroenteritis, konstipasi, infark omentum


Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan
appendisitis, tetapi tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi,
merupakan salah satu penyebab nyeri abdomen pada anak-anak, tetapi
tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum jug dapat dijumpai pada

32

anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendisitis. Pada infark


omentum, dpaat teraba massa apada abdomen dan nyerinya tidak
berpindah.
-

Pada pria dewasa muda : crohns disease, kolik traktur urogenitalis dan
epididimitis.
Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan diagnosis
epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotum. Pada
crohns disease terdapat gejala kram dan diare yang lebih menyolok,
sedangkan anoreksia tidak terdapat. Pada kolik traktus urogenital
didapatkan gejala yang menjalar dari pinggang ke genitalia, pada
pemeriksaan urin terdapat kelainan sedimen misalnya eritrosit meningkat
dan biasanya tidak disertai leukositosis.

Pada wanita usia muda : pelvic onflammatory disease (PID), kita ovarium,
infeksi saluran kencing
Pada PID, nerinya bilateral dan dirasakan pada abdomen bawah. Pada kista
ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.

Pada uasia lanjut : keganasan dari traktus gastrointestinal dan saluran


reproduksi, diverkulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis.
Appendisitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Keganasan
dapat terlihat di CT-Scan dam gejalanya muncul lebih lambat daripada
appendisitis. Pada orang tua, divertikulitis sering sukar untuk dibedakan
dengan appendisitis, karena lokasinya yang berada pada abdomen kanan.
Perforasi ulkus dapat diketahui dari onset yang akut dan nyerinya tidak
berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT-Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.

Tanda tanda yang membedakan apendisitis dengan penyakit lain adalah :


a. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual-muntah dan diare mendahului rasa sakit. Sakit
perut lebih ringan dan tidak berbatas tegas. Hiperperistaltik sering

33

ditemukan. Panas dan leukositosis kurang menonjol dibandingkan dengan


appendisitis.
b. Limfadenitis mesenterica
Biasanya didahului oleh enteritis atau gastroenteritis. Ditandai dengan
nyeri perut yang samar-samar terutama disebelah kanan, dan disertai
dengan perasaan mual-muntah.
c. Peradangan pelvis
Tuba Fallopi kanan dan ovarium terletak dekat appendiks. Radang kedua
organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-ooforitis atau
adnesitis. Untuk menegakkan diagnosis penyakit ini didapatkan riwayat
kontak seksual. Suhu biasanay lebih tinggi daripada appendisitis dan nyeri
perut bagian bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan. Pada
colok vaginal jika uterus diayunkan maka akan terasa nyeri.
d. Kehamilan Ektopik
Adanay riwayat terhambat menstruasi denga keluhan yang tidak menentu.
Jika terjadi ruptur tuba atau abortus diluar rahim dengan perdarahan akan
timbul nyeri yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan
terjadi syok hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan
nyeri dan penonjolan kavum douglas, dan pada kuldosentesis akan di
dapatkan darah.
e. Diverticulitis
Meskipun diverculitis biasanya terletak di perut bagian kiri, tetapi kadangkadang dapat juga terjadi di sebelah kanan. Jika terjadi peradangan dan
ruptur pada diverticulum gejala klinis akan sukar dibedakan dengan gejalagejala appendisitis.
f. Batu ureter atau batu ginjal

34

Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan


merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.
III.9 Komplikasi Appendisitis
-

Apendikular infiltrat : infiltrat atau massa yang terbentuk akibat mikro atau
makro perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh
omentum, usus halus atau usus besar.

Apendikular abses : abses yang terbentuk akibat mikro atau makro


perforasi dari appendiks yang meradang kemudian ditutupi oleh omentum,
usus halus atau usus besar.

Perforasi : gejalanya ialah nyeri berat dan demam >38,3 0C

Peritonitis : peritonitis lokal dihasilkan dari perforasi gangren appendiks,


yang kemudian dapat menyebar ke seluruh rongga peritoneum. Gejalanya
ialah : peningkatan kekakuan oto abdomen, distensi abdominal dan demam
tinggi.

Ileus

III.10 Penatalaksanaan Apendisitis


Bila diagnosis klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah apendektomi dan
merupakan satu-satunya pilihan yang terbaik. Penundaan appendiktomi sambil
memberikan antibiotik dapat mengakibatkan abses atau perforasi. Insidensi appendiks
normal yang dilakukan pembedahan sekitar 20%. Pada appendisitis akut tanpa
komplikasi tidak banyak masalah. Pada apendisitis akut, abses, dan perforasi
diperlukan tindakan operasi apendiktomi cito.
Untuk pasien yang dicurigai Apendisitis :

Puasakan

Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgesik tidak akan menyamarkan


gejala saat pemeriksaan fisik.

35

Pertimbangkan DD/ KET terutama pada wanita usia produktif.

Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang


membutuhkan Laparotomi.

Terapi Non-Operatif

Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk


appendisitis akut bagi mereka yang sulit mendapatkan intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memiliki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi.

Rujuk ke dokter spesialis bedah.

Terapi Operatif
Antibiotika preoperatif (persiapan preoperatif)

Pemberian antibiotika preoperatif efektif untuk menurunkan terjadinya infeksi


post operasi.

Diberikan antibiotika spektrum luas dan juga untuk gram negatif dan anaerob.

Antibiotika preoperatif diberikan oleh ahli bedah.

Antibiotika profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya


digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
yang

terlibat,

termasuk

Escherichia

coli,

Pseudomonas

aeruginosa,

Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.

Indikasi Appendiktomi :

Appendisitis akut
36

Appendisitis kronik

Periapendikular infiltrat dalam stadium tenang

Apendiks terbawa dalam operasi kandung kemih

Apendisitis perforata

Teknik operasi Apendiktomi :


1) Open Appendectomy
-

Dilakukan tindakan aseptik dan antiseptik

Dibuat sayatan kulit :

Lokasi Insici
Incisi Grid Iron (McBurney Incision)
Insisi Gridiron pada titik Mc Burney. Garis insisi paralel dengan otot
oblikus eksternal, melewati titik Mc Burney yaitu 1/3 lateral garis yang
menghubungkan spina illiaka anterior superior kanan dan umbilikus.
Lapisan kulit yang dibuka pada Appendiktomi : cutis - sub cutis - fascia
scarfa - fascia camfer - aponeurosis MOE MOI - M. Transversus - fascia
transversalis - pre peritoneum peritoneum.
Sayatan ini mengenai kutis, subkutis dan fasia. Otot otot dinding
perut dibelah secara tumpul menurut arah serabutnya. Setelah itu akan
tampak peritoneum parietal ( mengkilat dan berwarna biru keabu-abuan)
yang disayat secukupnya untuk meluksasi sekum. Sekum dikenali dari
ukurannya yang besar dan mengkilat dan lebih kelabu/putih, mempunya
haustrae dan taenia koli, sedangkan ileum lebih kecil, lebih merah dan
tidak mempunyai haustrae dan taenia koli. Basis appendiks dicari pada
pertemuan ketiga taenia koli. Teknik inilah yang paling sering dikerjakan
karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak mungkin terjadi
herniasi, trauma operasi minimum pada alat alat tubuh, dan masa istirahat
pasca bedah lebih pendek karena masa penyembuhannya lebih cepat.
Kerugiannya adalah lapangan iperasi terbatas, sulit diperluas, dan waktu

37

operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan memotong


secara tajam.

Gambar 9. Incisi Grid Iron (McBurney Incision)


Teknik apendiktomi Mc Burney : (10)
a) Pasien berbaring telentang dalam anestesi umum atau regional. Kemudian
lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada daerah perut kanan bawah.
b) Dibuat sayatan menurut Mc Burney sepanjang kurang lebih 10 cm dan dinding
perut dibelah menurut arah serabut otot secara tumpul, berturut turut M.
Oblikus abdominis eksternus, M. Abdominis internus, sampai tampak
peritonium.
c) Peritonium disayat cukup lebar untuk eksplorasi.
d) Sakum dan apendiks diluksasi keluar.
e) Mesoapendiks dibebaskan dan dipotong dari apendiks secara biasa, dari
apendiks ke arah basis.
f) Semua perdarahan dirawat.
g) Disiapkan tabac sac mengelilingi basis apendiks dengan sutra, basis apendiks
kemudian dijahit dengan catgut.

38

h) Lakukan pemotongan apendiks apikal dari jahitan tersebut.


i) Puntung apendiks diolesi betadine.
j) Jahitan tabac sac disimpulkan dan puntung dikuburkan dalam simpul tersebut.
Mesoapendiks diikat dengan sutera.
k) Dilakukan pemeriksaan terhadap rongga peritoneum dan alat alat
didalamnya, semua perdarahan dirawat.
l) Sekum dikembalikan ke dalam abdomen.
m) Sebelum ditutup, peritoneum dijepit dengan minimal 4 klem dan didekatkan
untuk memudahkan penutupannya. Peritoneum dijahit jelujur dengan chromic
cat gut dan otot otot dikembalikan.
n) Dinding perut ditutup lapis demi lapis, fasia dengan sutera, sub cutis dengan
cat gut dan akhirnya kulit dengan sutera.
o) Luka operasi dibersihkan dan ditutup dengan kasa steril.

39

Gambar 10. Teknik Appendiktomi


Lanz transverse incision
Insisi dilakukan pada 2 cm dibawah pusat, insisi transversal pada garis
midklavikula-midinguinal. Mempunyai keuntungan kosmetik yang lebih
baik dari pada insisi grid iron.

Gambar 11. Lanz transverse incision


Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal)
Merupakan insisi perluasan dari insisi Mc Burney. Dilakukan jika
apendiks terletak di parasekal atau retrosekal dan terfiksir.
40

Gambar 12. Rutherford Morissons incision (insisi suprainguinal)


Low Midline Incision
Dilakukan jika appendiks sudah terjadi perforasi dan terjadi peritonitis
umum.
Insisi paramedian kanan bawah
Insisi vertikal paralel dengan midline 2,5 cm dibawah umbilikus sampai di
atas pubis.

Gambar 13. Lokasi Insisi Appendectomy

41

Perawatan Pasca Bedah(11)


Pada hari operasi penderita diberikan infus menurut kebutuhan sehari kurang lebih
2 3 liter cairan Ringer Laktat dan Dekstrosa. Pada appendisitis tanpa perforasi :
antibiotik diberikan hanya 1 x 24 jam. Pada appendisitis dengan perforasi : antibiotik
diberikan hingga jika gejala klinis infeksi reda dan laboratorium normal. Mobilisasi
secepatnya setelah penderita sadar dengan menggerakkan kaki miring ke kiri dan ke
kanan bergantian dan duduk. Penderita boleh berjalan pada hari pertama pasca
operasi. Pemberian makan peroral di mulai dengan memberikan minum sedikit-sedikit
(50 cc) tiap jam apabila sudah ada aktifitas usus yaitu adanya flatus dan bising usus.
Bilamana dengan pemberian minum bebas penderita tidak kembung maka pemberian
makanan peroral dimulai. Jahitan diangkat pada hari kelima sampai hari ke tujuh
pasca bedah.
2) Laparoscopic Appendectomy
Pertama kali dilakukan pada tahun 1983. Laparoscopicdapat dipakai sarana diagnosis
dan terapeutik untuk pasien dengan nyeri akut abdomen dan suspek appendisitis akut.
Laparoscopickemungkinan sangat berguna untuk pemeriksaan wanita dengan keluhan
abdomen bagian bawah. Membedakan penyakit akut ginekologi dari appendisitis akut
sangat mudah dengan menggunakan laparoskop.

Gambar 14. Laparoscopic Incisions

42

Komplikasi
Durante Operasi : perdarahan intraperitoneal, dinding perut, robekan pada caecum
atau usus lain.
Pasca bedah dini : perdarahan, infeksi, hematom, paralitik ileus, peritonitis, fistel
usus, abses intraperitoneal.
III.11 Prognosis Appendisitis
Mortalitas adalah 0,1% jika appendisitis akut tidak pecah, dan 15% jika pecah
pada orang tua. Kematian biasanya akibat dari sepsis, emboli paru, atau aspirasi.
Prognosis membaik dengan diagnosis dini sebelum perforasi terjadi dan dengan
antibiotik yang adekuat. Morbiditas meningkat seiring dengan perforasi dan usia tua.

BAB IV
KESIMPULAN
Apendisitis adalah peradangan yang terjadi pada appendiks vermicularis, dan
merupakan penyebab akut abdomen yang paling sering terjadi pada anak-anak
maupun dewasa. Insiden pada laki-laki dan perempuan umumnya seimbang, kecuali
pada umur 20-30 tahun, didapatkan insiden lebih tinggi pada laki-laki. Apendisitis
disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendiks sehingga terjadi kongesti
vaskuler, iskemik, nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi.
Riwayat perjalanan penyakit pasien dan pemeriksaan fisik merupakan hal
yang paling penting dalam menegakkan diagnosis appendisitis. Gejala awal yang
khas, yang merupakan gejala klasik apendisitis adalah nyeri samar (nyeri tumpul) di
daerah epigastrium di sekitar umbilikus atau periumbilikalis. Dalam pemeriksaan
fisik dapat ditemukan tanda peritonitis lokal pada titik Mcburney, dan rangsangan
kontralateral; blumberg dan rovsing sign . Pemeriksaan lain yang dapt mendukung
43

diagnosa yaitu psoas sign, obturator sign, dan nyeri tekan pada rectal toucher . Upaya
mempertajam diagnosis sudah banyak dilakukan, antara lain dengan menggunakan
sarana diagnosis penunjang: laboratorium (darah, urin, CRP), foto polos abdomen,
pemeriksaan barium-enema, USG dan CT scan abdomen. Diagnosis jugadapat
dibantu dengan skoring alvarado, ohmann, dan skoring apendisitis pada anak.
Kita juga perlu menyingkirkan diagnosa banding, mencegah komplikasi dan
mengenali appendisitis pada keadaan khusus yaitu pada anak, usia lanjut, wanita
hamil, dan pada pasien dengan infeksi HIV.
Bila diagnosa klinis sudah jelas maka tindakan paling tepat adalah
appendiktomi,dapat dilakukan secara open surgery atau laparascopic appendictomy.

DAFTAR PUSTAKA
1. Shrestha, S. Anatomy of appendix and appendicitis. http://medchrome.com/basicscience/anatomy/anatomy-appendix-appendicitis/. Accesed in Juni,23,2013.
2. Faiz,O, balckburn,S, Moffat,D. Anatomy At A Glance. Edisi Ketiga. England :
Oxford;2011. H 36.
3. urDocter.

Anatomy

and

physiology

of

Appendix.

Http://healthycase.com/articles/surgery/19-anatomy-and-physiology-of-appendix.
Accessed in Juni,23,2013.
4. Kevin P. Lally, Charles S. Cox JR. Dan Richard J. Andrassy. Appendix on Chapter 47
in Sabiston Textbook of Surgery 17ed ebook. New york: Saunders; 2004.h 1381-1400
5. Addiss,D G. The epidemiology of appendicitis and appendectomy in the United
States. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/2239906. Accessed in Juni,23,2013.

44

6. Brunicardi C, Anderson DK, Billiar T, Duhn DL, Hunter JG, Mathews JB, Pallock
RC. 2010. The Appendix on Chapter 30 in Schwartzs Principles of Surgery 9ed
ebook. New York: McGraw-Hills.
7. Annonymmous.

Appendicits

Type.

http://www.appendicitissymptoms.org.uk/appendicitis-types.htm.

Accessed

in

Juni,23,2013.
8. Old

JL.

Imaging

for

Suspected

Appendicitis.

Available

http://www.aafp.org/afp/2005/0101/p71.html#afp20050101p71-b15.

at

Accessed

in

Juni,23,2013.
9. Vanjak D. Analysis of Scores in Diagnosis of Acute Appendicitis in women. Available
at : www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10356580. Accessed in Juni,23,2013.
10. Dudley H.A.F. apendisitis akut dalam Hamilton Bailey Ilmu Bedah Gawat Darurat
edisi 11. Gajah Mada Unv Press. 1992. Hal 441-452
11. Craig,

Sandy.

2008.

Appendicitis,

Acut-Follw-Up.

Available

at

http://emedicine.medscape.com/article/773895-followup. Accessed in Juni,23,2013.

45

You might also like