You are on page 1of 41

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna bagian atas (SCBA) yang bermanifestasi sebagai
hematemesis dan melena akibat varises esofagus dapat ditemukan dalam praktek
sehari-hari dan merupakan salah satu keadaan darurat dalam bidang gastroenterologi.
Dalam kepustakaan Barat dilaporkan angka kematian yang cukup tinggi (8
10%) dalam kurun waktu 40 tahun terakhir, walaupun telah banyak dicapai kemajuan
baik dari segi diagnostik maupun terapeutik. Di Amerika Serikat keadaan ini
menyebabkan 10.000-20.000 kematian setiap tahunnya dengan angka kekerapan
sekitar 150 per 100.000 populasi. Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo ditemukan
rata-rata 200-300 kasus perdarahan SCBA setiap tahun dengan angka kematian ratarata 26% (pada tahun 1988) dimana sebagian besar disebabkan oleh penyakit dasar
sirosis hepatis dengan berbagai komplikasinya.
Terdapat perbedaan populasi penyebab/sumber perdarahan SCBA di negaranegara Barat dan di Indonesia. Di negara-negara Barat ulkus peptikum menduduki
peringkat teratas (50-60%) dan varises esofagus hanya sekitar 10%. Semantara di
Indonesia (khususnya di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) varises esofagus
menduduki peringkat pertama penyebab perdarahan SCBA.
Angka kematian pada perdarahan pertama akibat pecahnya varises esofagus sekitar
30-50%, hampir 2/3-nya meninggal dalam waktu satu tahun. Kematian tersebut
akibat perdarahan yang tidak dapat dihentikan sehingga terjadi renjatan dan dapat
pula akibat perburukan fungsi hati dengan manifestasi koma hepatik. Oleh karena itu,
perlu dilakukan tindakan untuk mencegah varises esofagus pecah. Tindakan tersebut

terdiri dari tiga tahap, yaitu pencegahan primer, agar tidak terjadi perdarahan varises,
pencegahan sekunder yaitu, pencegahan agar tidak terjadi perdarahan ulang,
pencegahan tersier yaitu penghentian perdarahan aktif.
Usaha untuk mencari faktor resiko pecahnya varises amat penting agar dapat
melakukan upaya pencegahan perdarahan dan pengobatan maksimal. Dan mengingat
bahwa angka kematian yang tinggi oleh karena pecahnya varises ini maka diharapkan
para dokter mempunyai pengetahuan mengenai patofisologi, manifestasi klinis dan
penatalaksanaan perdarahan saluran cerna bagian atas pada varises esofagus.

1.2 Tujuan
Bertujuan untuk menambah pengetahuan pembaca umumnya dan penulis
khususnya mengenai hematemesis melena ec pecah varises esophagus ec sirosis
hepatis post nekrosis stadium dekompensata, mulai dari definisi sampai pada
penatalaksanaannya.
1.3 Manfaat
a. Bagi penulis
Meningkatkan

pengetahuan

dan

kemampuan

dalam

mempelajari,

mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan


mengenai perdarahan saluran cerna bagian atas.
b. Bagi institute pendidikan
Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan yang
ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang berkaitan dengan
perdarahan saluran cerna bagian atas.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 HEMATEMESIS MELENA
2.1.1 Definisi

Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti aspal.
Hematemesis menandakan perdarahan saluran cerna bagian atas (di atas
ligamen Treitz). Melena menandakan darah telah berada dalam saluran cerna
selama minimal 14 jam. Sehingga lebih proksimal lokasi perdarahan, lebih
mungkin terjadi melena. Tanda lain dari perdarahan saluran cerna adalah
hematochezia yaitu buang air besar berwarna merah marun dan tanda-tanda
kehilangan darah atau anemia, seperti sinkope. Hematochezia biasanya
menandakan perdarahan saluran cerna bagian bawah, meskipun dapat ditemui
pula pada lesi SCBA yang berdarah masif dimana transit time dalam usus yang
pendek.
Hematemesis melena merupakan keadaan gawat darurat yang sering
dijumpai di tiap rumah sakit di seluruh dunia termasuk Indonesia. Pendarahan
dapat terjadi karena pecahnya varises esofagus, gastritis erosif atau ulkus
peptikum.

2.1.2

Epidemiologi
Penyebab perdarahan saluran cerna bagian atas yang terbanyak dijumpai di

Indonesia adalah pecahnya varises esofagus dengan rata-rata 45-50 % seluruh


perdarahan saluran cerna bagian atas, kemudian menyusul gastritis hemoragika
dengan 20 - 25%. ulkus peptikum dengan 15 - 20%, sisanya oleh keganasan,
uremia dan sebagainya.
2.1.3

Etiologi

Traumatik
Kelainan esofagus: varises, esofagitis, keganasan.

Kelainan lambung dan duodenum: tukak lambung dan duodenum, keganasan


dan lain-lain.
Penyakit darah: leukemia, DIC (disseminated intravascular coagulation),
purpura trombositopenia dan lain-lain.
2.2 VARISES ESOFAGUS
2.2.1 Definisi
Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai dengan pembesaran
abnormal pembuluh darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esofagus
terjadi jika aliran darah menuju hati terhalang. Aliran tersebut akan mencari
jalan lain, yaitu ke pembuluh darah di esofagus, lambung, atau rektum yang
lebih kecil dan lebih mudah pecah. Tidak imbangnya antara tekanan aliran
darah dengan kemampuan pembuluh darah mengakibatkan pembesaran
pembuluh darah (varises).
Varises esofagus biasanya merupakan komplikasi sirosis. Sirosis adalah
penyakit yang ditandai dengan pembentukan jaringan parut di hati.
Penyebabnya antara lain hepatitis B dan C, atau konsumsi alkohol dalam
julah besar. Penyakit lain yang dapat menyebabkan sirosis adalah
tersumbatnya saluran empedu.
2.2.2 Epidemiologi
Frekuensi varises esofagus bervariasi dari 30% sampai 70% pada
pasien dengan sirosis, dan 9-36% pasien yang memiliki risiko tinggi varises.
Varises esofagus berkembang pada pasien dengan sirosis per tahun sebesar 58% tetapi varises yang cukup besar untuk menimbulkan risiko perdarahan
hanya 1-2% kasus. Sekitar 4-30% pasien dengan varises kecil akan
berkembang menjadi varises yang besar setiap tahun sehingga akan berisiko
terjadinya perdarahan.

2.2.3 Etiologi
Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan varises esophagus adalah sebagai
berikut:
1. Sirosis
Sejumlah penyakit hati dapat menyebabkan sirosis, seperti infeksi
hepatitis, penyakit hati alkoholik dan gangguan saluran empedu yang
2.
3.
4.

disebut sirosis bilier primer.


Bekuan Darah (Trombosis)
Infeksi parasit.
Budd-Chiari Syndrome

2.2.4 Patofisiologi
Salah satu tempat potensial untuk komunikasi antara sirkulasi splanknik
intraabdomen dan sirkulasi vena sistemik adalah melalui esofagus. Apabila aliran
darah vena porta ke hati terhambat oleh sirosis atau penyebab lain, hipertensi
porta yang terjadi memicu terbentuknya saluran pintas kolateral di tempat
bertemunya sistem porta dan sistemik. Oleh karena itu, aliran darah porta
dialihkan melalui vena koroner lambung ke dalam pleksus vena subepitel dan
submukosa esofagus , kemudian kedalam vena azigos dan vena kava superior.
Peningkatan tekanan di pleksus esofagus menyebabkan pembuluh melebar dan
berkelok kelok yang dikenal sebagai varises. Pasien dengan sirosis mengalamai
varises dengan laju 5%-15% per tahun, sehingga varises terdapat pada sekitar dua
pertiga dari semua pasien sirosis. Varises paling sering berkaitan dengan sirosis
alkoholik.
Ruptur varises menimbulkan pendarahan masif ke dalam lumen, serta
merembesnya darah ke dalam dinding esofagus. Varises tidak menimbulkan
gejala sampai mengalami ruptur. Pada pasien dengan sirosis hati tahap lanjut
separuh kematian disebabkan oleh ruptur varises, baik sebagai konsekuensi
langsung perdarahan atau karena koma hepatikum yang dipicu oleh perdarahan.
Meskipun terbentuk, varises merupakan penyebab pada kurang dari separuh

episode hematemesis. Sisanya sebagian besar disebabkan oleh pendarahan akibat


gastritis, ulkus peptik, atau laserasi esofagus.
Faktor yang memicu ruptur varises belum jelas: erosi mukosa di atasnya yang
sudah menipis, meningkatnya tekanan pada vena yang secara progresif
mengalami dilatasi, dan muntah disertai peningkatan tekanan intraabdomen
mungkin berperan. Separuh pasien juga ditemukan mengidap karsinoma haepato
selular, yang mengisyaratkan bahwa penurunan progresif cadangan fungsional
hati akibat pertumbuhan tumor meningkatkan kemungkinan ruptur varises.
Setelah terjadi, perdarahan varises mereda secara spontan hanya pada 50% kasus.
2.2.5
-

Klasifikasi Varises Esofagus


Klasifikasi Dagradi
Menurut Dagradi, berdasarkan hasil pemeriksaan esofagoskopi dengan Eder

Hufford esofagoskop, maka varises esofagus dapat dibagi dalam beberapa tingkatan,
yaitu.
Tingkat 1

: Dengan diameter 2 3 mm, terdapat pada submukosa, boleh


dikata sukar dilihat penonjolan kedalam lumen. Hanya dapat
dilihat setelah dilakukan kompresi.

Tingkat 2

: Mempunyai diameter 2 3 mm, masih terdapat di submukosa,


mulai terlihat penonjolan di mukosa tanpa kompresi.

Tingkat 3

: Mempunyai diameter 3 4 mm, panjang, dan sudah mulai


terlihat berkelok-kelok, terlihat penonjolan sebagian dengan
jelas pada mukosa lumen.

Tingkat 4

: Dengan diameter 4 5 mm, terlihat panjang berkelok kelok.


Sebagian besar dari varises terlihat nyata pada mukosa lumen.

Tingkat 5

: Mempunyai diameter lebih dari 5 mm, dengan jelas sebagian


besar atau seluruh esofagusnya terlihat penonjolan serta
berkelok-keloknya varises.

Klasifikasi tersebut dimaksudkan untuk ikut menentukan tindakan lebih lanjut


pada hipertensi portal.
-

Klasifikasi Omed
1. Besarnya
Besarnya varises esofagus dibagi dalam 4 derajat, yaitu :
Penonjolan dalam dinding lumen yang minimal sekali
Penonjolan kedalam lumen sampai lumen dengan pengertian bahwa
esofagus dalam keadaan relaksasi yang maksimal.
Penonjolan kedalam lumen sampai setengahnya.
Penonjolan kedalam lumen sampai lebih dari setengah dari lumen
esofagus.
2. Bentuknya
Dibedakan 3 macam bentuk varises esofagus, yaitu :
Sederhana (simple), ialah penonjolan mukosa yang berwarna kebirubiruan dan berkelok-kelok dengan atau tanpa adanya kelainan pada
mukosanya.
Penekanan (congested), ialah penonjolan mukosa yang berwarna
merah tua disertai tanda pembengkakan mukosa dan dengan tandatanda perdarahan.
Varises yang berdarah, ialah varises yang mengeluarkan darah segar
karena adanya robekan pada permukaan varises tersebut.

3. Varises dengan Stigmata (tanda-tanda perdarahan)


Ialah terdapatnya bekuan atau pigmen darah dipermukaan varises yang menandakan
telah terjadi perdarahan. Klasifikasi Omed ini belum banyak digunakan meskipun
sudah lebih baik daripada klasifikasi Dagradi atau Palmer & Brick, karena dirasakan
tidak praktis.
2.2.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis

Manifestasi Klinis
Perdarahan dari varices biasanya parah/berat dan bila tanpa perawatan segera,
dapat menjadi fatal. Gejala-gejala dari perdarahan varices termasuk muntah
darah (muntahan dapat berupa darah merah bercampur dengan gumpalangumpalan atau "coffee grounds" dalam penampilannya, yang disebabkan oleh
efek dari asam pada darah), mengeluarkan tinja/feces yang hitam dan bersifat ter
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati usus
(melena), dan kepeningan orthostatic (orthostatic dizziness) disebabkan oleh
suatu kemerosotan dalam tekanan darah terutama ketika berdiri dari suatu posisi
berbaring. Gejala lain yang termasuk adalah gejala penyakit hati kronis, yaitu :
a. Keluhan sekarang :

Kelemahan, kelelahan, dan malaise

Anoreksia

Mual dan muntah

Penurunan berat badan, biasa terjadi pada penyakit hati akut dan
kronis, terutama karena anoreksia dan berkurangnya asupan makanan,
dan juga hilangnya massa otot dan jaringan adiposa merupakan fitur
mencolok pada stadium akhir penyakit hati.

Rasa tidak nyaman dan nyeri pada abdomen - Biasanya dirasakan di


hipokondrium kanan atau di bawah tulang rusuk kanan bawah (depan,
samping, atau belakang) dan di epigastrium atau hipokondrium kiri

Ikterus atau urin berwarna gelap

Edema dan pembengkakan perut

Perdarahan spontan dan mudah memar

Gejala

Encephalopathic,

yaitu

gangguan

siklus

tidur-bangun,

penurunan fungsi intelektual, kehilangan memori dan, akhirnya,


ketidakmampuan untuk berkomunikasi secara efektif di tingkat
manapun, perubahan kepribadian, dan, mungkin, menampilkan
perilaku yang tidak pantas atau aneh.

Kram otot - umumnya pada pasien dengan sirosis

b. Riwayat medis masa lalu :

Riwayat ikterus menunjukkan kemungkinan hepatitis akut,


gangguan hepatobiliary, atau penyakit hati yang diinduksi obat

Kekambuhan

ikterus menunjukkan kemungkinan reaktivasi,

infeksi dengan virus lain, atau timbulnya dekompensasi hati.

Pasien

mungkin

memiliki

riwayat

transfusi

darah

atau

administrasi berbagai produk darah

Sejarah schistosomiasis di masa kanak-kanak dapat diperoleh dari


pasien yang mengalami infeksi endemik.

Penyalahgunaan obat intravena

10

Riwayat keluarga yang menderita penyakit hati turun-temurun


seperti penyakit Wilson

Gaya hidup dan riwayat penyakit, seperti steatohepatitis alcohol


(NASH), diabetes militus, dan hiperlipidemia.

Diagnosis
Esophagogastroduodenoscopy (EGD) adalah gold standard untuk

diagnosis varises esofagus. Jika gold standard tidak tersedia, tahap


diagnostik

selanjutnya

yang

memungkinkan

adalah

Doppler

ultrasonography sirkulasi darah (bukan endoscopic ultrasonography).


Meskipun ini merupakan pilihan kedua yang kurang baik, tapi dapat
menunjukkan temuan varises. Alternatif lain termasuk radiografi / barium
swallow pada esofagus dan lambung, angiografi vena portal dan manometri.
Sangatlah penting untuk menilai lokasi (esofagus dan lambung) dan
ukuran varises, tanda yang mendekati, tanda akut yang pertama, atau
perdarahan yang berulang, dan (jika memungkinkan) mempertimbangkan
penyebab dan tingkat keparahan penyakit hati.
Panduan Diagnosis Varises Esofagus adalah sebagai berikut:
1. Screening esophagogastroduodenoscopy (EGD) untuk diagnosis
varises esofagus dan lambung direkomendasikan ketika diagnosis
sirosis sudah ditegakkan.
2. Pengamatan endoskopi direkomendasikan berdasarkan level sirosis,
penampakan, dan ukuran varises. Pasien dengan compensated sirosis
tanpa varises sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap 2-3
tahun, pasien dengan compensated sirosis disertai varises kecil
sebaiknya melakukan pengulangan EGD setiap 1-2 tahun, sedangkan
11

pasien

dengan

decompensated

sirosis

sebaiknya

melakukan

pengulangan EGD setiap tahun.


3. Perkembangan varises gastrointestinal dapat ditentukan pada dasar
klasifikasi ukuran pada saat dilakukan EGD.
Perdarahan varises didiagnosis berdasarkan salah satu dari temuan berikut
pada endoskopi:

Perdarahan aktif dari varix

Puting putih disekitar varix

Gumpalan darah sekitar varix

Varises tanpa sumber perdarahan yang lain

Manfaat dari pemakaian Endoskopi:


- Mengetahui bagaimana keadaan bagian dalam saluran cerna (apakah
ada luka, daging tumbuh, kelainan bentuk saluran cerna, dll).
- Dapat digunakan untuk mengambil contoh jaringan bagian dalam
(biopsi) guna pemeriksaan.

2.2.7 Terapi

Varises Esofagus tanpa Riwayat Pendarahan


Varises tanpa riwayat pendarahan dapat ditangani menggunakan nonselektif beta-adrenergik bloker (misalnya, propranolol, nadolol, timolol),
asalkan tidak ada kontraindikasi menggunakan obat tersebut. Misalnya
riwayat diabetes militus tipe insulin dependent, penyakit paru obtruktif yang
parah dan gagal jantung kogestif). Pemberian beta-bloker ditentukan dari

12

25% penurunan detak jantung istirahat atau penurunan detak jantung 55x
per menit. Penggunaan beta- bloker menurunkan 45% risiko pendarahan
awal. Jika penderita mengalami kontraindikasi terhadap beta-bloker dapat
diberikan nitrat jangka panjang (isosorbide 5-mononitrat) sebagai alternatif.
Penggunaan

endoscopic

sclerotherapy

atau

ligasivisera

dengan

dikombinasikan propanolol dapat menurunkan risiko pendarahan pada


varises esofagus.

Varises Esofagus dengan Riwayat Pendarahan


Pada varises dengan pendarahan hal yang harus dilakukan adalah:
menilai tingkat dan volume pendarahan, melakukan pemeriksaan tekanan
darah dan denyut nadi pasien dengan posisi terlentang dan duduk,
melakukan pemeriksaan hematokrit segera, mengukur jumlah trombosit dan
protrombin time, memeriksa fungsi hati dan ginjal, dan melakukan
pengobatan darurat seperti dibawah ini.

Segera kembalikan tekanan dan volume darah penderita yang

dicurigai sirosis dan pendarahan visera


Lakukan transfuse darah, dilakukan dengan infuse cepat dextrose

dan larutan koloid sampai tekanan darah dan ekskresi urin normal.
Lindungi jalan nafas dari pendarahan saluran cerna bagian atas,

terutama jika penderita tidak sadar.


Jika memungkinkan, perbaiki factor pembekuan dengan cairan

plasma dan darah segar, dan vitamin K-1.


Masukkan tabung nasogastrik untuk menilai keparahan pendarahan

sebelum dilakukan endoskopi.


Pertimbangkan terapi farmakologis (octreotide atau somatostatin)
dan endoskopi segera setelah penderita pulih. Tujuannya untuk
menentukan dan mengendalikan pendarahan.

2.2.8 Pencegahan

13

Perdarahan dari varises esofagus merupakan suatu komplikasi yang bersifat letal
pada pasien sirosis hati dengan hipertensi aliran darah portal. Diperkirakan sebanyak
5-10% pasien yang mengalami sirosis akan mengalami varises esophagus setiap
tahunnya, dan sekitar 20-30% pasien sirosis dengan varises esophagus mengalami
perdarahan dari varises yang pecah/robek.
Varises esophagus dapat terbentuk saat gradien tekanan vena hepatica (Hepatic
Venous Pressure Gradient/HVPG) meningkat di atas 10 mmHg. Resiko terjadinya
perdarahan pada pasien dengan sirosis dan varises esophagus adalah bervariasi, dan
sebagian besar bergantung pada ukuran dari varises dan sebagaimana keparahan
sirosis hati yang terjadi. Hingga saat ini, metode skrining yang paling
direkomendasikan untuk mendeteksi adanya varises esophagus adalah endoskopi
saluran gastrointestinal bagian atas. Pada endoskopi terlihat pembengkakan vena
esophagus kea rah lumen yang sangat rentan mengalami perdarahan.
Pada pasien sirosis yang tidak memiliki varises esophagus saat pemeriksaan
endoskopi pertama, perlu dilakukan evaluasi berjangka selama 2-3 tahun dengan
endoskopi untuk mendeteksi adanya perkembangan varises sebelum varises tersebut
mengalami perdarahan. Interval evaluasi berjangka tersebut akan semakin pendek
apabila pada pemeriksaan endoskopi pertama pasien telah memiliki HVPG >
10mmHg. Sekali terbentuk, varises akan terus mengalami peningkatan ukuran,
dengan median 12% per tahun. Maka dari itu, pada pasien dengan varises berukuran
kecil, pemeriksaan endoskopi harus diulang dalam jangka waktu 1-2 tahun dengan
diikuti oleh primary prophylaxis.
Strategi untuk primary prophylaxis akan dilakukan sesuai dengan perjalanan
penyakit dari varises, yaitu: terjadinya sirosis hati, hipertensi portal, pembentukan
varises berukuran kecil, varises berukuran sedang hingga besar, dan perdarahan
variseal. Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: 1) transjugular
intrahepatic portosystemic shunt; 2) nonselective -blocker; 3) ligasi variseal
endoskopi; 4) mononitrat.

14

Metode pertama adalah transjugular intrahepatic potosystemic shunt (TIPS), yaitu


sebuah metode yang akan membuat akses dengan vena hepatic melalui vena jugularis
dan menempatkan sebuah stent pada vena portal sehingga membentuk saluran
resistansi rendah dan memungkinkan darah untuk kembali ke sirkulasi sistemik.
Namun metode ini dapat meningkatkan resiko hepatic encephalopathy, liver failure
dan komplikasi prosedural lainnya.
Saat ini, pemberian nonselective -blocker merupakan terapi utama yang
direkomendasikan sebagai primary prophylaxis perdarahan variseal pada pasien
sirosis dengan varises yang memiliki resiko perdarahan tinggi. Pada pasien dengan
sirosis dan varises esophagus dengan berbagai ukuran, nonselective -blocker dapat
menurunkan resiko dari episode perdarahan pertama sebesar 25% dalam 2 tahun.
Sekali dimulai, terapi dengan -adrenergic blocker harus terus dilakukan, karena
resiko perdarahan akan kembali apabilan terapi tidak dilanjutkan. Propanolol dimulai
pada dosis 20mg sehari, sedangkan nadolol dimulai pada dosis 40mg sehari.
Penurunan pada HVPG hingga < 12mmHg akan menghilangkan resiko terjadinya
perdarahan dan peningkatan angka harapan hidup. Namun, reduksi > 20% dari
baseline secara signifikan akan menurunkan resiko perdarahan variseal. Selain
dengan menggunakan HVPG, alternatif lain untuk mengukur tingkat efektivitas terapi
beta-blocker adalah dengan mengukur denyut nadi. Penurunan sebanyak 25% dari
baseline atau denyut nadi sebesar 55 hingga 60 denyut nadi per menit merupakan
tujuan standar terapi beta-blocker.
Ligasi variseal endoskopis merupakan prosedur yang dapat dilakukan apabila
pasien mengalami intoleransi terhadap penggunaan beta-blocker. Prosedur ini
melibatkan penggunaan rubber band yang ditempatkan pada sekeliling varix yang
diaspirasikan pada sebuah silinder pada ujung endoskopi. Penurunan resiko
perdarahan dikarenakan adanya penurunan ukuran dari variseal, dimana 60% dari
pasien mengalami eradikasi total varises dan 38% mengalami penurunan ukuran
varises.

15

Metode profilaksis lain yang dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan portal
adalah menggunakan vasodilator. Vasodilator menurunkan tekanan hepatica dengan
cara menurunkan resistensi pembuluh darah intrahepatika dan portokolateral. Karena
penemuan itulah diketahui bahwa nitrat (isosorbide mononitrate) dapat menurunkan
tekanan portal namun tetap mempertahankan perfusi liver. Namun karena agen
tersebut tidak spesifik, maka dapat juga menginduksi hipotensi arterial dan
menimbulkan refleks splanchnic vasoconstriction. Agen mononitrat dapat digunakan
sebagai alternatif pada pasien dengan intoleransi -blocker.
2.2.9 Prognosis
Dalam menentukan prognosis digunakan sistem skor menurut cara Child-Pugh.

Tabel Kategori sistem skor menurut cara Child-Pugh


Keterangan:
Kelas A = dengan skor kurang dari atau sama dengan 6
Kelas B = dengan skor 7-9, dan
Kelas C = dengan skor 10 atau lebih
Pasien dari kelas A biasanya meninggal akibat efek pendarahan. Sedangkan
pasien dengan kelas C kebanyakan akibat penyakit dasarnya predikator ketahanan

16

hidup yang paling sering digunakan untuk menentukan mortalitas dalam 6


minggu atau 30 hari setelah pendarahan pertama adalah klasifikasi Child-pugh.
Rata-rata angka kematian setelah pendarahan pertama pada sebagian besar
penelitian menunjukkan sekitar 50%. Angka kematian ini berhubungan erat
dengan beratnya penyakit hati. Dalam pengamatan selama 1 tahun, rata-rata
angka kematian akibat pendarahan varises berikutya adalah sebesar 5% pada
pasien dengan Child kelas A, 25% pada Child kelas B, dan 50% pada Child kelas
C.
Selain itu, Vinel dan kawan-kawan menunjukkan bahwa HVPG dapat
digunakan sebagai predikator ketahanan hidup, bila diukur 2 minggu setelah
pendarahan akut. Masih belum jelas, apakah pendarah aktif pada saat
pemeriksaan endoskopi dapat dipakai sebagaipredikator terjadinya pendarahan
ulangyang lebih awal. Resiko kematian menurun jika cepat mendapatkan
penanganan di rumah sakit, demikian pula resiko kematian ini menjadi konstan
sekitar 6 minggu setelah pendarahan.
Indeks hati juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai prognosis
pasien hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara medik. Dari hasil
penelitian sebelumnya, pasien yang mengalami kegagalan hati ringan (indeks hati
0-2), angka kematiannya antara 0-16%, sementara yang mempunyai kegagalan
hati sedang sampai berat(indeks hati 3-8) angka kematiannya 18-40%.
Pemeriksaan
0
1
2
Albumin (g %)
>3.6
3.0 3.5
<3.0
Bilirubin (mg %)
<2.0
2.0 3.0
>3.0
Gangguan kesadaran
Minimal
+
Asites
Minimal
+
Tabel indeks hati untuk menilai prognosis pasien hematemesis melena yang
mendapat terapi medik
Keterangan:
1. kegagalan hati ringan

= indeks hati 0-3

2. kegagalan hati sedang

= indeks hati 4-6

3. kegagalan hati berat

= indeks hati 7-10


17

2.3 SIROSIS HEPATIS


2.3.1 Definisi
Sirosis hepatis adalah keadaan patologis yang menggambarkan stadium akhir
fibrosis hepatis yang berlangsung progresif yang ditandai dengan distorsi dari
arsitektur hepar dan pembentukan nodulus regenerative.
2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan morfologi, Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :
1. Mikronodular
Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa
parenkim hatimengandung nodul halus dan kecil merata tersebut seluruh
lobul. Sirosis mikronodular besar nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis
makronodular ada yang berubah menjadimakronodular sehingga dijumpai
campuran mikro dan makronodular
2. Makronodular
Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan
ketebalan bervariasi,mengandung nodul (> 3 mm) yang besarnya juga
bervariasi ada nodul besar didalamnya adadaerah luas dengan parenkim yang
masih baik atau terjadi regenerasi parenkim.
3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular),
Secara fungsional, sirosis hepatis dibagi menjadi 2, yaitu:
a. Sirosis hepatis compensata
Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium kompensata ini belum
terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat
pemeriksaan screening.
b. Sirosis hepatis decompensata
Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini biasanya gejala-gejala
sudah jelas,misalnya ; ascites, edema dan ikterus.

18

2.3.3 Epidemiologi
Lebih dari 40% pasien sirosis asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis
ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan atau pada waktu autopsy. Keseluruhan
insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360 per 100.000 penduduk. Penyebabnya
sebagian besar akibat penyakit hati alkoholik maupun infeksi virus kronik. Hasil
penelitian lain menyebutkan perlemakkan hati akan mengakibatkan steatohepatitis
nonalkoholik (NASH, prevalensi 4%) dan berakhir dengan sirosis hati dengan
prevalensi 0,3% juga. Di Indonesia data prevalensi sirosis hati belum ada, hanya
laporan-laporan dari beberapa pusat pendidikan saja. Di RS Dr. Sardjito Yogyakarta
jumlah pasien sirosis hati berkisar 4,1% dari pasien yang dirawat di Bagian Penyakit
Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (2004) (tidak dipublikasikan). Di Medan dalam
kurun waktu 4 tahun dijumpai pasien sirosis hati sebanyak 819 (4%) pasien dari
seluruh pasien di Bagian Penyakit Dalam.
2.3.4 Etiologi
Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas.
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya sirosis hepatis adalah:
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
Waterloo (1997) berpendapat bahwa faktor kekurangan nutrisi terutama
kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis Hepatis. Menurut
campara (1973) untuk terjadinya Sirosis Hepatis ternyata ada bahan dalam makanan,
yaitu kekurangan alfa 1-antitripsin.
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis
Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.

19

penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak
terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B akut
akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan HBs Ag
positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap meningginya
kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai prognosis kurang
baik.
Hasil penelitian di Indonesia menyebutkan virus hepatitis B menyebabkan
sirosis sebesar 40-50%, dan virus hepatitis C 30-40%, sedangkan 10-20% penyebab
tidak diketahui dan termasuk bukan B dan bukan C.
3. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan
fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat
nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa Sirosis
Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang kali dan
terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi
kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis Hepatis. Zat
hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etilalkohol adalah penimbunan lemak dalam hati.
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan sitoplasmin.
5. Hemokromatosis

20

Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan timbulnya
hemokromatosis, yaitu :

sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.

kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada


penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis.

6. Sebab-sebab lain

kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak.


Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis
sentrilibuler.

sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada
kaum wanita.

penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis
kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%,
Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan
tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam makanannya cukup
mengandung protein.

2.3.5 Penatalaksanaan
- Penatalaksanaan umum

21

Penanganan umum adalah dengan memberikan diet yang benar dengan kalori
yang cukup sebanyak 2000-3000 kkal/hari dan protein (75-100 g/hari) atau bilamana
tidak ada koma hepatik dapat diberikan diet yang mengandung protein 1g/kg BB dan
jika terdapat retensi cairan dilakukan restriksi sodium. Jika terdapat encephalopathy
hepatic (ensefalopati hepatik), konsumsi protein diturunkan sampai 60-80 g/hari.
Disarankan mengkonsumsi suplemen vitamin. Multivitamin yang mengandung
thiamine 100 mg dan asam folat 1 mg. Perbaiki defisiensi potasium, magnesium, dan
fosfat. Transfusi sel darah erah (packed red cell), plasma juga diperlukan.
Diet pada penyakit hati bertujuan memberikan makanan secukupnya guna
mempercepat perbaikan faal hati tanpa memberatkan pekerjaannya. Syarat diet ini
adalah katori tinggi, hidrat arang tinggi, lemak sedang, dan protein disesuaikan
dengan tingkat keadaan klinik pasien. Diet diberikan secara berangsur-angsur
disesuaikan dengan nafsu makan dan toleransi pasien terhadap pasien terhadap
protein. Diet ini harus cukup mineral dan vitamin; rendah garam bila ada retensi
garam/air, cairan dibatasi bila ada asites hebat; serta mudah dicerna dan tidak
merangsang. Bahan makanan yang menimbulkan gas dihindari. Bahan makanan yang
tidak boleh diberikan adalah sumber lemak, yaitu semua makanan dan daging yang
banyak mengandung lemak, seperti daging kambing dan babi serta bahan makanan
yang menimbulkan gas, seperti ubi, kacang merah, kol, sawi, lobak, ketimun, durian,
dan nangka.
- Penatalaksanaan Sirosis Dekompensata
1. Asites dan edema
Tirah baring dan diawali diet rendah garam, konsumsi garam sebanyak 5,2
gram atau 90 mmol/hari atau 400-800 mg/hari. Restriksi cairan (800-1000
mL/hari) disarankan pada pasien dengan hiponatremia (serum sodium <125
meq/L). Ada pasien yang mengalami pengurangan asites hanya dengan tidur dan
restriksi garam saja. Tetapi ada juga pasien dengan retensi cairan berat atau asites

22

berat, yang sekresi urinnya kurang dari 10 meq/L. Pada pasien asites dan edema
dapat diberikan diuretik dan paracentesis.
2. Peritonitis bakterial spontan
Peritonitis bakterial spontan dapat ditandai dengan munculnya rasa sakit
abdomen, meningkatnya asites, demam, dan ensefalopati progresif pada pasien
dengan sirosis hepatis. Tetapi tanda-tandanya dapat ringan. Hasil cairan asites dari
paracentesi didapatkan jumlah sel darah putih lebih dari 500 sel/mL dengan PMN
lebih dari 250/L dan konsentrasi protein 1 g/dL atau kurang. Hasil kultur cairan
asites, 80-90% didapatkan E coli dan pneumococci, jarang anaerob. Jika terdapat
250/L atau lebih dapat diberikan antibiotik intravena dengan cefotaxime 2 gram
intravena setiap 8-12 jam, minimal dalam waktu 5 hari. Penurunan PMN dapat
terjadi setelah pemberian antibiotik selama 48 jam. Angka kematiannya tinggi
yaitu dapat mencapai 70% dalam 1 tahun. Terjadinya peritonitis berulang dapat
dikurangi dengan menggunakan norfloxacin, 400 mg sehari. Pada pasien dengan
sirosis yang beresiko tinggi terjadinya peritonitis bakteri spontan (cairan asites < 1
g/dL), serangan peritonitis pertama kali dapat dicegah dengan pemeberian
norfloxacin atau trimethoprim-sulfamethoxazole (5 kali seminggu). Pada
peritonitis bakterial spontan selain diberikan antibiotika seperti sefalosporin
intravena, juga dapat diberikan amoksilin, atau aminoglikosida.
3. Sindrom hepatorenal
Sindrom hepatorenal ditandai dengan azotemia, oliguria, hiponatremia,
penurunan sekresi natrium urin, dan hipotensi pada pasien penyakit hati stadium hati.
Sindrom hepatorenal didiagnosa jika tidak ada penyebab gagal ginjal lainnya.
Penyebabnya tidak jelas, tetapi patogenesisnya karena vasokonstriksi ginjal,
kemungkinan disebabkan gangguan sintesis vasodilator renal seperti prostaglandin
E2, keadaan histologi ginjal normal. Terapi yang diberikan kebanyakan tidak efektif.
Berdasarkan penelitian terakhir, pemberian vasokonstriksi dengan waktu kerja lama

23

(ornipressin dan albumin, ornipressin dan dopamine, atau somatostatin analog


octreotide dan midodrione sebagai obat alpha adrenergik) dan TIPS memberikan
perbaikan.
4. Ensefalopati hepatik
Ensefalopati hepatik merupakan keadaan gangguan fungsi sistem saraf pusat
disebabkan hati gagal untuk mendetoksikasi bahan-bahan toksik dari usus karena
disfungsi hepatoselular dan portosystemic shunting. Penangganan ensefalopati
hepatik dapat berupa : Pembatasan pemberian protein dari makanan, Lactulose,
Neomisin sulfat.
5. Anemia
Untuk anemia defisiensi besi dapat diberikan sulfa ferrosus, 0,3 g tablet, 1 kali
sehari sesudah makan. Pemberian asam folat 1 mg/hari, diindikasikan pada
pengobatan anemia makrositik yang berhubungan dengan alkoholisme. Transfusi sel
darah merah beku (packed red cell) dapat diberikan untuk mengganti kehilangan
darah.
6. Manifestasi perdarahan
Hipoprotombinemia dapat diterapi dengan vitamin K (seperti phytonadione, 5
mg oral atau sub kutan, 1 kali per hari). Terapi ini tidak efektif karena sintesis faktor
koagulasi menggalami gangguan pada penyakit hati berat. Koreksi waktu
prothrombin (prothrombin time) yang memanjang dilakukan dengan pemberian
plasma darah. Pemberian plasma darah hanya diindikasikan pada perdarahan aktif
atau sebelum pada prosedur invasif.

7. Pecahnya varises esophagus

24

Untuk mencegah terjadinya perdarahan pertama kali pada varices esofagus


dapat diberikan penghambat beta bloker non selektif (nadolol, propanolol). Pada
pasien yang tidak tahan terhadap pemberian beta bloker dapat diberikan isosorbide
mononitrate. Beta bloker dapat diberikan kepada pasien sirosis hati yang beresiko
tinggi terjadinya perdarahan, yaitu varises yang besar dan merah. Profilaksis
skleroterapi tidak boleh dilakukan kepada pasien yang belum pernah mengalami
perdarahan varises esofagus karena berdasarkan penelitian, skleroterapi dapat
meningkatkan angka kematian daripada pengguna beta bloker. Ligasi varises
(banding) dapat dilakukan pada pasien dengan varises esofagus yang belum pernah
perdarahan. Pemberian beta bloker dan esofagus dapat dilakukan bersama-sama
untuk mencegah perdarahan varises esofagus, hanya bila ditinjau dari segi ekonomi.
Bila kedua hal itu dilakukan bersama-sama tidak efektif secara ekonomi.
Pencegahan perdarahan kembali dapat dilakukan skleroterapi atau ligasi, beta
bloker non selektif (propanolol, nadolol) 20 mg sebanyak 2 kali sehari atau 40-80 mg
sekali sehari, isosorbide mononitrate dapat diberikan 10 mg sebanyak 2 kali sehari
sehari atau 20-40 mg sebanyak 2 kali sehari, Transvenosus Intrahepatic Portosystemic
Shunts (TIPS), Surgical Portosystemic Shunts, dan transplantasi hati.
8. Sindrom hepatopulmonal
Sindrom hepatopulmonal terjadi karena meningkatnya tahanan alveolararterial ketika bernapas, dilatasi vascular intrapulmoner, hubungan arteri-vena yang
menyebabkan shunt intrapulmonary kanan-kiri. Pasien mengalami dyspnea dan
deoxygenasi arterial saat berdiri dan menghilang saat berbaring. Terapi mengunakan
obat-obatan sudah tidak memberikan hasil, tetapi dapat membaik dengan
transplantasi hati. Transplantasi hati tidak boleh dilakukan pada pasien dengan
hipertensi pulmonal (tekanan pulmonal > 35 mmHg).
9. Transplantasi hati

25

Transplantasi hati diindikasikan pada kasus irreversibel, penyakit hati kronik


progresif, gagal hati berat, dan penyakit metabolik dimana kelainannya terdapat di
hati. Kontraindikasi absolut adalah keganasan (kecuali karsinoma hepatoselular kecil
pada sirosis hati), penyakit cardio-pulmoner berat (kecuali pada pulmonaryarteriovenous shunting karena hipertensi porta dan sirosis), sepsis, dan infeksi HIV.
Kontaindikasi relatif adalah usia lebih dari 70 tahun, trombosis vena porta dan
mesenterikus, pengguna alkohol dan obat-obatan terlarang, dan malnutrisi berat.
Tidak boleh mengkonsumsi alkohol dalam 6 bulan sebelum transplantasi hati.
Transplantasi hati harus dipertimbangkan pada pasien dengan status mentalis yang
berkurang, peningkatan bilirubin, pengurangan albumin, perburukan koagulasi, asites
refrakter, perdarahan varises berulang, atau ensefalopati hepatik yang memburuk.
Transplantasi hati memberikan harapan hidup 5 tahun pada 80% pasien. Carcinoma
hepatocelular, hepatitis B dan C, Budd-Chiari syndrome dapat terjadi lagi setelah
transplantasi hati. Angka terjadinya kembali hepatitis B dapat dikurangi dengan
pemberian lamivudine saat sebelum dan sesudah transplantasi dan saat operasi
diberikan imuno globulin hepatitis B. Dapat diberikan imunosupresi seperti
cyclosporine atau tacrolimus, kortikosteroid, dan azathioprine yang dapat
menyebabkan komplikasi berupa infeksi, gagal ginjal, gangguan neurologik,
penolakan organ, oklusi pembuluh darah, atau banyaknya empedu.

2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah:
1) Perdarahan Gastrointestinal
Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi
portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada
suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat
perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis
biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium.
26

Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku,


karena sudah tercampur dengan asam lambung. Mungkin juga perdarahan
pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya
varises esophagus saja. Fainer dan Halsted pada tahun 1965 melaporkan
dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62%
disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan
5% karena erosi lambung
2) Koma hepatikum
Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma
hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati
sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan
fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat
pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese,
gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum
sekunder.
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme
protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat.
Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal,
amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati,
kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan
kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam
darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea
lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada
otak.
Koma hepatikum dapat disebabkan oleh perdarahan gastrointestinal,
analgetik, alkalosis metabolik, kelebihan protein, infeksi, obstipasi,
gangguan keseimbangan cairan dan pemakaian diuretik.
Diagnosis koma hepatikum ditegakkan berdasarkan gambaran klinis
dan dibantu dengan beberapa pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
penunjang antara lain:
27

a. Elektroensefalografi (EEG), terlihat peninggian amplitudo dan


menurunya jumlah siklus gelombang perdetik.
b. Tes Psikometri, cara ini dapat membantu menilai tingkat
kemampuan intelektual pasien yang mengalami koma hepatikum.
c. Pemeriksaan Amonia Darah, terjadi peningkatan konsentrasi amonia
darah karena gangguan fungsi hati.
3) Ulkus peptikum
Menurut Tumen timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis
Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa
kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada
mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan
kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan.
4) Karsinoma hepatoselular
Sherlock (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati
menemukan

61,3

penderita

disertai

dengan

Sirosis

Hepatis.

Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada


bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi
karsinoma yang multiple.
5) Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk
juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut Schiff,
Spellberg infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya
adalah:

peritonitis,

bronchopneumonia,

pneumonia,

tbc

paru-paru,

glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis,


erysipelas maupun septikemi.

28

BAB III
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Alamat
No MR
Pekerjaan
Tanggal Masuk
Ruangan

: Tn.W
: 46 Tahun
: Laki-laki
: Tanah Garam
: 116032
: Wiraswasta
: 02 Maret 2016
: 302 (IP)

Anamnesis

Keluhan utama
Muntah darah sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan muntah darah sejak 1 hari sebelum
masuk rumah sakit, muntah darah berwarna merah kehitaman, muntah
sudah 3 kali, muntah berjumlah 1 gelas setiap kali muntah, darah pada
muntah bergumpal-gumpal.
Pasien juga mengeluhkan BAB berwarna hitam sejak 1 hari yang lalu,
BAB lembek sudah 4 kali sejak 1 hari yang lalu.
Pasien mengeluh nyeri pada ulu hati sejak 1 hari yang lalu disertai
dengan mual.
Nafsu makan menurun sejak sejak 1 hari yang lalu dan badan terasa
lemas.
BAK lancar, tidak nyeri dan berwarna kuning jernih. Pasien mengeluh
sakit kepala sejak 1 hari yang lalu. Pasien menyangkal adanya demam,
sesak nafas, batuk, seluruh badan menjadi kuning dan gangguan tidur.

29

Pasien juga menyangkal adanya penurunan berat badan yang signifikan.


Pasien tidak pernah mengkonsumsi jamu ataupun obat-obatan anti nyeri.
Awalnya, keluhan tersebut mulai dirasakan pasien 3 bulan yang lalu
yang kemudian dirawat di RSU Solok dan saat itu pasien didiagnosis
sirosis hepatis. Kemudian pasien dirujuk ke RSUP M.Djamil dan
dilakukan teropong dan diligasi untuk mengatasi perdarahannya tersebut.
Setelah 1 minggu rawatan keluhan muntah darah sudah tidak ada
dan BAB sudah tidak berwarna hitam. Namun, nafsu makan pasien

menurun dan badan pasien masih terasa lemas.


Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat magh (+)
- Riwayat Hipertensi disangkal
- Riwayat DM disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


- Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang sama seperti pasien
- Tidak ada riwayat hipertensi dan DM di keluarga

Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi dan Kebiasaan


Pasien seorang laki-laki dengan pekerjaan wiraswasta yang memiliki
kebiasaan merokok dan minum kopi. Pasien mengaku saat pasien sekolah
dulu pasien sering mengkonsumsi alcohol sekitar setengah botol dalam satu
minggu dan sudah lama berhenti.

Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum

: Sakit Sedang

Kesadaran

: Compos Mentis Cooperatif

Tekanan Darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 82 kali/menit regular

Suhu

: 36,5 0C

Nafas

: 20 kali/menit

Pemeriksaan Fisik Khusus

30

Kepala

: Bentuk bulat, ukuran normocephal, rambut hitam, rambut kuat


tidak mudah dicabut

Mata

: Konjungtiva kanan dan kiri anemis, sclera kanan dan kiri ikterik ,
pupil isokor

Telinga

: Bentuk dan ukuran dalam batas normal

Hidung

: Bentuk dan ukuran dalam batas normal, secret tidak ada

Mulut

: Bibir kering, lidah tidak kotor

Leher

: JVP 5-2 cmH2O, tidak ada pembesaran KGB submandibula,


sepanjang M. Sternocleidomastoideus, supra dan infra clavicula.

Jantung

Inspeksi

: Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi

: Ictus cordis teraba 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V

Perkusi

:
Batas kiri jantung

: 1 jari medial linea midclavicula sinistra RIC V

Batas kanan jantung : Linea sternalis dextra


Batas atas jantung

: Linea sternalis dextra RIC II

Auskultasi

: Irama murni M1 > M2, P2 < A2, bising (-)

Paru-paru

Inspeksi

: Kiri sama dengan kanan

Palpasi

: Fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi

: Sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: vesikuler, wheezing (-/-), rhonki (-/-)

Abdomen

Inspeksi

: Asites (-), venektasi (-), spider nevi (-)

Palpasi

: Nyeri tekan epigastrium (+), hepar lobus dextra teraba 2 jari di


bawah arcus costarum dan 1 jari di bawah processus xypoideus
konsistensi keras permukaan bernodul tepi tumpul dan mobile, lien
tidak teraba

Perkusi

: Timpani
31

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Anggota gerak :
Fisiologis
Ekstremitas Atas
Bisep
Trisep
Brachioradialis
Ekstremitas Bawah
Patella
Achilles
Refleks Patologis

Kanan

Kiri

+
+
+

+
+
+

+
+

+
+

Kanan

Kiri

Babinski

Gordon

Oppenheim

Chaddoks

schafer

Edema : Ekstremitas atas dan ekstremitas bawah (-)


Akral : Dingin
Pulsasi arteri radialis, femoralis, poplitea, tibialis posterior, dorsalis pedis

normal
Sensibilitas nyeri dan raba normal

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan darah rutin tanggal 02 maret 2016 :

Hb

: 9,2 g/dL

Ht

: 27,8%

Leukosit

: 8.680/mm3

Trombosit

: 266.000/mm3
32

Ureum

: 32,6 mg/dl

Creatinin

: 0,74mg/dl

Glucosa Ad Random : 92 mg%

Gastroscopy
Hasil pemeriksaan gastroscopy 1 Desember 2015

Hasil :
Esophagus
Gaster

: Varises esophagus grade 2


: Mukosa corpus dan antrum : Gastropati hipertensi portal,

fundus terlihat varises (+)


Duodenum
: Mukosa normal
Kesimpulan
:
- Varises esophagus grade 2
- Varises fundus gaster
- Gastropati hipertensi portal

Ultrasonografi
Ultrasonografi whole abdomen 17 november 2015

33

Hasil
Ascites
Hepar

:
: Tepi ireguler, ekostruktur parenkim kasar, namun relatif

homogen. Tidak tampak dilatasi duktus bilier intrahepatik.


Kandung empedu : Dinding tidak menebal, tak tampak batu/ sludge
Pancreas
: Ukuran kesan baik, tidak tampak lesi patologis
Limpa
: Ukuran dan bentuk kesan baik, tidak tampak lesi. Tidak
Ginjal

tampak lesi vena lienalis


: Ukuran kedua ginjal masih relatif baik, diferensiasi korteks
dan medulla baik, sistem pelviokalises bilateral tidak tampak

Buli
Kesan

melebar. Tak tampak batu/ kista


: Dinding tidak menebal
: Chronic parenchymal liver disease dengan ascites

Diagnosis Kerja

34

Hematemesis Melena ec Pecah Varises Esofagus ec Sirosis Hepatis Post Nekrotik


Stadium dekompensata
Diagnosis Banding
-

Hematemesis melena ec Gastropati NSAID


Hematemesis melena ec Gastritis Erosif
Hematemesis melena ec Ulkus peptikum
Hematemesis melena ec Ca Lambung

Penatalaksanaan
Terapi Non Farmakologis :
- Tirah baring
- Puasa 8 jam
- Pemasangan NGT
Terapi Farmakologis :
IVFD NaCL 0,9% 12 jam/kolf
Ceftriaxon 1 x 2 gram IV (skin test)
Transamin 3 x 1 amp IV
Vit K 3 x 1 amp IV
Sucralfat syr 3 x 1
Ranitidine 2 x 1 amp IV
Anjuran
Pemeriksaan urin rutin
Pemeriksaan feses
Pemeriksaan Faal Hepar
Prognosis
Quo ad vitam

: dubia ad malam

Quo ad functionam

: dubia ad malam

Quo ad sanationam

: dubia ad malam

35

Follow Up
Kamis, 3 Maret 2016
S : - BAB berdarah (+)
- Muntah darah (+)
- Nyeri ulu hati (+)
O : Kesadaran

: Compos Mentis Cooperatif

Tekanan darah

: 110/70 mmHg

Nadi

: 80 kali/ menit

Nafas

: 18 kali/ menit

Suhu

: 36,8oC

A : Hematemesis melena ec pecah varises esophagus ec sirosis hepatis post nekrosis


stadium dekompensata
P : - Pasang NGT, cek perdarahan
- IVFD Aminofusin L 600 : Triofusin : NaCL 0,9%
-

2
:
1
:
1
6 jam/kolf
IVFD Ciprofloksasin 2 x 200 mg ( skin test )
Ranitidine 2 x 1 amp IV
Transamin 3 x 1 amp IV
Vit K 3 x 1 amp IV
Tranfusi PRC 1 unit/ hari sampai Hb 10 g/dL
Periksa darah rutin
Laboratorium urinalisa 3 Maret 2016
Warna
: kuning
Blood
:Bilirubin
:Urobilinogen
:+
Keton
:Protein
:Nitrit
:Glukosa
:pH
: 6,0
Bj
: 1,015
Sedimen
Eritrosit
:36

Silinder
Leukosit
Kristal
Epitel
Sperma

:: 0-1/ LPB
: Ca oksalat 2-5
: 1-2/ LPK
: 0-1

Jumat, 4 Maret 2016


S : - BAB berdarah (+)
- Muntah darah (-)
- Nyeri ulu hati (+)
- NGT jernih (+)
O : Kesadaran

: Compos Mentis Cooperatif

Tekanan darah

: 110/60 mmHg

Nadi

: 84 kali/ menit

Suhu

: 36,5oC

Nafas

: 20 kali/ menit

A : Hematemesis melena ec pecah varises esophagus ec sirosis hepatis post nekrosis


stadium dekompensata
P : - Diet DH I
- IVFD Aminofusin L 600 : Triofusin : NaCL 0,9%
-

2
:
1
:
1
6 jam/kolf
IVFD Ciprofloksasin 2 x 200 mg ( skin test )
Ranitidine 2 x 1 amp IV
Transamin 3 x 1 amp IV
Vit K 3 x 1 amp IV
Lactulac syr 3 x 1
Tranfusi PRC 1 unit/ hari sampai Hb 10 g/dL

Laboratorium darah rutin 4 maret 2016


Hb

: 9,3 g/dL

37

Ht

: 27,5%

Leukosit

: 6.340 mm3

Trombosit : 130.000 mm3

Sabtu, 5 Maret 2016


S : - BAB berdarah (+)
- Muntah darah (-)
O : Kesadaran

: Compos Mentis Cooperatif

Tekanan darah

: 130/70 mmHg

Nadi

: 88 kali/ menit

Nafas

: 19 kali/ menit

Suhu

: 36,5oC

A : Hematemesis melena ec pecah varises esophagus ec sirosis hepatis post nekrosis


stadium dekompensata
P : - Diet DH I
- IVFD NaCL 0,9% 8 jam/kolf
- IVFD Ciprofloksasin 2 x 200 mg
-

Ranitidine 2 x 1 amp IV
Transamin 3 x 1 amp IV
Vit K 3 x 1 amp IV
Lactulac syr 3 x 1
Tranfusi PRC 1 unit/ hari sampai Hb 10 g/dL

- Periksa darah rutin


Senin, 7 Maret 2016
S : - BAB berdarah (-)
- Muntah darah (-)
O : Kesadaran

: Compos Mentis Cooperatif

38

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Nadi

: 70 kali/ menit

Nafas

: 22 kali/ menit

Suhu

: 36,8oC

A : Hematemesis melena ec pecah varises esophagus ec sirosis hepatis post nekrosis


stadium dekompensata
P : - Diet DH I
- IVFD NaCL 0,9% 8 jam/kolf
- IVFD Ciprofloksasin 2 x 200 mg
-

Ranitidine 2 x 1 amp IV
Transamin 3 x 1 amp IV
Vit K 3 x 1 amp IV
Lactulac syr 3 x 1

Laboratorium darah rutin 6 maret 2016


Hb

: 10,3 g/dL

Ht

: 30,2%

Leukosit

: 5.070 mm3

Trombosit : 154.000 mm3

39

BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Hematemesis adalah muntah darah berwarna hitam yang berasal dari saluran
cerna bagian atas. Melena adalah buang air besar berwarna hitam seperti aspal.
Hematemesis menandakan perdarahan saluran cerna bagian atas (di atas
ligamen Treitz).

Varises esofagus adalah penyakit yang ditandai oleh pelebaran pembuluh


darah vena di esofagus bagian bawah. Varises esofagus terjadi jika aliran

darah menuju hati terhalang.


Penyakit dan kondisi yang dapat menyebabkan varises esophagus salah
satunya adalah sirosis hepatis. Gejala-gejala dari perdarahan varices termasuk
muntah darah dan mengeluarkan tinja/feces yang hitam yang disebabkan oleh
perubahan-perubahan dalam darah ketika ia melewati usus (melena).

Terapi varises esofagus ada dua,yaitu terapi varises esofagus tanpa riwayat
pendarahan dan dengan riwayat perdarahan.

Peningkatan ukuran varises meningkat sebanyak 10-20% pada tahun pertama


dan kedua setelah dilakukannya observasi endoskopi. Strategi untuk primary
prophylaxis akan dilakukan sesuai dengan perjalanan penyakit dari varises,
yaitu: sirosis. Langkah pencegahan selanjutnya adalah dengan mencegah
terjadinya perdarahan pertama.Hal ini dapat dilakukan dengan beberapa cara,
yaitu: 1) surgical postcaval shunt; 2) transjugular intrahepatic portosystemic
shunt; 3) sclerotherapy; 4) nonselective -blocker; 5) ligasi variseal
endoskopi; 6) mononitrat; 7) antagonis reseptor angiotensin II.

Dalam menentukan prognosis digunakan sistem skor menurut cara ChildPugh dan indeks hati yang juga dapat dipakai sebagai petunjuk untuk menilai

40

prognosis pasien hematemesis melena yang mendapat pengobatan secara


medik.

Manfaat dari pemakaian Endoskopi: Mengetahui bagaimana keadaan bagian


dalam saluran cerna (apakah ada luka, daging tumbuh, kelainan bentuk
saluran cerna, dll) dan Dapat digunakan untuk mengambil contoh jaringan
bagian dalam (biopsi) guna pemeriksaan.

41

You might also like