You are on page 1of 12

Siswa SD di Tangerang Jadi Korban Bullying Teman

Sekolahnya
Muhammad Meisa, Majalah Kartini | 08/10/2015 14:15
Kekerasan antar anak sekolah terjadi untuk ke sekian kalinya. Kali ini
menimpa siswa sebuah sekolah di Gading Serpong, Tangerang.

MajalahKartini.co.id - Seorang bocah sekolah dasar di Gading, Serpong,


Provinsi Banten mengalami trauma berat akibat tindakan bullying yang dilakukan
oleh teman satu sekolahannya pada pertengahan September lalu. Kasus ini terungkap
ke hadapan publik setelah sang ibu mencurahkan permasalahan anaknya melalui
jejaring sosial Facebook.
Ia mengungkapkan awal kecurigaan perubahan sikap anaknya. "Awalnya
Jumat, 18 September anak saya demam tinggi dan dia takut untuk (berangkat ke)
sekolah. Kemudian dia cerita kalo di sekolah dia dipukuli oleh teman yang
sebelumnya selalu bully dia dengan merampas dan melempar kacamata juga buku dan
alat tulisnya," ungkap Yessi Caroline, ibunda ASP.
Peristiwa tersebut baru diketahui Yessi seminggu setelah peristiwa terjadi.
Menurut saksi mata yang ia datangi untuk mengorek informasi mengenai tindak
bullying yang menimpa anaknya, kejadian tersebut terjadi pada tanggal 11 September
lalu.
Korban rupanya memendam kejadian yang menimpanya dan mengakibatkan
tekanan psikologis yang mengakibatkan dirinya jatuh sakit. "Dari hasil pemeriksaan
(medis) ada infeksi saluran kencing dan ada nanah di saluran kencingnya. Kemudian
dari rekam media psikolog, anak saya menderita trauma," ujarnya.
Yessi mengungkapkan, berdasarkan surat rekam medis yang diterimanya dari
psikolog untuk keperluan penyidikan, hingga saat ini anaknya masih dalam proses
terapi psikolog. Pihak keluarga ASP telah melaporkan peristiwa tersebut ke pihak
kepolisian, tetapi hingga saat ini belum menemukan titik terang. (Foto: Doc. Pribadi)

http://majalahkartini.co.id/berita/siswa-sd-di-tangerang-jadi-korban-bullying-temansekolahnya
I.

Analisa Kasus:
Kasus Kekerasan Anak SD di Serpong, merupakan salah satu bentuk bullying
yang terjadi di ranah pendidikan. Sekolah tidak hanya dapat menjadi tempat yang
sesuai untuk mengembangkan potensi anak. Akan tetapi, sekolah juga dapat menjadi
tempat timbulnya stressor-stressor yang dapat mengganggu perkembangan anak.
Salah satu stressor yang dapat mengganggu perkembangan diri anak adalah adanya
perilaku bullying di sekolah. Pada usia sekolah anak mulai mengalami perkembangan
dalam menjalin hubungan dan berinteraksi dengan orang lain, dalam hal ini teman
sebaya. Pada periode ini anak akan membentuk kelompok teman sebaya yang
memiliki ketertarikan atau minat yang sama. Interaksi antara kelompok teman sebaya
ini tidak jarang menimbulkan masalah pada anak, salah satunya masalah terkait
bullying. Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi oleh
tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental yang dilakukan berulangulang.
Sebagian besar orang seperti pihak sekolah dan orang tua menganggap
perilaku ini merupakan fenomena yang biasa terjadi disekolah. Perilaku bullying ini
luput dari perhatian orang tua maupun pihak sekolah. Umumnya, orang tua dan pihak
sekolah beranggapan bahwa saling mengejek, berkelahi, maupun mengganggu anak
lain merupakan hal yang biasa terjadi pada anak sekolah dan bukan merupakan
masalah serius. Biasanya masalah tersebut dianggap serius dan dikatakan sebagai
perilaku bullying ketika perilaku tersebut telah mengakibatkan timbulnya cedera atau
masalah fisik pada anak yang menjadi korban bullying. Padahal definisi bullying itu
sendiri tidak terbatas pada tindakan kekerasan yang menyebabkan cedera fisik saja.
Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia, KPAI, saat ini kasus
bullying menduduki peringkat teratas pengaduan masyarakat. Dari 2011 hingga
Agustus 2014, KPAI mencatat 369 pengaduan terkait masalah tersebut. Jumlah itu
sekitar 25% dari total pengaduan di bidang pendidikan sebanyak 1.480 kasus.
Bullying yang disebut KPAI sebagai bentuk kekerasan di sekolah, mengalahkan
tawuran pelajar, diskriminasi pendidikan, ataupun aduan pemungutan liar. (Republika,
Rabu 15 Oktober 2014)
Bullying merupakan perilaku yang dikarakteristikkan dengan melakukan
tindakan yang merugikan bagi orang lain secara sadar dan dilakukan secara berulangulang yang disertai adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korbannya.
Perilaku ini meliputi tindakan secara fisik seperti menendang, meninju atau
menggigit, secara verbal seperti membentak, mengancam, melecehkan, secara
relasional seperti mengucilkan atau menyebarkan isu, dan melalui perangkat
elektronik atau cyberbullying (Olweus, 1993; Heath & Sheen, 2005; National Crime

Prevention Centre of Canada, 2008; American Association of School Administrators,


2009; Jing, 2009).
Perilaku bullying yang terjadi di sekolah dapat berdampak pada
perkembangan anak dan menimbulkan masalah lain dalam kehidupan anak. Bullying
yang terjadi di sekolah dapat menimbulkan trauma dan ketakutan pada anak sehingga
anak biasanya anak enggan pergi ke sekolah dan mengalami gangguan dalam proses
belajar. Selain itu, menurut hasil penelitian yang dilakukan yayasan SEJIWA pada
tahun 2006 menyebutkan bahwa selama periode tahun 2002-2005 telah terjadi 30
kasus bunuh diri yang menimpa korban bullying pada rentang usia 6-15 tahun
(Sahnaz, 2011).
Dampak lain dari perilaku bullying pada masa kanak-kanak erat kaitannya
dengan perilaku anti-sosial pada masa mendatang setelah anak tumbuh menjadi
remaja dan dewasa (Milsom & Gallo, 2006). Dari hasil penelitian yang dilakukan
Nansel and associates (2001) menemukan hubungan antara perilaku bullying dengan
perkelahian, penggunaan alkohol, merokok, dan kemampuan dalam menjalin
pertemanan. Pencapaian akademik yang rendah dan penghayatan iklim sekolah juga
berkaitan dengan perilaku bullying (Milsom & Gallo, 2006; National Crime
Prevention Centre of Canada, 2008).
Permasalahan bullying ini tidak hanya terjadi di sekolah menengah atas
maupun sekolah menengah pertama, akan tetapi telah banyak terjadi di sekolah
termasuk di sekolah dasar. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan menunjukan
bahwa sebesar 31,8% siswa sekolah dasar menyatakan pernah mengalami bullying
(Khairani, 2006). Selain itu, dampak yang timbul akibat perilaku bullying dapat
mempengaruhi kehidupan anak pada tahap perkembangan selanjutnya. Dampak ini
dapat terjadi baik pada pelaku maupun korban perilaku bullying.

II. Tinjauan Pustaka


A. Pengertian Bullying

Istilah bullying berasal dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti banteng.
Banteng merupakan hewan yang suka menyerang secara agresif terhadap siapapun
yang berada di dekatnya. Sama halnya dengan bullying, suatu tindakan yang
digambarkan seperti banteng yang cenderung bersifat destruktif. Bullying merupakan
sebuah kondisi dimana telah terjadi penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan yang
dilakukan oleh perseorangan ataupun kelompok. Penyalahgunaan kekuatan/kekuasaan
dilakukan pihak yang kuat tidak hanya secara fisik saja tetapi juga secara mental
(Sejiwa, 2008)
B. Bentuk Bullying
Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (Levianti, 2008) menyatakan bahwa bentukbentuk bullying yaitu:
1. Kontak fisik langsung
Merupakan gangguan berupa serangan secara fisik yang dilakukan oleh pelaku
kepada korban atau sasarannya dimana terlibat kontak langsung. Tindakan ini dapat
berupa memukul, mendorong, menendang, mencubit, dan lainnya yang merupakan
tindakan kekerasan.
2. Kontak verbal langsung
Merupakan serangan berupa kata-katayangdilisankan langsung dari pelaku
kepada korban. Tindakan ini dapat berupa ancaman, ejekan, mempermalukan,
menggertak, menyebarkan gosip, sikap negatif terhadap guru, dan memaki. Antara
anak laki-laki dengan perempuan memiliki suatu perbedaan dalam hal tindakan
bullying yang dilakukan. Anak laki-laki umumnya menggunakan kata-kata kasar, suka
menggoda, mengolok-olok teman dan lainnya. Pada anak perempuan biasanya
menjadi pencemburu, egois, pemarah dan bisa juga melampiaskannya dengan
membanting barang atau benda-benda lainnya.
3. Perilaku non-verbal langsung
Perilaku ini ditunjukkanmelalui gerakan tubuh pelaku bullying yang biasa
dikenal dengan bahasa tubuh, yang diperlihatkan secara langsung kepada sasaran atau
korbannya. Anak-anak biasanya melakukan hal seperti pandangan sinis, menunjukkan
ekspresi wajah yang merendahkan, memelototi, mengabaikan lawan bicara,
mengalihkan pandangan, dan gerakan-gerakan tubuh yang menghina orang lain.
4. Perilaku non-verbal tidak langsung.
Perilaku ini tidak melibatkan kontak langsung antara pelaku bullying dengan
korban.Perilakuyang dilakukan seperti mendiamkan seseorang, berbuat curang pada
orang lain atau sahabat yang menyebabkan keretakan persahabatan, dengan sengaja
mengucilkan teman, menghasut teman yang lain, mengirim SMS ancaman atau surat
kaleng tanpa ada nama pengirimnya. Perilaku ini dilakukan dengan maksud agar
lawan yaitu temannya sendirimerasa tidak nyaman, gelisah, terancam atau ketakutan.
5. Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual biasanya dilakukan oleh seorang laki-laki terhadap
perempuan. Pelecehan seksual dilakukan secara fisik atau lisan menggunakan ejekan

atau kata-kata yang tidak sopan untuk menunjuk pada sekitar hal yang sensitif pada
seksual. Secara fisik pelecehan seksual bisa dilakukan dengan sengaja memegang
wilayah-wilayah seksual lawan jenis. Pada tindak kekerasan seksual bisa juga terjadi
dalam bentuk penghinaan- penghinaan terhadap lawan jenis atau sejenis seperti
halnya mengatakan teman laki-laki bancibagi laki-laki yang berperilaku feminim.
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying
Bullying terjadi tidak hanya disebabkan oleh satu faktor saja tetapi setiap
bagian yang ada di sekitar anak juga turut memberikan kontribusi baik langsung
maupun tidak langsung dalam munculnya perilaku tersebut. Menurut Andri Priyatna
(2010:6-8) mengemukakan bahwa faktor-faktor tersebut antara lain:
1 Faktor dari Keluarga
Pola asuh dalam suatu keluarga mempunyai peran dalam pembentukan
perilaku anak terutama pada munculnya perilaku bullying. Keluarga yang menerapkan
pola asuh permisif membuat anak terbiasa untuk bebas melakukan segala sesuatu
yang diinginkannya. Anak pun juga menjadi manja, akan memaksakan keinginannya.
Anak juga tidak tahu letak kesalahannya ketika ia melakukan kesalahan sehingga
segala sesuatu yang dilakukannya dianggapnya sebagai suatu hal yang benar. Begitu
pula dengan pola asuh yang keras, yang cenderung mengekang kebebasan anak. Anak
pun terbiasa mendapatkan perlakuan kasar yang nantinya akan dipraktikkan dalam
pertemanannya bahkan anak akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang
wajar.Anantasari (2006:57) menyatakan bahwa lingkungan keluarga si anak apabila
cenderung mengarah pada hal-hal negatif seperti sering terjadi kekerasan (memukul,
menendang meja dan lain-lain), sering memaki-maki dengan menggunakan kata
kotor, sering menonton acara televisi yang mana terdapat adegan-adegan kekerasan
dapat berimbas pada perilaku anak. Sifat anak yang cenderung meniru (imitation)
akan melakukan hal yang sama seperti apa yang dilihatnya. Selain itu anak akan
membentuk kerangka pikir bahwa perilaku yang sering dilihatnya merupakan hal
yang wajar bahkan perlu untuk dilakukan.
6. Faktor dari Pergaulan
Teman sepermainan yang sering melakukan tindakan kekerasan terhadap
orang lain akan berimbas kepada perkembangan si anak. Anak juga akan melakukan
hal yang sama dengan apa yang dilakukan oleh teman-temannya. Selain itu anak baik
dari kalangan sosial rendah hingga atas juga melakukan bullying dengan maksud
untuk mendapatkan pengakuan serta penghargaan dari teman- temannya.
D. Karakteristik Pelaku Bullying (Bully)
Para orang tua dapat mengidentifikasi perilaku yang ditunjukkan oleh anakanaknya apakah mereka telah menjadi pelaku bullying bagi teman-teman sebayanya
karena anak yang sering melakukan bullyingmemiliki kecenderungan antara lain:

Anak sering cepat marah atau bahkan sering berdebat mengenai segala sesuatu
yang mungkin tidak sesuai dengan kehendaknya. Hal ini menunjukkan bahwa
anak tidak mendengarkan perintah orang tuanya (membantah).
7. Mengontrol atau mengendalikansituasi cepat dan memiliki kepercayaaan diri.
Banyak diantara anak memiliki rasa kepercayaan yang tinggi sehingga ingin
menindas temannya yang lebih lemah dan kurang percaya diri.
8. Mudah marah dan akan menunjukkan kemarahaannya kepada siapapun. Anak
kurang dapat mengontrol emosinya sehingga emosinya meledak-ledak dan anak
akan meluapkannya kepada orang yang ada di sekelilingnya.
9. Sering memerintah teman sebayanya layaknya orang yang memiliki kekuasaan
besar. Anak ingin selalu menjadi penguasa dan orang yang ditakuti oleh temantemannya.
10. Jarang menunjukkan empati terhadap orang lain. Melihat temannya merasa
ketakutan, bahkan kesakitan tidak membuat seorang pelaku bullying lantas
menghentikan tindakannya karena mereka kurang terlatih dan terbiasa untuk
menolong temannya, bahkan berbagi.
11. Pandai meyakinkan orang lain untuk mengikutinya. Anak akan memiliki banyak
pengikut yang nanti turut membantunya dalam mem-bully teman lainnya.
12. Ingin selalu menang. Anak akan melakukan segala cara agar dia selalu menjadi
pemenang dalam segala hal termasuk kekerasan karena menurutnya dialah orang
yang paling berkuasa.
13. Bermain fisik secara kasar. Dalam pergaulannya anak akan melakukan kekerasan
secara fisik misalnya saja mendorong, menjegal, menendang, mencubit,
menjambak, bahkan memukul temannya.
14. Seringkali menolak untuk bekerja sama. Anak-anak yang sering melakukan
bullying terhadap temannya akan susah untuk diajak bekerja sama karena mereka
pada kenyataannya akan menyuruh korban untuk melakukan segala
permintaannya. Mereka cenderung menjadi boss bagi teman sebayanya yang
lemah (Kathryn Robinson dalam Bullies and Victims:2).
E. Motivasi Bullying
Perilaku bullying tentu saja terjadi dengan dilatarbelakangi suatu alasan yang
kuat pada diri masing-masing anak.Alasan kuat inilah yang menjadi motivasi
tersendiri dalam melakukan penindasan anak yang satu dengan yang lain. Pelaku
bullying memiliki kepuasan tersendiri apabila ia menjadi penguasa di kalangan
teman-temannya. Dengan melakukan bullying, anak tersebut akan mendapatkan
pengakuan serta pelabelan dari teman sebayanya bahwa ia adalah orang yang hebat,
kuat, dan besar. Hal ini semakin mempertegas ketidakberdayaan dan betapa lemahnya
si korban di mata pelaku bullying.Selain itu, beberapa pendapat dari orang tua dalam
sebuah pelatihan mengenai mengapa anak-anak menjadi pelaku bullyingmenyebutkan
bahwa: (1) Anak-anak pernah menjadi korban bullying, (2) Anak memiliki keinginan
untuk menunjukkan eksistensi diri, (3) Ingin mendapatkan pengakuan, (4) Untuk

menutupi kekurangan diri, (5) Untuk mendapatkan perhatian, (6) Balas dendam, (7)
Iseng sekedar coba- coba, (8) Ikut-ikutan (Sejiwa, 2008:14-16). Berdasarkan pendapat
di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa anak-anak melakukan bullying
berdasarkan motivasi intrinsik dan ekstrinsik pada anak.
F. Karakteristik Korban Bullying
Menurut Joseph A. Dake, James H. Price, and Susan J. Telljohann (2003),
korban bullying mengalami rasa kesepian, memiliki harga diri yang rendah, cemas,
kurang populer daripada anak-anak lain, susah dalam menjalin hubungan pertemanan
sehingga cenderung menghabiskan banyak waktu sendirian.Selain itu, korban
bullying memiliki orang tua kurang responsif dan kurang mendukung si anak,
orangtua sering terlibat di kegiatan sekolah si anak, sehingga menjadikan anak yang
penurut dan cenderung tidak dapat mengambil sikap atau bahkan orang tuayang
bersikap keras kepada anak.
G. Intervensi
Identifikasi Perilaku Bullying
Marini, Spear dan Bombay (1999) mengemu- kakan sebuah model yang
dinamakan sebagai Model Asesmen Multidimensi Perilaku Buli. Model ini dapat
membantu menentukan dan mengidentifikasi perilaku buli. Model ini mempunyai tiga
komponen penting yang secara komprehensif memfokus kepada fenomena buli.
Komponen tersebut ialah; (1) lima ciri definisi perilaku buli, (2) empat jenis perilaku
buli yang khusus, (3) tiga kelompok utama yang terlibat dalam perilaku buli.
Ada lima ciri perilaku buli dalam Model Asesmen Multidimensi Perilaku Buli
yaitu; (1) perbedaan kuasa antara pembuli dan korban buli, (2) pola tingkah laku
agresif yang berulang-ulang, (3) kecenderungan un- tuk mengontrol dan
mencelakakan, (4) pem- bentukan suasana kecemasan, ancaman, pe- maksaan dan
ketakutan, (5) kecenderungan untuk merahasiakan atau menyembunyikan perilaku
buli.
Sementara itu, terdapat empat jenis perilaku buli khusus dalam dua kontinum.
Kontinum pertama ialah kontinum langsung kepada tidak langsung, yang sangat
berkaitan dengan kecenderungan untuk melakukan serangan. Perilaku buli secara
langsung umumnya ber- cirikan sebagai serangan terbuka terhadap korban, manakala
perilaku buli secara tidak langsung pula melibatkan serangan terhadap korban dalam
bentuk yang tersembunyi atau terlindung. Kontinum kedua menerangkan perbedaan
berbagai jenis tingkah laku agresif. Empat jenis perilaku buli yang khusus ialah
perilaku buli fisik, perilaku buli kognitif, perilaku buli sosial, dan perilaku buli emosi.
Kontinum dan jenis perilaku buli dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini.
Tabel 1. Model Identifikasi Multidimensi Perilaku Buli
Cara serangan

Fisik

Psikologis

Secara lang-sung

Secara tidak lang- sung

Fisik

Kognitif(verbal)

(1) Mendorong

(1) Mengejek

(2) Memukul

(2) Menghina

(3) Menendang

(3) Mengancam

Sosial(hubungan)

Emosi

(1) Melibatkan kelompok

(1)Menyebarkan fitnah
(2)Penyingkiran
(3)Penyisihan

(2) Menghasut untuk


menyerang

Sumber: Marini, Z.A., Spear, S., & Bombay, K. (1999)


Komponen ketiga dari model tersebut memperhitungkan dinamika sosial tiga
ke- lompok utama yang terlibat secara langsung dalam perilaku buli yaitu pembuli,
korban dan pengamat atau penonton. Pembuli cenderung untuk memilih korban yang
tidak berdaya menentang mereka dari aspek fisik, emosi, sosial dan intelektual. Dalam
konteks ini, korban yang tidak berdaya atau kurang ber- kemampuan berpotensi tinggi
dijadikan sa- saran. Korban buli pula berhubungan dengan ketidakmampuan atau
kekurangan korban dari aspek fisik, psikologi, penyisihan sosial, ke- sendirian, rasa
tidak aman, dan kepercayaan diri yang rendah.
Program Intervensi Sosial
Program intevensi sosial dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai program
pencegahan dan intervensi pemulihan sosial. Program pencegahan buli ialah usaha
menyeluruh dan terpadu pihak sekolah, yang dirancang dan didesain untuk
menyampaikan pesan kepada murid bahwa perilaku buli tidak diterima di sekolah.
Program sedemikian juga bertujuan untuk mengajar murid, guru, dan orang tua
tentang bagaimana memahami perilaku buli. Sekolah memerlukan program
pencegahan dan intervensi karena;
1 Perilaku buli secara serius memberi dampak terhadap emosi, fisik, dan pencapaian
akademik murid-murid yang menjadi korban buli.
15. Perilaku buli bisa menjadikan proses belajar dan mengajar menjadi tidak nyaman
dan
tidak
aman
di
sekolah.
Program pencegahan dan intervensi perilaku buli yang efektif tergantung
kepada beberapa komponen pengurangan dan pencegahan

perilaku buli. Melalui supervisi dan monitoring, peraturan, diskusi dan bimbingan,
program intervensi yang mantap dapat mengembangkan dan membentuk lingkungan
sekolah yang nyaman dan aman. Kesemua komponen dalam program pencegahan dan
intervensi membawa pesan bahwa perilaku buli ialah tingkah laku yang tidak diterima
di sekolah (Azizi Yahaya et al., 2007).
Program Pencegahan
Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa program pencegahan dan
intervensi yang dirancang dan didesain dengan baik bisa mengurangkan masalah
perilaku buli di sekolah, dan selanjutnya meningkatkan suasana lingkungan sekolah
yang selamat, nyaman dan kondusif. Program ini juga mempunyai pengaruh
pencegahan, penurunan persentase kasus-kasus buli yang baru dan kasus-kasus
perilaku menyimpang serta pelanggaran disiplin yang lain, seperti bergaduh,
vandalisme, dan bolos sekolah.
Ada banyak model program pencegahan yang ditawarkan oleh para ahli
diantaranya Model Olweus dan Model Rigby. Program pencegahan perilaku buli
Olweus ialah program berbagai tingkatan dan komponen yang berbasis sekolah.
Model ini dibentuk bagi mencegah perilaku buli di Sekolah Dasar dan Sekolah
Menengah. Program ini menggunakan kombinasi intervensi keseluruhan sekolah,
intervensi dalam kelas dan intervensi individu. Intervensi keseluruhan sekolah
melibatkan seluruh warga sekolah. Program ini dimulai dengan pembentukan
kepanitiaan pencegahan buli di sekolah bagi memantau keseluruhan program anti buli
di sekolah.
Sementara itu intervensi dalam ruang kelas dapat dilaksanakan guru dengan
mengadakan diskusi dan ceramah mengenai perilaku buli di sekolah. Guru juga dapat
membahas tentang dampak terhadap peraturan sekolah. Guru juga dapat melakukan
pertemuan dengan orang tua murid atau komite sekolah guna mendapatkan pandangan
dan dukungan mereka tentang langkah-langkah pencegahan dan tindakan berkaitan
dengan perilaku buli. Manakala intervensi pada tataran individu pula melibatkan
individu yang melakukan buli atau pembuli dan korban buli. Pembuli perlu
mendapatkan penanganan secara individual begitu pula korban buli dengan
melibatkan orang tua masing-masing.
Model pencegahan lain misalnya ditawarkan oleh Rigby (2002) yang
menyarankan sepuluh garis panduan bagi sekolah untuk menangani masalah perilaku
buli di sekolah. Garis panduan tersebut antara lain;
1 Mulai dengan pendefinisian perilaku buli yang jelas dan dapat diterima
16. Mengakui bahwa perilaku buli berlaku dalam berbagai bentuk
17. Mengenali apa yang berlaku di sekolah
18. Menyusun rencana tindakan
19. Menyediakan kebijakan anti bullying
20. Menyediakan media bagi murid atau kelompok murid tentang apa yang akan
dilakukan bagi membantu mereka

21. Mendorong tingkah laku yang dapat mendatangkan pengaruh positif terhadap
tingkah laku interpersonal murid
22. Mengatasi setiap kejadian bullying secara bijaksana
23. Menyediakan bantuan kepada murid yang menjadi korban buli
24. Bekerja secara konstruktif dengan pihak lain terutama orang tua atau komite
sekolah
Model Pemulihan Citizens Responsibility Program
Selain model pencegahan seperti disebutkan di atas, terdapat program
intervensi yang menggunakan pendekatan pemulihan (rehabilitation). Hal ini penting
sebagai peringatan kepada kita bahwa tidak jarang ditemukan kasus dimana korban
buli melakukan bunuh diri ketika dia sudah tidak sanggup menanggung penderitaan
fisik dan psikologis akibat perilaku buli terhadap dirinya (Underwood, Springer, &
Scott, 2011). Beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa perilaku buli di
sekolah berkorelasi yang signifikan dengan tingkah laku anti sosial dan kriminal. Cara
yang sesuai dan efektif untuk menyelesaikan lingkaran dan kaitan ini adalah melalui
pencegahan awal (Tremblay & Craig, 1995). Salah satu model intervensi yang dapat
digunakan untuk pemulihan korban buli adalah program Citizen Responsibility
Program.
Pendekatan pemulihan merupakan proses intervensi yang memberikan
gambaran yang jelas kepada pembuli bahwa tingkah laku buli adalah tingkah laku
yang tidak bisa dibiarkan berlaku di sekolah. Pendekatan ini meng- integrasikan
kembali murid yang telah mela- kukan kesalahan ke dalam komunitas sekolah supaya
menjadi murid yang mempunyai daya tahan, serta menjadi anggota komunitas sekolah
yang patuh dan berpegang kepada peraturan dan nilai-nilai yang berlaku. Dalam
intervensi ini, pembuli, korban dan komunitas murid (rekan sebaya) dibawah bersama
ke dalam program intervensi.
Program CRP (program warga negara yang bertanggungjawab) ini mempunyai
nilai utama yang ditekankan yaitu penghormatan, pertimbangan dan partisipasi.
Program inter- vensi ini menggariskan lima prinsip yaitu;
1 Mengharapkan yang terbaik dari orang lain. Prinsip ini menegaskan bahwa
pembuli dan dibuli adalah tingkah laku yang dapat diubah.
25. Bertanggungjawab adalah tingkah laku dan perasaan. Prinsip ini menegaskan
bahwa menangani tingkah laku buli memerlukan tindakan, dan seharusnya tidak
melibatkan cacian atau celaan terhadap seseorang sebagai individu
26. Mengakui, menerima perasaan dan kerusakan yang telah dilakukan. Prinsip ini
menegaskan bahwa kecederaan atau kerusakan akibat dari perilaku buli perlu
diterima
27. Perbaikan kerusakan atau kehancuran yang telah dilakukan. Prinsip ini
menegaskan bahwa kerusakan dan kehancuran yang telah dilakukan perlu ditebus.
28. Peduli tentang orang lain. Prinsip ini menegaskan bahwa pembuli dan korban buli
adalah anggota komunitas sekolah yang patut dihargai. Dukungan dari orang lain

perlu ditingkatkan melalui partisipasi dalam komunitas sekolah, yang senantiasa


peduli dan penuh perhatian.

DAFTARPUSTAKA

American Association of School Administrators. (2009). Bullying at school and


online. Education.com Holdings, Inc.
Olweus, D. (1993). Bullying at school. Oxford: Blackwell Publishing
Heath, M.A., & Sheen, D. (2005). School-based crisis intervention: preparing all
personel to assist. New York : The Gilford Press.
National Crime Prevention Centre. (2008). Bullying Prevention: Nature and Extent of
Bullying in Canada. dari http://www.publicsafety.gc.ca/res/cp/res/2008-bp-01eng.aspx

Sahnaz,
Y.
(2011).
Stop
bullying
pada
anak.
http://edukasi.kompasiana.com/2011/06/18/stop-bullying-pada-anak/

dari

Milsom, A., & Gallo, L.L. (2006). Bullying in middle school: prevention and
intervention. Middle School Journal, 37 (3): 12-19.
Khairani,A. (2006). Modul program pendidikan : Pencegahan perilaku bullying di
sekolah dasar. Tesis master tidak dipublikasikan, Universitas Indonesia, Jakarta,
Indonesia.
Sejiwa. (2008). Bullying:Mengatasi Kekerasan di Sekolah dan Lingkungan Sekitar
Anak. Jakarta: PT. Grasindo.
Levianti. (2008). Konformitas dan Bullying Pada Siswa. Jurnal Psikologi. Vol 6.
No.1. 2008. 4.
Andri Priyatna. (2010). Lets End Bullying: Memahami, Mencegah & Mengatasi
Bullying. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.

You might also like