You are on page 1of 19

BAB I

PENDAHULUAN

Selama beberapa dekade yang lalu, parut uterus dipercaya merupakan


kontraindikasi untuk melakukan persalinan normal karena dapat mengakibatkan
ruptur uterus. Pada tahun 1916, Cragin membuat pernyataannya yang dikenal
Once a cesarean, always a cesarean. Namun, saat ini pernyataan tersebut tidak
lagi dipakai. Saat pernyataan tersebut dikeluarkan, seksio sesarea dilakukan
dengan sayatan vertikal pada korpus uteri (secara klasik). Sekarang umumnya
memakai teknik sayatan melintang pada segmen bawah rahim. Di tahun 70-an dan
awal 80-an seksio sesarea meningkat cepat. Di tahun 90-an dilaporkan di dunia ini
wanita melahirkan dengan seksio sesarea meningkat 4 kali dibandingkan 30 tahun
sebelumnya.
Antara 1970 dan 1988, tingkat kelahiran sesar di Amerika Serikat meningkat
drastis dari 5% menjadi hampir 25%. Penyebabnya diantaranya adalah praktek
forsep midpelvic menurun dan pengiriman kehamilan dengan letak sungsang,
meningkatkan keamanan melalui bedah caesar dan meningkatkan ketergantungan
terus menerus terhadap pemantauan FHR elektronik. VBAC adalah modalitas
terbaik untuk mengurangi tingkat seksio sesarea secara keseluruhan dan berbagai
pedoman yang dibingkai untuk mendorongnya.
Selama periode (1989-1996), tingkat VBAC meningkat, begitu pula jumlah
laporan publikasi mengenai ruptur rahim dan komplikasi lain dari VBAC. ACOG
maka memberi pedoman yang spesifik mengenai VBAC yang harus di lakukan di
setiap

fasilitas

kesehatan

dengan

tenaga

kesehatan

yang

siap menanggapi keadaan darurat disertai tersedianya dokter untuk memberikan


perawatan darurat, namun VBAC juga dilaksanakan oleh dokter non-institusi
yang tidak memiliki kesiapan penanganan darurat. Hal ini memberikan kontribusi
peningkatan kejadian sesar meningkat sebanyak 26,1% pada tahun 2002,
sedangkan tingkat VBAC menurun dari 55% menjadi 12,6%.

Dengan dikembangkannya persalinan pervaginam pada parut uterus (vaginal birth


after cesarean/VBAC) atau dikenal pula sebagai Trial of Labor After Cesarean
(TOLAC) angka persalinan dengan parut uterus meningkat. Ini dapat terlihat di
Amerika Serikat pada tahun 1996 hampir 30% menjalani persalinan pervaginam
pada wanita yang sebelumnya pernah seksio sesarea.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Vaginal Birth After Cesarean (VBAC) adalah proses persalinan per
vaginam yang dilakukan terhadap pasien yang pernah mengalami seksio
sesarea pada kehamilan sebelumnya atau pernah mengalami operasi pada
dinding rahim (misalnya satu atau lebih miomektomi intramural).

2.2

Epidemiologi

2.3

Parut Uterus
2.2.1

Kehamilan dengan Parut Uterus


Konseling wanita hamil dengan parut uterus umumnya sama
seperti kehamilan normal, hanya yang harus diperhatikan adalah
penekanan pada pada hal berikut:
a. Persalinan harus dilakukan di rumah sakit dengan peralatan
yang memadai dan lengkap
b. Konseling KB untuk memilih keluarga kecil dengan cara
kontrasepsi mantap.

2.2.2

Persalinan dengan Parut Uterus


Terdapat empat indikasi utama untuk melakukan seksio sesarea
yaitu distosia, gawat janin, kelainan letak, dan parut uterus.
Kehamilan dan persalinan dengan riwayat seksio sesarea memiliki
risiko tinggi untuk terjadinya morbiditas dan mortalitas yang
berhubungan dengan parut uterus. Kejadian dehihensi parut uterus
(robekan tersembunyi/occult dari uterus) dan ruptur uterus
meningkat dengan bertambahnya jumlah seksio sesarea pada
kehamilan berikutnya.

3.3

Indikasi dan Kontraindikasi VBAC


Rencana VBAC sesuai untuk dilaksanakan dan dapat ditawarkan kepada
sebagian besar wanita dengan kehamilan tunggal, presentasi kepala pada
gravid 37 minggu atau lebih yang mengalami satu kali sesar dengan teknik
insisi horizontal segmen bawah rahim (pfanenstil/mediana), dengan atau
tanpa riwayat kelahiran pervaginam sebelumnya (Royal College of
Obstetricians and Gynecologists Guideline, 2015)
3.3.1

Indikasi VBAC
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

Taksiran berat janin < 3500 gram


Ibu bersedia dilakukan VBAC (informed consent)
Tidak ada tanda-tanda CPD
Tebal SBU (segmen bawah uterus) > 2,5 mm
Usia kehamilan cukup bulan (37 minggu 41 minggu)
Presentasi belakang kepala (verteks) dan janin tunggal
Ketuban masih utuh atau sudah pecah tak lebih dari enam jam
Tidak ada tanda-tanda infeksi
Janin dalam keadaan sehat dengan pemeriksaan denyut jantung
janin (Doppler atau non-stress testing).

3.3.2

Kontraindikasi Mutlak
a. Seksio sesarea terdahulu adalah seksio korporal (klasik)
b. Adanya hemoragia antepartum oleh sebab apapun
c. Terbukti bahwa seksio sebelumnya adalah karena cephalo
pelvic
d. dysproportion (CPD).

e.
f.
g.
h.
i.
j.
3.3.3

Kontraindikasi Relatif
a.
b.
c.
d.

3.4

Malpresentasi atau malposisi


Bayi besar (makrosomia)
Seksio sesaria lebih dari satu kali
Kehamilan post term (> 42 minggu) dengan pelvic score rendah
Terdapat tanda-tanda hipoksia intrauterin (dari frekuensi bunyi
jantung janin, non-stress testing atau contraction stress testing)

Kehamilan kembar/gemeli
Hipertensi dalam kehamilan, termasuk preeklampsia
Seksio terdahulu pasien dirawat lebih dari sewajarnya (> 7 hari)
Operasi terdahulu berupa miomektomi multipel

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan VBAC


Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio
sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah
syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau tidak. Setelah mengetahui ini
dokter mendiskusikan dengan pasien tentang pilihan serta risiko masingmasingnya. Tentu saja menjadi hak pasien untuk meminta jenis persalinan
mana yang terbaik untuk dia dan bayinya.
Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan VBAC telah diteliti
selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan dengan
tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea,
yakni:
4.3.1

Teknik Operasi Sebelumnya


Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim
transversal merupakan salah satu syarat dalam melakukan VBAC,
dimana pasien dengan tipe insisi ini mempunyai risiko ruptur yang
lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya. Bekas seksio sesarea
klasik, insisi T

pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada

seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas


merupakan kontraindikasi melakukan VBAC. Menurut American
College of Obstetricians and Gynecologists, tidak ada perbedaan

dalam mortalitas maternal dan perinatal pada insisi seksio sesarea


transversalis atau longitudinalis.
4.3.2

Jumlah Seksio Sesarea Sebelumnya


VBAC tidak dilakukan pada pasien dengan insisi korporal
sebelumnya maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua
kali berurutan atau lebih, sebab pada kasus tersebut seksio sesarea
elektif adalah lebih baik dibandingkan persalinan pervaginam.
Risiko ruptur uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio
sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu
kali mempunyai risiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptur
uteri. Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea 2 kali adalah sebesar
1.8 3.7 %. Pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai
risiko ruptur uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea
satu kali.
Menurut Spaan (1997) bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih
satu kali mempunyai risiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi.
Menurut Jamelle (1996) menyatakan diktum sekali seksio sesarea
selalu seksio sesarea tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju
dengan pernyataan bahwa setelah dua kali seksio sesarea selalu
seksio sesarea pada kehamilan berikutnya, dimana diyakini bahwa
komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi. Menurut Farmakides
(1987) dalam Miller (1994) melaporkan 77% dari pasien yang
pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan
persalinan pervaginam dan berhasil dengan luaran bayi yang baik.
Menurut Cunningham (2001), American College of Obstetricians
and Gynecologists pada tahun 1999 telah memutuskan bahwa
pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan
pervaginam dengan pengawasan yang ketat. Menurut Miller
(1994), bahwa insiden ruptur uteri terjadi 2 kali lebih sering pada
VBAC dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Pada

penelitian ini, jumlah VBAC dengan riwayat seksio sesarea 1 kali


adalah 83% manakala 2 kali atau lebih adalah 17%.
4.3.3

Penyembuhan Luka pada Seksio Sesarea Sebelumnya


Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya
melalui sayatan horizontal, kadang-kadang pemotongan atas bawah
yang disebut insisi kulit vertikal. Kemudian pemotongan
dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang ditutupi oleh
kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 % insisi
uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan horizontal (seperti
potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut "Low
Transverse Cesarean Section". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan
sembuh dalam 26 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan
potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan
ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini
mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi
sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya.
Menurut Depp R (1996) dianjurkan VBAC, kecuali ada tandatanda ruptur uteri mengancam, parut uterus yang sembuh
persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya
penyulit obstetrik lain ditemui. Pemeriksaan USG trans abdominal
pada kehamilan 37 minggu dapat mengetahui ketebalan segmen
bawah rahim. Ketebalan segmen bawah rahim (SBR) > 4,5 mm
pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh
sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika
ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada
kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih
cara persalinan bekas seksio sesarea.

Menurut

Cunningham

FG

(2001)

menyatakan

bahwa

penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari


fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik.
Menurut Cunningham FG (1993), dasar dari keyakinan ini adalah
dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas
sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada
prinsipnya :
1. Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan
sikatrik pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan
2. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik
atau hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan
dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya.
Menurut Schmitz (1949) dalam Srinivas (2007), kekuatan sikatrik
pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat
dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan
memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan
beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan).
Ternyata pada regangan maksimal terjadi ruptur bukan pada
jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan miometrium pada kedua
sisi sikatrik. Berdasarkan laporan-laporan klinis pada uterus gravid
bekas seksio sesarea, bagian yang mengalami ruptur selalu terjadi
pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Hal ini
menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih
kuat dari jaringan miometrium itu sendiri.
Penyebab gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan
lemahnya jaringan parut, yakni:
1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses
penyembuhan luka.
2. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak
tepatnya pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu

kencang, jarak jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang


tidak tepat, dan lain-lain.
Jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis
jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan
kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun
technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik.
Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan
sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan
pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat mengurangi
kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi
panduan apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea
dapat dilaksanakan atau tidak.
Sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama
kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas
seksio sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang
menjalani persalinan pervaginam.
4.3.4

Indikasi Operasi pada Seksio Sesarea yang Lalu


Indikasi

seksio

sesarea

sebelumnya

akan

mempengaruhi

keberhasilan VBAC. Ibu dengan penyakit CPD (Disproporsi


sefalo-pelvik) memberikan keberhasilan persalinan pervaginam
sebesar 6065 %, fetal distress memberikan keberhasilan sebesar
6973%. Keberhasilan VBAC ditentukan juga oleh keadaan
dilatasi serviks pada waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu.
VBAC berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada
pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginam
menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan
pada keadaan distosia pada kala II (Cunningham FG, 2001).

Menurut

Troyer

(1992)

pada

penelitiannya

mendapatkan

keberhasilan penanganan VBAC boleh dihubungkan dengan


indikasi seksio sesarea yang lalu seperti pada tabel dibawah ini :
Hubungan indikasi seksio sesarea lalu dengan
keberhasilan penanganan VBAC Indikasi seksio
yang lalu
Letak sungsang
Fetal distress
Solusio plasenta
Plasenta previa
Gagal induksi
Disfungsi persalinan

80.5
80.7
100
100
79.6
63.4

Indikasi seksio sesarea sebelumnya akibat CPD atau distosia tidak


disarankan untuk menjalani VBAC. Pada studi meta analisis,
Rosen et al menunjukkan bahwa wanita dengan riwayat seksio
sesarea atas indikasi CPD, memiliki risiko 2 kali lebih besar untuk
kegagalan VBAC.
Hal yang perlu diperhatikan untuk menentukan prognosis
persalinan pervaginam dengan parut uterus adalah sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Jenis sayatan yang telah dilakukan pada operasi terdahulu.


Indikasi operasi seksio sesarea terdahulu
Jenis operasi terdahulu berupa elektif atau emergensi
Adanya komplikasi operasi terdahulu atau tidak.

4.3.5

Riwayat

Persalinan

Pervaginam

Pasien dengan riwayat persalinan pervaginam sebelumnya


memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi untuk menjalani
VBAC dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki riwayat.
Dikatakan keberhasilan VBAC mencapai 89% pada pasien dengan
riwayat persalinan pervaginam sebelumnya. Sebaliknya, 70%
keberhasilan dicapai oleh pasien tanpa riwayat persalinan
pervaginam sebelumnya.
4.3.6

Karakteristik Maternal
Beberapa studi penelitian menunjukkan berat dan tinggi badan dari
ibu mempengaruhi penentuan jenis persalinan. Ibu dengan
perawakan pendek dan yang obesitas lebih cenderung untuk
menjalani jenis persalinan seksio sesarea. Berhubungan dengan
persalinan pervaginam pada parut uterus, beberapa penelitian
menunjukkan wanita dengan obesitas memiliki risiko tinggi untuk
terjadinya kegagalan dalam persalinan pervaginam. Usia maternal

juga diteliti mempengaruhi proses persalinan pervaginam pada


parut uterus. Wanita berusia lebih dari 40 tahun memiliki risiko 3
kali lebih tinggi gagal persalinan pervaginam pada parut uterus.
4.3.7

Berat Lahir Janin


Berat lahir lebih dari 4000 g dihubungkan dengan kegagalan dalam
persalinan pervaginam pada wanita dengan riwayat seksio sesarea
sebelumnya.

4.3.8

Pembukaan Serviks pada Seksio Sesarea sebelumnya


Hoskin dan Gomez (1997) menganalisis tingkat keberhasilan
VBAC pada 1917 wanita berhubungan dengan dilatasi servikal
yang dicapai sebelum dilakukan seksio sesarea. Untuk wanita
dengan seksio yang dilakukan pada pembukaan 5 cm,
keberhasilan VBAC mencapai 67%. Sedangkan 73% keberhasilan
dicapai jika pembukaan serviks mencapai 6-9 cm.

4.3.9

Induksi Persalinan
Penggunaan oksitosin dan prostaglandin untuk menginduksi
persalinan pada pasien dengan parut uterus dapat meningkatkan
risiko ruptur uterus. Risiko ruptur uterus meningkat 2-3 kali pada
mereka yang menjalani persalinan dengan induksi.

4.3.10 Usia Kehamilan


Semakin besar usia kehamilan, semakin kecil tingkat keberhasilan
VBAC.

4.3.11 Rentang waktu antar kehamilan


Lama waktu antarkehamilan juga mempengaruhi keberhasilan
VBAC. Wanita dengan rentang antarkehamilan lebih dari 18 bulan
memiliki 86% kesempatan berhasilnya VBAC, sedangkan dengan

rentang yang kurang dari 18 bulan tingkat keberhasilan mencapai


79%.
4.4

Skor VBAC
Skor VBAC dinilai saat sudah inpartu, untuk mengevaluasi apakah VBAC
benar-benar dapat dilakukan. Bila dirasa tidak memungkinkan, tidak
menutup kemungkinan akan dilakukan SC kembali untuk keselamatan ibu
dan janin.
Skor Alami
Kriteria
Riwayat persalinan sebelumnya
Indikasi SC sebelumnya

Skor
2

Sungsang, gawat janin, plasenta 2


previa, SC selektif
distosia pada < 5

distosia pada > 5


Dilatasi serviks

4 cm

2 4 cm

< 2 cm
Station dibawah 2

Panjang serviks 1 cm
Persalinan timbul spontan

1
1

Jumlah skor dan persentase keberhasilan:


7 9 94, 5 %
4 6 78, 8 %
0- 3 60 %
Ketebalan segmen bawah uterus (SBU) yang diketahui dari USG juga
perlu dinilai sebagai prediksi untuk terjadinya risiko ruptur uterus.
Tebal SBU dan probabilitas kegagalan VBAC
4, 5

:0%

3, 6 4, 5

: 0, 6 %

2, 6 3, 5

: 6,6 %

< 2, 5

: 9, 8 %

Kemungkinan ruptur pada BSC juga berkaitan dengan tipe insisi SC.
Transversal

: 0, 3 2, 5 %

Klasik

:49%

Skor Weinstein
Nilai bishop 4
Persalinan pervaginam sebelumnya
Indikasi SC yang lalu:
A. Malpresentasi

Skor
4
2
6

HDK / PEB
Gemelli
B. Plasenta

previa/solusio 4

plasenta
Prematuritas
KPD

C. Gawat Janin
CPD/ distosia

D. Makrosomia
IUGR
Nilai:

4 58 %
6 67 %
8 78 %
10 85 %
12 88 %

4.5

Pelaksanaan VBAC
a. Pasien dirawat pada usia kehamilan 38 minggu atau lebih dan
dilakukan persiapan seperti persalinan biasa.

b. Dilakukan pemeriksaan NST atau CST (bila sudah inpartu), jika


memungkinkan lakukan continuous electronic fetal heart monitoring.
c. Kemajuan persalinan dipantau dan dievaluasi seperti halnya persalinan
biasanya, yakni menggunakan partograf standar.
d. Setiap patologi persalinan atau kemajuannya, memberikan indikasi
untuk segera mengakhiri persalinan itu secepatnya (yakni dengan
seksio sesarea kembali).
e. Kala II persalinan sebaiknya tidak dibiarkan lebih dari 30 menit,
sehingga harus diambil tindakan untuk mempercepat kala II (ekstraksi
forseps atau ekstraksi vakum) jika dalam waktu tersebut bayi belum
lahir.
f. Dianjurkan

untuk

melakukan

eksplorasi/pemeriksaan

terhadap

keutuhan dinding uterus setelah lahirnya plasenta, terutama pada lokasi


irisan seksio sesarea terdahulu.
g. Dilarang keras melakukan ekspresi fundus uteri (perasat Kristeller).
h. Apabila syarat-syarat untuk persalinan per vaginam tak terpenuhi
(misalnya kala II dengan kepala yang masih tinggi), dapat dilakukan
seksio sesarea kembali.
i. Apabila dilakukan seksio sesarea kembali, diusahakan sedapat
mungkin irisan mengikuti luka parut terdahulu, sehingga dengan
begitu hanya akan terdapat 1 (satu) bekas luka/irisan.

4.6

Komplikasi VBAC
Risiko terhadap ibu yang melakukan persalinan pervaginam dibandingkan
dengan seksio sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea adalah
sebagai berikut:
a. Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan
pervaginam yang berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan
elektif
b. Pada persalinan pervaginam yang gagal yang dilanjutkan dengan
seksio sesarea insiden demam lebih tinggi
c. Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan
pervaginam dibanding dengan seksio sesarea elektif.
d. Dehisensi atau ruptur uteri setelah gagal persalinan pervaginam adalah
2.8 kali dari seksio sesarea elektif.

e. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan


pervaginam sangat rendah
f. Kelompok persalinan pervaginam mempunyai rawat inap yang lebih
singkat, penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan
penurunan insiden demam paska persalinan dibanding dengan seksio
sesarea elektif.
Rosen melaporkan angka kematian perinatal 1.4% dari hasil penelitian
terhadap lebih dari 4.500 persalinan pervaginam. Rosen juga melaporkan
resiko kematian perinatal pada persalinan percobaan adalah 2.1 kali lebih
besar dibanding seksio sesarea elektif (p<0.001). Namun jika berat badan
janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat tidak diperhitungkan maka
angka kematian perinatal dari persalinan pervaginam tidak berbeda
bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif. Flamm (1994) melaporkan
angka kematian perinatal adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup pada
persalinan pervaginam, angka ini tidak berbeda bermakna dari angka
kematian perinatal dari rumah sakit yang ditelitinya 10 per 1.000 kelahiran
hidup.
Cowan (1994) melaporkan sebagian besar 463 dari 478 (97 %) dari bayi
yang lahir pervaginam mempunyai Apgar skor pasda 5 menit pertama
adalah 8 atau lebih. Mahon (1996) melaporkan bahwa apgar skor bayi
yang lahir tidak berbeda bermakna pada persalinan pervaginam dibanding
seksio sesarea ulangan elektif. Hook (1997) melaporkan morbiditas bayi
yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal persalinan
pervaginam lebih tinggi dibandingkan dengan yang berhasil persalinan
pervaginam. Dan morbiditas bayi yang berhasil persalinan pervaginam
tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal.
Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan
pervaginam adalah ruptur uteri. Ruptur jaringan parut bekas seksio
sesarea sering tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang
khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptur uteri pada bekas seksio sesarea
insisi Segmen Bawah Rahim lebih kecil dari 1% (0,20,8%). Kejadian

ruptur uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio


sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of
Obstetricans and Gynekologists adalah sebesar 49%. Farmer melaporkan
kejadian ruptur uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sesarea
sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7%
Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan
keluar dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan
menyebabkan perdarahan pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta
ibu. Kadang-kadang harus dilakukan histerektomi emergensi. Kasus
ruptur uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik dibandingkan
dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptur uteri pada
seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada
segmen bawah rahim 0,5-1 %.
Tanda yang sering dijumpai pada ruptur uteri adalah denyut jantung janin
tak normal dengan

deselerasi variabel yang lambat laun menjadi

deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut janin tak terdeteksi. Gejala


klinis tambahan adalah perdarahan pervaginam, nyeri abdomen, presentasi
janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu.
Tanda-tanda ruptur uteri adalah sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Nyeri akut abdomen


Sensasi popping (seperti akan pecah)
Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan leopold
Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi
Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam
Perdarahan pervaginam

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan
persalinan pervaginam karena risiko ruptur 2-10 kali dan kematian
maternal dan perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio
sesarea pada segmen bawah rahim.

Alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan persalinan


pervaginam. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea
lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah
yang banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah
lama rawatan masa nifas di rumah sakit serta akan memperpanjang
perawatan di rumah dibandingkan persalinan pervaginam sehingga
terdapat peningkatan beban biaya rumah sakit yang lebih mahal.
Meskipun angka kejadian ruptur uteri pada persalinan pervaginam setelah
seksio sesarea rendah, tetapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada
janin dan ibu. Sebagai antisipasi, perlu dilakukan monitoring pada
persalinan ini. Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan
manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada waktu persalinan.
Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor kardiotokografi
kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intrauterin dapat membantu
untuk mengidentifikasi ruptur uteri lebih dini sehingga respon tenaga
medis bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi
ruptur uteri.

DAFTAR PUSTAKA
Cunningham FG, Bangdiwala S, Brown SS, Dean TM, Frederiksen M, Rowland
Hogue CJ, et al. Vaginal Birth After Cesarean: New Insights. National Institutes
of Health Consensus Development Conference Statement. 2010; 115(6):1279
1295.

You might also like