Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah kesehatan
terus
berkembang
mengikuti
perkembangan
ilmu
pengetahuan dan teknologi serta masyarakat yang dinamis, semakin memacu tenaga
kesehatan untuk terus meningkatkan kuantitatif dan pelayanan dalam upaya mencapai
tujuan pembangunan kesehatan. Walaupun pengetahuan semakin berkembang tapi
bisa saja dalam menangani suatu penyakit tidak begitu efisien, apalagi dengan pasien
post operasi harus memerlukan penanganan yang berkompetent.
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebabnya antara lain yaitu ulkus peptik, inflamasi divertikulum kolon sigmoid,
trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn, kolitis ulserasi, dan tumor ganas.
Perforasi dapat terjadi di rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung
buatan (perforatio tecta) (Black dan Hawks, 2014).
Perforasi terjadi apabila isi dari kantung masuk ke dalam kavum abdomen,
sehingga menyebabkan terjadinya peritonitis. Contohnya seperti pada kasus perforasi
gaster atau perforasi duodenum. Selain itu, 10 15 % pasien yang didiagnosa
divertikulitis akut akan berkembang menjadi perforasi. Pasien biasanya akan datang
ke tempat perawatan dengan gejala peritonitis umum. Kadar mortalitas secara
relatifnya tinggi yaitu hampir 20 40 %. Kebanyakkan disebabkan oleh komplikasi
seperti syok septik kegagalan multi organ (Smeltzer dan Bare, 2002).
Salah satu cara penanganan pada pasien dengan perforasi gaster adalah dengan
pembedahan laparotomy, penyatatan pada dinding abdomen. Laparotomi adalah suatu
pembedahan yang dilakukan pada bagian abdomen untuk mengetahui suatu gejala
dari penyakit yang diderita oleh pasien, suatu lokasi yang mungkin untuk dilakukan
tindakan laparotomy (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada pasien post operasi laparatomi
seorang pasien memerlukan perawatan yang maksimal demi mempercepat proses
kesembuhan luka pasca bedah bahkan penyembuhan fisik pasien itu sendiri.
Pengembalian fungsi fisik pasien post-op laparatomi dilakukan segera setelah operasi
dengan latihan napas dan batuk efektf, latihan mobilisasi dini (Black dan Hawks,
2014).
Setiap prosedur pembedahan harus menjalani anestesi dan melalui tahap pasca
bedah, maka setiap pasien yang selesai menjalani operasi dengan anestesi umum
maupun anestesi regional terlebih dahulu dirawat di ruang pemulihan sebelum pindah
ke ruang perawatan atau langsung dirawat di ruang intensif. Fase pasca operatif bisa
terjadi kegawatan, sehingga perlu pengamatan serius dan harus mendapat bantuan
fisik dan psikologis sampai kondisi umum stabil. Dalam manajemen postoperatif,
mempertahankan denyut jantung dan tekanan darah dalam batas normal akan
memberikan hasil yang optimal pada pasien selama masa pemulihan (Black dan
Hawks, 2014).
Tindakan operasi atau pembedahan selain dapat menimbulkan nyeri, trauma,
juga dapat menimbulkan gejala kardiovaskuler berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan laju jantung dan disritmia. Hal ini dikaitkan dengan respon stress dan
reflex simpatis yang berlebihan. Respon fisiologis terhadap nyeri meliputi stimulus
simpatik: dilatasi saluran bronkhial dan peningkatan respirasi rate, peningkatan heart
rate, vasokonstriksi perifer, peningkatan nilai gula darah, diaphoresis, peningkatan
kekuatan otot, dilatasi pupil, dan penurunan motilitas gastro intestinal. Anestesi
mengubah atau memodifikasi respon stress, yang dapat diubah lebih lanjut dengan
menggunakan teknik seperti anestesi lokal ataupun penggunaan opium dosis tinggi.
Selama anestesi, denyut jantung dan tekanan darah dipertahankan dalam batas normal.
Sebagian besar pasien akan mentolerir denyut jantung pasca operasi antara 50 hingga
100 denyut jantung per menit. Intervensi pembedahan seperti laparotomi
meningkatkan perubahan yang signifikan pada laju jantung dan parameter variabilitas
laju jantung menunjukkan aktivasi simpatik dan nyeri yang berlangsung selama 24
jam (Black dan Hawks, 2014). Pada pasien post operasi laparotomy dapat
menyebabkan depresi pernafasan kemudian saturasi menurun atau tidak sadar karena
pengaruh
anestesi
perlu
manajemen
pernafasan
dengan
cara
pemasangan
pada tahun 2008 terdapat 172 kasus laparotomy, lalu pada tahun 2009 terdapat 182
kasus pembedahan laparotomy.
Berdasarkan latar belakang diatas kelompok tertarik untuk melakukan
penyusunan makalah dengan kasus Ny. S dengan Post Op Laparotomi e.c. Perforasi
Gaster di Ruang Perawatan Intensif Care Unit (ICU) RSUP Fatmawati Jakarta.
B. Rumusan Masalah
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek dari
dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke dalam
rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk terjadinya
kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan istilah
peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia yang
disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi dalam
bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus kegawatan
bedah. Pada kasus ini didapatkan seorang wanita berusia dengan post laparotomy
e.c perforasi gaster.
C. Tujuan Penulisan
1. Tujuan umum
Untuk menjelaskan gambaran proses asuhan keperawatan pasien dengan post
laparotomy e.c. perforasi gaster yang masuk ke ICU atas indikasi asidosis
metabolic, terpasang ET dan ventilator mekanik.
2. Tujuan Khusus
a. Dapat menggambarkan hasil pengkajian, analisa data, perumusan masalah
keperawatan klien dengan post laparotomy e.c. perforasi gaster.
b. Dapat menjelaskan rencana tindakan keperawatan, implementasi serta evaluasi
Daftar Pustaka
Black, Joyce M. & Jane Hokanson Hawks. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen
Klinis Untuk Hasil yang Diharapkan Edisi 8 Bahasa Indonesia. Singapura: Elsevier inc.
Smeltzer & Bare. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8 Volume 3. Jakarta:
EGC.
Depkes RI. (2007). Keperawatan Dasar Ruangan. Jakarta.
Harsono. (2005). Buku Ajar Tentang Intubasi. Jakarta: EGC.
Mubarak. (2008). Asuhan Keperawatan Dasar Manusia Teori dan Aplikasi dalam Praktek.
Jakarta: EGC.