You are on page 1of 50

DEFINISI ADMINISTRASI PEMERINTAHAN DAERAH

Administrasi pemerintah daerah, terdiri dari 3 kata yaitu administrasi, pemerintah dan
daerah. Administrasi dapat diartikan dalam 2 hal yaitu administrasi dalam arti sempit dan
administrasi dalam arti luas. Secara sempit administrasi diartikan sebagai kegiatan yang bersifat
tulis menulis tentang segala sesuatu yang terjadi dalam organisasi, jadi kegiatan yang dimaksud
tidak lebih dari kegiatan tata usaha. Seperti mengetik, mengirim surat, mencatat keluar dan
masuk surat, penyimpanan arsip dan yang termasuk pada proses pelayanan lainnya.
Sedangkan administrasi dalam arti luas merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mencapai tujuan. Kegiatan-kegiatan ini meliputi kegiatan perencanaan, pengorganisasian,
penggerakan dan pengawasan. Dalam pengertian luas ini, pengertian tata usaha termasuk
didalamnya. Administrasi yang dimaksud tidak hanya pada badan-badan pemerintah saja, tetapi
juga terdapat pada badan-badan swasta.
Kemudian, kita masuk dalam pengertian administrasi pemerintah. Pada hakekatnya
administrasi pemerintah adalah administrasi Negara dalam arti sempit. Administrasi Negara
dalam arti luas sebagai obyeknya adalah Negara lengkap dengan badan-badan Negara baik itu
eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Sedangkan dalam arti sempit yang menjadi obyek adalah
pemerintah (eksekutif). Administrasi pemerintah berhubungan dengan kegiatan-kegiatan
pemerintahan yang dapat dikelompokkan dalam 3 fungsi/kegiatan dasar yaitu: perumusan
kebijakan, pelaksanaan tugas administrasi , pengunaan dinamika administrasi.
1. Perumusan Kebijakan

Perumusan kebijakan politik pemerintah dalam system pemerintahan kita didasarkan


pada kebijakan politik yang lebih tinggi. Sebagai ilustrasi presiden dan para menteri yang
bersangkutan menetapkan kebijakan pemerintah dibidang ideology, politik, ekonomi, social
budaya dan hankam dengan berpedoman pada UUD 1945, ketetapan-ketetapan MPR dan
berbagai UU yang berlaku. Adapun langkah-langkah dalam perumusan kebijakan adalah
sebagai berikut:
Analisis yang baik terhadap keadaan-keadaan yang nyata
Melakukan perkiraan (forecast) keadaan-keadaan yang akan dating dan menyusun alternativealternatif langkah kegiatan yang harus ditempuh.
Menyusun strategi
Pengambilan keputusan.
2. Pelaksanaan Tugas Administrasi
Pelaksanaan tugas administrasi adalah merumuskan kebijakan pelaksanaan dari kebijakan politik
pemerintah yang telah ditetapkan sebelumnya. Para pejabat yang bertugas merumuskan
kebijakan pelaksanaan/operasional adalah para pejabat professional yang pada umumnya
bekerjan pada kantor-kantor menteri negara/ departemen teknis/ lembaga-lembaga pemerintah
yang secara fungsional mempunyai keahlian dalam bidangnya masing-masing.
Pelaksanaan tugas administrasi ini meliputi kegiatan-kegiatan pengaturan/ pengendalian
dibidang:
Struktur organisasi
Keuangan
Kepegawaian

Sarana/peralatan
3. Penggunaan Dinamika Administrasi
Semua kebijakan yang telah ditetapkan perlu dilaksanakan secara operasional agartercapai tujuan
yang dimaksud dalam kebijakan itu sendiri. Dalam hal ini peranan unsure dinamika administrasi
adalah sangat besar yakni dalam rangka proses pencapaian tujuan secara berdaya guna dan
berhasil guna. Unsur dinamika penggerak administrasi ini meliputi:
Pimpinan
Koordinasi
Pengawasan
Komunikasi dan kondisi yang menunjang
Kemudian, dalam penyelenggaraannya, administrasi pemerintah menunjukkan ciri-ciri sebagai
berikut:
1. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan atas hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Dalam penyelenggaraan pemerintahannya, pemerintah
termasuk didalamnya badan-badan pemerintah baik ditingkat pusat maupun daerah, harus dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum. Artinya setiap tindakan pemerintah harus
mempertimbangkan dua kepentingan yakni tujuan dan landasan hukumnya.
2. Administrasi pemerintah dalam kegiatannya berdasarkan keputusan politik yang dibuat oleh
badan yang berwenang. Dalam menjalankan kewenangannya administrasi pemerintah di
Indonesia berdasarkan atas ketetapan-ketetapan MPR yang bersidang sekurang-kurangnya sekali
dalam 5 tahun.
3. Administrasi pemerintah dalam pengaturan organisasinya bersifat birokrasi. Birokrasi dalam
arti yang sebenarnya dimaksudkan untuk mengorganisasi secara teratur suatu pekerjaan harus
dilakukan oleh orang banyak. Di negara kita pengaturan organisasi pemerintah berdasarkan atas
struktur birokrasi yang mengatur segala kegiatan pemerintah baik kedalam maupun keluar dan
tata cara pengambilan keputusan yang kompleks.
4. Administrasi pemerintah dalam menjalankan kegiatannya berdasarkan pada prosedur kerja
yang ditetapkan dalam peraturan-peraturan misalnya peraturan perijinan, peraturan tentang
pedagang kaki lima, dan sebagainya.
Setelah mengetahui pengertian dan ciri-ciri administrasi pemerintah, kemudian satu hal yang
menjadi inti mata kuliah ini adalah pengertian administrasi pemerintah daerah. Yang dimaksud
dengan administrasi pemerintah daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan
berdasarkan prinsip desentralisasi. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom (propinsi, kabupaten dan kota). Sementara itu
otonomi daerah merupakan kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat.
Pendelegasian kewenangan ditinjau dari visi implementasi praktis di daerah dapat
disederhanakan menjadi tiga kelompok besar, yaitu pendelegasian kewenangan politik,
pendelegasian kewenangan urusan daerah dan pendelegasian kewenangan pengelolaan
keuangan. Sementara itu substansi kewenangan daerah mencakup seluruh kewenangan bidang
pemerintahan kecuali dalam bidang pertahanan, keamanan, politik luar negeri, peradilan (yustisi)
moneter dan fiskal nasional, serta agama ( UU no 32 pasal 10:3).
B. Landasan Pembentukan Pemerintah Daerah

Sumber utama kebijaksanaan umum yang mendasari pembentukan dan penyelenggaraan


pemerintahan di daerah adalah Pasal 18:1-7 UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002, yang
antara lain menyatakan bahwa:
1. Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi
itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai
pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
2. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
3. Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat
daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.
4. Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,
kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.
5. Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat.
6. Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk
melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.
7. Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.
Dalam penjelasan pasal tersebut antara lain dikemukakan oleh karena Negara Indonesia itu suatu
eenheidsstaat maka Indonesia tidak akan mempunyai daerah dalam lingkungan yang bersifat
staat juga. Daerah Indonesia akan dibagi dalam daerah Provinsi dan daerah Provinsi akan
dibagi dalam daerah yang lebih kecil yaitu kabupaten dan kota. Di daerah-daerah yang bersifat
otonom atau bersifat administrasi saja semuanya menurut aturan akan ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah otonom akan diadakan Dewan Perwakilan Rakyat daerah. Oleh karena
itu di daerah pun penyelenggaraan pemerintahannya akan bersendi atas dasar permusyawaratan.
Terdapat beberapa pertimbangan yang mendasari perlunya pemerintahan di daerah (Supriatna,
1996:58-60) yaitu:
a) Pertimbangan Kondusif Situasional
Secara nyata dan obyektif wilayah negara kita merupakan gugusan kepulauan yang terdiri dari
ribuan pulau dipisahkan oleh selat, laut dan dikelilingi lautan. Keadaan penduduk dengan
beragam adat istiadat dan budaya, potensi permasalahan yang dihadapi serta kekhususan yang
dimiliki masing-masing daerah. Kesemuanya akan lebih efisien dan efektif bila pengelolaannya
adalah ditangani oleh perangkat pemerintahan yang perlu diwujudkan di masing-masing wilayah.
b) Pertimbangan Sejarah dan Pengalaman Berpemerintahan
Dalam rangka menyusun sistem pemerintahan memperhatikan pula tata pemerintahan yang telah
ada mulai dari jauh sebelum datangnya penjajahan kemudian adanya sistem pemerintahan pada
jaman raja-raja. Begitu pula sistem kemasyarakatan dan susunan pemerintahan yang berlaku di
negara lain.
c) Pertimbangan Politis dan Psikologis
Wawasan dan semangat hidup yang menonjol dalam perumusan UUD 1945 adalah wawasan
integralistik dan demokrasi serta semangat persatuan dan kesatuan nasional sehingga untuk tetap
menjaga kekompakan semua tokoh dan keutuhan masyarakat serta wilayahnya, kepada daerahdaerah perlu diberi pemerintahan sendiri dalam kerangka negara kesatuan. Di samping itu untuk
memberikan rasa tanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan dan sekaligus memberi
kesempatan kepada daerah untuk berperan serta dalam pemerintahan, sebagai perwujudan
semangat dan jiwa demokrasi.
d) Pertimbangan Teknis Pemerintahan

Dengan telah disepakatinya prinsip-prinsip Indonesia merdeka dan tujuan serta arah mana
Indonesia akan dibawa maka diperlukan perangkat pemerintahan di daerah karena disadari
bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat.
Untuk menjaga kemungkinan agar pemerintahan di daerah itu tidak memisahkan diri dari
pemerintah pusat maka dinyatakan bahwa disamping ada daerah otonom ada daerah yang
bersifat administrasi saja, yang kesemuanya merupakan wilayah administrasi pemerintahan
negara Indonesia.
3. Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah
Dalam penyelenggaraan pemerintahan diperlukan adanya sistem delegasi atau pelimpahan
kekuasaan pemerintahan sebagai penjelmaan kedaulatan negara yang terpusat di tangan
pemegang kekuasaan konstitusional. Yang dimaksud dengan pemegang kekuasaan konstitusional
adalah dapat berwujud lembaga yang dipersonifikasikan dalam bentuk lembaga negara atau
pemerintah. Pelimpahan wewenang yang dimaksudkan mencakup pelimpahan wewenang
pemerintahan:
a) Dari lembaga tertinggi negara kepada lembaga tinggi negara
b) Dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
c) Dari Pemerintah Pusat kepada aparatnya yang ada di daerah
d) Dari Pemerintah Daerah kepada pemerintahan di bawahnya.
Tujuan dari pelimpahan wewenang antar pemerintahan atau antar lembaga-lembaga negara
dimaksudkan antara lain:
a) Menghindari pemusatan kekuasaan oleh sebuah lembaga atau penguasa di semua tingkatan
pemerintahan.
b) Demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan
c) Mencapai kelancaran tujuan pemerintah.
Prinsip penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Umum
UU No.32/2004 adalah:
1. Digunakannya asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan
a) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah
Otonom untuk mengurus dan mengatur urusan pemerintahan dalam sistem NKRI.
b) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu.
c) Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah dan/atau Desa, dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau Desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
2. Penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat dilaksanakan di Kabupaten dan
Kota.
3. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan di Propinsi, Kabupaten,
Kota dan Desa.
Dengan adanya pelimpahan wewenang ini timbul hubungan antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah dimana hubungan tersebut merupakan jalinan sebagai landasan bagi
penyelenggaraan fungsi-fungsi:
a) Perimbangan kekuasaan dan kewenangan pusat dan daerah
b) Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

c) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan wakil
Pemerintah Pusat di daerah dalam pelaksanaan peraturan perundang-undangan
d) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dalam
penyusunan kebijakan, penyusunan peraturan daerah serta operasi pembangunan daerah
e) Pembinaan dan pengawasan oleh Pemerintah Daerah tingkat atas kepada Pemerintah Daerah
setingkat di bawahnya

PERMASALAHAN PEMERINTAH DAERAH


Kepemimpinan
Pelaksanaan desentralisasi di Indonesia melalui Otonomi Daerah, membawa banyak
perubahan dalam sistem pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan ini,
daerah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur daerahnya sendiri. Dalam hal ini,
tentunya pemimpin daerah yaitu kepala daerah memiliki peran dan tugas dalam mengatur
daerahnya. Kepala daerah mempunyai andil besar dalam menggerakan dan mengembangkan
daerah yang dipimpinnya.

Kepala daerah yaitu para gubernur dan bupati/walikota merupakan pemimpin formal di
daerahnya yang bertugas untuk membangun dan memajukan kehidupan masyarakat di daerahnya
masing-masing. Hal ini pula yang merupakan tugas utama kepala daerah. Oleh karena itu, peran
pemimpin daerah menjadi sangat penting dan strategis terutama dalam proses pembangunan di
era otonomi daerah ini.
Di tengah gencarnya pemerintah dalam melaksanakan reformasi birokrasi, pembahasan
mengenai kepala daerah juga menjadi fokus utama yang mewarnai proses reformasi tersebut.
Banyaknya kasus mengenai kepala daerah yang tersandung masalah hukum, dapat menghambat
pelaksanaan pembangunan dalam otonomi daerah. Hal ini disebabkan, mereka akan banyak
mencurahkan waktu dan perhatian pada masalah hukum yang sedang mereka hadapi. Hingga
saat ini, Kementerian dalam Negeri mencatat ada 278 kepala daerah di seluruh Indonesia yang
tersandung hukum, baik gubernur maupun bupati/walikota. Data dari KPK juga menunjukan,
sudah 8 orang gubernur dan 31 orang bupati/walikota tersandung perkara korupsi dan sudah
dihukum selama periode 2004-2012 (www.hukumonline.com, 2012).
Banyaknya kepala daerah yang tersandung korupsi, dapat ditengarai karena mahalnya
ongkos politik. Hal ini dipaparkan pula oleh Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri,
Djohermansyah Djohan, bahwa dalam pilkada langsung dan untuk memenangkan kontestasi
politik, tidak dapat dipungkiri biaya politik pilkada langsung sangat mahal, sehingga berbagai
cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Ongkos politik juga dikeluarkan bukan saja
saat pencalonan dan kampanye saja. Setelah berhasil mendapat jabatannya, kepala daerah harus
mengeluarkan biaya untuk memelihara konstituen dan balas jasa terhadap partai politk
pengusung. Apabila dilihat dari gaji kepala daerah yang hanya sebesar Rp 7 8 juta, tentunya
belum memenuhi biaya yang dibutuhkan (www.fajar.co.id, 2012).
Modus korupsi dilakukan dengan berbagai cara, misalnya melalui penyalahgunaan
wewenang terutama dalam pelaksanaan pengadaan barang dan jasa. Bukan hanya itu, menurut
KPK, modus lain dapat melalui perizinan yang dikeluarkan kepala daerah menjelang pemilihan
kepala daerah. Seperti kasus yang menjerat salah satu kepala daerah yakni terkait dengan adanya
pengusaha yang menyumbang dana kampanye secara ilegal dan penerbitan izin usaha
perkebunan dan hak guna Usaha PT tertentu. Modus lain juga terjadi dalam hal penyelahgunaan
dana APBD, dengan menyuap anggota DPRD terkait pembahasan APBD. Selian itu masih
banyak lagi kasus korupsi yang menimpa kepala daerah, misalnya penyalahgunaan dana bantuan
sosial dan hibah, dll (Rifki, 2012). Hasilnya kemudian digunakan untuk membiayai konstituen

dan parpol pendukung, mengembalikan modal politik atau untuk memperoleh keuntungan secara
pribadi.
Tidak jarang pula, baik kepala daerah maupun wakilnya kurang memiliki kepemimpinan
politik yang memadai. Kepemimpinan seharusnya diarahkan untuk mewujudkan visi, misi dan
program pengembangan daerah yang sudah dijanjikan oleh para pemilih. Namun demikian,
kepala daerah di Indonesia cenderung memahami dan mempraktekan kepemimpinan sebagai
konsentrasi dan akumulasi kekuasaan pada dirinya (bappeda.jatimprov.go.id, 2012).
Ditengah maraknya kepala daerah yang tersandung kasus hukum, kondisi yang sedikit
berbeda menunjukan fenomena lain. Disamping banyak modus yang dilakuakn oleh kepala
daerah dalam melakukan korupsi lalu kemudian terjerat masalah hukum, beberapa kepala daerah
terjerat kasus hukum karena inovasi yang mereka lakukan. Hal ini dinilai, bukan kepala daerah
yang melakukan penyelahgunaan wewenang melainkan, hukum di Indonesia yang belum
memiliki kepastian. Ketua umum asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi),
Isran Noor mengatakan, bukan hanya pengusaha yang dikriminalisasi, melainkan kepala daerah
juga menjadi korban akibat ketidakpastian hukum. Hal ini disebabkan disaat kepala daerah
berinovasi, maka hal itu justru dianggap melakukan penyalahgunaan kewenangan (Putro, 2013).
Menurut Isran, dalam sejumlah kasus, kepala daerah menjadi sasaran proses viktimisasi,
menjadi korban karena dinilai melakukan penyelahagunaan kekuasaan dan wewenang. Padahal
kebijakan itu diambil untuk memperlancar investasi. Dia juga mengatakan inovasi kebijakan
jangan lantas dimaksudkan penyalahgunaan kekuasaan ataupun kewenangan karena kerap kali
dilakukan untuk mempermudah masuknya investasi. Dalam melakukan investasi pengusaha
butuh intensif, salah satunya dengan memberikan kemudahan dalam perizinan. Sayangnya, yang
terjadi saat ini perizinan inilah yang sering dianggap kriminal (Wirakusuma, 2013).
Menurut pengamat hukum Universitas Indonesia, Indiarto Senoaji, dalam undang-undang
terkait kebijakan kepala daerah memang tidak ada kepastian hukum. Hukumnya mungkin sudah
jelas, namun implementasinya yang tidak jelas, sehingga banyak yang dimasukan ke dalam ranah
pidana sehingga menjadi kriminalisasi kebijakan (Wirakusuma, 2013).
Namun demikian, realitas kondisi kepala daerah yang terjadi saat ini, tidak boleh
ditanggapi secara pesimistis, karena bukan tidak ada kepala daerah yang juga sukses dalam
menjalankan perannya di daerah. Jumlahnya memang tidak banyak, namun demikian hal ini
dapat menunjukan bahwa otonomi daerah memberikan peluang bagi setiap daerah berkembang
dan maju dengan inovasinya yang tentunya tidak lepas dari peran dan tanggungjawab kepala

daerah. Masing-masing daerah tersebut mulai bermunculan dengan inovasi mereka masingmasing sesuai dengan kebutuhan di daerah yang bersangkutan.
Munculnya kepala daerah yang berkarakter dan inovatif ini turut mewarnai proses
otonomi daerah di Indonesia. Mungkin tidak semua daerah-daerah ini dikenal oleh publik seperti
inovasi yang diselenggarakan oleh Solo, Yogyakarta, dan sebagain daerah lain, namun demikian
daerah-daerah ini juga mulai mngembangkan reformasi di daerahnya. Kepala daerah mereka
memiliki fokus yang berbeda-beda dan cara yang berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah
yang ada di daerah. Sebagian kepala daerah fokus pada peningkatan kemampuan ekonomi
melalui insentif dan pengembangan usaha ekonomi kecil dan mikro yang di jalankan oleh
masyarakat maupun dengan membuka kesempatan bagi investor. Sebagian fokus pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perbaikan pelayanan publik seperti kesehatan dan
pendidikan. Beberapa daerah mereformasi daerahnya melalui peningkatan transparansi dan
akuntabilitas pejabat publik. Metode-metode yang mereka gunakan hingga saat ini mulai mampu
menunjukan perubahan di daerahnya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Kepala daerah memiliki kontribusi besar dalam pelaksanaan reformasi birokrasi di daerah
dalam lingkup otonomi daerah. Dapat dikatakan pula, berkembang dan majunya suatu daerah
bergantung pula pada political will dari Kepala daerah. Kesadaran kepala daerah dalam
menjalankan tugasnya sangat dibutuhkan untuk mewujudkan reformasi birokrasi di tingkat
daerah serta memenuhi kesejahteraan masyarakat sesuai dengan cita-cita awal otonomi daerah.
Dalam menyongsong grand design reformasi birokrasi oleh Kementerian Pendayagunaan
Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, hal yang perlu dipersiapkan pula oleh daerah adalah
mengenai kepemimpinan. Tren kepala daerah yang saat ini terjadi perlu menjadi cerminan untuk
melakukan perbaikan dan koreksi agar Kepala daerah yang ada mampu menjadi motor
penggerak mewujudkan kesuksesan reformasi birokrasi di tingkat daerah. Dikatakan pula oleh
Guru Besar Ilmu Politik UI, Prof. Iberamsyah, bahwa salah satu keberhasilan pelaksanaan
otonomi daerah ditentukan kepemimpinan kepala daerah baik bupati, walikota maupun gubernur
(www.antarakalsel.com,2012) Oleh karena itu, daerah perlu mempersiapkan pemimpin yang
visioner, berkarakter, inovatif dan yang terutama memiliki kesadaran yang tinggi akan tugas dan
kewajibannya untuk memajukan dan mengembangkan daerah serta menciptakan kesejahteraan
masyarakat daerah.
Memilih kepala daerah seperti yang dibutuhkan bukan pekerjaan yang mudah. Kondisi
ini mengingat bahwa kepala daerah diusung oleh parpol dan dipilih langsung oleh masyarakat.

Dalam hal ini, tidak ada analisis yang tepat untuk mengetahui tingkat kemampuan calon kepala
daerah dalam memimpin daerah. Ada banyak hal yang mempengaruhi proses tersebut, misalnya
kuatnya partai yang mengusung, ongkos politik, dan juga pengetahuan dan pendidikan
masyarakat. Diperlukan kaderisasi yang tepat oleh Partai Politik sehingga calon yang diusung
benar-benar orang yang mumpuni untuk memimpin suatu daerah. Partai politik harus diimbau
melakukan kaderisasi secara selektif. Jangan asalcomot kader yang belum jelas ideologi
politiknya. Apalagi hanya mengandalkan popularitas untuk dicalonkan sebagai kepala daerah
yang kemudian akan muncul kepala daerah instan yang belum paham terhadap masalah daerah.
Dalam menyelenggarakan road map reformasi birokrasi, kepala daerah yang menjabat harus
memiliki kualitas dan mampu mewujudkan keinginan masyarakatnya (www.fajar.com, 2012).
Rencana Strategis Daerah
Rencana strategis suatu daerah dalam merencanakan pembangunan daerahnya berperan
penting dalam menyukseskan tujuan otonomi daerah. Semangat reformasi birokrasi dapat
tercermin dari rencana strategis yang disusun. Rencana strategis adalah suatu proses yang
berorientasi pada hasil yang ingin dicapai dalam kurun waktu 1 (satu) tahun samapai dengan 5
(lima) tahun dan disusun berdasarkan pemahaman terhadap lingkungan baik dalam skala
nasional, regional maupun lokal dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala yang
ada atau yang timbul serta memuat visi dan misi sebagai penjabaran dalam membina unit kerja
serta

kebijaksanaan

sasaran

dan

prioritas

sasaran

sampai

tahun

yang

ditentukan

(skpd.batamkota.go.id, 2011).
Berdasarkan undang-undang nomor 25 tahun 2004, tentang Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional dinyatakan perencanaan pembangunan bertujuan untuk mengoptimalkan
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat dimaksudkan agar kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah menjadi lebih memiliki legitimasi. Rencana startegis yang disusun oleh suatu daerah
dimaksudkan untuk dapat mencapai tujuan pembangunan. Menilik kembali maksud otonomi
daerah yang ingin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dan memberikan ruang bagi
masyarakat daerah untuk berpartisipasi langsung dalam proses pembangun daerah, nampaknya
hal ini tidak sepenuhnya terwujud.
Fenomena yang terjadi saat ini, partispasi masyarakat yang diharapkan sulit terwujud,
terutama dalam menyusun perencanaan strategis pembangunan daerah yang kemudian akan
tertuang melalui program-program yang dicanangkan oleh pemerintah untuk masyarakat. Dalam
hal ini dapat dianalogikan, apabila partisipasi masyarakat masih kurang dalam proses

penyususnan perencanan strategis, maka program-program yang nantinya diciptakan dan


diselenggarakan oleh SKPD-SKPD terkait jauh dari kebutuhan dan harapan masyarakat daerah.
Bentuk partisipasi masyarakat daerah yang menjadi tradisi di beberapa daerah dalam
penyususnan perencanaan strategis disebut dengan musyawarah pembangunan daerah
(musrenbangda). Musrenbangda diharapkan mampu menjadi sarana akumulasi penyampaian
aspirasi pembangunan daerah dari masyarakat. Namun demikian, di beberpa daerah di Indonesia,
musrenbangfa tidak berjalan efektif. Musrenbangda masih belum bisa menjadi sarana akumulasi
penyampaian aspirasi pembangunan daerah dari masyarakat, hanya menjadi penampung yang
tidak selamanya dan juga hanya sebagain kecil yang ditindaklanjuti sebagai basis perencanaan
pembangunan di daerah (Holidin dan Hariyati, 2012).
Fenomena perencanaan pembangunan daerah secara nasional dikemukan pula oleh
Soedjito (2002) yaitu sebagai berikut : (1) kegiatan-kegiatan dalam perencanaan pembangunan
daerah masih didominasi oleh kebijakan lembaga yang lebih tinggi dibandingkan dengan
tuntutan masyarakat; (2) para perencana pembangunan daerah masih lebih mengedepankan
kepentingan isntansi atasan daripada aspirasi masyarakat; (3) lemahnya para perencana
pembangunan daerah maupun instansi yang lebih tinggi dalam menyerap aspirasi untuk
kemudian diakomodasikan dalam berbagai kegiatan atau program pembangunan daerah ; (4)
lemahnya posisi masyarakat dalam berhadapan dengan pemda pada saat proses penyusunan
rencana yang mengakibatkan kurang terakomodasinya seluruh kepentingan masyarakat dalam
program-program pembangunan.
Sesusi dengan tujuan dilaksanakannya reformasi birokrasi yaitu perbaikan secara
menyeluruh yang menghasilkan peningkatkan manfaat yang besar untuk masyarakat, maka
sudah mejadi keharusan, masyarakat dilibatkan dalam proses penyusunan rencana startegis
pembangunan daerah. Hal ini sejalan dengan cita-cita otonomi daerah menjadikan masyarakat
daerah sebagai central pembangunan (Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia, 2012).
Namun demikian, tidak seluruhnya aspirasi masyarakat dapat diterima dan dijalankan. Di
beberapa daerah di Indonesia, aspirasi yang akan dijalankan adalah yang memiliki kesesuaian
dengan prioritas pembangunan dan anggaran yang dimiliki daerah yang bersangkutan. Oleh
karena itu, hambatan dari musrenbangda ini adalah keluhan beberapa masyarakat yang
aspirasinya tidak dikabulkan (Holidin dan Hariyati, 2012).
Disamping itu, terkait dengan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang
kemudian diejawantahkan pada level daerah juga menganut rezim perencanaan strategis yang

lama. Sistematika penyusunan RPJMD mengatur bahwa musrenbangda dilakukan sebagai


langkah pendahuluan sebelum didiskusikan dalam forum SKPD kemudian di negosiasikan oleh
Pemda dengan DPRD. Pada praktiknya hasil musrenbangda di suatu daerah, berdasarkan
infomrasi yang diperoleh, tidak serta merta didiskusikan feasibilitasnya kemudian diadopsi
sebagian atau seluruhnya dalam forum SKPD. Hal ini ditengarai bahwa kepentingan politik,
tuntutan atasan suatu SKPD, serta analisis SKPD secara mandiri merupakan tiga hal yang
dianggap menjadi penghambat penyaluran aspirasi melalui musrenbangda di duatu daerah tidak
efektif, bahkan hasil-hasil musrenbangda tersebut, diakui tidak tersampaikan ke SKPD (Holidin
dan Hariyati, 2012).
Selain permasalahan partisipasi masyarakat, masalah lain juga turut mempengaruhi
penyusunan rencana strategis pembangunan daerah. Realitas perencanaan pembangunan yang
ditemui di daerah menunjukan bahwa (1) perencanaan ditetapkan kurang rasional karena usulan
prioritas pembangunan tidak sebanding dengan pagu indikatif sehingga banyak program yang
belum terealisasi; (2) kurangnya kualitas SDM dan rendahnya kompetensi dalam bidang
perencanaan di Bappeda dan setiap SKPD serta forum delegasi Musrenbangda tingkat
kecamatan; (3) pemanfaatan biaya operasional perencanaan tidak sesuai dengan jadwal waktu
pelaksanaan perencanaan. Pelaksanaan perencanaan (Musrenbang) misalnya, dilaksanakan pada
bulan Januari sedangkan biaya untuk kegiatan tersebut baru cair bulan April; (5) fasilitas
perencanaan yang kurang memadai; (6) kurangnya kemampuan para pelaksana dalam
mengimplementasikan kebijakan Musrenbangda (Akadun, 2011).
Sumber Daya Manusia
Sumber Daya Manusia (SDM) memiliki kedudukan dan sebagai elemen yang penting
dalam suatu organisasi. Berdasar hal tersebut, manajemen SDM diperlukan untuk mengelola
secara sistematis, terencana, dan terpola agar tujuan organisasi saat ini maupun untuk masa
mendatang dapat tercapai secara optimal. Keberhasilan suatu organisasi turut ditentukan dengan
SDM yang bekerja di dalamnya. Demikian halnya dengan organisasi pemerintah daerah, yang
membutuhkan SDM yang berkualitas agar tujuan yang dirumuskan oleh pemerintah daerah dapat
tercapai secara optimal. SDM yang dimaksud dalam lingkup organisasi pemerintah daerah
adalah pegawai Negeri Sipil (PNS) daerah.
Secara khusus sumber daya manusia menyangkut penyelenggara pemerintahan di daerah,
termasuk lembaga-lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif, atau dengan kata lain, sumber
daya manusia adalah para aparatur daerah. Dalam perspektif demikian, kebutuhan tersedianya

sumber daya aparatur daerah yang berkualitas menjadi dasar pertimbangan utama yang
memerlukan langkah-langkah prioritas yang terprogram secara sistematis. Aparatur pemerintah
daerah adalah pelaksana kebijakan publik yang mempunyai tugas, fungsi, hak dan wewenang di
areal administrasi. Dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah diperlukan persyaratan kualitas
yang memadai bagi sumber daya manusia aparatur daerah, dan kualitas tersebut dapat diamati
dari kemampuan profesionalitas sesuai bidang tugas yang menjadi tanggung jawabnya (Bambang
Yudoyono, 2002:61 dalam Effendi, 2012).
Pembahasan mengenai SDM di tingkat daerah, tidak dapat terlepaskan dari beberapa
masalah yang menyertai pelaksanaan pemerintahan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
Kapasitas dan kualitas PNS daerah merupakan hal yang perlu diperhatikan mengingat mereka
berperan sebagai pelayan masyarakat. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan pelayanan bagi
masyarakat, diperlukan aparatur pemerintah daerah yang berkompeten dalam menjalankan
tugasnya sebagai pelayan maupun sebagai elemen dalam merumuskan ide-ide untuk
melaksanakan pembangunan daerah.
Aparatur yang ada di daerah akan mempengaruhi kinerja bahkan performa
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersangkutan. Oleh karena itu diperlukan aparatur
yang benar-benar memahami dan memaknai keadaan dan potensi yang dimiliki daerahnya. Sikap
berpikir aparatur harus didasarkan pada kepentingan dan pengembangan daerah dengan
mengutamakan potensi yang ada di daerah.
Realitas yang terjadi pada kondisi aparatur daerah saat ini adalah kurangnya SDM yang
berkualitas dan berkompeten dalam menjalankan pembangunan serta masih rendahnya kesadaran
aparatur sebagai pelayan masyarakat. Hal ini dapat diperkuat dengan masih adanya keluhan
masyarakat, atas pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah yang dinilai tidak sesuai
dengan harapan masyarakat. Meminjam istilah lama, bahwa aparatur bukan lagi melayani
masyarakat melainkan dilayani oleh masyarakat. Realitas ini tentunya berbanding terbalik
dengan konsep yang ada.
Masih rendahnya kompetensi aparatur daerah dalam menjalankan pembangunan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat dapat dikaji melalui sistem rekrutmen pegawai
daerah. Fenomena yang ada di daerah, masih banyaknya penyelewengan dalam sistem
perekrutannya. Hal ini bahkan sudah menjadi rahasia umum, apabila seseorang ingin menjadi
pegawai daerah, harus melalui jalan belakang dengan menyuap pihak-pihak tertentu. Kegiatan
penerimaan CPNS seakan tidak bisa lepas dari beberapa penyimpangan. Hal ini terungkap dalam

laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) yang menerima 60 pengaduan terkait


penyelenggaraan CPNS tahun 2012 (informasibumncpns.com, 2012). Selain itu, masih maraknya
perekrutan CPNS dengan cara spoiled system. Realitas ini tentunya akan semakin memperburuk
mekanisme perekrutan CPNS di daerah. Sistem ini akan memperkecil peluang atau bahkan
menutup peluang bagi peserta seleksi pegawai daerah yang sebenernya memiliki kualifikasi
sesuai dengan kebutuhan dalam pemerintahan.
Seleksi awal atau perekrutan merupakan proses yang turut menetukan kualitas dan
kompetensi aparatur pemerintah daerah yang nantinya akan menjalankan tugas dan fungsi sesuai
dengan ketentuan yang telah dirumuskan dalam peraturan. Apabila realitas yang ada di daerah
masih demikian adanya, tentunya kapabilitas para pegawai daerah akan diragukan. Kondisi ini
berdampak pada terhambatnya mewujudkan kesuksesan penyelenggaran reformasi birokrasi di
level daerah serta penyediaan layanan yang berkualitas kepada masyarakat.
Selain seleksi CPNS yang tidak akuntabel dan transparan, di beberapa daerah diketahui
bahwa penempatan pegawai tidak berdasarkan pada penilaian kompetensi pegawai, bahkan
ketiadaan analisis jabatan sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masih belum dilakukan. Sebagai
contoh, di instansi salah satu daerah, para pegawainya merupakan limpahan dari SKPD lain.
Berdasarkan informasi yang ada, pelimpahan ini merupakan sumber daya sisa yang tidak
digunakan atau tidak memiliki kompetensi spesifik di SKPD lain. Selain itu, juga terjadinya
defisiensi sumberdaya aparatur pemerintah daerah. Hal ini dikarenakan potensi pertambahan
jumlah PNS menurut rasionalitas sebelumnya tidak terjadi ketika dihadapkan pada kebutuhan
kinerja di Pemerintah kabupaten/kota (Holidin dan Hariyati, 2012).
Dibeberapa daerah, kualitas SDM yang diakui secara umum masih relatif rendah menjadi
hambatan yang signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Ketidaksesuaian antara
latar belakang pendidikan dengan pekerjaan yang ditangani menjadi permasalahan dalam
penyusunan dan pelaksanaan program kerja. Kuantitas pegawai daerah juga memunculkan
masalah baru, ditambah lagi dengan distribusi yang tidak merata di daerah yang bersangkutan,
terutama di daerah kepulauan yang beberapa wilayahnya masih pelosok. Masalah yang
timbulkan akibat kuantitas pegawai ini adalah membengkaknya pos anggaran untuk belanja
pegawai dalam APBD. Pos anggaran tersebut tidak sebanding dengan anggaran yang
dialokasikan untuk belanja modal, pembangunan infrastruktur maupun belanja pelayanan publik.
Kondisi yang hampir sama juga ditunjukan di suatu daerah di Indonesia. Pemerintah
daerah melalui Kepala daerah membuat kebijakan untuk mengurangi jumlah pengangguran

melalui perekrutan pegawai honorer maupun pegawai negeri sipil. Kebijakan ini malah
menimbulkan masalah baru yakni membengkaknya pos anggaran untuk belanja pegawai. Gaji
atau penghasilan yang diterima oleh pegawai yang bersangkutan masih dirasa kurang untuk
memenuhi kebutuhan sehingga mereka harus mencari tambahan lain di luar tugasnya sebagai
pegawai pemerintahan. Hal ini tentunya akan membuat kinerja mereka di pemerintahan tidak
optimal. Beberapa dari mereka mangkir dari pekerjaaannya di kantor karena ada pekerjaan lain
di luar yang harus diselesaikan. Ketika masyarakat datang untuk meminta pelayanan, tentu saja
mereka tidak tertangani dengan baik.
Permasalahan yang muncul dalam pengelolaan SDM atau pegawai tersebut, tidak dapat
dibiarkan terus berlangsung yang semakin memperburuk kondisi pelayanan pemerintahan daerah
sehingga harus dicari solusi terbaiknya. Hal ini mengingat, urgensi pelaksanaan reformasi
birokrasi yang dicanangkan oleh pemerintah memerlukan kesiapan dari pihak pemerintah daerah
melalui penyelesaian masalah-masalah utama yang masih menggelayuti, salah satunya adalah
mengenai SDM (pegawai daerah). Dalam mendukung terwujudnya reformasi birokrasi,
diperlukan SDM yang handal, berkualitas, berkompeten dan mumpuni dalam melaksanakan
tugas dan fungsinya. Kondisi ini mengharuskan setiap daerah memiliki formula yang jelas,
transparan dan akuntabel dalam memanajemen SDM daerah, mulai dari proses perekrutan hingga
evaluasi kinerja pegawai. Mekanisme yang dibuat harus sedapat mungkin menutup celah
terjadinya penyelewengan, terutama dalam proses awal yaitu perekrutan. Harus ada kejelasan
tugas pokok dan fungsi serta jobdesk masing-masing dibarengi dengan distribusi pegawai yang
efektif. Pemerintah juga perlu meningkatkan kapabilitas pegawai melalui pengembangan dan
pelatihan pegawai.
Kemitraan
Membangun hubungan kemitraan, bagi pemerintah daerah merupakan langkah dan
program strategis yang penting dilakukan sebab tidak mungkin seluruh permasalahan dan
pekerjaan pembangunan masyarakat dapat diselesaikan sendiri oleh pemerintah daerah.
Hubungan kemitraan tersebut dapat terbangun dengan kerjasama baik dengan pemerintah daerah
lain, pemerintah pusat, pihak swasta, masyarakat maupun stakeholder lain. Mengingat momen
otonomi daerah yang sudah dikembangkan lebih dari satu dasawarsa ini, sudah selayaknya
segala urusan di daerah dapat segera diselesaikan oleh pemerintah daerah yang bersangkutan.
Berbagai masalah daerah berupa kemiskinan, pengangguran, pendidikan, kesehatan, sosial dan

kemasyarakatan, sarana dan prasarana dan sebagainya, tidaklah mampu diatasi melalui APBD
saja. Oleh karena itu perlu dikembangkan kemitraan antara pemerintah daerah dengan berbagai
pihak, baik sektor swasta dan sektor ketiga melalui skema kemitraan pemerintah daerah
(Mahmudi, 2007:54).
Hal yang perlu menjadi fokus bagi pemerintah daerah adalah bagaimana pemerintah
daerah mampu mendorong partisipasi masyarakat, mengembangkan sektor swasta serta
menciptakan iklim yang kondusif bagi investor untuk berinvestasi di daerah. Kondisi tersebut
membutuhkan kemampuan daerah untuk menciptakan inovasi serta kemampuan dalam menjalin
hubungan kemitraan yang baik agar dapat mendatangkan manfaat antara kedua belah pihak, baik
itu pemerintah daerah sendiri maupun mitra kerjasama. Bentuk kerjasama yang dilakukan dapat
meliputi berbagai sektor di pemerintah daerah, tergantung pada kebutuhan daerah untuk
memberikan pelayanan dan menjalankan pembangunan di daerahnya.
Banyak hal yang dapat dilakukan untuk menarik investor maupun pihak lain menjalin
kemitraan dengan daerah. Pemerintah daerah harus mampu mengembangkan potensi di
daerahnya atau dengan kata lain , pemerintah daerah mampu membranding daerahnya sehingga
dilirik oleh investor-investor swasta untuk menanamkan modalnya di daerah tersebut.
Pemerintah daerah juga dapat membuka peluang berinvestasi dengan memudahkan urusan
perizinan untuk membuka usaha. Hal ini mengingat masih ada atau bahakan masih banyak
keluhan dari pengusaha-pengusaha dalam berinvestasi di daerah karena prosedur perizinan yang
sulit serta birokrasi yang panjang bahkan terjadi pemerasan terhadap pengusaha oleh pihak-pihak
yang tidak bertanggungjawab. Bukan hanya itu, kemitraan juga dapat terjalin dengan pemerintah
daerah dalam menyediakan pelayanan. Dalam hal ini, biasanya letak daerah tersebut berdekatan
atau adanya perbedaaan kebutuhan antar daerah sehingga dapat saling memenuhi.
Adanya urgensi untuk melaksanakan reformasi birokrasi, termasuk oleh daerah-daerah,
diperlukan kesiapan dari pihak daerah dalam melaksanakan reformasi tersebut. Kondisi ini
menuntut pemerintah daerah untuk dapat mengatasi dan memperbaiki masalah-masalah yang
masih dihadapi oleh daerah hingga saat ini, termasuk permasalahan utama dalam hal kemitraan.
Bukan tidak ada, atau bahkan saat ini sudah mulai banyak daerah-daerah yang dapat membuka
diri untuk menjalin kemitraan dengan para stakeholder melalui suatu kebijakan tertentu, pun
demikian tidak dapat dipungkiri pula, masih terdapat daerah-daerah yang belum efektif dan
optimal dalam menfaatkan pentingnya menjalin kemitraan dengan pihak-pihak lain. Kondisi

tersebut apabila tidak segera diperbaiki tentunya akan menghambat pelaksanaan road
map reformasi birokrasi yang saat ini sedang gencar dicanangkan oleh pemerintah.
Penilaian juga sering muncul dari kalangan masyarakat terkait kemitraan yang dijalankan
oleh pemerintah daerah. Mereka menilai, kemitraan dengan pihak luar daerah masih belum
memadai. Dalam pelaksanaan program pelatihan misalnya, masih perlu ditingkatkan kemitraan
dengan pihak luar daerah dalam rangka penyaluran alumni dari program pelatihan serta dalam
pengadaan sarana dan penyelenggaraan pelatihan yang memadai. Begitu pula dalam pelaksanaan
program dana bergulir bagi masyarakat, diperlukan adanya kerjasama dengan pihak lain guna
meningkatkan kinerja dari inovasi program tersebut. Diharapkan melalui kerjasama dengan
pihak lain seperti akademisi dan pihak-pihak lainnya bisa meningkatkan kinerja program di masa
akan datang bagi daerah (Prasojo, Kurniawan, dan Holidin, 2007:188-189)
Dalam rangka mengoptimalkan pembangunan infrstruktur, secara pembiayaan perlu ada
kerjasama bersama swasta. Sinergi yang ada antara Pmeerintah pusat,pemerintah daerah dan
swasta menjadi penting untuk kesuksesan. Hal tersebut dinilai baik mengingat dukungan dari
semua kalangan memicu suksesnya pembangunan infrastruktur dari waktu-waktu mendatang.
Idealnya, layak secara ekonomi dan finansial diserahkan sepenuhnya kepada swasta. Untuk
kontribusi pemerintah sendiri adalah dukungan pemerintah yang bisa melalui pendanaan
pembebasan lahan, pembiayaan sebagian konstruksi, dan pemberian Viability Gap Fund
(www.infobanknews.com, 2012).
Kegagalan dalam menjalin kemitraan dengan pihak swasta pernah dialami oleh salah satu
daerah otonom di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan pemenuhan infrastruktur transportasi. Ada
persoalan mendasar yang kemudian berimplikasi pada kegagalan kerjasama, antara lain (1)
Skema kerjasama yang timpang. Hal ini misalnya dapat ditilik dari ketimpangan hak dan
kewajiban antara kedua pihak; (2) Kegagalan mitra pemkot dalam menyediakan fasilitas
pendukung, padahal fasilitas tersebut dibayangkan menjadi jangkar perekonomian dan
diproyeksikan memberikan keuntungan ekonomi yang besar sehingga bisa segera menutup biaya
pembangunan. Selain itu, lemahnya kontrol pemkot terhadap kinerja mitra kerjasama. Hal ini
berimplikasi pada (1) keleluasaan pihak kedua dalam memodifikasi layout bangunan
infrastruktur sehingga menghasilkan bentuk bangunan yang tidak efektif dan kemudian
menyebabkan kesulitan akses transaksi ekonomi dan penjagaan keamanan, dll; (2) pemanfaatan
bangunan infrastruktur yang tidak maksimal sehingga mengganggu sektor-sektor lain dan tidak
menimbulkan multiplier effect; (3) Fungsi pemerintah sebagai pelindung kepentingan pedagang

dan pengusaha kecil yang tidak berjalan baik. (4) lemahnya kontrol pemkot dalam mengawasi
kerjsama karena keterbatasan pegawai . Hal ini merupakan efek dari perubahan kedudukan
bagian kerjasama menjadi sub bagian ditengah banyaknya pekerjaan kerjasama, dan belum
ditemukannya mekanisme pengawasan lintas dinas-badan yang efektif. (5) Lemahnya
manajemen infrastruktur yang dibangun sebagai akibat dari lemahnya pembagian tugas dan
koordinasi dari kedua belah pihak. Kegagalan

kerjasama

ini

pada

gilirannya

juga

menghasilkan sejumlah konsekuensi bagi pemkot, seperti beralihnya kewajiban penggajian


pegawai dan pembayaran hutang kepada pemkot. Persoalan-persoalam kelembagaan dan
pengelolaan juga bermuara pada ketidakefektifan penyelenggaraan fungsi pelayanan publik dan
fungsi komersil.
Pun demikian, menjalin kemitraan di beberapa daerah sudah berjalan dengan cukup baik
dengan melibatkan berbagai pihak dari berbagai sektor. Misalnya seperti dalam memenuhi
kebutuhan terhadap penyediaan pelayanan yang optimal dalam bidang kesehatan, pemerintah
daerah bekerja sama dengan agensi yang konsen terhadap pemenuhan gizi anak dan balita, selain
itu pemda bekerjasama juga dengan organisasi kesehatan dan kemanusiaan yang lain (Mano
Deby, 2012).
Dipaparkan pula oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Suryo Bambang
Sulistyo, bahwa pemerintah daerah diharpkan dapat menjalin hubungan strategis dengan
pengusaha untuk mendayagunakan secara maksimal potensi yang dimiliki daerah bagi
peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Hambatan-hambatan yang kerap muncul di
daerah, seperti hambatan struktural, perizinan, birokrasi dan lain sebagainya dapat dikurangi
sehingga pengusaha lebih mudah dalam berinvestasi. Sejak pemberlakuan otonomi daerah lebih
dari satu dekade lalu, dunia usaha kerap mengeluhkan tentang panjangnya jalur birokrasi
pengurusan izin usaha, minimnya daya saing infrastruktur dan ketidakpastian hukum (Ihsan,
2013). Kondisi ini tentunya akan turut mempengaruhi iklim usaha di Indonesia. Tidak dipungkiri
pula, kondisi yang tidak kondusif seperti demikian, akan menyebabkan pengusaha-pengusaha
melirik negara lain.
Selain berperan untuk menyokong pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan serta
menyediakan pelayanan bagi masyarakatnya, kemitraan penting guna mendorong terciptanya
lapangan pekerjaan dan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan daerah. Dikatakan pula
oleh Suryo, lambannya pengurusan izin investasi di daerah karena birokrasi yang panjang dan
berbelit-belit menyebabkan banyak kalangan pengusaha mengaku terjebak dalam lilitan

kebijakan yang dibuat oleh oknum penguasa setempat untuk mengeruk keuntungan pribadi
(Ihsan, 2013).
Peran pihak swasta lebih ekspansif dalam mempercepat pembangunan. Misalnya lewat
pengembangan dan pemanfaatan potensi alam. Mulai dari penambangan batubara atau perluasan
lahan perkebunan sawit. Hal ini otomatis menaikan jumlah angkatan kerja di daerah, sekaligus
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) masing-masing daerah. Aspek percepatan
pembangunan daerah ini tergantung pada potensi daerah itu sendiri. Menjalin hubungan dan
mengundang pihak swasta untuk bekerjasama dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan
seyogyanya tetap sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku (otdanews.com, 2012).
Sumber Daya dan Prospek
Pengembangan wilayah pada hakekatnya adalah pengembangan di daerah yang bersifat
menyeluruh. Artinya pembangunan tidak hanya menyentuh aspek pengembangan fisik, tetapi
yang lebih prinsip adalah upaya memaksimalkan potensi sumber daya manusia agar dapat
mengelola sumber daya absolut yang dimiliki daerahnya secara bijak. Kondisi sumber daya
manusia yang berkualitas merupakan prasyarat utama dalam melakukan perbaikan dan
pembangunan di banyak sektor. Terlebih lagi pada masa pelaksanaan Otonomi daerah dimana
partisipasi dan kompetesi masyarakat sangat dibutuhkan dalam merancang, menentukan
kebijakan dan melaksanakan pembangunan yang menyentuh kepentingan rakyat banyak (Chalid,
Peni, 2005: 82-83).
Selain SDM, Sumber Daya Alam (SDA) dalam berbagai sektor merupakan sumber daya
yang sangat potensial untuk dikembangkan dan masing-masing memiliki prospek yang
menjanjikan selama daerah mampu mengeksplornya. Sektor yang paling menjanjikan misalnya
sektor pertambangan, namun banyak yang perlu diperhatikan dalam mengeksplornya. Hal krusial
yang harus dilakukan dalam kegiatan pertambangan adalah harus berdasarkan ketersediaan SDA.
Diperlukan wawasan jangka panjang atau pembangunan berkelanjutan. Pemanfaatan potensi
sektor pertambangan perlu memperhatikan AMDAL (Analisis mengenai dampak lingkungan),
agar kelestariaannya tetap terjaga. Dalam hal ini, diperlukan kemampuan pemerintah daerah
untuk dapat merencanakan pengelolaan serta pemnafaatan sumber daya tambang secara efektif
dan efisien. Dapat dilihat dari tren yang terjadi di beberapa daerah masih memanfaatkan sumber
daya tambang secara besar-besaran atau tidak terkendali dan dijadikan prospek utama dalam
mendongkrak perekonomian daerah dan meningkatkan PAD. Namun demikian kegiatan ini tidak
memperhatikan pemanfaatan untuk masa depan. Ketergantungan masyarakat yang melulu

terhadap hasil tambang dikawatirkan akan menimbulkan masalah di kemudian hari apabila hasil
tambang di daerah tersebut sudah habis dan tidak dapat dieksplor lagi. Bahkan dapat dipastikan
hal ini akan menganggu kestabilan ekonomi karena beberapa masyarakat akan kehilangan
pekerjaan utama mereka sebagai penambang dan juga dampak negatif yang mungkin akan
ditimbulkan dan dirasakan oleh masyarakat pasca aktivitas pertambangan. Kondisi ini juga akan
semakin memperburuk dan menambah permasalahan di daerah.
Saat ini, beberapa pemerintah daerah memutuskan memenfaatkan cadangan tambang
sebagai motor untuk menggerakan ekonomi. Dapat disadari, cara ini merupakan kebijakan
pemerintah daerah sebagai solusi prgamatis jangka pendek untuk memperoleh pendapatan asli
daerah (PAD). Namun kadang kala kebijakan ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah
lupa bahwa barang tambang adalah komoditas yang tidak terbarukan, akan habis suatu waktu.
Ditambah lagi, kebanyakan pemerintah daerah mengartikan kemajuan ekonomi dengan
memanfaatkan hasil eksploitasi pertambangan membiayai keperluan belanja pemerintah yang
kebermanfaatannya tidak untuk jangka panjang, misalnya mendirikan gedung perkantoran atau
untuk belanja pegawai. Poin utama yang perlu dipertimbangkan adalah hasil kegiatan
pertambangan tersebut perlu dimanfaatkan untuk membangun komoditas lain yang dapat
dijadikan penggerak perekonomian jangka panjang, misalnya untuk pertanian, perkebunann
maupun pengembangan, permodalan dan pelatihan UMKM masyarakat daerah. Melalui hasil
tersebut, seharusnya pemerintah mulai dapat menyiapkan infrastruktur untuk mendukung
pengembangan pertanian, perkebunan dan UMKM masyarakat daerah, tentunya akan lebih bijak
apabila sesuai dengan kearifan lokal masyarakat daerah.
Ada pula hambatan yang dialami daerah, dalam hal pengelolaan dan pengembangan
potensi SDA khususnya pertambangan adalah masih rendahnya kualitas SDM serta kualitas
teknologi yang kurang memadai. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah ketersediaan
informasi wilayah tentang potensi sumber daya mineral yang akurat bagi kepentingan investasi,
yang selama ini belum dapat diwujudkan secara baik (www.bakorsurtanal).
Masalah rendahnya kualitas SDM pemerintah salah satunya akan menyebabkan
pemerintah tidak mampu memetakan potensi daerah yang dimiliki. Mereka kurang mampu
melakukan analisis terhadap potensi yang ada dan tidak dapat melihat prospek jangka panjang
dari potensi yang dimiliki. Upaya tersebut misalnya pembentukan instansi pemerintah
(dinas/badan) yang mengurus dan bertugas mengkoordinasi pengelolaan potensi daerah. Dengan

demikian, potensi yang ada tidak dapat tergali dan dimanfaatkan secara optimal untuk
meningkatkan PAD maupun untuk menggerakan perekonomian masyarakat.
Permasalahan lain yang juga muncul di daerah adalah sinergitas antara pemerintah
daerah, masyarakat dan swasta/investor dalam pengelolaan sumber daya. Pemanfataan sumber
daya alam pada skala tertentu dapat menyebabkan/ memicu konflik antar kepentingan sektor,
swasta dan masyarakat. Kegiatan yang tidak terpadu itu selain kurang bersinergi juga sering
saling mengganggu dan merugikan antar kepentingan, seperti kegiatan industri yang polutif
dengan kegiatan budidaya perikanan yang berdampingan. (Kusdinar, 2011).
Dalam pengelolaan dan eksplorasi sumber daya alam masih ada kelonggaran
pengawasan, sehingga antara kedua belah pihak yakni investor dan pemerintah daerah tidak
terjalin hubungan simbiosis mutualisme namun lebih menguntungkan pihak swasta. Hal ini
juga dipengaruhi masih kurangnya kemampuan sumber daya manusia di pemerintahan dalam
merencanakan pembangunan termasuk pengelolaan anggaran pada pos pendapatan daerah.
Ketidakmampuan daerah dalam pengelolaan sumber daya alam sendiri berimbas pula pada
masyarakat daerah asli. Investasi yang seharusnya diharapkan dapat menggerakan kegiatan
perekonomian daerah dengan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat daerah ternyata
tidak demikian adanya. Hal ini dapat didasari karena juga masih rendahnya kualitas sumber daya
manusianya sehingga tidak dapat memenuhi standar minimum kemampuan yang dibutuhkan
oleh investor dalam mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, para investor ini lebih banyak
merekrut SDM dari luar daerah bahkan dari luar negeri. Kondisi ini pula yang ditenggarai
menimbulkan kecemburuan sosial di kalangan masyarakat asli. Potensi daerah yang kaya tidak
serta merta menjadikan masyarakatnya sejahtera namun menunjukan kondisi yang sebaliknya.
Masyarakat daerah tetap ada dalam belenggu kemiskinan dan keterbelakangan bahkan semakin
terpuruk dengan banyaknya pendatang ke daerah mereka yang dari segi kapabilitas dan keahlian
yang dimiliki lebih unggul dibanding mereka. Hal inilah yang hingga saat ini menimbulkan
konflik di daerah dan menjadi dasar alasan munculkan potensi disintegrasi.
Dapat diambil contoh yang dialami papua. Meskipun wilayah papua memiliki sumber
daya mineral logam yang penting utnuk negara, tidaka ada kebijakan khsuus yang disiapkan
pemerintah pusat terkait rencana pengelolaan pertambangan di sana. Secara umum, pengelolaan
pertambangan Papua dilaksanakan mengacu pada ketentuan yang ada dalam undang-undang
Pertambangan Mineral dan Batu Bara dan aturan pelaskanaan terkait. Undang-undang yang terbit
Januari 2009 itu memberi keleluasaan lebih besar kepada pemerintah daerah mengeluarkan izin

pertambangan. Kewenangan ini yang kemudian oleh pengamat bahkan pejabat pemerintah
Kementerian ESDM dinilai perlu untuk tetap diawasai (energytoday.com, 2013).
Kecenderungan pemerintah daerah khususnya dalam memperoleh sumber PAD terlalu
fokus pada SDA yang memberikan keuntungan langsung misalnya pertambangan logam dan
mineral. Ditambah lagi, hasil tambang tersebut langsung dijual dalam bentuk mentah tanpa
pengolahan lebih dulu untuk meningkatkan nilai guna sehingga nilai jualnya juga lebih tinggi.
Selain

itu

masih

rendahnya

kepedulian

pemerintah

daerah

dalam

mengelola

dan

mengembangkan SDA lain yang dapat terus diperbaharui dalam jangka panjang misalnya
perikanan, pertanian dan perkebunan.
Masih jarang daerah,khususnya yang memilki sumber daya tambang, melirik potensi
pertanian, perikanan maupun perkebunan. Hal ini dikarenakan pemerintah daerah sendiri masih
kesulitan merancang kebijakan yang tepat untuk mendongkrak komoditas sektor ini. Selain itu,
komoditas ini dipengaruhi pula oleh kondisi alam, misalnya di sektor pertanian dan perkebunan.
Pada musin kemarau tentunya akan terjadi penurunan produksi, hal ini tentunya akan
berpengaruh terhadap perekonomian masyarakat. Dalam hal pengembangannya, juga diperlukan
modal yang besar. Terkadang, dalam pemberian bantuan kepada masyarakat pun, tidak disertai
dengan analisis kebutuhan masyarakat, sehingga bantuan yang diberikan pun tidak memberikan
kebermanfaatan yang optimal bagi masyarakat. Meskipun sudah ada inovasi yang muncul dalam
pengelolaan sektor pertanian, perkebunan maupun perikanan di beberapa daerah, namun
jumlahnya cenderung masih sedikit. Bahkan beberapa pemerintah daerah mengakui, mereka
masih kesulitan dalam membantu memasarkan atau mendistribusikan produk daerah, terutama
untuk ke luar daerah.
Sektor lain yang sebenarnya juga mempunyai prospek yang menjanjikan bagi daerah
adalah sektor pariwisata. Setiap daerah di Indonesia, memiliki budaya lokal dan kekayaan alam
yang berbeda-beda. Namun apabila diamati, sebagian daerah belum mampu mengeksplor
prospek pariwisata di daerahnya dengan alasan kurangnya dana untuk pembangunan
infrastruktur, sarana dan prasarana yang menunjang. Selain itu, promosi kekayaan pariwisata
juga masih kurang. Dalam hal ini, pemerintah daerah sebenarnya dapat menjalin kerjsama
dengan swasta.

MASALAH-MASALAH DALAM PEMBANGUNAN


Permasalahan pokok yang dihadapi oleh negara sedang berkembang terletak pada hasil
pembangunan masa lampau, dimana strategi pembangunan ekonomi yang menitikberatkan
secara pembangunan dalam arti pertumbuhan ekonomi yang pesat ternyata menghadapi
kekecewaan. Banyak negara dunia ketiga yang sudah mengalami petumbuhan ekonomi, tapi
sedikit sekali manfaatnya terutama dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran dan
ketimpangan dalam distribusi pendapatannya. Jurang si kaya dan si miskin semakin melebar.
Penganggur dan setengah menganggur di desa maupun di kota semakin meningkat. Problem dari
masalah kemiskinan, serta keadaan perumahan yang tidak memadai.
Ketimpangan dan ketidakmerataan serta pengangguran tidak hanya dalam kontek
nasional, tetapi dalam konteks internasional yang memandang negara-negara yang sedang
berkembang sebagai bagian peningkatan interdependensi (saling ketergantungan) yang sangat
timpang dalam sistem ekonomi dunia. Di negara maju titik berat strategi pembangunan
nampaknya ditekan untuk mengalihkan pertumbuhan menuju usaha-usaha yang menyangkut
kualitas hidup. Usaha-usaha tersebut dimanifestasikan secara prinsip dalam perubahan keadaan
lingkungan hidup.
Pada prinsipnya problem-problem kemiskinan dan distribusi pendapatan menjadi samasama penting dalam pembangunan negara tersebut. Penghapusan kemiskinan yang meluas dan
pertumbuhan ketimpangan pendapatan merupakan pusat dari semua problem pembangunan yang
banyak mempengaruhi strategi dan tujuan pembangunan. Oleh karena itu ahli ekonomi
mengemukakan bahwa untuk perbaikan jurang pendapatan nasional hanya mungkin bila strategi
pembangunan mengutamakan apa yang disebut keperluan mutlak, syarat minimum untuk
memenuhi kebutuhan pokok, serta yang dinamakan kebutuhan dasar.
Pengalaman pembangunan di banyak negara dewasa ini menunjukkan, bahwa terdapat
pertentangan antara gagasan dan praktek pembangunan ekonomi. Gagasan pembangunan
kontemporer berpendirian, bahwa globalisasi akan selalu memberikan efek positif yang
menguntungkan. Pada prakteknya itu tidak selalu terjadi. Krisis finansial yang melanda Asia
Timur dan Asia Tenggara merupakan contoh ekses negatif globalisasi. Globalisasi dan
pertumbuhan ekonomi yang telah dicapai tidak selalu diikuti pemerataan dan keadilan sosial.
Hal ini selanjutnya membawa kita pada dilema pokok dalam gagasan pembangunan,
yaitu adanya perdebatan di antara para pakar tentang strategi yang seharusnya didahulukan,

antara pertumbuhan dan pembangunan. Kelompok pertama menyatakan, bahwa pertumbuhan


ekonomi harus didahulukan untuk mencapai tujuan-tujuan lain dalam pembangunan. Kelompok
lainnya berpendapat, bahwa bertolak dari tujuan yang sebenarnya ingin dicapai, maka aktivitas
yang berkaitan langsung dengan masalah pembangunan itulah yang seharusnya didahulukan,
sehingga tercapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Perdebatan ini menarik untuk
diikuti karena masing-masing kelompok berpendapat dengan argumen yang kuat.
Profesor Mubyarto dan Profesor Bromley mempunyai gagasan baru dalam pembangunan,
yaitu tentang pentingnya peran kelembagaan dalam pembangunan. Selama aspek kelembagaan
belum diperhatikan dengan baik, maka akan sulit untuk merumuskan dan melaksanakan aktivitas
pembangunan yang mendukung terwujudnya pemerataan sosial, pengurangan kemiskinan, dan
usaha-usaha peningkatan kualitas hidup lainnya. Aspek kelembagaan ini berperan penting dalam
meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat, khususnya masyarakat miskin, dalam
memanfaatkan kesempatan ekonomi yang ada. Inovasi dalam kebijakan publik semacam ini akan
senantiasa memberikan perhatian terhadap tiga hal penting, yaitu etika, hukum, dan ilmu
ekonomi.
Etika menekankan pada persepsi kolektif tentang sesuatu yang dianggap baik dan adil,
untuk masa kini maupun mendatang. Hukum menekankan pada penerapan kekuatan kolektif
untuk melaksanakanethical consensus yang telah disepakati. Sementara itu, ilmu ekonomi
menekankan pada perhitungan untung rugi yang didasarkan pada etika dan landasan hukum
suatu negara.
Masalah Distribusi Pendapatan
Distribusi pendapatan nasional adalah mencerminkan merata atau timpangnya pembagian
hasil suatu negara di kalangan penduduknya (Dumairy, 1999)
Menurut Irma Adelma dan Cynthia Taft Morris (dalam Lincolin Arsyad, 1997) ada 8 hal
yang menyebabkan ketimpangan distribusi di Negara Sedang Berkembang:
1. Pertumbuhan penduuduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita
2. Inflasi dimana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan
pertambahan produksi barang-barang
3. Ketidakmerataan pembangunan antar daerah
4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal, sehingga persentase
pendapatan modal kerja tambahan besar dibandingkan persentase pendapatan yang berasal
dari kerja, sehingga pengangguran bertambah
5. Rendahnya mobilitas sosial

6. Pelaksanaan kebijakan industry substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga


barang hasil industry untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis
7. Memburuknya nilai tukar bagi NSB dalam perdagangan dengan Negara- Negara maju, sebagi
akibat ketidak elastisan permintaan Negara-negara maju terhadap barang-barang ekspor NSB
8. Hancurnya industry kerajinan rakyat seperti pertukangan, industry rumah tangga, dan lain-lain
Michael P. Todaro dalam bukunya Pembangunan Ekonomi menjelaskan bahwa pembangunan
dalam perspektif luas dapat dipandang sebagai suatu proses multidimensional yang mencakup
berbagai perubahan mendasar atas struktur sosial, sikap masyarakat dan institusi nasional,
disamping tetap mengejar akselerasi pertumbuhan ekonomi, penanganan ketimpangan
pendapatan serta pengentasan kemiskinan.
Masalah Kemiskinan
Kemiskinan adalah keadaan dimana terjadi kekurangan hal-hal yang biasa untuk dipunyai
seperti makanan , pakaian , tempat berlindung dan air minum, hal-hal ini berhubungan erat
dengan kualitas hidup . Kemiskinan kadang juga berarti tidak adanya akses terhadap pendidikan
dan pekerjaan yang mampu mengatasi masalah kemiskinan dan mendapatkan kehormatan yang
layak

sebagai

warga

negara.

Kemiskinan

merupakan

masalah

global.

Berbagai sudut pandangan tentang masalah kemiskinan, pada dasarnya dapat dilihat dari
dua aspek yaitu aspek statis dan dinamis
1. Dari Segi Statis
Kemiskinan sosial. Kemiskinan yang dialami oleh perempuan, anak-anak, dan
kelompok minoritas
Ketidakmampuan dan ketidakberuntungan sosial (anak telantar, wanita korban tindak
kekerasan rumah tangga, janda miskin, kelompok marjinal dan terpencil.
Masyarakat miskin seringkali merupakan kelompok yang tidak berdaya baik karena
hambatan internal dari dalam dirinya maupun tekanan eksternal dari lingkungannya.
Miskin alamiah, kemiskinan yang timbul akibat terbatasnya jumlah sumber daya dan
karena tingkat perkembangan teknologi yang sangat rendah. Sehingga dalam
masyarakat ini tidak akan ada kelompok atau individu yang lebih miskin dari yang
lain. Jika ada perbedaan kekayaan dalam masyarakat, dampak perbedaan tersebut akan
diperlunak atau dieliminasi oleh adanya pranata-pranata tradisional. Misalnya
hubungan patron-klien, jiwa gotong royong, dan sejenisnya berfungsi untuk meredam
timbulnya kecemburuan sosial.

Kemiskinan struktural atau buatan, merupakan kemiskinan yang terjadi karena struktur
sosial yang ada membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak menguasai sarana
ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Bahkan Selo Soemardjan mendefinisikan
kemiskinan struktural sebagai kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan
masyarakat, karena struktur sosial masyarakat itu tidak dapat menggunakan sumbersumber pendapatan yang sebenarnya tersedia bagi mereka.
2. Dari Segi Dinamis
Kemiskinan yang diakibatkan globalisasi. Globalisasi menghasilkan pemenang dan
pengkalah. Pemenang umumnya adalah negara-negara maju. Sedangkan negara-negara
berkembang seringkali semakin terpinggirkan oleh persaingan dan pasar bebas yang
merupakan prasyarat globalisasi.
Kemiskinan yang berkaitan dengan pembangunan. Kemiskinan subsisten (kemiskinan akibat
rendahnya pembangunan), kemiskinan pedesaan (kemiskinan akibat peminggiran pedesaan
dalam proses pembangunan), kemiskinan perkotaan (kemiskinan yang sebabkan oleh hakekat
dan kecepatan pertumbuhan perkotaan).
Kemiskinan konsekuensial. Kemiskinan yang terjadi akibat kejadian-kejadian lain atau
faktor-faktor eksternal di luar si miskin, seperti konflik, bencana alam, kerusakan lingkungan,
dan tingginya jumlah penduduk.
Tidak adanya akses terhadap kebutuhan hidup dasar lainnya (kesehatan, pendidikan, sanitasi,
air bersih dan transportasi)

Masalah Pembangunan Dalam Negeri


Hingga saat ini, pandangan banyak ahli ekonomi pembangunan terhadap pembangunan
ekonomi masih diwarnai oleh dikotomi antara pertumbuhan ekonomi dan pemerataan
pembangunan. Masih adanya kontroversi antara mana yang lebih dahulu untuk dilakukan dan
dicapai, pertumbuhan ekonomi atau pemerataan pembangunan.
Masalah pokok pembangunan Indonesia
Masalah pokok pembangunan Indonesia ada bermacam macam , diantaranya adalah
1. Dualisme peraturan
2. Kependudukan dan kemiskinan
3. Iklim dan geografis
4. Pemerataan pembangunan

Macam-macam penyebab diatas sangat mempengaruhi pembangunan pada Negara,


Negara Indonesia adalah termasuk dalam Negara berkembang, oleh karena itu masalah
masalah diatas harus segera diselesaikan.
Dualisme pengaturan
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua
macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masingmasing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu
menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama kedua
hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
Dualisme pengaturan adalah pengaturan sistem pada Negara Indonesia yang bersifat
dualism sehingga mengakibatkan keterhambatnya pembangunan di Indonesia.
Kependudukan dan Kemiskinan
Kependudukan di Indonesia tidak merata sehingga kepadatan di beberapa kota besar
sangat mempengaruhi pembangunan. Dengan kepadatan penduduk tersebut maka persaingan
untuk mencari lapangan kerja sangat sulit, dan mengakibatkan pengangguran dan Kemiskinan.
Dampak Pengangguran Terhadap Pembangunan Nasional
Pengangguran merupakan masalah pokok dalam suatu masyarakat modern. Jika tingkat
pengangguran tinggi, sumber daya menjadi terbuang percuma dan tingkat pendapatan
masyarakat akan merosot. Situasi ini menimbulkan kelesuan ekonomi yang berpengaruh pula
pada emosi masyarakat dan kehidupan keluarga sehari-hari.
Pengangguran berdampak besar terhadap pembangunan nasional. Dampak pengangguran
terhadap pembangunan nasional dapat dilihat melalui hubungan antara pengangguran dan
indikator-indikator berikut ini:
1. Pendapatan Nasional dan Pendapatan per Kapita
Upah merupakan salah satu komponen dalam penghitungan pendapatan nasional. Apabila tingkat
pengangguran semakin tinggi, maka nilai komponen upah akan semakin kecil. Dengan demikian,
nilai pendapatan nasional pun akan semakin kecil. Pendapatan per kapita adalah pendapatan
nasional dibagi jundah penduduk. Oleh karna itu, nilai pendapatan nasional yang semakin kecil
akibat pengangguran akan menurunkan nilai pendapatan per kapita.
2. Beban Psikologi
Semakin lama seseorang menganggur, semakin besar beban psikologis yang harus ditanggung.
Secara psikologis, orang yang menganggur mempunyai perasaan tertekan, sehingga berpengaruh

terhadap berbagai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Dampak psikologis ini mempunyai
efek domino di mana secara sosial, orang menganggur akan merasa minder karena status sosial
yang tidak atau belum jelas.
3. Biaya Sosial
Dengan semakin besarnya jumlah penganggur, semakin besar pula biaya sosial yang harus
dikeluarkan. Biaya sosial itu mencakup biaya atas peningkatan tugas-tugas medis, biaya
keamanan, dan biaya proses peradilan sebagai akibat meningkatnya tindak kejahatan.
4. Penerimaan Negara
Salah satu sumber penerimaan negara adalah pajak, khususnya pajak penghasilan. Pajak
penghasilan diwajibkan bagi orang-orang yang memiliki pekerjaan. Apabila tingkat
pengangguran meningkat, maka jumlah orang yang membayar pajak penghasilan berkurang.
Akibatnya penerimaan negara pun berkurang.

Dampak Pengangguran Terhadap Ekonomi Masyarakat


Tingginya tingkat pengangguran dalam sebuah perekonomian akan mengakibatkan
kelesuan ekonomi dan merosotnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagai akibat penurunan
pendapatan masyarakat.
Dampak pengangguran terhadap ekonomi masyarakat meliputi hal-hal berikut ini:
a. Pendapatan per kapita
Orang yang menganggur berarti tidak memiliki penghasilan sehingga hidupnya akan
membebani orang lain yang bekerja. Dampaknya adalah terjadinya penurunan pendapatan
per-kapita. Dengan kata lain, bila tingkat pengangguran tinggi maka pendapatan per kapita
akan menurun dan sebaliknya bila tingkat pengangguran rendah pendapatan per kapita akan
meningkat, dengan catatan pendapatan mereka yang masih bekerja tetap.
b. Pendapatan Negara
Orang yang bekerja mendapatkan balas jasa berupa upah/gaji, Upah/gaji tersebut sebelum
sampai di tangan penerima dipotong pajak penghasilan terlebih dahulu. Pajak ini merupakan
salah satu sumber pendapatan negara sehingga bila tidak banyak orang yang bekerja maka
pendapatan negara dari pemasukan pajak penghasilan cenderung berkurang.
c. Beban Psikologis
Semakin lama seseorang menganggur semakin besar beban psikologis yang ditanggungnya.
Orang yang memiliki pekerjaan berarti ia memiliki status sosial di tengah-tengah masyarakat.
Seseorang yang tidak memiliki pekerjaan dalam jangka waktu lama akan merasa rendah diri
(minder) karena statusnya yang tidak jelas.

d. Munculnya Biaya Sosial


Tingginya tingkat pengangguran akan menimbulkan pengeluaran berupa biaya-biaya sosial
seperti biaya pengadaan penyuluhan, biaya pelatihan, dan biaya keamanan sebagai akibat
kecenderungan meningkatnya tindak kriminalitas.

Iklim dan Geografis


Iklim di Indonesia adalah tropis dan geografisnya berupa kepulauan, sehingga sulit untuk
pemerintah melakukan pemerataan pembangunan dan ditambah lokasi pulau pulau berjarak
cukup jauh. Negara Indonesia beriklim tropis sehingga sangat mudah untuk melakukan kegiatan
pertanian, karena banyak penduduk Indonesia yang melakukan pertanian sehingga pembangunan
menjadi sulit.
Pemerataan pembangunan
Pemerataan pembangunan di Indonesia masih cukup labil, karena banyak faktor yang
mempengaruhinya sehingga pembangunan di Indonesia tidak merata. Akibatnya masih banyak
beberapa daerah yang belum mendapatkan infrastruktur yang memadai, diantaranya : air bersih,
lisrik, pendidikan ,dan lapangan pekerjaan. Akibat dari tidak meratanya pembangunan sangat
banyaknya kemiskinan di Indonesia.
Masalah Kependudukan
1. Permasalahan Kuantitas Penduduk di Indonesia
Berbagai permasalahan yang berkaitan dengan kuantitas penduduk sebagai berikut :
a. Jumlah Penduduk Indonesia
Besarnya sumber daya manusia Indonesia dapat di lihat dari jumlah penduduk yang ada.
Jumlah penduduk di Indonesia berada pada urutan keempat terbesar setelah Cina, India, dan
Amerika Serikat.
b. Pertumbuhan Penduduk Indonesia
Peningkatan penduduk dinamakan pertumbuhan penduduk. Angka pertumbuhan penduduk
Indonesia Lebih kecil dibandingkan Laos, Brunei, dan Filipina.
c. Kepadatan penduduk Indonesia
Kepadatan penduduk merupakan perbandingan jumlah penduduk terhadap luas wilayah yang
dihuni. Ukuran yang digunakan biasanya adalah jumlah penduduk setiap satu km 2 atau setiap
1mil2. permasalahan dalam kepadatan penduduk adalah persebarannya yang tidak merata.
Kondisi demikian menimbulkan banyak permasalahan, misalnya pengangguran, kemiskinan,
kriminalitas, pemukiman kumuh dsb.

d. Susunan penduduk Indonesia


Sejak sensesus penduduk tahun 1961, piramida penduduk Indonesia berbentuk limas
atau ekspansif. Artinya pada periode tersebut, jumlah penduduk usia muda lebih banyak
daripada penduduk usia tua. Susunan penduduk yang seperti itu memberikan konsekuensi
terhadap hal-hal berikut :
o
o
o
o

Penyediaan fasilitas kesehatan.


Penyediaan fasilitas pendidikan bagi anak usia sekolah.
Penyediaan lapangan pekerjaan bagi penduduk kerja.
Penyediaan fasilitas social lainnya yang mendukung perkembangan penduduk usia muda.

Masalah Ketenagakerjaan di Indonesia


1.

Pengangguran dan pendidikan rendah


Masalah di atas pada akhirnya tali temali menghadirkan implikasi buruk dalam

pembangunan hukum di Indonesia. Bila ditelusuri lebih jauh keempat masalah di atas dapatlah
disimpulkan bahwa akar dari semua masalah itu adalah karena ketidakjelasan politik
ketenagakerjaan nasional. Sekalipun dasar-dasar konstitusi UUD 45 khususnya pasal 27 dan
pasal 34 telah memberikan amanat yang cukup jelas bagaimana seharusnya negara memberikan
perlindungan terhadap buruh/pekerja.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah lapangan kerja yang
tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja. Juga kompetensi pencari kerja tidak sesuai dengan
pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya informasi pasar kerja bagi para pencari kerja.
Fenomena pengangguran juga berkaitan erat dengan terjadinya pemutusan hubungan kerja, yang
disebabkan antara lain: perusahaan yang menutup/mengurangi bidang usahanya akibat krisis
ekonomi atau keamanan yang kurang kondusif; peraturan yang menghambat inventasi; hambatan
dalam proses ekspor impor, dll.
Menurut data BPS angka pengangguran pada tahun 2002, sebesar 9,13 juta penganggur
terbuka, sekitar 450 ribu diantaranya adalah yang berpendidikan tinggi. Bila dilihat dari usia
penganggur sebagian besar (5.78 juta) adalah pada usia muda (15-24 tahun). Selain itu terdapat
sebanyak 2,7 juta penganggur merasa tidak mungkin mendapat pekerjaan (hopeless). Situasi
seperti ini akan sangat berbahaya dan mengancam stabilitas nasional. Masalah lainnya adalah
jumlah setengah penganggur yaitu yang bekerja kurang dari jam kerja normal 35 jam per
minggu, pada tahun 2002 berjumlah 28,87 juta orang. Sebagian dari mereka ini adalah yang

bekerja pada jabatan yang lebih rendah dari tingkat pendidikan, upah rendah, yang
mengakibatkan produktivitas rendah. Dengan demikian masalah pengangguran terbuka dan
setengah penganggur berjumlah 38 juta orang yang harus segera dituntaskan.
Keadaan Angkatan Kerja dan Keadaan Kesempatan Kerja
Masalah pengangguran dan setengah pengangguran tersebut di atas salah satunya
dipengaruhi oleh besarnya angkatan kerja. Angkatan kerja di Indonesia pada tahun 2002 sebesar
100,8 juta orang. Mereka ini didominasi oleh angkatan kerja usia sekolah (15-24 tahun)
sebanyak 20,7 juta. Pada sisi lain, 45,33 juta orang hanya berpendidikan SD kebawah, ini berarti
bahwa angkatan kerja di Indonesia kualitasnya masih rendah.
Keadaan lain yang juga mempengaruhi pengangguran dan setengah pengangguran
tersebut adalah keadaan kesempatan kerja. Pada tahun 2002, jumlah orang yang bekerja adalah
sebesar 91,6 juta orang. Sekitar 44,33 persen kesempatan kerja ini berada disektor pertanian,
yang hingga saat ini tingkat produktivitasnya masih tergolong rendah. Selanjutnya 63,79 juta dari
kesempatan kerja yang tersedia tersebut berstatus informal.
Dan selama hampir 25 tahun lebih pemerintah Indonesia percaya, dengan jenis investor
ini, sampai kemudian disadarkan oleh kenyataan pahit bahwa jenis industri seperti itu adalah
jenis industri yang paling gemar melakukan relokasi. Pemindahan lokasi industri ke negara yang
menawarkan upah buruh yang lebih kecil, peraturan yang longgar, dan buruh yang melimpah.
Mereka diberikan gelar industri tanpa kaki (foot loose industries), karena kemudahan mereka
melangkah dari satu negara ke negara lainnya.
Indonesia yang mendapat era reformasi tahun 1998 secara ambisius meratifikasisemua
konvensi dasar ILO (a basic human rights conventions) yaitu; kebebasan berserikat dan
berunding, larangan kerja paksa, penghapusan diskriminasi kerja, batas minimum usia kerja
anak, larangan bekerja di tempat terburuk. Ditambah dengan kebijakan demokratisasi baru
dibidang politik, telah membuat investor tanpa kaki ini kuatir bahwa demokratisasi baru selalu
diikuti dengan diperkenalkannya
Undang-undang baru yang melindungi dan menambah kesejahteraan buruh. Bila ini yang
terjadi maka konsekuensinya akan ada peningkatan biaya tambahan (labor cost maupun
overheadcost). Bagi perusahaan yang masih bisa mentolerir kenaikan biaya operasional ini,
mereka akan mencoba terus bertahan, tetapi akan lain halnya kepada perusahaan yang
keunggulan komparatifnya hanya mengandalkan upah murah dan longgarnya peraturan, mereka
akan segera angkat kaki ke negara yang menawarkan fasilitas bisnis yang lebih buruk.

Itulah sebabnya sejak tahun 1999-2002 diperkirakan jutaan buruh telah kehilangan
pekerjaan karena perusahaannya bangkrut atau re-lokasi ke Cina, Kamboja atau Vietnam. Jenis
indusri seperti ini sudah lama hilang dari negara-negara industri maju, karena sistem
perlindungan hukum dan kuatnya serikat buruh telah membuat industri ini hengkang ke negara
lain.
Investor yang datang ke sektor ini adalah investor yang berbisnis dengan memanfaatkan
potensi sumber daya alam kita, bukan karena sumber daya manusia yang melimpah. Industri ini
juga tidak mengenal re-Iokasi (kecuali kaJau sudah habis masa eksplorasi). Karena tidak di
semua tempat ada tersedia sumber daya alam yang melimpah. Mengandalkan terus-menerus
industri ke sektor padat karya manufaktur, akanhanya membuat buruh Indonesia seperti hidup
seperti dalam ancaman bom waktu.
Rentannya hubungan kerja akibat buruknya kondisi kerja, upah rendah. PHK
semenamena dan perlindungan hukum yang tidak memadai, sebenarnya adalah sebuah awal
munculnya rasa ketidakadilan dan potensi munculnya kekerasan. Usaha keras dan pembenahan
radikal harus dilakukan untuk menambah percepatan investor baru. Saya sangat sedih mendengar
berita tentang minimnya atase perdagangan Indonesia yang mempromosikan potensi keunggulan
ekonomi kita. Indonesia dengan penduduk 210 juta Singapura, dengan penduduk 4 juta memiliki
125 atase perdagangan, Thailand dengan penduduk 60 juta punya 75 atase, Malaysia 80,
Philippine 45. Bagaimana mungkin negara lain tahu ada potensi kita bila tenaga yang
mempromosikannya hanya 25 orang.
Potensi investasi di banyak negara berkembang juga dapat kita temukan di web-site
khusus mereka, yang disediakan untuk menarik investor asing potensial. Di dalam situs itu bisa
ditemukan (bahkan infofmasi setiap daerah) potensi bisnis apa yang layak dikembangkan.
Indonesia sejauh yang saya ketahui tidak punya situs informasi secanggih itu. Selain itu, poIitik
nasional kita juga tidak memiIiki komitmen sungguh-sungguh untuk meningkatkan kualitas
SDM, terbukti dengan minimnya alokasi dana APBN yang disepakati politisi dan pemerintah
untuk anggaran pendidikan. Rasio anggaran pendidikan Indonesia untuk untuk pendidikan hanya
1.6% dari PDB. Sementara itu Thailand 3,6. Singapura 2.3 dan India 3.3. Itu sebabnya banyak
sekolah SD yang tidak mempunyai guru atau hanya mempunyai 1 atau 2 orang guru yang
mengajar semua kelas 1 sampai kelas 6.

2.

Minimnya perlindungan hukum dan rendahnya upah

Dalam kamus modern serikat buruh, hanya ada dua cara melindungi buruh yaitu;
Pertama, melalui undang-undang perburuhan. MeIalui undang-undang buruh akan terlindungi
secara hukum, mulai dari jaminan negara memberikan pekerjaan yang layak, melindunginya di
tempat kerja (kesehatan dan keselamatan kerja dan upah layak) sampai dengan pemberian
jaminan sosial setelah pensiun.
Kedua, melalui serikat buruh. Sekalipun undang-undang perburuhan bagus, tetapi buruh
tetap memerlukan kehadiran serikat buruh untuk pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB ).
PKB adalah sebuah dokumen perjanjian bersama antara majikan dan buruh yang berisi hak dan
kewajiban masing-masing pihak. Hanya melalui serikat buruhlah bukan melalui LSM ataupun
partai politik bisa berunding untuk mendapatkan hak-hak tambahan (di luar ketentuan UU)
untuk menambah kesejahteraan mereka.

3.

Penurunan Pekerja Sektor Formal

Jumlah orang yang bekerja di sektor formal terus mengalami penurunan semenjak tahun 2000
dan terus turun hingga lebih dari 1 juta lapangan kerja yang hilang di tahun 2003. Kondisi ini
terutama terlihat sekali pada kelompok pekerja kasar. Di lain pihak, pekerja di sektor informal
menunjukkan gejala yang terus meningkat. Pada tahun 2003 terdapat peningkatan sekitar
400.000pekerja. Jumlah pekerja di sektor pertanian, dimana kebanyakan berada pada sektor
informal, juga kembali meningkat dari 40 persen pada tahun 1997 menjadi sekitar 46,3 persen
pada tahun 2003. Kecenderungan ini merupakan gambaran bahwa pekerjaan yang lebih
produktif, dengan sistem jaminan socials yang memadai sedang mengalami penurunan,
digantikan dengan pekerjaan yang kurang produktif dan tanpa proteksi sosial.
Penciptaan lapangan kerja yang mengecewakan saat ini amat berbeda jauh dengan
pengalaman Indonesia di masa lalu. Sebelum krisis pertumbuhan ekonomi yang didorong oleh
ekspor dengan investasi tinggi merupakan sumber utama penyerapan tenaga kerja. Antara tahun
1990 hingga 1995, industri berorientasi ekspor beserta berbagai industri pendukungnya
diperkirakan telah menyediakan separuh dari total pekerjaan yang ada.

MENGANTISIPASI MASALAH PEMBANGUNAN

Dalam perkembangannya, pembangunan daerah tidak luput dari berbagai masalah.


Masalah tersebut semakin kontras bila kita membandingkan antara masa pra-otonomi dan pascaotonomi. Mengapa otonomi daerah yang tujuannya baik yaitu memberikan kekuasaan pada tiap
daerah untuk mengurus dirinya masing-masing justru malah menimbulkan masalah bagi
beberapa daerah baik provinsi, kota ataupun kabupaten? Jawabannya adalah karena tidak semua
daerah siap dalam menerima tanggung jawab tersebut. Sementara itu daerah-daerah yang sejak
awal terlihat memiliki potensi yang tinggi untuk semakin maju setelah otonomi daerah
dicanangkan semakin meninggalkan daerah yang tidak siap tadi jauh di belakang. Secara
sistematis, kami membagi masalah pembangunan daerah menjadi empat (lihat Gambar 3 di
bawah).
Konsestrasi
kegiatan
ekonomi
Alokasi
investasi tidak
merata

Masalah
Pembangunan
Daerah

Ketimpangan
antar Daerah

Tingkat mobilitas
faktor produksi
atau barang dan
jasa rendah

Kelemahan
kinerja aparat
daerah

Perbedaan SDA

Fenomena
desentralisasi
korupsi

Perbedaan
Kondisi
Demografis

Pemekaran
Daerah yang
Berlebihan

Gambar 10 : Masalah Pembangunan Daerah

a) Ketimpangan antar Daerah


Ketimpangan daerah merupakan masalah utama dalam pembangunan daerah. Sudah
banyak studi mengenai hal ini beserta faktor-faktor penyebabnya. Dari beberapa studi tersebut,
kami mengelompokkan empat lima penyebab, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah,

alokasi investasi yang tidak merata, tingkat mobilitas faktor produksi yang rendah antardaerah,
perbedaan seumber daya alam (SDA) antarprovinsi, dan perbedaan kondisi demografis
antarwilayah. Kelima faktor tersebut akan kami jabarkan satu persatu.
(a) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah
Konsentrasi kegiatan ekonomi yang terlalu tinggi di suatu daerah tertentu merupakan
salah satu faktor penyebab terjadinya ketimpangan pembangunan antardaerah. ekonomi dari
daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi tinggi cenderung tumbuh pesar sedangkan daerah
yang tingkat konsentrasi ekonominya rendah akan cederung mempunyai tingkat pembangunan
dan pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah.
Teori : Jika tingkat konsentrasi ekonomi suatu daerah rendah, maka tingkat
pembangunan dan pertumbuhannya juga akan rendah.

Tabel 11 : Jumlah Industri Pengolahan Besar dan Sedang di Jawa dan Luar Jawa

Tabel 11 menunjukkan bahwa jumlah industri pengolahan besar dan sedang baik Jawa
maupun Luar Jawa dalam jangka panjang cenderung menurun. Namun hal lain yang lebih
penting untuk diperhatikan adalah gap jumlah industri yang sangat tinggi antara Jawa dan Luar
Jawa. Data ini merupakan bukti bahwa kegiatan ekonomi masih terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Solusi :

Mulai berikan perhatian lebih pada daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi (terutama di
luar Jawa).

Langkah-langkah :
-

Memperluas pasar lokal yang ada di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.


Keberadaan pasar menunjukkan kehidupan kegiatan ekonomi suatu daerah. Karena itu
perluasan pasar di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi saat ini akan meningkatkan
pembangunan ekonomi daerah tersebut.

Peningkatan infrastruktur di daerah-daerah yang kurang terkonsentrasi.


Infrastruktur yang buruk seperti jalan-jalan yang rusak, sarana komunikasi yang tidak
menjangkau,dan fasilitas lain seperti pasokan air, listrik, rumah sakit, dan lain-lain akan
membuat suatu daerah kurang menarik di mata investor. Hal tersebut pula yang
menyebabkan kurang terkonsentrasinya suatu daerah.

Peningkatan SDM.
Peningkatan SDM di daerah setempat juga merupakan salah satu cara untuk meningkatkan
konsentrasi kegiatan ekonomi suatu daerah. SDM yang andal akan memberikan idea tau
gagasan yang dapat mengakselerasi terjadinya pembangunan daerah yang baik.

(b) Alokasi Investasi yang Tidak Merata


Indikator lain yang juga menunjukkan ketimpangan antardaerah adalah alokasi investasi
yang tidak merata. Sub-indikator yang digunakan adalah Penanaman Modal Dalam Negri
(PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA). Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi dari
Harrod-Domar yang menerangkan adanya korelasi positif antara tingkat investasi dan laju
pertumbuhan ekonomi, dapat dikatakan bahwa kurangnya investasi di suatu wilayah membuat
pertumbuhan ekonomi dan tingkat pendapatan masyarakat perkapita di wilayah tersebut rendah.

Teori Harrod Domar : , terdapat korelasi positif antara tingkat investasi dan laju
pertumbuhan ekonomi. Artinya semakin tinggi investasi di suatu wilayah,
semakin tinggi pula pendapatan perkapita masyarakat yang berarti semakin
tinggi juga pertumbuhan ekonominya.

Tabel 12 : Realisasi Investasi PMDN Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal


(Lkpm) Menurut Lokasi

Tabel 13 : Realisasi Investasi PMA Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal


(LKPM) Menurut Lokasi

Berdasarkan Tabel 12 dan Tabel 13 di atas, DKI Jakarta merupakan provinsi dengan nilai
investasi dan total proyek tertinggi (baik PMDN maupu

PMA) bila dibandingkan dengan

provinsi lainnya. Statusnya sebagai ibukota dengan jumlah penduduk terpadat merupakan
beberapa dari penyebabnya. Terlalu banyaknya proyek dan nilai investasi juga menjadikan
Jakarta sebagai kota dengan konsentrasi ekonomi yang tinggi sekaligus menyebabkan

kesenjangan konsentrasi yang tinggi dengan daerah lainnya. Sementara itu Maluku tercatat
sebagai provinsi yang paling jarang dijadikan tempat investor menanam dananya.
Solusi :
-

Memperluas investasi ke daerah-daerah yang belum terjamah.

Langkah-langkah :
-

Promosi yang gencar untuk menarik investor di berbagai event dan workshop.

Birokrasi yang mudah dan tidak berbelit-belit.

Adanya pemberian jaminan keamanan untuk investor.

(c) Tingkat Mobilitas Faktor Produksi Antardaerah yang Rendah


Kurang lancarnya mobilitas faktor produksi seperti tenaga kerja dan capital antarpropinsi
juga merupakan penyebab terjadinya ketimpangan ekonomi regional. Relasi antara mobilitas
faktor produksi dan perbedaan tingkat pembangunan dan pertumbuhan antarpropinsi dapat lebih
jelas dipahami dengan pendekatan analisis mekanisme pasar output dan pasar input. Dasar
teorinya adalah sebagai berikut, perbedaan laju pertumbuhan ekonomi antarpropinsi membuat
terjadinya perbedaan tingkat pendapatan perkapita antar propinsi sejak perbedaan tersebut,
dengan asumsi bahwa mekanisme pasar output dan input bebas (tanpa distorsi atau rekayasa).
Sesuai teori dari A. Lewis, yang dikenal dengan unlimited supply of labor, jika
perpindahan faktor produksi antardaerah tidak ada hambatan, maka pada akhirnya pembangunan
ekonomi yang optimal antardaerah akan tercapai dan semua daerah akan lebih baik .
Teori Unlimited Supply of Labor by A. Lewis : Jika perpindahan faktor produksi
antardaerah tidak mengalami hambatan, maka pada akhirnya pembangunan
ekonomi antardaerah yang optimal akan tercapai.

Tempat
lahir
1.
Sumater
a
2. Jawa
3.
Kalimant
an
4.
Sulawesi
5. Pulau
lainnya
6. Jumlah
7. Migran
masuk

Sumatera

Jawa

Pulau
Lainnya
199 200
0
0

Kalimantan

Sulawesi
199
0

200
0
5.53
51.6
3

5.19
61.9

5.17
70.0
2

1.35
31.5
6

1.75
23.0
5

na
100
601,
103

na
100
703,
673

1990

2000

1990

2000

1990

2000

na

na

66.49

68.8

4.26

4.74

95.25

93.79

Na

na

74.66

72.05

5.16
59.6
5

0.63

0.69

12.31

10.15

na

na

3.41

3.44

2.5

3.2

11.04

9.38

16.84

17.49

1.62
100
3,699
,393

2.33
100
3,588
,945

10.16
100
1,608
,136

11.68
100
2,267
,873

4.24
100
1,127
,938

5.72
100
1,644
,690

na
31.7
8
100
528,
629

na
39.4
1
100
653,
389

Tabel 14 : Persentase Migran Masuk Seumur Hidup menurut Pulau Tempat Lahir dan Pulau
Tempat Tinggal Sekarang Tahun 1990 dan 2000 (Sumber : http://www.datastatistikindonesia.com/, diolah)

Solusi :
-

Mendorong kelancaran mobilitas faktor produksi antardaerah.

Langkah-langkah :
-

Pembangunan sarana dan prasarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah.

Pengembangan sarana komunikasi agar tidak ada daerah yang terisolasi.

Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan (faktor produksi tenaga kerja).

(d) Perbedaan SDA Antarpropinsi

Dasar pemikiran klasik sering mengatakan bahwa pembangunan ekonomi di daerah


yang kaya SDA akan lebih maju dan masyarakatnya lebih maksmur dengan daerah yang miskin
SDA. Hingga tingkat tertentu, anggapan ini masih bisa dibenarkan, dalam arti SDA harus dilihat
hanya sebagai modal awal untuk pembangunan, yang selanjurnya harus dikembangkan terus.
Dan untuk maksud ini, diperlukan faktor-faktor lain, di antaranya yang sangat penting adalah
teknologi dan SDM. Propinsi-propinsi di Indonesia yang kaya akan SDA seperti Aceh, Riau,

Kalimantan Timur dan Papua memang lebih baik dibandingkan propinsi-propinsi di luar Jawa
yang miskin SDA. Tetapi, tingkat pendapatan di propinsi-propinsi kaya tersebut tidak lebih
tinggi dibandingkan di Jawa yang relative kaya SDM dan teknologi.
Jadi, dengan semakin pentingnya penguasaan teknologi dan peningkatan SDM, factor
endowments lambat laun akan tidak relevan lagi. Bukti menunjukkan bahwa negara-negara maju
di Asia tenggara dan Timur seperti Jepang, Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura adalah negaranegara yang sangat miskin SDA. Pengalaman mereka menunjukkan bahwa faktor-faktor di luar
SDA jauh lebih penting dibandingkan SDA dalam menentukan maju tidaknya pembangunan
ekonomi di suatu wilayah.
Teori Fisiokratis : Sumber daya alam adalah sumber kekayaan utama suatu
negara.

Gambar 11 : Peta Persebaran Migas di Indonesia

Gambar 11 di atas memperlihatkan persebaran berbagai sumber daya alam (berupa


pertambangan) di Indonesia. Daerah seperti Arun di Aceh yang kaya akan gas alam, Bontang di

Kalimantan Timur yang kaya akan minyak bumi dan batu bara, dan Sorong di Papua yang kaya
akan minyak bumi adalah beberapa bukti dari teori fisiokratis.
Solusi :
-

Pengembangan potensi daerah selain SDA, terutama di wilayah-wilayah yang miskin SDA.

Langkah-langkah :
-

Kenali lebih dalam semua potensi selain SDA yang dimiliki.


Penguasaan teknologi dan sumber daya manusia. Peningkatan kedua hal ini sangat membantu
dalam mengembangkan potensi yang ada.

(e) Perbedaan Kondisi Demografis Antarwilayah


Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia juga disebabkan oleh perbedaan kondisi
geografis antarpropinsi. Terutama dalam hal jumlah dan pertumbuhan penduduk, tingkat
kepadatan antar penduduk, pendidikan, kesehatan, disiplin masyarakat, dan etos kerja. Faktorfaktor yang mempengaruhi tingkat pembangunan dan pertumbuhan ekonomi lewat sisi
permintaan dan sisi penawaran. Dari sisi permintaan, jumlah penduduk yang besar merupakan
potensi besar bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong bagi pertumbuhan
kegiatan-kegiatan ekonomi. Dari sisi penawaran, jumlah populasi yang besar dengan pendidikan
dan kesehatan yang baik, disiplin yang tinggi dan etos kerja yang tinggi merupakan aset penting
bagi produksi.
Teori : Kondisi demografi seperti jumlah penduduk yang besar merupakan
potensi yang besar pula bagi pertumbuhan pasar, yang berarti faktor pendorong
bagi pertumbuhan kegiatan-kegiatan ekonomi.

Tabel 15 : Jumlah Rumah Sakit dan Puskesmas di Indonesia (Sumber : Profil Kesehatan
Indonesia)

Menurut Tabel 15, Jawa Barat adalah provinsi dengan jumlah puskesmas tertinggi,
sedangkan Jawa Tengah adalah provinsi dengan jumlah rumah sakit terbanyak. Banyaknya
jumlah rumah sakit dan puskesmas merupakan indikator kondisi demografis dalam hal
kesehatan. Semakin banyak jumlah rumah sakit dan puskesmas di suatu daerah artinya semakin
baik kondisi demografi daerah tersebut dan semakin maju pula pembangunan daerah dan tingkat
kesejahteraan masyarakatnya.

Tabel 16 : Rasio SDM Kesehatan (Sumber : Profil Kesehatan Indonesia, 2011)

Masih bicara soal kesehatan, Tabel 16 menyajikan jumlah dokter, bidan, dan rasio
keduanya terhadap jumlah penduduk. Semakin tinggi nilai rasionya, semakin baik kondisi
demografi suatu daerah, dan semakin maju pula pembangunan daerah serta tingkat kesejahteraan
masyarakatnya. Provinsi dengan rasio dokter tertinggi adalah DKI Jakarta, sedangkan provinsi
dengan rasio bidan tertinggi dipegang oleh Bengkulu. Yang menjadi unik di sini adalah,
kebalikannya, DKI Jakarta justru adalah provinsi dengan rasio bidan terendah sedangkan
provinsi dengan rasio bidan terendah dipegang oleh Jawa Barat. Populasi yang sangat tinggi di
DKI Jakarta mungkin adalah salah satu penyebabnya.

Tabel 17 : Kepadatan Penduduk

Tabel 17 menunjukkan tingkat kepadatan penduduk dengan cara menghitung populasi


suatu provinsi dibagi dengan luas wilayahnya. Semakin tinggi tingkat kepadatan penduduk,
tingkat permintaan akan barang dan jasa juga akan meninggi. Hal tersebut pada akhirnya akan
disusul oleh peningkatan pembangunan daerah dan tingkat kesejahteraan masyarakat. DKI
Jakarta adalah provinsi dengan tingkat kepadatan tertinggi. Populasi yang membludak dan luas
wilayah yang sempit adalah beberapa dari penyebabnya. Berlawanan dengan itu, Papua Barat
yang memiliki wilayah yang amat luas dan penduduk sedikit tercatat sebagai provinsi dengan
tingkat kepadatan terendah.
Langkah-langkah :
-

Mendorong program transmigrasi.

Pengadaan program wajib belajar sebagai upaya peningkatan pendidikan masyarakat.

Pembangunan rumah sakit khusus orang miskin, dll.

b) Kelemahan Kinerja Aparat Daerah


Gambar 12 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Kinerja Aparat Daerah

Fe n o m e n a
Fenomena

P
enyebab
Penyebab

Dana bagi
p e n in g k a t a n
la y a n a n
m a s y a r a k a t t id a k
m e m a d a i.
Te r ja d i d e fi s it
APBN.
P e m e r in ta h
m e n ju a l s a h a m
BUM N dan
m e n a r ik u ta n g
b a ru .

P e n e r im a a n D A U
b a n y a k d ih a b is k a n
u n t u k m e m b ia y a i
b e la n ja p e g a w a i
p e m e r in ta h
p ro v in s i d a n
k a b u p a t e n /k o ta .
Banyak pem da
y a n g m e n y im p a n
d a n a d i re k e n in g
b a n k s e te m p a t
a t a u re k e n in g
s im p a n a n
s e m e n t a r a d i B I.
Pe m b u ku ka n
p e n d a p a ta n b u n g a
d e p o s ito d a n a
A P B D se ca ra
t e r p is a h .
P e m d a la la i d a la m
m e m b a y a r u ta n g
p a d a p e m e rin t a h
p u sa t.

C
a ra M
e n g a ta s i
Cara
Mengatasi

D A U d ire fo rm a s i,
m is a ln y a d a la m
p e m b a g ia n p a ja k
(P P n d a n
p e n y e r a h a n p a ja k
p e ru sa h a a n ) a g a r
te rc ip ta
m e k a n is m e
p e m b a g ia n d a n a
b e rd a s a rk a n
u p a y a m a s in g m a s in g d a e r a h .

Grafik 4 : Komposisi Belanja Kabupaten TA 2013


Belanja Pegawai
23% 3%

Belanja Barang dan


Jasa

1% 4%

25%

45%

Belanja Modal
Belanja Bansos dan
Hibah
Transfer
Belanja Lainnya

Grafik 5 : Komposisi Belanja Kota TA 2013

Belanja Pegawai

3%1%

Belanja Barang dan Jasa

26%
49%

Belanja Modal
Belanja Bansos dan Hibah

21%

Transfer
Belanja Lainnya

Grafik 4 dan Grafik 5 di atas menggambarkan belanja pegawai yang sangat besar untuk
kota dan kabupaten, yaitu di atas 40%. Jauh lebih besar daripada belanja lainnya. Hal tersebut
mengindikasikan jeleknya kinerja aparat daerah. Alangkah baiknya bila dana yang terlalu besar
untuk belanja pegawai tersebut dialokasikan untuk peningkatan layanan masyarakat. Hal ini
pula yang menyebabkan defisitnya APBN karena utang pemerintah daerah yang seharusnya bisa
digunakan untuk menutupi defisit tidak dibayar. Perbandingan pendapatan dan belanja nasional
bisa dilihat pada Grafik 6.

Grafik 6 : Pendapatan dan Belanja Nasional tahun 2012

c) Fenomena Desentralisasi Korupsi

Fenomena

Penyebab

Cara Mengatasi

Tingkat korupsi
setelah otonomi
daerah jauh lebih
tinggi.

Sebelum era
otonomi, dana
yang bisa
dikorupsi jauh
lebih sedikit.

Maksimalisasi
peran LSM dan
media yang peka
terhadap korupsi.

Gambar 13 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Desentralisasi Korupsi

Tabel 18 : Data Penyerahan Gratifikasi ke Kas Negara

Tabel 18 di atas dengan jelas memperlihatkan bahwa pemerintah daerah baik provinsi
maupun kabupaten/kota merupakan instansi yang melakukan penyerahan gratifikasi terbesar.
Artinya, kasus gratifikasi yang berhasil dibongkar oleh KPK paling banyak adalah pemerintah
daerah. Data ini memperkuat anggapan sebelumnya yang mengatakan bahwa fenomena korupsi
setelah era otonomi justru semakin marak.
d) Politisasi Ekonomi Daerah : Pemekaran Daerah yang Berlebihan

F
enom ena
Fenomena
Te r ja d i
p e m e ka ra n
w ila y a h b e s a rb e s a ra n .
N e g a ra
te rb e b a n i
k a re n a
tra n s fe r ke
d a e ra h y a n g
m e n g a la m i
p e m e ka ra n
w ila y a h
s a n g a t b e s a r.
D a e ra h y a n g
m e m e k a rk a n
d ir i
m e n g a la m i
p e n u ru n a n .

P
enyebab
Penyebab
B a n y a k e lit e
d a e ra h y a n g
m e m a n ip u la s i
sem ang at
ke d a e ra h a n
m a s y a ra ka t
u n tu k
m e m b e n tu k
u n it
a d m in is t r a s i
b a ru .
Te r ja d i
p e r g o la k a n d i
b e b e ra p a
d a e ra h .
Pe rs y a ra ta n
p e n d ir ia n
y a n g t e r la lu
m udah.

C
a ra M
e n g a ta s i
Cara
Mengatasi
O p t im a lis a s i
PP NO.
7 8 /2 0 0 7 d a n
P P N o . 6 /2 0 0 8
te n ta n g
e v a lu a s i
d a e ra h b a ru .

Gambar 14 : Fenomena, Penyebab, dan Cara Mengatasi Pemekaran Daerah yang


Berlebihan

Grafik 7 : Perbandingan Pertumbuhan Ekonomi Daerah Otonomi Baru

Grafik 7 menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi daerah yang melepaskan diri (DOB) anjlok
jauh di bawah daerah mekarnya. Grafik tersebut memperkuat anggapan bahwa daerah yang
melepaskan diri akan cenderung mengalami penurunan dari segala aspek, termasuk pertumbuhan
ekonomi, PDRB Perkapita, tingkat kemiskinan, dan indikator lainnya.

You might also like