You are on page 1of 8

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar


Airway

Management

AIRWAY MANAGEMENT
INTUBASI ENDOTRAKEAL

o
o
o
o
o
o
o
o
o

o
o
o

Siapkan alat-alat yang dibutuhkan :


S = Scope
= laryngoscope
T = Tube
= ETT
A = Airway
= face mask, Guedel / Mayo
T = Tape
= plester
I = Introducer = stylet / mandrin
C = Connectors = konektor
S = Suction
= penghisap lendir dan kateternya.
Gunakan laryngoscope yang sesuai dengan ukuran pasien
Pada dewasa biasa digunakan bilah lengkung / Macintosh ukuran 3 atau 4
Pada anak-anak digunakan Macintosh 2
Pada bayi digunakan Macintosh 1 atau bilah lurus / Miller ukuran 1 atau 2
Untuk neonatus digunakan Miller 0 atau 1
Ukuran ETT yang biasa digunakan
Pria dewasa
: 7,5 8
Wanita dewasa
: 7 7,5
Wanita hamil
: 6 6,5
Anak-anak > 2 tahun : 4 + ( Umur dalam tahun / 4 )
Anak-anak < 2 tahun : 2,5 - 4
Pasien berbaring terlentang / supine di meja operasi.
Gunakan bantal kepala (dengan ketebalan 10-15 cm) / donat.
Lakukan pemasangan infus bila belum terpasang.
Pasang monitor takanan darah (NIBP), irama jantung (EKG) dan saturasi oksigen (pulse
oxymeter).
Lakukan pre-oksigenasi menggunakan masker dan O2 dengan flow >= 8 liter/menit
selama 3 5 menit.
Berikan obat-obatan premedikasi IV
Midazolam 0-05 0,1 mg / kg BB dan
Fentanyl 1 2 mcg / kg BB atau
Pethidine 1 -2 mg / kg BB
Jika menggunakan succinylcholine dapat diberikan pre-kurarisasi dengan atracurium
0,05 mg / kg BB.

Berikan obat-obatan induksi IV


o Penthotal 4 6 mg / kg BB atau
o Propofol 2 4 mg / kg BB atau
o Ketamine 1 2 mg / kg BB
Pastikan dapat dilakukan ventilasi dan oksigenasi
Berikan pelemas otot IV :
o Succinylcholine 1 2 mg / kg BB atau
o Rocuronium 0.6 1,2 mg / kg BB
o Atracurium 0,5 mg /kg BB atau
o Vecuronium 0,1 mg / kg BB atau
o Pancuronium 0,1 mg / kg BB
Jika terjadi fasikulasi setelah pemberian succinylcholine, ventilasi dihentikan sementara
dan kemudian dilakukan ventilasi kendali secukupnya setelah fasikulasi berhenti.

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar


Airway

Management

Lakukan ekstensi kepala pada atlanto-occipital joint dan tekan kepala ke belakang
(sniffing position).
Buka mulut dengan menggunakan 2 jari tangan kanan.
Pegang laryngoscope dengan tangan kiri dan masukkan melalui sudut kanan mulut
sambil mendorong lidah ke kiri.
Jaga agar bibir tidak terjepit di antara bilah laryngoscope dan gigi.
Masukkan laryngoscope menyusur lidah sampai tampak epiglotis dan usahakan ujung
laryngoscope berada pada pangkal anterior epiglotis.
Angkat laryngoscope dengan bertumpu pada mandibula sehingga pita suara berwarna
putih terlihat jelas.
Bila perlu lakukan penekanan pada kartilago tiroid (Sellick manuever).
Masukkan ETT di antara pita suara sampai ujung proksimal balon (cuff) tidak terlihat lagi
dan berada di bawah pita suara.
Hubungkan ETT dengan sirkuit anestesi dan lakukan ventilasi kendali.
Kembangkan cuff dengan spuit 20 cc, berikan udara 5 10 cc atau hingga tidak
terdengar kebocoran udara saat dilakukan ventilasi kendali.
Pastikan posisi ETT telah tepat dengan cara: Melihat pengembangan dada yang simetris
saat ventilasi dan Lakukan auskultasi di kedua lapang paru dan di atas lambung (bila
bunyi nafas hanya terdengar di satu sisi paru, ETT harus ditarik sampai terdengar bunyi
nafas yang simetris di kedua paru).
Catat panjang ETT yang masuk dengan melihat tanda ukuran pada posisi gigi / bibir.
Lakukan pemasangan oral airway / Guedel / Mayo.
Lakukan fiksasi dengan plester.

Protap RS Akademis
KRITERIA INTUBASI
Pernafasan Ireguler
Frekwensi Nafas < 10 atau > 40 kali / menit
Volume Tidal < 3,5 ml / KgBB
Vital Capacity < 15 ml / KgBB
PaO2 < 70 mmHg
Pa CO2 > 50 mmHg
GCS < 8
Tatang Bisri :Dasar dasar Neuroanestesi :2008; 10
KRITERIA EKSTUBASI :
NIF >
RR <
TV >
VC >
PaO2
PaC02

- 20 cm H2O
30 kali / menit
5 ml / KgBB
10 ml / Kg BB
>
<

Resting min Vent < 10 l/menit


LOC stable or improving
TV / RR
> 10
Qs / Qt
< 20 %
65 75 mm (FiO2 < 40%) Pmep > + 40 cm H2O
50 mmHgVd / Vt < 0.6

Mark R Ezekiel :HandBook of Anesthesiology :2003; 105

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar

Management

Airway

Hal-hal yang harus disiapkan dalam penanganan Difficult Airway :

Laryngoscope bilah kaku dengan beberapa alternative desain dan ukuran dari yang biasa
dipakai orang-orang secara rutin.
Endotrakeal tube berbagai macam ukuran.
Pemandu endotrakeal tube. Contohnya stylets semi rigid dengan atau tanpa lubang
tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan magill tang dirancang khusus untuk dapat
memanipulasi bagian distal endotrakeal tube.
Peralatan Intubasi fiberoptik.
Peralatan Intubasi retrograd.
Perangkat ventilasi jalan nafas darurat non surgical. Contohnya sebuah jet transtracheal
ventilator, sebuah jet ventilasi dengan stylet ventilasi, LMA, dan combitube.
Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat (misalnya,
cricothyrotomy).
Sebuah detektor CO2 nafas (kapnograf).

NASAL INTUBASI
Intubasi nasal sama dengan intubasi oral kecuali ETT dimasukkan ke hidung menuju
orofaring sebelum laringoskopi. Dipilih lubang hidung dimana pasien bernafas dengan lebih
baik, tetes hidung femilefrin (0,5 g atau 0,25 g) untuk memvasokonstriksikan pembuluh
darah dan mengurangi mucus jika pasien sadar, dapat diteteskan anastesi lokal atau
dilakukan blok saraf.
Sebuah ETT dioleskan lidokain jelly dan dilengkungkan selama beberapa menit.
Kepala pasien harus ditempatkan dalam sniffing position. Ujung TT lembut dimasukan ke
nares pada bidang tegak lurus wajah. Bevel dan tube harus dijauhkan dari konka. Aliran
udara melalui pipa harus terus dirasa, didengar, atau dipantau dengan capnography. ETT di
majukan bertahap selama inspirasi. Jika respirasi pasien terus namun tidak ada aliran udara
yang dideteksi melalui pipa, ujung telah melewati glottis dan berada di oesophagus. Dalam
hal itu, tabung harus ditarik dan dimajukan lagi. Menahan nafas dan batuk merupakan tanda
telah dekat dengan laring; majukan tabung terus pada setiap inspirasi.
Kemudian dilakukan Laringoskopi. Setelahnya ujung distal ETT dapat dimasukkan ke
trachea tanpa kesulitan. Jika terdapat kesulitan pemasukan tube melalui plika vokalis dapat
dimanipulasi dengan magill forsep. ETT melalui hidung, atau selang nasogastrik berbahaya
pada pasien dengan trauma midfacial yang berat karena resiko penempatan intrakranial
Blok saraf yang mungkinkah berguna selama awake Intubasi
Lidah dan beberapa cabang faring dari nerves glosso pharyngeal yang memberikan
sensasi untuk yang ketiga bagian posterior lidah dan oropharynx sangat mudah diblok
dengan injeksi bilateral 2 mL obat anestesi local ke dalam dasar lengkungan palatoglossal
(juga dikenal sebagai pilar tonsillar anterior) dengan jarum spinal 25 G.

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar

Management

Airway

Blok saraf laryngeal larigeal superior bilateral dan blok transtracheal akan
menganastesi jalan napas di bawah epiglotis. Identifikasi letak tulang hyoid, dan 3 ml
lidokain 2% di infiltrasi 1 cm di bawah setiap cornu yang lebih besar dimana cabang interna
nerves laringeal superior menembus membrane thyrohyoid.

Blok transtracheal dilakukan dengan cara mengidentifikasi dan menembus


membrane cricothyroid sementara leher panjangkan. Setelah dilakukan konfirmasi posisi
intratracheal dengan aspirasi udara, 4 mL lidokain 4% disuntikkan ke trakea di akhir
ekspirasi. Sebuah inhalasi dalam dan batuk akan segera mendistribusikan injeksi anestesi
lokal ke seluruh trakea. Meskipun dengan blok ini memungkinkan pasien sadar mentoleril
intubasi dengan lebih baik, tetapi blok ini juga akan menumpulkan reflex batuk pelindung,
menekan reflex menelan, yang bias mengakibatkan aspirasi. Anestesi topikal dari faring
dapat menyebabkan obstruksi sementara dari hilangnya reflex regulasi sekali bernapas di
tingkat glotis.
Karena meningkat nyaris ikoaspirasi untuk pasien, anestesi lokal terbaik mungkin
terbatas pada lubang hidung. Campuran lidokain 4% dan 0,25% phenylephrine dan dapat
digunakan. Dosis maksimum yang aman obat bius lokal harus dihitung dan tidak melebihi
dosis toksik. Anestesi lokal diberikan pada mukosa hidung dengan kapas aplikator.

LMA (Laryngeal Mask Airway)


Indikasi :
Semua prosedur operasi rutin, pasien dengan kesulitan intubasi dan ventilasi, kondisi
emergensi (seperti laringoskop bermasalah, CPR)
Kontra indikasi pemasangan LMA :
Pasien dengan gangguan patologi faringeal (ec, abses), obstruksi faring, lambung penuh
(ec, kehamilan, hiatus hernia), rendahnya komplien paru (ec, penyakit paru restrikstif),
pasien yang memerlukan tekanan inspirasi tinggil sekitar 30 cm H2O, posisi prone.
Bila memungkinkan LMA dihindari pada pasien bronskospasme atau dengan resistensi jalan
nafas tinggi.
Keuntungan LMA :

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar


Airway

Management

Kurang invansif (trauma laringoskopi berkurang), pemasangan mudah, berguna pada pasien
dengan kesulitan intubasi dan ventilasi, tidak memerlukan relaxan, mengurangi penggunaan
obat analgetik
Dalam pemasangan LMA ada beberapa hal yang harus diperhatikan :
1. Plihlah ukuran yang sesuai dan cek kebocoran-kebocoran sebelum melakukan
penyisipan.
2. Pinggir pegangan dari cuff yang dikempiskan tidak berkerut dan jauh dari lubang.
3. Lubrikasi hanya pada bagian belakang cuff.
4. Anestesi harus adekuat (blok saraf regional atau umum) sebelum usaha penyisipan.
Propofol dengan opioid memberikan kondisi yang lebih baik dibandingkan dengan
pemakaian tiopental.
5. Posisi kepala pasien dalam sniffing position.
6. Gunakan jari telunjuk untuk menuntun cuff sepanjang palatum durum dan turunkan
ke dalam hipofaring sampai terasa ada perlawanan
7. Memompa balon cuff dengan udara yang sesuai
8. Anestesi harus dalam yang adekuat selama memposisikan pasien.
9. Obstruksi setelah penyisipan biasanya pada pinggir bawah epiglottis atau terjadi
laringospasme sementara.
10. Hindari pengisapan faring, deflasi cuff atau pergerakan sungkup sampai pasien
sadar (misalnya pembukaan mulut pada perintah).
A Variety of Laryngeal Masks with Different Cuff Volumes Are Available for Different
Sized Patients
Mask Size

Patient Size

Weight (kg)

Cuff Volume (mL)

Infant

<6.5

24

Child

6.520

Up to 10

21/2

Child

2030

Up to 15

Small adult

>30

Up to 20

Normal adult

<70

Up to 30

Larger adult

>70

Up to 30

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar

Management

Airway

A: Mallampati classification of oral opening. B: Grading of the laryngeal view. A difficult


orotracheal intubation (grade III or IV) may be predicted by the inability to visualize
certain pharyngeal structures (class III or IV) during the preoperative examination of a
seated patient.
(Reproduced, with permission, from Mallampati SR: Clinical signs to predict difficult
tracheal intubation [hypothesis]. Can Anaesth Soc J 1983;30:316.)

Komplikasi Intubasi Endotrakeal


a. Selama laringoskopi dan intubasi
Malposisi
Intubas iesofagus
Intubasi endotrakheal
Posisi laringeal cuff
Trauma jalan nafas
Kerusakan gigi
Laserasi bibir, lidah, mukosa
Sakit pada tenggorokan
Dislokasi mandibula
Diseksi retrofaring
Refleks fisiologis
Hipertensi, takikardi
Hipertensii intrakranial
Hipertensi intraokuler
Laringospasme
Malfungsi tube
Perforasi cuff
b. Pada saat tube diposisikan
Malposisi

Peter H.Y.Singal.

Anestesi FK UNHAS Makassar

Management

Airway

Ekstubasi yang tidak disengaja


Intubasi endobronkial
Posisi laringeal cuff
Trauma jalan nafas
Inflamasi dan ulserasi mukosa
Ekskoriasi hidung
Malfungsi tube
Ignition
Obstruksi
c. Mengikuti Ekstubasi
Trauma jalan nafas
Edema dan stenosis (glottik, sub glottik, trakhea)
Parau (granuloma atau paralisis pita suara)
Malfungsi dan aspirasi laring
Refleks fisiologis
1. Laringospasme.

Peter H.Y.Singal.
Management

Anestesi FK UNHAS Makassar


Airway

You might also like