You are on page 1of 2

APTRI Sebut Banyak Mafia Gula Rafinasi

Derry Sutardi
Selasa, 19 Mei 2015 10:03

JAKARTA - Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menganggap pemerintah tidak
tegas dalam melakukan penegakkan aturan industri gula nasional. Sehingga hal itu mudah
dimanfaatkan oleh para mafia dan spekulan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya
melalui importasi gula untuk industri (rafinasi). Di sisi lain, para mafia gula juga berupaya
mempengaruhi kebijakan pemerintah agar swasembada gula tak kunjung terwujud dan
Indonesia bergantung pada gula impor.
"Sudah saatnya pemerintah membasmi praktik mafia yang merugikan perekonomian nasional.
Selama ini, sejumlah importir menjadi bagian dari mafia gula. Salah satu langkah untuk
membasmi mafia dengan menghentikan izin impor gula oleh industri makanan dan minuman
(mamin)," ujar Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Soemitro
Samadikoen, Senin (18/5).
Soemitro menjelaskan, sesuai surat Menteri Perindustrian Nomor 691/M-IND/8/2007, impor
gula rafinasi harus mulai dikurangi dan pemilik pabriknya harus dipaksa menanam tebu di
dalam negeri. Selain itu, industri gula rafinasi baru hanya diberikan izin impor gula mentah
atau raw sugar sebagai bahan baku hanya diberikan paling lama tiga tahun, sambil menunggu
perkebunan tebunya berproduksi.
Di sisi lain, petani dan produsen tebu asli lokal harus dilindungi. Kemudian diberdayakan
agar bisa bersaing dengan produsen gula luar negeri.
Sebenarnya yang dibutuhkan tinggal kemauan dari pemerintah untuk mewujudkannya.
Produsen gula rafinasi yang saat ini berjumlah 11 unit sudah seharusnya dipaksa menanam
dan membuat kebun tebu di dalam negeri. Pembenahannya harus dimulai dari sekarang. Jika
dimulai tahun 2015, berarti pada 2-3 tahun ke depan para produsen gula rafinasi secara
bertahap bisa memproduksi gula rafinasi dari bahan baku tebu yang dikembangkan sendiri,
kata Soemitro.

Soemitro juga menilai, impor bahan baku (raw sugar), terutama dari Thailand dan Vietnam
sangat tidak adil bagi pelaku industri gula yang berbahan baku lokal, termasuk petani tebu.
Pasalnya, importasi gula rafinasi dilakukan tanpa bea masuk (BM) dan dilakuan dari negara
yang industri gulanya lebih efisien, sehingga bahan bakunya juga sangat murah. Sebaliknya,
produsen gula yang berbahan baku tebu lokal, yang umumnya BUMN dan petani tebu yang
tergabung dalam APTRI , industrinya sudah sangat tua dan kalah bersaing.
Adapun rata-rata harga impor raw sugar dari Thailand atau Vietnam, kata dia, terbilang
sangat murah sekitar Rp 7.000 per kg dengan biaya produksinya hanya sekitar Rp 4.600 per
kg. Namun, hal itu jauh apabila dibandingkan dengan produsen gula lokal yang biaya
produksinya mencapai Rp 9.000 per kg, sehingga harga jualnya mejadi kurang bersaing.
"Pabrik gula di dua negara ASEAN itu lebih efisien dan baru, sehingga mampu memproduksi
setiap 1 kuintal tebu menjadi sekitar 14 kg gula. Sedangkan di Indonesia, 1 kuintal tebu
hanya mampu menghasilkan sekitar 4-6,5 kg gula karena pabriknya yang sudah berusia tua.
Bahkan kebanyakan dibangun dari zaman Belanda," ungkap Soemitro.
Dengan demikian, Soemitro berharap pemerintah dapat membantu pembangunan pabrik gula
baru untuk mengganti pabrik lama yang sudah tidak efisien dan ekonomis. Selain itu, petani
tebu juga harus didukung dengan kebijakan bisa memperoleh pupuk dan fasilitas kredit yang
murah.
Kita saat ini sulit cari kredit. Pupuk subsidi pun tidak boleh digunakan untuk lahan sama
dengan dan di atas 2 hektare. Dalam hal ini, ada kasus sampai berurusan dengan polisi
dengan tudingan menyimpangkan subsidi karena memakai pupuk subsidi untuk lahan tebu di
atas 2 hektare, ujar Soemitro.
Dia menambahkan, demi mendukung hal itu, pemerintah juga seharusnya memberikan
subsidi kepada industri gula yang berbahan baku dari perkebunan lokal agar tidak merugi dan
harganya lebih terjangkau bagi masyarakat. Caranya, pemerintah membeli gula dari
petani/BUMN, misalnya Rp 10.000 per kg. Selanjutnya, gula dijual kepada masyarakat Rp
7.000 per kg, atau diberikan subsidi Rp 3.000 per kg.
Sebelumnya, pengamat pertanian Dwi Andreas Sentosa menuding, kebijakan pemerintah di
masa lalu yang membuka 11pabrik gula rafinasi tanpa kebun tebu telah menghancurkan
sistem gula nasional dan petani tebu. Kondisi itu membuat produsen gula lebih memilih
mengimpor gula mentah dibandingkan memproses tebu yang dihasilkan petani.
Dalam jangka panjang, menurutnya, sebaiknya tidak ada lagi izin baru untuk pabrik gula
yang tidak memiliki kebun. Sejalan dengan itu, pemerintah harus membatasi impor raw sugar,
menerapkan kenakan tarif yang tinggi, dan menggunakan dana tersebut untuk menyubsidi
harga tebu rakyat.
Pemerintah saat ini harus memprioritaskan penyerapan gula dari tebu rakyat. Izin impor bisa
diberikan hanya jika gula tebu rakyat telah terserap minimum 80%, ujar Dwi.
- See more at: http://radarpena.com/read/2015/05/19/19235/1/1/APTRI-Sebut-Banyak-MafiaGula-Rafinasi#sthash.ickDX3CF.dpuf
http://radarpena.com/read/2015/05/19/19235/1/1/APTRI-Sebut-Banyak-Mafia-Gula-Rafinasi

You might also like