You are on page 1of 15

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah


melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya bisa
menyelesaikan makalah dengan judul KONFLIK PEMBAKARAN
GEREJA DI SINGKIL ACEH yang disusun sebagai tugas individu
dan

penganti

ujian

tengah

semester

mata

kuliah

Setudi

Masyarakat Indonesia dalam waktu yang telah ditentukan.


Adanya makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca
sehingga

dapat

memahami

menejemen

konflik

dalam

masyarakat multikultural , penyelesaian atau cara mengatasi


konflik dalam masyarakat multikultural.
Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Guru Mata
Peajaran

Sosiologi

yang

telah

memberikan

materi

serta

masukannya terhadap materi serta semua pihak yang telah


membantu dalam penyusunan makalah ini.
Makalah ini saya susun dengan semaksimal mungkin,
namun saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi fisik maupun isi. Oleh karena itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Sukabumi, 07 Mei 2016

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman sampul ...................................................................

Kata pengantar......................................................................

ii

Daftar isi................................................................................

iii

BAB I PENDAHULUAN.............................................................
A. Latar belakang.............................................................

B. Rumusan masalah........................................................

C. Tujuan...........................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................
A. Konflik..........................................................................

B. Konflik singkil ( Aceh )..................................................

C. Penyebab konflik sigkil aceh .......................................

D. Upaya meredakan konflik singkil aceh ........................

BAB III PENUTUP....................................................................


A. Simpulan .....................................................................

B. Saran ...........................................................................

DAFTARPUSTAKA....................................................................

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh merupakan daerah kaya akan sumber daya alam dan
mineral, terutama gas dan minyak bumi, serta hasil hutan dan
lautan. Daerah yang terletak di utara Pulau Sumatera ini terdiri
dari 119 pulau, 35 gunung, dan 73 sungai dengan luas wilayah
57.365,57 kilometer persegi ( Moh. Soleh Isre ,2003 :103 )

Masyarakat Nanggro Aceh Darussalam khususnya di Kabupaten


Singkil merupakan salah satu masyarakat yang terbentuk dari
sebuah masyarakat yang multikultural khususnya dalam hal
kepercayaan. Selama ini mereka hidup berdampingan dengan
rukun satu sama lain sebelum terjadinya kerusuhan di Singkil
pada tanggal 13 Oktober 2015.
Konflik atau kerusuhan Singkil Aceh sebenarnya muncul akibat
terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai sosial yang
ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya
suatu tindakan antar individu satu dengan individu yang lain
berbeda-beda. Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan
Pancasila, maka demi memunculkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia maka perlu diadakan musyawarah untuk
mencapai sebuah mufakat.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang menyebabkan konflik di singkil Aceh ??
2. Bagaimana tangapan pemerintah setelah kejadian tersebut
?
3. Bagaimana

upaya

untuk

menyelesaikan

kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut ?


C. Tujuan
1. mengetahui penyebab konflik di singkil Aceh

masalah

2. mengetahui

tangapan

pemerintah

setelah

kejadian

tersebut
3. memberikan

saran

atau

solusi

untuk

menyelesaikan

masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil Aceh tersebut

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Konflik
Kata konflik mengandung banyak pengertian. Ada
pengertian yang negatif, konflik dikaitkan dengan: sifat-sifat
kekerasan dan penghancuran. Dalam pengertian positif, konflik
dihubungkan dengan peristiwa: hal-hal baru, pertumbuhan,
perkembangan, dan perubahan. Sedangkan dalam pengertian
yang

netral,

konflik

keanekaragaman

diartikan

individu

sebagai:

manusia

akibat

dengan

biasa

sifat-sifat

dari
yang

berbeda, dan tujuan hidup yang tidak sama pula (Kartini Kartono,
1998: 213)
Konflik adalah fenomena sosial yang selalu saja terjadi
dalam kehidupan setiap komunitas dan konflik tidak dapat
dimusnahkan atau dihindari (Dahrendrof dalam Stokhof W.A.L.
dan

Murni

Djamal,2003;115).

Sedangkan

Menurut

Johnson

(Supratiknya, 1995) konflik adalah situasi dimana tindakan salah


satu

pihak

berakibat

menghalangi,

menghambat

atau

mengganggu tindakan pihak lain. Kendati unsur konflik selalu


terdapat setiap bentuk hubungan antar pribadi, pada umumnya
masyarakat memandang konflik sebagai
Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, Konflik adalah
pertentangan atau pertikaian suatu proses yang dilakukan orang
atau kelompok manusia guna memenuhi tujuannya dengan jalan
menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan kekerasan.
Oleh karena itu konflik diidentikkan dengan tindakan kekerasan.
(Soerjono Soekanto, 1992:86)
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan timbulnya konflik.
Coser memberikan perhatian terhadap asal muasal konflik sosial,
sama seperti pendapat Simmel bahwa ada keagresifan atau
permusuhan dalam diri seseorang, dan dia memperhatikan

bahwa dalam hubungan intim dan tertutup, antara benci dan


cinta hadir. Coser memberikan dua dasar yang melatarbelakangi
terjadinya konflik:
a. Konflik realistis: memiliki sumber yang konkrit atau bersifat
material, seperti perebutan sumber ekonomi atau wilayah. Jika
mereka telah memperoleh sumber perebutan itu, dan bila dapat
diperoleh tanpa perkelahian, maka konflik akan segera diatasi
dengan baik.
b. Konflik non-realistis: konflik terjadi karena didorong oleh
keinginan yang tidak rasional dan cenderung bersifat ideologis,
konflik ini seperti konflik antar agama, antar etnis, dan konflik
antar kepercayaan lainnya.
B. Konflik Singkil ( Aceh )
TEMPO.CO, Banda Aceh - Satu gereja dilaporkan dibakar massa di
Desa Suka Makmur, Gunung Meriah, Aceh Singkil, Aceh, Selasa,
13 Oktober 2015. Bentrok terjadi antarwarga dan diduga satu
korban tewas.
"Belum ada laporan jelas kejadian yang terjadi. Kami sedang
menelusurinya ke lokasi dan rumah sakit umum. Isunya ada
korban, kata Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Aceh
Singkil Khaldum B.K. saat dihubungi Tempo.
Sumber Tempo di Singkil mengatakan kisruh diduga terjadi akibat
desakan warga Muslim--penduduk mayoritas di wilayah itu--agar
pemerintah setempat membongkar gereja tak berizin. Jika
tuntutan itu tidak dipenuhi, warga akan membongkar sendiri.
Atas desakan itu, Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas
masalah tersebut di kantor bupati. "Rapat berakhir sampai larut
malam (Senin malam)," kata sumber yang enggan namanya
dipublikasikan itu.
Selanjutnya, unsur Musyawarah Pimpinan Daerah Kabupaten
Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran gereja

sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut. Mereka


menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Selasa siang, warga kemudian bergerak sendiri dan melakukan
pembongkaran terhadap gereja yang ditengarai tak berizin itu,
kemudian berakhir dengan bentrok. Polisi dan TNI dilaporkan
berjaga-jaga di sejumlah lokasi untuk menghindari konflik
meluas. Ketika hendak dimintai konfirmasi, Kepala Kepolisian
Resor

Aceh

Singkil

Ajun

Komisaris

Budi

Samekto

tidak

mengangkat telepon selulernya. Pesan pendek yang dikirimkan


Tempo juga belum dibalas.
Sebelumnya, Pendeta Erde Berutu dari Gereja Kristen Protestan
Pakpak Dairi (GKPPD), Aceh, mengatakan insiden bermula ketika
massa pada Selasa, 13 Oktober 2015, mendatangi Gereja HKI
Deleng Lagan, Kecamatan Gunung Meriah.
Massa,

yang

diduga

berasal

dari

daerah

sekitar

gereja,

membakar rumah ibadah umat Nasrani itu. Setelah membakar


Gereja HKI, massa dengan berbagai jenis kendaraan bak terbuka,
yang diperkirakan berjumlah 700 orang itu, menuju sebuah
gereja lagi yang terpaut 10 kilometer dari Gereja HKI, yaitu
Gereja GKPPD Danggurun, Kecamatan Simpang Kanan.
Sesampainya di sana, massa tidak leluasa membakar karena
sudah ada blokade dari petugas TNI dan Polri. Namun entah
lewat mana, ada tiga orang yang lolos. Saat itulah terjadi bentrok
dengan masyarakat Kristen.
Versi Erde, ada dua orang tewas.
"Saya mendengar informasi, ada satu orang kita, Islam,
meninggal," kata Pendeta Ende Berutu kepada Tempo, Selasa, 13
Oktober 2015. Situasi semakin mencekam, menyusul sweeping
dari massa dan masyarakat di lintasan desa yang mayoritas
Muslim. Korban kedua, kata Erde, seorang sopir mobil tangki
minyak sawit beragama Kristen, yang baru kembali dari Medan
ke Singkil, terkena razia masyarakat di Jembatan Desa Buluh

Seuma, Kecamatan Suro. Sopir itu, kata Ende, dikabarkan


meninggal
(http://nasional.tempo.co/read/news/2015/10/13/058709143/gere
ja-dibakar-di-aceh-singkil-inilah-dugaan-penyebabnya)
C. Penyebab konflik Singkil Aceh
Konflik mengandung suatu pengertian tingkah laku yang luas
daripada yang biasa dibayangkan orang dengan mengartikannya
sebagai pertentangan yang kasar dan perang. Dasar konflik
berbeda-beda. Dalam

hal ini terdapat beberapa elemen dasar

yang merupakan ciri-ciri dari situasi konflik, yaitu:


1. Terdapatnya dua unit atau lebih unit-unit atau bagianbagian yang terlihat di dalam konflik.
2. Unit-unit tersebut mempunyai perbedaan-perbedaan yang
tajam

dalam

kebutuhan-kebutuhan,

tujuan-tujuan,

masalah-masalah, nilai-nilai, sikap-sikap maupun gagasangagasan.


3. Terdapatnya

interaksi

di

antara

bagian-bagian

yang

mempunyai perbedaan-perbedaan tersebut.


4. Perbedaan kepentingan antar kelompok, serta keinginan
untuk memenangkan kemauanya sendiri.
Konflik bagi bangsa Indonesia tak dapat dielakkan karena bangsa
Indonesia dilahirkan dalam kamajemukan yang penuh dengan
sejarah

konflik

primordial

yang

berkepanjangan

khususnya

konflik horizontal. Terdapat tiga jenis konflik horizontal yang


sering terjadi adalah :
(1) konflik antaragama
(2) konflik antar etnis (ras atau suku) atau konflik penduduk asli
dan pendatang
(3) konflik antar pribumi dan nonpribumi (Husaini Usman, 2004:
224).

Konflik etnik tersebut memberi bukti bahwa kekokohan bangunan


supra-struktur negara kebangsaan sangat rapuh. Ada dua faktor
penyebab

kerapuhan

fondasi

kehidupan

berbangsa

dan

bernegara. Pertama, doktrin ideologis Bhineka Tunggal Ika telah


diselewengkan oleh sebuah kekuatan yang berorientasi pada
pemerintahan pusat. Akibatnya daerah-daerah kurang diberi
kepercayaan

untuk

mengurus

dirinya

sendiri

Kedua,

Pembangunan yang dilakukan di atas sebuah komunitas plural


lebih memaksakan pola yang berkarakteristik penyeragaman
berbagai aspek sistem sosial, politik dan budaya. Akibatnya, jati
diri

sistem

lokal

dikesampingkan

Terjadinya

konflik

yang

benuansa SARA pada beberapa daerah di Indonesia, dari banyak


studi yang dilakukan salah satu penyebabnya adalah, akibat dari
lemahnya pemahaman dan pemaknaan tentang konsep kearipan
budaya. Konflik akan muncul apabila tidak ada distribusi nilai
yang adil kepada masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada
masyarakat menjadi penanda awal yang secara budaya sudah
dilabelkan

hambatanhambatannya,

yakni

prasangka

rasial.

Prasangka rasial ini sangat sensitif karena melibatkan sikap


seseorang ataupun kelompok ras tertentu terhadap ras lain.
Prasangka ini juga bisa muncul oleh situasi sosial, sejarah masa
lalu, stereotipe dan etnosentrisme yang menjadi bagian dalam
kebudayaan kelompok tertentu. Dengan kata lain dinamika dan
perkembangan

masyarakat

Indonesia

kedepan

sangat

dipengaruhi oleh hubunganhubungan antar etnis.


Terjadinya konflik yang benuansa SARA pada beberapa daerah di
Indonesia,

dari

banyak

studi

yang

dilakukan

salah

satu

penyebabnya adalah, akibat dari lemahnya pemahaman dan


pemaknaan tentang konsep kearifan budaya. Konflik akan
muncul apabila tidak ada distribusi nilai yang adil kepada
masyarakat. Terdapat perbedaan ras pada masyarakat menjadi
penanda

awal

yang

secara

budaya

sudah

dilabelkan

hambatanhambatannya, yakni prasangka rasial. Prasangka rasial


ini sangat sensitif karena melibatkan sikap seseorang ataupun
kelompok ras tertentu terhadap ras lain. Prasangka ini juga bisa
muncul oleh situasi sosial, sejarah masa lalu, stereotipe dan
etnosentrisme
kelompok

yang

menjadi

bagian

tertentu.

Dengan

kata

perkembangan

masyarakat

dalam
lain

Indonesia

kebudayaan

dinamika
kedepan

dan
sangat

dipengaruhi oleh hubungan-hubungan antar etnis.


Pada kasus konflik di Singkil Aceh ini penyebabnya adalah
kesalahpahaman

antara

warga

yang

menuntut

untuk

pembongkaran tempat ibadah yang tidak memiliki ijin dengan


pihak pemerintah dalam hal itu adalah bupati Singkil Aceh.
Desakan warga masyarakat di wilayah itu--agar pemerintah
setempat membongkar gereja tak berizin. Jika tuntutan itu tidak
dipenuhi, warga akan membongkar sendiri. Atas desakan itu,
Pemerintah Singkil menggelar rapat membahas masalah tersebut
di kantor bupati. Rapat berakhir sampai larut malam (Senin
malam).

Selanjutnya,

unsur

Musyawarah

Pimpinan

Daerah

Kabupaten Singkil memutuskan akan melakukan pembongkaran


gereja sepekan lagi. Tapi, warga menentang keputusan tersebut.
Mereka menginginkan pembongkaran gereja dilakukan Selasa ini.
Sedangkan menurut pihak kepolisian peristiwa di Singkil berawal
dari adanya sekelompok warga yang meminta pemerintah
setempat menertibkan tempat ibadah yang ada di wilayah
Singkil. Sebab, menurut kesepakatan pada tahun 1979, jumlah
rumah

ibadah

yang

diperbolehkan

hanyalah

lima

unit.

Pemerintah setempat berencana membongkar rumah ibadah


pada Selasa (13/10/2015).
Namun, kelompok warga itu tak sabar dan akhirnya menyerang
rumah ibadah beserta warganya. Akibat bentrokan ini, seorang
warga tewas, dan empat orang lainnya menderita luka-luka. Satu
di antara korban luka adalah anggota TNI dari Kodim Singkil.

D. upaya untuk menyelesaikan masalah kerusuhan yang


terjadi di Singkil Aceh
Upaya penyelesaikan masalah kerusuhan yang terjadi di Singkil
Aceh diantaranya dengan melaksanakan pembangunan rumah
ibadah umat beragama yang sudah diatur dengan pasti, baik
dalam Surat Keputusan Bersama Dua Menteri tentang Rumah
Ibadah, Peraturan Gubernur No 25/2007 tentang Izin Pendirian
Rumah Ibadah di Aceh, maupun Qanun Aceh Singkil Nomor
2/2007 tentang Pendirian Rumah Ibadah.
Negara harus memenuhi UUD 1945 Pasal 29 ayat 2 yang
berbunyi Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut agamanya dan kepercayaanya itu.
Untuk para pemuka agama tetap tenang dan jangan terpancing
suasana ini begitu pula warga masyarakat Singkil Aceh tetap
tenang, kedepankan rasa persaudaraan dan toleransi.

10

BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
Konflik atau kerusuhan di singkil Aceh sebenarnya muncul akibat
terjadinya pertentangan mengenai penerapan nilai sosial yang
ada di dalam sebuah masyarakat, karena ukuran benar salahnya
suatu tindakan antar individu satu dengan individu yang lain
berbeda-beda. Nilai-nilai sosial di Indonesia dilandaskan akan
Pancasila, maka demi memunculkan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia maka perlu diadakan musyawarah untuk
mencapai sebuah mufakat.
Diketahui bahwa pada masing-masing agama menyebutkan
Tuhannya masing-masing, seperti pada ajaran agama Budha
disebut Budha Gautama, pada agama Hindu disebut Sang Hyang
Widhi, pada agama Islam disebut Allah SWT, pada agama Kristen
dan Katholik disebut sebagai Allah atau Bapa. Di dalam
keyakinan yang bersifat kesukuan pun berbeda-beda, seperti
orang Sunda menyebut Gusti, Suku Jawa menyebut Pangeran.
Meskipun penyebutan Tuhan di masing-masing agama berbedabeda bukan berarti bahwa Tuhan itu banyak. Disebutkan pada
sila pertama Pancasila di dalam butir-butir Pancasila yaitu
Ketuhanan yang Maha Esa. (Iwan Gayo, H. M. 2007: 654).
B. Saran
Saran yang saya berikan untuk dapat kasus singkil Aceh ini
diantaranya :
1. Kepada Pemerintah Pusat hendaknya menjamin kehidupan
berumat dan beragama sesuai yang diamanatkan dalam
UUD 1945 Pasal 29 ayat 2.

11

2. Untuk pemerintah daerah Nanggroe Aceh Darusalam (NAD)


sebaiknya

untuk

pengecekan

Surat

ijin

mendirikan

bangunan atau di singkat IMB sebaiknya jangan hanya


pada gereja saja tetapi pada tempat peribadatan lainnya
seperti pura, klenteng, masjid, vihara sehingga tidak
menimbulkan diskriminatif terhadap kaum minoritas.
DAFTARPUSTAKA
Daliman. 2012. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta : Ombak.
Echols, J.M, and Shadily, H. 1983. Kamus Inggris-Indonesia.
Jakarta : Penerbit P.T. Gramedia.
Hanafi, Mahmud M.

1997. Manajemen .Jogjakarta : UUP AMP

YKPN.
Handoko, T. Hani. 1984. Manajemen edisi II .Yogyakarta : BPFE.
George Ritzer dan Douglas J. Gooman, 2004.

Teori Sosiologi

Moder. Jakarta : Prenada Media.


Isre,

Moh.

Soleh.

2003

Konflik

Etno

Religius

Indonesia

Kontemporer. Jakarta: Departemen Agama RI.


Kartono, Kartini. 1998. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.

12

You might also like